Wandering Souls ━ Bagian 1

Maret 04, 2024


𝕭𝖆𝖌𝖎𝖆𝖓 1

━━━━━━━━

Guruh petir terdengar saling sahut-menyahut. Cahaya kilat berkali-kali muncul dan membuat suasana sore yang gelap menjadi terang selama sekejap mata. Meskipun jam dinding baru menunjukkan pukul empat sore, warna langit tampak kelabu dan surammembuat suasana seperti sudah malam. Awan cumulonimbus raksasa menghalangi sinar matahari sore.

Sore itu, tidak ada pembeli mendatangi warung. Solasang penjaga warungduduk dengan lesu di depan laptop yang menayangkan kumpulan soal Ujian Mandiri untuk seleksi masuk universitas. Ia harus bisa lulus di Ujian Mandiri ini. Jika tidak, ia harus mulai kuliah di tahun berikutnya. Sebelumnya, ia sudah mencoba berbagai jalur untuk kuliah dan semuanya gagal. Ini menjadi satu-satunya jalan terakhir. Tanpa sadar, ia menghela napas panjang karena merasa peluangnya untuk masuk kuliah tahun ini semakin kecil. 

 Tiba-tiba satu-satunya jam dinding yang ada di warung jatuh ke lantai dan pecah.

Sola terkesiap dan refleks menoleh ke arah pecahan kaca jam dinding yang berserakan di atas lantai. Ia terperanjat karena tidak merasakan guncangan yang membuat jam dinding itu jatuh ke lantai. Apa karena suara geluduk? Atau karena angin kencang? Ia menoleh ke pintu warung yang terbuka lebar. Angin bertiup kencang sehingga mendorong pintu warung terbuka.

Tapi, angin sekeras apapun tak mungkin bisa menjatuhkan jam dinding semudah itu, pikir Sola.

Gadis itu pun beranjak berdiri untuk menutup pintu warung. Tiba-tiba, barang-barang yang tertata di rak display berjatuhan ke lantai. Deretan bumbu dapur dan minuman kemasan yang telah disusun sedemikian rupa itu merebah seperti deretan kartu domino yang disenggol.

Ia heran dan bingung. Bagaimana mungkin angin bisa menjatuhkan seluruh barang-barang yang ada di rak display? Aku kan sudah membereskan barang dagangan dengan susah payah, gerutunya dalam hati.

Namun, ia paham ketika berjalan menuju pintu warung. Angin berembus kencang sampai harus membuatnya mengangkat lengan dan melindungi wajah dari terpaan angin. Ia berjalan susah payah karena angin terasa seperti mendorong tubuhnya ke belakang.

Setelah berhasil mendorong pintu warung yang terbuat dari kaca dengan susah payah, ia mengunci pintu cepat-cepat. Lalu, ia menempelkan wajahnya ke kaca jendela warung untuk melihat apa yang terjadi di luar sana.

Jalan raya yang ada di depan warung tampak sepi. Semua kendaraan dan manusia seperti menghilang ditelan bumi. Padahal, biasanya kendaraan dan manusia sibuk berlalu-lalang di jalan raya.

Tanpa sadar ia membuka mulutnya saat melihat pusaran angin yang luar biasa besar sedang mengarah ke jalan raya yang ada di depan warung. Pusaran angin itu mengangkat dedaunan kering, tanaman pot, dan sampah warga. Spontan, Sola mundur dari kaca jendela dengan langkah ketakutan. Pemandangan yang mengerikan.

Tiba-tiba, butiran pasir menjatuhi kepalanya. Gadis itu mengira angin puting beliung mulai meruntuhkan atap rumahnya sehingga muncul butiran pasir. Tapi semakin lama, butiran pasir itu semakin banyak. Ia memperhatikan pasir yang menjatuhi telapak tangannya. Pasir itu berwarna kuning keemasan seperti warna gurun pasir. Ia sangat heran karena rumahnya jauh dari gurun pasir.

Ada apa ini?

Lantas ia mendongak untuk melihat langit-langit warung. Ia mendapati langit-langit warung masih utuh dan tidak retak.

Ia pun memperhatikan lagi tumpukan pasir yang jatuh di tangannya. Dari mana pasir ini?

Pintu warung menjeblak terbuka. Kaca pintu langsung pecah berkeping-keping. Sola menjerit ketika angin puting beliung melewati depan warungnya dan pasir yang jumlahnya tak terhingga menyerbu ke dalam warung. Serbuan pasir mengacaukan segalanya, membuat berantakan rak displaynya, dan memenuhi setiap sudut warung dengan pasir. Pasir memasuki warung milik keluarga Sola seperti air bah.

Sola berteriak meminta tolong namun tidak ada yang mendengar suaranya karena suaranya teredam oleh timbunan pasir.

Berikutnya Sola tak dapat melihat apapun kecuali pasir, pasir, dan pasir.

━━━━━━━━

Angin puting beliung telah berlalu dan membuat suasana sunyi senyap. Kesadaran mulai muncul di wajah pucat gadis itu. Kedua matanya yang tertutup terlihat bergerak. Matanya mulai mengerjap-ngerjap untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina.

Ketika Sola membuka mata sepenuhnya, ia melihat langit tanpa awan berwarna biru cerah. Tidak tampak tanda-tanda bahwa sebelumnya langit begitu mendung dan kelabu. Lalu, ia melihat matahari yang menggantung di atas sana sendirian tanpa ditemani awan. Sinarnya yang terik membuat kulit seperti terbakar.

Aneh. Sola menggerakan lengan dan tungkainya. Ia merasakan pasir di mana-mana, termasuk di dalam mulutnya. Ia pun langsung terbatuk-batuk dan melepehkan pasir dari dalam mulut. Apakah pasir sudah memenuhi warungnya sampai ia tak bisa merasakan permukaan lantai lagi? Atau warungnya sudah rata dengan tanah? Kepalanya terasa sakit karena tadi membentur rak display begitu keras.

Kesadarannya kembali penuh. Ia mendudukan dirinya di atas gurun pasir. Hah? Ia berada di gurun pasir yang tandus dan kering-kerontang.

“Apa yang terjadi?” gumamnya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.

Lengang. Tidak ada apapun kecuali pasir, pasir, dan pasir. Luas gurun pasir seolah tidak terhingga. Ia tidak melihat apapun kecuali pasir berwarna kuning kecoklatan dan langit berwarna biru jernih. Belum pernah ia melihat warna biru sejernih itu.

