Empty Soul
Maret 07, 2024━━━━━━━━
And the story begins...
━━━━━━━━
Vian's POV
Aku
berjalan cepat menuju tempat parkir dengan kepala tertutup
tudung hoodie. Seperti biasa, aku pulang ke rumah dengan menaiki
motor sportkuㅡsatu-satunya
benda milik Papa yang selalu kugunakan sampai saat ini. Motor ini
diberikan kepadaku waktu ulang tahunku yang ke-14. Tentu saja Mama langsung
memarahi Papa karena memberikan aku sebuah motor sementara aku masih di bawah
umur. Tapi waktu itu, Papa hanya tersenyum dan berkedip ke arahku.
Aku
masih memakai helmku ketika melihat segerombolan
anak-anak gangster di sekolahku berjalan menuju bagian belakang
gedung sekolah bersama seorang anak laki-laki bertubuh kurus, yang aku yakin
akan menjadi mangsa mereka siang ini.
Melihat
hal itu, aku langsung menyalakan motorku cepat-cepat dan bergegas
mengendarai motorku ke jalan raya, sebelum salah satu dari mereka menyadari
keberadaanku yang berada tak jauh dari tempat itu.
Aku yakin salah satu dari mereka sempat melirik ke arahku. Aku
menggertakan gigiku. Besok atau lusa, bisa saja aku yang
jadi target mereka. Aku bukan sekali dua kali berurusan dengan ketua
geng moron mereka, tapi aku sudah berkali-kali menjadi langganan
pelampiasan kekesalan mereka. Namun hal itu terjadi beberapa tahun yang lalu,
waktu pertama kali aku datang ke Detroit.
Persetan.
Kenapa aku harus memikirkan itu sekarang?
Aku
mengemudikan motorku menuju Downtown Royal Oak,
daerah suburb yang letaknya tak jauh dari pusat kota Detroitㅡtempatku tinggal
saat ini. Butuh waktu setengah jam untuk sampai ke rumah.
Anyway, hari
ini aku berulang tahun, tapi tak ada yang tahu. Aku juga tak yakin haruskah aku
bersyukur atau mengutuk diriku karena masih bisa hidup sampai umurku yang
sekarang ini. Aku tidak peduli. Aku juga tak butuh ucapan atau semacam itu.
Kedua orangtuaku juga mungkin sudah lupa. Apalagi teman sekelasku. Semenjak aku
pindah ke Detroit, aku tak memiliki teman. Aku memang bukan seseorang yang
mudah bergaul dan juga tidak peduli pada orang-orang.
Selama
tinggal di Detroit, aku hanya berhasil berteman dengan satu orang. Michael.
Yeah... Dia satu-satunya orang yang masih bisa membuatku berpikir waras setelah
Nenek meninggal. Tapi dia sudah berhenti menghubungiku semenjak tahun lalu.
Aku
memang tinggal bersama Nenek-ku di daerah Downtoan Royal Oak. Tapi ia sudah meninggalkanku
sama seperti Papa dan Mama. Nenek-ku mati dua tahun yang
lalu. So, basically I live alone right now.
Yah…
Sepertinya Nenek tidak sama juga dengan Papa dan Mama. Karena Papa dan Mama
masih hidup. Begitu pula kedua adikku, Hazel dan Jade. Hanya saja mereka tidak
tinggal bersamaku. Jadi, kuanggap mereka juga sudah mati.
Paling
tidak, begitulah keadaan keluargaku sejak tiga tahun yang lalu. Waktu umurku
masih 14, mereka bercerai dan membuang menitipkan
aku pada Nenek agar aku bisa fokus dengan sekolahku (rasanya aku ingin muntah
mendengar hal itu). Papa fokus pada pekerjaannya dan Mama bersama keluarga
barunya memenangkan hak asuh atas Hazel dan Jade.
Cih. Itu
urusan mereka. Lagi pula aku juga sudah lama tidak berhubungan dengan
mereka. Aku hanya berkomunikasi dengan mereka lewat SMS. Papa
kadang menanyaiku apakah aku baik-baik saja? Dan tentu saja akan kujawab aku
baik, sekalipun aku sedang sekarat. Mama? Dia terlalu sibuk mengurus
Jade.
Terakhir
kali aku bertemu mereka, waktu hari pemakaman Nenek. Hanya sehari. Kemudian
mereka pergi lagi ke urusan mereka masing-masing. Itu dua tahun yang lalu.
Mereka memang sudah ‘berbaik hati’ menawarkanku apakah aku mau tinggal bersama
salah satu dari mereka? Aku hanya menjawab lebih baik aku tinggal di rumah
itu karena aku sudah terlanjur bersekolah di Detroit (aku tak mau
berpindah sekolah karena aku tak mau mengurus kepindahan sendirian). Lalu mereka
bertanya apakah aku sudah kerasan bersekolah di tempat ini? Aku hanya jawab
iya, walaupun saat itu aku sedang jadi mangsa empuk Spikeㅡsi
ketua gangster di sekolahku yang namanya lebih bagus dijadikan nama
hewan peliharaan (untung namanya bukan Goldie, aku mungkin bisa salah mengira
kalau ia anjing).
Setengah
jam berlalu. Aku sampai di rumah. Rumah bercat putih dengan halaman yang luas
itu terlihat seperti rumah tak berpenghuni. Di halamannya, terdapat dua
pohon mapel besar yang mengapit kedua sisi halaman. Daun-daunnya
yang mulai berwarna kecoklatan terlihat berguguran tertiup angin. Itu
berarti, sebentar lagi aku harus siap menyapu halaman seluas itu seorang diri.
Aku
memasukkan motorku ke garasi. Setelah itu masuk ke dalam rumah. Aku mendapat
satu pesan ucapan selamat ulang tahun dari Mama. Ternyata dia masih
ingat.
Aku
berjalan menuju ke dapur untuk mengambil minum dan aku hampir tersedak ketika
melihat Papa dan Mama ada di situ... membawa kue ulang tahun dan
menebarkan confetti…
“HAPPY
BIRTHDAY, VIVIAN!”
Aku
menatap tak percaya. Mereka tidak pernah peduli kepadaku. Bagaimana bisa mereka
ada di sini? Kemudian, kedua adik perempuanku menghambur memeluk diriku.
Hazel dan Jade… “Happy birthday, Kak Vian!” ucap mereka dengan berisik.
Aku
masih memandang mereka tak percaya. Hazel, ia telah bertumbuh tinggi cukup
banyak. Mata cokelat hazelnya masih sama. Umurnya memang sudah 12 tahun kalau
kuhitung. Tanganku tergapai untuk menyentuh rambut panjang Hazel yang
berwarna cokelat muda sama sepertiku… Terasa sangat nyata. Itu berarti aku
bukan sedang bermimpi.
Kemudian,
aku berjongkok untuk menatap Jade, adikku yang paling kecil, yang umurnya masih
8 tahun. Rambutnya masih pendek seperti terakhir kali aku bertemu dengannya dua
tahun yang lalu. Ia juga masih pemalu seperti dulu… Entah kenapa bibirku
refleks tersenyum menatapnya, membuatku lupa kalau terakhir kali kami bertemu,
ia langsung bersembunyi di belakang Hazel. Entah apa yang ia takutkan dari
diriku.
“Sekarang, make
a wish dan tiup lilinmu, Vian!” kata Mama kepadaku dengan senyum bahagia
di wajahnya.
Aku
pun berdoa kepada Tuhan di dalam hati. Lalu kutiup lilin angka 1 dan 7
itu.
“YEEEYYY!
Sekarang Kakak sudah tambah tua!” teriak Hazel. “Ma! Ma! Aku juga mau make
a wish! Nyalakan lagiii!” teiak Hazel sambil meloncat-loncat
meraih lighter di tangan Mama yang terangkat tinggi.
“Tidak
boleh. Hari ini bukan hari ulang tahunmu, Sweetheart,” kata Mama sambil menaruh
kue tart cokelat itu di atas meja makan. “Jade Sayang, tolong ambilkan pisau
kue di dapur,” pinta Mama pada Jade.
Jade
mengangguk dan seperti biasa menuruti Mama.
Aku
tidak tahu kapan terakhir kalinya, aku merasa seperti ini. Aku sangat senang
sampai aku takut kalau ternyata ini bukan kenyataan. Aku sudah lama tidak
merasakan emosi yang satu itu. Kebahagiaan.
Sekarang
aku menatap Papa. Untuk sesaat aku melupakan segala sifat buruk Papa dan
tersenyum ke arahnya. Dan ia membalas senyumanku.
━━━━━━━━
I was so happy and then I woke up.
━━━━━━━━
Aku
terbangun seperti orang yang dibangunkan secara paksa walau aku tahu tak akan
ada orang yang membangunkanku. Aku terheran ketika melihat kaki meja makan
berada di depan mataku persis. Aku mendudukan diriku dan menyadari kalau aku
masih memakai hoodie yang tadi kupakai ke sekolah, juga tas ranselku
masih ada di punggungku.
Tunggu…
Apakah aku baru saja kolaps? Aku memandang ke sekelilingku dan hanya melihat kekosongan. Entah kenapa aku merasa seperti baru memimpikan sesuatu. Tapi mimpi
itu seperti dihilangkan secara paksa dari pikiranku.
Yang
jelas, setelah aku bangun, yang ingin kulakukan hanyalah kembali ke mimpi itu.
Aku benar-benar sangat ingin merasakan mimpi itu lagi walaupun aku sama sekali
tidak ingat apa yang baru kumimpikan. Seperti terkena amnesia, tapi lebih menyakitkan.
Aku
yakin aku memimpikan sesuatu yang menyenangkan. Sesuatu yang membuatku
merasakan perasaan yang tak pernah kurasakan selama dua tahun terakhir. Tapi
apa? Aku memejamkan mataku dan mencoba mengingat-ingat.
Blank.
Seberapa
keras aku mencoba mengingat, aku tak bisa mengingatnya.
Kenapa?
Aku
yakin tadi aku bertemu adik-adikku di dalam mimpiku. Hazel dan Jade. Walau aku
ragu apakah ingatan ini adalah bagian dari ingatan masa lalu-ku atau mimpiku
barusan.
Aku
berdiri dan mencuci mukaku di washtafel yang ada di dapur. Kemudian,
aku berjalan menuju kamarku dan menaruh tas ranselku di meja belajar. Tak
sengaja, aku melihat bayanganku di cermin. Aku pun tersadar kalau wajahku lebih
pucat dari biasanya. Bahkan rambut cokelatku terlihat semakin panjang dan mulai
menutupi dahiku.
Aku
melepas hoodie hitamku, sehingga aku hanya memakai kaus putih longgar,
dan berjalan menuju dapur lagi untuk membuat makan malam untuk diriku sendiri.
Tiba-tiba
ponselku bergetar tanda ada pesan masuk. Dari Michael. Ia mengucapkan selamat
ulang tahun kepadaku. Aneh sekali. Padahal sudah setahun kami tidak pernah berkomunikasi. Aku tidak membalasnya karena aku sedang tidak mood. Kulempar
ponselku ke sofa di ruang tengah.
Beberapa
menit kemudian, aku hanya fokus mengocok telur untuk membuat scramble egg. Aku
menambahkan sedikit susu, garam, dan
merica ke dalam telur. Menyiapkan bacon, roti, dan mentega. Aku membuka kulkas
dan sadar kalau persediaan makananku makin menipis. Itu berarti aku harus ke
minimarket nanti malam.
Aku
melamun tanpa sadar dan membuat telurku gosong. Aku langsung mematikan kompor
dan menaruh telur itu di atas piring cepat-cepat. Lalu membawa makan malamku ke
meja makan dan duduk sendiri di salah satu kursi dari empat kursi yang ada.
Semua ini sudah kulakukan semenjak dua tahun yang lalu. Aku lumayan jago memasak karena Nenek yang mengajariku. Ternyata ajaran Nenek sangat berguna setelah aku tinggal sendiri. Setahun yang lalu, Michael sering datang kalau kebetulan aku sedang memasak sesuatu. Entahlah, dulu timing kedatangannya selalu pas. Dia dan gerombolan teman-temannya mau menerimaku meskipun kami berbeda sekolah.
Namun, intensitasnya mengunjungi rumahku menurun drastis sejak aku mengenal Jaden yang membawa pengaruh baru di hidupku. Jaden selalu mengajakku melakukan hal gila yang memacu adrenalin dan aku ketagihan. Kadang aku berpikir mungkin Jaden juga akan meninggalkanku suatu saat nanti.
Aku
mencoba memakan sedikit telur yang kubuat dan bacon. Aku memaksa diriku
untuk makan malam, karena aku tidak mau membuat diriku sakit. Tidak ada yang
peduli denganku, yeah, jadi aku harus mempedulikan diriku sendiri.
