The Last Time

Januari 29, 2024


 2009

Rumah itu terbakar habis. Abu berterbangan ke udara. Kobaran api membubung tinggi ke angkasa membuat udara di sekitarnya terasa panas. Suluh melahap habis rumah itu dengan ganas dan tanpa ampun. Seorang anak laki-laki dengan pakaian usang berlari menjauhi rumah yang terbakar itu dengan abu dan darah yang mencoreng wajah mungilnya. Asap membuat matanya perih dan napasnya sesak. Ia terus berlari hingga ia cukup jauh dari jangkauan api menuju barisan pepohonan yang kokoh.

Ketika anak itu sampai di bawah sebuah pohon, ia memperhatikan bagaimana kobaran api melahap rumah itu seperti kelaparan. Kilat api yang berwarna merah membara terpantul pada manik mata heterokromianya. Meskipun sudah berdiri cukup jauh dari lokasi rumah yang terbakar itu, radiasi api tetap menyentuh kulitnya.

Anak itu mengusap pipinya yang bernoda abu dan darah dengan punggung tangannya yang berlumuran cairan berwarna beram. Cairan itu mulai mengering namun rasa hangat saat cairan itu masih basah tetap membekas di kedua tangan kecilnya. Ia berdiri menatap kekacauan di hadapannya dengan raut wajah kosong tanpa rasa bersalah sedikitpun.

“Kerja bagus.” Seseorang dengan suara kasar tiba-tiba muncul di sebelahnya. Orang itu berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada dan wajah pongah.

“Anak ini sangat berguna, bukan?” Suara kasar yang lain muncul di belakang orang yang pertama. “Dia gesit dan ampuh. Kita bisa menjarah rumah manapun lalu menyuruh anak ini membakar lokasi dan membunuh siapapun saksinya. Jejak kita sepenuhnya lenyap.”

“Yeah, dia juga bisu. Jadi, mustahil dia akan buka mulut kalau ada seseorang mengintrogasinya.”

Anak itu mendengar dengan seksama. Ekspresi wajahnya tetap datar dan seolah tak terpengaruh oleh ucapan-ucapan tentang dirinya itu.

Kemudian kedua lelaki dewasa itu berjalan menuju mobil van yang terparkir tersembunyi di balik barisan pepohonan. Rumah yang menjadi target perampokan mereka berada di wilayah pinggiran kota yang masih rimbun oleh pepohonan. Lokasi rumah itu terpencil dan terisolasi dari pemukiman warga.

Mobil van itu berwarna putih dengan tulisan jasa pengiriman barang antar kota. Dari luar, mobil tersebut tampak seperti mobil operasional biasa. Namun, di dalamnya terdapat kardus-kardus berisi barang-barang berharga dan tumpukan uang hasil penjarahan. Anak itu masuk dan duduk berhimpitan di antara kardus-kardus. Bau asap tembakau yang terbakar nonstop langsung menyerbak begitu ia memasuki mobil. Bau itu membuat siapapun yang menghirupnya mual.

Anak itu duduk meringkuk dengan memeluk kedua lututnya. Ia lapar dan sangat haus setelah bekerja tanpa henti semalaman. Ia telah mengarahkan ujung pisau kecilnya yang tajam pada sepasang suami-istri yang tertidur nyaman di tempat tidur empuk mereka. Kemudian ia menuang minyak di seluruh penjuru lantai rumah mereka sebelum menyulutnya dengan api. Ia melakukan itu semua sendirian sementara kedua orang dewasa itu merogoh isi brankas yang kata sandinya terkuak dengan mudah dan harta benda apapun yang bisa dijual di pasar gelap.

Mobil mulai melaju di atas jalan raya yang senyap. Kedua orang dewasa itu mulai menghisap tembakau dan melupakan keberadaannya. Jika mereka sudah ingat, mereka akan memberikan anak itu sepotong roti dan air minum.

Anak itu sudah pernah berusaha kabur dari kedua orang itu, namun usahanya selalu gagal. Lagipula ia tak punya tujuan lain. Hidupnya tanpa arah dan tujuan. Jika kedua orang itu tidak memungutnya di pinggir sungai setelah diusir dari panti asuhan terakhirnya, ia mungkin juga harus mencuri demi makanan. Tidak banyak selisihnya dengan kondisinya yang sekarang. Ia hanya mampu mencuri dalam diam dan menjadi suruhan cilik yang gesit, ampuh atau—persetan dengan apapun yang mereka sebut—untuk menghabisi apapun dan siapapun.