Ia melihat ke pasir di bawahnya. Tidak ada satu pun tanda keberadaan kota,  apalagi keberadaan warungnya.

“Kemana warung? Kemana rumah? Kemana kotaku?” serunya panik. Ia sungguh tidak punya bayangan kenapa dirinya bisa terdampar di atas gurun pasir ini. Apa kota sudah berubah jadi gurun pasir dalam sekejap? Apa ini yang disebut perubahan iklim ekstrem?

Pertanyaan lain melesak di benaknya. Lalu, kenapa aku yang bertahan sendirian?

Dadanya mulai terasa sesak dan hidungnya mulai perih. Air mata mulai menggenangi matanya dan berjatuhan. Situasi ini terlalu membingungkan dan tidak masuk akal. Ia terisak sambil menyentuh pasir di bawahnya yang terasa sangat halus. Entah kenapa, tekstur pasir menenangkan detak jantungnya dan mengalihkan pikirannya. Pasir di gurun pasir ternyata sangat halus.

Ia pasti sedang bermimpi. Ia pasti sedang pingsan karena kepalanya terbentur ujung rak display.

Lalu ia mencubit kulit tangannya. Sakit. Ia cubit berkali-kali sampai kulitnya membiru. Tetap sakit. Itu berarti semua ini nyata. Gurun pasir ini nyata.

Ia termenung selama berjam-jam lamanya yang terasa seperti berhari-hari. Matahari tak bergerak di atas langit. Ia tidak bisa membedakan waktu lagi karena waktu seperti berhenti di tempat. Untungnya, ia tidak lagi merasakan lapar, haus, pusing, atau berkeringat. Ia hanya merasa bingung, lelah, dan tidak ingin bangkit berdiri. Ia berniat akan bergeming di situ sampai pasir menelannya bulat-bulat.

Senyap. Tidak ada serangga ataupun hewan gurun yang lewat. Tidak ada suara angin berembus yang meniup anak-anak rambutnya. Sola membiarkan pikiran buruk berspiral di dalam benaknya. Aku sedang mati? Atau aku akan mati? Tidak, tidak. Tempat ini dunia setelah aku mati. Berarti aku sudah mati kan?

“Kau tersesat juga?”

Suara.

Ada sumber suara lain selain suara berisik di dalam pikirannya. Sola terperanjat. Ia menoleh ke sumber suara yang berasal dari arah Timur. Seorang pemuda yang umurnya mungkin sama dengannya sedang berjalan mendekatinya.

Penampilannya sangat mencolok dan kontras dari warna gurun pasir. Ia memiliki warna rambut biru gelap yang tampak alami. Rambutnya yang pendek terlihat berantakan. Tubuhnya tinggi dan tegap. Kulitnya tidak terlalu putih dan tidak terlalu gelap. Ia mengenakan atasan berwarna putih tulang dan celana panjang berwarna hitam.

Pemuda itu berhenti di depannya dan mengulurkan tangan.

“Aku tidak mau berdiri,” kata Sola–mengabaikan uluran tangan itu. Ia tetap duduk sambil memeluk kedua lututnya dan tak menunjukkan minat pada apapun.

Pemuda itu pun duduk di hadapan Sola. Sekarang Sola tak dapat mengalihkan perhatiannya lagi pada pasir kuning kecoklatan di bawahnya. Perhatiannya tersedot pada pemuda itu.

Sola memperhatikan kedua bola mata milik sang pemuda. Matanya berwarna heterokromia—sebelah kanan berwarna hitam pekat seperti batu obsidian. Warna hitamnya memenuhi seluruh sklera sehingga Sola tak bisa membedakan pupil matanya.  Sedangkan, mata sebelah kiri berwarna biru seperti lautan. Sola menatap warna biru di mata sang pemuda yang tampak bergerak seperti permukaan air laut.

“Kau tersesat juga,” ucapnya dengan suaranya yang dalam.

Kali ini kalimat pernyataan—bukan pertanyaan.

“Mungkin iya,” gumam Sola seraya semakin erat memeluk kedua lutut di depan dadanya.

“Dari mana asalmu?” tanya sang pemuda.

“Dari Bandung.”

“Bandung itu apa?”

Sola mengerjapkan matanya. “Kau bukan orang Indonesia?”

Sekarang pemuda itu yang mengerjapkan matanya—tak paham—seolah Sola berbicara dengan bahasa alien. “Itu… apa lagi?”

Sola berkesimpulan kalau pemuda di depannya tidak paham konsep negara. “Kau berasal dari bumi kan?” tanya Sola untuk meyakinkan dirinya kalau pemuda di depannya masih manusia.

“Tentu.”

“Siapa namamu?”

“Reef,” jawab pemuda berambut biru alami itu.

Nama yang unik, pikir Sola karena arti kata reef adalah karang. Sola perhatikan, tidak hanya rambutnya yang berwarna biru, tetapi juga alisnya. Begitu pula bulu matanya. Lalu, Sola memperhatikan gigi pemuda itu saat ia berbicara. Gigi taringnya yang sebelah kiri lebih menonjol dibanding gigi taringnya yang lain. Lalu, rahang pemuda itu tampak tegas.

“Kau?” Reef bertanya yang menarik Sola dari lamunannya.

“Namaku Sola,” jawab Sola—sedikit terkesiap. Kini gantian dia yang bertanya. “Kalau kau dari mana?”

“Laut Utara,” jawab Reef.

Hening. Sola berusaha mengingat dimana ia pernah membaca postingan sosial media tentang lokasi Laut Utara. Tapi otaknya sedang enggan memberi informasi. “Lautan? Jangan bercanda,” jawab Sola sambil tertawa hambar.

“Aku sungguhan.” Pemuda itu menatap Sola dengan sorot tajam karena tersinggung dengan ucapan Sola barusan. Lalu ia beranjak berdiri seakan sedang pundung. Ia berjalan menjauhi Sola. Sang pemuda melanjutkan perjalanannya ke gurun pasir yang tak berujung.

Sola pun bergegas berdiri dan mengikuti langkah kaki Reef. “Tunggu!” serunya karena ia tak mau ditinggal sendirian. 

Namun, Reef berjalan cepat. Sola susah payah menyamai langkahnya dengan langkah kaki panjang pemuda itu. Tangannya menggapai lengan kemeja panjang Reef tapi langkah pemuda itu terlalu cepat sehingga tangan Sola tidak berhasil menyentuhnya.

