Untitled

Untitled [DON'T OPEN]

Agustus 08, 2023

#UNTITLED


San Fransisco Police Department

 

Hidung Leo berdarah. Entah karena patah atau karena ada sesuatu yang salah dengan tubuhnya. Kepalanya berdenyut sakit dan pandangan matanya berkunang-kunang. Namun, ia tetap menegakkan tubuhnya sementara ia menunggu abangnya mengurus segala aftermath kekacauannya di ruang interogasi kantor polisi.

 

Mobil mercedes-benz series AMG berwarna navy yang terparkir di halaman kantor polisi itu tampak penyok di bagian kapnya. Beberapa jam yang lalu, mobil itu menabrak tiang penerangan jalan setelah dibuat balapan oleh dua remaja. Di sebelahnya terdapat mobil BMW series X6 yang tidak separah itu kerusakannya—hanya baret akibat diserempet habis-habisan ke pembatas pinggir jalan.

 

Leo tidak sendirian di ruang tunggu itu pada pukul 12 malam. Ia bersama lawannya yang tidak mengalami luka apapun kecuali harga dirinya.

 

“Jadi bagaimana? I still can get your pink slip?” kata Leo seraya menoleh kepada cowok berambut pirang yang duduk semeter di sebelahnya. “A  deal is a deal,” ucapnya memperingatkan dengan seringai lebar di wajahnya yang berdarah. Ia belum menyadari kalau ada luka di pelipisnya.

 

Aiden—nama cowok di sebelahnya—memutar bola matanya. Ia menyesal sudah mempertaruhkan sertifikat mobilnya. Mobil yang baru diberikan padanya saat ulang tahunnya yang ke-16. Baru kali ini ia dikalahkan dan oleh orang yang baru pindah ke sekolahnya. Shit. Kenapa aku menggunakan mobil yang itu? gerutunya dalam hati. “Whatever,” jawabnya sambil merogoh saku jeansnya untuk mengambil kunci dan kertas yang dilipat asal tapi isinya tidak main-main. Pertaruhan itu memang serius. Sebelum balapan, mereka sudah menunjukkan kalau mereka membawa bukti kepemilikan mobil itu. 

 

Leo menyambar kedua benda itu ketika Aiden menyodorkan kepadanya. Ia tersenyum puas. Mobil itu hanya perlu dipoles sedikit dan disimpan di garasinya. Sementara Aiden uring-uringan karena untuk pertama kalinya ia kalah taruhan dalam balapan mobil.

 

“Kalau kau tidak berdarah sekarang, mungkin aku sudah meninjumu,” geram Aiden tanpa menatap Leo.

 

“Huh? Kenapa memang? Aku tidak masalah kalau kau mau ngajak gelud sekarang,” kata Leo dengan senyum miring yang membuat Aiden menoleh ke arahnya dengan cepat dan menarik kerah bajunya. Tinjunya teracung tapi tiba-tiba pintu ruang interogasi itu terbuka. Ia langsung melepas kerah kemeja Leo dan kembali ke posisi duduknya sebelum para orang dewasa itu memergoki mereka hampir bergelut.

 

Ryan muncul dari ruangan itu bersama seorang polisi dan Mrs. Agnes—orangtuanya Aiden.

 

Aiden bersama ibunya langsung meninggalkan ruang tunggu itu tanpa banyak kata. Sebelum ia menghilang dari pintu keluar ia mengacungkan jari tengah pada Leo.

 

Leo menggelengkan kepalanya yang masih berdenyut sakit. Ia menyentuh pelipisnya dan ternyata ada darah di sana. Pantas dia bilang aku berdarah, ucapnya dalam hati. Sekarang ia menatap Ryan yang berdiri di hadapannya.

 

Laki-laki berumur 27 tahun itu menghela napas panjang seraya melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya. Ia tidak mengerti apa yang sudah merasuki adik laki-lakinya. Adiknya takkan peduli berapa banyak uang yang sudah digelontorkan demi menutup kasus ini agar tidak perlu ada media yang mengetahuinya, ditambah biaya perbaikan tiang lampu jalan yang bengkok.

 

Uang memang bukan masalah utamanya. Tapi karakter Leo yang menjadi-jadi. “Kau pindah. Besok aku urus surat pindahnya.”

 

Leo menyenderkan punggungnya pada senderan kursi tunggu itu. “Lagi?” Ia menghitung dalam kepalanya. Tahun ini ia sudah dua kali pindah kota. Itu berarti ini akan menjadi kepindahan ketiga kalinya.

 

Ryan mengambil sebatang rokok dan memantik ujungnya dengan api. Ia menghisap dalam-dalam rokok itu sebelum menjawab, “Kali ini aku tidak ikut bersamamu, Leo. Kau harus dipindah ke kota kecil yang terasing.”

 

Tangan Leo tanpa sadar mengepal.

 

“Jadi, sekali lagi kau mengacau, aku tidak akan datang. Kalau kau sampai masuk ke dalam jeruji itu, aku tidak peduli lagi,” kata Ryan sambil menunjuk ruang penahanan yang ada di kantor itu.

 

Ucapan Ryan diucapkan dengan nada yang tenang tanpa ancaman, tapi sangat kasar. Kalimatnya membuat pipi Leo panas. Sebelumnya kakaknya belum pernah mengucapkan peringatan sekeras itu. Sekacau-kacaunya dia, Ryan akan selalu datang menyelamatkannya.

 

Tapi mungkin dia memang tidak pantas untuk diselamatkan lagi.

 

“Kau hampir berumur 18, Leo. Tahun depan kau tidak bisa dilindungi hukum anak-anak lagi,” ucap Ryan sambil mengembuskan asap rokok dari mulutnya.

 

Persetan dengan hukum atau aturan, pikirnya seraya beranjak berdiri.

 

“Mau kemana kau? Mobil penyok gitu?” Beberapa detik kemudian, Ryan langsung paham. “Kau menang taruhan pink slip lagi?”

 

Leo menunjukkan kunci mobil barunya yang didapat dari balapan. Bukan sekali-dua kali ia melakukan ini. Hampir setiap kali ia pindah ke kota besar, entah kenapa ia selalu bisa menemukan kumpulan balap liar yang melakukan taruhan pink slip atau bukti kepemilikan mobil.  

 

“Kau serius mau nyetir mobil dengan keadaan bonyok gitu?” tanya Ryan sambil menunjuk pelipis dan hidung Leo yang berdarah. Meskipun adiknya memang selalu mengacau dan berandalan, ia selalu merasa bertanggungjawab pada Leo. “Jangan sampai nabrak lagi, langsung pulang ke rumah.”

 

Kepala Leo luar biasa sakit. Hidungnya juga semakin perih. Namun ia tetap masuk ke dalam mobil BMW berwarna silver itu dan mengemudikannya menuju rumah. Rumah yang saat ini hanya berupa bangunan besar dengan ruangan-ruangan kosong.

 

--