Bintang yang Redup

Agustus 07, 2016

Bintang yang Redup
A story by Nandakyu


Summary:

Namanya Shena Adrellia Bintara Liu. Papa dan Mama memberikan nama Shena agar ia bisa bersinar seperti bintang. Namun kenyataannya, ia hanyalah salah satu bintang yang redup.


**




Shena POV

Bel pulang berbunyi. Fiuuuh… Gue bernapas lega. Akhirnya, gue bisa pergi dari kelas ini! Siang ini guru Fisika yang harusnya mengajar nggak masuk dan gue sialnya terjebak di kelas yang super berisik ini. Sial. Benar-benar sial. Kenapa pula guru itu nggak masuk ke kelas?

Gue langsung mengemasi buku-buku gue, memakai hoodie, dan langsung keluar dari kelas. Gue pun berjalan menuju ke tempat parkir. Sekolah yang menyebalkan. Kenapa gue harus melewati banyak orang-orang? Argh…

Gue pun berjalan melewati lapangan basket. Gue pikir tempat itu sepi. Soalnya gue nggak liat siapa pun di situ. Ya udah, gue lewat. Dan…

BRUKKK!!!

Perhitungan gue salah. Ternyata ada orang lain yang sedang bermain basket di tempat itu. Bola basket yang niatnya mau dilempar ke ring dari daerah three-point, malah kena kepala gue.

Sontak beberapa anak yang ada di pinggir lapangan basket yang melihat kejadian memalukan itu tertawa ngeliatin gue yang apes.

“E-eh, sorry!” kata cowok yang menembakan bola itu. Dia berjalan mendekati gue untuk membantu gue bangun. Tapi gue ga butuh bantuan dia. Kenapa pula gue harus jatuh cuma gara-gara kelempar bola di kepala?!

Gue memutar bola mata. Bodo amat lah.

Gue berdiri sendiri dan langsung berjalan menuju tempat parkir. Orang-orang menyebalkan. F*cking annoying.

**

 Setelah sampai di rumah, gue langsung pergi ke kamar. Dengan perasaan yang capek, gue merebahkan badan gue di atas kasur. Satu-satunya tempat yang nyaman di dunia ini cuma kamar ini.

Well, nama gue Shena Adrellia Bintara Liu. Umur gue 15 tahun. Gue pindah ke Yogyakarta baru-baru ini. Tepatnya semenjak perceraian Papa dan Mama. Gue menghela napas dan mengambil salah satu buku gambar yang terbuka di atas tempat tidur. Ya. Hobi gue menggambar. Rak buku gue penuh sama buku sketsa dari berbagai macam ukuran, tapi kebanyakan ukuran A5. Semenjak Papa-Mama cerai, gue makin sering gambar. Entahlah, menggambar bikin gue lupa sebentar sama masalah.

Dan buku gambar dan pensil adalah satu-satunya sahabat gue.

Dari kecil gue emang punya masalah dengan berteman. Gue enggak pernah bisa punya teman. Seumur hidup, gue cuma punya 1 teman manusia. Dia cowok. Enggak seperti gue yang masih keturunan Tionghoa, dia hanya cowok Jakarta biasa. Tenang. Gue sama dia cuma temenan. Lagian kayaknya dia jarang anggep gue sebagai cewek berhubung penampilan gue lebih sering kayak cowok. Rambut gue pendek sebahu dan sering acak-acakan. Badan gue lumayan tinggi lah. Gue suka pakek hoodie dan jeans. Walau begitu, gue menuruni darah Tionghoa Mama gue. Kulit gue putih dan muka gue sangat mirip Mama. Persis. Dan Mama gue itu cantik.

Gue sama dia berada di kondisi yang sama. Gue enggak tahu gimana nyebutnya, tapi sejenis anak yang kurang perhatian gitu dari ortu. Kedengeran ngenes banget ya? Bodo ah.

Tapilagi-lagisemenjak gue pindah ke Yogyakarta, komunikasi antara gue dan Angganama teman guemakin jarang. Padahal sebelum gue pindah, dia udah janji bakal terus komunikasi sama gue.

Pembohong. Liar. Such a bad liar. Stupid liar.  

Gue menghela napas lagi, lalu berguling ke sisi kasur yang lain. Gue ambil pensil mekanik gue dan mulai menggambar.

**

Gue terbangun ketika HP gue berbunyi. Ternyata gue ketiduran pas lagi menggambar. Papa telefon.

Gue melengos. Gue masih kesel sama Papa. Gue enggak mau pindah ke Jogja buat tinggal sama Eyang Kakung dan Eyang Putri. Papa nyuruh gue gitu dengan alasan di Jakarta nggak ada yang ngurus gue dan Papa itu tipe orang yang nggak mau repot ngurus anak. Dia enggak peduli walaupun gue udah berumur 15 tahun.

Gue mengangkat telfon itu sebelum Papa mulai ngomel.

“Hm?” sahut gue langsung. Y’all know, I still can’t accept the fact.

“Kamu baik-baik aja?”

“Yah… Lumayan,” jawab gue dengan suara agak serak habis bangun tidur.

“Liburan ini Papa nggak bisa ke Jogja karena ada banyak urusan di perusahaan Papa.”

It’s ok, Pa,” jawab gue santai. Sekarang memang sudah mendekati bulan Desember. Itu berarti minggu depan UAS habis itu terima raport dan libur natal. Gue udah enggak sabar ngabisin libur natal dengan menggambar. Mungkin gue bisa bikin komik.

Wow. Nggak terasa gue udah tinggal di Jogja selama satu semester. Phew.

Beneran nggak apa-apa kan?”

