Opini

Sampai Kapan Anak-Anak Tidak Menyentuh Pendidikan?

Januari 13, 2021

Sampai kapan anak-anak tidak menyentuh pendidikan?

 

Pandemi sudah berlangsung selama hampir setahun tapi belum juga memberikan tanda-tanda akan segera berakhir. Pertanyaan itu muncul di benakku setelah sehari-hari memperhatikan adik-adikku yang masih duduk di bangku SD dan SMP. Mereka adalah sampel dari anak-anak yang seharusnya belajar di sekolah menjadi harus belajar di rumah. Iya, katanya belajar di rumah atau pembelajaran jarak jauh. Tapi apa benar mereka mereka belajar di rumah?

 

Sayangnya, tidak semua anak mampu belajar di rumah. Ini berdasarkan pengamatan dan pengalamanku. Perlu digarisbawahi bahwa tulisan ini adalah pendapat pribadi yang subjektif. Berdasarkan apa yang aku lihat, tidak semua anak memiliki rumah yang mendukung untuk belajar di rumah.

 

Sebagai seseorang yang memiliki dua adik yang keduanya masih duduk di bangku SD dan SMP, aku melihat kenyataan yang berbeda dari ekspektasi yang dikatakan orang-orang tentang belajar di rumah.

 

Adikku yang masih SD setiap hari harus membantu orang tuaku menjaga depot air karena ayahku memang memiliki usaha air isi ulang. Belajar? Aku jarang melihat adikku belajar dan itu membuat hatiku miris karena aku pribadi sedari kecil selalu dimanjakan dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Aku tahu karakter setiap anak berbeda-beda dan aku tidak bisa serta-merta membandingkan diriku dengan adikku. Tapi aku tetap merasa sedih karena melihat adikku setiap hari disuruh ini-itu yang tidak berkaitan dengan belajar.

 

Lain ceritanya dengan adikku yang masih SMP. Sering kali aku mengintip handphone-nya yang lebih canggih dari handphone-ku. Ada absen kelas, tapi adikku masih tidur. Sudah kubangunkan berkali-kali, tidak bangun juga. Kadang temannya sampai menghubungiku untuk memberitahu kalau ada kelas luring hari ini, tapi adikku masih tidur. Bangunnya siang terus karena tidak pernah berangkat sekolah lagi sejak Maret. (Dia biasanya bangun subuh lalu tidur lagi).

 

Hadeeeh…

 

Capek deh. Aku udah cukup pusing dengan kuliahku tanpa harus ditambah dengan memikirkan adik-adik. (Maaf aku kedengaran egois). Aku juga sedang berjuang memahami materi kuliah dengan membaca buku pdf, membaca presentasi, menyimak video pembelajaran, dan mencatat. Terkadang aku juga ingin punya buku materi kuliah tapi kupikir pengeluaran ayahku udah terlalu banyak. Jadi—apa boleh buat—aku baca aja buku pdf ini.

 

Kembali lagi ke masalah awal. Pertanyaan itu terus muncul di benakku—dan mungkin di benak orang-orang tua. Kapan anak-anak yang duduk di bangku SD dan SMP bisa bersekolah lagi? Kadang aku merasa seperti adik-adikku tidak sekolah sama sekali. Pagi-pagi adik yang paling kecil beres-beres rumah, menjaga usaha milik ayah, dan bukannya memegang buku. Kalaupun dia sedang pegang handphone, isinya main game terus.

 

Anyway, aku pun juga bantu beres-beres rumah. Jangan salah kira.

 

Kadang aku merasa kasihan ketika adikku dimarahi karena ia menulis dengan lambat. This is not his fault. Dia sekarang jarang menulis. Ya tolong dimaklumi kalau ia menulis dengan lambat. Lagipula, bagaimana adikku mau belajar kalau dia selalu disuruh ini dan itu yang tidak ada kaitannya dengan belajar?

 

Okelah, pelajaran kehidupan lebih penting. Iya, aku tau. Seperti membereskan rumah, membantu orang tua. Tapi apakah itu harus dipikirkan oleh anak usia 10 tahun?

 

Aku seringkali tidak setuju dengan anak yang dari kecil sudah diarahkan untuk menjadi seorang money-oriented. Seolah-olah hidup hanya untuk bekerja. Padahal kan tidak. Hidup lebih bermakna daripada sekadar mencari makan. Tapi, seringkali aku melihat adik-adikku dididik seperti itu oleh ayahku. Aku tahu keadaannya berbeda. Waktu masih kecil, aku tidak pernah berpikir tentang uang karena waktu itu segalanya sedang baik-baik saja. Tapi keadaan adikku berbeda dengan diriku yang waktu masih kecil.

 

Saat ini, aku tidak punya kendali atas adikku yang masih SD. Beberapa kali aku berusaha menasihati adikku tentang pentingnya belajar, atau sekadar mengingatkan untuk membuka buku, tapi dia abai dan justru semakin bertingkah macam-macam.

 

Hal itu cukup melatih kesabaranku.

 

Aku tidak tahu bagaimana keadaan anak-anak lain seumuran adikku yang berada di lingkunganku. Tapi menurut perkiraanku, mereka juga mengalami hal yang sama. Di desa kecil ini, tidak semua orang punya kesadaran akan pentingnya belajar atau sekadar membuka buku.

 

Kadang kalau adikku punya PR, mereka biasanya hanya menyuruhku mengerjakannya. Adikku yang duduk di bangku SMP juga begitu. Selama pandemi, dia lebih sering menghabiskan waktu menonton youtube, bermain game. Boro-boro baca buku. PR pun dia selalu menyontek temannya. Walau begitu, sesekali dia pergi latihan karate. At least, adikku yang satu masih punya kegiatan yang bisa memotivasinya buat bergerak.

 

Sekarang aku tidak tahu harus bagaimana. Tidak semua orang tua bisa mendidik anaknya di rumah. Tidak semua orang tua bisa menghomeschoolingkan anak mereka. Tidak semua orang tua mau mengontrol anaknya belajar.

 

Sekarang memang zaman “moderen”. Ada aplikasi belajar seperti ruang guru, zenius, atau lainnya. Tapi tidak semua anak bisa duduk diam di depan handphone mereka menyimak pembelajaran. Juga, tidak semua orang tua paham dan mampu membayar biaya langganan aplikasi belajar itu.

 

Untungnya di rumahku ada fasilitas wifi. Aku sangat bersyukur akan hal itu. Aku memakainya untuk kuliah online dan lain sebagainya. Tapi adik-adikku menggunakan wifi untuk bermain game dan menonton youtube aja.

 

Aku cuma agak kasihan sama anak-anak itu. Enggak belajar. Enggak membaca buku. Minat baca mereka turun jelas jadi turun rendah sekali. Lalu, bagaimana selanjutnya? Mau sampai kapan?

 

Sudah 11 bulan mereka tak duduk di bangku sekolah. Apa kabar pendidikan mereka?

 

     Pendapat Pribadi Seseorang yang Tidak Tahan Melihat Adik-Adiknya Tidak Belajar