Original Story

Chapter 4 — Haunted Dreams

Desember 29, 2024

 


The Casket of Unforgiven Pieces
Chapter 4

────────────

Haunted Dreams

𝘛𝘳𝘪𝘦𝘥 𝘵𝘰 𝘧𝘰𝘳𝘨𝘦𝘵 𝘣𝘶𝘵 𝘵𝘩𝘦 𝘯𝘪𝘨𝘩𝘵𝘮𝘢𝘳𝘦 𝘬𝘦𝘱𝘵 𝘩𝘢𝘶𝘯𝘵𝘪𝘯𝘨; 𝘭𝘪𝘬𝘦 𝘢 𝘤𝘳𝘪𝘱𝘱𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘦𝘮𝘰𝘯 𝘪𝘯𝘴𝘪𝘥𝘦 𝘰𝘧 𝘮𝘦

────────────

Kalev membuka matanya ketika matahari sudah bersinar terik. Ia mengerjapkan matanya dan menatap langit-langit kamarnya selama beberapa menit—tidak ingat kenapa ia bisa tergeletak di atas lantai dan kenapa seluruh tubuhnya nyeri.

Lalu ingatan tentang kejadian semalam menyerbu masuk ke dalam kepalanya seperti rentetan peluru. Ia melihat jari tangannya untuk memastikan tidak ada darah yang tersisa. Ia terbayang lagi  aroma anyir darah dan teringat adrenalin mengalir deras ketika nyawa manusia hilang dalam sekejap di tangannya. Ia merasa sangat kotor, tapi pikiran intrusifnya lagi-lagi membenarkan perbuatannya.

Aku melakukannya untuk melindungi keluargaku.

Perlahan ia bangkit berdiri. Ia sangat haus. Ia mencoba berjalan menuju dapur yang ada di lantai satu. Kakinya langsung terasa nyeri di setiap langkah. Pergelangan kakinya terlihat bengkak dan membiru karena memar. Ia pun berjalan tertatih-tatih menuruni tangga sambil menyeret selimut. Ia lupa kapan terakhir kali ia minum dan makan.

Jam dinding yang ada di dapur menunjukkan pukul 2 siang. Setelah meminum sebotol air es dari kulkas, ia mulai memasak. Tangannya dengan mahir mengocok telur di mangkok. Kemudian, ia memanaskan mentega di atas teflon. Aroma mentega langsung memenuhi dapur.

Lalu ia teringat kalau tidak ada nasi di dalam rice cooker jadi ia mengambil beras dari tempatnya dan mulai menanak nasi.

Berhubung ia sudah terlalu lapar, ia memakan scrambled egg buatannya tanpa nasi. Ia berniat akan memakan nasi nanti malam kalau ia ingat.

Sesekali ia menoleh ke jendela yang menuju halaman belakang rumah untuk meyakinkan dirinya kalau ia sudah mengubur semua sisa pembakaran tadi malam. Semua bukti itu pasti sudah terkubur di dalam tanah.

Setelah makan siang, ia menyalakan televisi yang ada di ruang keluarga untuk membungkam suara di kepalanya, lantas ia merebahkan tubuhnya di atas sofa yang empuk.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang mengetuk pintu pagar.

Mama?

Kalev melangkah tertatih-tatih ke pintu depan dan mengintip melalui jendela. Ternyata Riga yang datang. Ia pun membuka pintu rumah dan membukakan pintu pagar supaya Riga bisa memarkirkan motornya di garasi.

“Hampir aja aku mau manjat pagar lagi,” kata Riga sambil nyengir lebar. "Kau sakit?" Ia menatap Kalev yang tampak berantakan dan lebih pucat dari biasanya. Rambutnya tampak seperti baru bangun tidur. Ia memakai t-shirt lengan panjang dan celana training yang menutupi luka-lukanya semalam.

“Bolos lagi? Udah bolos berapa kali semester ini?” balas Kalev tanpa menjawab pertanyaan Riga. Ia dan Riga pun masuk ke dalam rumah.

“Harusnya aku yang bertanya begitu,” kata Riga.

“Hari ini aku izin sakit. Bukan bolos,” jawab Kalev sungguhan. Kemarin ia sempat menitipkan surat izin ke teman sekelasnya yang duduk di depannya. “Ada apa ke sini? Bukannya sekarang masih jam pelajaran ya?"

“Pelajarannya bosenin,” jawab Riga seenaknya.

Kalev tertawa renyah. “Bilang aja, kau malas.”

“Yeah, malas menghabiskan waktu belajar hal yang enggak penting," jawab Riga dengan nada bergurau seraya mengambil tab dan stylusnya dari dalam tas ranselnya. Ia pasti mau mengerjakan soal kalkulus lagi.

