Bintang yang Redup
Agustus 07, 2016
Bintang yang Redup
A story by Nandakyu
Summary:
Namanya Shena Adrellia Bintara Liu. Papa dan Mama memberikan nama Shena
agar ia bisa bersinar seperti bintang. Namun kenyataannya, ia hanyalah salah
satu bintang yang redup.
**
Shena POV
Bel
pulang berbunyi. Fiuuuh… Gue bernapas lega. Akhirnya, gue bisa pergi dari kelas
ini! Siang ini guru Fisika yang harusnya mengajar nggak masuk dan gue sialnya
terjebak di kelas yang super berisik ini. Sial. Benar-benar sial. Kenapa pula
guru itu nggak masuk ke kelas?
Gue
langsung mengemasi buku-buku gue, memakai hoodie,
dan langsung keluar dari kelas. Gue pun berjalan menuju ke tempat parkir.
Sekolah yang menyebalkan. Kenapa gue harus melewati banyak orang-orang? Argh…
Gue
pun berjalan melewati lapangan basket. Gue pikir tempat itu sepi. Soalnya gue
nggak liat siapa pun di situ. Ya udah, gue lewat. Dan…
BRUKKK!!!
Perhitungan
gue salah. Ternyata ada orang lain yang sedang bermain basket di tempat itu.
Bola basket yang niatnya mau dilempar ke ring dari daerah three-point, malah kena kepala gue.
Sontak
beberapa anak yang ada di pinggir lapangan basket yang melihat kejadian
memalukan itu tertawa ngeliatin gue yang apes.
“E-eh,
sorry!” kata cowok yang menembakan
bola itu. Dia berjalan mendekati gue untuk membantu gue bangun. Tapi gue ga
butuh bantuan dia. Kenapa pula gue harus jatuh cuma gara-gara kelempar bola di
kepala?!
Gue
memutar bola mata. Bodo amat lah.
Gue
berdiri sendiri dan langsung berjalan menuju tempat parkir. Orang-orang
menyebalkan. F*cking annoying.
**
Setelah sampai di rumah, gue langsung pergi ke
kamar. Dengan perasaan yang capek, gue merebahkan badan gue di atas kasur.
Satu-satunya tempat yang nyaman di dunia ini cuma kamar ini.
Well, nama gue Shena Adrellia Bintara Liu. Umur gue
15 tahun. Gue pindah ke Yogyakarta baru-baru ini. Tepatnya semenjak perceraian
Papa dan Mama. Gue menghela napas dan mengambil salah satu buku gambar yang
terbuka di atas tempat tidur. Ya. Hobi gue menggambar. Rak buku gue penuh sama
buku sketsa dari berbagai macam ukuran, tapi kebanyakan ukuran A5. Semenjak
Papa-Mama cerai, gue makin sering gambar. Entahlah, menggambar bikin gue lupa
sebentar sama masalah.
Dan
buku gambar dan pensil adalah satu-satunya sahabat gue.
Dari
kecil gue emang punya masalah dengan berteman. Gue enggak pernah bisa punya
teman. Seumur hidup, gue cuma punya 1 teman manusia. Dia cowok. Enggak seperti
gue yang masih keturunan Tionghoa, dia hanya cowok Jakarta biasa. Tenang. Gue
sama dia cuma temenan. Lagian kayaknya dia jarang anggep gue sebagai cewek
berhubung penampilan gue lebih sering kayak cowok. Rambut gue pendek sebahu dan
sering acak-acakan. Badan gue lumayan tinggi lah. Gue suka pakek hoodie dan jeans. Walau begitu, gue
menuruni darah Tionghoa Mama gue. Kulit gue putih dan muka gue sangat mirip
Mama. Persis. Dan Mama gue itu cantik.
Gue
sama dia berada di kondisi yang sama. Gue enggak tahu gimana nyebutnya, tapi
sejenis anak yang kurang perhatian gitu dari ortu. Kedengeran ngenes banget ya?
Bodo ah.
Tapiㅡlagi-lagiㅡsemenjak
gue pindah ke Yogyakarta, komunikasi antara gue dan Anggaㅡnama
teman gueㅡmakin jarang. Padahal sebelum gue pindah, dia udah janji bakal terus
komunikasi sama gue.
Pembohong.
Liar. Such a bad liar. Stupid liar.
Gue
menghela napas lagi, lalu berguling ke sisi kasur yang lain. Gue ambil pensil
mekanik gue dan mulai menggambar.
**
Gue
terbangun ketika HP gue berbunyi. Ternyata gue ketiduran pas lagi menggambar. Papa
telefon.
Gue
melengos. Gue masih kesel sama Papa. Gue enggak mau pindah ke Jogja buat
tinggal sama Eyang Kakung dan Eyang Putri. Papa nyuruh gue gitu dengan alasan
di Jakarta nggak ada yang ngurus gue dan Papa itu tipe orang yang nggak mau
repot ngurus anak. Dia enggak peduli walaupun gue udah berumur 15 tahun.
Gue
mengangkat telfon itu sebelum Papa mulai ngomel.
“Hm?”
sahut gue langsung. Y’all know, I still
can’t accept the fact.
“Kamu baik-baik aja?”
“Yah…
Lumayan,” jawab gue dengan suara agak serak habis bangun tidur.
“Liburan ini Papa nggak bisa ke
Jogja karena ada banyak urusan di perusahaan Papa.”
“It’s ok, Pa,” jawab gue santai. Sekarang
memang sudah mendekati bulan Desember. Itu berarti minggu depan UAS habis itu
terima raport dan libur natal. Gue udah enggak sabar ngabisin libur natal
dengan menggambar. Mungkin gue bisa bikin komik.
Wow.
Nggak terasa gue udah tinggal di Jogja selama satu semester. Phew.
