#UNTITLED
San Fransisco Police Department
Hidung Leo
berdarah. Entah karena patah atau karena ada sesuatu yang salah dengan
tubuhnya. Kepalanya berdenyut sakit dan pandangan matanya berkunang-kunang.
Namun, ia tetap menegakkan tubuhnya sementara ia menunggu abangnya mengurus
segala aftermath kekacauannya di ruang interogasi kantor polisi.
Mobil
mercedes-benz series AMG berwarna navy yang terparkir di halaman
kantor polisi itu tampak penyok di bagian kapnya. Beberapa jam yang lalu, mobil
itu menabrak tiang penerangan jalan setelah dibuat balapan oleh dua remaja. Di
sebelahnya terdapat mobil BMW series X6 yang tidak separah itu
kerusakannya—hanya baret akibat diserempet habis-habisan ke pembatas pinggir
jalan.
Leo tidak
sendirian di ruang tunggu itu pada pukul 12 malam. Ia bersama lawannya yang
tidak mengalami luka apapun kecuali harga dirinya.
“Jadi
bagaimana? I still can get your pink slip?” kata Leo seraya menoleh kepada
cowok berambut pirang yang duduk semeter di sebelahnya. “A deal is a deal,” ucapnya memperingatkan
dengan seringai lebar di wajahnya yang berdarah. Ia belum menyadari kalau ada
luka di pelipisnya.
Aiden—nama
cowok di sebelahnya—memutar bola matanya. Ia menyesal sudah mempertaruhkan
sertifikat mobilnya. Mobil yang baru diberikan padanya saat ulang tahunnya yang
ke-16. Baru kali ini ia dikalahkan dan oleh orang yang baru pindah ke
sekolahnya. Shit. Kenapa aku menggunakan mobil yang itu? gerutunya dalam
hati. “Whatever,” jawabnya sambil merogoh saku jeansnya untuk mengambil kunci
dan kertas yang dilipat asal tapi isinya tidak main-main. Pertaruhan itu memang
serius. Sebelum balapan, mereka sudah menunjukkan kalau mereka membawa bukti
kepemilikan mobil itu.
Leo menyambar kedua
benda itu ketika Aiden menyodorkan kepadanya. Ia tersenyum puas. Mobil itu
hanya perlu dipoles sedikit dan disimpan di garasinya. Sementara Aiden
uring-uringan karena untuk pertama kalinya ia kalah taruhan dalam balapan
mobil.
“Kalau kau
tidak berdarah sekarang, mungkin aku sudah meninjumu,” geram Aiden tanpa
menatap Leo.
“Huh? Kenapa
memang? Aku tidak masalah kalau kau mau ngajak gelud sekarang,” kata Leo
dengan senyum miring yang membuat Aiden menoleh ke arahnya dengan cepat dan
menarik kerah bajunya. Tinjunya teracung tapi tiba-tiba pintu ruang interogasi
itu terbuka. Ia langsung melepas kerah kemeja Leo dan kembali ke posisi
duduknya sebelum para orang dewasa itu memergoki mereka hampir bergelut.
Ryan muncul
dari ruangan itu bersama seorang polisi dan Mrs. Agnes—orangtuanya Aiden.
Aiden bersama
ibunya langsung meninggalkan ruang tunggu itu tanpa banyak kata. Sebelum ia
menghilang dari pintu keluar ia mengacungkan jari tengah pada Leo.
Leo
menggelengkan kepalanya yang masih berdenyut sakit. Ia menyentuh pelipisnya dan
ternyata ada darah di sana. Pantas dia bilang aku berdarah, ucapnya
dalam hati. Sekarang ia menatap Ryan yang berdiri di hadapannya.
Laki-laki
berumur 27 tahun itu menghela napas panjang seraya melonggarkan dasi yang
terasa mencekik lehernya. Ia tidak mengerti apa yang sudah merasuki adik
laki-lakinya. Adiknya takkan peduli berapa banyak uang yang sudah digelontorkan
demi menutup kasus ini agar tidak perlu ada media yang mengetahuinya, ditambah
biaya perbaikan tiang lampu jalan yang bengkok.
Uang memang
bukan masalah utamanya. Tapi karakter Leo yang menjadi-jadi. “Kau pindah. Besok
aku urus surat pindahnya.”
Leo
menyenderkan punggungnya pada senderan kursi tunggu itu. “Lagi?” Ia menghitung
dalam kepalanya. Tahun ini ia sudah dua kali pindah kota. Itu berarti ini akan
menjadi kepindahan ketiga kalinya.
Ryan mengambil
sebatang rokok dan memantik ujungnya dengan api. Ia menghisap dalam-dalam rokok
itu sebelum menjawab, “Kali ini aku tidak ikut bersamamu, Leo. Kau harus
dipindah ke kota kecil yang terasing.”
Tangan Leo
tanpa sadar mengepal.
“Jadi, sekali lagi
kau mengacau, aku tidak akan datang. Kalau kau sampai masuk ke dalam jeruji
itu, aku tidak peduli lagi,” kata Ryan sambil menunjuk ruang penahanan yang ada
di kantor itu.
Ucapan Ryan
diucapkan dengan nada yang tenang tanpa ancaman, tapi sangat kasar. Kalimatnya
membuat pipi Leo panas. Sebelumnya kakaknya belum pernah mengucapkan peringatan
sekeras itu. Sekacau-kacaunya dia, Ryan akan selalu datang menyelamatkannya.
Tapi mungkin dia
memang tidak pantas untuk diselamatkan lagi.
“Kau hampir
berumur 18, Leo. Tahun depan kau tidak bisa dilindungi hukum anak-anak lagi,”
ucap Ryan sambil mengembuskan asap rokok dari mulutnya.
Persetan
dengan hukum atau aturan, pikirnya seraya beranjak berdiri.
“Mau kemana
kau? Mobil penyok gitu?” Beberapa detik kemudian, Ryan langsung paham. “Kau
menang taruhan pink slip lagi?”
Leo menunjukkan
kunci mobil barunya yang didapat dari balapan. Bukan sekali-dua kali ia
melakukan ini. Hampir setiap kali ia pindah ke kota besar, entah kenapa ia
selalu bisa menemukan kumpulan balap liar yang melakukan taruhan pink slip atau
bukti kepemilikan mobil.
“Kau serius mau
nyetir mobil dengan keadaan bonyok gitu?” tanya Ryan sambil menunjuk pelipis
dan hidung Leo yang berdarah. Meskipun adiknya memang selalu mengacau dan
berandalan, ia selalu merasa bertanggungjawab pada Leo. “Jangan sampai nabrak
lagi, langsung pulang ke rumah.”
Kepala Leo luar
biasa sakit. Hidungnya juga semakin perih. Namun ia tetap masuk ke dalam mobil
BMW berwarna silver itu dan mengemudikannya menuju rumah. Rumah yang
saat ini hanya berupa bangunan besar dengan ruangan-ruangan kosong.
--