Entah kenapa aku jadi teringat mendiang Nenekku. Daripada Papa dan Mama, dia lebih peduli kepadaku. Itu sebabnya sewatu masih kecil, aku selalu memilih liburan ke Detroit untuk bisa tinggal bersama Nenek. Meskipun kota ini pernah mengalami kebangkrutan dan hampir menjadi kota mati tahun 2013. Aku tetap ingin ke Detroit karena Nenekㅡdialah satu-satunya orang yang tidak mengabaikanku.
Aku
menatap kosong ke depan. Kilasan balik mengenai Nenek mulai memenuhi
kepalaku. Kemudian ingatan tentang Nenek yang meninggal membuatku merasa mual.
Aku masih ingat bagaimana persisnya Nenek mati. Karena dia mati di depan
mataku.
Flashback
2 years ago
At
Home, 9.13 p.m.
Piring
berisi buah yang kubawa pecah ketika melihat kepala Nenek terkulai ke sandaran
sofa.
“Nenek,”
panggilku pelan. Tapi mulutnya terbuka seperti orang yang tidak bisa bernapas.
Aku menyentuh pergelangan tangan Nenek yang sudah keriput. Aku tidak yakin
apakah aku merasakan denyut nadinya atau tidak… “Nenek?!” panggilku panik. Dia
tetap diam. Matanya setengah terbuka dan setengah tertutup.
Detik
berikutnya aku langsung menelepon ambulans. Ambulans datang.
Aku
sangat panik waktu itu sampai rasanya aku ingin menangis keras-keras, tapi aku teringat
perkataan Nenek kalau aku tak boleh menangis sekalipun aku tertimpa kejadian
buruk. Aku harus tetap berdiri tegak. Aku hanya bisa melihat dokter dan perawat
mengecek keadaan Nenek. Aku bisa mendengar mereka berkata ‘heart attack’ yang
itu berarti Nenek terkena serangan jantung. Mereka langsung memasang alat napas
bantuan dan membawa Nenek ke dalam ambulans.
Aku
langsung mengambil jaket dan berlari mengikuti dokter berserta perawat ke mobil ambulans. Namun salah satu perawat tiba-tiba menahanku.
“Apakah
ada orang dewasa lain di sini?”
“AKU
SATU-SATUNYA ORANG YANG ADA DI SINI!” teriakku tanpa sadar.
Dan
setelah itu, hal yang kuingat hanyalah kekacauan. Aku berjalan mondar-mandir di
koridor rumah sakit dengan penampilan acak-acakan. Aku lupa membawa ponselku, jadi
terpaksa aku meminjam telepon rumah sakit untuk menelepon Papa dan Mama. Aku
langsung menekan nomor telepon Papa terlebih dahulu karena Nenek adalah Ibunya
Papa.
Begitu
telepon tersambung aku langsung berkata, “Papa! Nenek terkena serangan jantung.
Sekarang Nenek sedang di ICCU Detroit Receiving Hospital.” Aku langsung
menelan ludah setelah berkata cepat seperti itu. Napasku tak teratur
dan tanganku gemetar.
“APA?!
Vian… Tenang di situ. Papa akan segera ke sana, oke?”
“BAGAIMANA
AKU BISA TENANG?!” teriakku. Aku langsung mengusap wajahku ketika menyadari
tatapan orang-orang terarah ke arahku yang hanya memakai
celana training dan hoodie dengan rambut berantakan.
“Berapa jam lagi?” tanyaku dengan suara yang lebih stabil.
“Papa
harus menyelesaikan satu meeting laㅡ”
Aku membanting telepon rumah sakit setelah itu. Aku membuat gagang teleponnya
retak. Beberapa petugas resepsionis yang ada di situ menatapku tajam. Persetan. Aku bisa gila saat itu juga. Seperti tak ada harapan pada Papa.
Aku
mengangkat lagi telepon yang sudah kurusak itu untuk menelepon Mama. Ternyata
masih berfungsi. Tanpa peduli tatapan aneh orang-orang yang tertuju ke arahku,
aku langsung menekan nomor telepon Mama. Mungkin Mama masih bisa diharapkan.
“Hazel?
Itukah kau?” suara lelah Mama langsung terdengar.
“Mama,
ini aku,” ucapku tak sabaran. “Ma, Nenek terkena serangan jantung dan sekarang
dirawat di rumah saㅡ”
“Jade…
Tenanglah. Mama sedang telepon.” Aku bisa mendengar suara rewel Jade yang
kuyakin masih berusia 4 tahun di seberang sana. Jade masih terdengar menangis
saat Mama melanjutkan teleponnya. “Halo?”
…
“Halo?
Ini dengan siapa?”
Perasaanku seperti mencelos. Mendengar kalimat ‘ini dengan siapa’ dari Mama, membuatku lebih frustasi. Mama seperti tidak mengenal suaraku lagi…
Pandanganku
kosong ke depan. Aku tak menjawab sapaan Mama. Kali ini aku tidak menutup
gagang telepon dengan keras seperti tadi, tapi dengan sangat pelan, seperti
orang yang kehabisan tenaga. Apakah mereka sudah melupakanku? Apakah mereka
lupa kalau aku masih hidup juga? Aku juga butuh sandaran, tapi tak ada siapa
pun di sisiku. Aku tak bisa terus-terusan berdiri sendiri seperti ini dan
pura-pura kalau aku baik-baik saja.
Aku
berjalan menyusuri koridor menuju ruang ICCUㅡtempat Nenek sedang diselamatkan. Kusandarkan
punggungku pada tembok yang dingin. Dokter yang lewat di depanku, perawat yang
hilir-mudik, dan pasien yang masuk rumah sakit; mereka tak sekalipun menoleh ke
arahku. Aku sendiri. Selalu sendirian.
━━━━━━━━
“Mr. Hannigan?” suara dokter membangunkanku. Sebenarnya aku tak sepenuhnya tidur.
Aku hanya memejamkan mata, berharap akhir dari semua ini adalah akhir yang
baik.
Aku
berdiri dari posisi jongkok. “Bagaimana keadaan Nenek saya?” tanyaku.
“Apakah
saya dapat menemui orang tua Anda?” balasnya bertanya yang membuat wajahku
semakin pucat. Aku tidak bodoh. Aku bisa langsung mengartikan kalimat seperti
itu. Tidak mungkin… Nenek tidak mungkin meninggal kan? Siapa yang akan tinggal
denganku?
“Kenapa
dengan Nenek saya?!” suaraku mengeras.
Dokter
itu tersenyum palsu. “Bukan begitu, Nak. Kami hanya butuh bicara dengan orang
tua Anda.”
“Mereka
tidak akan datang! APAKAH DIA SUDAH MENINGGAL?!” teriakku. Tanpa sadar kedua
tanganku sudah mencengkram bahu dokter di hadapanku. Aku langsung melepas
tanganku karena merasa malu.
“Bukan
begitu. Kalau bisa Anda berikan, ada nomor yang bisa dihubungi?”
Napasku
sudah terengah. Kenapa orang-orang di sekitarku hanya membuatku marah? Aku
benar-benar muak. “Tolong. Beritahu aku saja. Mereka bahkan tidak tahu Nenekku terkena
serangan jantung atau tidak. Mereka tidak peduli,” desisku dengan tangan
terkepal.
Dokter
itu menatapku dengan sorot pasrah pada keadaan. Aku tahu ia tak seharusnya
memberi kabar pasien pada bocah usia 15 tahun yang tidak stabil. “Baiklah… Akan
kukatakan. Pasien dinyatakan meninggal pada tanggal 2 September 2015 pukul
10:08:21 p.m. dikarenakan serangan jantung,” ucap dokter itu yang membuatku makin
shock. Tapi aku segera mengendalikan diri dan menutup perasaanku. Bukankah aku
yang memintanya untuk memberikan fakta sebenarnya?
“Nah,
ya begitu… Kenapa tidak dari tadi,” ucapku dengan suara yang seperti bukan dari
diriku. Aku tersengal. Aku tidak tahu perasaan apa yang berkecamuk di dalam
diriku. Hancur? Patah? Sakit? Marah? Frustasi?
Mungkin
semuanya.
━━━━━━━━
Keesokan
harinya, Papa, Mama, Hazel, dan Jade datang bersamaan. Hazel datang dengan
wajah cemberut seperti habis dimarahi Mama. Mama berdiri di sampingnya sambil
menggendong Jade yang wajahnya pucat. Saat melihatku di ambang pintu, Mama
seperti mau menangis. Ia langsung menurunkan Jade dari gendongannya dan menghambur
ke arahku.
“Maafkan
Mama, Vian. Mama tidak tahu Nenek meninggal,” ucapnya lirih sambil memeluk
diriku erat-erat. “Mama benar-benar kacau tadi malam. Hazel kabur dari rumah
dan Jade rewel semalaman. Maaf, Vian.”
Yeah…
Begitu pula aku, Mama. Sepulang dari rumah sakit, aku tidak bisa tidur. Aku
hanya tertidur sejenak tadi pagi dan bangun dengan panik. Aku langsung bersiap
untuk menghadiri pemakaman Nenek…
Aku
tidak menangis. Aku hanya diam dan membalas pelukan Mama seperlunya. Aku
merasakan Hazel dan Jade memandangku. Saat aku balas memandang mereka, Jade
langsung berlari ke belakang Hazel. Mereka berdua sama-sama
memakai dress berwarna hitamㅡterlihat suram. Hazel sepertinya tidak
nyaman dengan memakai dress. Ia memang gadis yang tomboy. Namun,
sekalipun Hazel tak pernah membalas tatapanku. Entah kenapa, ia seperti
menghindari sorot mataku hari ini.
“Kau
bisa ikut Mama sampai seterusnya,” kata Mama menawarkan. Tapi aku bisa melihat
seorang pria asing yang sedang berdiri di samping mobil Mercedes-Benz berwarna
hitam.
Aku
menggeleng. “It’s okay, Ma. Aku lebih baik tinggal di sini saja,” ucapku
sambil tersenyumㅡpalsu.
Sementara
itu, Papa sedari tadi terlihat menghela napas panjang. “Maafkan Papa… Papa juga
sangat berduka…” kata Papa.
Aku
tidak membalasnya. Aku membuang mukaku. Papa lebih baik minta maaf ke Nenek
karena tidak pernah peduli pada Nenek.
Entah
kenapa aku merasa mual kalau teringat kejadian semalam. Tak ada siapa pun di
sisimu dan satu-satunya orang yang ada di dekatmu, meninggal di depan matamu
persis. Aku tak bisa membayangkannya lagi. Baru kemarin pagi Nenek membuatkanku
sarapan pancake dan malamnya dia meninggal. Dunia ini memang tidak adil. Aku
mulai merasa keringatku mengalir di pelipisku. Hari di mana Nenek dimakamkan
memang cerah. Langit dan matahari terlihat seperti bahagia menerima kedatangan
Nenek di atas sana…
“Vian,
kau baik-baik saja?” tanya Mama.
Aku
mengangguk. “Yeah, aku baik.”
“Vian,
lebih baik kau tidak ikut ke pemakaman,” kata Papa.
“Tidak.
Aku ikut mengantar Nenek!” kataku keras, meskipun rasanya aku sudah seperti sudah
tak berpijak di atas tanah lagi. Segala yang ada di dekatku mulai berputar-putar.
“Ini salahmu karena terlalu fokus pada pekerjaanmu sampai melupakan anak sendiri dan Ibumu!” kata Mama pada Papaㅡmeluapkan emosinya.
“Apa?
Kau juga tidak pernah menanyakan kabarnya, kan?” balas Papa.
“Kau
tidak merasa bersalah pada Ibumu? Lebih mementingkan pekerjaan daripada
keluarga. Seharusnya kau malu berada di sini,” kata Mama sarkastik yang membuat
Hazel mengerang. Jade mulai rewel.
“HENTIKAN!”
teriakkuㅡlagi-lagi
berteriak di luar kendali otakku. “Tolong. Bisakah kita cepat-cepat mengantar
Nenek saja?” ucapku dengan nada memohon.
Papa
mengangguk. “Ya, waktu juga sudah semakin siang.”
Setelah
itu kami berangkat bersamaan menuju rumah duka yang berada tak jauh dari rumah
Nenek. Kami mendoakan Nenek yang sudah berbaring di peti mati agar tenang di
sana. Kemudian kami membawa Nenek ke pemakaman. Acara pemakaman ini tidak hanya
dihadiri keluargaku saja, tetapi juga beberapa kerabat. Papa yang mengaturnya.
Selama di pemakaman, kami berdoa lagi yang dipimpin pendeta geraja yang berada di dekat rumah duka. Aku berdiri di samping Hazel. Saat kami sedang mendengarkan, tiba-tiba Hazel memanggilku. “Kak Vian, kenapa kau tak mau bersama kami?” ucapnya dengan suara bergetar. Aku tak bisa melihat ekspresi wajahnya karena ia menunduk. Tapi aku bisa melihat ia mengusap matanya.