Suara berita di televisi tiba-tiba menarik perhatian mereka berdua.

“...Empat buronan polisi ditemukan meninggal dalam keadaan mengenaskan di dalam gudang penyimpanan barang kontainer. Seorang pengemudi truk yang hendak menurunkan barang menemukan empat mayat pagi ini. Keempat korban tersebut diduga dibunuh oleh salah satu dari mereka. Mereka diduga bagian dari sindikat perusahaan yang sedang diinvestigasi oleh badan intel. Pisau yang ditemukan di salah satu korban menjadi alat bukti. Namun, polisi masih menyelidiki apa motif dari pembunuh untuk menghabisi nyawa rekan-rekannya.”

“Lokasinya dekat dari sini,” gumam Riga seraya membaca nama lokasi berita yang tertera di layar televisi. Lalu adegan berganti ke wawancara dengan seorang Polisi yang tengah melakukan penyelidikan. Riga memutar bola matanya dan mengalihkan pandangannya ke layar tablet ketika melihat wajah Ayahnya muncul di layar TV.

Kalev melihat siaran berita itu dengan puas. Keempat korban sudah dibawa menuju tempat forensik dan menyisakan lantai penuh dengan bercak darah yang disensor. Ia melihat seorang polisi mengangkat sebuah pisau tajam penuh lumuran darah korban-korbannya. Pisau tersebut sudah terlindungi plastik untuk melindungi bukti. Tentunya barang bukti itu juga disensor sedemikian rupa supaya bisa disiarkan.

Kemudian, siaran berita beralih ke peristiwa lain yang tidak menarik perhatian dua anak itu.

Setelah rasa puas itu menguap, perasaan lain menyerang dirinya. Kalev mual ketika menyadari kalau dirinya mampu melakukan hal sebrutal itu.

Tapi mereka adalah buronan. Mereka pantas dibunuh.

Kepala Kalev berdenyut sakit. Ia terbayang pisau yang tajam, pergelangan kakinya yang diinjak hingga ia mendengar suara krek, lalu ia kembali mendengar helaan napas terakhir seseorang yang meregang nyawa.

Ia memejamkan matanya berusaha untuk melupakan kejadian semalam.

“Lev? Tidur?” Riga baru menyadari ia  tenggelam dalam soal-soal selama dua jam penuh. Ia menoleh ke belakangnya. Kalev tertidur di atas sofa dengan selimut menyelubungi tubuhnya. Ruang tengah di rumah Kalev memang ada pendingin udara.

Tangan Kalev terkulai di atas selimut. Riga melihat bekas luka garis-garis samar. Riga mencoba mengusir pikiran apa yang membuat Kalev punya bekas luka seperti itu.

"Malah tidur anak ini. Enggak takut rumahnya dirampok?”

Riga menyentuh tangan Kalev untuk membangunkan anak itu. Lalu ia tersadar kalau suhu tubuh Kalev sangat panas. Riga mengernyitkan dahinya. Dia tidak bohong soal sakit. Ia memanggil nama Kalev berkali-kali karena ia harus menjemput adiknya setelah ini.

“Lev?"

"Lev?!!!"

"Bangun woy! Aku harus jemput adek habis ini,” ucap Riga sambil mengguncang bahu Kalev. Baru setelah itu, Kalev membuka matanya. 

"Eh?? Udah mau pergi?" Anak itu perlahan mendudukan dirinya dan mengusap wajahnya.

“Kapan Ibumu kembali?” tanya Riga.

“Besok.”

“Udah jam 4 sore, adekku bisa ngamuk kalau aku telat jemput. Aku duluan ya. Kayaknya kau harus minum paracetamol,” ucap Riga seraya beranjak berdiri.

Kalev mengangguk. “Besok aku sudah bisa sekolah, kok.”

Melihat kondisinya sekarang, Riga meragukan ucapan anak itu. “Yeah, jangan dipaksakan. Kau boleh nitip surat izin lagi kalau mau. Bye, aku pergi dulu."

Kalev nyengir lebar. “Daah!”

Setelah mengantar Riga ke depan dan mengunci pagar, ia menyentuh kepalanya. Ia mengerang pelan karena rasa sakit tajam yang tiba-tiba menyerang kepalanya.

**

Seminggu setelah kejadian itu, segalanya kembali normal. Atau begitu yang Kalev pikirkan. Kaki kanannya yang diinjak sepatu boots pulih setelah Mama membawanya ke IGD. Mama membawanya ke IGD dua hari setelah kejadian. Ketika Mama bertanya kenapa kakinya bisa terkilir, Kalev hanya menjawab kalau ia mengalami kecelakaan ringan saat mengendarai motornya.

