Wandering Souls ━ Bagian 2
Maret 16, 2024
𝕭𝖆𝖌𝖎𝖆𝖓 2
━━━━━━━━
Sebelumnya:
https://bittersweetjourneyy.blogspot.com/2024/03/wandering-souls.html
🔮
Sola memejamkan matanya
karena kehilangan kesadaran. Reef pun menarik tangan Sola dan mengabaikan rasa
melepuh yang menjalar di kulitnya. Ia melihat Sola pingsan kehabisan
oksigen.
Ia terus berenang
hingga ke sisi perairan yang dangkal. Ketika mereka sampai di permukaan, Reef
mengangkat tubuh Sola ke daratan. Lalu ia langsung menjatuhkan tubuh Sola di pasir
danau, saat gadis itu sudah membuka mata. Gadis itu langsung terbatuk
mengeluarkan air dan menghirup udara banyak-banyak.
Kedua lengan Reef
langsung melepuh, tapi ia diam saja, karena kemungkinan besar Sola juga merasakan hal
berlawanan yang sama sakitnya.
Mereka berempat
pun duduk di pinggir danau dengan tubuh basah kuyup dan napas tersengal.
“Kupikir kita
sudah mati berkali-kali,” ucap Sola sambil mendudukan dirinya di depan Hima dan
Piero. Ia mengernyitkan dahi sambil mengangkat celana jeansnya. Reef bisa
melihat kedua pergelangan kaki Sola memar dan membiru—akibat sentuhannya.
Hima yang telah
sepenuhnya sadar menatap Reef dengan sorot bertanya-tanya. Kenapa Reef juga
kelelahan setelah tenggelam di dalam air. Bukannya air adalah rumahnya? “Kau
makhluk air kan? Kau harusnya bisa bernapas dalam air," kata Hima.
“Air laut,” jawab
Reef. “Bukan air tawar!”
Piero memasang
kembali kacamatanya yang retak. Ia tampak sedih karena kacamatanya yang rusak
dan mahkota daunnya layu. Tetapi ia tetap memakai kacamatanya karena
penglihatannya buruk dan ia juga tidak melepas mahkota daun karena sudah menjadi
ciri khasnya.
Anak lelaki itu
menatap pepohonan tinggi di sekelilingnya. Tempat ini memang hutan tapi berbeda
dari rumahnya.
“Hutan ini bukan
rumahku,” ucap Piero suram. Mata bulatnya menatap hutan itu dengan sorot mata
ngeri. Hutan itu terlihat mencekam dan gelap. Tak ada suara apapun.
Sola, Hima, dan
Reef menyetujui ucapan Piero dalam keheningan. Persetujuan mereka tak perlu
diucapkan keras-keras karena hanya akan membuat mereka gentar. Saat itu,
mereka berempat menghadapi kenyataan yang sangat pahit. Mereka terdampar di
gurun pasir, terbang keluar angkasa dengan kereta api terbang, jatuh tenggelam
di danau, dan sekarang mereka berada di hutan raksasa yang dedaunannya sebesar
manusia dewasa.
“Hutan ini juga
tidak seperti hutan tropis yang ada di negara asalku,” kata Sola pelan.
Hima dan Reef
belum pernah melihat hutan hujan sebelumnya. Jadi mereka hanya menjadi
pendengar.
“Kita masuk ke
dalamnya,” kata Reef memutuskan.
“Aku tidak mau!”
kata Piero.
“Jadi kau mau
terus diam sini? Tanpa berusaha melakukan apapun?” kata Reef tajam.
“Untuk apa kita
berusaha kalau ujung-ujungnya kita mungkin hanya akan bertemu bencana lagi!”
teriak Piero. Suaranya bergetar. Ia marah, takut, sedih, lelah, dan semuanya
tercampur aduk menjadi satu. Kali ini tak bisa ditutupi lagi dengan sifatnya
yang ceria.
Kali ini Hima
bersuara. “Kita sudah melalui banyak hal. Apa hal buruk yang bisa terjadi lagi? Tidak ada salahnya nekat
berjalan masuk ke hutan angker ini.”
Sola tampak
menimbang-nimbang. “Aku sepemikiran dengan Piero, tapi aku yakin tempat ini
akan sama seperti gurun pasir. Selama apapun kau diam duduk dan menunggu, waktu
dan keadaan tidak akan berubah. Kau tidak akan mati dan kau terjebak selamanya
di waktu yang lembam.”
Tiga suara lawan
satu suara.
Keempatnya mulai
berjalan menyusuri celah kecil di antara pepohonan raksasa. Tumbuhan pakis
kolosal tumbuh di kanan-kiri mereka. Tidak ada suara jangkrik ataupun serangga
hutan—seakan-akan hanya mereka berempat makhluk hidup selain tumbuhan yang ada di tempat itu.
Reef berjalan
paling depan. Sola di belakangnya. Piero di belakang Sola. Hima
berjalan di urutan paling terakhir. Manik matanya yang berwarna putih tampak
awas mengamati sekitar.
Setelah berjalan
cukup lama, Sola memperhatikan Reef yang berada di depannya. “Kau belum tidur
sama sekali kan, semenjak kita bertemu?” ucapnya pelan sambil melangkah lebih
dekat pada Reef tapi juga menjaga jarak karena ia tidak mau membeku lagi.
Reef menoleh
sedikit ke belakang, “Bukan masalah.”
Mereka terus
berjalan menyusuri hutan. Sola memberi ide agar mereka memberi tanda berupa
coretan di tanah pada jalan yang sudah mereka lalui. Begitulah yang pernah
dilihat Sola dari film supaya mereka tahu apakah mereka berputar-putar di satu
tempat atau tidak.
Udara terasa lebih
berat daripada udara di gurun pasir. Matahari lagi-lagi menetap di atas sana
seolah waktu tidak bergulir, tapi sinar matahari yang sampai ke mereka hanya
sedikit. Keempat remaja itu mulai jengah karena keadaan dan waktu yang monoton,
tetapi tidak ada yang berani menunjukkan perasaan itu karena hanya akan
memperkeruh suasana yang sudah tidak kondusif.
Sola mulai melihat
tanda-tanda aneh dari Reef.
Langkahnya semakin pelan. Terlihat jelas, ia memaksakan diri untuk terus
melangkah. Napasnya menderu cepat. Beberapa kali kakinya hampir tersandung
akar-akar yang berserakan di jalan tanah yang mereka lewati. Kantung matanya
semakin tebal. Ia hampir di ambang batasnya.
“Kurasa ada
baiknya kita berhenti sebentar,” kata Piero tiba-tiba.
“TIDAK! Jika kita
berhenti, suatu bencana akan terjadi!” seru Reef dari paling depan. Ia mulai
memahami polanya. Hening-bencana-hening-bencana.
“Tapi kita hanya
akan istirahat beberapa menit sebelum berjalan lagi,” balas Piero sambil
mengibaskan daun raksasa di tangannya. Ia sangat capek.