“Iya, Pa.”

Ya udah. Papa tutup ya telfonnya. Bye, sweetie.”

“Hm.”

Ternyata cuma nanya gue baik-baik aja. Tapi Papa nggak tau apa yang sebenernya terjadi di dalam diri terdalam gue. Hhhh… Mana mau Papa peduli?

Gue menutup telfon itu dan melihat ada banyak notif dari Instagram. Gue emang suka banget share gambar-gambar gue ke Instagram. Dan herannya orang-orang menyukai gambar gue. Di sana gue menemui banyak orang yang ‘baik’. Gue tersenyum kecil melihat semua komentar dari orang-orang itu.

Gue beneran enggak nyangka mereka suka gambar gue padahal gue cuma iseng share gambar ke Instagram. Gue kebanjiran like dan comment. Entah kenapa di internet, gue bisa lebih ‘ramah’ dan ‘manusiawi’. But no in real life.

Gue menutup aplikasi Instagram dan melihat ada 1 chat LINE masuk. Bukan dari game atau promosi atau apa. Tapi dari Angga.

anggara_kun37: How are you? Long time no see right?

Tumben nih orang. Udah 5 bulan gue lost connection dengannya. Tiba-tiba dia ngechat gue.

liushen: Not bad. How ‘bout u?
anggara_kun37: Good enough.
anggara_kun37: How’s ur school? Still being an introvert girl?
liushen: Yeah… as you know.
anggara_kun37: You never change.
anggara_kun37: Want to meet-up?

Apa? Dia baru ngechat udah ngajak meet-up. Padahal dia di Jakarta. Dia pikir gue masih tinggal di Bintaro apa? Oh iya, sebelum gue tinggal di Jogja, gue tinggal di Perumahan Graha Raya, Bintaro Sektor 9. Jangan heran, gue sama Angga emang lebih sering chat pakek English gitu. Anyway, username gue keren kan? Kayak nama tokoh burung merak jahat di Kung Fu Panda 2. (Well, I’m quite childish. Don’t wonder!)

liushen: What? Are you in Jogja?
anggara_kun37: Not yet. Gue masih di Jakarta. Nih lagi di PIM.
liushen: Oh… Gue pikir lu ada di depan rumah gue.
anggara_kun37: Lu pengen?
liushen: Kagak. Lu ricuh sih kalo main ke rumah gua.
anggara_kun37: Haha…
liushen: Jadi, lu liburan mau ke Jogja?
anggara_kun37: Rencananya sih gitu.
liushen: Demi ketemu gue?
anggara_kun37: Ngarep lu.
liushen: Ya siapa tau. Wkwkw.
anggara_kun37: Tunggu aja.
liushen: Hm.

Tanpa sadar gue senyum-senyum sendiri kayak orang autis di depan HP. Gue langsung ngilangin senyum itu. Kenapa pula gue senyum gara-gara chat sama Angga? Wah, nggak bener nih.

Pukul 4 p.m. Tanpa sadar gue udah ketiudran sampe sore. Tumben Eyang Putri enggak ngomelin gue belum mandi, belum makan, belum ganti baju, blablabla.

Gue ngeliat buku gambar di samping gue yang masih terbuka. Ada gambar seorang samurai yang tinggal ditebelin pakek drawing-pen. Gue ngeliatin muka samurai itu dan entah kenapa gue ngerasa samurai ini mirip sama seseorang.

**

Keesokan harinya di sekolah, lagi-lagi gue harus berada di antara orang-orang. Gue benci keramaian dan menurut gue kelas gue terlalu ramai. Gue heran kenapa kelas gue suka banget bercanda meski dalam pelajaran. Apa mereka nggak bisa diam?

Gue menatap papan tulis di depan gue dan mulai mencatat pembahasan soal Matematika barusan. Di kelas, gue duduk di pojokan sendirian soalnya jumlah cewek di kelas ganjil yaitu only 21. Sedangkan cowoknya 16. Gue enggak punya teman dekat di kelas dankayaknyagak pernah ngomong sama teman sekelas kecuali pas MOS waktu perkenalan. Itu pun gue bikin perkenalan sesingkat mungkin. Yang bikin panjang cuma nama gue.

“Nama saya Shena Adrellia Bintara Liu. Asal saya SMP Jaya Bintaro. Terima kasih.”

Kemudian banyak teman sekelas yang berbisik melihat gue. Entah apa yang mereka bisikan. Gue rasa nama gue yang akhirannya ada Liunama marga Papa. Mungkin juga karena asal SMP gue yang jauh banget dari Jogja. Atau mungkin nama gue yang panjang? Yang jelas setelah maju beberapa detik di depan kelas, gue langsung kembali ke tempat duduk gue. Berusaha mungkin menghindari interaksi sosial.

Gue juga masih inget. Salah satu temen sekelas ada yang nengok ke gue pas gue udah duduk dan nanya dengan ramah.

“Nama panggilanmu siapa?” tanyague lupa siapa yang nanyadengan nada Jawa.

Papa gue emang orang Jogja. Tapi gue tinggal dari lahir sampe tamat SMP di Jakarta. Jadi sama sekali gak ada logat Jawa di lidah gue. Gue juga nggak begitu ngerti dengan Bahasa Jawa.

Gue pun jawab. “Shena.”

“Kamu dari Jakarta?” tanya temen cewek lain dengan wajah-wajah penasaran.

Gue mengangguk.

“Kenapa SMA di sini?”

Emang nggak boleh? Gue juga terpaksa kali. “Ya… Papa gue orang Jogja. Eh… Papaku orang Jogja,” jawab gue canggungbenar-benar tidak spesifik. Gue nggak biasa ngomong aku-kamu.

