Wandering Souls ━ Bagian 1
Maret 04, 2024𝕭𝖆𝖌𝖎𝖆𝖓 1
━━━━━━━━
Guruh petir terdengar saling sahut-menyahut. Cahaya kilat berkali-kali muncul dan membuat suasana sore yang gelap menjadi terang selama sekejap mata. Meskipun jam dinding baru menunjukkan pukul empat sore, warna langit tampak kelabu dan suram—membuat suasana seperti sudah malam. Awan cumulonimbus raksasa menghalangi sinar matahari sore.
Sore itu, tidak ada pembeli mendatangi warung. Sola—sang penjaga warung—duduk dengan lesu di depan laptop yang menayangkan kumpulan soal Ujian Mandiri untuk seleksi masuk universitas. Ia harus bisa lulus di Ujian Mandiri ini. Jika tidak, ia harus mulai kuliah di tahun berikutnya. Sebelumnya, ia sudah mencoba berbagai jalur untuk kuliah dan semuanya gagal. Ini menjadi satu-satunya jalan terakhir. Tanpa sadar, ia menghela napas panjang karena merasa peluangnya untuk masuk kuliah tahun ini semakin kecil.
Tiba-tiba satu-satunya jam dinding yang ada di
warung jatuh ke lantai dan pecah.
Sola terkesiap dan
refleks menoleh ke arah pecahan kaca jam dinding yang berserakan di atas
lantai. Ia terperanjat karena tidak merasakan guncangan yang membuat jam
dinding itu jatuh ke lantai. Apa karena suara geluduk? Atau karena angin kencang? Ia menoleh ke pintu warung
yang terbuka lebar. Angin bertiup kencang sehingga mendorong pintu
warung terbuka.
Tapi, angin sekeras apapun tak mungkin bisa
menjatuhkan jam dinding semudah itu, pikir Sola.
Gadis itu pun
beranjak berdiri untuk menutup pintu warung. Tiba-tiba, barang-barang yang
tertata di rak display berjatuhan ke
lantai. Deretan bumbu dapur dan minuman kemasan yang telah disusun sedemikian
rupa itu merebah seperti deretan kartu domino yang disenggol.
Ia heran
dan bingung. Bagaimana mungkin angin bisa
menjatuhkan seluruh barang-barang yang ada di rak display? Aku kan sudah membereskan barang dagangan dengan
susah payah, gerutunya dalam hati.
Ketika ia berjalan mendekati pintu warung, angin berembus kencang sampai harus
membuatnya mengangkat lengan dan melindungi wajah dari terpaan angin. Ia melangkah susah payah karena angin terus mendorong tubuhnya ke
belakang.
Setelah berhasil
mendorong pintu warung yang terbuat dari kaca dengan susah payah, ia mengunci
pintu cepat-cepat. Lalu, ia menempelkan wajahnya ke kaca jendela warung untuk
melihat apa yang terjadi di luar sana.
Jalan raya yang
ada di depan warung tampak sepi. Semua kendaraan dan manusia seperti menghilang
ditelan bumi. Padahal, biasanya kendaraan dan manusia sibuk berlalu-lalang di
jalan raya.
Tanpa sadar ia membuka mulutnya saat melihat pusaran angin yang luar biasa besar sedang mengarah ke jalan raya yang ada di depan warung. Pusaran angin itu mengangkat dedaunan kering, tanaman pot, dan sampah warga. Spontan, Sola mundur dari kaca jendela dengan langkah ketakutan.
Tiba-tiba, butiran
pasir menjatuhi kepalanya. Gadis itu mengira angin puting beliung mulai
meruntuhkan atap rumahnya sehingga muncul butiran pasir. Tapi semakin lama,
butiran pasir itu semakin banyak. Ia memperhatikan pasir yang menjatuhi telapak
tangannya. Pasir itu berwarna kuning keemasan seperti warna gurun pasir. Ia
sangat heran karena rumahnya jauh dari gurun pasir.
Ada apa ini?
Lantas ia
mendongak untuk melihat langit-langit warung. Ia mendapati langit-langit warung
masih utuh dan tidak retak.
Ia menunduk dan memperhatikan lagi tumpukan pasir yang jatuh di tangannya. Pasir?
Pintu warung
menjeblak terbuka. Kaca pintu langsung pecah berkeping-keping. Sola menjerit
ketika angin puting beliung melewati depan warungnya dan pasir yang jumlahnya
tak terhingga menyerbu ke dalam warung. Serbuan pasir mengacaukan segalanya,
membuat berantakan rak displaynya,
dan memenuhi setiap sudut warung dengan pasir. Pasir memasuki warung milik
keluarga Sola seperti air bah.
Sola berteriak
meminta tolong namun tidak ada yang mendengar suaranya karena suaranya teredam
oleh timbunan pasir.
Berikutnya Sola tak dapat melihat apapun kecuali pasir, pasir, dan pasir.
━━━━━━━━
Angin puting beliung telah berlalu dan membuat suasana sunyi senyap. Kesadaran mulai muncul di wajah pucat gadis itu. Kedua matanya yang tertutup terlihat bergerak. Matanya mulai mengerjap-ngerjap untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina.
Ketika Sola membuka mata sepenuhnya, ia melihat langit tanpa awan berwarna biru cerah. Tidak tampak tanda-tanda bahwa sebelumnya langit begitu mendung dan kelabu. Lalu, ia melihat matahari yang menggantung di atas sana sendirian tanpa ditemani awan. Sinarnya yang terik membuat kulit seperti terbakar.
Aneh. Sola
menggerakan lengan dan tungkainya. Ia merasakan pasir di mana-mana, termasuk di
dalam mulutnya. Ia pun langsung terbatuk-batuk dan melepehkan pasir dari dalam
mulut. Apakah pasir sudah memenuhi warungnya sampai ia tak bisa merasakan
permukaan lantai lagi? Atau warungnya sudah rata dengan tanah? Kepalanya terasa
sakit karena tadi membentur rak display
begitu keras.
Kesadarannya kembali penuh. Ia mendudukan dirinya di atas gurun
pasir. Hah? Ia berada di gurun pasir yang
tandus dan kering-kerontang.
“Apa yang
terjadi?” gumamnya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
Lengang. Tidak ada
apapun kecuali pasir, pasir, dan pasir. Luas gurun pasir seolah tidak
terhingga. Ia tidak melihat apapun kecuali pasir berwarna kuning kecoklatan dan
langit berwarna biru jernih. Belum pernah ia melihat warna biru sejernih itu.
