Wandering Souls ━ Epilogue

Maret 24, 2024

 


𝕰𝖕𝖎𝖑𝖔𝖌𝖚𝖊

━━━━━━━━
Sebelumnya: 
https://bittersweetjourneyy.blogspot.com/2024/03/wandering-souls-bagian-2.html

🔮

Kuharap kau menepati janjimu.


Setelah Sola melangkah melewati pintu mercusuar, ia sampai di depan sebuah pintu rumah yang rusak akibat angin puting beliung. Atap rumah itu terlepas dan tersangkut di atas sebuah pohon. Barang-barang di dalamnya berantakan. Rumah itu porak poranda dan ditinggalkan.

Akan tetapi, rumah itu bukan miliknya karena rumahnya berada di pinggir jalan raya besarbukan di tengah kebun seperti ini. Ia tidak tahu rumah siapa itu tapi hatinya pilu pada siapapun pemilik rumah itu.

Ia menoleh ke belakang—berharap masih bisa melihat senyuman Reef. Ia bahkan berjalan melewati pintu itu lagi dengan sedikit berharap bisa kembali ke padang rumput untuk menemui Reef. Namun, ia hanya menemukan pintu rumah biasa yang tidak menunjukkan pemandangan apapun.

Portalnya lenyap seketika.

Sola mencari liontin batu obsidian itu untuk menenangkan dirinya bahwa semua itu bukan halusinasinya. Liontin itu terasa padat dan dingin di kulitnya. Ia bergeming selama beberapa detik sambil menggenggam erat liontin batu obsidian itu.

Kali ini waktu kembali bergulir. Ia melihat jam dinding yang tergeletak di tanah akibat diterpa angin malapetaka. Jam dinding itu masih berdetak. Sekarang pukul 10 pagi entah tanggal berapa. Sungguh ganjil kembali melihat waktu.

Aku harus kembali ke rumah. Sepertinya, aku tahu ini di daerah mana.

Gadis itu pun berjalan keluar dari halaman rumah yang sudah kacau-balau. Ia berjalan menyusuri jalan sempit beraspal. Ia pun teringat kalau daerah ini adalah kampung kecil tempat tinggalnya sebelum keluarganya pindah ke wilayah kota.

Sola menemui banyak orang yang sedang bergotong-royong memperbaiki rumah warga dan mushola yang atapnya terbang dibawa oleh angin. Beberapa warga lainnya sibuk menyingkirkan dahan pohon yang berserakan di halaman rumah.

Sola tersenyum tipis ketika tak sengaja matanya berpapasan dengan Bapak-Bapak atau Ibu-Ibu yang sedang bekerja.

Kampung kecil ini berada tidak begitu jauh dari rumahnya yang sekarang. Mungkin jaraknya sekitar sepuluh kilometer.

Capek juga kalau harus jalan kaki, pikirnya sambil berhenti di pinggir jalan yang ramai oleh kendaraan. Ia memutuskan untuk naik angkot. Soal uang transport, ia akan ambil dari laci warung.

Sola duduk di dalam angkot dan merogoh sakunya—siapa tahu ia menemukan selembar uang lima ribu. Tetapi yang ia temukan justru seikat bunga mungil yang dihiasi dengan  berbagai tangkai daun. Dari Piero. Ia tersenyum kecil dan merasa hatinya sehangat sinar matahari di pagi hari yang dingin.

Ia sampai tidak sadar kalau tangkai bunga daisy masih terselip di belakang telinganya. Pantas saja beberapa orang melihatnya sambil tersenyum-senyum. Memalukaaan! keluh Sola dalam hati. Orang-orang pasti menganggapnya sinting.

Sola merogoh saku cardigannya dan menemukan selembar uang dua ribuan. Spontan ia tersenyum lega. Paling tidak ia bisa membayar—walaupun kurang dari harga seharusnya.

Ia menatap jalan raya yang ramai oleh kendaraan bermotor dan memperhatikan pertokoan yang ramai oleh pengunjung. Dunia tetap berjalan meskipun bencana alam baru menimpa kota. 

Angkot merah itu berhenti tepat di depan warungnya yang masih utuh meskipun kaca depannya pecah berkeping-keping. Ia menghela napas lega ketika melihat warungnya masih sama seperti ketika ia tinggalkan—dihiasi kaca pecah dan rak display berantakan.

Tapi… tidak ada pasir sama sekali. Warungnya tidak dipenuhi pasir seperti terakhir kali ia melihatnya.

Sola turun dari angkot dan membayar angkot itu dengan uang dua ribunya. Sopir angkot itu tidak sadar kalau Sola membayarnya kurang dari seharusnya. Sola lega ketika angkot merah itu melesat pergi sebelum sopirnya menyadari uang yang diberikan bukan lembaran uang coklat.

Yeah, warung dan rumahnya masih sama. Kakek dan nenek pasti sudah mengungsi ke rumah tante yang jauh dari sini. Makanya, warung masih berantakan. Sola memang hanya tinggal bersama kakek dan nenek sejak bayi.

Aku akan membereskan nanti, ucap Sola dalam hati sambil melangkah menuju pintu rumahnya. Ia pun berjalan melewati warung dan memasuki rumah. “Kakek? Nenek?” Ia mencoba memanggil kakek-neneknya. Namun tak ada jawaban. Sepertinya dugaannya benar. Mereka pergi ke rumah tante.