“Beneran nggak apa-apa kan?”
“Iya,
Pa.”
“Ya udah. Papa tutup ya telfonnya. Bye,
sweetie.”
“Hm.”
Ternyata
cuma nanya gue baik-baik aja. Tapi Papa nggak tau apa yang sebenernya terjadi
di dalam diri terdalam gue. Hhhh… Mana mau Papa peduli?
Gue
menutup telfon itu dan melihat ada banyak notif dari Instagram. Gue emang suka
banget share gambar-gambar gue ke
Instagram. Dan herannya orang-orang menyukai gambar gue. Di sana gue menemui
banyak orang yang ‘baik’. Gue tersenyum kecil melihat semua komentar dari
orang-orang itu.
Gue
beneran enggak nyangka mereka suka gambar gue padahal gue cuma iseng share gambar ke Instagram. Gue
kebanjiran like dan comment. Entah kenapa di internet, gue
bisa lebih ‘ramah’ dan ‘manusiawi’. But
no in real life.
Gue
menutup aplikasi Instagram dan melihat ada 1 chat LINE masuk. Bukan dari game
atau promosi atau apa. Tapi dari Angga.
anggara_kun37: How
are you? Long time no see right?
Tumben nih orang. Udah 5 bulan gue lost connection dengannya. Tiba-tiba dia
ngechat gue.
liushen: Not
bad. How ‘bout u?
anggara_kun37: Good
enough.
anggara_kun37: How’s
ur school? Still being an introvert girl?
liushen: Yeah…
as you know.
anggara_kun37: You
never change.
anggara_kun37: Want
to meet-up?
Apa? Dia baru ngechat
udah ngajak meet-up. Padahal dia
di Jakarta. Dia pikir gue masih tinggal di Bintaro apa? Oh iya, sebelum gue
tinggal di Jogja, gue tinggal di Perumahan Graha Raya, Bintaro Sektor 9. Jangan
heran, gue sama Angga emang lebih sering chat
pakek English gitu. Anyway, username gue keren kan? Kayak
nama tokoh burung merak jahat di Kung Fu Panda 2. (Well, I’m quite childish. Don’t wonder!)
liushen: What?
Are you in Jogja?
anggara_kun37: Not
yet. Gue masih di Jakarta. Nih lagi di PIM.
liushen: Oh… Gue pikir lu ada di depan rumah gue.
anggara_kun37: Lu pengen?
liushen: Kagak. Lu ricuh sih kalo main ke rumah gua.
anggara_kun37: Haha…
liushen: Jadi, lu liburan mau ke Jogja?
anggara_kun37: Rencananya sih gitu.
liushen: Demi ketemu gue?
anggara_kun37: Ngarep lu.
liushen: Ya siapa tau. Wkwkw.
anggara_kun37: Tunggu aja.
liushen: Hm.
Tanpa sadar gue senyum-senyum sendiri kayak orang
autis di depan HP. Gue langsung ngilangin senyum itu. Kenapa pula gue senyum gara-gara
chat sama Angga? Wah, nggak bener
nih.
Pukul 4 p.m. Tanpa sadar gue udah ketiudran sampe
sore. Tumben Eyang Putri enggak ngomelin gue belum mandi, belum makan, belum
ganti baju, blablabla.
Gue ngeliat buku gambar di samping gue yang masih
terbuka. Ada gambar seorang samurai yang tinggal ditebelin pakek drawing-pen. Gue ngeliatin muka samurai
itu dan entah kenapa gue ngerasa samurai ini mirip sama seseorang.
**
Keesokan harinya di sekolah, lagi-lagi gue harus
berada di antara orang-orang. Gue benci keramaian dan menurut gue kelas gue
terlalu ramai. Gue heran kenapa kelas gue suka banget bercanda meski dalam
pelajaran. Apa mereka nggak bisa diam?
Gue menatap papan tulis di depan gue dan mulai
mencatat pembahasan soal Matematika barusan. Di kelas, gue duduk di pojokan
sendirian soalnya jumlah cewek di kelas ganjil yaitu only 21. Sedangkan cowoknya 16. Gue enggak punya teman dekat di
kelas danㅡkayaknyaㅡgak pernah ngomong sama teman sekelas kecuali pas MOS waktu perkenalan.
Itu pun gue bikin perkenalan sesingkat mungkin. Yang bikin panjang cuma nama
gue.
“Nama
saya Shena Adrellia Bintara Liu. Asal saya SMP Jaya Bintaro. Terima kasih.”
Kemudian
banyak teman sekelas yang berbisik melihat gue. Entah apa yang mereka bisikan.
Gue rasa nama gue yang akhirannya ada Liuㅡnama marga Papa. Mungkin juga karena asal SMP gue yang
jauh banget dari Jogja. Atau mungkin nama gue yang panjang? Yang jelas setelah
maju beberapa detik di depan kelas, gue langsung kembali ke tempat duduk gue.
Berusaha mungkin menghindari interaksi sosial.
Gue
juga masih inget. Salah satu temen sekelas ada yang nengok ke gue pas gue udah
duduk dan nanya dengan ramah.
“Nama
panggilanmu siapa?” tanyaㅡgue lupa siapa yang nanyaㅡdengan
nada Jawa.
Papa
gue emang orang Jogja. Tapi gue tinggal dari lahir sampe tamat SMP di Jakarta.
Jadi sama sekali gak ada logat Jawa di lidah gue. Gue juga nggak begitu ngerti
dengan Bahasa Jawa.
Gue
pun jawab. “Shena.”
“Kamu
dari Jakarta?” tanya temen cewek lain dengan wajah-wajah penasaran.
Gue
mengangguk.
“Kenapa
SMA di sini?”