Ia melihat ke
pasir di bawahnya. Tidak ada satu pun tanda keberadaan kota, apalagi keberadaan warungnya.
“Kemana warung?
Kemana rumah? Kemana kotaku?” serunya panik. Ia sungguh tidak punya bayangan
kenapa dirinya bisa terdampar di atas gurun pasir ini. Apa kota sudah berubah jadi gurun pasir dalam sekejap? Apa ini yang
disebut perubahan iklim ekstrem?
Pertanyaan lain
melesak di benaknya. Lalu, kenapa aku
yang bertahan sendirian?
Dadanya mulai
terasa sesak dan hidungnya mulai perih. Air mata mulai menggenangi matanya dan
berjatuhan. Situasi ini terlalu membingungkan dan tidak masuk akal. Ia terisak
sambil menyentuh pasir di bawahnya yang terasa sangat halus. Entah kenapa,
tekstur pasir menenangkan detak jantungnya dan mengalihkan pikirannya. Pasir di
gurun pasir ternyata sangat halus.
Ia pasti sedang
bermimpi. Ia pasti sedang pingsan karena kepalanya terbentur ujung rak display.
Lalu ia mencubit
kulit tangannya. Sakit. Ia cubit
berkali-kali sampai kulitnya membiru. Tetap
sakit. Itu berarti semua ini nyata.
Gurun pasir ini nyata.
Ia termenung
selama berjam-jam lamanya yang terasa seperti berhari-hari. Matahari tak
bergerak di atas langit. Ia tidak bisa membedakan waktu lagi karena waktu
seperti berhenti di tempat. Untungnya, ia tidak lagi merasakan lapar, haus,
pusing, atau berkeringat. Ia hanya merasa bingung, lelah, dan tidak ingin
bangkit berdiri. Ia berniat akan bergeming di situ sampai pasir menelannya
bulat-bulat.
Senyap. Tidak ada
serangga ataupun hewan gurun yang lewat. Tidak ada suara angin berembus yang
meniup anak-anak rambutnya. Sola membiarkan pikiran buruk berspiral di dalam
benaknya. Aku sedang mati? Atau aku akan
mati? Tidak, tidak. Tempat ini dunia setelah aku mati. Berarti aku sudah mati
kan?
…
“Kau tersesat
juga?”
…
Suara.
Ada sumber suara
lain selain suara berisik di dalam pikirannya. Sola terperanjat. Ia menoleh ke
sumber suara yang berasal dari arah Timur. Seorang pemuda yang umurnya mungkin
sama dengannya sedang berjalan mendekatinya.
Penampilannya
sangat mencolok dan kontras dari warna gurun pasir. Ia memiliki warna rambut
biru gelap yang tampak alami. Rambutnya yang pendek terlihat berantakan.
Tubuhnya tinggi dan tegap. Kulitnya tidak terlalu putih dan tidak terlalu
gelap. Ia mengenakan atasan berwarna putih tulang dan celana panjang berwarna hitam.
Pemuda itu
berhenti di depannya dan mengulurkan tangan.
“Aku tidak mau
berdiri,” kata Sola–mengabaikan uluran tangan itu. Ia tetap duduk sambil
memeluk kedua lututnya dan tak menunjukkan minat pada apapun.
Pemuda itu pun
duduk di hadapan Sola. Sekarang Sola tak dapat mengalihkan perhatiannya lagi
pada pasir kuning kecoklatan di bawahnya. Perhatiannya tersedot pada pemuda
itu.
Sola memperhatikan
kedua bola mata milik sang pemuda. Matanya berwarna heterokromia—sebelah kanan
berwarna hitam pekat seperti batu obsidian. Warna hitamnya memenuhi seluruh sklera
sehingga Sola tak bisa membedakan pupil matanya. Sedangkan, mata sebelah kiri berwarna biru
seperti lautan. Sola menatap warna biru di mata sang pemuda yang tampak
bergerak seperti permukaan air laut.
“Kau tersesat
juga,” ucapnya dengan suaranya yang dalam.
Kali ini kalimat pernyataan—bukan pertanyaan.
“Mungkin iya,”
gumam Sola seraya semakin erat memeluk kedua lutut di depan dadanya.
“Dari mana
asalmu?” tanya sang pemuda.
“Dari Bandung.”
“Bandung itu apa?”
Sola mengerjapkan
matanya. “Kau bukan orang Indonesia?”
Sekarang pemuda
itu yang mengerjapkan matanya—tak paham—seolah Sola berbicara dengan bahasa
alien. “Itu… apa lagi?”
Sola berkesimpulan
kalau pemuda di depannya tidak paham konsep negara.
“Kau berasal dari bumi kan?” tanya Sola untuk meyakinkan dirinya kalau pemuda
di depannya masih manusia.
“Tentu.”
“Siapa namamu?”
“Reef,” jawab pemuda berambut biru alami itu.
Nama yang unik, pikir Sola karena arti kata reef adalah karang. Sola perhatikan, tidak hanya rambutnya yang berwarna biru, tetapi juga alisnya. Begitu pula bulu matanya. Lalu, Sola memperhatikan gigi pemuda itu saat ia berbicara. Gigi taringnya yang sebelah kiri lebih menonjol dibanding gigi taringnya yang lain. Lalu, rahang pemuda itu tampak tegas.
“Kau?” Reef bertanya yang menarik Sola dari lamunannya.
“Namaku Sola,”
jawab Sola—sedikit terkesiap. Kini gantian dia yang bertanya. “Kalau kau dari mana?”
“Laut Utara,” jawab Reef.
Hening. Sola
berusaha mengingat dimana ia pernah membaca postingan sosial media tentang
lokasi Laut Utara. Tapi otaknya sedang enggan memberi informasi. “Lautan?
Jangan bercanda,” jawab Sola sambil tertawa hambar.
“Aku sungguhan.”
Pemuda itu menatap Sola dengan sorot tajam karena tersinggung dengan ucapan
Sola barusan. Lalu ia beranjak berdiri seakan sedang pundung. Ia
berjalan menjauhi Sola. Sang pemuda melanjutkan perjalanannya ke gurun pasir
yang tak berujung.
Sola pun bergegas
berdiri dan mengikuti langkah kaki Reef. “Tunggu!” serunya karena ia tak mau
ditinggal sendirian.
Namun, Reef
berjalan cepat. Sola susah payah menyamai langkahnya dengan langkah kaki
panjang pemuda itu. Tangannya menggapai lengan kemeja panjang Reef tapi langkah
pemuda itu terlalu cepat sehingga tangan Sola tidak berhasil menyentuhnya.
Baiklah, aku percaya dia berasal dari lautan!
Di tempat yang
aneh ini, apapun bisa terjadi. Kalau laki-laki di hadapannya berkata dirinya
berasal dari lautan, Sola akan percaya. Ia sudah lama ia tidak pernah
mempercayai hal-hal yang di luar nalar lagi. Ia juga sudah lama berhenti
percaya pada hal-hal yang mustahil. Tapi kali ini, ia akan membuka pikirannya
lagi dan percaya.
“Reef, aku
percaya,” seru Sola yang membuat sang pemuda berhenti melangkah. Sola berhenti
tepat di belakang Reef. Napasnya sedikit terengah.
“Apa kita sudah mati?” tanya Sola lagi—tanpa berpikir dahulu. Pikiran itu terus muncul di benaknya dan ia merasa harus mengeluarkannya tak peduli apapun jawabannya.
Reef berbalik
badan. Ia menatap Sola. “Kurasa belum.”
“Lalu ini tempat
apa kalau bukan after-life?”
“Aku tidak tahu.
Aku belum pernah muncul ke permukaan sebelumnya.”
Sola menatap Reef
dengan sorot aneh. Kemudian, mereka mulai melanjutkan perjalanan entah mau
kemana. “Terus, kita pergi kemana?”
“Mencari.”
“Mencari apa?”
“Aku juga tidak
tahu! Bisa berhenti bertanya hal-hal yang aku juga tidak tahu jawabannya?!”
Reef menatap penuh ke arah Sola yang berjalan di sampingnya. Sorot mata Reef
juga tampak kebingungan, ketakutan, dan keletihan. Sola pun menyadari bahwa
pemuda di depannya juga merasakan hal yang sama dengan dirinya. Mereka berdua
sama-sama lelah dan tersesat. Tapi Reef lebih tegar.
Reef lanjut
melangkah. Sola mengikuti di belakangnya dengan kepala tertunduk. Ia pun
menyadari kalau Reef tidak memakai alas kaki sama sekali. Ia bertelanjang kaki
di atas gurun pasir yang panas ini.
Ia memperhatikan
telapak kaki Reef yang tidak seperti kaki makhluk laut yang memiliki selaput. Bukannya tadi dia bilang kalau dia berasal
dari laut? Dia sangat normal untuk
ukuran manusia yang berasal dari lautan, batin Sola. Yeah, hanya kedua matanya yang tidak normal.
“Kenapa kau bisa
sampai di sini?” tanya Reef memecah lamunan Sola.
Sola mencoba
mengingat-ingat kronologinya. “Ada angin puting beliung di depan
warung—maksudku rumahku—dan tiba-tiba ada pasir menyeruak masuk ke dalam
warung. Peristiwa yang sangat ganjil karena sebelumnya belum pernah ada angin
puting beliung sedahsyat itu di wilayah khatulistiwa.” Sola terbayang bentuk
angin yang berpusar di udara saat itu. Membingungkan.
Pusaran angin puting beliung justru membawanya ke gurun pasir antah
berantah ini.
Reef menanggapi.
“Aku juga melihat pusaran air tepat sebelum aku menutup mataku. Lalu tiba-tiba
aku menemukan diriku di sini.”
Sola mendongak
untuk menoleh ke arah Reef karena tubuh Reef jauh lebih tinggi darinya.
Reef melanjutkan.
“Meskipun Laut Utara terkenal dengan ombak monsternya, aku belum pernah melihat
pusaran air sebesar itu. Aku tak bisa bayangkan apa yang terjadi di permukaan.
Aku yakin kapal yang lewat bisa langsung kandas jika terjebak di pusaran sebesar
itu.”
Sola terdiam. Ia
mencoba menganalisis kedua kejadian yang mirip itu. Angin puting beliung
dahsyat dan pusaran air raksasa. Kedua hal itu membawa mereka ke gurun pasir
ini. “Apa kau menemukan orang lain selain aku?”
Pemuda itu
menggeleng. “Begitu tersadar, aku langsung bangkit dan berjalan. Aku terus
berjalan tanpa menemukan siapapun, kecuali kau.
“Berapa lama?”
“Apa kau melihat
jam di sini?” Reef berkata tajam.
“Sebentar.
Bagaimana kau bisa mengerti bahasaku?”
Mereka berdua
tertegun sejenak. Sejak awal bertemu, mereka berbicara dengan bahasa yang
berbeda namun mereka saling memahami seolah mereka bicara dalam bahasa yang
sama. “Kurasa tempat ini tidak punya aturan jadi aku memahami ucapanmu,” jawab Reef.
“Ini nyata kan?”
Sola berhenti berjalan dan menatap gurun sekitarnya dengan sorot mata nanar. Ia
mencubit lengannya lagi meskipun bekas cubitan sebelumnya masih membiru.
Cubitannya sakit. Tapi kenapa semua ini seperti terasa semu? Sola mulai
menganggap dirinya sudah gila.
“Ayo kita jabat
tangan untuk membuktikan ini nyata atau bukan.” Reef mengusulkan ide. Ia mengulurkan tangannya di depan wajah Sola.
Sola menatap
tangan besar di depan wajahnya dengan jari-jari yang indah—sangat berbeda dari
jari tangan Sola yang pendek. Gadis itu pun menyambut jabatan tangan Reef.
Mereka mulai berjabat tangan dan—
“AWWW!”
“AARGH!”
“Dingin!”
“Panas!”
Tangan mereka
saling menjauh seperti dua magnet yang memiliki medan sama bertemu.
Keduanya saling tercengang. Sentuhan kecil saja sudah membuat indra peraba
mereka kesakitan. Sola mengibaskan tangannya yang terasa seperti baru menyentuh
es paling dingin sedunia. Sementara, Reef mengusap tangan kanannya yang terasa
seperti baru menyentuh bara api paling panas.
“Apa yang terjadi?
Kau tidak terlihat membeku tapi kenapa kau dingin sekali hah?” seru Sola sambil
menjaga jarak aman. Selain dingin, ia juga merasakan jarinya tersetrum
listrik tegangan tinggi.
“Kau sendiri
kayak lava!” balas Reef.
Sola langsung
mengecek dahinya. Ia tidak demam. Suhu tubuhnya normal meskipun matahari
bersinar terik. “Kita harus saling jaga jarak oke?!”
“Kurasa ini ada
hubungannya dengan matamu yang seperti warna matahari,” ucap Reef mengungkapkan
teorinya yang tidak masuk akal.
“Hah?” Sola memang
memiliki sepasang mata yang berwarna amber. Ia mencoba menganggap teori Reef logis. “Yeah, bisa jadi. Aku juga
penasaran. Apa mata kananmu bisa buat melihat?”
“Hah???”
“Sori.” Sola
mengutuk dirinya dalam hati karena sudah lancang. Ia tak berniat untuk menyinggung Reef lagi. Bodohnya kebangetan. “Sori, aku bukan
bermaksud apa-apa. Aku cuma tidak bisa menahan rasa penasaranku. Tapi, mata
kananmu berwarna hitam sepenuhnya… seolah tak ada pigmen selain hitam.”
“Bisa kok buat
melihat.” Reef menunjuk mata kanannya yang seperti batu obsidian.
Sola manggut-manggut.
“Lalu, kenapa mata kirimu berwarna biru?”
“Semua penghuni
Laut Utara punya warna mata biru sepenuhnya. Kecuali diriku.”
“Kenapa?”
“Karena aku bukan
penghuni asli Laut Utara… Ayah angkatku bilang kalau aku dibuang ke dari kapal
waktu bayi. Namun, ternyata laut tidak membunuhku dan aku hidup bersama
para penghuni laut yang lain.”
Lagi-lagi, Sola
menatap Reef dengan sorot curiga. Tapi Reef tidak menyadarinya karena ia terus
menatap ke depan.
“Bagaimana dengan
kehidupanmu di permukaan?” tanya Reef—melanjutkan pertanyaannya yang terdengar
absurd di telinga Sola. “Maksudku di… Bandung?”
“Tidak ada
yang spesial. Aku hanya manusia biasa yang sedang menunggu waktu kuliah.” Sebenarnya aku sedang belajar untuk ujian
terakhir yang mungkin bisa menentukan aku kuliah atau tidak tahun ini.
Mereka pun terus
berjalan tanpa batasan waktu. Sola tidak mampu memperkirakan sudah sejauh mana
mereka berjalan. Belasan kilometer? Puluhan kilometer? Atau sudah ratusan
kilometer? Yang jelas, setiap syaraf di kakinya menjerit minta berhenti.
Reef menoleh ke
belakang ketika mendengar suara rubuh. Gadis itu jatuh dengan posisi telungkup
di atas gurun pasir. Reef pun berjalan mendekati Sola dan menjulurkan tangannya
untuk menyentuh pundak Sola.
“Jangan sentuh
aku!” seru Sola defensif sambil berbalik dan membersihkan pasir dari wajahnya. Ia tidak mau jemarinya membiru lagi. Yeah, walaupun bekas sentuhannya dengan Reef cepat menghilang, rasa sakitnya tetap membuat ngilu. “Bisa
kita istirahat sebentar?” Wajahnya meringis menahan letih.
“Baiklah.”
Mereka pun
berbaring di atas pasir yang lembut—di bawah sinar matahari yang tidak pernah
lelah menyinari gurun pasir.
Reef sendiri mulai
merasa lelah. Ia menatap langit yang berwarna biru. Begini rasanya hidup di permukaan? Aku bisa terus-menerus melihat
langit… tapi matahari terlalu terik, pikirnya sambil memicingkan matanya
dari sinar matahari yang menyilaukan. Ia jadi rindu kedalaman laut yang dingin,
sejuk, dan jauh dari sinar matahari.
“Selama di sini, aku tidak lapar
ataupun haus. Aku cuma merasa... tidak mau bangun lagi,” kata Sola lirih.
“Kau pikir aku
tidak merasakan hal yang sama?”
Senyap. Mereka
membiarkan angin membelai kepala mereka. Keduanya diam-diam merasa hampa—hanya
itu yang mereka rasakan di tengah gurun pasir tak berkesudahan itu.
“Mau bersentuhan
tangan lagi untuk merasakan sesuatu?” tanya Reef tiba-tiba.
Sola berpikir
sejenak. Jika, ia bersentuhan dengan Reef yang seperti es dengan suhu
paling rendah, jari tangannya akan merasakan sakit. Dan perasaan sakit hanya mengingatkan kalau ia masih bisa merasakan hal lainnya. Sedangkan saat itu
ia cuma mau dirinya enyah dari muka bumi ini. Ia mau berhenti merasakan
segala sesuatu yang muncul dalam dirinya.
Oleh karena itu, Sola
menggeleng.
“Kau ingin keluar
dari sini?” tanya Sola.
“Ya, aku ingin
mencapai permukaan,” jawab Reef yang membuat kening Sola berkerut.
“Kau sudah di
permukaan.”
“Bukan permukaan
yang hampa seperti ini,” jawab Reef lagi sambil menatap langit tanpa awan.
“Rasanya tenggelam
bagaimana?” tanya Sola lagi.
“Memangnya kau mau
tenggelam?”
“Kadang.”
“Rasanya
menyenangkan—seperti jatuh ke dalam pelukan awan yang lembut.”
Sola mengernyitkan
dahinya. Dia berkata sarkas ya? Kepalanya
terasa berat dan ia mulai mengantuk.
Namun Reef tidak
berkata sarkas. Waktu dia dibuang ke laut, pemuda itu memang disambut oleh lautan sehingga lautan
memeluknya seperti awan yang lembut.
Kini, suasana
hening kembali. Reef terheran karena Sola tidak memberinya pertanyaan yang
janggal lagi. Ia pun menoleh ke arah gadis itu. Rambut sang gadis yang panjang
dan berwarna hitam legam tergerai di sisi tubuhnya. Ia memperhatikan wajah Sola
yang tertidur damai.
Kalau dia jatuh ke lautan, dia langsung terbunuh, pikir
Reef dengan kelam. Ia telah melihat bagaimana orang mati tenggelam di Laut
Utara. Hanya dirinya satu-satunya yang tidak mati ditelan oleh Laut Utara.
Reef tidak bisa
tidur. Pikirannya terlalu siaga pada situasi di sekelilingnya. Ia menatap
langit yang tidak berubah. Ia menjadi hypervigilant.
Telinganya mendengar setiap desiran pasir yang tertiup angin. Ia hanya
mendengar embusan angin, tidak ada yang lainnya.
Aneh. Keheningan
di tempat ini mencurigakan dan membuat waktu berjalan lambat.
Lama sekali.
Rasanya seperti
sudah berbulan-bulan.
Ia bosan setengah
mati dengan pemandangan yang monoton di hadapannya. Ia merasa sangat hampa tapi
pikirannya terus waspada seolah dirinya berada di tengah bahaya.
Tiba-tiba, ia
merasakan getaran halus di permukaan pasir. Getaran itu sangat lembut namun ia
dapat merasakannya dengan jelas. Ia langsung bangun dan kali ini ia melihat
ombak dari kejauhan—bukan ombak laut—melainkan ombak pasir yang sangat tinggi.
Matanya melebar.
“Sola. Bangun.”
“Sola!” teriak
Reef panik karena Sola tak juga bangun.
Terpaksa ia
menggenggam tangan Sola dan gadis itu pun langsung berjengit. Sepasang netra gadis itu terbuka lebar dan ia mengaduh keras.
Hanya satu
sentuhan membuat mereka segera menarik tangan dan mengibaskan tangan
masing-masing. Permukaan tangan terasa sangat pedih karena perbedaan entah apapun yang ada di antara mereka
berdua.
Reef mendesis dan
melihat permukaan tangan kanannya memerah terbakar. Tapi, tak ada waktu
untuk mengeluh. “Ada badai pasir!”
“Apa?!”
Reef ingin menarik
tangan Sola agar bergegas bangun dan lari. Namun, Sola bangun perlahan dengan
kaki limbung. Reef mencoba menahan kesabarannya yang setipis kulit ikan.
“Tidak mungkin…”
Sola bergumam melihat ombak pasir yang begitu besar di kejauhan.
“Kita harus lari!”
teriak Reef berusaha menyadarkan Sola akan bahaya yang mengejar mereka.
Keduanya pun berlari secepat mungkin menghindari badai pasir itu. Namun, badai
pasir itu mengejar mereka lebih cepat lagi. Baru beberapa detik, pasir di sekitar
mereka mulai berterbangan akibat badai.
Reef berlari di
samping Sola. Ia bisa saja berlari lebih cepat, tapi tak mau Sola
tertinggal.
“Tidak mungkin,”
ucap Sola di sela-sela pelarian mereka.
“Kenapa lagi?!”
tanya Reef sambil menoleh ke sampingnya. Ia terlalu fokus berlari. Pikirannya
yang terlalu waspada, selalu menjadi kacau ketika dihadapkan pada bahaya.
“Kereta api
terbang.” Sola menunjuk ke suatu benda asing yang terbang di langit.
Reef belum pernah
melihat kereta api; apalagi kereta api yang terbang di udara. Ia hanya pernah
melihat kapal dan pasak penambangan migas di laut lepas. Ia menatap benda yang
sedang terbang medekati mereka.
“Ayo naiiik!” seru
seorang anak lelaki yang sedang berdiri di pintu kereta yang terbuka. Tangan
anak lelaki itu berpegangan pada pegangan yang ada di pintu, sedangkan
tangannya yang bebas melambai pada mereka untuk mengisyaratkan masuk ke dalam
kereta.
Reef dan Sola
mempercepat lari. Jarak mereka pada kereta api terbang itu semakin dekat.
Namun, jarak dengan badai pasir di belakang mereka juga semakin tipis. Reef
heran kenapa badai seolah ingin melumat dirinya dan Sola.
Butiran pasir yang
berterbangan membuat mata perih. Badai yang semakin dekat mulai menarik
tubuh mereka ke belakang sehingga menyulitkan kaki mereka untuk maju.
Reef yang berlari lebih depan mencoba untuk
menggapai Sola yang mulai tertarik ke dalam pusaran badai yang mengamuk. Tangan mereka
bersentuhan dan rasa sakit langsung merayapi tangan mereka. Sola mengernyitkan
dahinya, begitu pula Reef. Reef ingin menarik tangannya tapi ia memaksakan dirinya
untuk menggenggam tangan Sola yang sepanas lava. Rasa sakit merayapi satu sama
lain saat tangan mereka saling bertaut.
Mereka terus
berlari walaupun kaki mereka berulang kali terseret ke belakang. Hampir sampai.
Sedikit lagi.
“Kau duluan!” Reef
berteriak melawan suara angin yang berdesing.
Sola pun melepas
genggaman tangannya dan melompat masuk ke pintu kereta api yang terbang
merendah di atas gurun pasir.
“REEF!” seru Sola
saat Reef tertarik ke dalam badai pasir hingga seluruh tubuhnya lenyap ditelan pasir yang berterbangan. Ya Tuhan, kenapa begitu banyak badai dalam kehidupan ini?
Sola berusaha
menggapai Reef. "REEF!!!" teriaknya panik sambil berusaha mencari
Reef. Kemudian, Sola merasa lega ketika rasa sakit menjalar di tangannya. Ia
meringis menahan sakit sambil terus memaksa diri menggenggam erat tangan Reef.
Reef meloncat ke
pintu kereta api dan masuk ke dalam kereta.
Seorang anak
lelaki bergegas menutup pintu kereta api dan kereta api itu pun kembali terbang
menjauhi badai pasir. Semakin ke atas hingga menyentuh langit yang berwarna
biru.
Anak lelaki itu
memakai head crown yang terbuat dari
dedaunan. Manik matanya yang berwarna zamrud terlindungi kacamata bulat. Ia
mengenakan kemeja berwarna hijau muda dengan celana pendek berwarna khaki.
Sementara itu,
Reef dan Sola saling mengaduh dan mengerang pelan. Tangan mereka terasa sangat
sakit. Reef seperti baru memasukan tangannya ke api. Tangannya memerah.
Sedangkan Sola seperti baru membekukan tangannya di cold storage. Tangannya membiru.
Mereka duduk di
atas lantai kereta dengan napas terengah-engah.
“Kalian juga
tersesat?” tanya anak lelaki itu. Nada suaranya polos. Ia berjongkok di hadapan
Reef dan Sola. Kepalanya miring ke samping seolah sedang meneliti dua spesies
eksotis. Kedua mata bulatnya menatap penumpang baru dengan penuh penasaran.
Wajahnya dipenuhi dengan bintik-bintik.
Kali ini muncul
suara lain. “Mereka seperti kita, Piero. Manusia terbuang dan tersesat.”
Seorang gadis yang sedang duduk di bangku penumpang berkata dengan nada cuek.
“Terbuang?” gumam
Sola seraya mencari sumber suara. Ia menoleh sedikit dari posisinya yang berada
di lantai. Mata ambernya langsung
menemukan gadis itu sedang duduk di bangku penumpang dekat jendela dan Sola
langsung terpana.
Gadis itu terlihat
seperti salju. Seluruh tubuhnya berwarna putih—mulai dari rambut, mata, dan
kulit. Hanya pakaiannya yang berwarna lain—abu-abu muda. Rambut keriting
putihnya membingkai wajahnya yang cantik. Ia tampak seperti... Putri Salju.
“Terima kasih
sudah menolong kami,” kata Reef sopan pada anak lelaki itu, seraya beranjak
berdiri dan menepuk pasir yang menempel di pakaiannya. Pasir pun berhamburan
dan menghujani Sola yang masih duduk di bawahnya.
Sola menduga kalau
Reef sengaja melakukannya. Lantas, ia berdiri supaya terhindar dari kibasan
pasir Reef.
Dua penumpang
kereta lainnya tampak asing. Sola memperhatikan si anak lelaki manis dan si
gadis salju. Sepertinya keduanya seumuran dengan dirinya, tetapi wajah si anak
lelaki sangat belia.
“Sama-sama!” seru
salah satu dari kedua penumpang pertama kereta api—si anak lelaki manis. Nada suaranya selalu riang gembira.
“Siapa kalian?”
tanya Sola.
“Aku Piero,” jawab
anak lelaki bermata hijau itu. Ia berdiri dan tingginya ternyata melebihi Sola,
namun masih jauh di bawah Reef.
Gadis berambut
putih itu diam saja. Ia tidak acuh pada keberadaan Sola maupun Reef.
“Dan namamu?”
tanya Sola dengan mata terarah pada gadis berambut putih itu.
“Aku Hima,” jawab
gadis itu dengan suara enggan berinteraksi.
Piero menatap Sola
dengan mata bulat yang penasaran. “Dari mana asalmu?” tanyanya. Sementara itu,
Reef sudah pergi menjelajahi setiap gerbong kereta yang terdiri dari tiga
gerbong kereta. Kereta api melayang kembali di atas langit.
“Bandung.”
“Bandung itu apa?”
tanya Piero. Manik matanya berbinar penasaran.
“Er... sebuah kota,”
jawab Sola. Ia memperhatikan wajah Piero yang sangat manis. Rambut brunette anak lelaki itu tampak sangat fluffy sehingga Sola sangat ingin
mengacak-acak rambutnya.
“Maksudmu tempat
ramai yang penuh dengan peradaban manusia?” tanya Piero lagi.
Sola mengerjapkan
matanya. Tunggu deh. Kita sama-sama hidup
di zaman yang sama kan? Tapi ia mengenyahkan pikiran itu. Ia tersenyum pada
Piero. “Ya, semacam itu. Bagaimana denganmu?”
“Aku tak tahu nama
daerahku… hanya hutan, hutan, dan hutan sepanjang mata memandang. Aku belum
pernah melihat perkotaan, cuma pernah melihat pedesaan kecil.”
Sola menatap mata
Piero untuk mencari kebohongan. Tapi, yang ia temukan hanya kejujuran dan
ketulusan. Ia belum pernah bertemu seseorang yang begitu murni dan hangat.
“Bagaimana kau terdampar di sini?” Sola gantian bertanya.
“Sesuatu
meluluhlantakkan hutan kami, membuat hutan berantakan, dan mengacaukan
setiap sudut hutan,” jawab Piero. Suaranya kini terdengar sedih. “Pohon-pohon terangkat
secara paksa dari tanah dan berputar di udara. Pohon, tanah, ranting, daun,
bunga, lumut, pakis, jamur, dan segalanya yang ada di hutan berputar-putar di
udara. Sangat mengerikan.”
Lagi-lagi hal yang sama denganku dan Reef, pikir Sola. “Aku dan
Reef juga mengalami hal yang kurang-lebih sama...”
“Siapa Reef?”
“Ah ya, laki-laki
berambut biru itu namanya Reef.”
Sola melirik ke
Hima yang sedari tadi menatap keluar jendela dan tidak tertarik sama sekali
pada percakapannya dengan Piero. Aura gadis itu dingin mengintimidasi.
Reef sudah kembali
dari menjelajah setiap gerbong. Setiap gerbong ternyata identik. Ia tak
menemukan perbedaan apapun di antara ketiganya yang bisa memberinya clue tentang dunia ini.
Lalu, ia menemukan
ruangan lain yang berada di gerbong paling depan. Ia pun berjalan melewati
Piero dan Sola yang masih bercakap-cakap. Ruangan paling depan itu sepertinya
ruang kendali.
Sola pun penasaran
dengan tingkah laku Reef. “Apa yang kau cari?” tanyanya sambil mengikuti
langkah kaki Reef yang cepat. Piero mengekori di belakangnya seperti anak itik
pada induknya.
Reef membuka
sebuah pintu yang sepertinya menuju ruang masinis.
“Aku sudah membuka
pintu ini,” kata Piero.
Dalam diam, Reef
berharap menemukan sesuatu untuk mencari jawaban. Namun, ruang masinis itu
kosong melompong. Tidak ada kendali atau tombol apapun itu. Bahkan tidak ada
kursi. Hanya sebuah ruangan polos tanpa benda apapun. Tetapi, ia melihat kaca jendela besar
yang menunjukkan pemandangan yang luar biasa indah.
Reef bergerak
mendekati kaca jendela.
“Wah, pemandangan baru!” seru Piero karena sebelumnya ia sudah pernah melihat pemandangan
melalui kaca jendela ini.
Pemandangan di
hadapan mereka luar biasa menakjubkan. Langit bukan lagi berwarna biru menyilaukan,
tetapi langit saat itu berwarna biru kelasi, nila, merah jambu, dan toska.
Titik-titik berwarna putih yang berkilauan tersebar banyak di luar sana.
Matahari tidak lagi memunculkan dirinya karena kereta itu berada ribuan cahaya dari
kereta api terbang. Mereka juga tidak lagi melihat planet terra yang menjadi
satu-satunya kehidupan di alam semesta.
Mereka berada jauh
dari rumah. Tersisih. Tersesat. Terabaikan.
Tanpa mereka
sadari, Hima juga bergabung bersama mereka—ikut menatap angkasa yang tanpa
batas.
Sola menoleh ke
samping kanannya. Ia berdiri tepat di sisi kanan Reef dan lagi-lagi ia terpana pada pemuda berambut biru itu. Mata
kanannya yang kelam tidak mampu memantulkan cahaya karena seperti matanya vantablack—zat yang paling gelap di
dunia. Sedangkan, mata kirinya yang berwarna biru tampak berpendar. Segala
warna langit seolah terpantul di permukaan iris birunya.
“Bagaimana kita
bisa keluar dari sini dan kembali ke kehidupan normal kita?” kata Hima yang
membuat ketiga remaja itu tertampar kenyataan. Ia melipat kedua tangannya di
depan dada dan tampak tidak terkesan dengan pemandangan langit di luar.
Reef menoleh pada
Hima. Matanya menatap penuh selidik. “Sebelum kita bahas ke sana, aku harus
tahu bagaimana kereta ini bisa menemukan kami di padang pasir?” tanyanya.
“Kereta ini
bergerak dengan sendirinya. Jadi kami tidak tahu,” jawab Piero.
“Lalu, cara kalian
menemukan kereta ini?” Reef menatap Piero tajam.
“Dia datang
menjemputku.” Piero tampak berusaha mengalihkan pandangan ke arah dinding kereta yang
berwarna abu-abu. Ia tidak berani menatap langsung mata Reef karena aura Reef yang mengintimidasi—ditambah salah satu
matanya tampak seram.
“Siapa yang
pertama kali dijemput?” Reef bertanya lagi. Otaknya sibuk membuat hipotesis
bagaimana kereta ini bisa bergerak.
Hima mengangkat
tangan. “Aku.”
“Siapa namamu
lagi?” Reef melirik Hima.
“Hima,” jawab
Hima.
“Aku Piero!” imbuh
Piero karena sejak bertemu, mereka belum saling berkenalan.
“Namaku Reef,”
kata Reef yang teringat dirinya belum memperkenalkan diri. “Aku sempat dengar
Piero berasal dari hutan—”
“Betul!”
“—dan dari mana
asalmu?” Reef melirik ke arah Hima lagi.
Sola diam-diam
menunggu jawaban Hima karena ia juga penasaran tetapi tidak berani bertanya
karena aura gadis itu membuatnya sungkan bertanya.
“Aku berasal dari
Kutub Selatan,” jawab Hima lugas.
“Yang benar? Tidak ada
manusia yang menghuni Antartika,” celetuk Sola—teringat fakta bahwa antartika
tidak pernah memiliki penghuni tetap.
Kali ini Hima
menatap Sola dengan manik matanya yang nyaris transparan. Ekspresinya
tidak dapat dibaca, namun nada suaranya penuh penekanan. “Kami memang tidak
terjamah oleh para ilmuwan atau siapapun yang mau mencari kehidupan di Kutub
Selatan.”
“Lalu, apa
penyebabmu terdampar di sini?” Reef menginterogasi lagi.
“Badai salju maut.
Aku belum pernah melihat salju berputar seperti tornado. Aku memejamkan
mataku, lalu ketika aku membuka mata, aku berada di tempat panas ini. Anehnya,
tempat panas ini tidak membunuhku,” jelas Hima suram sambil beranjak untuk keluar dari
ruang masinis.
Hal yang sama juga terjadi di tempat asal Hima, pikir Sola.
“Aku belum
selesai. Bagaimana kau dijemput kereta api ini?” tanya Reef lagi sambil berdiri
di depan pintu—menahan Hima agar tidak keluar dari ruang masinis.
Ia berdiri persis
di depan Hima. Mau tak mau, Hima mendongak dan menatap mata Reef. “Kereta ini
berhenti tepat di depanku. Dia mengundangku untuk naik.”
“Kau bertemu orang
lain sebelum kami bertiga?” Reef masih menginterogasi. Manik mata hitamnya terlihat
makin kelam.
Hima menggeleng.
Lantas Reef membiarkannya duduk di bangkunya. Interogasinya selesai tapi masih tidak
ada jawaban yang jelas soal dunia ini. Mereka tidak punya clue apapun
tentang gurun pasir maupun kereta api terbang ini. Mereka pun mendudukan diri
di kursi penumpang yang berbeda.
Sola teringat
sesuatu yang belum ditanyakan pada mereka semua. “Selain badai, kalian… melihat
pasir sebelum menutup mata?”
“Yeah.”
“Iya!”
“Ya.”
Ketiganya menjawab
hal yang sama dan entah kenapa itu membuat Sola bernapas lega. Paling tidak ada orang lain yang mengalami hal yang senasib dengan dirinya.
Kemudian, gerbong
kereta api sunyi senyap. Masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri.
Tanpa penanda jam,
hari, atau bulan, mereka tidak punya ide sudah berapa lama waktu berlalu.
Sampai kapan kereta ini melayang tak tentu arah?
Sola dan Piero
tertidur pulas dengan kepala bersandar pada kaca jendela kereta yang sejuk.
Mereka sangat mudah terlelap ketika mengetahui ada orang lain berjaga di sekitar mereka.
Sementara itu,
Hima dan Reef tetap membuka mata. Mereka tidak bisa tidur semenjak terdampar di
tempat ini. Pikiran Reef terlalu siaga. Ia benci dirinya sendiri karena
pikirannya yang selalu menganggap dirinya dalam bahaya. Sedangkan, Hima tidak
mau membiarkan dirinya lengah sedikitpun karena ia takut pada apa yang terjadi jika ia menutup mata.
“Kau rindu rumah?”
tanya Reef—ketika menyadari kalau ia tidak terjaga sendirian.
Tanpa menoleh ke
arah Reef yang duduk di sisi kanan gerbong kereta, Hima menjawab. “Ya, dunia
ini terlalu luas dan menakutkan. Ini pertama kalinya aku melihat dunia luar.”
Reef tertegun sejenak. Jawaban Hima membuatnya berpikir. Selama ini, Reef tidak pernah mau selamanya tinggal di dasar laut yang paling dalam dan paling tersembunyi. Ia selalu berambisi untuk ke permukaan, melihat dunia, dan mempelajari hal baru. Dan mungkin juga menemukan jawaban. Tetapi tidak mungkin karena Kepala Warga dan para penduduk Laut Utara melarangnya berenang ke permukaan karena khawatir akan membeberkan rahasia mereka pada dunia. Reef sudah mencoba berenang ke permukaan beberapa kali dan selalu berakhir dengan arus laut yang menarik dirinya ke kedalaman.
“Dari awal kau
sudah bertemu Sola?” tanya Hima—menarik Reef dari lamunannya.
“Tidak. Aku
berjalan jauh dulu, baru menemukannya.”
“Kalian
kelihatannya berteman baik.”
Reef mendengus
tertawa. “Tidak juga. Bagaimana dengan kau dan Piero?”
“Aku menemukannya
saat kereta ini tiba-tiba menukik turun. Ia ketakutan sama sepertiku. Aku
menganggapnya layaknya adik sendiri. Dia terlalu polos... padahal seusia
denganku.” Baru kali itu, Reef mendengar Hima berujar panjang-lebar. Namun,
suara Hima tetap bernuansa dingin dan wajahnya datar tanpa ekspresi.
“Oh ya? Berapa
umurmu?”
“Aku 18 tahun,”
jawab Hima seraya menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi penumpang. Lantas
ia memejamkan matanya. Ia mulai mengantuk.
Sama denganku, ucap Reef dalam hati.
“Reef? Awasi
sebentar kereta api ini,” kata Hima pelan.
Saat Reef
mengangguk, gadis kutub itu sudah bernapas teratur.
Tanpa diminta,
Reef memang selalu waspada. Tentu ia akan menjaga mereka bertiga. Sekarang,
tinggal dirinya yang tersadar. Ia duduk bertopang dagu sambil berpikir dan
mengamati pemandangan di luar jendela. Ia tersadar kalau langit yang tadinya berwarna campuran
biru kelasi, nila, merah jambu, dan toska; kini berubah menjadi campuran biru
muda dan oranye.
Reef menegakkan
duduknya ketika merasa kereta mulai miring. Tiba-tiba, kereta terbang itu
menukik tajam ke bawah sementara ketiga temannya tidak ada yang memakai sabuk
pengaman. Ketiga temannya pun melayang di udara sepanjang kereta api terjun bebas.
Reef berusaha untuk tetap tenang meskipun teror menguasai dirinya. Panik
menjalari sekujur tubuhnya. Kedua tangannya mencengkram sandaran kursi di
depannya agar ia tidak melayang di dalam kereta api yang jatuh.
Telinganya
berdenging. Ia memejamkan matanya, bersiap akan menghadapi benturan maut.
Lalu, kereta api jatuh tercebur ke dalam air.
Saat Reef membuka matanya, ia mendapati dirinya sudah berada di dalam air. Kereta api itu melayang di dalam air. Pemuda itu dapat merasakan massa kereta yang lebih berat daripada massa air akan membuat kereta api terpuruk di dasar air. Ia teringat kontainer-kontainer barang yang tenggelam di Laut Utara karena berlayar di tengah badai yang fatal.
Mungkin begini rasanya berada di dalam kontainer yang tenggelam. Maka, Reef
berenang menuju pintu kereta dan membukanya susah payah. Pintu itu macet!
Ia menarik napas
seperti biasanya saat ia berada di kedalaman Laut Utara.
Namun—sial—air ini
bukan air laut. Ia tersedak dan mengeluarkan banyak gelembung dari dalam mulut
serta hidungnya. Ia tidak bisa bernapas di air tawar. Ia mengumpat dalam hati.
Buku-buku
tangannya memutih karena mencengkram pegangan pintu kereta api yang macet. Ia
mulai merasa marah karena kedua tangannya tak cukup kuat membuka pintu itu. Ia pun menendang pintu
kereta dengan seluruh tenaganya. Berkali-kali hingga pintu kereta menjeblak terbuka.
Lalu, ia menoleh
ke tiga teman barunya.
Piero, Hima, dan
Sola masih tak sadarkan diri. Ia melihat Sola bercahaya di dalam air. Tapi tak
ada waktu untuk melihat dan mengagumi Sola. Ia menarik tangan Hima yang posisinya paling dekat dan tidak merasakan sakit seperti menyentuh Sola. Lalu, ia menarik tangan Piero dengan
tangannya yang bebas—ia berjengit. Piero juga panas sebagaimana Sola tapi tak
membuat jari-jarinya melepuh terbakar.
Ia ingin juga
menarik Sola, tapi menarik dua orang saja sudah susah. Tangannya cuma dua.
Sola membuka matanya perlahan. Ia terlihat panik. Tapi tak mampu bergerak karena kakinya tersangkut sesuatu.
Reef tak punya
banyak waktu. Ia berenang sambil menarik Hima dan Piero keluar dari gerbong
kereta api. Begitu keluar dari kereta api, ia menyadari kalau mereka sudah
semakin jauh dari permukaan.
Ia pun terus
berenang ke permukaan. Berulang kali tubuhnya tersedot ke bawah karena beban
yang dibawa. Ia memaksa tubuhnya terus berenang meskipun paru-parunya terasa
mau meledak. Ia tidak bisa bernapas—begitu pula mereka. Ia pun memaksa dirinya
berenang lebih kuat dan lebih cepat. Tenaganya terkuras untuk
membawa dua orang itu ke daratan.
Reef mendongak.
Permukaan beriak lembut—tidak seperti permukaan Laut Utara.
Butuh waktu yang
terasa seperti ribuan jam lamanya untuk mencapai ke permukaan. Tangannya kebas
karena membawa beban yang berat dan dadanya sesak karena air tawar ini tidak
membuatnya hidup seperti air laut. Ketika ia tanpa sadar menghirup air tawar
lagi, ia tersedak dan semakin banyak udara keluar dari mulutnya. Ia mengatupkan
rahangnya. Ia harus segera ke permukaan.
Akhirnya, ia
sampai ke sisi perairan yang lebih dangkal dan mengamankan Hima dan Piero ke
daratan serta mengambil napas sekejap. Lalu, ia kembali masuk ke dalam air.
Tanpa ada beban dua manusia di tangannya, ia bisa berenang lebih cepat.
Ia lega ketika
mendapati Sola berhasil keluar dari gerbong kereta. Ia begitu merasa lega
sehingga tanpa sadar tersenyum.
“Kau bersinar,”
ucap Sola tanpa suara pada Reef yang membuat Reef terpana. Gadis itu justru
lebih bersinar terang dibandingkan dirinya. Seluruh tubuh Sola bersinar di
dalam air—seperti cahaya matahari yang hangat.
Di lain sisi, Reef selalu sadar kalau mata birunya dapat bercahaya di dalam air—begitu pula penduduk Laut Utara lainnya. Itu sama sekali tidak spesial, bahkan ia sering disebut cacat karena cuma satu matanya yang bisa berpendar di dalam air. Mata kanannya tetap gelap sehingga ia acapkali disangka bermata satu ketika berada di dasar tergelap Laut Utara.
Seumur hidup, belum pernah ada yang memujinya bersinar karena ia adalah makhluk paling redup di antara semua penghuni laut.
𝕿𝖔 𝕭𝖊 𝕮𝖔𝖓𝖙𝖎𝖓𝖚𝖊𝖉
- Terima kasih sudah membaca. Kritik, saran, atau komentar sangat diterima di kolom komentar di bawah -
𝖁𝖎𝖘𝖚𝖆𝖑𝖎𝖘𝖆𝖘𝖎 𝕶𝖆𝖗𝖆𝖐𝖙𝖊𝖗
🧚♂️Piero🧚♂️ |
🌊 Reef 🌊 |
❄️ Hima ❄️ |
☀️ Sola ☀️ |
0 comments