“Oooh… Kamu orang China toh? Namamu ada Liu-nya,” kata cewek pertama itu yang duduk di depan gue. Dia kayaknya penasaran banget sama gue.

“Enggak… Aku orang Indo kok…” jawabku lagitidak spesifik seperti sebelumnya. Menurut gue orang lain ga perlu tau tentang kehidupan gue. Dan gue juga lagi malas mengingat Mama. Walau gue lahir di Jakarta, gue pernah juga ke kampungnya Mama di Guangzhou. Gue juga bisa bahasa Mandarin dan membaca huruf Pin Yin. Mama yang mengajari gue dengan cara sering ngomong pakek Bahasa Mandarin sama gue.

Ah… Kenapa gue jadi ingat-ingat Mama?

Gue jadi keinget kejadian Papa-Mama yang berantem… Sampe akhirnya Mama pergilebih mementingkan karirnya daripada anaknya sendiri. Gue menghela napas. Hhhh... Padahal gue sama Mama ya enggak begitu deket juga karena Mama yang terlalu sibuk.

“SHENA ADRELLIA BINTARA LIU!”

“Y-ya saya Pak!” Gue tergagap mengangkat tangan gue. Gue kaget tiba-tiba nama gue dipanggil. Tanpa sadar gue melamun di dalam kelas guru killer. Sekarang temen sekelas gue menatap gue dengan sorot sinis. Jujur… Gue enggak suka ditatap seperti ini… Jujur… Rasanya pengen nangis… Tapi gue balas dengan tatapan yang lebih sinis.

Oh no… It’s a bad news, guys… I think I’ll be punished…

“Apa yang kamu lakukan hah sampai tidak dengar perkataan saya?!” bentak Pak Hermawannama guru matematika wajib gue yang galak.

Gue kalau melamun emang bisa bener-bener tenggelam di pikiran sendiri… Gue terlalu terbiasa sendirian… Tenggelam di pikiran tergelap gue. But, nobody cares. Nobody wakes me up from my darkest mind.

“Saya sudah panggil kamu 2 kali! Kenapa sampai tidak dengar?! Orang di kelas sebelah saja mungkin sampai dengar!”

Gue enggak berani menatap guru itu… dan teman sekelas gue yang menatap sinis ke arah gue… gue gemetar. Jantung gue berdetak cepat karena tak tahan dengan sorot-sorot itu. “Maaf. Saya melamun.”

“Kalau kamu tidak mau mengikuti pelajaran saya, keluar!”

Gue menatap Pak Hermawan dengan tatapan tak percaya. Hanya karena melamun?

Marah. Gue kesel. Akhirnya gue berdiri mengambil buku matematika gue dan berjalan keluar kelas.

Gue benci dibentak di hadapan orang banyak. Bodo amat sama sorot sinis temen sekelas gue. ‘Temen’? LOL. Gue enggak percaya tuh sama yang namanya teman.

“Pintar-pintar tapi sikapnya begitu. Enggak pernah diajarin orang tuanya caranya bersikap ya?” kata Pak Hermawan di dalam kelas sebelum melanjutkan perlajarandidengar oleh 36 siswa.

‘Orang tua’?

Bahkan gue enggak dekat dengan kedua orang tua gue. Mereka mana peduli sama kondisi psikolog gue yang kelamaan kesepian, sendirian, gak tahu kasih sayang.

Sialan.

Ngapain sih tuh guru nyebut-nyebut orang tua segala? Tahu apa dia soal orang tua gue? TAHU APA DIA SOAL KEHIDUPAN GUE HAH? APA DIA TAHU ORANG TUA GUE YANG ENGGAK PEDULI SAMA ANAKNYA SENDIRI?

Gue mendudukan diri gue di lantai koridor sekolah dan menyenderkan punggung gue di tembok. Gue melempar buku pelajaran gue ke bangku yang ada di samping gue.

Gue menyentuh mata gue yang terasa berair. Gue marah. Kesal. Sedih. Benci. Jengkel. Hingga tanpa sadar gue nangis.

**

Bel pulang berbunyi. Syukurlah… Gue udah enggak tahan berada di sekolah. Gue kemas alat tulis dan buku pelajaran gue ke dalam tas ransel gue yang berwarna hitam. FYI, black is my favorit colour. Tak lupa gue pakek hoodie hitam gue. Gue pakek hoodie-nya agar menutupi rambut hitam gue yang panjangnya cuma sampai sebahu. Gue rapihkan poni panjang gue ke sisi wajah.

Gue berjalan keluar kelas dengan langkah cepat. Tapi… salah satu anak kelas berdiri di depan pintu dengan wajah sok galak. Kemudian muncul anak lain yang berdiri di sisi pintu yang lain juga memasang wajah jutek. Gue tahu 2 cewek ini siapa. Arinwakil ketua kelas. Yunitemannya Arin yang mukanya selalu judes.

Gue tatap mereka dengan sorot heran. “Permisi. Aku mau lewat,” ucap gue berusaha sopan tapi jatuhnya songong. Jiah…

“Kamu tahu nggak? Kelas kita mau ada kumpul buat musyawarahin lomba kesenian antar kelas,” kata Arin dengan nada tak bersahabat.

So what? Who cares?

“Emang aku diundang?” jawab gue yang kayaknya bikin mereka naik pitam. Ups.

Arin maju. Badannya yang tinggi dan berisi, mulai menghalangi jalan gue. Eits, tenang. Gue juga tinggi. Bedanya badan gue kurus. Yah… Enggak kurus-kurus amat sih. Slim gitu. Wkwkwk… PD banget sih gue.