Baiklah, aku percaya dia berasal dari lautan!

Di tempat yang aneh ini, apapun bisa terjadi. Kalau laki-laki di hadapannya berkata dirinya berasal dari lautan, Sola akan percaya. Ia sudah lama ia tidak pernah mempercayai hal-hal yang di luar nalar lagi. Ia juga sudah lama berhenti percaya pada hal-hal yang mustahil. Tapi kali ini, ia akan membuka pikirannya lagi dan percaya.

“Reef, aku percaya,” seru Sola yang membuat sang pemuda berhenti melangkah. Sola berhenti tepat di belakang Reef. Napasnya sedikit terengah.

“Apa kita sudah mati?” tanya Sola lagitanpa berpikir dahulu. Pikiran itu terus muncul di benaknya dan ia merasa harus mengeluarkannya tak peduli apapun jawabannya.

Reef berbalik badan. Ia menatap Sola. “Kurasa belum.”

“Lalu ini tempat apa kalau bukan after-life?”

“Aku tidak tahu. Aku belum pernah muncul ke permukaan sebelumnya.”

Sola menatap Reef dengan sorot aneh. Kemudian, mereka mulai melanjutkan perjalanan entah mau kemana. “Terus, kita pergi kemana?”

“Mencari.”

“Mencari apa?”

“Aku juga tidak tahu! Bisa berhenti bertanya hal-hal yang aku juga tidak tahu jawabannya?!” Reef menatap penuh ke arah Sola yang berjalan di sampingnya. Sorot mata Reef juga tampak kebingungan, ketakutan, dan keletihan. Sola pun menyadari bahwa pemuda di depannya juga merasakan hal yang sama dengan dirinya. Mereka berdua sama-sama lelah dan tersesat. Tapi Reef lebih tegar.

Reef lanjut melangkah. Sola mengikuti di belakangnya dengan kepala tertunduk. Ia pun menyadari kalau Reef tidak memakai alas kaki sama sekali. Ia bertelanjang kaki di atas gurun pasir yang panas ini.

Ia memperhatikan telapak kaki Reef yang tidak seperti kaki makhluk laut yang memiliki selaput. Bukannya tadi dia bilang kalau dia berasal dari laut? Dia sangat normal untuk ukuran manusia yang berasal dari lautan, batin Sola. Yeah, hanya kedua matanya yang tidak normal.

“Kenapa kau bisa sampai di sini?” tanya Reef memecah lamunan Sola.

Sola mencoba mengingat-ingat kronologinya. “Ada angin puting beliung di depan warung—maksudku rumahku—dan tiba-tiba ada pasir menyeruak masuk ke dalam warung. Peristiwa yang sangat ganjil karena sebelumnya belum pernah ada angin puting beliung sedahsyat itu di wilayah khatulistiwa.” Sola terbayang bentuk angin yang berpusar di udara saat itu. Membingungkan. Pusaran angin puting beliung justru membawanya ke gurun pasir antah berantah ini.

Reef menanggapi. “Aku juga melihat pusaran air tepat sebelum aku menutup mataku. Lalu tiba-tiba aku menemukan diriku di sini.”

Sola mendongak untuk menoleh ke arah Reef karena tubuh Reef jauh lebih tinggi darinya. 

Reef melanjutkan. “Meskipun Laut Utara terkenal dengan ombak monsternya, aku belum pernah melihat pusaran air sebesar itu. Aku tak bisa bayangkan apa yang terjadi di permukaan. Aku yakin kapal yang lewat bisa langsung kandas jika terjebak di pusaran sebesar itu.”

Sola terdiam. Ia mencoba menganalisis kedua kejadian yang mirip itu. Angin puting beliung dahsyat dan pusaran air raksasa. Kedua hal itu membawa mereka ke gurun pasir ini. “Apa kau menemukan orang lain selain aku?”

Pemuda itu menggeleng. “Begitu tersadar, aku langsung bangkit dan berjalan. Aku terus berjalan tanpa menemukan siapapun, kecuali kau.

“Berapa lama?”

“Apa kau melihat jam di sini?” Reef berkata tajam.

“Sebentar. Bagaimana kau bisa mengerti bahasaku?”

Mereka berdua tertegun sejenak. Sejak awal bertemu, mereka berbicara dengan bahasa yang berbeda namun mereka saling memahami seolah mereka bicara dalam bahasa yang sama. “Kurasa  tempat ini tidak punya aturan jadi aku memahami ucapanmu,” jawab Reef.

“Ini nyata kan?” Sola berhenti berjalan dan menatap gurun sekitarnya dengan sorot mata nanar. Ia mencubit lengannya lagi meskipun bekas cubitan sebelumnya masih membiru. Cubitannya sakit. Tapi kenapa semua ini seperti terasa semu? Sola mulai menganggap dirinya sudah gila.

“Ayo kita jabat tangan untuk membuktikan ini nyata atau bukan.” Reef mengusulkan ide. Ia mengulurkan tangannya di depan wajah Sola.

Sola menatap tangan besar di depan wajahnya dengan jari-jari yang indah—sangat berbeda dari jari tangan Sola yang pendek. Gadis itu pun menyambut jabatan tangan Reef. Mereka mulai berjabat tangan dan—

“AWWW!”

“AARGH!”

“Dingin!”

“Panas!”

Tangan mereka saling menjauh seperti dua magnet yang memiliki medan sama bertemu. Keduanya saling tercengang. Sentuhan kecil saja sudah membuat indra peraba mereka kesakitan. Sola mengibaskan tangannya yang terasa seperti baru menyentuh es paling dingin sedunia. Sementara, Reef mengusap tangan kanannya yang terasa seperti baru menyentuh bara api paling panas.

“Apa yang terjadi? Kau tidak terlihat membeku tapi kenapa kau dingin sekali hah?” seru Sola sambil menjaga jarak aman. Selain dingin, ia juga merasakan jarinya tersetrum listrik tegangan tinggi.

“Kau sendiri kayak lava!” balas Reef.

Sola langsung mengecek dahinya. Ia tidak demam. Suhu tubuhnya normal meskipun matahari bersinar terik. “Kita harus saling jaga jarak oke?!”

“Kurasa ini ada hubungannya dengan matamu yang seperti warna matahari,” ucap Reef mengungkapkan teorinya yang tidak masuk akal.