Lalu, ia menemukan ponsel jadul milik nenek tergeletak di atas meja. Buru-buru, ia mengecek tanggal di layar ponsel jadul itu. Hari ini tanggal 22 Februari. Malapetaka angin puting beliung terjadi pada tanggal 21 Februari. Itu berarti ia menghilang selama semalam.

Padahal rasanya seperti lenyap berminggu-minggu.

Sola mulai meragukan ingatannya. Ia bergeming di ruang tengah keluarganya sambil mengingat setiap kejadian yang terjadi padanya. Eksistensi Reef, Piero, dan Hima itu nyata bukan? Ia memutar ingatan tentang mereka di dalam kepalanya. Lalu, ia menyentuh kalung dengan liontin batu obsidian itu lagi dan merasakan permukaannya yang halus dan dingin di jemarinya..

Kalung itu milik Reef.

Dia nyata.

Mereka nyata.

 

━━━━━━━

Sepuluh tahun kemudian

━━━━━━━

Musim dingin. Sola baru kali ini merasakan musim dingin. Ia mengeratkan jaket empuknya dan membenarkan posisi syal berwarna kuning yang melindungi lehernya dari udara dingin. Sore itu, ia sedang berjalan-jalan di tengah pusat kota Aberdeen—sebuah kota besar yang ada di Skotlandia.

Enam bulan yang sebelumnya ia diterima Universitas Glasgow untuk melanjutkan studi S2 gratis. Ia sangat senang dapat melanjutkan studinya di sini. Entah kenapa, beberapa tahun yang lalu muncul keinginannya untuk melanjutkan kuliah di negara ini. Aneh. Kenapa kompas hatinya selalu mengarah ke sini?

 Berhubung sekarang sudah memasuki winter break, ia bersama teman-temannya pun memutuskan untuk travelling ke  Aberdeen. Mereka naik kereta untuk mencapai Kota Aberdeen. Begitu sampai, Sola langsung jatuh cinta pada arsitektur kota itu. Sebelumnya ia juga sudah mencari tahu kalau kota itu berada di pinggir pantai yang berhadapan langsung dengan Laut Utara. Sola bersama dua temannya menginap di penginapan murah milik kerabat salah satu temannya yang kebetulan bertempat tinggal di pinggir kota Aberdeen.

Tunggu. Sola tidak mendengar gelak-tawa teman-teman kuliahnya lagi. Ia langsung menoleh ke sekelilingnya lalu tersadar kalau dirinya sudah terpisah dari gerombolannya. Ia mulai panik karena kota itu masih asing baginya. Ia berbalik badan, mencoba menelusuri jalan yang sudah dilewatinya, dan berusaha mencari keberadaan kedua temannya yang mungkin mampir ke suatu tempat tanpa mengajaknya.

Sola merasa agak getir tapi ia menabahkan hatinya.

Ia terus melangkah menyusuri trotoar yang ramai oleh penduduk kota dan  mencoba mengingat tempat yang mungkin disukai oleh kedua temannya. Tempat seperti butik baju atau toko pakaian branded.

Saat matanya terlalu fokus mencari, ia menabrak seseorang. Refleks ia segera meminta maaf pada orang itu tanpa menatap mata orang itu dan lanjut berjalan.

Tapi, ketika Sola melanjutkan langkahnya, tanpa sengaja tangannya mengenai tangan sosok asing itu yang tidak memakai sarung tangan. Sola langsung menarik tangannya kembali. Dingin sekali dan kenapa rasanya seperti jarinya barusan tersetrum listrik tegangan tinggi?

Wait.

Kenapa rasanya seperti waktu aku bertemu dengannya?

Meskipun sudah 10 tahun berlalu semenjak angin puting beliung melanda kotanya dan membawanya ke sebuah gurun pasir antah berantah, ia tidak pernah lupa setiap detail kejadian setelahnya. Ia masih ingat setiap detail sosok yang ditemuinya kala itu.

 Sola pun membalikan badannya dengan sangsi. Ia pasti baru saja membayangkan lagi soal ingatannya tentang gurun pasir, kereta api terbang, dan mercusuar di tengah padang rumput. Ia memberanikan diri untuk menatap orang asing itu, tetapi dia memakai kacamata hitam padahal sinar matahari di siang itu tidak terik. Orang asing itu juga memakai topi baseball berwarna hitam. Tapi, topi tidak mampu menyembunyikan helaian rambut birunya yang mulai panjang.

Reef? Dia nyata?

Mereka saling bertatapan selama sepersekian detik.

“Kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Sola ragu. Ia sudah tidak mampu membendung rasa penasaran yang membanjiri dirinya.

Pria asing itu melepas kacamatanya dan tampaklah sepasang mata heterokromia yang unik—mata kanan berwarna hitam sepenuhnya termasuk warna skleranya dan mata kiri berwarna sebiru lautan.

“Sola?” ucapnya dengan nada ragu yang sama dengan Sola.

Sola bernapas lega sambil mengangguk.

Dia nyata.

Dia senyata dirimu.

End

You Might Also Like

0 comments