Sebelum
aku sempat menjawabnya, Hazel berlari kabur dari upacara pemakaman itu.
Flashback Off
Waktu sekarang
Aku
menyenderkan punggungku pada sandaran kursi dan memejamkan mataku. Aku tak tahu
kenapa aku mengingat kejadian itu lagi. Aku mengerti maksud Hazel, tapi kenapa
aku tak bisa mengatakan hal yang sebenarnya? Seharusnya aku menahan Hazel pergi
dan bukannya mendiamkannya seperti itu. Apakah seharusnya aku mengiyakan
tawaran Mama saja?
Perasaan
bersalah mulai menyelubungi diriku. Apakah tidak cukup dengan segala perasaan
gila yang ada di pikiranku?
Hazel.
Maaf. Aku juga tidak bisa berada di sampingmu.
Entah
sejak kapan aku sudah berdiri di dapur. Di depanku terdapat tempat pisau.
Berderet berbagai macam pisau ada di situ, mulai dari pisau daging sampai pisau
buah sekalipun. Aku tidak tahu kenapa tanganku terulur ke depan. Yang jelas…
semuanya mendadak menjadi gelap dan aku kehilangan pegangan di dalam kegelapan
itu.
━━━━━━━━
What you really wanna do is not to kill yourself...
…but to stop the pain, right?
━━━━━━━━
Aku
terjatuh di depan meja dapur, setelah pisau itu berhasil menembus kulit
pergelangan tanganku. Aku hanya perlu memotong pembuluh nadiku agar semua ini
berhenti, bukan?
Aku
menggigit bibirku dan menahan napasku. Rasanya sakit tak tertahankan saat aku
mengiris pergelangan tanganku lebih dalam lagi. Darah berwarna merah segar
menetes dari pergelangan tanganku. Aroma anyir mulai memenuhi ruangan. Tangan
kananku masih bergerak di luar kendaliku.
“KAKAK! HENTIKAN!” teriakan seseorang
membuatku merasa lebih gila lagi. Karena aku tinggal sendirian tidak mungkin
ada orang lain yang akan berteriak ke arahku. Sekelebat rambut panjang berwarna
coklat berlari di depanku dan ia langsung menyambar pisau dari tanganku.
“TOLONG… HENTIKAN…” ucap suara itu dengan suara gemetar.
Third
POV
Vian mendongakkan kepalanya dan mendapati adik
perempuannya telah berdiri di hadapannya. Gadis itu melepaskan pisau dapur yang
Vian pegang lantas gadis itu menghela napas panjang. Matanya terlihat berair.
Ia menarik Vian agar berdiri, kemudian ia mencuci pergelangan tangan Vian yang
berdarah di washtafel.
“Apa yang telah kau lakukan?” tanya Hazel, tak
bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Meskipun umurnya masih 13 tahun, saat ini ia
tampak lebih tua dari umurnya. “Apa kau berniat membunuh dirimu sendiri?”
Darah bersamaan air jernih mengalir masuk ke
dalam lubang washtafel. Vian tidak mengucapkan sepatah kata pun selama Hazel
mencuci lukanya. Sementara itu, Hazel mengerang ketika melihat luka irisan yang dibuat Vian ternyata cukup dalam. Ia langsung mengambil first-aid box dari lemari kebutuhan yang
ada di dapur, lalu ia menarik tangan Vian yang tak terluka ke ruang tengah.
Hazel sedikit tahu cara melakukan pertolongan
pertama karena ia pernah melihat Mama melakukan first-aid pada seseorang yang terluka akibat kecelakaan di jalan.
Ibu mereka bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit di Minnesota dan
kebetulan saat kecelakaan itu terjadi, Mrs. Hannigan sedang berada di tempat itu
bersama Hazel dan Jade. Waktu itu tak butuh
waktu lama untuk menolong korban karena bukan kecelakaan besar.
“Sejak kapan kau melakukan ini?” tanya Hazel
memecah keheningan di antara mereka berdua. Semenjak kematian Nenek, rumah itu
terasa lebih lengang dan kosong. Gadis itu dengan terampil membersihkan luka
Vian menggunakan cairan antiseptik lantas menutupinya menggunakan perban karena
ternyata luka itu cukup lebar sehingga plester tak cukup untuk menutupinya.
“Kau harus lebih menyayangi dirimu sendiri, Kak Vian,” ucapnya setelah selesai
mengobati kakaknya.
“Dengan apa kau ke sini?” balas Vian tanpa
menggubris perkataan adiknya.
Hazel menatap mata biru Kakaknya. Ia terlihat
enggan untuk menjawab. “Bis…”
“Kau pergi sendirian?” tanya Vian lagi dengan
sorot menginterogasi.
Hazel menghela napas. “Yeahㅡ”
“Apa kau tidak tahu bahaya apa kalau kau pergi
sendirian?!”
“Tapi aku aman!” elak Hazel. Tiba-tiba ia memegang
kepalanya, “Arghhh! Aku sudah tidak tahan berada di rumah. Aku membenci pacar
baru Mama dan semuanya!”
“Jadi kau kabur ke sini?”
Hazel mengangguk perlahan. Diam-diam ia menoleh
ke arah tas ransel Jansport-nya yang hanya berisi baju dan underwear secukupnya serta komik Marvel favoritnya.
Vian melipat kedua tangan di depan dadanya. Ia
sudah terlihat biasa lagi, tidak cenderung bertindak berbahaya seperti tadi.
Terkadang di saat pikirannya sedang gelap, buntu, dan ia sudah tidak bisa
berpikir jernih lagi, keinginan itu datang. Namun, yang tadi itu
benar-benar puncaknya. “Asal kau tahu, rumah Nenek bukan tempat pelarian,” ucap
Vian dingin yang membuat Hazel merasa tertohok.
“Lalu aku harus bagaimana?”
“Besok kau harus pulang.”
“TIDAK!”
“Bukankah kau masih sekolah?”
“Tapi aku tidak mau pulang! Please, biarkan aku di sini,” pinta Hazel bersikeras. “Biarkan aku di sini sampai aku merasa lebih baik,” ujarnya lagi dengan tatapan memelas. Rambut panjangnya yang ia ikat ke belakang terlihat berantakan dan semakin berantakan karena perjalanan jauh.
Vian menghela napas. Ia melirik jam dinding
yang ada di ruang tengah. Pukul 22.30. Tiba-tiba ia beranjak berdiri. “Kau
sudah makan?” tawarnya tanpa menoleh ke arah adiknya.
Hazel tanpa sadar tersenyum sumringah. Ia pun
ikut berdiri untuk mengambil tas ranselnya yang ia taruh sembarang di dekat
pintu masuk. “Buatkan aku spaghetti!” perintahnya sambil berlari masuk ke salah
satu kamar kosong yang berada di lantai atas. Alasannya agar ruangannya bisa
dekat dengan kamar kakaknya. Berhubung rumah Nenek sudah lama tidak ditempati
banyak orang (yah kalau dua orang bisa disebut banyak), ia merasa kalau kamar-kamar yang ada di lantai bawah pasti berdebu.
“What?”
Vian menoleh ke tangga. “Jangan minta yang aneh-aneh di malam hari!”
Hazel berhenti memanjat tangga. Ia terlihat
berpikir sejenak. “Kalau begitu pesankan McDonalds?” usulnya sambil nyengir
lebar yang disambut wajah galak kakaknya. “Oke-oke… Kalau begitu buatkan aku
apa saja yang bisa dimakan.”
━━━━━━━━
In the
darkest night, the stars shine and the moon smiles. Like you.
━━━━━━━━
Pagi masih beranjak bangun ketika Vian membuka
matanya. Ia mematikan alarm di ponselnya yang selalu membangunkannya setiap
pagi. Tanpa sempat mengecek telepon genggamnya, ia turun dari tempat tidurnya
dan bersiap-siap untuk pergi ke minimarket 24 jam yang berada tak jauh dari
rumahnya. Biasanya ia pergi ke minimarket itu dengan menaiki
motornya. Tapi pagi itu, dia berniat akan berjalan kaki saja.
Udara di luar ternyata cukup dingin karena
matahari belum sepenuhnya muncul. Ia mengeratkan jaket yang ia pakai dan memasukkan kedua tangannya ke saku jaket. Persediaan makanan di rumah
sudah hampir habis dan ia sengaja pergi ke minimarket pagi-pagi karena biasanya
ada diskon bahan makanan di pagi hari. Selain itu, ia juga berusaha menghindari
orang-orang.
Ketika ia masuk ke dalam minimarket, udara
terasa lebih hangat karena adanya penghangat ruangan. Beberapa orang terlihat
menyeruput kopi mereka di bangku-bangku yang ada di dalam minimarket tersebut. Sepertinya
mereka sedang mencari kehangatan dengan menghirup dalam-dalam kopi panas
mereka.
“Yo, Vian!”
Vian baru mau mengambil keranjang belanja
ketika seorang laki-laki berkulit hitam menyapanya dari salah satu meja di
minimarket. Minimarket itu juga menyediakan bangku dan meja café untuk para pengunjung yang mau
menikmati kopi atau makanan instan di tempat.
“Jaden?” balas Vian sambil menaruh kembali
keranjang belanjanya. Ia merasa canggung bertemu Jaden saat sedang belanja. Namun laki-laki sebaya yang berwajah
ramah itu sudah berjalan mendekatinya.
“Lanjutkan saja belanjamu, Vi,” kata cowok berambut gimbal itu. Namanya Jaden dan ia adalah satu-satunya teman Vian sekarangㅡkarena Michael sudah membuangnya.
Vian meringis. “Jangan panggil aku dengan
panggilan idiot itu.” Ia mengambil
lagi keranjang belanjanya dan berjalan menuju lorong bahan makanan diikuti
Jaden.
Jaden mengangkat bahu. Kenyataannya Vian lebih
mudah dipanggil ‘Vi’ (baca: Vi). “Apa yang kau buat sampai kau tidak membalas
pesanku kemarin hah?” tanyanya. “Belajar? Bersih-bersih rumah?” ejeknya.
Cowok jangkung itu menggeleng. Pikirannya
melayang ke apa yang akan ia masak untuk sarapan dan makan malam. “Sori.” Hanya
itu yang ia ucapkan sementara tangannya sibuk mengambil berbagai jenis makanan instan yang mudah dibuat
di rumah. “Kau sendiri kenapa ada di sini?”
Jaden pura-pura mengambil barang untuk menunda
jawabannya. “Wellㅡ”
“Diusir keluargamu?”
“Itu sedikit kasar, dude.”
Vian mendengus tertawa. Walau begitu,
sepertinya Jaden tidak tersinggung. Ia justru ikut tertawa walau bukan itu
kenyataannya. Kedua orang tua Jaden adalah orang yang sibuk, jadi mereka mungkin
tak akan sadar putranya tidak pulang ke rumah semalam. Jaden juga tidak
mempermasalahkan hal itu selama ia diberikan uang berlebih oleh kedua orang
tuanya. “Anyway, aku punya hadiah
untuk ulang tahunmu, Vi,” kata Jaden tiba-tiba. Entah kenapa ia melihat ke
sekelilingnya dulu sebelum melanjutkan perkataannya.
“Jay, kau pikir aku masih bocah yang merayakan
ulang tahun dengan memukul pinata?”
“Bukan, bukan. Aku mau mengajakmu ikut balap
liar di daerah pinggir kota nanti malam.”
Vian menghentikan gerakan tangannya memilih
bahan makanan. Ia menoleh ke arah temannya untuk memastikan kalau temannya
masih di bawah kontrol pikirannya. Yeah, ia teringat beberapa waktu yang lalu
saat mereka patungan membeli wine dan
berakhir mabuk. “Kau gilㅡ”
“Ssshhh… Aku punya koneksi. Di sana ada temanku
yang bernama Terry. Yah… Dia mahasiswa drop-out
yang memutuskan untuk jadi pemegang taruhan balapan liar. Dia mau
memasukkan aku ke balapan nanti malam,” jelas Jaden dengan suara sepelan
mungkin meskipun tak ada penjaga minimarket di dekat mereka. Matanya bergerak
ke kanan-kiri untuk memperhatikan kalau tak ada yang mendengar pembicaraan
ilegal mereka.
“Aku tidak punya mobil.”
“Katanya taruhannya mobil sedan yang mesinnya
sudah dimodifikasi,” jawab Jaden santai. “Aku punya mobil dan mobilku sudah
kupasangi NOS. Aku minta tolong pada Roscoe tempo hari.” Ia menyebut nama teman
lainnya yang bekerja di bengkel.
“Kalau kau yang ikut balapan lalu apa yang aku
lakukan?”
“Aku merasa lebih percaya diri kalau ada teman
di sampingku.”
“Terlalu beresiko.”
“Hey, memang apa yang sudah kita buat selama
ini?” kata Jaden mengingatkan pada perbuatan-perbuatan nakal yang sudah mereka
buat sejak mereka bertemu. “Bukankah kau dulu pernah ingin mengikuti balap
liar? Bakal ada cewek juga…”
Vian memaklumi pikiran temannya yang terkadang
melewati batas wajar. Mereka berdua seumuran, tapi terkadang pikiran Jaden
terlalu ngawur dan harus dinetralisir oleh Vian. Walau lebih seringnya, Vian
ikut bertindak nekat bersama Jaden. Vian pernah diajak masuk ke club malam bersama Jaden dan ia hampir
diajak oleh seorang wanita yang hampir tidak berpakaian… Kalau saat itu tidak
ada Roscoeㅡteman
Jaden yang umurnya lebih tua dari merekaㅡentah apa yang sudah terjadi pada
dirinya. “Jadi aku hanya akan
berperan sebagai pendampingmu?”
“Kalau kau mau mencoba menyetir Bumblebee-ku,
boleh saja kita bertukar tempat,” kata Jaden enteng. Ia menamakan mobilnya
dengan Bumblebee karena warnanya yang kuning mentereng dan merknya yang sama dengan
mobil Bumblebee asli yang ada di film TransformersㅡChevrolet.
Vian sedikit tergoda untuk menyetir setelah
sekian lama ia tidak menyetir. Tapi ia menggelengkan kepalanya. Ia sedang tidak
punya uang banyak kalau ada sesuatu yang buruk terjadi. “Tidak. Entah kenapa aku sedang malas berurusan dengan orang
banyak.”
“Oh ayolah. Aku sudah bayar banyak ke Terry
supaya aku dan kau bisa ikut balapan itu.”
Vian menelan ludah. Sebenarnya ia sudah selesai
belanja dari tadi. Ia juga sudah memutuskan akan memasak apa.
“Demi aku yang sudah berjuang, Vi.” Entah
kenapa mereka mulai seperti pasangan gay ketika
Jaden berkata seperti itu. “Nanti malam. Deal?”
Jaden masih bersikeras. Ia akan melakukan apa pun sampai partnernya itu berkata deal.
“Oke, oke. Deal.”
Jaden menyeringai. Ia pun menoleh ke arah
jendela kaca minimarket yang berembun. “Aktifkan handphonemu, dude.
Bertemu di bengkelnya Roscoe.” Ia pun melenggang keluar dari minimarket dengan
santai.
Vian rasanya ingin menghajar sahabatnya itu
karena sudah memaksanya ikut berbuat ilegal lagi. Tapi ia sudah membuat
kesepakatan, ia tidak mungkin membatalkan perjanjiannya, apalagi dengan
satu-satunya sahabat yang ia miliki sekarang. Ia melihat ke arah jam dan
ternyata waktu sudah hampir pukul 7.
Ia pun bergegas menuju kasir. Argh… Jaden sialan. Aku akan terlambat ke
sekolah!
━━━━━━━━
Vian tidak bisa berhenti memikirkan apa yang
akan terjadi nanti malam. Walau pikiran rasionalnya menolak dirinya mengikuti
kegiatan ilegal seperti itu, tetapi jauh di dalam lubuk hatinya ia sangat excited. Ia bahkan sudah bilang pada
Hazel kalau ia akan pulang malam. Hazel tidak banyak komentar selama ia diberi
makanan cukup. Yeah… Adik perempuannya
yang satu itu sama sekali tidak bisa memasak dan tidak bisa diberi pekerjaan
rumah sedikit pun karena kemungkinan besar ia akan menghancurkan segalanya.
Cowok itu melihat ke layar ponselnya untuk membalas pesan dari Jaden sambil meminum
susunya. Jam istirahat sedang berlangsung dan seperti biasa ia selalu duduk sendirian. Ia sering berpikiran untuk pindah ke sekolah yang sama dengan Jaden,
karena ia merasa lebih nyaman berteman dengan teman-teman Jaden. Mereka bukan
orang-orang yang berengsek sepertiㅡ
PRAAANGGG!!!
“Sepertinya aku sudah menyenggol makanan milik
bocah idiot yang menduduki bangkuku,”
ucap seorang laki-laki bertubuh jumbo dengan tato tersembunyi di balik kerah
bajunya. Namanya Spike dan ia satu-satunya anak yang sering mengusik kehidupan
Vian. Ia baru saja jelas-jelas dengan sengaja menyenggol piring makan Vian hingga
jatuh, membuat anak-anak lain langsung menoleh kepadanya sehingga suasana
kantin langsung hening.
Vian meletakkan gelas susunya dan mengelap
bibirnya dengan punggung tangannya. Ia langsung menyembunyikan handphonenya, khawatir benda itu akan
jadi objek penghancuran laki-laki berotak udang di depannya, lantas menatap
Spike dengan sorot menantang.
“Apa kau tidak tahu ini tempatku biasa untuk
makan?” tanya Spike dengan tatapan mengintimidasi. Ia dengan sengaja menaruh
tempat makannya keras-keras di hadapan Vian agar orang-orang terus menoleh ke
arah mereka.
“Nope,”
jawab Vian kalem. “Apa di sini ada aturan kalau seseorang bisa punya hak milik
atas meja kantin?”
Spike bersama geng yang sama terlihat bodoh
dengan dirinya tertawa keras. Seharusnya Vian sadar kalau tempat itu memang
selalu menjadi langganan Spike dan gengnya. Anak lain tak ada yang berani duduk
di meja panjang dekat jendela itu karena tempat itu selalu sudah dibooking oleh Spike.
Tiba-tiba tawa itu hilang dan berganti dengan
tatapan mengintimidasi lagi. “Apa kau tahu sedang berurusan dengan siapa?”
“Anak-anak bangsat,”
balas Vian.
Spike menggeram. Ia mendorong tubuh Vian dengan
kasar. “Kali ini aku sedang tidak berniat berlaku kasar. Jadi, minggir dari
sini dan bersihkan kotoranmu itu,” ucapnya sambil menujuk makanan milik Vian
yang jatuh di samping meja panjang tersebut dengan dagunya.
Vian agak kaget dengan gerakan mendadak dari
Spike, namun ia segera menguasai diri. “Oke. Aku juga tidak tertarik berurusan
denganmu,” ucapnya kalem sambil beranjak berdiri. Saat ia hendak berjalan
menjauh, tubuhnya ditarik paksa ke belakang oleh Spike hingga ia terjatuh. Dari
ukuran badan saja, ia sudah kalah.
“Aku tidak suka ada kotoran di dekat mejaku,”
geram Spike.
“Yeah, aku juga sudah melihat kotoran besar di
depan mataku persis,” ucap Vian sarkasme yang menyulut api kemarahan Spike.
Spike sudah tak tahan lagi untuk tidak menonjok
muka Vian. Buku-buku jari Spike yang gemuk ternyata menghantam udara kosong,
membuatnya dipermalukan di depan umum. Vian bangkit berdiri dan
mengarahkan tinjunya lurus ke tulang dada Spike tanpa ampun.
Tinjuan itu telak sehingga membuat Spike
kehilangan napasnya sejenak, tapi masih bisa membuatnya bergerak membuat
gerakan balasan. Setelah itu tak ada yang bisa menghentikan kekacauan hingga
salah seorang guru datang dan melerai keduanya.
━━━━━━━━
Ruang
Detensi
Kaus putih yang dikenakan Vian terlihat kotor. Rambut
cokelatnya berantakan dan dua noda keunguan mewarnai wajahnya, satu di ujung
bibirnya dan satu lagi di pipinya. Namun ia tidak terlihat peduli pada
luka-lukanya.
“Mr. Hannigan, apa kau sadar apa yang sudah kau
perbuat?” tanya seorang guru yang kini duduk di hadapan Vian.
Vian tidak menjawab. Ia memalingkan mukanya.
Tanpa ditambah masalah ini pun, pikirannya sudah kacau.
“Kau hampir melakukan tindakan kriminal dengan
membuat temanmu kesulitan bernapas,” jelas Mr. Smithㅡnama guru bimbingan
konseling ituㅡdengan suara tenang namun mengancam.
“Dia hanya bertingkah berlebihan,” ucap Vian
sambil mengingat kejadian sebelumnya ketika Spike dibawa ke sanotarium karena
sulit bernapas setelah menerima bogem mentah tepat di tulang dadanya berkali-kali.
“Dia hampir tidak bisa bernapas, Mr. Hannigan,”
kata Mr Smith tajam. Kedua tangannya ia letakkan di atas meja kerjanya.
Aku
pernah mendapat yang lebih parah darinya, geram Vian dalam hati. Ia mendapat ide untuk meninju titik kelemahan
pernapasan dari Spike sendiri yang sudah mempraktikkan gerakan itu ke Vian tahun lalu hingga membuatnya sulit bernapas. Setelah itu, gerombolan geng Spike
meninggalkannya terkapar di atas tanah membiarkannya bertahan sendirian. Tanpa
sadar laki-laki itu mengepalkan tangannya di balik meja. “Yeah, aku salah,”
ucapnya tiba-tiba menyerahkan diri. Vian pikir tak ada gunanya berdebat karena
orang dewasa tidak akan mau mengerti dan hanya akan memberi nasihat-nasihat
kebaikan yang terdengar seperti omong kosong di telinganya. Ia tidak butuh
pendeta dadakan saat ini.
Mr. Smith menarik napas panjang dan
menghembuskannya. Pria berkaca mata itu terlihat sudah terbiasa menghadapi
murid-murid bermasalah seperti Vian. Ia tahu latar belakang keluarga Vian yang
kacau serta keadaannya sekarang yang hanya tinggal sendirian di rumah milik
Neneknya yang sudah meninggal. Menurutnya anak itu hanya depresi berat setelah
Neneknya meninggal, namun ia tak pernah menunjukkannya ke siapa pun. Tapi ada
satu hal yang terlupakan oleh guru tersebut. Ia tidak tahu kalau anak itu
mendapat penolakan dari teman-teman sekelasnya dan penindasan dari seniornya
semenjak pertama kali ia masuk ke sekolah itu. Ia tidak menyadari kalau
permasalahan itu selalu ada di sekeliling murid.
“Dengan ini, aku harus memberimu peringatan dan
menurunkan poinmu karena sudah berkelahi di area sekolah. Aku juga akan
menghubungi Ayahmu. Bukankah Ayahmu bekerja di luar kota?” tanya Mr. Smith
memastikan.
Vian ingin tertawa dengan kalimat ‘berkelahi di
area sekolah’. Sepertinya Mr. Smith belum pernah mampir ke sudut-sudut bagian
sekolah, ke kamar mandi, atau ke bagian belakang gedung sekolah, oh atau
mungkin ke gudang. Pikiran Vian teralihkan lagi. Ia sudah membayangkan ia akan
mendapatkan diskors selama seminggu supaya dia bisa terbebas dari sekolah.
Tapi ternyata tidak. Dan sebagai gantinya, nanti malam ia akan ditelepon Papa
dan diceramahi macam-macam. Rasanya ia sudah bosan hanya dengan membayangkannya
saja. Ah, ia jadi ingat kalau nanti malam ia punya acara bersama Jaden…
“Mr. Hannigan?”
Cowok itu menatap mata gurunya sekarang. “Oh,
lakukan saja.”
Mr. Smith melihat ke arah jam di ruang detensi.
“Sepertinya bicaranya cukup, silakan kembali ke kelasmu,” ucapnya.
Vian langsung beranjak berdiri dari kursinya
dengan cepat. Ia sudah tidak tahan berada di tempat ini.
━━━━━━━━
Pukul 21.10
Bangunan itu adalah gudang di masa lalu, namun
karena bangunan itu sudah tidak terpakai lagiㅡatau
begitulah yang
terlihatㅡgedung itu dijadikan tempat berkumpul. Dari
luar, gedung itu tampak seperti bangunan mati yang bisa dijadikan tempat untuk uji
nyali, tapi sebenarnya bagian dalam bangunan kecil itu sangat nyaman. Bangunan
bekas gedung itu terdiri dari sebuah ruangan yang cukup luas untuk memarkirkan sepuluh
mobil. Namun bagian yang paling banyak dipakai adalah bagian tengah.
Vian sudah terlalu sering pergi ke tempat itu
semenjak mengenal Jaden. Jaden sendiri sudah menganggap bangunan bekas
gudang itu sebagai rumah keduanya. Yeah, meskipun kadang polisi suka
menggeledah tempat itu sehingga mereka harus berlari kabur mencari tempat
persembunyian, mereka tetap kembali lagi ke tempat itu tak peduli ada police line yang dipasang di pintu
masuknya.
Setelah memarkirkan motornya di samping
mobil-mobil balap illegal yang ada di situ, Vian bergabung bersama Jaden dan
Roscoe.
“Hey, dude.