“Hah?” Sola memang memiliki sepasang mata yang berwarna amber. Ia mencoba menganggap teori Reef logis. “Yeah, bisa jadi. Aku juga penasaran. Apa mata kananmu bisa buat melihat?”

“Hah???”

“Sori.” Sola mengutuk dirinya dalam hati karena sudah lancang. Ia tak berniat untuk menyinggung Reef lagi. Bodohnya kebangetan. “Sori, aku bukan bermaksud apa-apa. Aku cuma tidak bisa menahan rasa penasaranku. Tapi, mata kananmu berwarna hitam sepenuhnya… seolah tak ada pigmen selain hitam.”

“Bisa kok buat melihat.” Reef menunjuk mata kanannya yang seperti batu obsidian.

Sola manggut-manggut. “Lalu, kenapa mata kirimu berwarna biru?”

“Semua penghuni Laut Utara punya warna mata biru sepenuhnya. Kecuali diriku.”

“Kenapa?”

“Karena aku bukan penghuni asli Laut Utara… Ayah angkatku bilang kalau aku dibuang ke dari kapal waktu bayi. Namun, ternyata laut tidak membunuhku dan aku hidup bersama para penghuni laut yang lain.”

Lagi-lagi, Sola menatap Reef dengan sorot curiga. Tapi Reef tidak menyadarinya karena ia terus menatap ke depan.

“Bagaimana dengan kehidupanmu di permukaan?” tanya Reef—melanjutkan pertanyaannya yang terdengar absurd di telinga Sola. “Maksudku di… Bandung?”

“Tidak ada yang spesial. Aku hanya manusia biasa yang sedang menunggu waktu kuliah.” Sebenarnya aku sedang belajar untuk ujian terakhir yang mungkin bisa menentukan aku kuliah atau tidak tahun ini.

Mereka pun terus berjalan tanpa batasan waktu. Sola tidak mampu memperkirakan sudah sejauh mana mereka berjalan. Belasan kilometer? Puluhan kilometer? Atau sudah ratusan kilometer? Yang jelas, setiap syaraf di kakinya menjerit minta berhenti.

Reef menoleh ke belakang ketika mendengar suara rubuh. Gadis itu jatuh dengan posisi telungkup di atas gurun pasir. Reef pun berjalan mendekati Sola dan menjulurkan tangannya untuk menyentuh pundak Sola.

“Jangan sentuh aku!” seru Sola defensif sambil berbalik dan membersihkan pasir dari wajahnya. Ia tidak mau jemarinya membiru lagi. Yeah, walaupun bekas sentuhannya dengan Reef cepat menghilang, rasa sakitnya tetap membuat ngilu. “Bisa kita istirahat sebentar?” Wajahnya meringis menahan letih.

“Baiklah.”

Mereka pun berbaring di atas pasir yang lembut—di bawah sinar matahari yang tidak pernah lelah menyinari gurun pasir.

Reef sendiri mulai merasa lelah. Ia menatap langit yang berwarna biru. Begini rasanya hidup di permukaan? Aku bisa terus-menerus melihat langit… tapi matahari terlalu terik, pikirnya sambil memicingkan matanya dari sinar matahari yang menyilaukan. Ia jadi rindu kedalaman laut yang dingin, sejuk, dan jauh dari sinar matahari.

“Selama di sini, aku tidak lapar ataupun haus. Aku cuma merasa... tidak mau bangun lagi,” kata Sola lirih.

“Kau pikir aku tidak merasakan hal yang sama?”

Senyap. Mereka membiarkan angin membelai kepala mereka. Keduanya diam-diam merasa hampa—hanya itu yang mereka rasakan di tengah gurun pasir tak berkesudahan itu.

“Mau bersentuhan tangan lagi untuk merasakan sesuatu?” tanya Reef tiba-tiba.

Sola berpikir sejenak. Jika, ia bersentuhan dengan Reef yang seperti es dengan suhu paling rendah, jari tangannya akan merasakan sakit. Dan perasaan sakit hanya mengingatkan kalau ia masih bisa merasakan hal lainnya. Sedangkan saat itu ia cuma mau dirinya enyah dari muka bumi ini. Ia mau berhenti merasakan segala sesuatu yang muncul dalam dirinya.

Oleh karena itu, Sola menggeleng.

“Kau ingin keluar dari sini?” tanya Sola.

“Ya, aku ingin mencapai permukaan,” jawab Reef yang membuat kening Sola berkerut.

“Kau sudah di permukaan.”

“Bukan permukaan yang hampa seperti ini,” jawab Reef lagi sambil menatap langit tanpa awan.

“Rasanya tenggelam bagaimana?” tanya Sola lagi.

“Memangnya kau mau tenggelam?”

“Kadang.”

“Rasanya menyenangkan—seperti jatuh ke dalam pelukan awan yang lembut.”

Sola mengernyitkan dahinya. Dia berkata sarkas ya? Kepalanya terasa berat dan ia mulai mengantuk.

Namun Reef tidak berkata sarkas. Waktu dia dibuang ke laut, pemuda itu memang disambut oleh lautan sehingga lautan memeluknya seperti awan yang lembut.

Kini, suasana hening kembali. Reef terheran karena Sola tidak memberinya pertanyaan yang janggal lagi. Ia pun menoleh ke arah gadis itu. Rambut sang gadis yang panjang dan berwarna hitam legam tergerai di sisi tubuhnya. Ia memperhatikan wajah Sola yang tertidur damai.

Kalau dia jatuh ke lautan, dia langsung terbunuh, pikir Reef dengan kelam. Ia telah melihat bagaimana orang mati tenggelam di Laut Utara. Hanya dirinya satu-satunya yang tidak mati ditelan oleh Laut Utara.

Reef tidak bisa tidur. Pikirannya terlalu siaga pada situasi di sekelilingnya. Ia menatap langit yang tidak berubah. Ia menjadi hypervigilant. Telinganya mendengar setiap desiran pasir yang tertiup angin. Ia hanya mendengar embusan angin, tidak ada yang lainnya.

Aneh. Keheningan di tempat ini mencurigakan dan membuat waktu berjalan lambat.

Lama sekali.

Rasanya seperti sudah berbulan-bulan.

Ia bosan setengah mati dengan pemandangan yang monoton di hadapannya. Ia merasa sangat hampa tapi pikirannya terus waspada seolah dirinya berada di tengah bahaya. 