“Lev, masih ingat soal tamu mencurigakan yang mendatangi Mama di kantor?” tanya Mama saat mereka sedang makan pizza di depan televisi saat malam minggu. “Sebenarnya mereka pernah beberapa kali mengikuti Mama, tapi sekarang mereka tidak pernah terlihat lagi.”

“Apa? Kenapa Mama enggak bilang?” kata Kalev.

Mama mengangkat bahu. “Mama enggak mau buat Kalev khawatir.”

Kalev mengernyitkan dahinya.

“Mereka sudah tidak pernah muncul lagi.”

Tentu saja, mereka sudah mati, ucap Kalev dalam hati. Puas. “Pokoknya kalau ada yang mengganggu Mama lagi, bilang padaku.”

Mama tertawa sambil mengacak-acak rambut Kalev. Ia menatap lembut putranya. “Yaaa Mama tahu, cuma Kalev yang bisa melindungi Mama. Gitu kan maksudnya?”

Kalev hanya tersenyum.

**

Maret 2023

Sebulan kemudian, kaki Kalev pulih dari cedera. Ia sempat harus memakai kruk selama seminggu karena ternyata cedera kaki kanannya cukup parah. Setelah benar-benar pulih, Kalev kembali bermain basket bersama klub lapangan pinggir sungai. Ia datang ke setiap jadwal klub yang terkadang tidak menentu tergantung banyaknya orang yang mau bermain malam itu. Ia tidak pernah lagi hanya duduk-duduk di pinggiran lapangan sambil membaca buku.

Bermain selama sejam membuatnya melupakan kejadian brutal itu. Meskipun ia bersikap seolah pembunuhan itu bukan perbuatannnya, ia masih terbayang darah yang mengalir di atas lantai. Seberapa keras ia bersikap seolah kejadian itu tidak ada dan hidup senormalnya anak remaja seusianya, mimpi buruk tetap menghantuinya.

Setelah capek bermain basket selama sejam penuh, biasanya ia bisa tidur nyenyak tanpa mimpi buruk yang membuatnya ingin muntah.

“Ada yang mau kau lupakan?” tanya Riga suatu malam setelah mereka bermain empat babak.

Kalev menggelengkan kepala. “Enggak ada.”

Mereka duduk meluruskan kaki di pinggir lapangan.

Malam itu terasa sedikit aneh karena ada gerombolan Bari berdiri di area parkiran motor. Mereka sedang berkumpul di atas motor-motor mereka sambil merokok.

“Apa yang mereka lakukan di sini.” ucap Kalev pelan dengan pandangan mata terarah pada gerombolan yang berada tak jauh dari lapangan basket.

Riga menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang dibicarakan Kalev. “Shit.

“OYYY RIGA!!!’”

Tiba-tiba Bari berteriak menyapa Riga sambil melambaikan tangannya lalu berjalan menghampiri Riga dengan seringai lebar di wajahnya. Namun detik berikutnya yang terjadi adalah kekacauan.

Tangan Bari yang penuh cincin memukul wajah Riga.

Riga terpental mundur sambil menyentuh rahangnya. What the fuck? Tanpa pikir panjang, Riga membalas bogem mentah Bari dengan tendangan tinggi yang mengarah ke kepala Bari.

Suasana malam itu berubah menjadi panas. Orang-orang yang masih berada di sekitar lapangan basket mulai menoleh ke arah sumber suara. Tidak ada yang mencoba melerai mereka. Riga melihat beberapa orang mulai mengangkat smartphone mereka untuk merekam. Ia menggertakan giginya seraya menghindar dari serangan Bari.

Beberapa orang lainnya yang merupakan kroni-kroni Bari mendekati Kalev dengan beringas. Ia masih mengingat wajah-wajah para keparat itu yang sudah merundungnya selama minggu-minggu pertamanya di sekolah. Ia tidak sudi mengingat nama mereka.

“Kau pikir kami sudah melupakanmu yeah?!” ucap salah satu dari mereka—seorang cowok dengan potongan rambut pendek.

Detik berikutnya, seseorang memukul punggungnya dengan alat pemukul kasti dari belakang.Kalev susah payah mempertahankan dirinya. Ia tak mungkin bisa menghindari serangan dari tiga orang sekaligus yang membawa alat pemukul. Kalev mengumpat dalam hati. Pikirannya kembali pada hari-hari pertama di sekolah barunya yang berisi kekerasan. “Bangsat,” umpat Kalev sambil meludahkan darah.

“Kau tak akan pernah bisa lari dari kami.”