“Beri anak itu makan dan minum,” kata salah satu dari kedua orang dewasa itu.

Lalu sebuah bungkusan terlempar kepada anak itu dan mengenai kepalanya. Bungkusan berisi botol air minum kecil dan sepotong roti yang sudah tinggal setengah pun jatuh di area sempit di depannya.

Entah perasaan apa yang tiba-tiba menyeruak dari dalam dirinya. Ia melihat bungkusan plastik itu tanpa selera meskipun isi perutnya melilit. Perasaan benci yang kuat menguasai dirinya. Ia membenci dirinya ketika tangannya mengkhianati pikirannya dan meraih bungkusan itu perlahan. Ia ingin meledak. Ia tak tahan lagi. Ia ingin semua ini berhenti.

Lalu tiba-tiba terdengar bunyi tembakan dan kemudian mobil oleng. Semua penumpang di mobil itu langsung terguncang-guncang. Segalanya terasa berputar. Satu tembakan lagi dan kepala kedua orang itu langsung terkulai. Anak itu meringkuk semakin dalam—melupakan roti sialan—dan bertanya-tanya kedua peluru itu mengenai tubuh bagian apa dan apakah mereka masih hidup.

Pengemudi mobil van itu ternyata menginjak gas terlalu keras akibat sudah kehilangan kesadaran. Mobil itu pun terus melaju tanpa ada yang mengemudikannya dan baru berhenti ketika menabrak sebuah pohon.

Anak itu memejamkan matanya dan melindungi kepalanya dengan lengannya yang kurus. Sibuknya membentur kardus berkali-kali. Tubuhnya berguncang bersamaan dengan kardus-kardus yang juga bergeser mendesaknya. Seluruh tubuhnya sakit luar biasa. Sesuatu ada yang pecah dan ia bisa merasakan sesuatu yang tajam menggores pelipisnya. Belum sempat pikirannya meregister apa yang baru saja terjadi, tiba-tiba pintu belakang mobil van itu terbuka. Cahaya senter langsung mengenai kedua manik matanya. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali untuk menyesuaikan matanya dengan cahaya yang membanjiri indra penglihatannya.

“Anak korban penculikan?”

“Atau korban penganiayaan? Lihat darah di tangannya.”

“Bagaimana matanya bisa berbeda warna?”

God.

Lalu seseorang berbicara pada walkie-talkie. “Kita sudah menemukan pelaku pembunuhan. Ternyata dia tak hanya pembunuh dan perampok, dia juga menculik seorang anak. Cari informasi tentang anak hilang.”

Anak itu memahami sesuatu. Ia  telah melakukan hal-hal yang tak seharusnya dilakukan oleh anak seusianya dan mungkin sekarang ia akan menghadapi konsekuensinya. Kedua matanya berusaha fokus untuk melihat wajah siapapun yang mengepungnya. Ia harus kabur. Ia harus mencari celah untuk melarikan diri. Tetapi matanya hanya mampu melihat siluet orang-orang yang mengerubunginya sebelum dirinya tenggelam ke dalam lubang gelap pikirannya.

**

Tiga hari kemudian

Seseorang berseragam polisi mengarahkan Aldric ke sebuah ruangan rawat inap. Ia berusaha menahan diri untuk menjaga jarak dari polisi itu. Sebenarnya, ia sangat enggan berurusan dengan kepolisian, namun pagi ini hanya dirinya yang dapat memenuhi permintaan dari polisi untuk melakukan pemeriksaan kejiwaan terhadap korban penculikan anak. Para dokter spesialis lain yang lebih senior dan pernah menghadapi kasus serupa sedang menghadiri konferensi atau sedang melakukan visite yang sudah dijadwalkan.

“Anak ini kemungkinan besar bisu. Aku tak tahu dia bisa berkomunikasi atau tidak. Dia selalu menolak untuk menjawab pertanyaan bahkan dengan pertanyaan ya-tidak paling sederhana,” ucap polisi tersebut pada dokter muda di sampingnya ketika mereka sampai di depan ruang rawat inap yang dimaksud. Polisi senior itu tampak sedikit meremehkan pengalaman dokter muda di hadapannya. “Anak ini juga tak mau menulis siapa namanya ataupun asalnya. Kemungkinan dia tuna aksara juga.”

“Baik. Saya akan tahu setelah berinteraksi dengannya. Terima kasih penjelasannya, Sir,” kata dokter muda itu dengan sopan.