Baru kelihatan. Kemana saja kau?” tanya Roscoe begitu Vian duduk di salah
satu jok mobil bekas yang mengelilingi meja yang di atasnya terdapat
seperangkat playstation. Roscoe
berumur lebih tua dari Vian dan Jaden, tapi ia tidak pernah mempermasalahkan
itu. Tubuhnya berisi dan wajahnya cukup untuk membuat wanita terpesona.
Tingginya sekitar 186 cm. Ia seorang pengemudi dan pecandu mobil-mobil balap,
serta suka memodifikasi mobil. Roscoe
pernah menjadi anggota gangster dan
konon ia pernah dikejar-kejar FBI bersama kelompoknya yang lain karena merampok
rumah pribadi milik saudagar Arab di Abu Dhabi. Entah seberapa banyak uang yang ia temukan. Vian
dan Jaden yang notabenenya masih bocah di kelompok itu belum benar-benar tahu apa
sebenarnya yang direncanakan Roscoe.
“Yeah, sepertinya aku lupa kalau tempat ini
masih ada,” jawab Vian bercanda.
Jika udara di luar benar-benar sangat dingin, mereka menyalakan api
unggun di tempat itu. Namun kali ini, Roscoe sedang ingin bermain game untuk sekadar mengisi waktu luang. Jaden langsung menghentikan permainannya dan
melempar sebuah baju ke arah Vian. “Ganti bajumu. Kita akan segera show off,” kata Jaden sambil smirk.
Vian memperhatikan baju yang diberikan Jaden.
“Apa ini benar-benar perlu?”
“Oh ayolah… Tempat itu tidak butuh orang-orang
bertampang anak sekolah,” jawab Jaden.
“Kau bahkan terlihat lebih anak-anak dariku,”
gerutu Vian sambil melepas T-Shirtnya.
Jaden tertawa. “Kita lihat saja nanti…”
━━━━━━━━
“Jay, ini gila,” ucap Vian begitu mobil yang
dikemudikan Jaden memasuki area yang dipenuhi dengan orang-orang dan
mobil-mobil balap. Dalam keadaan tertentu, mereka sering memanggil nama
masing-masing dengan nama lain mereka. Jaden lebih banyak dikenal sebagai Jay.
Bahkan kebanyakan orang tidak tahu nama aslinya adalah Jaden. Hanya keluarganya dan
teman-teman terdekatnya yang tahu.
Jaden membuka kaca jendela mobilnya
lebar-lebar. Ia sudah mengubah penampilannya agar terlihat berumur duapuluhan.
Ia melambatkan mobilnya. Sambil menyetir, ia melambaikan pada gadis-gadis
berpakaian minim yang dilewatinya. “Semoga gila yang kau maksud itu gila yang
menyenangkan, Vi,” ucap Jaden sambil tersenyum lebar.
Vian duduk di samping kanan Jaden. Ia sudah
mengubah penampilannya juga. Ia memakai kemeja berwarna hijau army dan ia mengubah model rambutnya.
Rambut cokelatnya yang biasanya menutupi dahi, kini ia atur agar dahinya
terlihat. “Well, ini lebih gila daripada klub malam,” ucapnya sambil memperhatikan ke sekelilingnya. Ia tidak begitu
suka keramaian, tapi demi temannya ia rela berada di tempat-tempat yang penuh
sesak dengan orang-orang asing ini.
“Itu Terry,” kata Jaden sambil menunjuk ke arah
pria dengan snapback dan jaket baseball yang memegang uang di tangannya
dan dikelilingi oleh wanita. Sementara itu, di depannya berjejer tiga mobil yang
terlihat lebih mahal daripada Chevrolet Bumblebee-nya Jaden.
Terry menoleh ke arah Jaden dan menyeringai
lebar. “Hey, man! Kau datang juga,”
katanya setelah mobil Jaden ikut berjejer di samping tiga mobil balap yang
lain.
“Tentu saja. Aku tidak akan melewatkan
kesempatan ini,” kata Jaden merujuk pada balapan liar yang akan ia ikuti
melintasi jalan menuju luar kota. Resiko yang akan ia peroleh malam ini
hanyalah dikejar polisi kalau ketahuan dan… tabung NOS-nya meledak.
“Pilihanmu tepat, Jay!” kata Terry sementara
Jaden menyerahkan hampir segepok lembar dolar.
Jaden memegang setirnya dengan raut bangga. “Anyway, siapa mereka?” tanyanya sambil
menunjuk ke arah mobil Mercedes-benz hitam di sampingnya.
“Haha… Perlukah aku membocorkan identitas
setiap orang?” balas Terry tertawa.
Jaden sedikit kesal. Ia merasa sudah diejek.
“Oke, Jay… Karena kau dekat dengan Roscoe, aku
akan memberitahumu siapa pemilik Mercedes-benz hitam itu. Dia Phillip, penguasa
jalan ini,” jelas Terry singkat yang membuat Jaden menelan ludah. Seperti
menyadari perubahan ekspresi cowok negro itu, Terry langsung berkata, “Oh
tenang saja man, lainnya juga amatir
sepertimu!”
“Shit,”
umpat Jaden yang merasa ia seperti baru menyumbang uang ke orang yang salah
karena yang menang tentu saja akan mendapat seluruh uang yang sedang dipegang
Terry sekarang. Uang yang menggiurkan…
Terry menyeringai lebar. “Good luck, Jay.”
Sekarang keempat pemilik mobil itu saling
mengeraskan suara mesin mobil mereka. Orang-orang mulai berkerumun di antara
mereka dan bersorak. Seorang gadis berdiri di depan keempat mobil untuk memberi
aba-aba.
“READY!”
teriak gadis itu sambil menoleh ke arah para pengemudi.
“Errr, sebelumnya kau sudah pernah ikut
balapan?” tanya Vian sambil berusaha mengabaikan gadis-gadis yang berusaha
menggodanya.
“SET!”
“Oh yeah… Ini pertama kalinya.”
“GOOOO!!!”
Keempat mobil itu melaju dengan kecepatan
tinggi menyusuri jalan yang menuju luar kota. Garis finish berada dua puluh kilometer di depan dengan lintasan tidak
lurus.
Vian tidak menjawab lagi. Bumblebee melaju
dengan sangat kencang mendahului dua mobil yang katanya dikemudikan oleh
amatir… Jaden tertawa keras ketika melewati mereka. Ia merasa sangat percaya
diri, padahal balapan itu baru dimulai.
Jaden melihat GPS-nya. Seharusnya mereka
berbelok namun, ia justru lurus menuju jalan beraspal yang menyusuri pinggir
ladang jagung. Ia memperhatikan salah satu mobil di belakangnya mengikuti
jejaknya, namun dua mobil yang lain memilih jalur yang tepat. “Haha! Mereka
bodoh!”
“Apa kau yakin?” tanya Vian sambil melihat
jalan raya yang semakin menyempit.
“Calm
down … Jalan ini tetap menuju jalur utama,” kata Jaden enteng.
Vian memperhatikan layar GPS. “Kurasa mereka
tetap jadi yang pertama…” ucapnya setelah mereka melewati setengah balapan.
“No way.”
“Lihat, Jay. Mereka bahkan sudah dekat finish.” Saat Vian berkata begitu, mobil
amatir di belakang mereka tiba-tiba menyalip.
“Sialan,” umpat Jaden.
“Apa yang akan kau lakukan?”
Jaden menatap sengit ke arah mobil sedan
berwarna hijau Hulk di depannya. “Sudah waktunya sekarang.” Tangan kanannya
bergerak untuk menggeser saklar pengaktif NOS, suara gas terdengar menggelegar, dan mobil
pun melaju dengan sangat kencang membuat mereka berdua langsung tersandar ke
jok mobil.
Vian punya firasat buruk. Ia tidak yakin walau
sudah memakai NOS, mereka tetap bisa memenangkan balapan liar itu.
Sementara mobil melaju semakin kencang tiap
detiknya, terdengar bunyi-bunyi berdentang di belakang. Bunyi-bunyi itu
kedengarannya mendesak… Kemudian mulai muncul sinar merah di spidometer mobil. “Vi…”
“Apa?”
“Sepertinya mereka akan meledak…”
“WHAT THE
FUCK?!”
“Apa yang harus kita lakukan?!” teriak Jaden panik.
Vian ingin mengumpat yang lebih parah lagi.
Namun ia juga merasa demikian… tabung-tabung gas itu akan meledakkan mobil
kuning ini. Matanya bergerak cepat keluar. Beruntung mereka melewati ladang
jagung yang memiliki rerumputan tebal di sepanjang pinggir jalannya. Tapi ia
yakin, mereka tetap akan mendapat luka karena hal ini… “Lompat.”
“WHAT THE
HELL?!”
“Buka pintumu! Kita lompat!”
“You
jump, I jump...” ucap Jaden entah bagaimana masih sempat mengutip kata-kata
dari film. Ia memandang jalanan dengan panik sementara kedua tangannya masih
mencengkram setir mobil. Ia melepas tangan kanannya dan membuat tanda salib
dengan tangannya yang bebas itu.
“SEKARANG!!!” teriak Vian sambil membuka pintu
mobilnya, diikuti Jaden. Kemudian mereka melompat bersamaan ke atas tumpukan
dedaunan kering yang ada di pinggir jalan. Mereka jatuh terguling di atas
dedaunan itu. Bunyi shrak shrak langsung
terdengar di antara mereka saat bergerak di antara dedaunan yang sudah gugur tersebut.
Entah mengapa Vian merasa kepalanya terasa
seperti membentur batu yang ada di balik tumbuhan dan rerumputan tebal itu.
Namun ia masih sepenuhnya sadar. Hanya saja setelah itu kepalanya terasa sakit.
Ia memaksakan dirinya untuk duduk dan melihat Bumblebee berjalan sendirian
tanpa pengemudi dan setelah seratus meter… DUAAARRRRRR!!!!!!!!!
Api langsung membubung ke atas langit,
membakar bulat-bulat Bumblebee diikuti bunyi-bunyi ledakan lagi akibat bensin
yang terkena api.
“Jay!” panggil Vian setelah kekacauan yang
terjadi. Matanya menyipit ke arah tubuh Jaden yang tergeletak diam di atas
dedaunan kering. Vian mencoba berdiri, tapi terjatuh karena kepalanya sangat
sakit. Ia bahkan merasa ada cairan yang merembes keluar dari kulit kepalanya.
Darah segar mengalir di pelipisnya. “Arrrghhh…” Ia mengerang dan terengah,
namun mulutnya terus memanggil temannya. “Jaden Williams! Kau dengar aku?!”
panggil Vian dengan susah payah.
Vian pun memaksakan dirinya melangkah
menyebrangi jalan untuk mengecek keadaan temannya. Ia menghela napas lega
ketika tak melihat darah dari tubuh Jaden. Sepertinya Jaden hanya shock saja setelah kekacauan itu.
Seandainya ia bangun, ia juga pasti akan shock
melihat mobil kesayangannya meledak di depan matanya persis.
Vian mengambil telepon genggamnya untuk
menelepon ambulans. Namun matanya tiba-tiba terasa berat. Ia menyentuh
kepalanya yang berdarah dan merasakan darahnya keluar semakin banyak dan
banyak…
“Ambulans. Aku harus panggil ambulans,”
gumamnya sambil menekan nomor telepon ambulans. Beberapa saat kemudian, telepon
tersambungkan.
“Halo?
Ada yang bisa kami bantu?”
…
“Halo?”
…
”Halo?
Apakah ada orang di sana?”
“Y-ya… A-aku,” balas Vian dengan suara lirih.
Ia sudah tidak sanggup untuk berpikir lagi. Ia bersender pada batang pohon yang
ada di pinggir jalan itu. Tubuhnya akan ambruk sebentar lagi, namun ia memaksa
otaknya untuk bekerja. “Ada kecelakaan…” ucap Vian kepada telepon itu.
“Bisakah
Anda memberitahu di mana posisi Anda sekarang?”
Sialan.
Aku bahkan tidak tahu ini dimana, gerutu Vian. Ia memandang ke sekelilingnya dan pandangannya mulai
berkunang-kunang. “Di dekat ladang jagung…”
“Maaf.
Bisakah Anda lebih spesifik lagi?”
Berengsek.
Aku sedang sekarat, mana mungkin aku bisa jelaskan, umpat Vian.
“Halo?”
Vian mencari petunjuk jalan. Ia melihat satu
petunjuk jalan, namun petunjuk itu tertutup dahan-dahan pohon sehingga ia harus
merangkak ke pinggir jalan dulu untuk membaca tulisannya. Ia mengernyit karena
kepalanya terasa semakin sakit saat ia bergerak. “Jalan Suburban yang berada di daerah perbatasan,” jawabnya. Matanya
terasa sangat berat. Ia tidak mendengar suara lagi setelah itu. Tubuhnya ambruk
di atas rerumputan.
Ia kolaps.
━━━━━━━━
Keesokan
paginya…
Hazel terbangun dan mendapati kakaknya belum
ada di kamarnya. Ia heran. Kemana kakaknya pergi semalaman? Apakah ia menginap
di rumah temannya? Hazel menduga-duga sambil meminum air putih di dapur. Ia
tidak bisa memasak, jadi ia sangat membutuhkan kakaknya sekarang.
Gadis berambut cokelat itu membuka gordain dan
merenggangkan tubuhnya sambil menikmati cahaya matahari pagi ini yang bersinar
cerah. Tiba-tiba ia teringat kalau ia belum membuka telepon genggamnya semenjak
pelariannya dari rumah ke Detroit. Pasti teleponnya akan penuh dengan panggilan
tak terjawab dari Mama… dan Papa… dan Amandaㅡteman terbaiknya di Minesota.
Ia pun mengurungkan niatnya untuk mengambil
telepon genggamnya di kamarnya. Ia sudah malas duluan membayangkan dirinya
harus membuka berbagai pesan-pesan berisi kekhawatiran yang masuk ke handphonenya. Jangan-jangan Mrs. Kellyㅡwali kelasnyaㅡjuga meneleponnya
karena ia sudah membolos tiga hari.
Ah…
Aku tidak peduli, batin Hazel
pada dirinya sendiri.
Hazel memandang kosong ke pekarangan rumah
Nenek yang penuh dengan daun-daun mapel yang
berguguran. Tiba-tiba ia merasa dirinya mendapat perasaan tidak enak. Ia
menggigit bibirnyaㅡberpikir apakah ia harus mengaktifkan
handphone-nya atau tidak.
Tidak!
Pada akhirnya, ia berlari secepat mungkin ke
lantai dua untuk mengambil handphonenya.
Ia langsung mengaktifkan handphone itu
dan entah kenapa merasa cemas.
“Oh ayolah…” gumamnya pada handphone-nya yang masih loading
untuk aktif.
━━━━━━━━
Hazel tercengang ketika membuka pesan yang
masuk ke dalam kotak pesannya. Bukan karena jumlahnya yang hampir seratus, tapi
karena Vian… Ia menatap layar handphonenya
tak percaya ketika membaca pesan dari Papa dan Mama yang isinya sama: Kakaknya
kecelakaan dan sekarang berada di rumah sakit.
Papa menelepon. Ia langsung mengangkat telepon
itu.
“HAZEL!
DI MANA KAU SEKARANG?” Suara panik Papa langsung menyerbu telinga Hazel.
Papa tidak hanya terdengar panik, tapi juga terdengar lelah. Sepertinya Papa
tidak tidur semalaman karena sangat khawatir.
“D-di rumah Nenek,” jawab Hazel terbata.
“Kau
bukan di rumah sakit?! Bukankah kau kecelakaan?!”
“Apa maksud Papa? Aku tidak kecelakaan.”
“Tadi
malam seorang dokter menelepon Papa dan memberitahu Papa kalau Vian kecelakaan.
Jadi, kau tidak bersama Vian saat kecelakaan itu?”
Kening Hazel berkerut. “Aku bahkan baru tahu
kalau Vian kecelakaan…”
“Ya
Tuhan… Sebenarnya apa yang terjadi pada Vivian? Apa kau tidak dihubungi pihak
rumah sakit?”
“Tidak…” jawab Hazel.
“Baiklah,
Papa akan ke sana sekarang…”
“T-tunggu, Pa! Bisa beritahu rumah sakit yang
menghubungi Papa? Aku akan ke sana duluan untuk menjengkuk Vian.”
“Papa
akan kirim nama rumah sakitnya melalui pesan. Sebentar, bagaimana kau bisa ada
di rumah Nenek? Mama bahkan bilang tidak tahu di mana kau berada sekarang!”
“A-ah, Pa… Aku akan jelaskan nanti. Aku mau
menjenguk Vian dulu,” kata Hazelㅡlangsung menutup teleponnya. Ia sudah menduga kalau salah satu dari orangtuanya telepon, pasti akan
bertanya di mana keberadaannya sekarang dan akan bertanya kenapa.
Ia menghela napas. Bagaimana caranya
menjelaskannya ke Papa dan Mama?
Tiba-tiba datang pesan dari Papa tentang nama
rumah sakit yang merawat Vian. Hazel pun bersiap-siap untuk pergi. Namun
gerakannya tertahan karena hal yang ia takutkan datang, yaitu serbuan telepon
dari Mama.
━━━━━━━━
Mendadak Roscoe menjadi wali sementara bagi
Jaden dan Vian. Ia duduk di samping Jaden sambil menatap was-was ke
sekelilingnyaㅡtakut tiba-tiba akan ada polisi muncul di hadapannya. Sambil mennggu Mr. dan Mrs. Williams datang, Roscoe menemani Jaden. Ia tidak sendirian, Davis juga
ikut menjenguk Jaden dan Vian.
“Bagaimana keadaan Vian sekarang?” tanya Jaden
berulang kali. Ia sudah siuman sejak tiga jam yang lalu. Tubuhnya utuh dan ia
hanya mendapat luka ringan. Ia bahkan tak terlihat seperti orang yang baru saja
mobilnya meledak.
“Dia masih belum sadar, Jaden,” jawab Davis
penuh kesabaran. Dia adalah teman lain Jaden yang juga sering berkumpul di baseㅡsebutan untuk tempat berkumpul mereka. Davis adalah laki-laki
yang masih memiliki darah Korea. Rambutnya yang panjang hampir sebahu diikat ke
belakang. Wajahnya sangat oriental, namun lidahnya sudah sangat Amerika karena
ia sudah menghabiskan setengah hidupnya di New York City. Baru-baru ini saja ia
baru mendapat job di Detroit. Tentu
saja job illegal dengan bayaran high-class. “Oh aku baru tahu nama
aslimu Jaden.”
“Apakah aku perlu memberitahu juga seluruh
sejarah hidupku padamu?” balas Jaden sinisme. Mereka sudah sering bertengkar
seperti itu sejak bertemu pertama kali.
“Paling tidak beritahu nama aslimu, Jaden
Williams. Oh, aku juga baru tahu ternyata kau masih bocah 17 tahun.”
“Shut the
fuck up, Davey,” balas Jaden.
Davis menahan agar dirinya tidak meninju wajah
Jaden.
“Bisakah kalian tenang sedikit?” keluh Roscoe.
Ia sangat membenci polisi dan berusaha sebisa mungkin menghindari mereka.
“Tenanglah, tidak akan polisi yang datang ke
sini untuk mencarimu, Roscoe. Saat ini mereka sedang fokus pada kecelakaan tadi
malam. Mereka akan menanyai Jay dan Vian mengenai kecelakaan semalam,” jelas
Davis santai sambil tersenyum menggoda ke arah perawat yang baru saja lewat di depannya.
“Tak bisakah kau melakukan sesuatu agar para
polisi tidak tahu semua kejadian semalam dikarenakan balapan liar?” tanya Jaden
pada Davis.
“Tidak ada gunanya. Karena orang tuamu sudah di
sini, setelah itu kau akan ke kantor polisi. Kau beruntung karena kau masih di
bawah umur dan masih menjadi tanggungan orang tuamu,” kata Davis sambil
menunjuk sepasang suami-istri yang sedang berjalan ke arah mereka.
“Shit.”
Roscoe dan Davis langsung berdiri begitu Mr. dan
Mrs. Williams datang. Mereka tersenyum sopan dan sedikit berbasa-basi kemudian
pergi meninggalkan Jaden sendirian bersama kedua orang tuanya. Roscoe agak
mendorong tubuh Davis agar cepat-cepat meninggalkan ruangan itu karena matanya
sudah menangkap sesosok polisi dari jauh.
“See you,
Jay,” ucap Davis tanpa suara pada Jaden sambil berjalan keluar UGD. Ia
tidak mau merusak image ‘pemuda
baik-baik’ yang sudah ia tunjukkan pada kedua orang tua Jaden.
━━━━━━━━
Menjelang siang, Vian baru membuka matanya. Ia
agak terkejut ketika pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah
langit-langit berwarna putih. Samar-samar ia mencium bau obat. Ia langsung
bangun begitu menyadari kalau tempatnya berada saat ini adalah rumah sakit.
“Bagaimana perasaanmu?”
Vian agak terkejut ketika menyadari bahwa ia
tidak sendirian di ruangan kecil itu. Seorang pria bertubuh tegap dengan kemeja
kantor berwarna biru terlihat duduk di samping kirinya sambil mengamatinya.
“Aku baik,” ucap Vian kaku. Ia tidak menyadari
ada perban menempel di kepalanya namun ia sadar infus terhubung ke punggung
tangan kanannya.
“Bahkan di saat seperti ini kau masih berbohong
pada Papa,” kata Papaㅡtak bisa menyembunyikan ekspresi kecewa di wajahnya.
“Aku benar-benar baik-baik saja, Papa. Ini
hanya kecelakaan ringan,” balas Vian dengan nada keras.
“Mobil meledak karena NOS kau sebut kecelakaan
ringan?”
Dari
mana Papa tahu? batin Vian
bertanya-tanya tapi tidak bisa ia suarakan. “Buktinya aku tidak terluka parah.”
Reynold Hanniganㅡnama Ayah Vianㅡmenatap putranya
dengan sorot prihatin. Entah
kenapa putranya terlihat sudah berubah banyak semenjak mereka bertemu enam
bulan yang lalu. Tubuh anak itu tampak lebih tinggi dari terakhir kali mereka
bertemu. Namun Reynold yakin bobot anak itu sudah berkurang karena tubuh Vian terlihat
lebih kurus. Sorot matanya terlihat suram. Kedua mata biru itu seperti tidak
memiliki semangat hidup lagi. Namun yang pasti, Vian telah tumbuh sendiri
menjadi seseorang yang sulit dikenali meski wajahnya masih terlihat mirip
dengan Reynold. Bahkan semakin Vian bertumbuh, wajahnya semakin mirip dengan
Papanya. “Kau tidak baik-baik saja. Sebenarnya apa yang kau sembunyikan?” tanya
Reynold dengan nada lelah sekarang.
“Tidak ada.”
“Apa kau punya masalah di sekolah?” Reynold
mencoba memancing putranya agar putranya bisa lebih terbuka sedikit kepadanya,
meski dirinya sudah tahu apa yang terjadi di sekolah Vian. Ia juga sudah tahu
putranya terlibat balapan liar bersama temannya.
“Apakah Mama, Hazel, dan Jade di sini?” tanya
Vian tanpa menggubris perkataan Papanya. Matanya mengintip ke balik gordain
yang menutupi ruangan kecil itu.
Reynold pun spontan langsung menoleh ke arah
yang diperhatikan Vian untuk memastikan apakah Ilyanaㅡnama Mama Vian,
Hazel, dan Jade sudah datang. Tapi
ternyata mereka belum datang. “Mereka akan segera ke sini.”
Sementara Papanya menoleh, Vian mencabut selang
infus dari punggung tangan kanannya. Tangannya langsung terasa perih, namun ia
mengabaikan rasa sakit itu. Darah mengalir pelan dari lubang bekas infus yang
ada di tangannya. Kemudian ia bangkit berdiri untuk berniat kabur.
“VIAN!”
Anak itu tiba-tiba sudah jatuh terduduk di atas
lantai. Ia memegang kedua sisi kepalanya dengan wajah mengernyit kesakitan,
sementara punggung tangannya berdarah. Tiba-tiba saja darah juga mengalir dari
kedua hidungnya diikuti dengan napasnya yang tersengal.
“Papa…” bisiknya selagi pikirannya masih sadar
karena pandangan matanya sudah buram. Kepalanya terasa lebih sakit daripada
sebelumnya dan ia mulai melihat berbagai kilas balik mengenai Neneknya yang
sudah meninggal…
Di saat kekacauan itu terjadi, tiba-tiba
gordain terbuka. Ilyana berdiri di depan bilik itu dengan wajah shock. Jade berdiri di belakang Mamanya
sedangkan Hazel berdiri di sampingnya. Ia memekik ketika melihat kekacauan di
depannya.
“Vian! Kau kenapa?!” Reynold memapah tubuh
putranya agar tidak terkulai ke samping. “Oh ya Tuhan, kau demam.”
“Apa yang terjadi?” ucap Ilyana panik.
Vian percaya ia baru saja memimpikan Neneknya
dan bagaimana ia meninggal di hadapannya. Ingatannya tentang kejadian hari
itu seolah memenuhi pikirannya hingga ia merasa mulai kehilangan akal sehatnya.
Segala perasaan yang ada di hari itu seolah-olah terjadi lagi hari ini.
Perasaan panik, marah, frustasi, dan kehilangan…
Ia tidak yakin apakah ini hanyalah ilusi atau
kenyataan, tapi ia bisa melihat wajah Nenek yang mengejang di hadapannya lagi.
Ia takut, tapi tidak ada tempat untuk bersembunyi. Tidak ada tempat yang
membuatnya merasa aman…
“VIAN!”
━━━━━━━━
A
week later…
Sudah seminggu, Vian hanya mengurung diri di
dalam ruangannya. Terakhir kali ia keluar rumah adalah saat ia harus berurusan
dengan Kepolisian Kota Detroit akibat kecelakaan yang ditimbulkannya. Ia tidak
sendirian, Jaden juga dipanggil pihak Kepolisian. Perbedaannya, orang tua Jaden
adalah seseorang yang berpengaruh di Kota meskipun berasal dari kalangan
minoritas. Akibatnya Jaden tidak terancam harus meninggalkan negara bagian
Detroit, seperti Vian.
Saat itu, Vian menunggu di luar bersama Jaden
di ruang tunggu. Sementara Papa berbicara dengan seorang polisi. Saat itu luka
Vian belum sembuh total tapi ia sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Ia
masih harus memakai perban di kepalanya. Lagi pula itu hanya luka ringanㅡmenurutnya. Kejadian saat ia tiba-tiba jatuh di rumah sakit
ternyata karena tekanan darahnya terlalu rendah dan menurut Psikiater, ia
mengalami depresi dan shock karena
kecelakaan itu. Tanpa Vian sadari, itu sangat mempengaruhi fisiknya.
Vian dan Jaden duduk bersebelahan di kursi
ruang tunggu. Jaden duduk santai sambil mengamati kedua orang tuanya
yang sedang berbincang-bincang di ruangan kaca seorang Polisi. Sedangkan Vian
duduk sambil melipat kedua tangannya dan terlihat acuh tak acuh pada Papanya.
“Vi, maafkan aku,” ucap Jaden tiba-tiba memecah
keheningan di antara mereka.
Vian tidak menoleh ke arah sahabatnya. Ia
memandang lurus ke depan, ke arah tembok berwarna biru dongker yang berada tak
jauh dari tempat mereka duduk.
“Ini salahku, kau jadi terlibat,” kata Jaden
lambat-lambat. Ia merasa sangat tidak enak pada kroninya itu. Meski mereka
sering berbuat kegilaan bersama-sama, ini pertama kalinya sampai mereka harus
datang ke kantor polisi bersama orang tua mereka. Semoga saja mereka bertobat
setelah ini. “Aku sangat bodoh karena
mengaktifkan NOS itu... Aku merasa sangat menyesal. Aku pantas menerima tinju
darimu atau caci maki paling kasar. Akuㅡ”
“Semua sudah terjadi.”
Ini pertama kalinya mereka merasa canggung satu
sama lain. Mereka duduk dengan kaku sambil menatap lurus ke depan. Keheningan
yang dingin kembali menyelimuti mereka berdua.
“Sori,” kata Jaden lagi.
Vian menghela napas. “Itu bukan salahmu
sepenuhnya. Aku juga sudah salah sejak awal,” ucapnya tiba-tiba teringat
kejadian seminggu sebelumnya saat ia berkelahi dengan Spike, membuat Papanya
sampai ditelepon sekolah. Ditambah sekarang, ia sudah pasti akan terancam drop out dari sekolah. “Mobilmu. Aku
melihat mobilmu meledak. Apa kau akan baik-baik saja?”
Kini gantian Jaden yang menghela napas panjang.
“Yeah, Bumblebee sudah hancur. Kurasa aku tak akan dibelikan mobil lagi…” kata
Jaden memelas. Tiba-tiba ia terkesiap. Ternyata kedua orang tuanya sudah keluar
dari ruangan polisi. “Vi, kurasa aku harus pergi. Bye,” ucapnya sambil berdiri.
Vian mengangkat tangan kanannya. Papa juga
sudah keluar dari ruangan polisi. Pria yang dipanggilnya Papa itu sedang
berjalan cepat menghampirinya. Wajahnya terlihat tegang. Vian membuang muka.
Namun, tak lama kemudian Vian langsung menatap mata Papanya.
PLAKKKK!!!
“Puas melakukan hal berbahaya?” tanya Papa pada
putra satu-satunya. Tangannya baru saja menampar keras pipi putranya.
Vian mengeraskan rahangnya. Ia merasa malu
karena menjadi tontonan di kantor polisi. Namun ia merasa lebih marah karena
dipermalukan di depan umum.
“Ini pertama kalinya Papa berbuat begini karena kau sudah keterlaluan,” ucap
Papa lagi dengan suara lebih pelan sehingga orang-orang yang berada di tempat
itu kembali mengurusi urusan masing-masing. “Kau sudah berbuat ulah dua kali,
atau mungkin ada lebih banyak yang tidak Papa ketahui.”
Vian bertingkah seolah tak peduli. Ia sudah
sangat ingin lari dari tempat ini dan dari hadapan Papanya. Diam-diam ia merogoh
saku jeansnya untuk mengecek apakah ada lembaran dolar di situ yang bisa membuatnya bertahan hidup.
“Apa tinggal sendirian membuatmu bisa seenaknya
bertingkah?”
Vian menghela napas. “Bukan aku yang menyetir,”
ucapnya ketus.
“Papa juga sudah punya banyak pekerjaan tanpa
harus ditambah dengan mengurusi ulahmu.”
Argh…
Kata-kata itu lagi, itu lagi. Lalu aku ini apa di mata Papa? batin Vian kesal. “Bisa kita hentikan ini?”
tanyanya sambil mengangkat kedua tangannya untuk membuat isyarat stop. “Semua itu sudah terjadi. Papa
hanya peduli di saat aku sudah rusak. Lalu di saat aku sudah rusak parah, Papa
mencoba memperbaiki aku? Tidak ada gunanya.” Cowok itu benar-benar sudah tidak
tahan lagi untuk mendengar sepatah kata lagi dari Papanya. Ia pun berbalik dan
berjalan menuju pintu keluar. Ia menggigil ketika sudah sampai di luar. Well, ia hanya memakai T-Shirt dan
kemeja di hari yang dingin di akhir September ini. Ia mencari halte busway. Beruntung sebuah bus datang
begitu ia menghampiri halte.
Sementara itu di bagian dalam kantor polisi,
Reynold masih berdiri terpaku di tempatnya berdiri. Ia memikirkan perkataan
putranya barusan. Entah kenapa saat putranya berkata begitu, seolah-olah ia
yang berperan sebagai penjahat. Selama ini ia sama sekali tidak tahu perasaan
Vian karena sifat tertutup putranya sehingga ia tidak bisa memahami jalan
pikiran putranya sendiri. Atau selama ini ia tidak pernah berusaha mendekati
putranya sendiri? Bukankah biasanya seorang Ayah dan anak laki-lakinya
mempunyai hubungan yang dekat?
Reynold mendudukan dirinya di kursi tunggu
tempat Vian duduk tadi. Entah kenapa ia merasa menjadi seorang Ayah yang gagal.
━━━━━━━━
Bangunan
bekas gudang a.k.a base
Ruangan itu diterangi cahaya penerangan minim yang membuat segalanya terlihat remang-remang. Hanya sebuah lampu utama yang
dinyalakan di tengah-tengah ruangan itu. Letaknya sengaja diletakkan di dekat
bangku-bangku yang terbuat dari berbagai bahan yang ada di base. Bangku-bangku itu diatur dengan posisi U. Bangku-bangku itu
kini tengah mengelilingi sebuah api unggun kecil yang cukup untuk menghangatkan
seluruh ruangan.
Seorang laki-laki berkacamata terlihat serius
dengan layar laptop di hadapannya. Ia sudah berjam-jam fokus pada pekerjaannya
dan ketika menoleh ke sudut lain dari base,
anak itu masih fokus memperbaiki mobilnya.
“Heh bocah! Kau belum selesai memperbaikinya?”
tanya Davisㅡnama sang laki-laki berkacamata dengan rambut dikuncir kudaㅡsambil mengambil dua botol minuman kalengan bersoda untuk dirinya dan
anak itu dari kulkas kecil yang ada di base.
(Perlengkapan base sangat
lengkap, makanya mereka betah berlama-lama di situ.)
“Kau beli mobil rongsokan ini di mana hah?”
tanya Vian dengan napas terengah. Ia keluar dari bagian bawah mobil dengan
wajah kotor.
“It mobil antik tahu. Mercedes-Benze Class S tahun 1978 dengan kekuatan 400
kuda dan 2000 cc,” jawab Davis dengan cuek lalu melempar kaleng bersoda ke
Vian.
Cowok jangkung itu dengan plester yang masih
menempel di kepala menangkap minuman itu dan menenggaknya dengan cepat.
Ternyata ia kehausan. “Well, sulit
dipercaya dengan pengetahuan seperti itu kau tidak bisa memperbaiki mobilmu
sendiri,” ucap Vian.
“Aku tidak berbakat jadi montir,” jawab Davis
sambil mengangkat bahu. “Tapi jangan main-main dengan segala informasi yang
kupunya.”
“Whatever.”
Davis mengelus bodi mobil berwarna hitam itu
yang sudah dicuci bersih oleh Vian tadi sore. Sebelumnya, ia sangat malas
mencuci mobilnya sehingga ia bahkan baru tahu kalau warna mobil yang ia temukan
di tempat penjualan mobil bekas itu ternyata berwarna hitam. Badan mobil itu
terlihat sudah rusak dimana-mana. Lampu belakangnya pecah dan warnanya banyak
terkelupas. Walau begitu, Davis yakin mobil ini punya potensi bagus.
Vian melihat ke mesin mobil yang terbuka dan
mulai bekerja lagi memperbaiki mesin mobil itu.
Davis memperhatikan bocah itu bekerja. Terlihat
jelas ia sengaja menyibukkan dirinya untuk melupakan sesuatu. “Kau sedang
melarikan diri kan?” tanyanya penasaran, hanya untuk mengisi waktu jenuhnya.
“Oh sebenarnya apa yang sudah kau lakukan dengan plester di mana-mana itu?”
tanyanya lagi setelah memperhatikan keadaan anak itu. Yeah, ia sekarang
menganggap Vian sebagai bocah. Bocah labil yang sedang sok kabur.
Vian berhenti menggerakkan tangannya. “Bukan
urusanmu.” Ia mulai merasa terganggu dengan keberadaan Davis yang semakin dekat
dengannya. Ia berharap yang ada di dekatnya sekarang adalah Roscoe karena
Roscoe cuek. Sedangkan Davis adalah tipe sarkasme cerewet dan suka
mengorek-ngorek.
“Berhentilah memperbaiki Mercy-ku. Tadinya aku
cuma setengah niat menyuruh waktu kau datang dan bertanya apakah ada yang bisa
kau lakukan. Aku hanya asal ngomong waktu menyuruh kau cuci mobil sampai
mengkilat dan perbaiki mobilku,” kata Davis memunculkan sifat cerewetnya.
“Yeah, aku memang sedang ingin melakukan
sesuatu. Jadi, jangan ganggu aku.”
Davis memang suka menganalisis orang-orang di
sekitarnya. Ia memang penganalisis yang baik, selain menjadi seorang programmer dan hakcer pro. “Belikan aku makanan di luar!”
“What?
Kenapa tidak Delivery Order?”
“Kau kira aku mau menunjukkan mukaku ke publik
dan dilaporkan ke polisi begitu saja?” perintah Davis. “Biarkan Roscoe yang
akan memperbaiki mobilku saat dia balik nanti.”
Vian menegakkan tubuhnya. Ia menyerah melawan
Davis. Ia gatal ingin mengatakan ‘Itu
bukan urusanku’, tapi ia cukup menghormati Davis. Davis suka senioritas dan
kemungkinan besar ia tak segan-segan menguncikan base untuknya agar dia tak bisa masuk lagi. “Apa yang harus
kubeli?”
“Apa saja yang ada di McDonalds di persimpangan
jalan itu,” kata Davis seraya menyerahkan beberapa dolar pada Vian.
“Spesifik sekali,” kata Vian.
“Cepat! Aku mau mati kelaparan!”
Vian sangat jengkel. Ia menaiki motor sport-nya lantas melajukannya keluar
dari base. Saat ia sudah di
pekarangan base tiba-tiba Davis
keluar dari pintu dan berteriak, “AMBIL SAJA UANGKU! BELI MAKANAN DAN
PULANGLAH! JADILAH ANAK BAIK!”
Kemudian pintu base ditutup dengan kencang. Terdengar suara kunci gerendel, kunci
pintu, dan kunci gembok diputar dari dalam. Davis juga mengunci pintu garasi
tempat keluar-masuk mobil-mobil mereka.
“Sialan,” umpat Vian.
━━━━━━━━
Walaupun kesal dengan kelakuan Davis, ia tetap
menggunakan uang itu untuk membeli cheeseburger
di McDonalds. Ia memakan langsung burgernya di tempat. Suasana restoran
makanan junk food itu masih cukup
ramai meskipun sudah memasuki tengah malam. Vian duduk di dekat penghangat
karena udara malam itu sangat dingin sedangkan ia hanya memakai T-Shirtㅡkemejanya ketinggalan di base.
Sambil makan, ia memikirkan tujuannya malam
itu. Base dijaga oleh Davis dan cowok
setengah Asia itu pasti tidak akan mengizinkannya masuk. Jadi, satu-satunya
pilihan yang ia punya adalah rumah. Ia berharap Papa sudah tidur, begitu pula
Hazel.
Hazel dan Jade. Vian merasa sepertinya
merekalah yang selalu terlintas tiap kali ia memikirkan rumah dan keluarga.
━━━━━━━━
Vian tak heran ketika melihat lampu di ruang
tamu mati ketika ia sampai di halaman rumahnya. Ia semakin yakin kalau Papa
sudah tidur. Jadi, ia memasukkan motornya ke garasi lalu berjalan menuju
kamarnya.
“Vian? Itukah kau?”
Anak itu berjalan semakin cepat ke atas dan
menghindari kontak dengan Papanya. Ia benar-benar malas kalau harus diceramahi
tengah malam begini. Bahkan ia sebenarnya sangat malas untuk pulang ke rumah.
“Vian?!”
Vian menutup pintu kamarnya keras-keras lantas
menguncinya. Kemudian ia menyandarkan punggungnya pada permukaan pintu. Entah
kenapa melihat Papanya membuatnya teringat pada perlakuan Papa pada dirinya
tadi siang saat di kantor polisi.
Ini semua sudah tidak ada gunanya, batinnya.
━━━━━━━━
Keesokan
malamnya…
Malam semakin larut namun Vian tetap tidak
bergerak dari tempatnya duduk. Saat ini ia sedang duduk di kusen jendela sambil
mengayunkan kakinya di luar jendela. Malam ini malam bulan purnama sehingga
langit terlihat lebih cerah daripada biasanya. Bintang-bintang bertaburan di
atas hamparan kanvas berwarna hitam.
Vian mengeratkan jaket yang ia pakai. Ia mulai
kedinginan tapi ia tetap tidak beranjak dari jendela, seolah-olah ia memang
sengaja membuat dirinya sendiri kedinginan.
Pukul 1.46. Ia menoleh ke belakang, lebih
tepatnya ke pintu kamarnya. Ia bertanya-tanya dalam hati apakah Papa sudah
tidur. Tadi sore ia mendapat pesan dari Jaden, kalau ia harus datang ke base malam ini. Katanya Roscoe baru saja
membeli red wine mahal begitu kembali
dari pekerjaannya.
“Arggghhhh…” Akhirnya ia tidak tahan lagi
dengan dinginnya angin malam ini. Udaranya sudah seperti musim dingin saja
membuatnya harus pakai jaket tebal. Atau mungkin ini hanya perasaannya saja
karena tubuhnya sedang tidak fit?
Ia pun mengganti kaus yang ia kenakan di dalam
jaket dengan sweater turtle neck berwarna
hitam. Kemudian ia berdiri di dekat pintu sambil menekankan telinganya ke
permukaannya. Harusnya Papa sudah tidur, batinnya.
Dengan keyakinan penuh, ia membuka pintu kamar.
Ia beruntung karena suasana rumah sudah sangat sepi. Ia pun melangkah
pelan-pelan menuruni tangga agar tidak menimbulkan keberisikan. Namun ketika
sampai bawah…
“Kau mau kemana?” tanya Hazel setelah melihat
penampilan rapih Kakaknya yang memakai jaket tebal berwarna biru tua, sweater turtle neck berwarna hitam, dan
celana jeans serta Nike running shoes berwarna
senada dengan warna sweater-nya.
“Kau belum kembali ke Minnesota hah?” balas
Vian bertanya.
Hazel sedang terkena insomnia beberapa hari ini
membuat sekeliling matanya jadi berkantung. Ia baru saja mengambil segelas air
dingin dari dapur. “Belum, kata Papa tunggu kau keluar dari kamar. Kau pasti
belum makan malam kan? Tadi Papa beli daging steak. Kusisakan untukmu,” kata Hazel dengan nada ceria.
“Papa sudah tidur?”
“Pertama, katakan kau mau kemana?”
“Bukan urusanmu.”
Hazel pun meletakkan mugnya sembarang lantas
berjalan mendekati kakaknya yang sudah di dekat pintu keluar yang terhubung
dengan garasiㅡtempat motor sport Vian terparkir.
“Kalau begitu kau tidak boleh keluar dari
rumah,” kata Hazel dengan badan menghalangi pintu.
“Hazel, aku sedang tidak ingin main-main.”
“Kau sering sekali pergi di tengah malam.
Bagaimana kalau kecelakaan itu terulang lagi?!”
“Tidak akan!” ucap Vian keras tanpa sadar
tangannya terulur untuk mendorong adiknya minggir dari jalannya.
Tubuh Hazel terdorong ke samping. Secara fisik,
tidak sakit. Namun ia tidak suka mendapat perlakuan kasar dari seseorang yang
selalu ia hormati sebagai Kakak. Selama ini Kakaknya memang seseorang yang
dingin, tapi ia tak pernah sekalipun bersikap kasar di depannya. “Kau sudah
berubah terlalu banyak sampai aku sulit mengenali Kakak lagi. Baiklah. Silakan
pergi dari rumah Nenek dan jangan kembali lagi.”
Vian menjadi ragu mendengar kalimat pedas dari
adiknya sendiri. Namun ia berusaha mengabaikannya, ia biarkan kalimat itu masuk
telinga kanan-keluar telinga kiri.
“Kau mau pergi kemana tengah malam begini, Vivian?”
Tubuh Vian terasa membeku ketika mendengar
suara Papa. Tapi suara itu tidak terdengar marah ataupun tegas seperti biasanya
Papa, melainkan terdengar letih. Mau tak mau Vian menoleh. “Apa yang mau Papa
bilang?” tanyanya dengan nada tak bersahabat.
“Papa benar-benar minta maaf,” ucap Papa to the point.
Vian terdiamㅡmenunggu kata-kata selanjutnya dari
ayahnya.
“Bisakah kita luruskan semua masalah ini, Vian?
Kau tidak bisa tinggal di rumah ini lagi. Kenapa kau tak pernah bilang kau
tidak bisa bersosialisasi di sekolah barumu? Atau kenapa kau tak pernah bilang
soal perasaanmu semenjak kepergian Nenek?”
“Apakah Papa pernah bertanya sebelumnya?”
Reynold menghela napas. “Tidak. Papa memang
salah. Papa tidak bisa terus di sini, Vian, karena ada banyak yang harus
dikerjakan. Urusan Papa tidak hanya kau.”
Vian akhirnya mengurungkan niatnya untuk pergi
ke base. Ini hampir pukul 3 pagi, dan
ia tiba-tiba merasa lelah. Ia melipat kedua tangannya dan bersender pada kusen
pintu. “Kalau begitu pergi saja,” jawabnya dingin.
“VIAN!” Reynold tanpa sadar berteriak pada
putranyaㅡsuatu
hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. “Besok kita sudah harus meninggalkan Detroit! Tinggalkan semuanya! Kau
tinggal bersama Papa!”
“Kenapaㅡ?! Arghhh…” Anak
itu tiba-tiba memegang kepalanya membuatnya ucapannya terputus. Lagi-lagi
kepalanya berdenyut sakit di situasi genting. Ia jatuh terduduk dan mencengkram
kepalanya dengan kepala tertunduk.
Reynold panik. Kejadian ini hampir mirip dengan
kejadian di rumah sakit kemarin. Ia menyentuh pundak anak itu dan menyadari
kalau tubuh anak itu sangat panas. Anak itu bahkan tak terlihat seperti orang
sakit. Entah apa yang membuatnya begitu lihai menyembunyikan segala
perasaannya. Tapi jika terus begitu, bukankah tidak baik bagi mentalnya? Ia
menjadi seseorang yang tertutup dan tidak bisa mempercayai orang lainㅡmeskipun itu ke orang tuanya sendiri. Ketika perasaan yang sudah ditutupinya dengan
baik, suatu saat pasti akan meledak hingga menghancurkan si pemilik perasaan.
Reynold melihat pergelangan tangan anak itu
yang tersibak. Terdapat banyak bekas luka irisan di situ. Reynold merasa sakit melihat
putranya sudah menahan terlalu banyak namun selama ini tak pernah ia sadari.
“Maafkan Papa,” ucapnya sambil perlahan memeluk tubuh putranya.
Vian memejamkan matanya. Rasa sakit itu sedikit
berkurang ketika Papa memeluknya. Namun saat ia membuka matanya, pandangan
matanya buram. Ia menangis. Ia benci menangis, tapi saat ini seluruh benteng pertahanannya
sudah runtuh. “Kenapa selama aku kehilangan pijakanku tidak pernah ada yang
datang? Kenapa harus datang di saat aku tidak ingin peduli lagi?” tanyanya.
“Segalanya akan baik-baik saja,” jawab Reynold
berusaha menenangkan Vian.
Sementara itu, Vian tidak membalas lagi. Ia
terdiam cukup lama. Kali ini ia tidak berusaha menutupi perasaannya. Ia tidak
ingat kapan terakhir kali ia menangis. Sewaktu Nenek meninggal pun ia
satu-satunya yang tidak menangis.
Untuk pertama kalinya ia merasa aman.
━━━━━━━━
Langit berawan dan hujan hari ini. Selama
perjalananan menuju Minnesota untuk mengantar Hazel pulang ke rumah Mama, mereka lebih sering melihat kabut dan hutan
pinus. Hazel terlihat dalam mood yang
bagus. Ia menyalakan musik keras-keras di mobil membuat Vian harus menutup
telinganya dari selera musik Hazel yang agak aneh.
“Neon naega eomneunde~ Nan neoro gadeukhae michil geot gata~ Ooo~” Gadis itu bernyanyi sambil
menirukan dance-nya dengan tangannya.
Ia duduk di jok di depan di samping kanan Papa.
Vian menutup
telinganya dengan bantal. Sejak awal perjalanan, yang ia lakukan hanyalah
menyenderkan kepalanya pada kaca jendela mobil yang dingin. “Sebenarnya ini
lagu apa hah?”
Hazel langsung
menoleh ke belakang dengan wajah sumringah. “Ini hip-hop!” jawabnya sambil mengeraskan lagu favoritnya yang
dinyanyikan oleh salah satu boygroup Korea
yang sedang tenar sekarang. “Keren bukan?”
“Aku tak mengerti
kenapa kau terobsesi sekali pada cowok China,” kata Vian.
“HEY! Ini lagu
dari boygroup Korea. K-O-R-E-A,”
jawab Hazel jelas sekali tersinggungnya.
“Whatever,” balas Vian. Ia sudah menyumpal telinganya dengan headset-nya sendiri dan menyetel musik EDM yang ada di handphone-nya. Ini lebih baik daripada harus mendengarkan orang bernyanyi pakai bahasa Korea.
Ketika hari sudah hampir malam, Vian samapi lupa untuk mengabari Jaden soal kepergian mendadaknya. Ia mengirim pesan singkat ke Jaden.
Aku pindah ke
Washington DC.
Sent.
Hanya butuh waktu
beberapa menit untuk mendapat balasan dari Jaden.
J: WTF. Tunggu kami
di sana. Tapi sepertinya Roscoe tidak mau ikut karena di sana ada FBI.
Vian tak bisa
membayangkan Jaden, Davis, dan Roscoe pergi bersama-sama dalam satu mobil ke
Washington DC.
V: Kau gila.
Tak lama kemudian
terdapat balasan lagi.
J: Davis punya teman
di sana dan buatku untuk pindah ke WDC? It’s
easy, bro.
V: Yeah, kutunggu di
White House.
J: Tumben kau
bercanda. Argh… Davis terus bilang, kau jadilah anak nakal. Roscoe juga bilang,
kau tidak boleh jadi anak baik.
Vian mendengus
tertawa. Ia paham maksud pesan yang disampaikan Jaden. Ia bisa membayangkan
Davis dan Roscoe akan memberinya nasihat-nasihat sok baik di base. Mereka adalah buronan polisi,
bagaimana bisa mereka begitu santai?
K.
Vian menutup
telepon genggamnya. Ia menyenderkan kepalanya ke kaca jendela mobil yang dingin
karena di luar hujan turun dengan deras. Ia tidak mengharapkan apa pun dari
kota yang akan ditujunya. Ia juga tidak menyesali apa pun yang sudah terjadi.
Luka lamanya masih terasa sakit dan ia masih belum bisa melupakan apa yang
sudah terjadi padanya. Namun, untuk pertama kalinya ia merasa hangat dan kabut
itu perlahan menghilang.
END
Terima kasih sudah membaca. Jika berkenan, boleh tulis kritik atau komentar di kolom di bawah. Sekali lagi, terima kasih banyak.
0 comments