Tiba-tiba, ia merasakan getaran halus di permukaan pasir. Getaran itu sangat lembut namun ia dapat merasakannya dengan jelas. Ia langsung bangun dan kali ini ia melihat ombak dari kejauhan—bukan ombak laut—melainkan ombak pasir yang sangat tinggi.

Matanya melebar.

“Sola. Bangun.”

“Sola!” teriak Reef panik karena Sola tak juga bangun.

Terpaksa ia menggenggam tangan Sola dan gadis itu pun langsung berjengit. Sepasang netra gadis itu terbuka lebar dan ia mengaduh keras.

Hanya satu sentuhan membuat mereka segera menarik tangan dan mengibaskan tangan masing-masing. Permukaan tangan terasa sangat pedih karena perbedaan entah apapun yang ada di antara mereka berdua.

Reef mendesis dan melihat permukaan tangan kanannya memerah terbakar. Tapi, tak ada waktu untuk mengeluh. “Ada badai pasir!”

“Apa?!”

Reef ingin menarik tangan Sola agar bergegas bangun dan lari. Namun, Sola bangun perlahan dengan kaki limbung. Reef mencoba menahan kesabarannya yang setipis kulit ikan.

“Tidak mungkin…” Sola bergumam melihat ombak pasir yang begitu besar di kejauhan.

“Kita harus lari!” teriak Reef berusaha menyadarkan Sola akan bahaya yang mengejar mereka. Keduanya pun berlari secepat mungkin menghindari badai pasir itu. Namun, badai pasir itu mengejar mereka lebih cepat lagi. Baru beberapa detik, pasir di sekitar mereka mulai berterbangan akibat badai.

Reef berlari di samping Sola. Ia bisa saja berlari lebih cepat, tapi tak mau Sola tertinggal.

“Tidak mungkin,” ucap Sola di sela-sela pelarian mereka.

“Kenapa lagi?!” tanya Reef sambil menoleh ke sampingnya. Ia terlalu fokus berlari. Pikirannya yang terlalu waspada, selalu menjadi kacau ketika dihadapkan pada bahaya.

“Kereta api terbang.” Sola menunjuk ke suatu benda asing yang terbang di langit.

Reef belum pernah melihat kereta api; apalagi kereta api yang terbang di udara. Ia hanya pernah melihat kapal dan pasak penambangan migas di laut lepas. Ia menatap benda yang sedang terbang medekati mereka.

“Ayo naiiik!” seru seorang anak lelaki yang sedang berdiri di pintu kereta yang terbuka. Tangan anak lelaki itu berpegangan pada pegangan yang ada di pintu, sedangkan tangannya yang bebas melambai pada mereka untuk mengisyaratkan masuk ke dalam kereta.

Reef dan Sola mempercepat lari. Jarak mereka pada kereta api terbang itu semakin dekat. Namun, jarak dengan badai pasir di belakang mereka juga semakin tipis. Reef heran kenapa badai seolah ingin melumat dirinya dan Sola.

Butiran pasir yang berterbangan membuat mata perih. Badai yang semakin dekat mulai menarik tubuh mereka ke belakang sehingga menyulitkan kaki mereka untuk maju.

Reef yang berlari lebih depan mencoba untuk menggapai Sola yang mulai tertarik ke dalam pusaran badai yang mengamuk. Tangan mereka bersentuhan dan rasa sakit langsung merayapi tangan mereka. Sola mengernyitkan dahinya, begitu pula Reef. Reef ingin menarik tangannya tapi ia memaksakan dirinya untuk menggenggam tangan Sola yang sepanas lava. Rasa sakit merayapi satu sama lain saat tangan mereka saling bertaut.

Mereka terus berlari walaupun kaki mereka berulang kali terseret ke belakang. Hampir sampai. Sedikit lagi.

“Kau duluan!” Reef berteriak melawan suara angin yang berdesing.

Sola pun melepas genggaman tangannya dan melompat masuk ke pintu kereta api yang terbang merendah di atas gurun pasir.

“REEF!” seru Sola saat Reef tertarik ke dalam badai pasir hingga seluruh tubuhnya lenyap ditelan pasir yang berterbangan. Ya Tuhan, kenapa begitu banyak badai dalam kehidupan ini?

Sola berusaha menggapai Reef. "REEF!!!" teriaknya panik sambil berusaha mencari Reef. Kemudian, Sola merasa lega ketika rasa sakit menjalar di tangannya. Ia meringis menahan sakit sambil terus memaksa diri menggenggam erat tangan Reef.

Reef meloncat ke pintu kereta api dan masuk ke dalam kereta.

Seorang anak lelaki bergegas menutup pintu kereta api dan kereta api itu pun kembali terbang menjauhi badai pasir. Semakin ke atas hingga menyentuh langit yang berwarna biru.

Anak lelaki itu memakai head crown yang terbuat dari dedaunan. Manik matanya yang berwarna zamrud terlindungi kacamata bulat. Ia mengenakan kemeja berwarna hijau muda dengan celana pendek berwarna khaki.

Sementara itu, Reef dan Sola saling mengaduh dan mengerang pelan. Tangan mereka terasa sangat sakit. Reef seperti baru memasukan tangannya ke api. Tangannya memerah. Sedangkan Sola seperti baru membekukan tangannya di cold storage. Tangannya membiru.

Mereka duduk di atas lantai kereta dengan napas terengah-engah.

“Kalian juga tersesat?” tanya anak lelaki itu. Nada suaranya polos. Ia berjongkok di hadapan Reef dan Sola. Kepalanya miring ke samping seolah sedang meneliti dua spesies eksotis. Kedua mata bulatnya menatap penumpang baru dengan penuh penasaran. Wajahnya dipenuhi dengan bintik-bintik.

Kali ini muncul suara lain. “Mereka seperti kita, Piero. Manusia terbuang dan tersesat.” Seorang gadis yang sedang duduk di bangku penumpang berkata dengan nada cuek.

“Terbuang?” gumam Sola seraya mencari sumber suara. Ia menoleh sedikit dari posisinya yang berada di lantai. Mata ambernya langsung menemukan gadis itu sedang duduk di bangku penumpang dekat jendela dan Sola langsung terpana.

Gadis itu terlihat seperti salju. Seluruh tubuhnya berwarna putih—mulai dari rambut, mata, dan kulit. Hanya pakaiannya yang berwarna lain—abu-abu muda. Rambut keriting putihnya membingkai wajahnya yang cantik. Ia tampak seperti... Putri Salju.