“Kamu ini ya, enggak ada respeknya blas sama kelas sendiri!” kata Arin naik pitam. Saking emosinya dia mendorong tubuh gue.

Sontak anak kelas yang masih berada di dalam kelas terfokus ke arah gue yang dibully oleh wakil ketua kelas. Mereka menatap pemandangan di depan mereka dengan tatapan ‘menonton’. Kayaknya mereka senang gue dibully.

Rese. Gue kesel luar biasa. Apaan sih?!!! ARGHHH!!!

Gue balas dorong tubuh Arin yang lebih besar dari gue. “Apaan sih pakek dorong-dorong segala?! Gue mau pulang!” ucap gue. “Minggir lu!”

Arin melotot ke gue. Kayaknya dia enggak rela badannya didorong sama gue yang lebih kurus darinya. Dia menahan tubuh gue dan mendorong badan gue lebih keras. Gue pun terkena meja murid barisan terdepan dengan keras. Sakit. Tapi gue masih bisa tahan.

Gue mendelik ke arah Arin. “Apaan sih? Lu aja nggak jawab gue diundang apa kagak?!” bentak gue. Mampus. Bisa enggak lu lawan bacotan gue kalo gue udah nge-lo-gue?

“Kamu anak kelas ini kan? Berarti diundang lah yaaaaaa!” Dia menjawab dengan nada super mengejek.

“Emang mau ngapain sih? Bisa kan bilang baik-baik?”

Arin memutar bola matanya lantas memasang senyum merendahkan. “HP kamu apa sih, Shena? Makanya punya Whatssap dooong!”

Gue menggertakan gigi gue. Sialan nih anak. Enggak perlu nada kayak gitu juga kali. Benci banget apa sama gua? Sini pukul. Gue balas pukul, tepar lu! Gue susah payah menahan kepalan tangan.  

“HP gua iPhone 6s+, terus kenapa kalau gua gak punya Whatssap? Penting banget apa?!”

“Penting kalau itu urusan kelas.”

“Penting menurut lo! Menurut gua kagak! Udah ah, peduli amat sih sama gua!” Gue melangkah satu langkah mendekati Arin. Rasanya pengen banget gua tonjok muka sok berkuasanya itu. Dia emang selalu berkuasa banget di kelas.

“Lihat tuh, Kukuh aja walaupun pendiam dan enggak berperan apa-apa selalu datang ke kumpul kelas!” kata Arin menunjuk cowok bernama Kukuh yang hobinya bermain HP di setiap kegiatan.

So what? Apa peduli lo sama gua? Sok peduli banget sih lu!” Gue dorong lagi tubuhnya Arin.

“Oy oy oy… Slow down, man…” kata Yuni sambil menengahi gue dan Arin.

“Minggir lu. Pengen punya urusan juga apa sama gua?” tantang gue ke Yuni. Gue dorong juga tubuh Yuni.

“Kita ini mau bahas lomba kesenian antar kelas buat sehabis UAS. Masa kamu nggak mau berpartisipasi blas?!” kata Arin.

“Lu heran gua kagak mau ikutan kayak gituan? Karena menurut gua itu semua hal bodoh. Ngapain sih nunjuk-nunjukin kebolehan diri di antara orang banyak. Ya kali orang banyak itu mau peduli,” ucap guesarcasm. “Gue juga enggak peduli sama begituan. Buang-buang waktu gue.”

Muka Arin memerah, dia menggeram. Dia bersiap-siap mendorong tubuh gue. Tapi gue mengacungkan kepalan tinju gue. Gue sering lihat adegan tinju-tinjuan karena gue penyuka film action, jadi gue cukup tahu bagaimana cara meninju yang baik dan benar. Gue bersiap-siap meninju pipi Arin, tapi seseorang menahan tangan gue. Cowok.

StopStop…! Apaan sih kalian? Cewek-cewek kok berantem?” kata Ridwannama ketua kelas di kelas ini. Dia menahan tinjuan gue. Gue berusaha memberontak tapi Ridwan tetap menahan tangan gue. Sialan. Padahal sedikit lagi bakal ada noda ungu di muka Arin.  

Cowok lain yang gue tahu namanya Jody juga menahan Arin. Jadilah gue dan Arin ditahan sama 2 anak cowok itu agar tidak saling mendorong atau meninju.

“Bentar. Kintan mau nunjukin sesuatu ke kalian berdua,” kata Jody.

Bentar? Wks, jadi dia ngebolehin kami berdua berantem? Cepetan, Kintan. Lu mau nunjukin apa sih? Gue udah nggak sabar ngelayangin tinju ini ke muka Arin. Et dah, Yuni juga ikut-ikutan ngalangin kami berdua. Kayaknya sikap tubuh gue ganas banget ini sampe harus dihalangin 2 orang begini.

Anyway guys, Kintan itu anak yang sangat kalem, pemalu, dan suaranya sangat kecil. Hobinya menggambar juga. Dia duduk di depan gue jadi gue otomatis tahu. Dia juga suka gambar tapi bukan gambar manga seperti gue.

Si kecil Kintan berjalan mendekati kami sambil membawa HP-nya. Dia menunjukan suatu akun Instagram kepada Arin… Walau begitu gue masih bisa melihat samar isi Instagram itu. “I-ini… a-aku mau nunjukin kalau yang dibilang Shena barusan beda sama yang ada di akun IG ini… Ini akun IG-nya Shena,” kata Kintan. 

“Liushen?” ucap Arin membaca username gue.

“Hah?!” Gue terkejut ketika ada anak kelas tahu tentang akun Instagram gue.

Arin mengambil HP-nya Kintan lalu meng-stalk akun IG itu. Dia lihat semua gambar manga gue… “Wow likers sama commenters-nya…” kata Yuni yang ikut-ikutan lihat.

“Liushen? Jadi itu nama IG-mu?”

Sontak anak kelas yang ada di situ bergerak penasaran ke arah HP-nya Kintan. Mereka memuji gambar gue… Mereka takjub melihat likers dan commenters serta supporters gambar-gambar gue di IG…

“Bukan!” bantah gue. Arghhh… Kenapa pula si Kintan ini ngasih tahu?! Gue pelototin itu anak.

“Di sini ada namamu. Shena Adrellia Bintara Liu,” kata Arin.

“BUKAN! AU AH! BERHENTI LIAT IG GUA!” Gue sambar HP-nya Kintan. Hampir gue banting, tapi gue nggak mau ganti rugi.

“Kamu kalau pintar menggambar bilang aja, Shena…”

“Waaah… Gambarmu bagus…”

“Keren…”

“Nanti kufollow, ah!”

“Liushen ya? Mau kuliat gambarnya…”

Mendadak suasananya berubah. Gue berjalan mundur selangkah. APA-APAAN INI? Padahal gua mau ninju mukanya Arin. Gue beneran enggak biasa dikerubungin dan dipuji seperti ini. Gue… gue… enggak biasa. Enggak pernah dikayakginiin di dunia nyata.

Gue hampir menangis karena merasa sesak di antara orang-orang ini. Tolong. Gue enggak tahan. Gue sesak. Pusing. Ini terlalu banyak orang.

Gue ambil tas gue dan berlari menuju tempat parkir.

APA-APAAN TADI?!!!

**

Hangat. Setelah menembus hujan gerimis Jogja, gue langsung diseduhi cokelat hangat oleh Eyang Putri. Satu-satunya yang nyaman selain kamar tidur gue yaitu cokelat hangat. Masih dengan seragam sekolah gue, gue duduk di sofa ruang keluarga. Napas gue masih enggak teratur karena kejadian dikerubungin barusan.

“Kenapa toh, Shena? Pulang-pulang mukanya syok begitu?” tanya Eyang Putri dengan logat Jogja-nya. Eyang Putri walaupun masih ada darah Tionghoa, tapi logat Jogjanya kental banget.

Biasanya gue enggak jawab. Karena enggak jawab perkataan Eyang gue adalah salah satu pemberontakan gue yang nggak suka tinggal di Jogja.

Gue menggeleng. “E-enggak apa-apa…” Curse my shaking says!

Anyway, gue bingung. Ngomong ke Eyang: gue/aku/Shena? Menurut lu apa enaknya? Kalau ‘gue’, kayaknya enggak sopan. (Aha, gue masih punya kesopanan kok) Kalau ‘aku’… boleh juga. Kalau ‘Shena’, gue jadi keinget jaman masih 8 tahun. Ngomong ke siapa-siapa pakek ‘Shena’. Tapi untuk saat ini gue pengen banget ngomong pakek ‘Shena’…

Kalian pasti bingung, jadi selama 5 bulan gue enggak pernah ngomong sama Eyang Putri? Ya kan? Ha. Gue pernah ngomong. Tapi cuma jawaban singkat. Gue kalau enggak suka sama sesuatu bakal gue cuekin terus. Jahat? Bodo.

“Kalau mau bicara, bicara aja, Shena…” kata Eyang Putri dengan lembut.

Baiknya Eyang gue… Walaupun gue sering kurang sopan, Eyang sangat baik. Bahkan Papa gue enggak sebaik ini. Papa. Uh. Kenapa sih harus keinget Papa yang telfonnya sebulan sekali? Singkat pula. Hhhh…

“Habis ada masalah di sekolah toh?” tanya Eyang Putri.

“E-enggak..”

“Beneran…?”

“I-iya…”

Hening. Gue memegang hoodie hitam favorit gue yang sekarang ada di pangkuan gue. Enggak tahu kenapa, gue sangat shock dengan kejadian di sekolah barusan. Gue enggak nyangka teman sekelas gue ada yang mengetahui nama Instagram gue dan mereka memuji gambar-gambar gue. Gue sangat trauma dengan kejadian masa kecil gue yang menyakitkan…

Well, I’ll tell you a story when I was a little kid. It was not a good story. It was a sad story.

Jadi…

Waktu itu umur gue masih 6 tahun. Hobi pertama gue adalah menggambar. Gue suka banget menggambar. Gue bisa tersenyum cuma gara-gara menggambar orang atau kucing atau anjing atau apa pun yang ingin gue gambar. Hingga suatu Minggu pagi di hari ulang tahun Mama, gue menggambar spesial untuk Mama. Gue gambar kucinghewan favorit gue. Ya. Gue suka kucing, seperti Mama. Karena kucing lucu.

Kucing itu digambar berwarna hitam dengan pita berwarna merah di lehernya. Gue suka banget sama kucing berwarna hitam. Ternyata dari kecil gue emang udah suka banget sama warna hitam. Haha… Lalu di bawahnya terdapat tulisan dengan tulisan Pin Yin.

Seung ri kuai le, Mama’

Yang artinya ‘Selamat ulang tahun, Mama’.

Background-nya berwarna-warni campuran antara pink, biru, ungu, hijau, oranye, dan kuning. Gue masih ingat semua crayon yang gue gunakan untuk membuat special gift itu. Waktu itu hari Minggu, tapi Mama harus pergi ke kantor. Mama memang seorang sekretaris di suatu perusahaan besar. Mama memang orang yang sibuk. Tapi sampai saat ini gue enggak tahu apa kesibukan Mama sebenarnya.

Gue yang masih seorang bocah usia 6 tahun berjalan mendekati Mama yang sedang memakai make-up di kamar tidurnya…

“Ma… Seung ri kuai le, Mama…” ucap gue. Waktu itu gue masih pendek. Rambut gue juga pendek. Dan wajah gue sangat China. Orang yang melihat gue waktu masih kecil pasti mengira gue anak China asli.

Mama melihat gambar gue dengan sorot datar seperti tak memiliki perasaan. Ia menatap diri gue yang masih bocah. Wajahnya yang bermake-up akhirnya berkata, “Menggambar itu enggak berguna. Lebih baik gunakan waktumu untuk belajar, Shena.”

Kemudian Mama yang sudah selesai bersiap-siap, pergi. Pergi gitu aja.

Udah. Selesai percakapan antara Ibu dan anak itu.

Sakit. Padahal gue gambar itu sepenuh hati. Gue masih ingat banget tiap perkataan Mama waktu itu.  

Gue pun menunjukannya ke Papa… yang waktu itu juga lagi bersiap-siap berangkat ke luar negeri untuk urusan bisnis.

Dan Papa malah mengabaikan gue. Dia malah terlihat kesal melihat gue yang tersenyum manis sambil menunjukangambar gue.

Sakit. Gue yang masih bocah 6 tahun pun ngerasa sakit dan marah. Apa-apaan gambar yang gue gambar penuh warna dan susah payah tidak dihargai sama sekali?! Setelah Papa-Mama pergi bekerja, gue robek gambar gue sambil menangis.

Pembantu-pembantu yang ada di rumah gue cuma bisa menatap iba, enggak bisa berkata apa-apa melihat gue yang masih bocah, kesepian setiap hari.

Sejak saat itu gue enggak mau nunjukin gambar ke orang lain di dunia nyata. Gue mulai berpikir kalau menunjukan gambar ke orang lain itu adalah hal bodoh, karena orang lain belum tentu peduli. Bahkan orang tua gue pun enggak peduli.

“Shena, kamu gemetar? Ganti baju gih,” kata Eyang Putri menyadarkan gue dari dunia lamunan. Beliau menyentuh pundak gue dengan lembut.

Gue ngeliat tangan gue gemetar. Entah karena apa. Mungkinkah karena gue habis kehujanan? Kemudian napas gue terasa sesak secara perlahan… Gue menaruh gelas cokelat gue dengan tangan gemetar lalu menyenderkan tubuh gue ke sofa. Sakit… Napas gue sakit…

“Shena? Shena?” panggil Eyang Putri menyentuh tubuh gue yang terasa lemas. “Kamu kenapa?”

Gue mengernyit. Sial. Asma gue kambuh. Gue enggak bisa bernapas, tapi pikiran gue kelewat capek. Lelah. Sakit. Frustasi.

“Shena? Asmamu kambuh? Shena?” panggil Eyang Putri.

Gue berusaha untuk tersadar. Tapi pikiran gue kelewat lelah. Dan mendadak semuanya menjadi gelap.

**

Putih. Semuanya terlihat putih dan terang. Gue bisa mendengar alat rumah sakit berbunyi di samping tempat tidur gue. Gue mengangkat tangan gue dan melihat tangan gue diinfus. Gue memerjapkan mata gue beberapa kali untuk menyesuaikan datangnya cahaya ke mata gue.

Wait. Hospital? Gue ada di Rumah Sakit? Gue bisa merasa ada alat bantu pernapasan di hidung gue.

“Shena? Udah bangun?” tanya Eyang Putri yang sudah duduk di samping gue.

Gue mengangguk. Kepala gue masih terasa sakit dan pusing. Mata gue terasa berat. Tapi sekarang gue bisa bernapas dengan leluasa. Gue bisa menyimpulkan gue dirawat di Rumah Sakit hanya karena asma kambuh. Tunggu. Gue kan punya asma waktu masih umur 8 tahun.  Tapi kenapa setelah 7 tahun kambuh lagi? Gue pernah baca kalau asma bisa disebabkan tekanan psikologi. Mungkinkah gue terlalu banyak tekanan di kepala?

Gue menggeleng. Enggak. Bukan. Gue enggak kenapa-napa kok. Gue cuma kecapekan. Capek pikiran. Mungkin itu lebih tepatnya. Yah… Bisa saja gue terlalu banyak belajar buat UAS minggu depan? Ye gak?

Tapi dari pada overthinking mending gue nanya ke Eyang gue.

“Shena kok ada di RS?” tanya gue sambil menoleh ke arah Eyang yang duduk di kursi yang ada di samping gue. Mukanya kelihatan khawatir. Entah kenapa ada yang aneh sama hati gue, berhubung gue enggak pernah dikhawatirin sama orang tua sendiri.

“Asmamu kambuh. Kayaknya gara-gara kecapekan. Kalau capek istirahat toh, jangan maksain diri,” nasihat Eyang ke gue. “Atau Shena lagi kebanyakan pikiran? Ada masalah di sekolah? Kayaknya asma Shena enggak pernah kambuh lagi sejak kelas 3 SD.”

Gue menggeleng. Gue enggak mau cerita apa pun. Lebih baik dipendam.

Pendam, pendam, dan pendam.

Arghhh… Sakit… Lagi-lagi napas gue kerasa sakit walaupun gue udah dipasangin alat bantu pernapasan, tetep aja kerasa sakit. Gue mengernyit.