Kemudian Aldric masuk ke dalam ruangan bernuansa warna putih tersebut. Hanya terdapat satu bed di dalam ruangan dan ia langsung menemukan bocah yang dimaksud polisi tadi. Anak itu sedang duduk di atas bednya sambil menatap keluar jendela. Ketika mendengar suara langkah kakinya, anak itu tetap tak menoleh.

Aldric menganalisis anak kecil itu dengan sekilas. Kemungkinan usianya 11 tahun, namun gizi buruk membuatnya tampak lebih kecil. Lengan dan tungkai anak itu terlihat kurus. Rambut coklatnya yang tak terawat terlihat berantakan dan tak terawat. Kulitnya putih pucat dan banyak bekas luka berupa goresan di pergelangan tangannya.

“Halo,” sapa Aldric tersenyum ramah seraya mengambil tempat duduk di samping bed anak itu.

Anak itu pun menoleh dan kali ini Aldric mampu melihat wajah anak itu dengan jelas. Mata anak itu yang berwarna heterokromia membuat Aldric terpana. Sangat indah. Iris mata kanannya yang berwarna biru terlihat seperti es. Sedangkan iris mata sebelah kirinya seperti batu amber. Kedua manik mata anak itu membalas tatapan Aldric dengan sorot tak terbaca.

Di waktu yang sama, Aldric seperti sedang melihat mendiang adiknya yang sudah lama tiada. Rambut coklat, wajah yang cekung, dan kulitnya yang pucat mengingatkan Aldric pada saat terakhir adiknya pergi. Hanya warna matanya yang berbeda. Adiknya memiliki warna mata biru pucat.

“Kau bisa berbahasa ASL (*American Sign Language)?” tanya Aldric dengan suara lembutnya. Suara yang membuat setiap orang akan luluh mendengarnya.

Anak itu tak menjawab.

“Kau bisa mendengar?”

Anak itu tetap tak menjawab.

Aldric punya dugaan anak ini mengalami guncangan yang sangat hebat sampai tak mampu merespons pertanyaannya.

Namun kemudian, anak itu mengulurkan tangan untuk meminta clipboard yang dipegang Aldric. Aldric pun memberikan clipboard dan pulpennya. Anak itu menuliskan namanya dengan lancar di salah satu sudut kertas. Jadi dia bisa mendengar dan punya kemampuan baca-tulis.

“Namamu Archie,” kata Aldric dengan senyum merekah di bibirnya.

Kemudian, anak itu menulis dua angka. Dugaan Aldric benar. Anak itu berusia 11 tahun. “Bagus. Jadi kau sudah berumur 11 tahun. Kalau begitu, bisa tuliskan asalmu?”

“A—”

“A… a—”

Anak itu tiba-tiba bersuara dengan terbata-bata. Awalnya Aldric berpikir anak itu ingin mengucapkan kata. Namun, tidak ada kata-kata yang keluar. Hanya teriakan yang tiba-tiba menyeruak keluar seolah anak itu sudah sangat lama tidak menggunakan suaranya atau memendam segala perasaan di dalam tubuh kecilnya.

Anak itu menutup telinganya seolah ia merasa berisik dengan suaranya sendiri. Suara yang mungkin selama ini ditahannya bersamaan dengan segala perasaan berkecamuk yang dikubur bertahun-tahun. Tanpa anak itu sadari, semua itu membuat mentalnya terguncang dan menjadikannya kalut saat ia diberi kesempatan untuk bersuara. Ia berteriak sampai suaranya serak dan napasnya tersengal. Setelah histeria itu, kedua manik matanya yang indah menatap Aldric dengan kalut seolah memohon pertolongan. Manik mata yang lelah dan terluka dan melihat terlalu banyak.

Dan ini juga mengingatkannya pada adiknya.

Aldric ingin pergi saat itu juga karena tak sanggup pada luapan kenangan yang tiba-tiba membanjiri kepalanya. Namun, saat ini ia sedang bekerja dan ia harus tetap fokus.

**

Empat hari kemudian

Archie sudah lebih stabil setelah berhari-hari menjalani percakapan singkat dengan Aldric. Namun, ia tetap tak mau menjawab pertanyaan mendetail dari polisi. Ia hanya berani menjawab melalui Aldric.

Dari pertanyaan-pertanyaan polisi melalui dokter muda itu, mereka memperoleh informasi kalau Archie memang korban penculikan anak. Ia diculik dari orang tua angkatnya. Ia menyebutkan nama keluarga orang tua angkatnya dan mengatakan kalau keduanya sudah meninggal. Ia tak punya kerabat lain. Ia juga tak mau kembali ke rumah keluarga orang tua angkatnya karena ia mengaku diberi kekerasan dengan bukti memar-memar di sekujur punggungnya. Luka memar itu seperti bekas pukulan benda tumpul. Ia selalu tampak ketakutan ketika polisi menyebut nama orang tua angkatnya.

Ia juga sangat enggan menceritakan penculikan atas dirinya. Polisi memahami itu. Pihak kepolisian juga menjelaskan padanya kalau kedua pelaku penculikan itu sudah dikurung di dalam sel penjara (mereka berhasil bertahan hidup walaupun peluru bersarang di bahu mereka). Jadi Archie tak perlu khawatir. Kemungkinan besar, setelah ini ia akan dititipkan kepada panti asuhan yang ada di kota itu.

Archie hanya mengangguk pelan ketika Aldric menjelaskan bahwa polisi akan mengirimnya ke panti asuhan terdekat.

Namun, Aldric tidak ingin membiarkan polisi mengirimnya ke panti asuhan. Ia ingin menjaga anak itu. Ia ingin melindungi Archie seperti adik kandungnya sendiri. Sorot matanya yang polos dan menggemaskan itu membuat hati Aldric luluh. Ia merasa dorongan yang sangat kuat untuk menjaga anak itu. Tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk mengurus administrasi dalam rangka mengadopsi Archie. Ia tak menganggap Archie sebagai anak angkat sebagaimana tertulis pada dokumen. Ia akan menganggap Archie sebagai adiknya.

Adik kandungnya yang telah lama tiada dan kini kembali dalam sosok yang lain.

Hari terakhir di rumah sakit. Archie baru saja akan meninggalkan rumah sakit bersama polisi ketika Aldric tiba-tiba datang dan mengatakan kalau ia sudah mengurus segala hal terkait adopsi dan akan mengajak Archie pulang ke rumahnya.

Hari itu, Aldric meraih tangan kurus Archie. Ia tersenyum hangat pada adik barunya dan ia bersumpah akan menjaga Archie dengan sepenuh jiwanya. Ia akan mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi Archie.

Archie tidak tersenyum. Ia hanya memandang Aldric dengan sorot matanya yang polos sementara otaknya sedang meregister perasaan baru ini, Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang menganggapnya manusia.

**

Rumah Keluarga Emerson

“Mulai sekarang, rumah ini menjadi rumahmu juga,” kata Aldric ketika turun dari mobil bersama Archie.

Rumah itu lebih pantas disebut mansion. Di bawah cahaya matahari sore musim gugur, rumah itu terlihat mempesona. Arsitekturnya minimalis namun menimbulkan kesan mewah di setiap sisi bangunan rumah. Halamannya yang sangat luas dipenuhi berbagai macam tumbuhan dan bunga.

“Kau akan tinggal bersamaku dan Rue mulai hari ini. Rue akan menjadi saudara perempuanmu. Umurnya setahun di atasmu,” kata Aldric. Ia merangkul bahu Archie yang membuat Archie berjengit. Aldric paham kalau anak itu masih belum terbiasa dengan sentuhan karena kekerasan yang diperoleh di rumah angkat sebelumnya. 

Tiba-tiba pintu terbuka dan seorang gadis dengan rambut serta warna mata yang putih pucat menyambut mereka. Archie menatap anak perempuan itu dengan sedikit rasa penasaran karena mata gadis itu sangat pucat.

Rue tersenyum lebar pada abangnya lalu ia tersenyum pada Archie. “Kau yang bernama Archie ya?” sapa Rue. “Namaku Aruena, tapi panggil aku Rue.”

Archie mengangguk singkat. Gadis itu jauh lebih tinggi darinya. Ia masih memperhatikan warna mata Rue yang begitu pucat seolah tak ada pigmen di irisnya. Rasanya tidak buruk ketika bukan hanya dirinya yang memiliki warna mata yang tidak wajar. Lantas Archie memasuki rumah barunya yang terkesan hangat.

Rue membalas tatapan mata Archie. Ia terpana melihat mata heterokromia milik Archie. “Bagaimana matamu bisa berbeda warna?” tanya Rue dengan polos—tak mampu membendung rasa penasarannya.

“Dia punya mata heterokromia,” jelas Aldric menjawab pertanyaan Rue.

Your eyes are so beautiful,” kata Rue pada Archie. Ia tak dapat menahan perasaan kagumnya karena baru kali itu ia bertemu dengan seseorang bermata heterokromia.

“Sebentar ya. Aku akan memasak makan siang untuk kita bertiga,” kata Aldric seraya melepas jaket yang ia kenakan dan berjalan menuju dapur.

“Dia akan sekelas denganku kan di sekolah?” tanya Rue seraya berjalan mengikuti Aldric. Archie mengekori kedua saudara barunya.

“Archie belum pernah sekolah sebelumnya, jadi mungkin untuk beberapa waktu dia akan homeschooling dulu,” jelas Aldric dengan suara lembutnya.

Rue langsung menoleh pada Archie. Ia memandang Archie dengan sedikit kecewa karena belum bisa langsung berangkat sekolah dengan adik barunya. Ia sangat rindu dengan perasaan itu. Perasaan saat ia tak perlu pergi ke sekolah sendirian karena ia punya adik laki-lakinya yang akan dilindunginya.

“Dia akan sekelas denganmu saat SMA nanti,” kata Aldric pada Rue.

Rue pun langsung tersenyum sumringah pada Archie. Mulai hari ini, mereka akan menjadi bertiga untuk selamanya. Mereka akan saling menjaga dan melindungi.

Dengan mudah, Rue menyesuaikan diri menjadi seorang kakak perempuan untuk Archie. Semakin mengenal Archie yang pendiam, ia semakin sayang pada anak itu.

Sementara itu, Archie perlahan mulai memahami kalau kedua orang tua Rue dan Aldric sudah tiada. Rue pernah  menunjukkan foto Mr dan Mrs Emerson padanya. Sorot mata Rue tampak sangat berduka ketika menunjukkan foto Papa dan Mamanya. Archie memperhatikan wajah Rue yang sedu sementara nada suaranya terdengar ceria ketika menceritakan masa-masa ketika kedua orang tuanya masih ada. Ia juga memahami kalau keluarga Emerson pernah memiliki seorang putra bungsu yang meninggal saat usianya 8 tahun. Usianya terpaut setahun di bawah Rue. Rue sangat jarang membicarakan adiknya yang sudah meninggal itu.

Perasaan sedih itu membuat Archie entah kenapa ikut merasakan apa yang dirasakan oleh Rue.

Akan tetapi, Rue tidak pernah benar-benar berlarut dalam kesedihannya. Ia akan tersenyum lagi pada Archie lalu mengajaknya mengobrol, menonton TV di ruang tengah, makan bersama di rumah, membuat kue yang gagal, mengajak Archie bertengkar (meskipun Archie tak banyak merespons) dan semua hal yang dilakukan kakak-adik pada umumnya.

Perlahan Archie mulai bisa tersenyum meskipun ia tak akan pernah melupakan masa-masa ketika ia menjadi suruhan atau buangan yang dianggap kutukan oleh siapapun yang menemukannya.

**

2012

Sore itu mereka berdua berjalan di tengah hutan pohon pinus. Archie berjalan mengikuti Rue yang sangat yakin dengan rute yang ditempuhnya. Mereka bersama Aldric sedang camping di salah satu area perkemahan yang ada di sekitar hutan nasional.

Sementara Aldric menyiapkan tenda, makanan, dan menikmati waktu sendirinya dengan membaca buku, Rue dan Archie berjalan di sekitar area hutan yang masih aman.

Rue berhenti sejenak untuk memutuskan akan belok ke kanan atau kiri saat menemukan persimpangan. Ia memakai topi lebar, jaket, dan dress santai bercorak bunga lily.

“Belok ke kiri,” gumam Rue sambil melihat ke arah petanya.

Archie tak banyak komentar. Ia mengikuti Rue sampai akhirnya mereka sampai di tanah lapang berumput yang tak terlalu luas namun sangat indah.

“Tempat ini yang mau kutunjukkan padamu,” kata Rue dengan ceria seraya berjalan dengan semangat ke bawah salah satu pohon. Lalu ia merebahkan diri di atas rumput yang beraroma heather. Ia bangun sejenak untuk mengajak Archie telentang di sebelahnya.

Archie pun mengambil posisi di dekat Rue. Setahun semenjak tinggal di keluarga Emerson, ia sudah tampak jauh lebih baik. Rambut coklatnya nya masih berantakan tapi lebih terawat. Tubuhnya sudah tidak kurus mengkhawatirkan seperti waktu pertama kali Aldric menemukannya.

Mereka terlentang selama beberapa saat, menikmati cahaya matahari sore, aroma bunga dan heather, dan melihat kupu-kupu yang terbang di sekeliling mereka.

“Archie?”

“Ya,” sahut Archie pelan. Suaranya masih kecil dan ia seolah masih ragu untuk menggunakan suaranya.

“Bagaimana homeschoolingmu?”

“Hmm baik.”

“Tidak bosan? Kau tidak punya teman selain aku dan Aldric.”

“Kadang ada komunitas sesama anak homeschool, tapi tidak menarik.”

Rue terpana sedikit karena itu salah satu kalimat terpanjang yang pernah diutarakan oleh Archie. “Ini tahun terakhirmu homeschool kan?”

“Ya.”

“Kau harus tahu rasanya sekolah yang sungguhan.”

Hening.

Hanya terdengar suara angin meniup rerumputan dan suara burung berkicau.

“Archie, seperti apa kehidupanmu sebelum penculikan itu?” tanya Rue tiba-tiba—memecahkan keheningan di antara mereka berdua. Ia selalu penasaran pada masa lalu Archie tapi baik Aldric maupun Archie ternyata enggan menjawab pertanyaannya.

Archie hanya diam selama bermenit-menit lamanya sampai membuat Rue penasaran apakah anak itu sedang tertidur.  Ia pun berguling dan menatap Archie yang sedang terlentang di sampingnya. Mata anak itu terpejam rapat membuat Rue tak bisa melihat kedua mata heterokromianya. Anak itu bernapas pelan dan sangat tenang. Ternyata dia tertidur. Rue memperhatikan adiknya yang terlelap selama beberapa saat, lalu kemudian ia kembali terlentang.

“Baiklah… Masa lalu bukan untuk dibongkar,” gumam Rue pelan. Untuk sementara, ia hanya mau mengabadikan moment hening itu di dalam benaknya. Ia yakin mereka bertiga akan menjadi keluarga selamanya.

 Thank you, Archie,” gumam Rue tiba-tiba tanpa mengetahui bahwa Archie sebenarnya mendengar setiap ucapannya. “Kau mengisi rumah kami yang awalnya kosong.”

Namun, Rue tak pernah tahu apa yang benar-bener tersembunyi di balik wajah polos Archie. Tak akan pernah tahu badai kekalutan apa yang terus-menerus konstan di dalam kepala Archie. Tak akan pernah tahu jika Archie terkadang melihat hal yang tak seharusnya ada. Tak akan pernah tahu suara terdistorsi yang seringkali muncul di benak Archie.

**

3 tahun kemudian

2015

Sore itu, serpihan salju mulai turun. Langit tampak putih pucat dan kelabu. Pohon-pohon tak berdaun yang menghiasi pinggir jalan berderak ketika tertiup angin musim dingin. Ornamen natal mulai dipajang di setiap etalase toko yang berada di sepanjang jalan itu.

Mobil Mercedes-Benz AMG G 63 milik Aldric Emerson melaju dengan lancar di jalan raya menuju rumah mereka yang berada di pinggiran kota—cukup jauh dari pusat keramaian. Kota tempat mereka tinggal pun bukan kota besar, hanya kota kecil yang berada di negara bagian Oregon. Kota itu dikelilingi oleh hutan pinus nasional dan lokasi rumah mereka berada di sekitar area itu. Rumah mereka cukup lampau dari sekolah sehingga Aldric biasanya mengantar-jemput kedua adiknya jika kebetulan jam pulang kerjanya bertepatan dengan jam pulang mereka.

Seperti biasa Aldric yang menyetir. Jika Aldric tidak bisa menjemput mereka karena kesibukannya sebagai psikiater di rumah sakit, biasanya Archie membawa mobil miliknya sendiri yang dihadiahkan Aldric saat umurnya 15 tahun. Mobilnya tidak sebagus punya Aldric tapi ia sudah sangat senang (sebuah perasaan baru yang dipelajarinya selama tinggal bersama mereka). Ia sendiri tidak akan masalah jika ia diberikan mobil pick up, tapi Aldric memberinya mobil sedan civic berwarna silver.

“Archie, is there anything wrong?” tanya Aldric seraya menoleh sekilas pada Archie yang duduk di sampingnya. Archie duduk di jok penumpang yang ada di samping Aldric sementara Rue duduk di jok belakang.

Archie sudah duduk di bangku SMA sekarang dan setingkat dengan Rue. Selama homeschooling, ternyata ia belajar dengan sangat cepat dan mampu mengejar ketinggalannya di akademik. Otaknya sangat encer terutama di pelajaran kimia sehingga ia mengambil kelas AP Chemistry di sekolah.

Anak itu tidak menjawab. Wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Ia hanya menatap keluar jendela sambil menyenderkan kepalanya ke kaca jendela yang dingin.

“Dia baru saja masuk ruang detensi,” jawab Rue mewakili Archie.

“Oh ya?”

“Bukan masalah besar,” kata Archie pelan. Meskipun sudah enam tahun berlalu semenjak ia harus bertahan hidup dengan berpura-pura bisu, ia masih sering terbawa kebiasaan lamanya. Ia lebih suka mulutnya bungkam daripada bicara.

“Dia meninju seseorang di kafetaria sekolah,” kata Rue berkata lagi dengan nada iseng. “Tapi cowok yang ditinjunya pantas mendapat tinjuan dari Archie. He is a jerk and a bully.

Aldric tampak tidak bangga dengan cerita itu, tetapi ia tidak langsung menjudge perbuatan adiknya. “Archie, lain kali jangan terlalu sering terbawa emosimu,” nasihat Aldric. Ia kini sudah berusia 34 tahun dan tampak jauh lebih matang. Rambut hitamnya yang gondrong sudah melebihi bawah telinganya dan diikat asal. Ia suka dengan rambut panjangnya.

Bukan sekali-dua kali Aldric mendengar Rue mengadukan Archie yang masuk ruang detensi saat mereka di mobil bersama.

Sekolah mereka adalah sekolah swasta elit yang peraturannya cukup ketat. Tidak seperti sekolah publik pada umumnya, mereka juga harus memakai seragam sekolah yang sudah terjadwal.

“Aku tahu,” balas Archie singkat. Ia ingin cepat sampai di rumah dan tidur. Akhir-akhir ini ia mengalami insomnia parah. Ia tidak bisa tidur dan jika ia tidur, mimpi buruk selalu menghantuinya.

“Nanti malam kita jadi makan malam bersama Eve?” tanya Rue pada Aldric. Ia sudah menyiapkan dress cantik untuk makan malam nanti. Ia sangat sumringah ketika mendengar kakak sulungnya bertunangan dengan seorang perempuan cantik yang anggun. Evelyn atau biasa dipanggil Eve adalah tunangan Aldric. Mereka sudah memutuskan akan menikah di bulan Februari tahun berikutnya.

“Tentu saja,” kata Aldric. Dia memang sudah reservasi meja di salah satu restoran mahal yang ada di kota. Restoran itu dulu juga menjadi tempat langganan orang tua mereka untuk makan malam keluarga. “Kalian harus sudah siap pukul tujuh, okay?” Lalu ia menoleh pada Archie. Lalu ia iseng menyentuh dahi anak itu untuk mengecek suhu tubuhnya.

Archie langsung berjengit karena ia masih tidak suka disentuh. “Aku tidak apa-apa.”

Ternyata tubuh anak itu terasa panas. Aldric mulai cemas. Ia mempertimbangkan untuk mengganti hari janjiannya dengan Evelyn, tapi di lain sisi, dia tidak mau mengecewakan tunangannya. “Bagaimana kalau kau istirahat saja malam ini?”

I’m good. Aku akan ikut,” kata Archie.

“Kenapa?” tanya Rue. “Archie sakit? Kalau begitu, aku akan jaga rumah menemani Archie.”

“Atau lebih baik aku ganti harinya…”

“Eve pasti sudah menantikan hari ini,” kata Archie. “Kalian pergi saja tanpaku.”

“Aku baru ingat ada essay yang harus dikumpulkan malam ini. Kurasa aku juga tidak bisa ikut,” kata Rue tiba-tiba. “Sorry, Aldric. Malam ini kalian terpaksa harus date berdua saja.”

Aldric tak menyangka kalau kedua adiknya akan berubah pikiran karena ia tahu Rue sudah merencanakan gaun cantik yang dibelinya di butik minggu lalu. Tapi ia pikir akan lebih aman jika Archie ditemani Rue di rumah. “Baiklah, kami tidak akan lama. Aku akan segera kembali sebelum jam 9.”

**

Rue tampak sedikit kecewa malam itu karena sudah lama keluarga mereka tidak melakukan ritual makan malam keluarga. Ia merasa jika ia tetap datang bersama Aldric, suasananya akan rumpang. Ia merasa tidak lengkap tanpa Archie. Sudah cukup selama 1- tahun hidupnya, ia merasa begitu hampa dan kosong tanpa orang tuanya hingga terkadang ia merasa seperti cangkang yang kosong.

Namun, kehadiran Archie membuat hatinya terisi lagi.

Soal tugas essay, Rue tidak benar-benar berbohong. Malam ini adalah deadline untuk mengumpulkan essay melalui email ke guru. Ia sudah mencicil tugasnya dan hanya perlu waktu sedikit untuk menyempurnakan tulisannya sebelum submit tugas.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam ketika ia selesai mengirim email. Aldric belum juga pulang. Ia pun beranjak dari meja belajarnya dan berjalan keluar dari kamarnya. Suasana rumah malam itu terasa gelap. Setiap ruangan besar dan luas terasa lebih hampa daripada biasanya.

Rue pun berjalan ke kamar Archie yang berada di lantai dua. Ia mengetuk pintu kamar adiknya pelan. Rue butuh seseorang untuk diajak berbicara karena ia khawatir Aldric belum pulang. Ia heran mengapa lampu di luar kamar Archie dimatikan semua begitu pula kamar Archie. Ternyata kamar Archie tidak terkunci. Kamar bernuansa warna abu-abu itu hanya diterangi oleh lampu membaca yang ada di meja samping tempat tidur.

Ia pikir ia akan menemukan Archie sedang tertidur dengan selimut tebal menyelubungi dirinya. Namun, tempat tidur itu kosong. Tidak ada siapapun di atasnya.

“Archie???” panggil Rue sambil melangkah masuk ke dalam kamar yang gelap.

Hening.

Lalu tiba-tiba ada seseorang berjalan dengan senyap dari belakang. Sebilah pisau kecil yang tipis menembus kulit punggung gadis itu. Pisau itu mengenai tepat ke organ vitalnya yang berfungsi untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Cairan berwarna merah merembes di gaun tidurnya yang berwarna putih.

“Kenapa?”

Napas terakhirnya menyelinap keluar dari bibirnya dan gadis itu pun ambruk ke depan.

**

Archie berdiri menatap sosok seseorang yang sudah tak bernyawa seolah dirinya tidak ada di situ. Ia merasakan darah yang hangat di kulit tangannya. Kini ia sudah jauh lebih tinggi dan kuat, namun ia masih merasa sama seperti dirinya bertahun-tahun yang lalu.

Manik matanya seolah tak mengenali siapa sosok dengan darah di gaun tidurnya. Segalanya tampak kabur di mata Archie. Napasnya begitu stabil sampai ia mendengar kalimat itu lagi.

“Kerja bagus, Archie.

Archie terkesiap. Ia mendengar suara benda logam jatuh berdentangan di atas lantai. Ia menatap Aldric yang tersenyum kepadanya dengan raut wajah bangga. Namun, suara lembutnya membuat Archie mual karena kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya mendesak keluar sesuatu dari dalam dirinya yang sudah lama ia kubur.

“Kenapa kau menyuruhku membunuh lagi?” suara Archie terdengar putus asa. Ia memungut benda tajam yang barusan jatuh dan mengarahkannya pada Aldric yang berusaha mendekat. “Kenapa? Kenapa? Kenapa?”

Kini segalanya mulai jelas. Penglihatannya tak kabur lagi. Ia bisa melihat siapa sosok berambut putih yang kini tergeletak dengan darah merembes ke lantai marmer yang berwarna putih. Ia tak tahu apa yang terjadi.

Apa yang terjadi?

Kenapa dia menyuruhku membunuh Rue?

Kenapa?

Lalu perasaan bersalah menyeruak dari dalam pikirannya, menyebar ke seluruh tubuhnya, dan membuatnya ingin muntah saat itu juga. Napasnya memburu. Ia ingin berteriak. Ia tak bisa menjadi air yang tenang seperti biasanya.

Ia baru saja membunuh Rue—seorang gadis berhati seperti malaikat.

Gadis itu pantas mendapatkan adik laki-laki yang lebih baik.

“Kau hanya alat, Archie. Apa yang kau harapkan?”

“Apa?”

Suara Aldric terdistorsi dengan suara-suara lainnya yang Archie tidak tahu sumbernya.

“Sekarang bisa membunuh untukku lagi?”

Archie menggelengkan kepalanya. