Original Story

Chapter 4 — Haunted Dreams

Desember 29, 2024

 


The Casket of Unforgiven Pieces
Chapter 4

────────────

Haunted Dreams

𝘛𝘳𝘪𝘦𝘥 𝘵𝘰 𝘧𝘰𝘳𝘨𝘦𝘵 𝘣𝘶𝘵 𝘵𝘩𝘦 𝘯𝘪𝘨𝘩𝘵𝘮𝘢𝘳𝘦 𝘬𝘦𝘱𝘵 𝘩𝘢𝘶𝘯𝘵𝘪𝘯𝘨; 𝘭𝘪𝘬𝘦 𝘢 𝘤𝘳𝘪𝘱𝘱𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘦𝘮𝘰𝘯 𝘪𝘯𝘴𝘪𝘥𝘦 𝘰𝘧 𝘮𝘦

────────────

Kalev membuka matanya ketika matahari sudah bersinar terik. Ia mengerjapkan matanya dan menatap langit-langit kamarnya selama beberapa menit—tidak ingat kenapa ia bisa tergeletak di atas lantai dan kenapa seluruh tubuhnya nyeri.

Lalu ingatan tentang kejadian semalam menyerbu masuk ke dalam kepalanya seperti rentetan peluru. Ia melihat jari tangannya untuk memastikan tidak ada darah yang tersisa. Ia terbayang lagi  aroma anyir darah dan teringat adrenalin mengalir deras ketika nyawa manusia hilang dalam sekejap di tangannya. Ia merasa sangat kotor, tapi pikiran intrusifnya lagi-lagi membenarkan perbuatannya.

Aku melakukannya untuk melindungi keluargaku.

Perlahan ia bangkit berdiri. Ia sangat haus. Ia mencoba berjalan menuju dapur yang ada di lantai satu. Kakinya langsung terasa nyeri di setiap langkah. Pergelangan kakinya terlihat bengkak dan membiru karena memar. Ia pun berjalan tertatih-tatih menuruni tangga sambil menyeret selimut. Ia lupa kapan terakhir kali ia minum dan makan.

Jam dinding yang ada di dapur menunjukkan pukul 2 siang. Setelah meminum sebotol air es dari kulkas, ia mulai memasak. Tangannya dengan mahir mengocok telur di mangkok. Kemudian, ia memanaskan mentega di atas teflon. Aroma mentega langsung memenuhi dapur.

Lalu ia teringat kalau tidak ada nasi di dalam rice cooker jadi ia mengambil beras dari tempatnya dan mulai menanak nasi.

Berhubung ia sudah terlalu lapar, ia memakan scrambled egg buatannya tanpa nasi. Ia berniat akan memakan nasi nanti malam kalau ia ingat.

Sesekali ia menoleh ke jendela yang menuju halaman belakang rumah untuk meyakinkan dirinya kalau ia sudah mengubur semua sisa pembakaran tadi malam. Semua bukti itu pasti sudah terkubur di dalam tanah.

Setelah makan siang, ia menyalakan televisi yang ada di ruang keluarga untuk membungkam suara di kepalanya, lantas ia merebahkan tubuhnya di atas sofa yang empuk.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang mengetuk pintu pagar.

Mama?

Kalev melangkah tertatih-tatih ke pintu depan dan mengintip melalui jendela. Ternyata Riga yang datang. Ia pun membuka pintu rumah dan membukakan pintu pagar supaya Riga bisa memarkirkan motornya di garasi.

“Hampir aja aku mau manjat pagar lagi,” kata Riga sambil nyengir lebar. "Kau sakit?" Ia menatap Kalev yang tampak berantakan dan lebih pucat dari biasanya. Rambutnya tampak seperti baru bangun tidur. Ia memakai t-shirt lengan panjang dan celana training yang menutupi luka-lukanya semalam.

“Bolos lagi? Udah bolos berapa kali semester ini?” balas Kalev tanpa menjawab pertanyaan Riga. Ia dan Riga pun masuk ke dalam rumah.

“Harusnya aku yang bertanya begitu,” kata Riga.

“Hari ini aku izin sakit. Bukan bolos,” jawab Kalev sungguhan. Kemarin ia sempat menitipkan surat izin ke teman sekelasnya yang duduk di depannya. “Ada apa ke sini? Bukannya sekarang masih jam pelajaran ya?"

“Pelajarannya bosenin,” jawab Riga seenaknya.

Kalev tertawa renyah. “Bilang aja, kau malas.”

“Yeah, malas menghabiskan waktu belajar hal yang enggak penting," jawab Riga dengan nada bergurau seraya mengambil tab dan stylusnya dari dalam tas ranselnya. Ia pasti mau mengerjakan soal kalkulus lagi.

Suara berita di televisi tiba-tiba menarik perhatian mereka berdua.

“...Empat buronan polisi ditemukan meninggal dalam keadaan mengenaskan di dalam gudang penyimpanan barang kontainer. Seorang pengemudi truk yang hendak menurunkan barang menemukan empat mayat pagi ini. Keempat korban tersebut diduga dibunuh oleh salah satu dari mereka. Mereka diduga bagian dari sindikat perusahaan yang sedang diinvestigasi oleh badan intel. Pisau yang ditemukan di salah satu korban menjadi alat bukti. Namun, polisi masih menyelidiki apa motif dari pembunuh untuk menghabisi nyawa rekan-rekannya.”

“Lokasinya dekat dari sini,” gumam Riga seraya membaca nama lokasi berita yang tertera di layar televisi. Lalu adegan berganti ke wawancara dengan seorang Polisi yang tengah melakukan penyelidikan. Riga memutar bola matanya dan mengalihkan pandangannya ke layar tablet ketika melihat wajah Ayahnya muncul di layar TV.

Kalev melihat siaran berita itu dengan puas. Keempat korban sudah dibawa menuju tempat forensik dan menyisakan lantai penuh dengan bercak darah yang disensor. Ia melihat seorang polisi mengangkat sebuah pisau tajam penuh lumuran darah korban-korbannya. Pisau tersebut sudah terlindungi plastik untuk melindungi bukti. Tentunya barang bukti itu juga disensor sedemikian rupa supaya bisa disiarkan.

Kemudian, siaran berita beralih ke peristiwa lain yang tidak menarik perhatian dua anak itu.

Setelah rasa puas itu menguap, perasaan lain menyerang dirinya. Kalev mual ketika menyadari kalau dirinya mampu melakukan hal sebrutal itu.

Tapi mereka adalah buronan. Mereka pantas dibunuh.

Kepala Kalev berdenyut sakit. Ia terbayang pisau yang tajam, pergelangan kakinya yang diinjak hingga ia mendengar suara krek, lalu ia kembali mendengar helaan napas terakhir seseorang yang meregang nyawa.

Ia memejamkan matanya berusaha untuk melupakan kejadian semalam.

“Lev? Tidur?” Riga baru menyadari ia  tenggelam dalam soal-soal selama dua jam penuh. Ia menoleh ke belakangnya. Kalev tertidur di atas sofa dengan selimut menyelubungi tubuhnya. Ruang tengah di rumah Kalev memang ada pendingin udara.

Tangan Kalev terkulai di atas selimut. Riga melihat bekas luka garis-garis samar. Riga mencoba mengusir pikiran apa yang membuat Kalev punya bekas luka seperti itu.

"Malah tidur anak ini. Enggak takut rumahnya dirampok?”

Riga menyentuh tangan Kalev untuk membangunkan anak itu. Lalu ia tersadar kalau suhu tubuh Kalev sangat panas. Riga mengernyitkan dahinya. Dia tidak bohong soal sakit. Ia memanggil nama Kalev berkali-kali karena ia harus menjemput adiknya setelah ini.

“Lev?"

"Lev?!!!"

"Bangun woy! Aku harus jemput adek habis ini,” ucap Riga sambil mengguncang bahu Kalev. Baru setelah itu, Kalev membuka matanya. 

"Eh?? Udah mau pergi?" Anak itu perlahan mendudukan dirinya dan mengusap wajahnya.

“Kapan Ibumu kembali?” tanya Riga.

“Besok.”

“Udah jam 4 sore, adekku bisa ngamuk kalau aku telat jemput. Aku duluan ya. Kayaknya kau harus minum paracetamol,” ucap Riga seraya beranjak berdiri.

Kalev mengangguk. “Besok aku sudah bisa sekolah, kok.”

Melihat kondisinya sekarang, Riga meragukan ucapan anak itu. “Yeah, jangan dipaksakan. Kau boleh nitip surat izin lagi kalau mau. Bye, aku pergi dulu."

Kalev nyengir lebar. “Daah!”

Setelah mengantar Riga ke depan dan mengunci pagar, ia menyentuh kepalanya. Ia mengerang pelan karena rasa sakit tajam yang tiba-tiba menyerang kepalanya.

**

Seminggu setelah kejadian itu, segalanya kembali normal. Atau begitu yang Kalev pikirkan. Kaki kanannya yang diinjak sepatu boots pulih setelah Mama membawanya ke IGD. Mama membawanya ke IGD dua hari setelah kejadian. Ketika Mama bertanya kenapa kakinya bisa terkilir, Kalev hanya menjawab kalau ia mengalami kecelakaan ringan saat mengendarai motornya.

“Lev, masih ingat soal tamu mencurigakan yang mendatangi Mama di kantor?” tanya Mama saat mereka sedang makan pizza di depan televisi saat malam minggu. “Sebenarnya mereka pernah beberapa kali mengikuti Mama, tapi sekarang mereka tidak pernah terlihat lagi.”

“Apa? Kenapa Mama enggak bilang?” kata Kalev.

Mama mengangkat bahu. “Mama enggak mau buat Kalev khawatir.”

Kalev mengernyitkan dahinya.

“Mereka sudah tidak pernah muncul lagi.”

Tentu saja, mereka sudah mati, ucap Kalev dalam hati. Puas. “Pokoknya kalau ada yang mengganggu Mama lagi, bilang padaku.”

Mama tertawa sambil mengacak-acak rambut Kalev. Ia menatap lembut putranya. “Yaaa Mama tahu, cuma Kalev yang bisa melindungi Mama. Gitu kan maksudnya?”

Kalev hanya tersenyum.

**

Maret 2023

Sebulan kemudian, kaki Kalev pulih dari cedera. Ia sempat harus memakai kruk selama seminggu karena ternyata cedera kaki kanannya cukup parah. Setelah benar-benar pulih, Kalev kembali bermain basket bersama klub lapangan pinggir sungai. Ia datang ke setiap jadwal klub yang terkadang tidak menentu tergantung banyaknya orang yang mau bermain malam itu. Ia tidak pernah lagi hanya duduk-duduk di pinggiran lapangan sambil membaca buku.

Bermain selama sejam membuatnya melupakan kejadian brutal itu. Meskipun ia bersikap seolah pembunuhan itu bukan perbuatannnya, ia masih terbayang darah yang mengalir di atas lantai. Seberapa keras ia bersikap seolah kejadian itu tidak ada dan hidup senormalnya anak remaja seusianya, mimpi buruk tetap menghantuinya.

Setelah capek bermain basket selama sejam penuh, biasanya ia bisa tidur nyenyak tanpa mimpi buruk yang membuatnya ingin muntah.

“Ada yang mau kau lupakan?” tanya Riga suatu malam setelah mereka bermain empat babak.

Kalev menggelengkan kepala. “Enggak ada.”

Mereka duduk meluruskan kaki di pinggir lapangan.

Malam itu terasa sedikit aneh karena ada gerombolan Bari berdiri di area parkiran motor. Mereka sedang berkumpul di atas motor-motor mereka sambil merokok.

“Apa yang mereka lakukan di sini.” ucap Kalev pelan dengan pandangan mata terarah pada gerombolan yang berada tak jauh dari lapangan basket.

Riga menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang dibicarakan Kalev. “Shit.

“OYYY RIGA!!!’”

Tiba-tiba Bari berteriak menyapa Riga sambil melambaikan tangannya lalu berjalan menghampiri Riga dengan seringai lebar di wajahnya. Namun detik berikutnya yang terjadi adalah kekacauan.

Tangan Bari yang penuh cincin memukul wajah Riga.

Riga terpental mundur sambil menyentuh rahangnya. What the fuck? Tanpa pikir panjang, Riga membalas bogem mentah Bari dengan tendangan tinggi yang mengarah ke kepala Bari.

Suasana malam itu berubah menjadi panas. Orang-orang yang masih berada di sekitar lapangan basket mulai menoleh ke arah sumber suara. Tidak ada yang mencoba melerai mereka. Riga melihat beberapa orang mulai mengangkat smartphone mereka untuk merekam. Ia menggertakan giginya seraya menghindar dari serangan Bari.

Beberapa orang lainnya yang merupakan kroni-kroni Bari mendekati Kalev dengan beringas. Ia masih mengingat wajah-wajah para keparat itu yang sudah merundungnya selama minggu-minggu pertamanya di sekolah. Ia tidak sudi mengingat nama mereka.

“Kau pikir kami sudah melupakanmu yeah?!” ucap salah satu dari mereka—seorang cowok dengan potongan rambut pendek.

Detik berikutnya, seseorang memukul punggungnya dengan alat pemukul kasti dari belakang.Kalev susah payah mempertahankan dirinya. Ia tak mungkin bisa menghindari serangan dari tiga orang sekaligus yang membawa alat pemukul. Kalev mengumpat dalam hati. Pikirannya kembali pada hari-hari pertama di sekolah barunya yang berisi kekerasan. “Bangsat,” umpat Kalev sambil meludahkan darah.

“Kau tak akan pernah bisa lari dari kami.”

“Apa mau kalian, berengsek?” kata-kata kasar meluncur dari mulut Riga sambil menoleh sekilas pada Kalev di belakangnya. Riga tampak kacau karena Bari menyerangnya tanpa henti.

Tiba-tiba terdengar suara mobil polisi patroli mendekat dan berhenti di depan lapangan basket. Cahaya berwarna merah-biru yang bersumber dari atas mobil terlihat berpendar di kegelapan malam. Kemudian terdengar suara sirine mobil yang menghentikan perkelahian mereka.

Riga menatap lampu rotator yang menyilaukan itu serata berusaha mengidentifikasi siapa yang ada di dalam mobilnya.

Kemudian, kaca mobil polisi terbuka dan menampakkan seorang polisi yang mengangkat toa, “Brilliant Riga Yanuar, berhenti bertingkah sok jagoan. Pulang sekarang.”

Sementara itu, Bari langsung berteriak pada kroni-kroninya untuk kabur. Mereka berlari dengan ribut ke arah tempat mereka memarkirkan motor. Sambil berlari menuju motornya, Bari mengangkat jari tengah dan tertawa lebar. “Ini cuma peringatan, brengsek!” serunya.

Riga ingin tenggelam di sungai saat itu juga. Ia tidak sanggup melihat wajah Ayahnya yang berada di dalam mobil patroli karena malu. Ia ingin berteriak sekerasnya, BUKAN AKU YANG SALAH. AKU HANYA MELINDUNGI DIRIKU SENDIRI. Tanpa sadar kedua tangannya terkepal. Ia tidak lagi merasakan luka memar di wajah, lengan, dan tubuhnya karena amarah yang rasanya ingin meledak keluar. Ia hanya ingin membela dirinya sendiri kalau bukan dirinya yang memulai perkelahian itu.

Tapi Ayahnya pasti tidak akan percaya—mengingat kejadian buruk beberapa tahun yang lalu sewaktu ia masih SMP. Ia pernah memicu perkelahian di SMP karena ada beberapa orang yang mempermalukan nama keluarganya di sekolah. Waktu itu, ia mengamuk tanpa kendali. Sejak saat itu, Ayahnya selalu menganggap Riga sebagai pengacau dan tak pernah peduli pada prestasi Riga.

Sementara itu, Kalev menatap Riga yang berdiri di sampingnya dengan sorot tak percaya. Ayahnya Riga?

“Sori Lev, aku jadi menyeretmu ke masalahku,” ucap Riga getir sebelum pada akhirnya berkata pada mobil patroli yang dikendarai Ayahnya. “Aku memang mau pulang ke rumah sekarang kok!” Ia berteriak keras tanpa mempedulikan orang-orang di sekitar yang menonton dengan penasaran. Kemudian mobil itu pun pergi menjauh dari pinggir lapangan. Riga menghela napas panjang lantas berseru “BUBAAAR!!! BUBAAAR!!” pada kerumunan yang mengerubungi sekitar area lapangan basket.

“Ini semua bukan salahmu. Komplotan Bari memang kumpulan bajingan,” kata Kalev.

Riga tertawa miris mendengar ucapan Kalev barusan. Mereka berjalan berdampingan menuju parkiran motor dengan penuh luka memar. Terlalu lelah untuk membahas peristiwa barusan. Riga memikirkan kata peringatan yang diucapkan berandalan itu. Bukankah Ayahnya tidak pernah berurusan lagi dengan keluarga Bari? Atau mungkin keluarga Bari terlibat kasus yang diselidiki Ayahnya 

Otak Riga sibuk membuat hipotesis, sedangkan Kalev tenggelam dalam pikirannya… kalau ternyata selama ini ia berteman dengan seorang anak polisi. Dalam diam, Kalev mengingat wajah pria yang berada di dalam mobil patroli tadi dan mulai menyadari kemiripannya dengan Riga. Lalu, ia menyadari wajah pria itu pernah muncul di siaran berita dua bulan yang lalu. Pria itu yang menjadi Kepala Satuan Reserse Kriminal yang menangani penyelidikan kasus pembunuhan empat buronan di sebuah gudang.

Tidak akan ada yang menyangka kalau sang pelaku pembunuhan sedang berdiri di samping putra penyelidik yang menangani kasus pembunuhan tersebut.

“Dah, see ya,” kata Riga dengan nada santai seolah kejadian Ayahnya memanggil namanya di muka umum dari dalam mobil patroli barusan tidak mempengaruhinya. Ia memakai helm dan menaiki motor Yamaha XSR 155 miliknya. 

Kalev tersenyum simpul sambil melambaikan tangannya pada Riga. Lantas ia melajukan motornya menuju rumah dengan pikiran kacau.

**

Sesampainya di rumah, Mama menyambut Kalev yang pulang tengah malam dengan luka memar di wajah. Mama yang masih berkutat dengan laptopnya di meja ruang makan langsung meninggalkan pekerjaannya dan mengambil kotak P3K.

Kalev khawatir Mama akan menghakimi dan memberinya ceramah panjang, namun Mama hanya berdecak dan menyuruhnya duduk di atas sofa.

“Pulang jam 11 malam, terus babak belur begini… Walaupun Kalev enggak pernah bilang, Mama tahu kalau Kalev beberapa kali berkelahi. Benar kan?” kata Mama seraya mulai membersihkan luka di wajah Kalev.

Kalev tidak berani membuka jaketnya karena itu berarti lebih banyak luka lebam dari alat pemukul kasti yang mengenai lengannya.

“Maaf Ma,” ucapnya pelan. Hanya itu yang mampu diucapkannya.

Mama menghela napas. “Bukannya tadi kamu cuma izin buat keluar main basket?”

“Yeah, itu benar, Ma.”

“Terus?”

Hening. Kalev tidak berjengit ketika Mama membersihkan lukanya dan menempelkan betadine. Hanya tarikan napasnya yang menunjukkan kalau ia sedang menahan perih. Ia duduk tenang sementara tangan Mama merawat luka di pelipis yang tidak disadarinya karena  melihat kapas berwarna merah darah.

Mama tidak menuntut jawaban dari Kalev malam itu. Ia tidak ingin membuat anak itu merasa terpojokkan. Ia pikir, Kalev hanya terlibat perkelahian remaja biasa. “Nah, sudah. 

Kalev tidak langsung beranjak berdiri. Ia menyenderkan kepalanya pada sandaran sofa sementara Mama membereskan kotak P3K. “Ma, kalau ada seseorang yang Mama sayangi terluka,apa Mama mau melakukan segalanya buat melindunginya?” tanyanya dengan suara lirih.

Mama menatap mata putranya. Mata Kalev sangat mirip dengan matanya sendiri. Rasanya seperti sedang bercermin dengan bayangan dirinya sendiri. Mama tersenyum lembut dan mengelus kepala putra kesayangannya. “Tentu, Mama pasti akan melakukan segalanya.”

**

April 2023

Boleh dibilang Riga berasal dari keluarga yang terpandang. Ayahnya seorang polisi yang memiliki jabatan. Ibunya seorang direktur di rumah sakit swasta. Riga dan saudara-saudaranya selalu hidup bergelimang harta sejak kecil. Namun, Riga tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang sama seperti kakak dan adik perempuannya—terutama dari Ayahnya.

Semua prestasinya yang menyilaukan tidak pernah diapresiasi, kecuali oleh kakak dan adiknya. Terkadang Ibunya masih peduli jika Riga mendapat juara pertama di kompetisi matematika.. Tapi Ayahnya tak pernah sekalipun menganggap pencapaian Riga.

Hal yang diajari Ayahnya hanyalah ia harus bisa melindungi kakak dan adiknya. Tanggung jawab itu dibebankan pada Riga sejak Riga masih berusia 10 tahun. Ia sangat mengingat ucapan Ayahnya waktu itu.  Kamu harus bisa melindungi keluargamu apapun yang terjadi. Bagaimana kamu bisa jadi pelindung kalau menangis, Riga?

Kalimat itu diucapkan saat ia sedang menangis karena adik perempuannya terluka saat bermain di taman bersamanya. Riga menangis karena takut melihat luka di lutut adiknya dan juga merasa sangat bersalah. Begitu sampai di rumah dan luka di lutut adiknya dirawat oleh Ibu, Riga menangis. Kemudian Ayahnya datang dan mengucapkan kalimat itu padanya.

Riga selalu berpikir Ayahnya membencinya. Namun, ia tak pernah tahu alasannya. Ia sudah melakukan berbagai hal agar Ayahnya menyayanginya. Ia menjaga adik dan kakaknya sepenuh hati, selalu menjadi ranking satu di sekolah, dan menjadi anak yang patuh. Tapi, Ayahnya tak pernah sekalipun tersenyum kepadanya.

Terkadang Riga merasa jika Ayahnya tak pernah menganggapnya benar-benar ada. Riga hanya dianggap sebagai penanggung jawab untuk menjaga adik dan kakaknya. Atau kadang… dirinya dianggap hadir jika Ayahnya butuh pelampiasan emosi seperti malam itu.

Riga pulang malam karena ia tugas kelompok yang harus dikerjakan dan… tentu saja ia berkeliling dulu dengan motornya sebelum pulang.

Setelah satu jam berkeliling, Riga pun pulang dan memarkirkan motornya di garasi rumah. Begitu masuk ke dalam rumah, ia langsung merasakan suasana yang tidak enak.

“Pulang terlambat lagi?” sambut Ayahnya yang sedang membaca koran di ruang tamu.

Riga yang baru melepas sepatunya dan masih menggendong tas ranselnya langsung terpaku. “Aku sudah izin kalau tadi ada kerja kelompok.”

“Duduk,” titah Ayahnya yang tidak bisa diganggu gugat.

Kapan terakhir kali Ayah mengajakku duduk berhadapan? Riga pun duduk dengan curiga. Ia mencium bau alkohol dari kemeja yang dikenakan Ayahnya. Ayahnya sepertinya baru sampai rumah tak lama sebelum Riga pulang.

“Motormu disita.”

“Hah?! Apa?”

SRAKKKK!!! Ayah Riga memukul kepala putranya dengan koran.

Ah, sudah kuduga akan seperti ini. Riga beruntung kali ini hanya koran.

“Seenaknya saja kamu bilang apa.”

Riga memasang ekspresi wajah penuh penyesalan. “Maaf.”

Tiba-tiba Ayah Riga menarik kerah jaket Riga dengan penuh emosi dan memukul wajah anak itu. “Mau jadi apa kamu hah? Mau jadi anak jalanan?” teriak Ayahnya.

Rumah itu tetap hening. Ibunya. Kakaknya. Adiknya. Tidak ada yang membantu membelanya. Riga menelan pukulan itu mentah-mentah. Ia tidak marah pada keluarganya yang diam saat ia harus menghadapi Ayahnya sendirian yang mabuk. Tapi? Perasaan apa ini yang meluap di dalam dirinya saat ini?

“Mana kunci motormu?”

Riga merogoh saku dan menyerahkan kunci motornya. Lalu—

“Enyah.”

Satu kata yang membolehkan Riga untuk meninggalkan ruang tamu dengan lebam di wajah. Riga berjalan menuju kamarnya yang berada di bagian rumah paling belakang. Ia mengunci kamarnya dan bersender pada pintu selama beberapa saat. Ia  berdiri dalam kegelapan. Ia hanya diam mengatur napasnya dan bertanya. Kenapa Ibunya atau Kakaknya yang berada di rumah tidak ada yang menghampirinya? Tapi setelah dipikir-pikir, bukankah bagus? Ia telah melindungi keluarganya. Cukup ia yang merasakan ini. Jangan sampai ada anggota keluarga lain yang merasakannya juga. Lagipula esok hari, Ayahnya akan lupa kejadian dan ucapannya malam itu karena ia mabuk.

Perlahan Riga mendongak. Matanya tertuju pada jendela kamar. Tanpa pikir panjang ia melangkah menuju jendela, membuka jendela, dan meloncat keluar. Lantas ia memanjat pohon dan bergerak pelan-pelan melewati tembok pembatas rumah.

Begitu menjejakan kaki di jalan raya, ia berlari—dengan tas ransel di punggungnya—di bawah cahaya rembulan. Waktu menunjukkan pukul 11 malam. Riga berlari menyusuri trotoar hingga napasnya terengah dan amarahnya lenyap.

**

Riga sampai di depan rumah sahabatnya. Awalnya ia berdiri dengan ragu-ragu. Ia takut mengganggu ketenangan keluarga Kalev, tapi ia tak ingin kembali ke rumahnya malam itu. Cowok itu meraih ponselnya dari saku celana dan mendapati ponselnya mati karena low battery.

Terpaksa Riga harus memanjat. Tapi ia harus memastikan dulu Kalev terbangun. Dengan bidikan sempurna, Riga melempar kerikil ke kaca jendela kamar Kalev. Tak lama kemudian, Kalev membuka jendelanya dan menatap ke bawah.

Kalev memberi isyarat kalau dia akan turun membukakan pintu. Tapi Riga melambaikan tangannya. Tak perlu! ucapnya tanpa suara. Kemudian ia mulai memanjat pohon akasia yang ada di depan rumah Kalev yang dahannya sampai ke bagian atap. Kemudian ia berjalan menyusuri pinggiran atap menuju jendela kamar Kalev.

 alev menonton atraksi Riga dengan mulut terbuka karena Riga melakukannya dengan sangat cepat. “Kau ini setengah monyet ya?” ucapnya ketika Riga berjongkok di atas kusen jendela kamarnya. 

Riga balas tersenyum lebar lantas melompat turun dari jendela. Begitu ia masuk ke dalam kamar Kalev yang dingin, hujan turun dengan deras di luar. Cahaya rembulan itu dengan cepat tertutupi awan kelabu.

Kalev pun menutup jendela kamarnya. Ia sepertinya sudah tidur karena rambutnya tampak berantakan dan kausnya kusut. “Aku membangunkanmu ya?” kata Riga dengan ekspresi wajah sungkan. Baru kali ini, Riga memasang wajah tidak enak seperti itu.

Di bawah cahaya temaram kamarnya, Kalev melihat lebam di wajah Riga. Lalu ia menyadari kalau Riga masih mengenakan seragam sekolahnya dan jaket yang biasa dipakainya saat sekolah. Bahkan Riga masih menggendong tas sekolahnya. Tampang Riga sangat acak-acakan. Rambut hijaunya terlihat kusut dan berantakan. “Yeah benar. Ada apa? Siapa yang menghajarmu malam-malam?” tanya Kalev lugas. Ia duduk di atas meja belajarnya sementara Riga di kursi.

“Kau bersumpah tidak akan bilang pada siapapun.”

Kalev membuat tanda salib.

“Ayahku,” jawab Riga.

Kalev mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi Riga tampak enggan membicarakannya. Ia mengerti.

“Aku numpang nginep semalam ya? Sori,” kata Riga sambil mengatupkan kedua tangannya.

“Kau boleh tidur di sini kok,” kata Kalev seraya menunjuk ke sebuah sofa panjang yang ada di sudut ruangan. Sofa itu penuh dengan barang-barangnya—jaket, buku, pakaian bersih, selimut yang baru dilaundry. Kemudian ia buru-buru membereskan barang-barangnya yang berserakan di atas sofa. Lantas ia meminjamkan pakaian dan handuk bersih pada Riga. “Kau bisa menggunakan kamar mandi yang ada di luar sini,” kata Kalev seraya menunjukkan satu-satunya kamar mandi yang ada di lantai dua.

“Terima kasiiih! Kau benar-benar teman yang baik!” Riga menerima pakaian bersih dan handuk itu dengan penuh terima kasih. Ia pun melesat menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Rasanya menyenangkan bisa mandi air hangat setelah hari yang panjang. Pakaian yang dipinjamkan Kalev ternyata kebesaran. Kaos itu jadi terlihat oversize di tubuhnya. Yeah, faktanya anak itu jauh lebih tinggi darinya.

Ketika ia masuk ke dalam kamar Kalev, Kalev sudah meringkuk di bawah selimutnya. Riga melihat bantal dan selimut lain di atas sofa panjang. Baginya, itu sudah lebih dari cukup. Riga pikir ia akan langsung jatuh terlelap begitu menyentuh bantal, tapi ternyata matanya tetap terbuka  nyalang.

Kamar Kalev sangat senyap. Hanya terdengar suara hujan deras dari luar sana. Ia melirik jam digital yang ada di meja belajar Kalev. Pukul 12 malam. Kalev sepertinya benar-benar tertidur. Wajahnya tak terlihat karena tertutupi selimut. Hanya beberapa helai rambutnya yang menyembul keluar dari balik selimut.

Riga menghela napas panjang. Ia tidak yakin bisa tidur malam itu.

“Riga?” ucap Kalev tanpa berbalik badan. “Kau udah tidur?”

“Belum,” jawab Riga yang sedang telentang di atas sofa sambil memandang langit-langit kamar.

“Aku ketiduran,” ucap Kalev dengan suara parau.

Riga mengendus tertawa. “Anggap saja aku enggak ada. Tidur lagi sana.”

Hening. Riga pikir Kalev sudah memejamkan matanya lagi. Tapi kemudian terdengar pertanyaan, “Kau oke?”

“Sekarang lebih baik,” jawab Riga lirih.

“Kau yakin?” tanya Kalev lagi tanpa berbalik badan.

“Entahlah, motorku disita. Aku enggak tahu apakah aku marah atau sedih sekarang.”

“Motormu udah kayak pacar kan.”

“Iya,” balas Riga muram. Ia sangat merindukan motornya.

“Kenapa bisa disita?” tanya Kalev pelan.

“Ayahku mabuk dan dia menangkap basah aku yang pulang malam. Hahaha,” ucap Riga sambil tertawa getir. “Lev, apa kau pernah sudah berusaha sekuat tenaga tapi berakhir sia-sia?”

Kalev terdiam selama beberapa saat. Jika ia punya kemauan, ia akan melakukan apapun untuk mewujudkannya—tak peduli bagaimanapun caranya. Ia selalu berkemauan keras dan semua yang ia mau harus terwujud. Tapi ada satu hal yang mengusik pikirannya. Ia selalu berusaha keras menjadi teman yang baik tapi selalu berakhir terabaikan dan terlupakan. Ia tak yakin apakah analoginya tepat karena hanya pertemanan yang selalu berakhir sia-sia. Bahkan saat ini, ia tidak yakin apakah pertemanannya dengan Riga akan bertahan lama.

Namun, saat ini Kalev tidak ingin Riga terluka.

Ia baru akan menjawab pertanyaan Riga ketika terdengar suara isakan pelan. 

Kalev terperanjat dan beranjak bangun perlahan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan jika ada seseorang menangis di kamarnya.

“Argh air mata sialan,” umpat Riga pelan.

Kalev mengambil kotak tissue yang tertimbun di antara buku pelajaran lalu menyodorkan tissue tersebut pada Riga. “Kau boleh menangis sepuasnya.”

Riga tertawa dengan air mata seraya mendudukan diri di atas sofa. Ia merasa payah dan ia tak mau Kalev menganggap dirinya cengeng. Tapi air matanya tak bisa berhenti mengalir. Ia meraih tasnya untuk mengambil—

“Jangan merokok di kamarku,” kata Kalev.. Ia hapal tindak-tanduk Riga yang biasanya akan mengambil bungkus rokoknya tiap kali ia mulai tertekan atau memikirkan sesuatu.

“Ah ya. Bukan, enggak kok.” Riga mengangkat tangan—salah tingkah. Yeah, ia hampir saja lupa kalau Kalev tidak mau ada bau rokok di kamarnya.

Mereka duduk diam selama beberapa saat. Riga di atas sofa, sementara Kalev duduk memeluk lutut di atas lantai. Mereka memandang ke jendela kamar Kalev yang terbuka. Hujan masih turun dengan deras. Cahaya lampu jalanan menyelinap masuk melalui jendela.

“Aku tahu rasanya saat ada seseorang yang seharusnya menyayangimu justru yang menorehkan luka paling dalam pada dirimu,” ucap Kalev. Ia baru tahu ternyata seorang penyelidik kasus pembunuhan memperlakukan putranya seperti ini. Apa yang akan dilakukan pria itu kalau tahu Riga berteman dengan seorang pembunuh?

“Kau benar,” ucap Riga sambil menghela napas.

Tiba-tiba Kalev beranjak berdiri dan mengambil sesuatu dari rak bukunya yang isinya bukan hanya buku. Ia menyimpan beberapa minuman kaleng dan makanan ringan di salah satu kotak. Ia mengambil dua kaleng soda dan menyodorkan salah satunya pada Riga. Kemudian ia teringat PlayStation 5 kado natal tahun lalu. “Mau main game?”

Sudah cukup lama semenjak Kalev menyalakan PlayStation 5 miliknya. Ia menyalakan TV dan game konsolnya yang tersembunyi di antara barang-barangnya yang berantakan di rak. Lalu ia mengambil dua joystick dan memberikan salah satunya pada Riga yang memegang joystick itu dengan canggung.

"Sejujurnya aku enggak pernah main game PS," kata Riga.

"Hah?!" Kalev tak percaya.

“Orang tuaku melarangku main PS,” jawab Riga sambil mengangkat bahu.

“Main game di luar rumah gitu? Atau di rumah teman diam-diam?” tanya Kalev lagi.

“Enggak pernah tertarik.”

“Jadi kau lebih memilih mengerjakan seribu soal matematika daripada main game?”

“Aku main game juga kok! Game catur sama sudoku,” kata Riga defensif.

Kalev menatap Riga dengan sorot mata yang artinya yang-bener-aja. Lantas ia memilih game dan mencari game yang ia pikir mudah dimainkan oleh siapapun. "Baiklah, kita main game Mario Kart yang paling gampang."

Riga berulang kali kalah dan Kalev berkali-kali mengingatkan Riga agar tidak mengumpat terlalu keras saat kalah. Kedua anak itu tak bermain lama karena salah satunya tertidur lebih dulu di atas sofa. Kalev terheran melihat musuhnya di game tidak bergerak. Saat ia menoleh ke sampingnya, Riga sudah merebahkan diri di sofa panjang yang ada di kamarnya. Kalev pun mematikan TV dan game konsolnya. Saat ia yakin tak mendengar suara apapun lagi, ia pun memejamkan matanya. Selama beberapa saat, mereka merasa tak punya beban dan melupakan masalah yang selalu menghantui mereka.


To Be Continued

p.s. Please kindly leave comment if you have read this, I will really appreciate any critique or thoughts from you. Thank you so much for reading. 


Original Story

Chapter 3 — Deranged

November 27, 2024


The Casket of Unforgiven Pieces
Chapter 3

────────────

Deranged

𝘋𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘦𝘥: 𝘶𝘯𝘢𝘣𝘭𝘦 𝘵𝘰 𝘣𝘦𝘩𝘢𝘷𝘦 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘪𝘯𝘬 𝘯𝘰𝘳𝘮𝘢𝘭𝘭𝘺

────────────

Langit masih berwarna biru gelap dan matahari belum terbit, tapi ia sudah pergi keluar rumah. Berhubung  liburan semester ganjil sudah dimulai, ia bisa mencoba jogging di tempat lain karena biasanya track larinya hanya di sekitar kompleks perumahan.

Ia menemukan tempat baru untuk lari yang terletak di area universitas. Riga yang memberitahunya tempat ini karena kakak perempuannya kuliah di universitas tersebut. Jarak universitas dari rumahnya tidak terlalu. Area terbuka tersebut dikelilingi pepohonan yang rindang. Belum banyak orang yang mengunjungi area terbuka itu di pagi hari dan itu membuat Kalev lebih tenang. Ia cenderung menghindari keramaian ataupun bertemu orang-orang.

Ia mulai berlari mengitari area terbuka. Awalnya ia mencoba berlari karena itu satu-satunya olahraga yang tak mengharuskannya berinteraksi dengan orang lain dan mudah dilakukan. Namun ternyata berlari dapat membuatnya berhenti berpikir sejenak karena kepalanya terlalu sibuk menyuruhnya mengambil napas. Ia hanya mau mendiamkan isi kepalanya yang seringkali bising. Saat berlari, ia hanya perlu mendengarkan suara angin dan fokus pada langkah kakinya. Biasanya ia baru berhenti ketika kunang-kunang membanjiri pandangannya dan napasnya hampir habis.

Setelah berlari selama satu jam penuh, suasana area terbuka itu mulai ramai oleh mahasiswa. Ia melambatkan langkahnya dan mengatur napasnya seraya mencari tempat untuk beristirahat. Ada beberapa gazebo kosong yang berada di sekeliling tempat itu.

“Hey, anjing.”

Kalev tidak menoleh dan pura-pura tidak mendengar meskipun ia mengenal intonasi suara itu. Ia menghela napas. Hanya ada satu orang yang memanggilnya anjing. Kenapa dia ada di tempat beradab ini? ucapnya dalam hati.

“Kalev, udah lupa posisimu sebagai anjing?”

Kalev berbalik badan karena seorang mahasiswa yang baru saja berjalan melewatinya tampak menoleh penasaran. Baiklah. Kita ladeni manusia sampah ini. Ia menatap Bari yang berdiri beberapa meter di belakangnya. Pemandangan yang aneh melihat Bari berdiri sendirian tanpa kroni-kroninya.

Berandal itu berdiri dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Ia memakai topi, kaos berwarna hitam, dan celana training. Wajahnya yang menyebalkan tampak menyeringai pada Kalev. “Siapa sangka bisa bertemu denganmu di sini?”

“Justru aku yang heran bisa melihatmu di tempat beradab ini.

“Bukan cuma kau yang bisa berlari di sini.”

To the point. Mau apa kau bicara denganku?”

“Ckckck, udah berani menyalak sekarang?”

Kalev menatap Bari dengan sorot mata tak tertarik. Walau begitu, ia masih menjaga jarak aman dari Bari. Ia tidak bisa menebak apa yang akan dilakukannya di tempat itu. “Mau apa?”

“Aku hanya mau memberi peringatan. Jangan pikir kau selamat gara-gara Riga. Keluargamu masih belum aman.”

“Maksudmu?” Kalev mengatupkan rahangnya.

“Bukan aku yang akan melakukannya, jadi aku enggak tau detailnya. Tapi mereka akan mulai membalas dendam pada keluargamu.”

“Masalah uang satu miliar rupiah?” kata Kalev dengan nada suara malas. Ia memastikan tidak ada orang-orang di sekitarnya. “Bukan keluargaku yang melakukannya. Orang itu bukan keluargaku lagi.”

Bari mengangkat tangan. “Bukan urusanku.”

Kalev menghembuskan napas panjang. Matanya melihat sebuah objek yang dikenalinya di tempat parkir. “Aku heran kenapa kau begitu terlibat dalam urusan ini. Kau cuma anak-anak. Kau cuma dimanfaatkan dan dijadikan alat yang habis itu akan dibuang. Kau ini manusia sampah.”

Tiba-tiba Bari menarik kerah baju Kalev. Sontak beberapa pengunjung yang ada di sekitar area itu langsung menoleh ke arah mereka. Kalev memejamkan mata—bersiap menghadapi bogem mentah. Tapi ternyata tidak ada. Bari melepaskan tangan dari kerah bajunya.

“Kau tidak tahu apa-apa, anjing,” desis Bari penuh penekanan.

**

Selama liburan, Kalev lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Sementara Mama bekerja di kantor dan bepergian ke luar kota, cowok itu lebih banyak berdiam diri di rumah dengan membaca buku. Ia cukup menikmati buku bergenre misteri dan horor seperti novel dari penulis John Grisham dan Keigo Higashino. Ia juga membantu Mama melakukan pekerjaan rumah karena mereka tidak memiliki Asisten Rumah Tangga. Mama masih takut akan ada orang yang membocorkan alamat mereka ke orang yang salah. Ia cukup ahli membersihkan rumah, memasak menu makan siang sederhana, dan ia bisa merapikan rumah (kecuali kamarnya).

Liburan akhir semester bertepatan dengan natal dan tahun baru. Ia merayakan natal bersama Mama dengan hanya pergi ke gereja. Setiap menjelang akhir tahun, Mama selalu banyak termenung sendirian karena tanggal 30 Desember adalah hari peringatan kematian putra bungsunya. Rumah menjadi sangat hening dan nuansa perayaan natal mereka pun terasa hampa. Lagi-lagi tahun ini Mama tak merayakan natal di rumah keluarga besar yang ada di Jakarta.

Kalev memberikan Mama waktu untuk menyendiri. Ia tidak menanyakan alasan kenapa mereka tak berkumpul dengan keluarga besar karena sepertinya ia tahu jawabannya. Saat Mama sedang termenung sendirian, Mama seringkali hanya mengurung diri di kamar dan keluar kamar hanya ketika waktu makan. Di saat seperti itu, Kalev mengambil tanggung jawab atas semua pekerjaan rumah. Ia menolak ajakan Riga untuk merayakan malam tahun baru di luar. Ia terbiasa menghabiskan waktunya sendirian di rumah saat malam tahun baru dan melihat kembang api dari jendela kamarnya.

Namun, tepat di hari terakhir liburannya, tiba-tiba Mama pingsan saat sedang memasak makan malam di dapur. Kalev yang mendengar suara seperti seseorang jatuh langsung bergegas ke dapur. Malam itu baru hari kedua di tahun yang baru dan langit bergemuruh oleh hujan badai.

Spontan Kalev mematikan kompor lalu mengecek denyut nadi ibunya. Denyut nadi mama terasa berdenyut tapi entah kenapa tangan Mama sangat dingin.  Kalev mencoba memanggil Mamanya, tapi tidak ada respons. “Ma?”

Ia mencoba meluruskan tubuh Mama dan meninggikan posisi kaki Mama supaya melancarkan aliran darah. Ia tahu bagaimana pertolongan pertama pada orang pingsan Kalev berusaha keras untuk tidak panik, tapi setelah 20 menit, Mama masih belum sadarkan diri. Pelan-pelan, ia menggendong Mama ke sofa ruang tengah dan tetap memposisikan kaki Mama supaya lebih tinggi. Wajah Mama tampak sangat pucat seolah tidak ada darah mengalir di wajahnya.

Kalev langsung menelepon nomor emergency rumah sakit karena mobil Mama saat itu sedang diservice dan beberapa saat kemudian sebuah mobil ambulans datang menjemput Mama. Untungnya ambulans itu tetap cepat merespons panggilannya meskipun di luar hujan deras. Ia bergegas mengambil beberapa pakaian ganti untuk Mama dan memasukkannya ke dalam tas, memastikan lagi kalau kompor sudah mati, mencabut kabel blender dan rice cooker, lalu mengambil tasnya sendiri sebelum masuk ke dalam ambulans.

Para perawat langsung mengecek kondisi Mama. Kalev memperhatikan perawat itu bekerja di dalam mobil ambulans. Ia menjawab pertanyaan dari perawat itu dengan tenang. Kalev menjaga agar suaranya tidak panik dan mengatur napasnya. Ia tampak sangat tenang dari luar, namun sebenarnya ia luar biasa khawatir. Ia takut Mama terkena penyakit kronis…

Begitu sampai di rumah sakit, Kalev membiarkan Dokter IGD memeriksa Mama serta menjawab beberapa pertanyaan sederhana dari dokter soal kronologi kenapa ibunya bisa pingsan dan bagaimana ia melakukan pertolongan pertama. Kemudi, ia diminta untuk menunggu sebentar.

Ia menunggu pemeriksaan dokter dengan gelisah dan memutuskan untuk keluar area IGD sebentar untuk menarik napas. Ia menghirup dalam-dalam udara malam yang dingin akibat hujan deras. Entah sejak kapan, tangannya gemetar. Ia duduk di kursi tunggu yang ada di luar selama beberapa saat sampai napasnya jauh lebih stabil dan tangannya berhenti gemetar. Ia tersentak ketika seorang perawat menyentuh bahunya untuk menyampaikan kalau ibunya sudah kembali sadarkan diri. Walau sudah sadarkan diri, Mama tetap harus dirawat inap.

Ia pun masuk kembali ke IGD dan menghampiri dokter yang baru saja memeriksa Mama. “Benar kamu Putranya Ibu Riana Sanjaya?” tanya dokter tersebut memastikan.

Kalev mengangguk.

"Ibumu pingsan bukan karena terkena anemia berat. Nanti Ibumu akan mendapat transfusi darah dan setelah itu harus dirawat inap sampai kondisinya membaik. Kamu tahu informasi golongan darahnya?”

“Golongan darahnya A+,” jawab Kalev.

“Baik, berikutnya kamu bisa mengurus administrasi untuk rawat inap. Setelah itu, Ibumu akan dibawa ke ruangan rawat inap untuk bedrest. Besok pagi, dokter spesialis akan memeriksa kondisi Ibumu."

Kalev mengangguk dan berterima kasih pada dokter tersebut. Ia menghela napas panjang. Setelah mengurus administrasi rawat inap, ia menuju ruang rawat inap Mama yang berada di lantai lima rumah sakit. Ketika ia masuk ke ruangan rawat inap VIP itu, Mama sedang tertidur. Wajah Mama tidak sepucat tadi setelah mendapatkan transfusi darah.

Kalev menghempaskan tubuhnya di sofa sempit yang ada di ruangan itu. Tiba-tiba ia merasa sangat lelah. Ia sangat ingin tidur tapi otaknya tak membiarkannya beristirahat. Di luar hujan sudah berhenti membuat suasana menjadi sangat sunyi. Ia pun mengambil ponselnya dari saku jaket yang ia kenakan. Ia melihat ada notification dari satu-satunya temannya saat itu. 

Riga

Posisi di mana?
Ada di rumah?


Kalev
Aku di luar
Whyyy?

Tadinya mau kuajak keluar
Luar mana?
Rumah sakit

Siapa yang sakit?

Mama

Di rsud ulin bukan?
Yeahh


Satu jam kemudian, Riga meneleponnya dan menyuruhnya untuk turun ke lobi rumah sakit. Kalev tidak pernah bisa menebak apa yang akan dilakukan Riga selanjutnya. Kelakuan Riga sering tidak bisa ditebak. Ketika ia menemui Riga di lobi rumah sakit, Riga langsung menyodorkan sebungkus plastik berisi kotak bekal dan sekeranjang buah-buahan.

“Apa ini?” Kalev tidak langsung menerimanya.

“Kebetulan, Kakakku masak nasi goreng berlebihan dan buah-buahan yang satu ini buat Ibumu,” kata Riga tanpa menatap Kalev. Ia tampak sedikit kikuk—suatu hal yang jarang ditunjukkan Riga. “Jangan menolak! Ambil enggak?” ucapnya dengan sedikit memaksa.

Kalev tertawa. “Kakakmu baik sekali. Thanks buat kakakmu,” kata Kalev seraya menerima dua bungkusan itu. Kotak bekal itu bahkan masih terasa hangat di tangannya.

“Huffft…” Riga tampak lega ketika Kalev mau menerimanya. “Kakakku ini benar-benar ribet,” gerutunya dengan suara pelan. Begitu ia bilang kalau temannya berada di rumah sakit, Kakaknya langsung menyuruhnya untuk menjenguk temannya. Padahal Riga sudah jelaskan kalau yang sakit bukan temannya, tapi Kakaknya tetap bersikeras untuk menyuruh Riga mengantarkan makanan untuk temannya karena biasanya orang yang menjaga seringkali tidak sempat makan.

Namun sebenarnya, tanpa disuruh pun, Riga tetap akan menemui Kalev karena selama liburan itu mereka hampir tidak pernah bertemu. Ia penasaran kenapa anak itu lebih memilih mendekam di dalam rumah selama liburan dan menolak ajakannya keluar saat malam tahun baru.

“Sori jadi ngerepotin,” kata Kalev pelan. Ia sedikit merasa bersalah karena merepotkan Riga.

"BUKAN ITU MAKSUDKU!” Riga langsung membuat tanda silang dengan tangannya. “Maksudku… ah sudahlah. Kau pasti belum makan, kan?”

Kalev sama sekali tak teringat untuk makan malam. Ia tidak berselera makan karena kejadian malam ini. “Belum.” Tapi, isi kotak bekal buatan kakaknya Riga entah kenapa membuatnya lapar.

“Bagaimana kondisi Ibumu?” tanya Riga. Saat itu mereka duduk di kursi tunggu yang ada di lobi rumah sakit.

“Udah mendingan setelah transfusi darah,” jawab Kalev. “Kurasa besok Mama bisa kembali ke rumah, tapi tentunya belum bisa ke kantor.”

“Kau hanya tinggal dengan Ibu ya?” tanya Riga hati-hati.

“Iya, orang tuaku sudah berpisah,” jawab Kalev santai.

“Ooh sorry.”

“Bukan masalah lagi kok,” sahut Kalev. Ia melirik jam dinding yang ada di lobi. Sekarang baru pukul 10 malam, tapi entah kenapa rasanya seperti sudah tengah malam. Ia benar-benar capek. Besok seharusnya sudah masuk sekolah, tapi terpaksa besok ia harus izin karena harus menjaga Mama.

“Makan nasi gorengnya sekarang sebelum jadi dingin,” ucap Riga. “Aku akan menemanimu makan sambil ngerjain soal.”

“Kau takut aku akan menghilangkan tupperwarenya dan jadinya kau yang dimarahi?”

Riga tertawa. “Ibuku bakal marah kalau kotak bekal itu hilang, tapi Kakakku bakal senang kalau tahu kau menghabiskannya,” ucapnya seraya mengambil tab yang ternyata dibawanya di dalam tas selempangnya. Kemudian ia mulai mengerjakan soal matematika yang ada di layar tabnya menggunakan stylus pen. Raut wajahnya langsung berubah serius.

Kalev pun membuka kotak bekal itu. Aroma nasi goreng hangat yang penuh rempah-rempah langsung tercium semerbak. Nasi goreng buatan Kakaknya Riga itu ternyata juga lengkap dengan sayur capcay dan roll egg. Ia langsung menikmati masakan rumahan itu sambil berpikir sepertinya ia bisa meniru resep nasi goreng ini dan memasaknya sendiri di rumah. Sebenarnya ia lumayan suka memasak. Jika dibandingkan mencuci piring, ia lebih memilih memasak.

Beberapa saat kemudian, Kalev menandaskan isi kotak bekal itu. “Aku akan mengembalikan kotak ini besok ke rumahmu,” katanya pada Riga.

Riga menurunkan tabnya. Ia mengambil kotak bekal miliknya yang ada di tangan Kalev. “Biar aku bawa sekarang. Besok kau masih harus menjaga Ibumu kan?” Lalu ia memasukkan kotak itu ke dalam tas selempangnya bersamaan dengan tabnya.

“Kau ini benar-benar. Aku kan bisa mencucinya dulu,” kata Kalev.

“Udah, udah. Kau fokus menjaga Ibumu.”

Thank you,” kata Kalev dengan telinga memerah. Senyuman yang jarang terlihat itu, kini terlukis di wajahnya. Ia merasa tidak tahu bagaimana harus berterima kasih selain mengucapkan kata terima kasih. Riga sudah terlalu baik padanya dan kebaikannya yang tak terduga selalu membuat hatinya hangat.

Riga tampak berseri-seri. Ia sangat senang bisa membantu temannya itu. “Sama-sama. Aku pulang dulu. Kabari aku kalau kau kembali ke rumah!” Cowok itu beranjak berdiri lantas berjalan keluar dari lobi rumah sakit sambil melambaikan tangannya pada Kalev 

Malam itu, Kalev kembali ke ruangan rawat inap Mama sambil membawa sekeranjang buah dari Riga. Mama masih terlelap. Hanya lampu berwarna kuning temaram yang menyinari ruangan itu. Kalev mendudukan diri di atas sofa dan mencoba untuk memejamkan matanya. Namun, ia kembali membuka matanya. Ia tetap tidak bisa tertidur meskipun ia sangat lelah. Ia menatap langit-langit rumah sakit selama beberapa waktu. Lalu ia mengambil ebook readernya dan membaca sampai pagi. Tapi paginya, ia jatuh tertidur.

Ketika bangun, selimut sudah menutupi tubuhnya yang meringkuk di atas sofa. Sofa mungil itu tak mampu menampung tubuh tingginya. Ia bangun dengan tubuh terasa kaku karena tidur dengan posisi badan tertekuk di sofa yang sempit. Lalu ia mendapati lebih banyak keranjang buah di nakas samping tempat tidur Mama.

“Sudah bangun?” sapa Mama yang sedang menyantap makan siang yang disiapkan rumah sakit. Mama tampak jauh lebih segar. “Tuh, ada bubur. Tadi ada rekan kerja Mama datang bawain bubur sama buah.”

AC Rumah Sakit terasa sangat dingin sehingga ia menyampirkan selimut itu di bahunya sambil berjalan mengambil sekotak bubur ayam yang ada di nakas. “Mama kenapa enggak bangunkan aku???” keluhnya. Ia malu karena pasti rekan kerja Mama melihatnya tidur meringkuk di atas sofa.

Mama tersenyum hangat. “Kamu pasti capek. Mama mana mungkin tega membangunkanmu.” Ia memperhatikan putranya yang kembali duduk di atas sofa. Rambut hitamnya tampak awut-awutan. Ia baru menyadari Kalev tumbuh semakin tinggi selama dua tahun belakangan ini dan bahunya semakin lebar.  “Tadi malam ada yang bawain buah ya?” tanya Mama lagi.

“Temanku yang bawain,” jawab Kalev sambil menyuap bubur.

“Oh ya? Syukurlah kamu sudah punya teman di sini.” Wajah Mama langsung terlihat sumringah. Beberapa bulan terakhir, ia sempat khawatir anaknya tidak bisa membaur di sekolah barunya. Sebenarnya sejak di Denpasar, ia sudah mengetahui kalau Kalev berbohong waktu anak itu bilang dia punya teman di sekolah. Tapi kali ini, Kalev terlihat jujur.

“Lain kali biar aku yang memasak makan malam,” kata Kalev tiba-tiba—teringat kejadian semalam.

“Mama kan sekali-sekali juga mau masak buat anaknya,” balas Mama. Ia merasa bersalah karena selama liburan, putranya yang lebih banyak melakukan pekerjaan rumah mulai dari memasak sampai membersihkan rumah, hanya karena ia selalu dilanda perasaan duka setiap akhir tahun. Kalev melakukan semuanya sendirian tanpa mengeluh dan tak pernah sekalipun menganggap pekerjaan rumah sebagai pekerjaan perempuan, seperti kebanyakan pikiran laki-laki lain. Tanpa disadarinya, Kalev tumbuh dewasa terlalu cepat.

“Atau Mama sebenarnya enggak suka masakanku?” kata Kalev sambil tersenyum bercanda.

Mama tertawa. “Siapa bilang? Masakanmu selalu yang paling enak di rumah.” Bahkan anak itu sampai rela belajar memasak.

Kalev balas tertawa. Hatinya terasa ringan saat Mama mulai kembali tersenyum. Ia sempat khawatir Mama akan selamanya berduka karena kepergian Maven. Hatinya semakin riang ketika Mama bilang menyukai masakannya. Yeah, ternyata tidak sia-sia ia sering berlatih memasak sendirian sambil mengikuti tutorial di youtube kalau Mama pergi keluar kota.

Tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal di hati Mama. Sesuatu yang terus-menerus menghantuinya. Kali ini, ia harus berterus terang pada putranya. “Kalev, sebenarnya Mama sudah mencoba menelepon Ayahmu, tapi nomor Ayahmu tidak bisa dihubungi lagi.”

Kalev tertegun. “Buat apa telepon, Ma?”

“Sepertinya… tamu tak diundang yang datang malam itu mencoba menemui Mama di ruangan Mama berkali-kali. Dia mengaku sendiri kalau dia yang datang ke rumah kita yang pertama kita datangi malam itu. Seminggu yang lalu, Mama bertemu langsung dengannya dan mendengar pengakuannya. Tamu itu bilang, kalau kita harus ganti rugi atas penipuan yang dilakukan Papa.”

Raut wajah Kalev berubah serius.

Mama menghela napas panjang. “Mama memang memiliki aset yang nilainya lebih dari itu, tapi itu semua untuk kehidupan kita. Mama tak mungkin mengeluarkan uang itu begitu saja untuk hal sia-sia.”

Kalev mendengarkan cerita Mamanya yang terdengar gawat. Bagaimana mungkin Mama menahan tidak memberitahunya soal ini?

“Kalau Mama tidak membayarnya sampai akhir bulan ini, mereka mengancam akan merusak karier Mama.”

“Apa?” Merusak karier Mama berarti merusak kehidupan Mama dan akan mengancam kehidupan mereka berdua ke depannya. Ini situasi yang serius.

“Dia juga mengatakan… kalau Papa terlibat penjualan narkoba dan jika namanya dilaporkan, tamu tak diundang itu mengancam akan mencemarkan nama baik Mama,” Suara Mama melemah. Wajahnya kembali pucat pasi.

“Ma???” Kalev refleks berdiri dan membantu Mama mengambilkan air minum. Lantas ia membantu Mama membereskan sisa makan siangnya. “Jangan pikirkan Papa. Semua perbuatan Papa sekarang tidak ada hubungannya dengan Mama sekarang.”

Tiba-tiba tangis Mama pecah. “Tapi bagaimana kalau orang itu sampai mencelakaimu juga? Orang itu bilang tak akan segan-segan—” Mama tak sanggup melanjutkan ucapannya. Saat itu, Mama terlihat sangat rapuh. Padahal selama ini, ia selalu berusaha terlihat kuat dan tegar di depan putranya. Ia selalu menunjukkan kalau ia tetap bisa menjadi Ibu yang baik untuk Kalev meskipun membesarkan Kalev sendirian.

Kalev menggeleng. “Enggak akan pernah yang ada menggangguku.” Bohong. “Bisa sebutkan nama siapa tamu yang mendatangi Mama waktu itu, Ma?”

Mama mencoba mengingat-ingat, tapi Mama tidak yakin apakah tamu tak diundang itu menyebutkan namanya. “Mama lupa siapa namanya.”

Kalev tampak kecewa berat karena gagal mendapatkan clue nama yang bisa diincarnya.. “Yang benar, Ma?” Baiklah, dia akan cari tahu sendiri.

Dengan suara sengau, Mama berkata, “Tenang… Mama sudah melaporkan soal ini ke polisi dan sejak ada tamu itu, keamanan di kantor Mama diperketat. Mama sudah bilang ke security kantor supaya jangan menerima tamu dari perusahaan ekspor-impor PT Exchange.  Jadi, jangan khawatirkan keamanan Mama, oke?”

Mata Kalev melebar penasaran. “Dia menyebutkan mama perusahaannya?”

“Ya.. orang itu hanya menyebut sekali nama perusahaannya. Namanya PT Exchange. Mama sendiri enggak pernah mendengar nama itu sebelumnya.”

Akhirnya Kalev mendapatkan sebuah clue. Ia mengingat pernah melihat logo PT Ex yang sudah kabur tulisannya di mobil Granmax putih yang dilihatnya dua minggu yang lalu saat Bari menghampirinya di area terbuka universitas. Waktu itu, tak jauh dari tempatnya memarkir motor, ia melihat mobil Granmax putih dengan baret yang sama dan sebuah stiker pudar di jendela sisi kanan.

“Kalev?” Mama memanggil nama putranya.

Kalev mengerjapkan mata. Ia sampai tak mendengar suara Mama karena otaknya berpikir keras. Ia menatap mata Mama yang sangat mirip dengan matanya. Sorot mata Mama tampak sendu.

“Mama meminta maaf… karena tidak bisa menjagamu dengan baik.”

“Ini semua bukan salah Mama,” ucap Kalev lembut.

**

Minggu pertama semester genap

6 Januari 2023

“Kau kenal Bari sejak SD?” tanya Kalev pada suatu siang saat mereka berada di bagian atap sekolah yang tertutup kanopi. Mereka duduk berteduh di bawah kanopi dari sinar matahari yang terik. Meskipun matahari bersinar terik, awan besar menggantung di atas langit sana dan angin berembus sepoi-sepoi. 

Riga menghisap rokoknya dan menghembuskannya. “Kenapa? Dia mengganggumu lagi?” balas Riga sambil menoleh pada Kalev.

Sebenarnya Kalev kurang nyaman saat Riga merokok di sampingnya karena bau rokok akan menempel di bajunya sampai pulang sekolah nanti. Mama pernah tak sengaja mencium bau rokok dari seragamnya dan setelah itu Mama menuduhnya merokok serta memberinya kuliah singkat soal bahaya merokok.

Tapi kali itu sepertinya Kalev juga butuh efek nikotin untuk menenangkan pikirannya yang sedang kacau. Ia kurang tidur karena otaknya tak membiarkannya beristirahat setiap malam semenjak kembali dari rumah sakit. Otaknya terus-menerus berpikir keras bagaimana caranya mengungkap siapa nama tak diundang itu dan bagaimana cara menyingkirkannya dari kehidupannya.

“Enggak. Aku cuma penasaran, bagaimana lingkungan sekelilingnya,” ucap Kalev sambil berdiri pada pinggiran atap sekolah yang pendek. Mungkin jatuh dari sini akan membuat semua ini berakhir, bisik pikiran intrusifnya.

“Lev, kau bisa jatuh,” kata Riga yang duduk tak jauh darinya. Sorot matanya tampak khawatir.

Kalev berjalan di atas pinggiran itu tanpa rasa takut sedikitpun. Ia tidak gentar pada ketinggian. Tapi, melihat mata Riga yang terus memelototinya seolah ia akan loncat dari atas gedung membuatnya turun dari pinggiran atap dan duduk di sampingnya. “Aku mau coba itu,” kata Kalev sambil menunjuk batang rokok yang terselip di bibir Riga.

Riga tertawa. “Kau serius?” Ia mengambil batang rokoknya dari mulutnya dan menyerahkannya pada Kalev.

Kepala Kalev langsung menghindar mundur. “Bukan dari mulutmu, bodoh!”

Tawa Riga terdengar renyah. Ia pun mengambil bungkus rokoknya dari saku baju dan mengambilkan satu untuk Kalev. Kalev langsung menerimanya dan menyelipkannya di bibir. “Korek api?”

“Habis.” Riga menyulut korek apinya beberapa kali tapi tidak ada api yang muncul.

“Yang benar aja…”

“Kau bisa menyulutnya dengan rokokku.”

Spontan Kalev mengambil rokoknya dari bibir dan menyerahkannya pada Riga. Riga mengambil rokok itu dan menyundut ujungnya dengan bara api di rokoknya. Ia memberikan rokok yang sudah menyala itu pada Kalev. Kemudian, cowok berambut hijau itu menonton Kalev menghisap rokok pertamanya. Ia pikir Kalev akan terbatuk-batuk, namun anak itu kelihatan sangat mahir menghisap dan mengembuskan asap dari mulutnya.

“Ada yang lagi kau pikirkan?”

“Enggak ada," jawab Kalev. Raut wajahnya tanpa ekspresi. Manik matanya yang berwarna hitam tampak menyembunyikan sesuatu. Namun, Riga tak pernah bisa membaca apa yang ada di balik pikiran Kalev. Terkadang Kalev tampak sangat misterius dan dingin, tapi kadang anak itu bisa terlihat seperti buku yang terbuka dan polos.

"Terus kenapa merokok?"

"Mau tau efek nikotin."

Saat itu jam 2 siang dan seharusnya mereka berada di kelas, tapi kebetulan kedua kelas mereka jam kosong. Guru mereka hanya meninggalkan seabrek tugas yang harus dikumpulkan nanti sore dan niat awalnya, mereka ingin mengerjakan tugas itu di bawah kanopi atap sekolah sambil menikmati angin tapi berujung mereka hanya duduk merokok sambil menatap langit yang penuh awan cumulonimbus.

Menit demi menit berlalu. Mereka memutuskan untuk mengerjakan tugas dari guru masing-masing karena mereka sudah bawa buku tulis sampai ke atas. Mereka perlu membunuh waktu sampai bel pulang sekolah berbunyi. Setelah tugas mereka selesai, mereka kembali ke kelas.

Begitu bel pulang berdering, Kalev langsung pergi ke parkiran sekolah. Ia berencana akan mengikuti kemana Bari pergi. Ia menunggu Bari datang.

Plat motor Kalev sudah berganti menjadi DA sehingga motornya tidak lagi mencolok dengan plat DK. Ia berdiri di balik bayangan, memperhatikan Bari yang baru saja keluar bersama gerombolannya. Ia sempat mendengar sekilas informasi saat Kalev menyelinap ke pintu rahasia belakang sekolah pada hari sebelumnya kalau hari ini Bari harus ke gudang. Ia menunggu hingga Bari mengendarai motornya keluar dalam diam.

Saat itu, parkiran motor sangat ramai. Bari tak mungkin menyadari dirinya sedang memperhatikannya.

Setelah Bari melesat keluar parkiran, Kalev menyalakan motornya dan menyusul tak jauh di belakangnya. Kalev menjaga jarak agar Bari tidak melihatnya. Ia tidak tahu kemana Bari akan pergi tapi arah ini menuju ke jalan lingkar luar kota. Ia pernah melewati jalan itu sekali. Di wilayah itu banyak truk lewat karena arahnya yang menuju pelabuhan sungai. Di sekeliling wilayah itu juga banyak gudang-gudang yang menjadi tempat penyimpanan barang.

Buat apa Bari pergi ke daerah ini sendirian? Saat itu, Bari tidak lagi bersama gerombolannya. Ia mengamati motor Bari yang memasuki ke sebuah gudang dan ia tidak langsung berbelok ke arah yang sama dengan Bari. Ia menunggu dengan sabar hingga langit mulai gelap. Gudang itu tidak dijaga oleh security.

Ketika ada truk melaju keluar dari gudang, Kalev memarkirkannya di luar area gudang dan berjalan masuk ke area gudang. Gudang itu sangat sepi. Berhubung gudang itu berada di tengah lahan kosong, ia hanya mendengar suara jangkrik sahut-menyahut. Ia mencari sumber suara manusia dan mengikuti arah cahaya lampu karena halaman di depan gudang tidak memiliki penerangan apapun.

Ia berjalan mengendap-endap tanpa suara. Kemudian, ia menemukan sebuah tangga  lurus tunggal menuju jendela yang mengarah ke bagian dalam gudang. Tangga itu berkarat. Ia harus melihat ke dalam gudang karena ada suara orang-orang dari dalam situ. Lantas ia memanjat tanpa suara dan bergantung tepat di bagian depan jendela kecil.

Matanya menyipit melihat tumpukan karung barang dan kontainer. Ia tidak bisa menebak apa isi karung-karung tersebut? Apakah bahan makanan? Apakah bahan manufaktur? Lalu ia melihat beberapa orang—salah satunya ada tamu tak diundang malam itu. Meskipun jarak mereka jauh dari jendela, Kalev bisa melihat jelas perawakan tubuh dan dua wajah lainnya yang pernah mendatangi rumahnya di malam hari.

Tidak salah lagi.

Kumpulan orang itu sedang melingkari sebuah meja bundar—bermain kartu remi dengan taruhan setumpuk uang di tengahnya. Ia terus mengamati hingga salah satu dari mereka kalah dan tidak terima dengan kekalahannya. Ia juga melihat Bari bermain bersama mereka. Bari tampak mudah sekali membaur dengan orang-orang dewasa di sekelilingnya. Suara obrolan mereka tidak terdengar karena jarak mereka terlalu jauh dari jendela atas. 

Tangan Kalev mulai kebas karena terus berpegangan erat pada tangga besi yang mulai rapuh itu. Namun ia tetap bergeming di posisinya. Ia menunduk ketika salah seorang menatap ke arah jendela. Jantungnya berdetak keras hingga ia bisa mendengar detaknya di telinga. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Setelah merasa aman, ia mengangkat kepalanya lagi untuk mengintip. Kali ini ada seorang pria berusia 40 tahunan dengan jas rapih muncul di antara mereka.

Ia mengingat setiap detail mereka.

**

Hari-hari berikutnya, Kalev sering pergi ke area gudang meskipun Bari tidak pergi ke sana. Ia mencari tempat tersembunyi yang lebih dekat dengan kumpulan orang mencurigakan itu. Ia semakin mahir menyelinap dan bersembunyi. Semakin banyak juga informasi yang didapatkannya. Ia mulai hapal celah-celah untuk menyelinap. Untungnya, tidak ada kamera pengintai di luar maupun dalam area gudang.

Ia menyelinap dengan waktu acak agar tidak bisa terdeteksi. Seringkali orang yang ia temui berbeda dari waktu ke waktu. Namun, malam itu Kalev mulai mendengar sesuatu. Malam itu keempat kalinya Kalev datang untuk mengorek informasi, ia mendengar nama Winata disebut—nama Papanya.

“Winata tak mungkin bisa mengembalikan uang sebanyak satu miliar."

"Tapi penghasilannya dari penggelapan uang dan narkotika harusnya bisa."

"Kalau membunuh mantan istri dan anak kandungnya di sini? Apakah cukup bisa membuatnya mau membayar?"

"Aku tahu anaknya. Anak itu lemah tapi tangguh. Sulit membunuhnya kecuali mengancamnya dengan Ibunya."“

"Dua orang itu paling tidak punya sepersepuluh dari satu miliar."

“Aku sudah datang ke kantor mantan istri Winata. Kita lihat saja akhir bulan nanti.”

Kemudian obrolan itu berlanjut ke hal lain soal transaksi ilegal dan penggelapan uang. Orang-orang itu terdengar mabuk karena Kalev bisa mencium bau alkohol yang tajam dari tempatnya bersembunyi. Kalev menahan bau memuakkan itu dan terus mendengarkan.

Malam itu, untuk pertama kalinya ia pulang tengah malam karena menunggu sampai orang-orang itu pergi. Ia menyesal bersembunyi di tempat yang terlalu dekat dengan mereka karena membuatnya sulit untuk menyelinap pergi tanpa ketahuan.

Sesampainya di rumah, waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Ia membawa kunci rumah cadangan. Sebelumnya ia memang sudah bilang akan pulang ‘telat’ karena ada tugas kelompok, tapi ia tidak bilang kalau akan sampai melewati tengah malam. Untungnya Mama sudah terlelap di kamar tidurnya sehingga ia tidak perlu diinterogasi Mama.

Begitu masuk ke dalam kamar, ia langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Seluruh tubuhnya luar biasa pegal karena berdiam dalam posisi yang sama selama berjam-jam. Namun, ia tidak bisa tidur. Pikirannya berkelebat. Apa yang akan dilakukan komplotan orang itu?

Beberapa hari berikutnya, Kalev tampak lebih pendiam daripada biasanya. Ia menanggapi obrolan Riga dengan jawaban lebih singkat. Ia setengah mendengarkan ketika Riga berceloteh panjang lebar. Ia setengah memperhatikan ucapan Riga ketika mereka bersama saat makan siang atau saat Riga mampir ke rumahnya sepulang sekolah. Suara Riga timbul-tenggelam di kepalanya yang bising. Riga menyadari perubahan sikap Kalev, namun Riga hanya menduga Kalev punya masalah yang tidak bisa diungkapkannya. Terkadang ada beberapa masalah yang memang lebih baik disimpan sendiri, bukan?

Namun, malam itu Kalev datang ke lapangan basket yang berada di pinggir sungai. Ia datang sesuai dengan jadwal yang pernah disampaikan Riga. Cowok berambut hijau itu langsung menyambut Kalev.

Malam itu, Kalev datang dengan memakai celana training, t-shirt putih dan jaket varsity. Tidak biasanya Kalev melangkah ke lapangan, biasanya ia hanya, akan duduk-duduk di pinggir lapangan.

“Ada apa nih?” tanya Riga pada Kalev saat timnya sedang break. Ia mengambil botol air minum dari tasnya dan menenggaknya.

“Ketularan kau,” jawab Kalev.

“Serius?!” seru Riga dengan mata berbinar-binar.

“Yeah, tapi jangan ketawa kalau dribbleku payah,” kata Kalev sambil menyentuh tengkuknya dengan canggung.

Awalnya Riga sempat berpikir Kalev  enggan berteman dengannya lagi karena akhir-akhir ini Kalev tidak menanggapi ceritanya dengan atensi seperti sebelumnya. Biasanya Kalev menjadi pendengar yang attentive, tapi belakangan, ia bahkan seperti tidak mendengarkan setengah dari jalan cerita Riga. 

Itu sebabnya, Riga terlihat gembira waktu Kalev datang untuk coba bermain basket.

“Nih tangkap!” Riga melemparkan bola basket padanya.

Kalev menangkapnya. Ia mencoba mendrible bola itu dan memasukkannya ke ring basket dan masuk. Ia memang tahu sedikit basic bermain basket berkat pelajaran penjasorkes di sekolah. Berikutnya, ia ikut bermain di tim yang sama dengan Riga. Mereka bermain  three on three dengan teman-teman tim basket Riga yang lain.

Tim Riga mencetak 21 poin lebih dahulu sehingga timnya memenangkan permainan kecil-kecilan itu. Ia tampak lebih riang karena ada Kalev. Saat itu, tim basket yang lain mulai bubar, tapi Kalev masih ingin mencoba memasukkan bola ke ring dari wilayah three points. Tidak terlalu sulit mengarahkan bola ke ring dari titik itu saat sedang latihan, tapi kenapa tadi sulit sekali mencetak three points saat permainan berlangsung.

“Kau ternyata bisa main juga,” kata Riga dari pinggir lapangan. Ia sedang menyeka keringatnya dengan handuk. ‘Tapi kerja samamu emang buruk, sih.”

Kalev nyengir.

“Kenapa tiba-tiba mau main?” tanya Riga.

“Emangnya harus ada alasan," jawab Kalev seraya melempar bola ke ring sekali lagi dan masuk. Kemudian, berlari memungut bola yang baru saja ia lemparkan. Ternyata permainan itu tidak buruk juga. Pikirannya terasa jauh lebih ringan.

Kalev berhenti melempar bola setelah ia capek bolak-balik melempar dan mengambil bola sendirian. Keringat meleleh di pelipisnya. Napasnya terengah setelah bermain satu permainan dan mencoba melempar bola sendirian berkali-kali. Ia menyugar rambut hitamnya yang mulai panjang. Lalu ia mengecek smartphonenya untuk melihat jam. Pukul 9 malam.  Masih ada waktu sebelum Mama mencarinya.

“Besok kau harus berkenalan dengan yang lain,” kata Riga. Saat itu tersisa mereka berdua di sisi lapangan basket.

Kalev tampak enggan. “Mereka pasti udah tahu namaku karena kau terus memanggilku tiap kali aku datang," balas Kalev.

“Tapi kau tidak tahu nama mereka, kan? Kecuali tiga orang yang mengajak kita ke Pantai Turki waktu itu.”

Kalev termenung. Sebenarnya, ia sangat enggan berkenalan dengan orang lain. Baginya, teman banyak itu tidak penting. Kualitas lebih penting daripada kuantitas. Maksudnya, ia lebih memilih punya satu teman yang dekat daripada punya banyak teman yang sebenarnya tidak mengenal dirinya. 

Malam itu langit cerah. Meskipun di tengah kota, bintang tetap bisa terlihat. “Udah pernah lihat bintang jatuh?” tanya Riga tiba-tiba.

Kalev menggeleng. “Kenapa? Memangnya kau mau membuat permohonan?”

Riga tertawa. “Bukan… Aku tahu tempat untuk melihat bintang jatuh. Tapi agak jauh dari sini.”

“Aku bisa cari di youtube kalau begitu,” balas Kalev yang membuat Riga hanya bisa menggelengkan kepala. Anak itu terlalu anak rumahan.

“Aku duluan ya. Mama pasti nyariin,” ucapnya seraya memakai jaket dan mengambil botol minumnya.

“Aku juga harus pulang,” kata Riga sambil mengecek jam di layar sentuh ponselnya. Ada missed call dari Ayahnya yang jarang-jarang menelepon karena Ayahnya pasti tahu dia ada di lapangan basket di hari Rabu malam.

Mereka pun beranjak bersamaan. Malam itu, Riga pikir Kalev hanya anak rumahan baik-baik yang kebetulan pindah ke sekolahnya. Ia tidak akan tahu apa yang ada di balik sifat tenang Kalev. Ia tidak akan bisa menebak apa yang bisa dilakukan Kalev berikutnya.

**

Sebelum akhir bulan Januari

30 Januari 2023

Hanya satu clue yang dimiliki Kalev dan ia berhasil mengungkapnya satu per satu. Sekarang menjelang akhir bulan dan ia tak bisa berhenti memikirkan percakapan yang ia dengar saat di gudang. Ia berpikir keras untuk membuat sebuah rencana di sela-sela jam pelajaran. Ia tidak menuangkan rencananya ke kertas karena khawatir akan ada orang membacanya.

Sementara guru menjelaskan di depan kelas, ia mendengarkan dan mencatat hanya untuk mendistraksi pikirannya dari detail rencana yang berspiral dalam kepalanya. Ia melirik jam dinding yang ada di atas papan tulis. Tanpa sadar ia mengetuk-ngetuk pulpennya ke meja.

Ia memutuskan akan melakukan rencananya malam itu.