Emang
nggak boleh? Gue juga terpaksa kali. “Ya… Papa gue orang Jogja. Eh… Papaku
orang Jogja,” jawab gue canggungㅡbenar-benar tidak spesifik. Gue nggak biasa ngomong aku-kamu.
“Oooh…
Kamu orang China toh? Namamu ada Liu-nya,” kata cewek pertama itu yang duduk di
depan gue. Dia kayaknya penasaran banget sama gue.
“Enggak…
Aku orang Indo kok…” jawabku lagiㅡtidak spesifik seperti sebelumnya.
Menurut gue orang lain ga perlu tau tentang kehidupan gue. Dan gue juga lagi malas mengingat Mama.
Walau gue lahir di Jakarta, gue pernah juga ke kampungnya Mama di Guangzhou.
Gue juga bisa bahasa Mandarin dan membaca huruf Pin Yin. Mama yang mengajari
gue dengan cara sering ngomong pakek Bahasa Mandarin sama gue.
Ah…
Kenapa gue jadi ingat-ingat Mama?
Gue jadi
keinget kejadian Papa-Mama yang berantem… Sampe akhirnya Mama pergiㅡlebih
mementingkan karirnya daripada anaknya sendiri. Gue menghela napas. Hhhh...
Padahal gue sama Mama ya enggak begitu deket juga karena Mama yang terlalu
sibuk.
“SHENA
ADRELLIA BINTARA LIU!”
“Y-ya
saya Pak!” Gue tergagap mengangkat tangan gue. Gue kaget tiba-tiba nama gue
dipanggil. Tanpa sadar gue melamun di dalam kelas guru killer. Sekarang temen sekelas gue menatap gue dengan sorot sinis.
Jujur… Gue enggak suka ditatap seperti ini… Jujur… Rasanya pengen nangis… Tapi
gue balas dengan tatapan yang lebih sinis.
Oh no… It’s a bad news, guys… I
think I’ll be punished…
“Apa
yang kamu lakukan hah sampai tidak dengar perkataan saya?!” bentak Pak Hermawanㅡnama
guru matematika wajib gue yang galak.
Gue
kalau melamun emang bisa bener-bener tenggelam di pikiran sendiri… Gue terlalu
terbiasa sendirian… Tenggelam di pikiran tergelap gue. But, nobody cares. Nobody wakes me up from my darkest mind.
“Saya
sudah panggil kamu 2 kali! Kenapa sampai tidak dengar?! Orang di kelas sebelah
saja mungkin sampai dengar!”
Gue
enggak berani menatap guru itu… dan teman sekelas gue yang menatap sinis ke
arah gue… gue gemetar. Jantung gue berdetak cepat karena tak tahan dengan
sorot-sorot itu. “Maaf. Saya melamun.”
“Kalau
kamu tidak mau mengikuti pelajaran saya, keluar!”
Gue
menatap Pak Hermawan dengan tatapan tak percaya. Hanya karena melamun?
Marah.
Gue kesel. Akhirnya gue berdiri mengambil buku matematika gue dan berjalan
keluar kelas.
Gue
benci dibentak di hadapan orang banyak. Bodo amat sama sorot sinis temen sekelas
gue. ‘Temen’? LOL. Gue enggak percaya tuh sama yang namanya teman.
“Pintar-pintar
tapi sikapnya begitu. Enggak pernah diajarin orang tuanya caranya bersikap ya?”
kata Pak Hermawan di dalam kelas sebelum melanjutkan perlajaranㅡdidengar
oleh 36 siswa.
‘Orang
tua’?
Bahkan
gue enggak dekat dengan kedua orang tua gue. Mereka mana peduli sama kondisi
psikolog gue yang kelamaan kesepian, sendirian, gak tahu kasih sayang.
Sialan.
Ngapain
sih tuh guru nyebut-nyebut orang tua segala? Tahu apa dia soal orang tua gue?
TAHU APA DIA SOAL KEHIDUPAN GUE HAH? APA DIA TAHU ORANG TUA GUE YANG ENGGAK
PEDULI SAMA ANAKNYA SENDIRI?
Gue
mendudukan diri gue di lantai koridor sekolah dan menyenderkan punggung gue di
tembok. Gue melempar buku pelajaran gue ke bangku yang ada di samping gue.
Gue
menyentuh mata gue yang terasa berair. Gue marah. Kesal. Sedih. Benci. Jengkel.
Hingga tanpa sadar gue nangis.
**
Bel
pulang berbunyi. Syukurlah… Gue udah enggak tahan berada di sekolah. Gue kemas
alat tulis dan buku pelajaran gue ke dalam tas ransel gue yang berwarna hitam. FYI, black is my favorit colour. Tak
lupa gue pakek hoodie hitam gue. Gue
pakek hoodie-nya agar menutupi rambut
hitam gue yang panjangnya cuma sampai sebahu. Gue rapihkan poni panjang gue ke
sisi wajah.
Gue
berjalan keluar kelas dengan langkah cepat. Tapi… salah satu anak kelas berdiri
di depan pintu dengan wajah sok galak. Kemudian muncul anak lain yang berdiri
di sisi pintu yang lain juga memasang wajah jutek. Gue tahu 2 cewek ini siapa.
Arinㅡwakil ketua kelas. Yuniㅡtemannya Arin yang mukanya selalu judes.
Gue
tatap mereka dengan sorot heran. “Permisi. Aku mau lewat,” ucap gue berusaha
sopan tapi jatuhnya songong. Jiah…
“Kamu
tahu nggak? Kelas kita mau ada kumpul buat musyawarahin lomba kesenian antar
kelas,” kata Arin dengan nada tak bersahabat.
So what? Who cares?
“Emang
aku diundang?” jawab gue yang kayaknya bikin mereka naik pitam. Ups.