“Apa mau kalian, berengsek?” kata-kata kasar meluncur dari mulut Riga sambil menoleh sekilas pada Kalev di belakangnya. Riga tampak kacau karena Bari menyerangnya tanpa henti.

Tiba-tiba terdengar suara mobil polisi patroli mendekat dan berhenti di depan lapangan basket. Cahaya berwarna merah-biru yang bersumber dari atas mobil terlihat berpendar di kegelapan malam. Kemudian terdengar suara sirine mobil yang menghentikan perkelahian mereka.

Riga menatap lampu rotator yang menyilaukan itu serata berusaha mengidentifikasi siapa yang ada di dalam mobilnya.

Kemudian, kaca mobil polisi terbuka dan menampakkan seorang polisi yang mengangkat toa, “Brilliant Riga Yanuar, berhenti bertingkah sok jagoan. Pulang sekarang.”

Sementara itu, Bari langsung berteriak pada kroni-kroninya untuk kabur. Mereka berlari dengan ribut ke arah tempat mereka memarkirkan motor. Sambil berlari menuju motornya, Bari mengangkat jari tengah dan tertawa lebar. “Ini cuma peringatan, brengsek!” serunya.

Riga ingin tenggelam di sungai saat itu juga. Ia tidak sanggup melihat wajah Ayahnya yang berada di dalam mobil patroli karena malu. Ia ingin berteriak sekerasnya, BUKAN AKU YANG SALAH. AKU HANYA MELINDUNGI DIRIKU SENDIRI. Tanpa sadar kedua tangannya terkepal. Ia tidak lagi merasakan luka memar di wajah, lengan, dan tubuhnya karena amarah yang rasanya ingin meledak keluar. Ia hanya ingin membela dirinya sendiri kalau bukan dirinya yang memulai perkelahian itu.

Tapi Ayahnya pasti tidak akan percaya—mengingat kejadian buruk beberapa tahun yang lalu sewaktu ia masih SMP. Ia pernah memicu perkelahian di SMP karena ada beberapa orang yang mempermalukan nama keluarganya di sekolah. Waktu itu, ia mengamuk tanpa kendali. Sejak saat itu, Ayahnya selalu menganggap Riga sebagai pengacau dan tak pernah peduli pada prestasi Riga.

Sementara itu, Kalev menatap Riga yang berdiri di sampingnya dengan sorot tak percaya. Ayahnya Riga?

“Sori Lev, aku jadi menyeretmu ke masalahku,” ucap Riga getir sebelum pada akhirnya berkata pada mobil patroli yang dikendarai Ayahnya. “Aku memang mau pulang ke rumah sekarang kok!” Ia berteriak keras tanpa mempedulikan orang-orang di sekitar yang menonton dengan penasaran. Kemudian mobil itu pun pergi menjauh dari pinggir lapangan. Riga menghela napas panjang lantas berseru “BUBAAAR!!! BUBAAAR!!” pada kerumunan yang mengerubungi sekitar area lapangan basket.

“Ini semua bukan salahmu. Komplotan Bari memang kumpulan bajingan,” kata Kalev.

Riga tertawa miris mendengar ucapan Kalev barusan. Mereka berjalan berdampingan menuju parkiran motor dengan penuh luka memar. Terlalu lelah untuk membahas peristiwa barusan. Riga memikirkan kata peringatan yang diucapkan berandalan itu. Bukankah Ayahnya tidak pernah berurusan lagi dengan keluarga Bari? Atau mungkin keluarga Bari terlibat kasus yang diselidiki Ayahnya 

Otak Riga sibuk membuat hipotesis, sedangkan Kalev tenggelam dalam pikirannya… kalau ternyata selama ini ia berteman dengan seorang anak polisi. Dalam diam, Kalev mengingat wajah pria yang berada di dalam mobil patroli tadi dan mulai menyadari kemiripannya dengan Riga. Lalu, ia menyadari wajah pria itu pernah muncul di siaran berita dua bulan yang lalu. Pria itu yang menjadi Kepala Satuan Reserse Kriminal yang menangani penyelidikan kasus pembunuhan empat buronan di sebuah gudang.

Tidak akan ada yang menyangka kalau sang pelaku pembunuhan sedang berdiri di samping putra penyelidik yang menangani kasus pembunuhan tersebut.

“Dah, see ya,” kata Riga dengan nada santai seolah kejadian Ayahnya memanggil namanya di muka umum dari dalam mobil patroli barusan tidak mempengaruhinya. Ia memakai helm dan menaiki motor Yamaha XSR 155 miliknya. 

Kalev tersenyum simpul sambil melambaikan tangannya pada Riga. Lantas ia melajukan motornya menuju rumah dengan pikiran kacau.

**

Sesampainya di rumah, Mama menyambut Kalev yang pulang tengah malam dengan luka memar di wajah. Mama yang masih berkutat dengan laptopnya di meja ruang makan langsung meninggalkan pekerjaannya dan mengambil kotak P3K.

Kalev khawatir Mama akan menghakimi dan memberinya ceramah panjang, namun Mama hanya berdecak dan menyuruhnya duduk di atas sofa.

“Pulang jam 11 malam, terus babak belur begini… Walaupun Kalev enggak pernah bilang, Mama tahu kalau Kalev beberapa kali berkelahi. Benar kan?” kata Mama seraya mulai membersihkan luka di wajah Kalev.

Kalev tidak berani membuka jaketnya karena itu berarti lebih banyak luka lebam dari alat pemukul kasti yang mengenai lengannya.

“Maaf Ma,” ucapnya pelan. Hanya itu yang mampu diucapkannya.

Mama menghela napas. “Bukannya tadi kamu cuma izin buat keluar main basket?”

“Yeah, itu benar, Ma.”

“Terus?”

Hening. Kalev tidak berjengit ketika Mama membersihkan lukanya dan menempelkan betadine. Hanya tarikan napasnya yang menunjukkan kalau ia sedang menahan perih. Ia duduk tenang sementara tangan Mama merawat luka di pelipis yang tidak disadarinya karena  melihat kapas berwarna merah darah.

Mama tidak menuntut jawaban dari Kalev malam itu. Ia tidak ingin membuat anak itu merasa terpojokkan. Ia pikir, Kalev hanya terlibat perkelahian remaja biasa. “Nah, sudah. 

Kalev tidak langsung beranjak berdiri. Ia menyenderkan kepalanya pada sandaran sofa sementara Mama membereskan kotak P3K. “Ma, kalau ada seseorang yang Mama sayangi terluka,apa Mama mau melakukan segalanya buat melindunginya?” tanyanya dengan suara lirih.

Mama menatap mata putranya. Mata Kalev sangat mirip dengan matanya sendiri. Rasanya seperti sedang bercermin dengan bayangan dirinya sendiri. Mama tersenyum lembut dan mengelus kepala putra kesayangannya. “Tentu, Mama pasti akan melakukan segalanya.”

**

April 2023

Boleh dibilang Riga berasal dari keluarga yang terpandang. Ayahnya seorang polisi yang memiliki jabatan. Ibunya seorang direktur di rumah sakit swasta. Riga dan saudara-saudaranya selalu hidup bergelimang harta sejak kecil. Namun, Riga tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang sama seperti kakak dan adik perempuannya—terutama dari Ayahnya.

Semua prestasinya yang menyilaukan tidak pernah diapresiasi, kecuali oleh kakak dan adiknya. Terkadang Ibunya masih peduli jika Riga mendapat juara pertama di kompetisi matematika.. Tapi Ayahnya tak pernah sekalipun menganggap pencapaian Riga.

Hal yang diajari Ayahnya hanyalah ia harus bisa melindungi kakak dan adiknya. Tanggung jawab itu dibebankan pada Riga sejak Riga masih berusia 10 tahun. Ia sangat mengingat ucapan Ayahnya waktu itu.  Kamu harus bisa melindungi keluargamu apapun yang terjadi. Bagaimana kamu bisa jadi pelindung kalau menangis, Riga?

Kalimat itu diucapkan saat ia sedang menangis karena adik perempuannya terluka saat bermain di taman bersamanya. Riga menangis karena takut melihat luka di lutut adiknya dan juga merasa sangat bersalah. Begitu sampai di rumah dan luka di lutut adiknya dirawat oleh Ibu, Riga menangis. Kemudian Ayahnya datang dan mengucapkan kalimat itu padanya.

Riga selalu berpikir Ayahnya membencinya. Namun, ia tak pernah tahu alasannya. Ia sudah melakukan berbagai hal agar Ayahnya menyayanginya. Ia menjaga adik dan kakaknya sepenuh hati, selalu menjadi ranking satu di sekolah, dan menjadi anak yang patuh. Tapi, Ayahnya tak pernah sekalipun tersenyum kepadanya.

Terkadang Riga merasa jika Ayahnya tak pernah menganggapnya benar-benar ada. Riga hanya dianggap sebagai penanggung jawab untuk menjaga adik dan kakaknya. Atau kadang… dirinya dianggap hadir jika Ayahnya butuh pelampiasan emosi seperti malam itu.

Riga pulang malam karena ia tugas kelompok yang harus dikerjakan dan… tentu saja ia berkeliling dulu dengan motornya sebelum pulang.

Setelah satu jam berkeliling, Riga pun pulang dan memarkirkan motornya di garasi rumah. Begitu masuk ke dalam rumah, ia langsung merasakan suasana yang tidak enak.

“Pulang terlambat lagi?” sambut Ayahnya yang sedang membaca koran di ruang tamu.

Riga yang baru melepas sepatunya dan masih menggendong tas ranselnya langsung terpaku. “Aku sudah izin kalau tadi ada kerja kelompok.”

“Duduk,” titah Ayahnya yang tidak bisa diganggu gugat.

Kapan terakhir kali Ayah mengajakku duduk berhadapan? Riga pun duduk dengan curiga. Ia mencium bau alkohol dari kemeja yang dikenakan Ayahnya. Ayahnya sepertinya baru sampai rumah tak lama sebelum Riga pulang.

“Motormu disita.”

“Hah?! Apa?”

SRAKKKK!!! Ayah Riga memukul kepala putranya dengan koran.

Ah, sudah kuduga akan seperti ini. Riga beruntung kali ini hanya koran.

“Seenaknya saja kamu bilang apa.”

Riga memasang ekspresi wajah penuh penyesalan. “Maaf.”

Tiba-tiba Ayah Riga menarik kerah jaket Riga dengan penuh emosi dan memukul wajah anak itu. “Mau jadi apa kamu hah? Mau jadi anak jalanan?” teriak Ayahnya.

Rumah itu tetap hening. Ibunya. Kakaknya. Adiknya. Tidak ada yang membantu membelanya. Riga menelan pukulan itu mentah-mentah. Ia tidak marah pada keluarganya yang diam saat ia harus menghadapi Ayahnya sendirian yang mabuk. Tapi? Perasaan apa ini yang meluap di dalam dirinya saat ini?

“Mana kunci motormu?”

Riga merogoh saku dan menyerahkan kunci motornya. Lalu—

“Enyah.”

Satu kata yang membolehkan Riga untuk meninggalkan ruang tamu dengan lebam di wajah. Riga berjalan menuju kamarnya yang berada di bagian rumah paling belakang. Ia mengunci kamarnya dan bersender pada pintu selama beberapa saat. Ia  berdiri dalam kegelapan. Ia hanya diam mengatur napasnya dan bertanya. Kenapa Ibunya atau Kakaknya yang berada di rumah tidak ada yang menghampirinya? Tapi setelah dipikir-pikir, bukankah bagus? Ia telah melindungi keluarganya. Cukup ia yang merasakan ini. Jangan sampai ada anggota keluarga lain yang merasakannya juga. Lagipula esok hari, Ayahnya akan lupa kejadian dan ucapannya malam itu karena ia mabuk.

Perlahan Riga mendongak. Matanya tertuju pada jendela kamar. Tanpa pikir panjang ia melangkah menuju jendela, membuka jendela, dan meloncat keluar. Lantas ia memanjat pohon dan bergerak pelan-pelan melewati tembok pembatas rumah.

Begitu menjejakan kaki di jalan raya, ia berlari—dengan tas ransel di punggungnya—di bawah cahaya rembulan. Waktu menunjukkan pukul 11 malam. Riga berlari menyusuri trotoar hingga napasnya terengah dan amarahnya lenyap.

**

Riga sampai di depan rumah sahabatnya. Awalnya ia berdiri dengan ragu-ragu. Ia takut mengganggu ketenangan keluarga Kalev, tapi ia tak ingin kembali ke rumahnya malam itu. Cowok itu meraih ponselnya dari saku celana dan mendapati ponselnya mati karena low battery.

Terpaksa Riga harus memanjat. Tapi ia harus memastikan dulu Kalev terbangun. Dengan bidikan sempurna, Riga melempar kerikil ke kaca jendela kamar Kalev. Tak lama kemudian, Kalev membuka jendelanya dan menatap ke bawah.

Kalev memberi isyarat kalau dia akan turun membukakan pintu. Tapi Riga melambaikan tangannya. Tak perlu! ucapnya tanpa suara. Kemudian ia mulai memanjat pohon akasia yang ada di depan rumah Kalev yang dahannya sampai ke bagian atap. Kemudian ia berjalan menyusuri pinggiran atap menuju jendela kamar Kalev.

 alev menonton atraksi Riga dengan mulut terbuka karena Riga melakukannya dengan sangat cepat. “Kau ini setengah monyet ya?” ucapnya ketika Riga berjongkok di atas kusen jendela kamarnya. 

Riga balas tersenyum lebar lantas melompat turun dari jendela. Begitu ia masuk ke dalam kamar Kalev yang dingin, hujan turun dengan deras di luar. Cahaya rembulan itu dengan cepat tertutupi awan kelabu.

Kalev pun menutup jendela kamarnya. Ia sepertinya sudah tidur karena rambutnya tampak berantakan dan kausnya kusut. “Aku membangunkanmu ya?” kata Riga dengan ekspresi wajah sungkan. Baru kali ini, Riga memasang wajah tidak enak seperti itu.

Di bawah cahaya temaram kamarnya, Kalev melihat lebam di wajah Riga. Lalu ia menyadari kalau Riga masih mengenakan seragam sekolahnya dan jaket yang biasa dipakainya saat sekolah. Bahkan Riga masih menggendong tas sekolahnya. Tampang Riga sangat acak-acakan. Rambut hijaunya terlihat kusut dan berantakan. “Yeah benar. Ada apa? Siapa yang menghajarmu malam-malam?” tanya Kalev lugas. Ia duduk di atas meja belajarnya sementara Riga di kursi.

“Kau bersumpah tidak akan bilang pada siapapun.”

Kalev membuat tanda salib.

“Ayahku,” jawab Riga.

Kalev mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi Riga tampak enggan membicarakannya. Ia mengerti.

“Aku numpang nginep semalam ya? Sori,” kata Riga sambil mengatupkan kedua tangannya.

“Kau boleh tidur di sini kok,” kata Kalev seraya menunjuk ke sebuah sofa panjang yang ada di sudut ruangan. Sofa itu penuh dengan barang-barangnya—jaket, buku, pakaian bersih, selimut yang baru dilaundry. Kemudian ia buru-buru membereskan barang-barangnya yang berserakan di atas sofa. Lantas ia meminjamkan pakaian dan handuk bersih pada Riga. “Kau bisa menggunakan kamar mandi yang ada di luar sini,” kata Kalev seraya menunjukkan satu-satunya kamar mandi yang ada di lantai dua.

“Terima kasiiih! Kau benar-benar teman yang baik!” Riga menerima pakaian bersih dan handuk itu dengan penuh terima kasih. Ia pun melesat menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Rasanya menyenangkan bisa mandi air hangat setelah hari yang panjang. Pakaian yang dipinjamkan Kalev ternyata kebesaran. Kaos itu jadi terlihat oversize di tubuhnya. Yeah, faktanya anak itu jauh lebih tinggi darinya.

Ketika ia masuk ke dalam kamar Kalev, Kalev sudah meringkuk di bawah selimutnya. Riga melihat bantal dan selimut lain di atas sofa panjang. Baginya, itu sudah lebih dari cukup. Riga pikir ia akan langsung jatuh terlelap begitu menyentuh bantal, tapi ternyata matanya tetap terbuka  nyalang.

Kamar Kalev sangat senyap. Hanya terdengar suara hujan deras dari luar sana. Ia melirik jam digital yang ada di meja belajar Kalev. Pukul 12 malam. Kalev sepertinya benar-benar tertidur. Wajahnya tak terlihat karena tertutupi selimut. Hanya beberapa helai rambutnya yang menyembul keluar dari balik selimut.

Riga menghela napas panjang. Ia tidak yakin bisa tidur malam itu.

“Riga?” ucap Kalev tanpa berbalik badan. “Kau udah tidur?”

“Belum,” jawab Riga yang sedang telentang di atas sofa sambil memandang langit-langit kamar.

“Aku ketiduran,” ucap Kalev dengan suara parau.

Riga mengendus tertawa. “Anggap saja aku enggak ada. Tidur lagi sana.”

Hening. Riga pikir Kalev sudah memejamkan matanya lagi. Tapi kemudian terdengar pertanyaan, “Kau oke?”

“Sekarang lebih baik,” jawab Riga lirih.

“Kau yakin?” tanya Kalev lagi tanpa berbalik badan.

“Entahlah, motorku disita. Aku enggak tahu apakah aku marah atau sedih sekarang.”

“Motormu udah kayak pacar kan.”

“Iya,” balas Riga muram. Ia sangat merindukan motornya.

“Kenapa bisa disita?” tanya Kalev pelan.

“Ayahku mabuk dan dia menangkap basah aku yang pulang malam. Hahaha,” ucap Riga sambil tertawa getir. “Lev, apa kau pernah sudah berusaha sekuat tenaga tapi berakhir sia-sia?”