“Terima kasih sudah menolong kami,” kata Reef sopan pada anak lelaki itu, seraya beranjak berdiri dan menepuk pasir yang menempel di pakaiannya. Pasir pun berhamburan dan menghujani Sola yang masih duduk di bawahnya.

Sola menduga kalau Reef sengaja melakukannya. Lantas, ia berdiri supaya terhindar dari kibasan pasir Reef.

Dua penumpang kereta lainnya tampak asing. Sola memperhatikan si anak lelaki manis dan si gadis salju. Sepertinya keduanya seumuran dengan dirinya, tetapi wajah si anak lelaki sangat belia.

“Sama-sama!” seru salah satu dari kedua penumpang pertama kereta api—si anak lelaki manis. Nada suaranya selalu riang gembira.

“Siapa kalian?” tanya Sola.

“Aku Piero,” jawab anak lelaki bermata hijau itu. Ia berdiri dan tingginya ternyata melebihi Sola, namun masih jauh di bawah Reef.

Gadis berambut putih itu diam saja. Ia tidak acuh pada keberadaan Sola maupun Reef.

“Dan namamu?” tanya Sola dengan mata terarah pada gadis berambut putih itu.

“Aku Hima,” jawab gadis itu dengan suara enggan berinteraksi. 

Piero menatap Sola dengan mata bulat yang penasaran. “Dari mana asalmu?” tanyanya. Sementara itu, Reef sudah pergi menjelajahi setiap gerbong kereta yang terdiri dari tiga gerbong kereta. Kereta api melayang kembali di atas langit.

“Bandung.”

“Bandung itu apa?” tanya Piero. Manik matanya berbinar penasaran. 

“Er... sebuah kota,” jawab Sola. Ia memperhatikan wajah Piero yang sangat manis. Rambut brunette anak lelaki itu tampak sangat fluffy sehingga Sola sangat ingin mengacak-acak rambutnya.

“Maksudmu tempat ramai yang penuh dengan peradaban manusia?” tanya Piero lagi.

Sola mengerjapkan matanya. Tunggu deh. Kita sama-sama hidup di zaman yang sama kan? Tapi ia mengenyahkan pikiran itu. Ia tersenyum pada Piero. “Ya, semacam itu. Bagaimana denganmu?”

“Aku tak tahu nama daerahku… hanya hutan, hutan, dan hutan sepanjang mata memandang. Aku belum pernah melihat perkotaan, cuma pernah melihat pedesaan kecil.”

Sola menatap mata Piero untuk mencari kebohongan. Tapi, yang ia temukan hanya kejujuran dan ketulusan. Ia belum pernah bertemu seseorang yang begitu murni dan hangat. “Bagaimana kau terdampar di sini?” Sola gantian bertanya.

“Sesuatu meluluhlantakkan hutan kami, membuat hutan berantakan, dan mengacaukan setiap sudut hutan,” jawab Piero. Suaranya kini terdengar sedih. “Pohon-pohon terangkat secara paksa dari tanah dan berputar di udara. Pohon, tanah, ranting, daun, bunga, lumut, pakis, jamur, dan segalanya yang ada di hutan berputar-putar di udara. Sangat mengerikan.”

Lagi-lagi hal yang sama denganku dan Reef, pikir Sola. “Aku dan Reef juga mengalami hal yang kurang-lebih sama...”

“Siapa Reef?”

“Ah ya, laki-laki berambut biru itu namanya Reef.”

Sola melirik ke Hima yang sedari tadi menatap keluar jendela dan tidak tertarik sama sekali pada percakapannya dengan Piero. Aura gadis itu  dingin mengintimidasi.

Reef sudah kembali dari menjelajah setiap gerbong. Setiap gerbong ternyata identik. Ia tak menemukan perbedaan apapun di antara ketiganya yang bisa memberinya clue tentang dunia ini.

Lalu, ia menemukan ruangan lain yang berada di gerbong paling depan. Ia pun berjalan melewati Piero dan Sola yang masih bercakap-cakap. Ruangan paling depan itu sepertinya ruang kendali.

Sola pun penasaran dengan tingkah laku Reef. “Apa yang kau cari?” tanyanya sambil mengikuti langkah kaki Reef yang cepat. Piero mengekori di belakangnya seperti anak itik pada induknya.

Reef membuka sebuah pintu yang sepertinya menuju ruang masinis.

“Aku sudah membuka pintu ini,” kata Piero.

Dalam diam, Reef berharap menemukan sesuatu untuk mencari jawaban. Namun, ruang masinis itu kosong melompong. Tidak ada kendali atau tombol apapun itu. Bahkan tidak ada kursi. Hanya sebuah ruangan polos tanpa benda apapun. Tetapi, ia melihat kaca jendela besar yang menunjukkan pemandangan yang luar biasa indah.

Reef bergerak mendekati kaca jendela.

“Wah, pemandangan baru!” seru Piero karena sebelumnya ia sudah pernah melihat pemandangan melalui kaca jendela ini.

Pemandangan di hadapan mereka luar biasa menakjubkan. Langit bukan lagi berwarna biru menyilaukan, tetapi langit saat itu berwarna biru kelasi, nila, merah jambu, dan toska. Titik-titik berwarna putih yang berkilauan tersebar banyak di luar sana. Matahari tidak lagi memunculkan dirinya karena kereta itu berada ribuan cahaya dari kereta api terbang. Mereka juga tidak lagi melihat planet terra yang menjadi satu-satunya kehidupan di alam semesta.

Mereka berada jauh dari rumah. Tersisih. Tersesat. Terabaikan.

Tanpa mereka sadari, Hima juga bergabung bersama mereka—ikut menatap angkasa yang tanpa batas.

Sola menoleh ke samping kanannya. Ia berdiri tepat di sisi kanan Reef dan lagi-lagi ia terpana pada pemuda berambut biru itu. Mata kanannya yang kelam tidak mampu memantulkan cahaya karena seperti matanya vantablack—zat yang paling gelap di dunia. Sedangkan, mata kirinya yang berwarna biru tampak berpendar. Segala warna langit seolah terpantul di permukaan iris birunya.

“Bagaimana kita bisa keluar dari sini dan kembali ke kehidupan normal kita?” kata Hima yang membuat ketiga remaja itu tertampar kenyataan. Ia melipat kedua tangannya di depan dada dan tampak tidak terkesan dengan pemandangan langit di luar.