Arin
maju. Badannya yang tinggi dan berisi, mulai menghalangi jalan gue. Eits,
tenang. Gue juga tinggi. Bedanya badan gue kurus. Yah… Enggak kurus-kurus amat
sih. Slim gitu. Wkwkwk… PD banget sih
gue.
“Kamu
ini ya, enggak ada respeknya blas sama kelas sendiri!” kata Arin naik pitam.
Saking emosinya dia mendorong tubuh gue.
Sontak
anak kelas yang masih berada di dalam kelas terfokus ke arah gue yang dibully oleh wakil ketua kelas. Mereka
menatap pemandangan di depan mereka dengan tatapan ‘menonton’. Kayaknya mereka
senang gue dibully.
Rese.
Gue kesel luar biasa. Apaan sih?!!! ARGHHH!!!
Gue
balas dorong tubuh Arin yang lebih besar dari gue. “Apaan sih pakek
dorong-dorong segala?! Gue mau pulang!” ucap gue. “Minggir lu!”
Arin
melotot ke gue. Kayaknya dia enggak rela badannya didorong sama gue yang lebih
kurus darinya. Dia menahan tubuh gue dan mendorong badan gue lebih keras. Gue
pun terkena meja murid barisan terdepan dengan keras. Sakit. Tapi gue masih
bisa tahan.
Gue
mendelik ke arah Arin. “Apaan sih? Lu aja nggak jawab gue diundang apa kagak?!”
bentak gue. Mampus. Bisa enggak lu lawan bacotan gue kalo gue udah nge-lo-gue?
“Kamu
anak kelas ini kan? Berarti diundang lah yaaaaaa!” Dia menjawab dengan nada
super mengejek.
“Emang
mau ngapain sih? Bisa kan bilang baik-baik?”
Arin
memutar bola matanya lantas memasang senyum merendahkan. “HP kamu apa sih,
Shena? Makanya punya Whatssap dooong!”
Gue
menggertakan gigi gue. Sialan nih anak. Enggak perlu nada kayak gitu juga kali.
Benci banget apa sama gua? Sini pukul. Gue balas pukul, tepar lu! Gue susah
payah menahan kepalan tangan.
“HP gua iPhone 6s+, terus kenapa kalau gua gak punya
Whatssap? Penting banget apa?!”
“Penting kalau itu urusan kelas.”
“Penting menurut lo! Menurut gua kagak! Udah ah,
peduli amat sih sama gua!” Gue melangkah satu langkah mendekati Arin. Rasanya
pengen banget gua tonjok muka sok berkuasanya itu. Dia emang selalu berkuasa
banget di kelas.
“Lihat tuh, Kukuh aja walaupun pendiam dan enggak berperan
apa-apa selalu datang ke kumpul kelas!” kata Arin menunjuk cowok bernama Kukuh
yang hobinya bermain HP di setiap kegiatan.
“So what? Apa
peduli lo sama gua? Sok peduli banget sih lu!” Gue dorong lagi tubuhnya Arin.
“Oy oy oy… Slow
down, man…” kata Yuni sambil menengahi gue dan Arin.
“Minggir lu. Pengen punya urusan juga apa sama gua?”
tantang gue ke Yuni. Gue dorong juga tubuh Yuni.
“Kita ini mau bahas lomba kesenian antar kelas buat
sehabis UAS. Masa kamu nggak mau berpartisipasi blas?!” kata Arin.
“Lu heran gua kagak mau ikutan kayak gituan? Karena
menurut gua itu semua hal bodoh. Ngapain sih nunjuk-nunjukin kebolehan diri di
antara orang banyak. Ya kali orang banyak itu mau peduli,” ucap gueㅡsarcasm. “Gue
juga enggak peduli sama begituan. Buang-buang waktu gue.”
Muka
Arin memerah, dia menggeram. Dia bersiap-siap mendorong tubuh gue. Tapi gue
mengacungkan kepalan tinju gue. Gue sering lihat adegan tinju-tinjuan karena
gue penyuka film action, jadi gue
cukup tahu bagaimana cara meninju yang baik dan benar. Gue bersiap-siap meninju
pipi Arin, tapi seseorang menahan tangan gue. Cowok.
“Stop… Stop…! Apaan sih kalian? Cewek-cewek kok berantem?” kata Ridwanㅡnama
ketua kelas di kelas
ini. Dia menahan tinjuan gue. Gue berusaha memberontak tapi Ridwan tetap
menahan tangan gue. Sialan. Padahal sedikit lagi bakal ada noda ungu di muka
Arin.
Cowok
lain yang gue tahu namanya Jody juga menahan Arin. Jadilah gue dan Arin ditahan
sama 2 anak cowok itu agar tidak saling mendorong atau meninju.
“Bentar.
Kintan mau nunjukin sesuatu ke kalian berdua,” kata Jody.
Bentar? Wks, jadi dia ngebolehin kami berdua berantem?
Cepetan, Kintan. Lu mau nunjukin apa sih? Gue udah nggak sabar ngelayangin
tinju ini ke muka Arin. Et dah, Yuni juga ikut-ikutan ngalangin kami berdua.
Kayaknya sikap tubuh gue ganas banget ini sampe harus dihalangin 2 orang
begini.
Anyway
guys, Kintan itu anak yang sangat kalem, pemalu, dan
suaranya sangat kecil. Hobinya menggambar juga. Dia duduk di depan gue jadi gue
otomatis tahu. Dia juga suka gambar tapi bukan gambar manga seperti gue.
Si kecil Kintan berjalan mendekati kami sambil membawa
HP-nya. Dia menunjukan suatu akun Instagram kepada Arin… Walau begitu gue masih
bisa melihat samar isi Instagram itu. “I-ini… a-aku mau nunjukin kalau yang
dibilang Shena barusan beda sama yang ada di akun IG ini… Ini akun IG-nya
Shena,” kata Kintan.