“Di sini tidak ada
penanda waktu. Kau tidak akan tahu berapa lama waktu sudah berjalan,” kata Reef
bersikeras.
“Sampai kapan?!” timpal Hima.
“Belum pasti juga
bencana itu akan datang,” kata Sola dengan raut wajah khawatir. Ia tak mengerti
kenapa Reef tak mau berhenti sebentar.
Reef menatap
ketiga temannya yang mulai kelelahan, setelah berjalan jauh di tengah hutan
antah-berantah. Ia pun menyetujui untuk beristirahat sejenak di bawah pohon raksasa
yang teduh. Mereka duduk sejajar dan menyandarkan punggung pada permukaan kayu
yang kasar.
Reef tampak lebih
rileks setelah bisa duduk dan menyandarkan punggungnya pada pohon.
“Kali ini aku yang
berjaga,” bisik Sola. “Kau tidur.”
Reef menatap Sola
selama beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. Ia pun memejamkan matanya
dan mengatur napasnya. Ia mencoba untuk tidak menjadi hypervigilant kali ini—meskipun sangat sulit untuk membuat otaknya
berhenti dalam mode siaga.
Sola merasa lega
ketika melihat Reef bisa beristirahat.
“Aku rindu laut,”
ucap Reef sangat pelan, sehingga hanya Sola yang mampu mendengarnya. Mereka duduk bersebelahan persis.
“Kau akan segera sampai
di sana lagi,” ucap Sola menenangkan—ingin rasanya ia menepuk bahu Reef, tapi
ia tak mau menyakiti Reef dengan sentuhannya.
Sola menatap ke
sekelilingnya dalam diam. Hanya ada pohon, semak, daun, lumut, pakis, dan akar
saling melintang di permukaan tanah. Ia mendongak, mencari secercah warna biru.
Namun nihil. Kanopi hutan terlalu tebal dan padat.
Ia menoleh ke arah
Piero yang duduk di sisinya. Piero tengah membuat sesuatu dari daun dengan tangannya. Sementara itu, Hima tertidur pulas begitu menyentuh sandaran pohon.
“Menurutmu aku
perlu memantau ke atas atau tidak?” tanya Piero tiba-tiba seraya meletakkan kerajinan tangannya.
“Kau harus
memanjat pohon raksasa ini kalau begitu.”
“Sebenarnya aku
bisa terbang.”
Sola baru akan
menyangsikan Piero ketika ia melihat sendiri sayap tiba-tiba muncul di balik punggung
Piero. Piero beranjak berdiri dan secara ajaib, sayap ringan yang sangat tipis
muncul di punggungnya. Sepasang sayap itu mengingatkannya pada sayap kupu-kupu
dan sayap capung yang digabung menjadi satu. Bentuknya seperti sayap kupu-kupu,
tetapi teksturnya seperti sayap capung.
Sayap itu
berkelepak. Piero pun melayang rendah di atas tanah seakan-akan tubuhnya
seringan bulu.
"Kau bukan
manusia biasa," gumam Sola takjub. "Kau ini… sebenarnya apa?"
Sola pun berdiri
perlahan karena penasaran ingin menyentuh sayap Piero yang terlihat sehalus
sutra. Ia kagum, selama ini keberadaan
peri hanya ada di dunia imajinasinya. “Kenapa tidak bilang dari awal?” tanyanya
sambil menatap detail mungil di sayap Piero.
“Kalian semua
membuatku kurang percaya diri… untuk menyebutkan diriku yang sebenarnya. Reef
makhluk laut; Hima gadis kutub; dan kau hidup di perkotaan.”
“Hey! iIu sama
sekali tidak istimewa,” kata Sola.
"Menurutku
kau spesial," ucap Piero bersungguh-sungguh. Lalu, anak lelaki itu terbang
lebih tinggi. Jejak terbangnya meninggalkan cahaya kecil yang berkelap-kelip
seperti bubuk glitter. Piero terbang semakin tinggi hingga mencapai kanopi
hutan. Kemudian ia turun dengan wajah pucat pasi.
“Kenapa cepat
sekali?” Sola bertanya cemas.
“Aku tak melihat
ujung dari hutan ini, Sola,” bisik Piero. Suaranya ketakutan. Panik merambat di
dalam dirinya.
“Tenang, tenang.
Kau bersama kami di hutan tanpa ujung ini. Ada aku dan yang lain.” Secara
naluriah, Sola menyentuh tangan Piero untuk menenangkan anak laki-laki itu dan
ternyata suhu mereka sama. Sepertinya, tubuh mereka sama-sama berasal dari
unsur yang sama sehingga mereka tidak saling menyakiti saat bersentuhan.
“Terima kasih,”
ucap Piero tersenyum tipis. Mata bulatnya yang tadi nampak suram kini mulai
berbinar-binar kembali. “Aku ingin melihat duniaaa! Tapi aku dilarang melihat
manusia ataupun peradaban dunia. Itu sebabnya aku iri denganmu yang hidup di
kota.”
Betapa cepat ekspresinya berubah, pikir Sola sambil menahan senyum.
“Bagaimana
denganmu, Sola?” Piero balas bertanya.
Sayap perinya sudah lenyap secara ajaib. Mereka pun kini kembali duduk
bersandar pada tempat masing-masing.
“Aku tidak tahu
apa yang kuinginkan. Aku ingin kuliah di jurusan seni rupa tapi keluargaku
melarang. Hmmm, tapi kurasa mereka ada benarnya. Semakin dewasa, aku harus lebih realistis. Menjadi seniman bukan pilihan realistis…." kata
Sola dengan suara lirih. “Jadi, aku memilih jurusan lain yang lebih… realistis.
Tapi aku juga belum tahu apa sebenarnya yang kumau.”
Piero termenung.
“Ah maaf, aku jadi
cerita hal yang tak kau mengerti—”
“Aku paham karena
di tempatku juga sama. Berhubung aku sudah mencapai 18, aku harus memilih
keahlian yang harus kutekuni supaya aku bisa terjun ke masyarakat.”
“Ya ampun, kukira kau masih 15!”
“Apaaa?!"
“Kau seperti anak
kecil.”
Pipi Piero merah
padam. Ekspresinya membuat Sola tertawa.
Sola diam-diam
berpikir bahwa di mana-mana terdapat konsep yang sama soal mendewasakan diri.
Perasaan mereka wajar; kebingungan dan dilema di antara berbagai macam pilihan
hidup.
Namun, di antara
kerumitan benak masing-masing, mereka merasa damai untuk sejenak. Hutan raksasa
yang sunyi itu menenangkan jiwa mereka.
Kedua anak remaja
itu terbenam dalam pikiran masing-masing.