Reef menoleh pada Hima. Matanya menatap penuh selidik. “Sebelum kita bahas ke sana, aku harus tahu bagaimana kereta ini bisa menemukan kami di padang pasir?” tanyanya.

“Kereta ini bergerak dengan sendirinya. Jadi kami tidak tahu,” jawab Piero.

“Lalu, cara kalian menemukan kereta ini?” Reef menatap Piero tajam.

“Dia datang menjemputku.” Piero tampak berusaha mengalihkan pandangan ke arah dinding kereta yang berwarna abu-abu. Ia tidak berani menatap langsung mata Reef karena aura Reef yang mengintimidasi—ditambah salah satu matanya tampak seram.

“Siapa yang pertama kali dijemput?” Reef bertanya lagi. Otaknya sibuk membuat hipotesis bagaimana kereta ini bisa bergerak.

Hima mengangkat tangan. “Aku.”

“Siapa namamu lagi?” Reef melirik Hima.

“Hima,” jawab Hima.

“Aku Piero!” imbuh Piero karena sejak bertemu, mereka belum saling berkenalan.

“Namaku Reef,” kata Reef yang teringat dirinya belum memperkenalkan diri. “Aku sempat dengar Piero berasal dari hutan—”

“Betul!”

“—dan dari mana asalmu?” Reef melirik ke arah Hima lagi.

Sola diam-diam menunggu jawaban Hima karena ia juga penasaran tetapi tidak berani bertanya karena aura gadis itu membuatnya sungkan bertanya.

“Aku berasal dari Kutub Selatan,” jawab Hima lugas.

“Yang benar? Tidak ada manusia yang menghuni Antartika,” celetuk Sola—teringat fakta bahwa antartika tidak pernah memiliki penghuni tetap.

Kali ini Hima menatap Sola dengan manik matanya yang berwarna nyaris transparan. Ekspresinya tidak dapat dibaca, namun nada suaranya penuh penekanan. “Kami memang tidak terjamah oleh para ilmuwan atau siapapun yang mau mencari kehidupan di Kutub Selatan.”

“Lalu, apa penyebabmu terdampar di sini?” Reef menginterogasi lagi.

“Badai salju maut. Aku belum pernah melihat salju berputar seperti tornado. Aku memejamkan mataku, lalu ketika aku membuka mata, aku berada di tempat panas ini. Herannya, tempat panas ini tidak membunuhku,” jelas Hima suram sambil beranjak untuk keluar dari ruang masinis.

Hal yang sama juga terjadi di tempat asal Hima, pikir Sola.

“Aku belum selesai. Bagaimana kau dijemput kereta api ini?” tanya Reef lagi sambil berdiri di depan pintu—menahan Hima agar tidak keluar dari ruang masinis.

Ia berdiri persis di depan Hima. Mau tak mau, Hima mendongak dan menatap mata Reef. “Kereta ini berhenti tepat di depanku. Dia mengundangku untuk naik.”

“Kau bertemu orang lain sebelum kami bertiga?” Reef masih menginterogasi. Manik mata hitamnya terlihat makin kelam.

Hima menggeleng. Lantas Reef membiarkannya duduk di bangkunya. Interogasinya selesai tapi masih tidak ada jawaban yang jelas soal dunia ini. Mereka tidak punya clue apapun tentang gurun pasir maupun kereta api terbang ini. Mereka pun mendudukan diri di kursi penumpang yang berbeda.

Sola teringat sesuatu yang belum ditanyakan pada mereka semua. “Selain badai, kalian… melihat pasir sebelum menutup mata?”

“Yeah.”

“Iya!”

“Ya.”

Ketiganya menjawab hal yang sama dan entah kenapa itu membuat Sola bernapas lega. Paling tidak ada orang lain yang mengalami hal yang senasib dengan dirinya.

Kemudian, gerbong kereta api sunyi senyap. Masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri.

Tanpa penanda jam, hari, atau bulan, mereka tidak punya ide sudah berapa lama waktu berlalu. Sampai kapan kereta ini melayang tak tentu arah?

Sola dan Piero tertidur pulas dengan kepala bersandar pada kaca jendela kereta yang sejuk. Mereka sangat mudah terlelap ketika mengetahui ada orang lain berjaga di sekitar mereka.

Sementara itu, Hima dan Reef tetap membuka mata. Mereka tidak bisa tidur semenjak terdampar di tempat ini. Pikiran Reef terlalu siaga. Ia benci dirinya sendiri karena pikirannya yang selalu menganggap dirinya dalam bahaya. Sedangkan, Hima tidak mau membiarkan dirinya lengah sedikitpun karena ia takut pada apa yang terjadi jika ia menutup mata.

“Kau rindu rumah?” tanya Reef—ketika menyadari kalau ia tidak terjaga sendirian.

Tanpa menoleh ke arah Reef yang duduk di sisi kanan gerbong kereta, Hima menjawab. “Ya, dunia ini terlalu luas dan menakutkan. Ini pertama kalinya aku melihat dunia luar.”

Reef tertegun sejenak. Jawaban Hima membuatnya berpikir. Selama ini, Reef tidak pernah mau selamanya tinggal di dasar laut yang paling dalam dan paling tersembunyi. Ia selalu berambisi untuk ke permukaan, melihat dunia, dan mempelajari hal baru. Dan mungkin juga menemukan jawaban. Tetapi tidak mungkin karena Kepala Warga dan para penduduk Laut Utara melarangnya berenang ke permukaan karena khawatir akan membeberkan rahasia mereka pada dunia. Reef sudah mencoba berenang ke permukaan beberapa kali dan selalu berakhir dengan arus laut yang menarik dirinya ke kedalaman.

“Dari awal kau sudah bertemu Sola?” tanya Hima—menarik Reef dari lamunannya.

“Tidak. Aku berjalan jauh dulu, baru menemukannya.”

“Kalian kelihatannya berteman baik.”

Reef mendengus tertawa. “Tidak juga. Bagaimana dengan kau dan Piero?”

“Aku menemukannya saat kereta ini tiba-tiba menukik turun. Ia ketakutan sama sepertiku. Aku menganggapnya layaknya adik sendiri. Dia terlalu polos... padahal seusia denganku.” Baru kali itu, Reef mendengar Hima berujar panjang-lebar. Namun, suara Hima tetap bernuansa dingin dan wajahnya datar tanpa ekspresi.

“Oh ya? Berapa umurmu?”

“Aku 18 tahun,” jawab Hima seraya menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi penumpang. Lantas ia memejamkan matanya. Ia mulai mengantuk.