“Liushen?” ucap Arin membaca username gue.
“Hah?!” Gue terkejut ketika ada anak kelas tahu
tentang akun Instagram gue.
Arin mengambil HP-nya Kintan lalu meng-stalk akun IG itu. Dia lihat semua
gambar manga gue… “Wow likers sama commenters-nya…” kata Yuni yang
ikut-ikutan lihat.
“Liushen? Jadi itu nama IG-mu?”
Sontak anak kelas yang ada di situ bergerak penasaran
ke arah HP-nya Kintan. Mereka memuji gambar gue… Mereka takjub melihat likers dan commenters serta supporters
gambar-gambar gue di IG…
“Bukan!” bantah gue. Arghhh… Kenapa pula si Kintan ini
ngasih tahu?! Gue pelototin itu anak.
“Di sini ada namamu. Shena Adrellia Bintara Liu,” kata
Arin.
“BUKAN! AU AH! BERHENTI LIAT IG GUA!” Gue sambar
HP-nya Kintan. Hampir gue banting, tapi gue nggak mau ganti rugi.
“Kamu kalau pintar menggambar bilang aja, Shena…”
“Waaah… Gambarmu bagus…”
“Keren…”
“Nanti kufollow,
ah!”
“Liushen ya? Mau kuliat gambarnya…”
Mendadak suasananya berubah. Gue berjalan mundur
selangkah. APA-APAAN INI? Padahal gua mau ninju mukanya Arin. Gue beneran
enggak biasa dikerubungin dan dipuji seperti ini. Gue… gue… enggak biasa.
Enggak pernah dikayakginiin di dunia nyata.
Gue hampir menangis karena merasa sesak di antara
orang-orang ini. Tolong. Gue enggak tahan. Gue sesak. Pusing. Ini terlalu
banyak orang.
Gue ambil tas gue dan berlari menuju tempat parkir.
APA-APAAN TADI?!!!
**
Hangat. Setelah menembus hujan gerimis Jogja, gue
langsung diseduhi cokelat hangat oleh Eyang Putri. Satu-satunya yang nyaman
selain kamar tidur gue yaitu cokelat hangat. Masih dengan seragam sekolah gue,
gue duduk di sofa ruang keluarga. Napas gue masih enggak teratur karena
kejadian dikerubungin barusan.
“Kenapa toh, Shena? Pulang-pulang mukanya syok
begitu?” tanya Eyang Putri dengan logat Jogja-nya. Eyang Putri walaupun masih
ada darah Tionghoa, tapi logat Jogjanya kental banget.
Biasanya gue enggak jawab. Karena enggak jawab perkataan
Eyang gue adalah salah satu pemberontakan gue yang nggak suka tinggal di Jogja.
Gue menggeleng. “E-enggak apa-apa…” Curse my shaking says!
Anyway,
gue bingung. Ngomong ke Eyang: gue/aku/Shena? Menurut lu apa enaknya? Kalau
‘gue’, kayaknya enggak sopan. (Aha, gue masih punya kesopanan kok) Kalau ‘aku’…
boleh juga. Kalau ‘Shena’, gue jadi keinget jaman masih 8 tahun. Ngomong ke
siapa-siapa pakek ‘Shena’. Tapi untuk saat ini gue pengen banget ngomong pakek
‘Shena’…
Kalian pasti bingung, jadi selama 5 bulan gue enggak
pernah ngomong sama Eyang Putri? Ya kan? Ha. Gue pernah ngomong. Tapi cuma
jawaban singkat. Gue kalau enggak suka sama sesuatu bakal gue cuekin terus.
Jahat? Bodo.
“Kalau mau bicara, bicara aja, Shena…” kata Eyang
Putri dengan lembut.
Baiknya Eyang gue… Walaupun gue sering kurang sopan,
Eyang sangat baik. Bahkan Papa gue enggak sebaik ini. Papa. Uh. Kenapa sih
harus keinget Papa yang telfonnya sebulan sekali? Singkat pula. Hhhh…
“Habis ada masalah di sekolah toh?” tanya Eyang Putri.
“E-enggak..”
“Beneran…?”
“I-iya…”
Hening. Gue memegang hoodie hitam favorit gue yang sekarang ada di pangkuan gue. Enggak
tahu kenapa, gue sangat shock dengan
kejadian di sekolah barusan. Gue enggak nyangka teman sekelas gue ada yang
mengetahui nama Instagram gue dan mereka memuji gambar-gambar gue. Gue sangat
trauma dengan kejadian masa kecil gue yang menyakitkan…
Well,
I’ll tell you a story when I was a little kid. It was not a good story. It was
a sad story.
Jadi…
Waktu itu umur gue masih 6 tahun. Hobi pertama gue
adalah menggambar. Gue suka banget menggambar. Gue bisa tersenyum cuma
gara-gara menggambar orang atau kucing atau anjing atau apa pun yang ingin gue
gambar. Hingga suatu Minggu pagi di hari ulang tahun Mama, gue menggambar
spesial untuk Mama. Gue gambar kucingㅡhewan favorit gue. Ya. Gue suka kucing, seperti Mama.
Karena kucing lucu.
Kucing
itu digambar berwarna hitam dengan pita berwarna merah di lehernya. Gue suka
banget sama kucing berwarna hitam. Ternyata dari kecil gue emang udah suka
banget sama warna hitam. Haha… Lalu di bawahnya terdapat tulisan dengan tulisan
Pin Yin.
‘Seung ri kuai le, Mama’
Yang
artinya ‘Selamat ulang tahun, Mama’.
Background-nya berwarna-warni campuran antara pink, biru, ungu, hijau, oranye, dan
kuning. Gue masih ingat semua crayon yang
gue gunakan untuk membuat special gift itu.
Waktu itu hari Minggu, tapi Mama harus pergi ke kantor. Mama memang seorang
sekretaris di suatu perusahaan besar. Mama memang orang yang sibuk. Tapi sampai
saat ini gue enggak tahu apa kesibukan Mama sebenarnya.
Gue
yang masih seorang bocah usia 6 tahun berjalan mendekati Mama yang sedang
memakai make-up di kamar tidurnya…
“Ma…
Seung ri kuai le, Mama…” ucap gue.
Waktu itu gue masih pendek. Rambut gue juga pendek. Dan wajah gue sangat China.
Orang yang melihat gue waktu masih kecil pasti mengira gue anak China asli.
Mama
melihat gambar gue dengan sorot datar seperti tak memiliki perasaan. Ia menatap
diri gue yang masih bocah. Wajahnya yang bermake-up
akhirnya berkata, “Menggambar itu enggak berguna. Lebih baik gunakan waktumu
untuk belajar, Shena.”
Kemudian
Mama yang sudah selesai bersiap-siap, pergi. Pergi gitu aja.
Udah.
Selesai percakapan antara Ibu dan anak itu.
Sakit.
Padahal gue gambar itu sepenuh hati. Gue masih ingat banget tiap perkataan Mama
waktu itu.
Gue
pun menunjukannya ke Papa… yang waktu itu juga lagi bersiap-siap berangkat ke
luar negeri untuk urusan bisnis.
Dan
Papa malah mengabaikan gue. Dia malah terlihat kesal melihat gue yang tersenyum
manis sambil menunjukangambar gue.
Sakit.
Gue yang masih bocah 6 tahun pun ngerasa sakit dan marah. Apa-apaan gambar yang
gue gambar penuh warna dan susah payah tidak dihargai sama sekali?! Setelah
Papa-Mama pergi bekerja, gue robek gambar gue sambil menangis.
Pembantu-pembantu
yang ada di rumah gue cuma bisa menatap iba, enggak bisa berkata apa-apa
melihat gue yang masih bocah, kesepian setiap hari.
Sejak
saat itu gue enggak mau nunjukin gambar ke orang lain di dunia nyata. Gue mulai
berpikir kalau menunjukan gambar ke orang lain itu adalah hal bodoh, karena
orang lain belum tentu peduli. Bahkan orang tua gue pun enggak peduli.
“Shena,
kamu gemetar? Ganti baju gih,” kata Eyang Putri menyadarkan gue dari dunia
lamunan. Beliau menyentuh pundak gue dengan lembut.
Gue
ngeliat tangan gue gemetar. Entah karena apa. Mungkinkah karena gue habis
kehujanan? Kemudian napas gue terasa sesak secara perlahan… Gue menaruh gelas
cokelat gue dengan tangan gemetar lalu menyenderkan tubuh gue ke sofa. Sakit…
Napas gue sakit…
“Shena?
Shena?” panggil Eyang Putri menyentuh tubuh gue yang terasa lemas. “Kamu
kenapa?”
Gue
mengernyit. Sial. Asma gue kambuh. Gue enggak bisa bernapas, tapi pikiran gue
kelewat capek. Lelah. Sakit. Frustasi.
“Shena?
Asmamu kambuh? Shena?” panggil Eyang Putri.
Gue
berusaha untuk tersadar. Tapi pikiran gue kelewat lelah. Dan mendadak semuanya
menjadi gelap.
**
Putih.
Semuanya terlihat putih dan terang. Gue bisa mendengar alat rumah sakit
berbunyi di samping tempat tidur gue. Gue mengangkat tangan gue dan melihat
tangan gue diinfus. Gue memerjapkan mata gue beberapa kali untuk menyesuaikan
datangnya cahaya ke mata gue.
Wait. Hospital? Gue ada di Rumah Sakit? Gue bisa
merasa ada alat bantu pernapasan di hidung gue.
“Shena?
Udah bangun?” tanya Eyang Putri yang sudah duduk di samping gue.
Gue
mengangguk. Kepala gue masih terasa sakit dan pusing. Mata gue terasa berat. Tapi
sekarang gue bisa bernapas dengan leluasa. Gue bisa menyimpulkan gue dirawat di
Rumah Sakit hanya karena asma kambuh. Tunggu. Gue kan punya asma waktu masih
umur 8 tahun. Tapi kenapa setelah 7
tahun kambuh lagi? Gue pernah baca kalau asma bisa disebabkan tekanan
psikologi. Mungkinkah gue terlalu banyak tekanan di kepala?
Gue
menggeleng. Enggak. Bukan. Gue enggak kenapa-napa kok. Gue cuma kecapekan. Capek
pikiran. Mungkin itu lebih tepatnya. Yah… Bisa saja gue terlalu banyak belajar
buat UAS minggu depan? Ye gak?
Tapi
dari pada overthinking mending gue
nanya ke Eyang gue.
“Shena
kok ada di RS?” tanya gue sambil menoleh ke arah Eyang yang duduk di kursi yang
ada di samping gue. Mukanya kelihatan khawatir. Entah kenapa ada yang aneh sama
hati gue, berhubung gue enggak pernah dikhawatirin sama orang tua sendiri.
“Asmamu
kambuh. Kayaknya gara-gara kecapekan. Kalau capek istirahat toh, jangan maksain
diri,” nasihat Eyang ke gue. “Atau Shena lagi kebanyakan pikiran? Ada masalah
di sekolah? Kayaknya asma Shena enggak pernah kambuh lagi sejak kelas 3 SD.”
Gue
menggeleng. Gue enggak mau cerita apa pun. Lebih baik dipendam.
Pendam,
pendam, dan pendam.
Arghhh…
Sakit… Lagi-lagi napas gue kerasa sakit walaupun gue udah dipasangin alat bantu
pernapasan, tetep aja kerasa sakit. Gue mengernyit.
“Shena?
Ada yang sakit lagi?” tanya Eyang Putri sambil menyentuh tubuh gue.
Gue
makin mengernyit. Sakit. Sial. Kenapa harus sesakit ini? Padahal gue cuma
ngambil napas.
Kemudian
muncul perawat rumah sakit dari pintu ruang tempat gue dirawat sekarang. Gue
disuntikan sesuatu oleh perawat itu dan kemudian rasa sakit itu perlahan
hilang. Gue pun merasa mengantuk. Namun sebelum gue bener-bener tidur, gue bisa
denger Eyang berkata sesuatu dengan suara pelan.
“Ssshhh…
Jangan banyak berpikir dulu, Shena… Eyang tahu kamu masih belum bisa menerima
keadaan Papa-Mama-mu yang bercerai kan? Lain kali kamu harus bicara supaya
bebanmu itu hilang.”
**
Keesokan
harinya…
Gue sembuh. Gue kalau sakit emang sebentar. Gue juga
seneng banget akhirnya bisa terbebas dari infus dan alat bantu pernafasan.
Begitu sampai di rumah sama Eyang Putri dan Mbah Kakung, gue langsung masuk ke
kamar dan mengambil HP.
Oh iya, gue udah ganti baju bebas kok. Kemarin kan gue
dibawa ke rumah sakit masih pakek seragam sekolah. Berhubung gue pulang dari
rumah sakit jam 10 pagi, hari ini pun gue enggak masuk sekolah. Gue merasa
senang karena bisa terbebas dari orang-orang.
Gue mengecek pesan. Enggak ada satu pesan pun dari
ortu gue. Padahal kata Eyang, Eyang udah memberitahu mereka kalau asma gue
kambuh. Tapi sepertinya mereka enggak peduli. Atau mereka terlalu sibuk dengan
pekerjaan? Tahu deh.
Setelah mengecek pesan, gue melihat ada banyak notification dari IG. Seperti biasa ada
banyak likers, commenters, dan followers baru. Gue pun tersadar kalau postingan di IG gue udah cukup banyak.
Gue lumayan senang ada banyak orang asing yang menyukai gambar gue.
Namun di antara banyaknya commenters itu gue bisa melihat ada beberapa komentar yang
sepertinya berasal dari anak kelas. Gue mengernyit. Pasti si kecil Kintan yang
udah ngebeberin nama Instagram gue. Sialan tuh anak.
Hhhh…
Kesel gue kalau anak kelas tahu akun Instagram gue.
Gue menutup aplikasi Instagram gue, kemudian melempar HP gue ke sisi lain
kasur.
Untuk beberapa saat gue hanya tiduran di kasur.
Ingatan itu kembali memenuhi kepala gue. Ingatan tentang diabaikan oleh ortu
sendiri, ingatan waktu gue nunjukin gambar gue ke Papa-Mama, sampai ingatan
tentang Papa-Mama yang berantem…
Sial. Gue udah enggak tahan nginget itu semua. Pergi.
Tolong pergi. Gue capek.
**
Paginya…
“Shena enggak mau sekolah,” ucap gue dengan muka datar
sambil meminum cokelat di ruang makan ke Eyang gue.
“Kenapa? Masih sakit?”
Gue menggeleng. Kepala gue udah enggak pusing lagi
kok. Dan napas gue udah normal. Jadi enggak ada masalah. Tapi gue males banget
ketemu anak kelas.
“Minggu depan udah ujian kan?”
Bodo amat. Gue bisa kok belajar sendiri di rumah.
Tiba-tiba Eyang Kakung muncul di ruang makan. Gue
paling jarang bicara sama Eyang Kakung karena muka galak Eyang Kakung. Enggak
seperti Eyang Putri yang mukanya selalu tersenyum ramah. Gue pun langsung tegang
di kursi. Akhirnya gue memutuskan untuk segera beranjak pergi dari ruang makan.
“Shena Liu. Kenapa enggak mau sekolah?”
Gue langsung deg-degan. Gue curiga gue bakal
dimarahin. Harusnya gue stay aja di
kamar, enggak keluar-keluar.
Gue pun duduk lagi di kursi makan di hadapan Eyang
Kakung. Gue diam aja. Yang jelas alasannya, gue enggak mau bertemu anak kelas.
Gue sangat malas menjelaskan alasan gue enggak mau masuk sekolah. Karena enggak
akan ada orang yang mengerti. Gue hanyalah seseorang yang lebih suka sendirian
dan paling enggak tahan kalau bertemu banyak orang.
“Apa pun masalahmu, Shena, harus kamu hadapi dan
selesaikan. Kabur itu pekerjaan seorang pengecut,” kata Eyang Kakung tiba-tiba.
“Shena enggak punya masalah dengan siapa pun,” jawab
gue dingin.
“Terus kenapa enggak mau sekolah? Kalau enggak mau
masuk sekolah berarti Shena sedang punya masalah yang mau dihindari kan?”
“Enggak ada
masalah,” jawab gue.
“Kalau gitu buktikan enggak ada masalah.”
Apa Eyang Kakung sedang menantang gue sekarang? “Shena
enggak pengen sekolah hari ini.”
Eyang Kakung tidak menanggapiku. Takut-takut, gue
melihat ekspresi wajah Eyang Kakung. Mukanya terlihat berpikir. Apakah setelah
ini dia akan memarahi gue? Namun, tak lama kemudian Eyang Kakung kembali
menatap gue dan berkata, “Oke. Gimana kalau hari ini kita ke pantai?”
Pantai? Ngapain? Jadi Eyang Kakung mengijinkan gue
bolos sekolah?
“Dikira mau dibujuk berangkat sekolah, kok malah
diajak ke pantai?” komentar Eyang Putri sambil membawa makanan untuk sarapan ke
meja makan.
Eyang Kakung tersenyum. Waw… Jarang sekali gue ngeliat
Eyang Kakung tersenyum seperti itu. “Shena, bersiap-siaplah. Hari ini kita
bertiga pergi ke Pantai Parangtritis,” ucapnya menyebutkan salah satu pantai
terkenal di Jogja. Well, gue pernah
ke sana waktu masih kecil.
Gue penasaran. Kira-kira apa yang direncanakan Eyang
Kakung?
**
Sesampainya
di Pantai Parangtritis…
Sepi. Of course.
Sekarang kan hari kerja. Jadi, enggak akan ada yang pergi ke pantai. Gue
turun dari mobil sambil membawa tas ransel gue. Diikuti Eyang Putri dan Eyang
Kakung. Kami pergi ke sini naik mobil Innova yang disetir Eyang Kakung.
Siang ini mendung. Jadi, enggak terlalu panas. Dan gue
cukup senang karena gue enggak begitu suka dengan cahaya matahari. Gue mulai
berjalan menuju pinggir pantai mengikuti Eyang Putri.
“Tahu enggak, dulu Shena sering pergi ke sini loh,”
kata Eyang Putri tiba-tiba.
Gue masih ingat kok… Tapi itu dulu banget. Mungkin
waktu gue masih TK, sebelum Papa dan Mama jadi orang tua sibuk yang tidak
mempedulikan anaknya. Masa-masa bahagia…
“Dulu Shena juga sering main sama Rafael di pantai
ini,” cerita Eyang Putri lagi.
Rafael adalah saudara sepupu gueㅡanak
om gue. Umurnya 2 tahun di atas gue. Tapi udah lama banget gue enggak ngelihat dia. Dulu dia sempat tinggal
juga sama Eyang Putri dan Eyang Kakung, tapi gue udah enggak tahu
kelanjutannya. “Rafael sekarang di mana?”
“Dia
tinggal di Semarang sama Om dan Tante,” jawab Eyang Putri.
Oooh…
Keluarganya memang lebih harmonis ‘sedikit’ dari gue.
Gue
udah sampai di pinggir pantai. Sekarang air laut bisa menyentuh kaki gue. Ah…
Ternyata enak juga kayak gini. Bisa bolos sekolah dan pergi ke pantai. Udah
lama banget gue enggak pergi jalan-jalan kayak gini sama keluarga. Kadang gue
kangen masa-masa waktu gue masih kecil, waktu gue masih sering jalan-jalan sama
keluarga.
Tanpa
sadar gue udah nangis. Gue kangen semua masa itu. Tapi gue selalu memarahi diri
gue sendiri. Gue enggak sadar kalau gue udah terluka gara-gara diri gue
sendiri. Gue nyakitin diri gue sendiri.
“Shena,
nangis itu enggak apa-apa kok,” kata Eyang Putri lagi.
Gue
menoleh ke arahnya. Eyang tersenyum ke arah gue yang berlinang air mata.
Aishhh… Stupid. Kenapa harus nangis
sih? Gue langsung menghapus air mata gue. Gue malu nangis di depan orang. Tapi
sayangnya air mata ini terus keluar.
Gue
terus menangis di samping Eyang Putri. Di hadapan laut yang berombak tenang. Di
bawah langit yang mendung. Gue enggak sanggup nahan nangis ini. Enggak biasanya
gue kayak gini. Biasanya gue selalu bisa kuat nahan nangis di keadaan kapan
pun. Tapi sepertinya enggak kali ini. Gue ternyata sangat lemah…
Gue
enggak tahu kenapa kehidupan gue kayak gini. Gue punya Papa dan Mama yang
selalu mengabaikan gue. Gue selalu kesepian. Gue enggak tahu yang namanya rasa
sayang. Gue cuma tahu kesendirian, kesendirian, dan kesendirian. Gue enggak
punya siapa-siapa. Gue terjebak di dunia gelap yang ada di pikira gue. Gue
ingin diselamatkan. I just wanna to be
saved.
“Shena,
kamu tahu arti namamu enggak?” tanya Eyang Putri.
Gue
menggeleng. Memang Papa dan Mama mau memikirkan arti nama gue segala?
“Kata
Papa-mu, Shena itu pelesetan dari kata shine
yang artinya bersinar. Kata Mama-mu, dia pengen kamu jadi bersinar seperti
bintang.”
Gue
terhenyak mendengar penjelasan dari Eyang. Benarkah itu? Gue enggak nyangka
nama gue itu pelesetan dari kata shine.
Dan gue enggak nyangka Mama berharap gue menjadi bintang yang bersinar.
“Shena
Adrellia Bintara Liu. Namamu cantik bukan? Itu semua dirangkai oleh
Papa-Mama-mu. Eyang yakin mereka sayang kamu.”
“Beneran?”
tanya gue menyakinkan dengan suara sengau akibat menangis.
“Iya.
Mereka selalu berharap kamu jadi bintang yang bersinar.”
“Tapi
kenyataannya Shena cuma bintang yang redup,” ucap gue sambi menunduk. Gue malu
dengan muka gue yang berantakan. Beruntung saat ini suasana sepi. Gue sangat
suka dengan suasana yang hening dan sepi seperti ini.
“Shena, untuk menjadi bersinar itu pasti butuh proses
kan? Eyang yakin kamu pasti akan jadi bintang yang bersinar,” kata Eyang Putri
yang entah kenapa membuat gue merasa lebih tenang.
Baru kali ini gue
ngerasa hal seperti ini.
Mungkin udah saatnya gue mulai berbicara dengan
orang-orang dan bukan hanya menghindari orang-orang. Dan… ini langkah pertama
yang akan gue ambil.
“Makasih, Eyang,” ucap gue sambil tersenyum tulus.
END
0 comments