“Shena? Ada yang sakit lagi?” tanya Eyang Putri sambil menyentuh tubuh gue.

Gue makin mengernyit. Sakit. Sial. Kenapa harus sesakit ini? Padahal gue cuma ngambil napas.

Kemudian muncul perawat rumah sakit dari pintu ruang tempat gue dirawat sekarang. Gue disuntikan sesuatu oleh perawat itu dan kemudian rasa sakit itu perlahan hilang. Gue pun merasa mengantuk. Namun sebelum gue bener-bener tidur, gue bisa denger Eyang berkata sesuatu dengan suara pelan.

“Ssshhh… Jangan banyak berpikir dulu, Shena… Eyang tahu kamu masih belum bisa menerima keadaan Papa-Mama-mu yang bercerai kan? Lain kali kamu harus bicara supaya bebanmu itu hilang.”

**

Keesokan harinya…

Gue sembuh. Gue kalau sakit emang sebentar. Gue juga seneng banget akhirnya bisa terbebas dari infus dan alat bantu pernafasan. Begitu sampai di rumah sama Eyang Putri dan Mbah Kakung, gue langsung masuk ke kamar dan mengambil HP.

Oh iya, gue udah ganti baju bebas kok. Kemarin kan gue dibawa ke rumah sakit masih pakek seragam sekolah. Berhubung gue pulang dari rumah sakit jam 10 pagi, hari ini pun gue enggak masuk sekolah. Gue merasa senang karena bisa terbebas dari orang-orang.

Gue mengecek pesan. Enggak ada satu pesan pun dari ortu gue. Padahal kata Eyang, Eyang udah memberitahu mereka kalau asma gue kambuh. Tapi sepertinya mereka enggak peduli. Atau mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan? Tahu deh.

Setelah mengecek pesan, gue melihat ada banyak notification dari IG. Seperti biasa ada banyak likers, commenters, dan followers baru. Gue pun tersadar kalau postingan di IG gue udah cukup banyak. Gue lumayan senang ada banyak orang asing yang menyukai gambar gue.

Namun di antara banyaknya commenters itu gue bisa melihat ada beberapa komentar yang sepertinya berasal dari anak kelas. Gue mengernyit. Pasti si kecil Kintan yang udah ngebeberin nama Instagram gue. Sialan tuh anak.

Hhhh… 

Kesel gue kalau anak kelas tahu akun Instagram gue. Gue menutup aplikasi Instagram gue, kemudian melempar HP gue ke sisi lain kasur.

Untuk beberapa saat gue hanya tiduran di kasur. Ingatan itu kembali memenuhi kepala gue. Ingatan tentang diabaikan oleh ortu sendiri, ingatan waktu gue nunjukin gambar gue ke Papa-Mama, sampai ingatan tentang Papa-Mama yang berantem…

Sial. Gue udah enggak tahan nginget itu semua. Pergi. Tolong pergi. Gue capek.

**

Paginya…

“Shena enggak mau sekolah,” ucap gue dengan muka datar sambil meminum cokelat di ruang makan ke Eyang gue.

“Kenapa? Masih sakit?”

Gue menggeleng. Kepala gue udah enggak pusing lagi kok. Dan napas gue udah normal. Jadi enggak ada masalah. Tapi gue males banget ketemu anak kelas.

“Minggu depan udah ujian kan?”

Bodo amat. Gue bisa kok belajar sendiri di rumah.

Tiba-tiba Eyang Kakung muncul di ruang makan. Gue paling jarang bicara sama Eyang Kakung karena muka galak Eyang Kakung. Enggak seperti Eyang Putri yang mukanya selalu tersenyum ramah. Gue pun langsung tegang di kursi. Akhirnya gue memutuskan untuk segera beranjak pergi dari ruang makan.

“Shena Liu. Kenapa enggak mau sekolah?”

Gue langsung deg-degan. Gue curiga gue bakal dimarahin. Harusnya gue stay aja di kamar, enggak keluar-keluar.

Gue pun duduk lagi di kursi makan di hadapan Eyang Kakung. Gue diam aja. Yang jelas alasannya, gue enggak mau bertemu anak kelas. Gue sangat malas menjelaskan alasan gue enggak mau masuk sekolah. Karena enggak akan ada orang yang mengerti. Gue hanyalah seseorang yang lebih suka sendirian dan paling enggak tahan kalau bertemu banyak orang.

“Apa pun masalahmu, Shena, harus kamu hadapi dan selesaikan. Kabur itu pekerjaan seorang pengecut,” kata Eyang Kakung tiba-tiba.

“Shena enggak punya masalah dengan siapa pun,” jawab gue dingin.

“Terus kenapa enggak mau sekolah? Kalau enggak mau masuk sekolah berarti Shena sedang punya masalah yang mau dihindari kan?”

                “Enggak ada masalah,” jawab gue.

“Kalau gitu buktikan enggak ada masalah.”

Apa Eyang Kakung sedang menantang gue sekarang? “Shena enggak pengen sekolah hari ini.”

Eyang Kakung tidak menanggapiku. Takut-takut, gue melihat ekspresi wajah Eyang Kakung. Mukanya terlihat berpikir. Apakah setelah ini dia akan memarahi gue? Namun, tak lama kemudian Eyang Kakung kembali menatap gue dan berkata, “Oke. Gimana kalau hari ini kita ke pantai?”

Pantai? Ngapain? Jadi Eyang Kakung mengijinkan gue bolos sekolah?

“Dikira mau dibujuk berangkat sekolah, kok malah diajak ke pantai?” komentar Eyang Putri sambil membawa makanan untuk sarapan ke meja makan.