Sama denganku, ucap Reef dalam hati.

“Reef? Awasi sebentar kereta api ini,” kata Hima pelan.

Saat Reef mengangguk, gadis kutub itu sudah bernapas teratur.

Tanpa diminta, Reef memang selalu waspada. Tentu ia akan menjaga mereka bertiga. Sekarang, tinggal dirinya yang tersadar. Ia duduk bertopang dagu sambil berpikir dan mengamati pemandangan di luar jendela. Ia tersadar kalau langit yang tadinya berwarna campuran biru kelasi, nila, merah jambu, dan toska; kini berubah menjadi campuran biru muda dan oranye.

Reef menegakkan duduknya ketika merasa kereta mulai miring. Tiba-tiba, kereta terbang itu menukik tajam ke bawah sementara ketiga temannya tidak ada yang memakai sabuk pengaman. Ketiga temannya pun melayang di udara sepanjang kereta api terjun bebas. Reef berusaha untuk tetap tenang meskipun teror menguasai dirinya. Panik menjalari sekujur tubuhnya. Kedua tangannya mencengkram sandaran kursi di depannya agar ia tidak melayang di dalam kereta api yang jatuh.

Telinganya berdenging. Ia memejamkan matanya, bersiap akan menghadapi benturan maut.

Lalu, kereta api jatuh tercebur ke dalam air.

Saat Reef membuka matanya, ia mendapati dirinya sudah berada di dalam air. Kereta api itu  melayang di dalam air. Pemuda itu dapat merasakan massa kereta yang lebih berat daripada massa air akan membuat kereta api terpuruk di dasar air. Ia teringat kontainer-kontainer barang yang tenggelam di Laut Utara karena berlayar di tengah badai yang fatal. 

Mungkin begini rasanya berada di dalam kontainer yang tenggelam. Maka, Reef berenang menuju pintu kereta dan membukanya susah payah. Pintu itu macet!

Ia menarik napas seperti biasanya saat ia berada di kedalaman Laut Utara.

Namun—sial—air ini bukan air laut. Ia tersedak dan mengeluarkan banyak gelembung dari dalam mulut serta hidungnya. Ia tidak bisa bernapas di air tawar. Ia mengumpat dalam hati.

Buku-buku tangannya memutih karena mencengkram pegangan pintu kereta api yang macet. Ia mulai merasa marah karena kedua tangannya tak cukup kuat membuka pintu itu. Ia pun menendang pintu kereta dengan seluruh tenaganya. Berkali-kali hingga pintu kereta menjeblak terbuka.

Lalu, ia menoleh ke tiga teman barunya.

Piero, Hima, dan Sola masih tak sadarkan diri. Ia melihat Sola bercahaya di dalam air. Tapi tak ada waktu untuk melihat dan mengagumi Sola. Ia menarik tangan Hima yang posisinya paling dekat dan tidak merasakan sakit seperti menyentuh Sola. Lalu, ia menarik tangan Piero dengan tangannya yang bebas—ia berjengit. Piero juga panas sebagaimana Sola tapi tak membuat jari-jarinya melepuh terbakar. 

Ia ingin juga menarik Sola, tapi menarik dua orang saja sudah susah. Tangannya cuma dua.

Sola membuka matanya perlahan. Ia terlihat panik. Tapi tak mampu bergerak karena kakinya tersangkut sesuatu.

Reef tak punya banyak waktu. Ia berenang sambil menarik Hima dan Piero keluar dari gerbong kereta api. Begitu keluar dari kereta api, ia menyadari kalau mereka sudah semakin jauh dari permukaan.

Ia pun terus berenang ke permukaan. Berulang kali tubuhnya tersedot ke bawah karena beban yang dibawa. Ia memaksa tubuhnya terus berenang meskipun paru-parunya terasa mau meledak. Ia tidak bisa bernapas—begitu pula mereka. Ia pun memaksa dirinya berenang lebih kuat dan lebih cepat. Tenaganya terkuras untuk membawa dua orang itu ke daratan.

Reef mendongak. Permukaan beriak lembut—tidak seperti permukaan Laut Utara.

Butuh waktu yang terasa seperti ribuan jam lamanya untuk mencapai ke permukaan. Tangannya kebas karena membawa beban yang berat dan dadanya sesak karena air tawar ini tidak membuatnya hidup seperti air laut. Ketika ia tanpa sadar menghirup air tawar lagi, ia tersedak dan semakin banyak udara keluar dari mulutnya. Ia mengatupkan rahangnya. Ia harus segera ke permukaan.

Akhirnya, ia sampai ke sisi perairan yang lebih dangkal dan mengamankan Hima dan Piero ke daratan serta mengambil napas sekejap. Lalu, ia kembali masuk ke dalam air. Tanpa ada beban dua manusia di tangannya, ia bisa berenang lebih cepat.

Ia lega ketika mendapati Sola berhasil keluar dari gerbong kereta. Ia begitu merasa lega sehingga tanpa sadar tersenyum.

“Kau bersinar,” ucap Sola tanpa suara pada Reef yang membuat Reef terpana. Gadis itu justru lebih bersinar terang dibandingkan dirinya. Seluruh tubuh Sola bersinar di dalam air—seperti cahaya matahari yang hangat.

Di lain sisi, Reef selalu sadar kalau mata birunya dapat bercahaya di dalam air—begitu pula penduduk Laut Utara lainnya. Itu sama sekali tidak spesial, bahkan ia sering disebut cacat karena cuma satu matanya yang bisa berpendar di dalam air. Mata kanannya tetap gelap sehingga ia acapkali disangka bermata satu ketika berada di dasar tergelap Laut Utara.

Seumur hidup, belum pernah ada yang memujinya bersinar karena ia adalah makhluk paling redup di antara semua penghuni laut.

𝕿𝖔 𝕭𝖊 𝕮𝖔𝖓𝖙𝖎𝖓𝖚𝖊𝖉

- Terima kasih sudah membaca. Kritik, saran, atau komentar sangat diterima di kolom komentar di bawah  -

𝖁𝖎𝖘𝖚𝖆𝖑𝖎𝖘𝖆𝖘𝖎 𝕶𝖆𝖗𝖆𝖐𝖙𝖊𝖗

🧚‍♂️Piero🧚‍♂️


🌊 Reef 🌊


❄️ Hima ❄️


☀️ Sola ☀️

You Might Also Like

0 comments