Kalev terdiam selama beberapa saat. Jika ia punya kemauan, ia akan melakukan apapun untuk mewujudkannya—tak peduli bagaimanapun caranya. Ia selalu berkemauan keras dan semua yang ia mau harus terwujud. Tapi ada satu hal yang mengusik pikirannya. Ia selalu berusaha keras menjadi teman yang baik tapi selalu berakhir terabaikan dan terlupakan. Ia tak yakin apakah analoginya tepat karena hanya pertemanan yang selalu berakhir sia-sia. Bahkan saat ini, ia tidak yakin apakah pertemanannya dengan Riga akan bertahan lama.

Namun, saat ini Kalev tidak ingin Riga terluka.

Ia baru akan menjawab pertanyaan Riga ketika terdengar suara isakan pelan. 

Kalev terperanjat dan beranjak bangun perlahan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan jika ada seseorang menangis di kamarnya.

“Argh air mata sialan,” umpat Riga pelan.

Kalev mengambil kotak tissue yang tertimbun di antara buku pelajaran lalu menyodorkan tissue tersebut pada Riga. “Kau boleh menangis sepuasnya.”

Riga tertawa dengan air mata seraya mendudukan diri di atas sofa. Ia merasa payah dan ia tak mau Kalev menganggap dirinya cengeng. Tapi air matanya tak bisa berhenti mengalir. Ia meraih tasnya untuk mengambil—

“Jangan merokok di kamarku,” kata Kalev.. Ia hapal tindak-tanduk Riga yang biasanya akan mengambil bungkus rokoknya tiap kali ia mulai tertekan atau memikirkan sesuatu.

“Ah ya. Bukan, enggak kok.” Riga mengangkat tangan—salah tingkah. Yeah, ia hampir saja lupa kalau Kalev tidak mau ada bau rokok di kamarnya.

Mereka duduk diam selama beberapa saat. Riga di atas sofa, sementara Kalev duduk memeluk lutut di atas lantai. Mereka memandang ke jendela kamar Kalev yang terbuka. Hujan masih turun dengan deras. Cahaya lampu jalanan menyelinap masuk melalui jendela.

“Aku tahu rasanya saat ada seseorang yang seharusnya menyayangimu justru yang menorehkan luka paling dalam pada dirimu,” ucap Kalev. Ia baru tahu ternyata seorang penyelidik kasus pembunuhan memperlakukan putranya seperti ini. Apa yang akan dilakukan pria itu kalau tahu Riga berteman dengan seorang pembunuh?

“Kau benar,” ucap Riga sambil menghela napas.

Tiba-tiba Kalev beranjak berdiri dan mengambil sesuatu dari rak bukunya yang isinya bukan hanya buku. Ia menyimpan beberapa minuman kaleng dan makanan ringan di salah satu kotak. Ia mengambil dua kaleng soda dan menyodorkan salah satunya pada Riga. Kemudian ia teringat PlayStation 5 kado natal tahun lalu. “Mau main game?”

Sudah cukup lama semenjak Kalev menyalakan PlayStation 5 miliknya. Ia menyalakan TV dan game konsolnya yang tersembunyi di antara barang-barangnya yang berantakan di rak. Lalu ia mengambil dua joystick dan memberikan salah satunya pada Riga yang memegang joystick itu dengan canggung.

"Sejujurnya aku enggak pernah main game PS," kata Riga.

"Hah?!" Kalev tak percaya.

“Orang tuaku melarangku main PS,” jawab Riga sambil mengangkat bahu.

“Main game di luar rumah gitu? Atau di rumah teman diam-diam?” tanya Kalev lagi.

“Enggak pernah tertarik.”

“Jadi kau lebih memilih mengerjakan seribu soal matematika daripada main game?”

“Aku main game juga kok! Game catur sama sudoku,” kata Riga defensif.

Kalev menatap Riga dengan sorot mata yang artinya yang-bener-aja. Lantas ia memilih game dan mencari game yang ia pikir mudah dimainkan oleh siapapun. "Baiklah, kita main game Mario Kart yang paling gampang."

Riga berulang kali kalah dan Kalev berkali-kali mengingatkan Riga agar tidak mengumpat terlalu keras saat kalah. Kedua anak itu tak bermain lama karena salah satunya tertidur lebih dulu di atas sofa. Kalev terheran melihat musuhnya di game tidak bergerak. Saat ia menoleh ke sampingnya, Riga sudah merebahkan diri di sofa panjang yang ada di kamarnya. Kalev pun mematikan TV dan game konsolnya. Saat ia yakin tak mendengar suara apapun lagi, ia pun memejamkan matanya. Selama beberapa saat, mereka merasa tak punya beban dan melupakan masalah yang selalu menghantui mereka.


To Be Continued

p.s. Please kindly leave comment if you have read this, I will really appreciate any critique or thoughts from you. Thank you so much for reading.