Suara erangan Reef
membuat Sola terkesiap. Spontan ia menoleh ke arah pemuda itu. Reef mencengkram kepalanya dan menekuk kedua lututnya hingga ke dada. Wajahnya
mengernyitkan dahi. Matanya terpejam rapat. Napasnya tersengal.
“Reef?” Sola
refleks menyentuh pundak Reef. Tapi Sola langsung menarik tangannya lagi sambil
mengaduh. Ujung jari-jari tangannya langsung membiru. Jika ia lebih lama
menyentuh Reef, seluruh tangannya bisa-bisa membeku sepenuhnya. Perih. Sentuhan
itu lebih menyakitkan dari sebelumnya.
Sola menyadari
sesuatu. Suhu tubuh Reef jauh lebih dingin dari sebelumnya. Reef mengerang
kesakitan. Matanya masih terpejam rapat.
Apa karena suhu tubuhnya yang semakin beku? Sola frustasi karena tidak bisa
menyadarkan Reef. Ia butuh seseorang yang bisa menyentuh Reef. Hima mungkin punya unsur dingin. Dia dari Kutub
Selatan kan?
“Hima,
bangun!" seru Sola membangunkan Hima dan gadis salju itu pun membuka mata.
Sola menatap manik mata putih pucat milik Hima. “Kau harus membangunkannya,”
pintanya dengan raut wajah serius.
Hima menoleh pada
Reef yang meringkuk dan mencengkram kepalanya sendiri. Gigi taringnya terlihat
mencuat karena meringis. Hima merasakan situasi yang gawat. Ia pun mengguncang
bahu Reef dan menyadari suhu tubuh Reef jauh lebih dingin dibanding suhu tubuhnya.
Suhu tubuh Reef membuat ujung
jari Hima membeku.
Sola ngeri ketika
melihat jemari Hima yang membiru. Ternyata bukan hanya dirinya yang terkena
efek dingin Reef.
“REEF!!!
REEEFFF!!!!!” teriak Hima tepat di depan muka Reef. Kedua tangannya masih
menyentuh bahu Reef.
Reef terkesiap dan
membuka matanya lebar-lebar. Ia menatap nanar ketiga orang yang
mengerubunginya. Wajahnya pucat pasi. Tangannya gemetar. Perlahan ia menurunkan
tangan dari kepalanya.
“Apa yang kau
sembunyikan?” cecar Hima yang membuat Sola dan Piero mengernyitkan dahi.
Sembunyikan?
Mulut Reef
terbuka. Tenggorokannya sangat kering. Lalu ia menjawab serak, “Bencana itu
muncul karena keberadaanku. Aku lebih baik enyah
dari muka bumi. Kalian seharusnya membiarkanku tetap tidur!” serunya penuh murka. Alisnya bertaut. Matanya menatap ketiga orang di hadapannya
dengan sorot berang.
Ia beranjak
berdiri dan berjalan mencari sesuatu dengan langkah terburu-buru. Ketiga
lainnya mengamati Reef yang mulai bersikap ganjil. Reef berhenti melangkah
setelah menemukan apa yang dicarinya. Ia pun mengambil benda tersebut—batu
dengan permukaan kasar seukuran telapak tangan orang dewasa. Ia mengangkat batu
itu dan mengarahkannya ke kepalanya—
“JANGAN!” Sola
mendorong Reef agar batu tergelincir dari genggamannya. Dia bisa mati kalau batu kasar itu menabrak kepalanya. “Kau gila
ya? Kau cari mati hah?!” Sola mendorong tubuh Reef sekali lagi tanpa
menghiraukan perih di telapak tangannya.
“KAU DENGAR AKU?!
Aku pemicu bencana yang mengejar kita! Badai pasir, kereta jatuh, tenggelam,
semuanya karena aku memproyeksikannya! Aku harus mati supaya kalian tetap
hidup!” Reef mencoba untuk memungut batu itu tapi Sola memegang tangan Reef.
Keduanya berjengit
dan saling menarik tangan masing-masing. Rasa
perih di telapak kulit mereka membuat mereka saling menjauh.
Hima dan Piero
terdiam. Sola masih menatap Reef dengan marah.
“Bencana itu akan tetap terjadi ada atau tanpa dirimu. Kau
pikir angin tornado, badai salju, dan badai di hutan rumah Piero itu karenamu?!
Berhenti berpikir irasional, Reef!” teriak Sola. Suaranya terdengar nyaring di
tengah hutan yang sunyi itu. Ia mengembuskan napas kasar. “Aku tahu segala hal
yang sudah terjadi pada kita sangat tidak masuk akal tapi bukan berarti kau
harus membunuh dirimu sendiri dan menganggap kau penyebab segalanya!”
“Kau juga
irasional, Sola,” kata Reef menohok hati Sola. Ia menyeringai dan memamerkan
gigi taringnya yang tajam, “Kau dan aku sama. Lalu apa gunanya terus berjalan
di hutan tanpa ujung ini??!!”
Piero merasa dejavu dengan perkataan Reef. Baru
beberapa waktu yang lalu, ia juga mengatakan hal yang sama. Hutan ini
kemungkinan membuat mereka gila satu per satu.
Sola menggertakkan
giginya. “Bukan berarti kau harus bunuh diri! Dan yeah, kita sama. Kita
berempat sama-sama terseret di tengah hutan ini! Aku juga putus asa, Reef. Tapi
melihatmu terus berjalan, membuatku ingin terus melangkah. KAU SADAR ITU??? KAU
MEMBUATKU TETAP BERTAHAN.” Jadi jangan
mencoba membunuh dirimu sendiri di tengah kekacauan ini!
Sola mengatur
napasnya kembali. Ia menenangkan emosinya yang tadi sempat melonjak naik
seperti roket. Baru saja ia merasa seperti gunung berapi yang mau memuntahkan
lava.
Reef mengalihkan
matanya dari Sola. Mimpi buruk membuat pikirannya carut-marut. Ia memang selalu
dihantui mimpi buruk, tapi mimpi tadi sangat nyata. Di dalam mimpi, Reef
menjadi penyebab segala kecelakaan mereka hingga ia tenggelam di perasaan
bersalah.
Namun, tidak ada
yang tahu beban berat di pikirannya yang membuatnya tidur dengan mimpi buruk.
Di Laut Utara, ia menjadi anak angkat seorang Pemimpin Lautan dan seluruh warga Laut
Utara berekspektasi dirinya dapat menjadi pelindung mereka setelah ayah
angkatnya mengundurkan diri. Ekspektasi warga Lautan pada dirinya membuatnya tersiksa karena ia
hanya ingin pergi ke permukaan.
Tenang. Jangan memikirkan hal itu lagi.
Ia pun menjatuhkan
batu di tangannya dan mengabaikan keberadaan Sola.
“Kurasa… Sola ada
benarnya. Bunuh diri di sini bukan jawaban,” ucap Hima.
“Kita lanjut
berjalan,” kata Piero yang kali ini memutuskan.
Kemudian, keempat
remaja itu melanjutkan perjalanan mereka. Kali ini dengan susunan yang berbeda.
Reef tetap berada paling depan. Hima di barisan kedua. Piero urutan ketiga. Dan
Sola berada paling belakang.
Selama berjalan,
Sola terust memperhatikan ketiga teman senasibnya. Ia masih terbayang-bayang
wajah Reef yang penuh keputusasaan. Bagaimana
jika batu itu tepat mengenai kepalanya? Sola tak sanggup membayangkannya.
Reef tampak tenang dari luar, tapi penuh kalut di dalam jiwanya.
Pelan-pelan, Sola
mulai mengenali karakter mereka. Reef yang terlalu keras pada dirinya sendiri.
Hima yang dingin dan cuek, tapi sebenarnya peka dengan situasi. Piero yang
selalu penuh senyum, tapi menyimpan banyak kegamangan dalam dirinya.
Perjalanan ini
terlalu abnormal dengan empat remaja yang terdampar di antah-berantah. Mereka tidak memiliki
persamaan, kecuali perasaan bahwa mereka seperti outcast—orang buangan—yang tidak diterima di belahan dunia mana
pun.
Semakin jauh
mereka berjalan, semakin renggang jarak antara pohon di hutan raksasa itu.
Cahaya matahari mulai sampai ke tanah hutan yang lembab. Mereka mulai merasa
tanah melandai turun…. dan pada akhirnya mereka mencapai hamparan rumput yang
sangat luas. Sekarang, mereka berjalan melewati padang rumput hijau yang
mengeluarkan aroma heather.
Meskipun
sebelumnya Piero mengatakan hutan itu tidak berujung, tetapi faktanya mereka
berhasil keluar dari hutan dan sampai di padang rumput yang menghampar luas.
“Aku melihat
mercusuar!” seru Sola sambil menunjuk sebuah bangunan tinggi menjulang yang
berada di tengah-tengah padang rumput itu. Harapan melingkupi hatinya.
Mercusuar tidak mungkin tiba-tiba berdiri di situ tanpa dibangun oleh manusia.
Sola pun berkata, “Mungkin ada manusia lain di dalamnya yang bisa kita tanya.”
Secercah harapan untuk
mendapat jawaban akhirnya muncul. Mereka telah berusaha dan berjalan
sejauh ini. Mungkin ini akan menjadi
akhirnya. Keempat remaja itu pun berjalan semakin cepat. Angin sepoi-sepoi
yang beraroma heather menyegarkan
pikiran mereka.
Piero menemukan
kumpulan bunga daisy yang tumbuh di
antara rerumputan. Ia pun memetiknya dan menyelipkan bunga daisy di saku baju dan di mahkota daun yang ia kenakan. Anak lelaki
itu semakin terlihat layaknya wujud peri hutan.
Sola tergoda untuk
melakukan hal sama. Ia ikut memetik beberapa tangkai bunga daisy dan menyelipkannya di belakang telinga. Tanpa ia sadari ia
tersenyum karena warna cerah bunga itu menghangatkan hatinya. Perlahan ia lupa
pada pertengkarannya dengan Reef.
Begitu pula Reef.
Ia sudah melupakan pertengkarannya dengan Sola. Dalam senyap, ia menoleh ke
belakang untuk melihat Sola yang berjalan paling belakang.
Namun, perasaan
hangat itu tak berlangsung lama. Langkah mereka terhenti di depan jurang yang
menganga lebar. Ternyata mercusuar itu bukan berada di tengah padang rumput,
melainkan persis di pinggir jurang.
Reef pertama kali
berjalan ke pinggir jurang itu untuk mengecek kedalamannya—diikuti oleh Hima,
Piero, dan Sola.
Empat kepala
melongok ke dalam jurang yang dasarnya tak terlihat. Jurang itu sangat dalam.
Saking dalamnya, sampai sinar matahari tak menyentuh dasarnya sehingga dasarnya
berwarna hitam pekat.
Tiba-tiba, Hima
tanpa sengaja menginjak kerikil dan ia bisa tergelincir ke kedalaman jurang
jika Reef tidak sigap menangkap lengannya. Hima terkesiap dan wajahnya memucat.
Nyawanya hampir melayang. “Terima kasih,” gumamnya singkat pada Reef. Hima
menyadari kalau Suhu tubuh Reef mulai terasa ‘normal’—tidak sedingin tadi.
Keempat remaja
tersesat itu refleks melangkah mundur menjauhi jurang. Di seberang jurang yang
lebarnya sekitar sepuluh meter itu, terdapat padang rumput yang serupa dengan
lokasi mereka sekarang.
“Tempat ini
menakutkan…” ucap Hima pelan.
“Kita ke mercusuar
sekarang,” kata Reef seraya berjalan memimpin ke arah bangunan berwarna abu-abu
itu.
“Mustahil.
Seharusnya mercusuar ada di pinggir pantai, bukan di pinggir jurang apalagi di
tengah padang rumput,” kata Sola mengeluarkan pendapatnya.
“Aku tahu,” sahut
Reef yang juga pernah melihat mercusuar. Ia sudah mencoba beberapa kali
berenang sendirian ke perairan dangkal. Waktu ia mendekati pantai, arus laut
menariknya kembali ke kedalaman Laut Utara—seolah ia tidak diizinkan untuk
pergi ke permukaan. Walau begitu, ia bisa melihat pantai dan mercusuarnya yang
berdiri kokoh di tengah kegelapan malam. Sejak saat itu, cahaya lampu mercusuar
yang berpendar menerangi malam selalu membayangi benaknya.
“Atau dulunya
padang rumput ini adalah laut?” ujar Piero.
Ketiga remaja itu
terdiam—membiarkan pertanyaan Piero mengambang di udara. Tidak ada yang tahu
jawabannya.
Akhirnya, mereka
sampai di depan pintu mercusuar. Pintu itu terbuat dari kayu ulin yang tak akan lapuk dimakan usia. Setua apapun pintu kayu itu, pintu itu akan tetap
tegar menjaga mercusuar.
Masalah berikutnya
muncul. Pintu itu tidak memiliki gagang pintu.
“Bagaimana bisa
masuk kalau tidak ada gagangnya?” tanya Sola.
“Dorong mungkin?” usul Piero.
“Tendang?” Hima
memberi usulan.
Reef mencoba
usulan Hima tapi pintu itu masih tertutup rapat. Ia tertegun di depan pintu itu
karena menyadari ada sesuatu yang familiar dari pintu itu ketika kakinya
menyentuh permukaannya. Ia melangkah mendekati pintu itu, menyentuh
permukaannya yang dingin, dan menempelkan telinganya di pintu kayu.
“Ada apa?” tanya
Sola penasaran.
Reef terdiam sebab
mendengar suara arus laut yang menderu. Suara yang sangat familiar karena suara
itu selalu didengarnya saat permukaan laut sedang mengamuk. Laut Utara memang
terkenal dengan ombaknya yang seperti monster.
“Aku mendengar
suara laut,” jawab Reef pelan. “Coba kau dengar.”
Sola pun melangkah
mendekati pintu dan menempelkan telinganya pada permukaan pintu. Sekarang
mereka saling berdiri berhadapan dengan telinga menempel pada pintu. Mata
mereka saling bertemu. Tapi apa yang Sola dengar berbeda dari yang didengar
Reef.
Ia justru
mendengar bunyi jalan raya yang bising oleh kendaraan bermotor, suara anak-anak
sekolah berjalan pulang sambil tertawa terbahak-bahak, dan dentingan penjual
bakso gerobak keliling. Ia terkesiap.
“Pintu ini bisa
jadi kunci kita bisa pulang,” ucapnya penuh harap sambil menatap ketiga
temannya.
“Kau dengar suara
laut juga?”
Sola menggeleng.
“Bukan. Aku mendengar suara jalan yang ada di dekat kompleks rumahku.”
Detik berikutnya,
Sola dan Piero bergegas mendekati pintu. Mereka menempelkan telinga mereka pada
permukaan kayu yang dingin. Mata mereka melebar ketika mendengar suara
familiar—yang terasa seperti rumah.
“Aku dengar suara
hujan salju,” gumam Hima. “Sudah lama sekali aku tidak mendengar suaranya.”
Piero menjauhkan
dirinya dari pintu. Ia mendengar suara serangga hutan, keluarganya yang
berbincang-bincang sambil memperbaiki bagian rumah kayunya, dan ia mendengar
gemerisik daun-daun pepohonan. Ia berjongkok dan menutup wajahnya. Beberapa
kelopak bunga daisy yang menempel di
mahkota daunnya jatuh.
Perasaan sesak
menyeruak. Ia belum pernah merasa serindu itu pada rumah hingga tanpa sadar air
matanya mengalir.
“Kau
baik-baik saja?” tanya Sola pada Piero seraya ikut berjongkok.
“Aku mendengar
rumah,” jawab Piero dengan terisak. Air matanya jatuh ke rerumputan.
Reef pun duduk di
samping Piero dan menepuk bahu Piero tapi justru membuat Piero langsung
menghindar.
“Terima kasih,
Reef, tapi aku tak butuh puk-puk darimu,” kata Piero.
“Sori.” Reef pun
mengangkat tangannya.
Hanya Hima yang
masih berdiri sambil melipat kedua tangan di depan dada. Ia melihat ke arah
padang rumput yang luas. Kemudian ia menghela napas dan bergabung bersama
ketiga manusia ajaib itu. Tiga remaja yang sebaya dengan dirinya perlahan
meluluhkan hatinya. Hanya saja ia tidak pernah tahu bagaimana caranya bersikap
hangat jadi ia hanya berdiri di dekat mereka dengan kaku.
Piero berhenti
terisak. Ia lebih tenang setelah Sola yang menepuk-nepuk lengannya.
“Jadi sebentar
lagi kita akan berpisah?” tanya Hima.
“Kurasa ya…” kata
Sola dengan ragu tapi juga penasaran. “Apa aku bisa melihat rumah kalian
melalui pintu ini?” Ia sangat ingin melihat pemandangan Laut Utara, Kutub
Selatan, dan Hutan Peri (berhubung Piero tak memberitahu nama hutannya, maka
Sola menyebutnya Hutan Peri).
Reef berdiri dan
menatap pintu kayu itu. “Aku akan coba membuka pintu ini. Kalian semua menjauh
dari pintu ini.”
“Kau yakin tidak
butuh bantuan?” tanya Sola seraya berdiri di samping Reef.
“Tidak perlu,”
jawab Reef.
Reef menarik napas
sebelum ia menendang pintu itu lalu ia tendang pintu itu. Pintu itu pun mulai berderak sedikit tapi masih
belum terbuka. Ia menendang pintu itu lagi berkali-kali, namun pintu itu bergeming di
bingkainya.
Ia menatap pintu
itu dengan terengah. Telapak kakinya mulai lecet karena menendang permukaan
pintu yang kasar. Tapi ia sudah bertekad untuk membuka pintu itu. Ia
mengatupkan rahangnya dan menendang sekali agi. Pintu itu pun menjeblak
terbuka.
Reef, Sola, Hima,
dan Piero terpana ketika melihat dunia yang
tersembunyi di balik pintu mercusuar itu. Dugaan mereka benar. Pintu itu
sungguhan berperan sebagai portal yang mengantar mereka ke tempat asal mereka.
Tapi sayangnya… mereka tidak bisa melihat rumah selain rumah masing-masing.
“Apa yang kalian
lihat?” tanya Reef yang saat itu melihat kedalaman Laut Utara. Di matanya, air
berwarna biru gelap memenuhi seluruh bingkai pintu.
“Rumah,” jawab
Sola yang melihat jalan raya ramai yang sangat dihapalnya karena setiap hari ia
melewatinya untuk pergi sekolah.
“Aku juga.” Piero
menatap hutannya yang penuh dengan kehidupan, pepohonan, serangga, dan
bunga-bunga yang indah. Samar-samar ia dapat mendengar suara keluarganya sedang
beredar di area hutan.
“Yeah, sama
denganku.” Hima melihat salju yang putih bersih. Ia melihat bagian atas bukit
kecil yang ada di dekat perkampungannya. Dari kejauhan, ia melihat rumah
keluarganya yang diterangi cahaya obor.
Namun, tidak ada
satupun dari mereka yang bergegas masuk ke dalam pintu mercusuar.
“Sekali kita
melewati pintu itu, tidak akan pernah ada jalan kembali ke tempat ini,” kata
Reef mencoba membuat dugaan—seraya menoleh pada ketiga temannya.
“Jadi… ini
perpisahan?” tanya Piero.
Jawabannya jelas.
Momen ini mungkin menjadi momen
terakhir mereka.
Dari semua keanehan di dunia ini, bersama mereka
segalanya terasa wajar, gumam Sola di dalam hatinya. Lalu ia teringat sesuatu. Jika aku kembali ke duniaku, bagaimana aku
bisa meyakinkan diriku kalau mereka nyata?
“Apa yang harus
kulakukan kalau aku ingin bertemu dengan kalian lagi?” tanya Piero mengeluarkan
pikiran terpendamnya.
Sola tersenyum
sedih. Tentu ia akan merindukan satu-satunya peri hutan yang pernah ia temui.
“Jika takdir mempertemukan kita lagi, kita pasti akan bertemu.”
Jawaban Sola tidak
cukup menenangkan hati Piero. Seandainya
Piero bisa memberitahunya di benua atau negara apa hutannya berada, Sola pasti
berjanji akan mencarinya.
…
“Aku akan coba
masuk yang pertama kali,” kata Hima menetapkan keputusannya. Ia pun melangkah
mendekati pintu itu. Kemudian, ia berbalik badan ke hadapan tiga temannya. Ia
tampak malu dan untuk pertama kalinya pipinya bersemu merah muda. Wajahnya
tampak lebih berwarna dibandingkan yang pernah Sola lihat sebelumnya.
Sang gadis salju
menghela napas panjang. “Jika aku tak kembali ke sini, itu berarti aku sudah
mencapai rumah,” ucapnya seraya menatap ketiga temannya pertamanya untuk terakhir kalinya.
Ia tersenyum
samar, lalu berbalik dan memasuki pintu mercusuar.
Ketika ia
menjejakan kaki ke pintu tersebut, serpihan salju terbang di wajah ketiga
lainnya dan selama sepersekian detik, mereka
dapat melihat rumah Hima.
Kini, tersisa
mereka bertiga di dunia asing itu. Kekosongan menyelinap di hati mereka.
Walaupun Hima hampir selalu diam sepanjang waktu dan tidak pernah menunjukkan
ekspresi kecuali ekspresi dingin di wajahnya, kehadirannya membuat mereka
merasa penuh.
“Aku akan masuk
berikutnya,” kata Piero. Suaranya terdengar yakin.
Sebelum melangkah
menuju pintu mercusuar, ia memeluk Sola dengan hangat. Gadis itu tidak
menyangka Piero akan memeluknya sehingga Sola hanya bisa salah tingkah. Dengan
canggung, Sola balas memeluk tubuh Piero.
Piero mempererat
pelukannya sebelum akhirnya melepaskan Sola dan tersenyum manis.
Sola belum pernah
dipeluk laki-laki kecuali oleh Ayahnya waktu Sola masih bayi. Walau begitu,
dipeluk Piero tidak berbeda dari dipeluk sahabat akrab yang baik hati.
“Terima kasih,
Sola. Aku akan selalu mengingatmu. Jika suatu saat kau pergi ke hutan, ingatlah
aku, mungkin aku akan datang dalam bentuk yang lain,” kata Piero dengan senyum
lebar di wajahnya yang penuh dengan bintik-bintik. Mata hijaunya
berbinar-binar.
Sola mengangguk.
“Tentu saja.”
Lalu Piero
berhadapan dengan Reef. Ia menjulurkan tangan kanannya untuk berjabat tangan.
“Terima kasih, Reef. Kau sudah menjaga kami selama kami di sini.”
Reef pun menyambut
uluran tangan itu dan mereka pun bersalaman. Detik berikutnya, keduanya
sama-sama berjengit tapi mereka justru semakin mengeratkan jabat tangan mereka.
“Kau juga.” Reef
tersenyum. “Oh! Aku dengar percakapanmu dengan Sola di hutan…. Kudengar, kau
bisa terbang.”
Piero mengerjapkan
matanya. “Aku harus menunjukkannya padamu juga!” Ia melepas genggaman tangan
Reef dan permukaan telapak tangannya langsung membiru. Di lain sisi, telapak
tangan Reef memerah. Mereka berdua sama-sama mengibaskan tangan sambil
meringis.
“Aku memang bisa
terbang!” seru Piero. Kemudian—seperti sihir—sayap Piero muncul di punggungnya.
“Sampai jumpa,” kata Piero seraya melayang rendah di atas tanah dan bergerak
menuju pintu mercusuar.
Sola melambaikan
tangannya. Selama sepersekian detik, ia melihat hutan tempat tinggal Piero yang
penuh dengan vegetasi beraneka ragam. Percikan keemasan seperti bubuk
glitter muncul di belakang Piero ketika Piero terbang memasuki pintu mercusuar.
…
Sekarang, tersisa
mereka berdua. Kekosongan memenuhi atmosfer di antara mereka. Setelah
menghabiskan waktu tidak terhitung bersama-sama, keberadaan Hima dan Piero
ternyata begitu membekas di hati mereka.
Mereka bergeming.
Tiada satupun di antara dua remaja itu yang berinisiasi untuk masuk ke pintu
lebih dahulu.
“Reef, aku tahu ini terdengar aneh, tapi aku masih
ingin sebentar lagi di sini,” ucap Sola pelan tanpa menoleh pada Reef.
“Ya, aku juga,”
balas Reef,
…
Kemudian, mereka
duduk di atas rerumputan hijau sambil menjulurkan kaki yang sudah berjalan
jauh. Sola menghela napas panjang. Dirinya belum pernah merasa seburuk itu untuk meninggalkan seseorang.
“Sola, kau tahu?
Kau bercahaya saat di dalam danau,” kata Reef memecah keheningan di antara
mereka.
Gadis itu menoleh
ke arah Reef. “Kau berbohong kan? Aku cuma ingat mata birumu yang bersinar di
kegelapan danau.”
Reef membalas
tatapan Sola. Sorot mata mereka saling berpadu. Reef tersenyum lembut. “Kau
jauh lebih bersinar daripada diriku. Waktu kau bilang kau bertahan karena diriku. Kurasa yang terjadi adalah sebaliknya.”
Mereka duduk
dengan tangan terkulai di sisi tubuh. Jarak di antara tangan mereka mungkin
hanya satu sentimeter. Tapi, mereka tak berani bersentuhan karena perbedaan entah apa yang ada di dalam diri mereka
membuat mereka saling menyakiti.
“Menurutmu, apa
yang membuat kita berjengit saat bersentuhan?” tanya Sola sambil mengangkat
tangannya dan mengamati tangannya seolah bagian tubuh itu baru ditelitinya.
Jari-jari tangannya bisa merasakan suhu dingin tubuh Reef meskipun hanya
berjarak satu senti.
“Aku juga
memikirkan hal itu. Suhu tubuhmu mirip Piero. Hangat. Tapi kau jauh lebih
hangat. Kau lebih mirip lava bawah laut yang akan menyembur ke permukaan.”
Lagi-lagi Reef menatap mata Sola yang berwarna kekuningan. Lalu ia mengerutkan
dahinya. “Atau karena warna irismu yang seperti matahari?”
Sola tertawa
kecil. “Bisa jadi? Mata Piero berwarna hijau yang bernuansa hangat. Sedangkan
kau dan Hima punya warna mata yang bernuansa dingin.”
“Tapi apa yang
membuatmu bersinar di bawah air? Kau pernah menyadari sebelumnya?”
Sola menggelengkan
kepalanya. “Tidak tahu. Aku tidak pernah berenang bahkan waktu sekolah karena dilarang oleh keluargaku. Katanya, aku
akan jadi berubah jadi monster kalau kena air kolam renang dan mereka selalu
mengatakan itu berulang kali sejak aku belum mengenal huruf. Setiap kali aku
bertanya mengapa, mereka tak menjawab.”
Sola menghela napas panjang. “Irasional bukan? Keluargaku memang sering mencerca aku ini aneh, mulai dari mataku hingga diriku yang suka berkhayal menjadi Putri Matahari.” Ia mendengus tertawa—teringat masa kecilnya yang selalu merasa seperti anak pungut karena warna matanya tidak sama dengan siapapun yang ada di keluarga besarnya.
Reef tertegun.
“Banyak tentang dirimu yang kau sendiri tidak tahu.”
Sola meringis. Ucapan Reef benar. “Kau sendiri? Memang kau tahu matamu bisa
bercahaya?”
Reef mengangguk.
“Aku bahkan tahu kenapa mataku heterokromia. Saat aku dibuang ke Lautan,
sebelah mataku dibuat hitam sepenuhnya sebagai bayaran agar aku bisa
hidup di dalam laut. Mata ini bisa melihat jelas, itulah keajaiban yang
diberikan laut padaku. Lalu mata sebelah kananku adalah bukti bahwa aku
diterima sebagai bagian dari makhluk laut. Kata Ayah angkatku, sebelumnya
mataku hanya berwarna biru biasa yang tak bisa berpendar seperti mataku yang
sekarang.”
Tanpa sadar mulut
Sola terbuka. Ia terpana karena Reef dapat menjelaskan dirinya
dengan begitu lugas.
Reef membuat teori lagi di dalam kepalanya. “Mungkin perbedaan suhu di antara
kita terjadi karena asal muasal kita. Kau dan Piero berasal dari tempat yang
hangat. Aku dan Hima berasal dari tempat yang dingin. Dasar Laut Utara hampir
selalu dingin sepanjang tahun. Tetapi percayalah kami punya sumber cahaya
sendiri untuk mencari kehangatan.”
“Kau ternyata
banyak bicara juga ya…” Sola tersenyum.
Reef mengalihkan
pandangannya karena saat itu Sola tampak seperti matahari. Senyuman gadis itu
sangat menyilaukan.
“Jadi, kau masih
mau ke permukaan? Kau kan tidak sepenuhnya makhluk laut,” tanya Sola.
Pemuda itu
menghela napas panjang. “Entahlah. Aku ingin ke permukaan tapi setelah aku bisa
menjelaskan alasanku baik-baik pada keluarga angkatku. Aku benar-benar ingin ke
permukaan untuk mencari tahu darimana asalku, walaupun yeah sekarang dasar Laut Utara adalah rumahku
satu-satunya."
Mereka pun terdiam
selama beberapa saat sambil menikmati pemandangan padang rumput yang luas.
Angin sepoi-sepoi membelai kepala mereka. Hanya terdengar suara angin berdesir
di antara padang rumput. Cahaya matahari menyinari mereka dengan cahayanya yang
lembut.
“Reef… Bagaimana
caraku membuktikan kalau kau nyata?” tanya Sola. Ia memikirkan hal ini sejak
awal, tetapi ia tak sanggup mengungkapkannya.
Meskipun asal
tempat Reef begitu jauh dan tak masuk akal, Sola ingin bisa meyakinkan
dirinya—nanti—kalau pemuda itu bukan hanya bagian dari fantasinya belaka.
Reef menyentuh
kerah bajunya dan menarik rantai perak yang menjadi kalungnya. Selama mereka
bersama, baru kali itu ia mengeluarkan kalungnya. Ia melepaskan kalung dan
memberikannya pada Sola. Liontin kalung itu berwarna hitam sebagaimana batu
obsidian dan berbentuk lingkaran pipih yang diukir halus. Batu itu bersinar dan
memantulkan cahaya—tak seperti mata kanan Reef yang tidak bisa berbinar-binar
atau memantulkan cahaya.
“Ini pemberian
dari Ibu angkatku yang sudah tiada. Dia memberikanku ini karena katanya mirip
denganku,” jelas Reef.
“Kalung ini pasti
berharga buatmu,” kata Sola sambil memperhatikan kalung yang berada di
tangannya.
Reef menggelengkan
kepalanya. “Itu bukti kalau aku senyata dirimu.”
Sola memikirkan
apa yang bisa diberikannya pada Reef. Lalu ia teringat gelang yang tersembunyi
di balik lengan kardigan. Untungnya, hari itu ia sedang memakai gelang
favoritnya yang berbentuk gelang manik-manik. Manik-maniknya terbuat dari
batu-batu kecil yang berbentuk matahari dan delapan planet tata surya. “Kalau begitu, untukmu. Aku beli
waktu aku jalan-jalan. Harganya mahal, jadi jangan kau hilangkan ya.”
Reef menerima
gelang itu dan memakainya di pergelangan tangannya. Gelang itu terlihat
mencolok di tangannya. Sola pun melakukan hal yang sama. Ia langsung mengenakan
kalung itu di lehernya. Warna kalungnya sangat kontras dengan pakaiannya yang
berwarna cerah.
Sekali lagi,
mereka berbaring di atas rerumputan seraya menatap langit yang berwarna biru.
Keduanya ingin mengabadikan momen itu dalam memori. Mereka ingin waktu berhenti
bergulir. Tetapi, bukankah waktu memang sudah berhenti bergulir sejak mereka
terdampar di gurun pasir?
“Reef…” Nama yang
unik itu mulai familiar di bibir Sola. “Aku akan pergi duluan, tapi kau harus
janji—”
Reef menoleh ke
sisi sampingnya untuk menatap Sola. “Apa?”
“Janji. Kau juga
akan melewati pintu itu dan kita akan bertemu suatu saat nanti,” kata Sola
seraya mengulurkan jari kelingkingnya.
Reef tampak
bingung. Walau begitu, ia menyambut jari kelingking Sola dengan jari
kelingkingnya juga. Ia tidak mengerti maksudnya apa. Artinya pasti sakral karena gadis itu tampak sangat
bersungguh-sungguh.
Mereka mengernyitkan dahi ketika rasa pedih menjalar di jari
mereka.
“Aku ingin
memelukmu juga, seperti Piero tadi,” kata Reef tiba-tiba yang membuat wajah
Sola sontak merah padam. Kenyataannya, Reef memang merasa iri pada Piero karena
dia bisa menyentuh Sola tanpa harus menyakitinya.
“Semoga di dunia
yang lain, aku dan kau tak perlu menyakiti satu sama lain saat bersentuhan,”
kata Sola sambil mengatupkan kedua tangannya—berdoa.
“Untuk sekarang, boleh aku
memelukmu?” tanya Reef lagi seraya mendudukan dirinya di atas hamparan padang
rumput.
Sola juga mendudukan dirinya di depan Reef. Ia menghela napas karena enggan berpisah. Ia mempertimbangkan rasa sakit yang akan mereka rasakan. Hanya sekali lagi, lalu berikutnya mereka berpisah. Lalu ia berkata dengan pipi bersemu merah. “Ya, sebelum aku melewati pintu itu. Tidak apa-apa kan aku pergi duluan?” kata Sola mengkonfirmasi.