Eyang Kakung tersenyum. Waw… Jarang sekali gue ngeliat Eyang Kakung tersenyum seperti itu. “Shena, bersiap-siaplah. Hari ini kita bertiga pergi ke Pantai Parangtritis,” ucapnya menyebutkan salah satu pantai terkenal di Jogja. Well, gue pernah ke sana waktu masih kecil.  

Gue penasaran. Kira-kira apa yang direncanakan Eyang Kakung?

**

Sesampainya di Pantai Parangtritis…

Sepi. Of course. Sekarang kan hari kerja. Jadi, enggak akan ada yang pergi ke pantai. Gue turun dari mobil sambil membawa tas ransel gue. Diikuti Eyang Putri dan Eyang Kakung. Kami pergi ke sini naik mobil Innova yang disetir Eyang Kakung.

Siang ini mendung. Jadi, enggak terlalu panas. Dan gue cukup senang karena gue enggak begitu suka dengan cahaya matahari. Gue mulai berjalan menuju pinggir pantai mengikuti Eyang Putri.

“Tahu enggak, dulu Shena sering pergi ke sini loh,” kata Eyang Putri tiba-tiba.

Gue masih ingat kok… Tapi itu dulu banget. Mungkin waktu gue masih TK, sebelum Papa dan Mama jadi orang tua sibuk yang tidak mempedulikan anaknya. Masa-masa bahagia…

“Dulu Shena juga sering main sama Rafael di pantai ini,” cerita Eyang Putri lagi.

Rafael adalah saudara sepupu gueanak om gue. Umurnya 2 tahun di atas gue. Tapi udah lama banget gue enggak ngelihat dia. Dulu dia sempat tinggal juga sama Eyang Putri dan Eyang Kakung, tapi gue udah enggak tahu kelanjutannya. “Rafael sekarang di mana?”

“Dia tinggal di Semarang sama Om dan Tante,” jawab Eyang Putri.

Oooh… Keluarganya memang lebih harmonis ‘sedikit’ dari gue.

Gue udah sampai di pinggir pantai. Sekarang air laut bisa menyentuh kaki gue. Ah… Ternyata enak juga kayak gini. Bisa bolos sekolah dan pergi ke pantai. Udah lama banget gue enggak pergi jalan-jalan kayak gini sama keluarga. Kadang gue kangen masa-masa waktu gue masih kecil, waktu gue masih sering jalan-jalan sama keluarga.

Tanpa sadar gue udah nangis. Gue kangen semua masa itu. Tapi gue selalu memarahi diri gue sendiri. Gue enggak sadar kalau gue udah terluka gara-gara diri gue sendiri. Gue nyakitin diri gue sendiri.

“Shena, nangis itu enggak apa-apa kok,” kata Eyang Putri lagi.

Gue menoleh ke arahnya. Eyang tersenyum ke arah gue yang berlinang air mata. Aishhh… Stupid. Kenapa harus nangis sih? Gue langsung menghapus air mata gue. Gue malu nangis di depan orang. Tapi sayangnya air mata ini terus keluar.

Gue terus menangis di samping Eyang Putri. Di hadapan laut yang berombak tenang. Di bawah langit yang mendung. Gue enggak sanggup nahan nangis ini. Enggak biasanya gue kayak gini. Biasanya gue selalu bisa kuat nahan nangis di keadaan kapan pun. Tapi sepertinya enggak kali ini. Gue ternyata sangat lemah…

Gue enggak tahu kenapa kehidupan gue kayak gini. Gue punya Papa dan Mama yang selalu mengabaikan gue. Gue selalu kesepian. Gue enggak tahu yang namanya rasa sayang. Gue cuma tahu kesendirian, kesendirian, dan kesendirian. Gue enggak punya siapa-siapa. Gue terjebak di dunia gelap yang ada di pikira gue. Gue ingin diselamatkan. I just wanna to be saved.

“Shena, kamu tahu arti namamu enggak?” tanya Eyang Putri.

Gue menggeleng. Memang Papa dan Mama mau memikirkan arti nama gue segala?

“Kata Papa-mu, Shena itu pelesetan dari kata shine yang artinya bersinar. Kata Mama-mu, dia pengen kamu jadi bersinar seperti bintang.”

Gue terhenyak mendengar penjelasan dari Eyang. Benarkah itu? Gue enggak nyangka nama gue itu pelesetan dari kata shine. Dan gue enggak nyangka Mama berharap gue menjadi bintang yang bersinar.

“Shena Adrellia Bintara Liu. Namamu cantik bukan? Itu semua dirangkai oleh Papa-Mama-mu. Eyang yakin mereka sayang kamu.”

“Beneran?” tanya gue menyakinkan dengan suara sengau akibat menangis.

“Iya. Mereka selalu berharap kamu jadi bintang yang bersinar.”

“Tapi kenyataannya Shena cuma bintang yang redup,” ucap gue sambi menunduk. Gue malu dengan muka gue yang berantakan. Beruntung saat ini suasana sepi. Gue sangat suka dengan suasana yang hening dan sepi seperti ini.

“Shena, untuk menjadi bersinar itu pasti butuh proses kan? Eyang yakin kamu pasti akan jadi bintang yang bersinar,” kata Eyang Putri yang entah kenapa membuat gue merasa lebih tenang.

Baru kali ini  gue ngerasa hal seperti ini.

Mungkin udah saatnya gue mulai berbicara dengan orang-orang dan bukan hanya menghindari orang-orang. Dan… ini langkah pertama yang akan gue ambil.

“Makasih, Eyang,” ucap gue sambil tersenyum tulus.

END



You Might Also Like

0 comments