**

Pukul 9 malam, ia mengendarai motornya ke gudang itu untuk keenam kalinya. Ia selalu mengingat detail setiap kali ia menyelinap ke gudang itu. Setiap kali ia pergi ke tempat itu, selalu terdapat orang yang berkumpul sampai tengah malam. Orang yang datang tidak selalu sama, tapi ia ingat wajah yang pernah meneror rumahnya.

Ia memarkirkan motornya di luar area gudang, tepatnya di balik bayangan tembok yang tak terlihat siapapun. Dalam hening, ia melangkah memasuki area gudang. Lalu ia memanjat tangga dan mengintip ke dalam melalui jendela atap—tempat pertama kali ia memantau isi gudang itu. Ia menangkap target incarannya dan menghitung berapa orang yang mengelilingi targetnya. Hanya dua orang.

Tiga orang sedang mengelilingi meja bundar yang berisi kartu domino, rokok, dan minuman beralkohol. Ketika targetnya bergerak, Kalev meluncur turun dari tangga besi. Ia memastikan langkahnya sesenyap mungkin.

Setelah memastikan tidak ada orang di luar area gudang, ia berjalan menuju pintu masuk gudang yang terbuka. Ia berdiri di depan pintu dengan pisau tajam di tangannya. Ia menyembunyikan pisau itu di saku dalam jaketnya. Telinganya fokus mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekati pintu.

Tepat ketika orang itu sampai di ambang pintu, Kalev mengangkat pisaunya dan mengarahkannya langsung pada dada orang itu. Kalev menyasar langsung ke organ vital tapi Kalev tidak menyangka menghujamkan pisau ke tubuh manusia yang hangat butuh tenaga besar. Ia berkonsentrasi penuh untuk memastikan bilah tajam pisaunya mengenai organ vital. Orang itu tersedak dan mengeluarkan darah dari mulutnya. Matanya menatap horor pada wajah Kalev yang tertutupi kacamata hitam dan masker hitam. Sosok itu membuka mulut untuk berteriak, tapi Kalev menutup mulutnya. Kalev menarik pisaunya dan menghujamkan pisaunya lagi ke tempat yang sama. Orang itu langsung ambruk dengan darah membanjiri pakaiannya dan mengalir ke lantai pualam.

Kalev menyadari ketiga orang lainnya sudah melihatnya dan sedang berlari menghampirinya. Seseorang mencoba menendang tangannya yang memegang pisau tapi Kalev lebih dulu menghindar.

“PENYUSUP!”

“AKAN KULAPORKAN POLISI—”

Kalev menusuk leher orang yang sedang menekan layar ponsel untuk menelepon polisi. Kalev menginjak dan menendang ponsel yang terjatuh itu. Darah pria tersebut langsung muncrat ke masker dan kacamata hitamnya.

Pria itu langsung roboh—masih bergerak dan terbatuk-batuk sambil memegangi leher. Ia sedang sekarat.

Tinggal dua orang lagi.

Seseorang meninjunya dan seorang lagi berusaha kabur. Kalev terhuyung mundur dan jatuh karena kakinya menabrak tubuh targetnya. Kacamata hitamnya terlepas. Namun ia berhasil menangkap kaki orang yang mau kabur tersebut.

Kalev menggapai pisaunya yang jatuh dan menancapkan pisau ke kaki orang yang mau kabur itu. Ia menghujamkan pisaunya ke kaki orang itu hingga orang itu berteriak histeris kesakitan. 

Sekarang lebih banyak darah mengalir di atas lantai.

“Kau suruhan siapa?” Orang yang tadi meninju perut Kalev kini menginjak kakinya dengan keras. Kalev menarik napas dan menahan nyeri luar biasa. Ia menggigit bibirnya hingga terasa darah di mulutnya. Kakinya terasa seperti hancur—diinjak dengan tenaga penuh pria dewasa yang bobotnya lebih berat darinya.

Kalev menarik pisaunya dari kaki orang lain. Tangan pria tambun itu terulur untuk menarik maskernya dan mengungkap identitasnya. Tapi, tanpa ragu, Kalev lebih dulu menusuk dada orang itu. Ia menggertakan giginya dan menusuk orang itu sekuat tenaga hingga mengenai organ vital.  Darah menghujani pakaiannya.

Pria tambun itu pun ambruk di atasnya dan darahnya mengalir di tangan Kalev.

Sunyi senyap. Napas Kalev menderu cepat. Tangannya gemetar. Susah payah ia mengatur napasnya supaya stabil. Sama sekali tidak ada perasaan bersalah—hanya ada adrenalin yang mengalir deras dalam darahnya. Ia menggeser pria tambun itu dari atas tubuhnya dan berguling ke samping. Ia pungut kacamata hitamnya yang retak. Lalu ia menusukkan pisau ke sosok yang tadi berusaha kabur.

“Kau… putranya Ferdinand Winata bukan?”

Kalev langsung terkesiap dan berbalik badan. Seorang pria dengan jas hitam rapih dan cincin giok berjejeran di jari tangannya entah bagaimana muncul di dari dalam gudang. 

Meskipun Kalev mengenakan kacamata hitam yang retak dan masker berwarna senada, orang itu masih bisa mengenali dirinya.

Bahaya.

Ia menggunakan sisa tenaganya yang terakhir untuk berdiri dan menerjang orang itu. Tapi orang itu menangkisnya dengan mudah. Lantas memukulnya dengan tangan beratnya yang dipenuhi jam tangan dan perhiasan emas. Masker Kalev terlepas. Kalev tergeletak di atas lantai dengan pelipis berdarah. Salah satu cincin orang itu melukai pelipisnya.   Kalev mengerang karena tidak tahan lagi menahan sakit. Tangannya terkepal. Ia ingin berhenti saat itu juga. Ia tak sanggup lagi. Energinya terkuras habis. Bagaimana mungkin ia membunuh orang itu? Tapi kalau tidak dibunuh, orang itu akan menjadi saksi tunggal.

Kalev memaksakan dirinya untuk bangkit. Ia berdiri sempoyongan. Matanya menatap tajam sosok di hadapannya. Tangan kanannya masih menggenggam gagang pisau.

“Aku kenal Ayahmu. Ternyata ia dan anaknya sama-sama brengsek. Asal kau tahu—”

Kalev tak mau mendengarkan kelanjutannya. Persetan! Ia mengeraskan rahangnya dan berlari menerjang orang itu sampai orang itu terhempas ke belakang dengan bunyi berdebum mengerikan. Ia menggunakan lututnya untuk mengunci tangan orang itu supaya tidak bergerak. Tanpa pikir panjang, Kalev menghujamkan pisaunya ke dada orang itu berkali-kali secara brutal. Terakhir, Kalev menekan pisau itu jauh lebih dalam ke organ vitalnya lantas ia memelintir pisaunya.

Kemudian orang itu berhenti menggeliat dan mata merahnya menatap kosong. Ia sudah mati.

Tangan Kalev gemetar. Ia menunduk melihat tangannya yang penuh darah lalu menatap nanar sosok itu yang kini tidak bernyawa. Lalu ia berlari ke sekeliling gudang untuk mengecek tidak ada orang lagi yang mungkin akan muncul.

“Kalian bedebah. Kau tidak bisa mengganggu hidupku lagi,” desis Kalev pada orang terakhir yang dibunuhnya, setelah selesai mengecek situasi. Keringat membasahi wajahnya.

Aroma anyir darah menyeruak di udara. Sekarang, ia berpikir keras supaya adegan ini tidak terlihat seperti ada orang lain yang melakukannya. Maka, ia membuka tangan pria dengan cincin giok itu dan menyelipkan pisau miliknya ke tangannya. Ia sudah memastikan tidak ada sidik jari ataupun darahnya di situ. Kemudian ia membuat agar pria bercincin itu yang seolah melakukan pembunuhan dan kemudian membunuh dirinya sendiri.

Kalev hampir gila. Tidak mungkin ia puas  melihat hasil pekerjaannya yang rapih. Semua ini terasa memabukkan. Ia ingin tertawa karena begitu mudahnya menghilangkan nyawa seseorang.

Ia berjalan keluar gudang. Tidak akan lagi yang mampu mengganggu kehidupan Mama maupun kehidupannya. Pergelangan kakinya baru terasa nyeri luar biasa ketika ia berjalan tapi ia memaksakan diri untuk berjalan. Saat  ia berjalan keluar gudang, ia melihat salah satu ponsel milik mereka menyala. Kalev menginjak ponsel orang itu hingga hancur tanpa alasan.

Menghancurkan terasa menyenangkan.

Sekali lagi ia periksa satu per satu dari mereka apakah masih bernapas atau tidak, dan ternyata sudah tidak ada satupun derak napas dari mereka.

Kalev pun berlari tertatih-tatih menuju tempatnya memarkirkan motor. Ia melepas sarung tangannya yang penuh darah dan menyimpannya di saku jaketnya. Ia membiarkan angin malam mendinginkan kepalanya yang mendidih.

Sesampainya di rumah, ia berlari ke kamar mandi dan langsung muntah ke dalam kloset. Efek aroma anyir darah baru sekarang terasa olehnya. 

Lantas, ia langsung membersihkan dirinya di bawah shower. Ia menghapus setiap sisa darah yang menempel di tangan, kuku, dan wajahnya. Ia membersihkan luka berdarah di pelipisnya. Darah mengalir bersamaan dengan air di lantai kamar mandi.

Setelah mengganti pakaiannya dengan baju bersih, ia mengambil pakaiannya yang kotor oleh darah dan membawanya ke halaman belakang. Ia sudah menyiapkan tempat pembakaran. Ia membakar sepatu, pakaian, kacamata, masker, dan sarung tangan yang dipakai untuk membunuh.

Ia menunggu semuanya terbakar sampai menjadi abu. Sambil menunggu, ia menggali lubang di tanah halaman belakang untuk mengubur abu tersebut.

Setelah yakin segala hal sudah bersih, termasuk jejak kaki sepatunya yang mungkin meninggalkan noda di teras dan mengecek tidak ada darah di stang motornya, ia mengunci seluruh pintu rumahnya rapat-rapat. Lalu ia masuk ke dalam kamarnya.

Ia bersyukur malam itu Mama sedang berada di luar kota.

Jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi ketika ia menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Aku melakukannya. Aku sudah membunuh seseorang—bukan, tapi beberapa orang.

Kalev ingin tertawa puas. Ada euforia menyeruak dari dalam dirinya. Namun ada elegi yang juga menyeruak menuju permukaan. Kalev sudah lama tidak merasakan buncahan emosi seperti ini. Ia merasa luar biasa puas dan suara intrusif di kepalanya membuatnya ingin melakukannya lagi. Tapi perasaan itu disusul dengan gelombang perasaan waspada dan cemas akut.

Bagaimana kalau orang lain tahu?

Ia harus menekan perasaannya agar jangan sampai menyembur keluar.

Seluruh syarafnya menjerit kelelahan. Tapi kepalanya semakin ribut. Ia beranjak mencari sesuatu yang disembunyikannya dengan baik di antara buku-buku pelajaran. Tangannya mencari dengan tergesa-gesa karena panik. Ketika menemukan benda itu, ia langsung membuka bungkusnya. Benda itu adalah obat penenang.

Ia menenggak dua pil sekaligus.

Tak sampai beberapa menit kemudian, ia ambruk di atas lantai. Ia tenggelam dalam ruang hampa yang ada di dalam dirinya.

To Be Continued

p.s. Please kindly leave comment if you have read this, I will really appreciate any critique or thoughts from you. Thank you so much for reading. 

Next