Reef mengangguk.
Mereka pun berdiri
di hadapan pintu mercusuar. Sola melangkah mendekati Reef. Suhu tubuh Reef yang
dingin mulai terasa di kulitnya. Lalu, Sola membiarkan Reef merengkuhnya dengan
lembut. Keduanya menahan rasa pedih yang kali ini menjalar di seluruh bagian
tubuh. Reef membenamkan wajahnya di rambut Sola yang halus. Setiap helai rambut
Sola terasa seperti membakar pipinya. Tapi ia tidak peduli.
Kali ini Sola
mengabaikan rasa sakitnya sepenuhnya. Ia memeluk tubuh Reef lebih erat dan
tanpa disadarinya air matanya berlinang. Ia menghirup wangi Reef yang manis dan
lembut. Ia tak mengerti bagaimana tubuhnya tetap wangi. Tapi segala hal mungkin
terjadi di sini.
Mereka diam di
posisi itu selama beberapa saat yang terasa seperti selamanya.
Tempat ini adalah
nirwaktu, mereka bisa berpelukan selama yang mereka mau. Tetapi tubuh mereka
sudah berada di ambang batasnya.
Reef melepas
pelukannya. Pipinya merah terbakar karena sentuhannya dengan rambut Sola,
begitu pula sekujur tangannya. Di lain sisi, pipi dan kedua tangan Sola memar
membiru karena memeluk tubuh Reef. Panas dan dingin saling bertemu. Mereka
saling meringis ketika melihat satu sama lain. Lantas, mereka tersenyum. Rasa
sakit itu semakin bisa ditolerir oleh mereka meskipun bekasnya tetap kentara.
“Sampai jumpa
lagi, Reef.” Mereka menautkan tangan
untuk terakhir kalinya sebelum Sola melangkah melewati pintu mercusuar. Mereka
menahan perih saat jari mereka saling bersentuhan.
“Sampai jumpa, Sola.”
Sola terus menoleh
ke belakang. Ia melihat Reef tersenyum. Ia tak akan melupakan senyuman itu.
Pada akhirnya,
mereka sampai di akhir perjalanan.
𝕿𝖍𝖎𝖘 𝖎𝖘 𝖓𝖔𝖙 𝕿𝖍𝖊 𝕰𝖓𝖉
𝕭𝖊𝖗𝖘𝖆𝖒𝖇𝖚𝖓𝖌 𝖐𝖊 𝕰𝖕𝖎𝖑𝖔𝖌
2 comments
Haloo author!
BalasHapusAku user twitter yang pernah minta link tulisan kamu di writemenfess
Aku baru bisa baca dan kasih feedback sekarang, kebetulan banget part 2 udah publish jadi bisa sekalian komen dari bagian satu.
Sebelumnya aku minta maaf karena aku juga bukan penulis atau editor profesional yang bisa kasih feedback yang bagus dan cuma berdasarkan sudut pandangku aja. Semoga komenku nggak bikin kamu ngerasa tersinggung, ya. Kasih tahu aku kalau komenku terkesan ofensif atau menggurui kamu.
Setelah baca dua bagian Wandering Soul, hal pertama yang aku pikirin itu seharusnya dibuat cerita yang jauh lebih panjang biar alur ceritanya lebih berkembang dan empat karakter bisa punya chemistry yang kuat.
Aku ngerasa empat karakter ini bisa dieksplor jauh lebih dalam kalau cerita ini lebih panjang. Kearah mana sifat mereka mau dibawa yang bikin mereka berbeda satu sama lain. Juga biar bisa kita tahu latar belakang kisah mereka masing-masing.
Pas di bagian satu, awal-awal insiden puting beliung depan rumah Sola itu menurutku agak kurang terasa ngerinya, ini bisa lebih ditambahkan sensasi menakutkannya. Dan ada kalimat yang kurang efektif kayak "Tiba-tiba satu-satunya jam dinding yang ada di warung jatuh ke lantai dan pecah." Mungkin bisa lebih disingkat jadi "Jam dinding warung tiba-tiba jatuh ke lantai." atau bisa digabung sama kalimat diparagraf setelahnya, kayak "Sola terkesiap ketika jam dinding warung terjatuh hingga membuat pecahan kaca jamnya berserakan di atas lantai."
Kalau di bagian dua, aku agak bingung kenapa Reef mikir kalau dia penyebab semuanya terjebak di sana. Intinya kalau dari aku tetep kearah cerita lebih panjang biar bisa reader bisa lebih dalam mengenal masing-masing karakter. Alurnya menurutku terlalu cepat. Tapi karena ada epilog, aku harap ada penjelasan dari semuanya kenapa mereka bisa terjebak di sana.
Last but not least, aku selalu amazed sama author yang bisa nulis genre fantasi karena aku sendiri nggak sanggup buat cerita genre ini hehe. Dan gaya tulisan kamu udah bagus dan cocok buat aku sebagai reader.
Kalau alur cerita ini bisa lebih dikembangkan lagi, karakternya diperkuat lagi, dan kamu publish mungkin di wattpad, karyakarsa, atau platform lain, tulisan kamu bakal dilirik reader lain.
Jangan patah semangat, ya! Tetep belajar dan jangan berhenti nulis! Tetep percaya kalau suatu saat kamu bakal punya banyak pembaca dan bakal kasih kamu feedback yang bikin tulisan kamu lebih berkembang.
Kamu bisa kontak aku kapan aja lewat twitter kalau mau tanya lebih lanjut atau protes karena komentarku terlalu panjang atau ofensif buat kamu, hehe.
Terima kasih karena sudah menulis! ;)
HALOOOO!! Maaf baru membalas komentarmu... Makasih banyak udah meluangkan waktu buat kasih banyak kritik dan saran. Sama sekali enggak ofensif kok! Terima kasih juga udah membaca tulisanku. Aku bener-bener berterima kasiih <3 <3
HapusKadang aku engga sadar kalau udah nulis kalimat enggak efektif. Lain kali aku akan lebih memperhatikan susunan kalimatku.
Sebenernya bukan terjebak, tapi Reef merasa kalau dia jadi pemicu bencana alam di dunia antah-berantah itu. Dia pikir eksistensinya yang setengah manusia dan setengah makhluk laut membuat dunia jadi kacau (kurang lebih begitu teori singkatnya). Makanya dia sampai panik dan mau "menghilangkan" dirinya sendiri. Pikirannya dia emang agak gelap.
Cerita ini memang kebanyakan diambil dari sudut pandangnya Sola, makanya karakter yang lain cuma kelihatan permukaannya aja. Aku jadi kepikiran buat bikin spin-off tentang masa lalu/masa depan karakter yang lain.
Oh iya epilognya juga udah release, aku tahu mungkin ceritaku kesannya agak terburu-buru... karena aku emang kepikiran cerita ini singkat dan sederhana aja.
Sekali lagi makasih yaaa :D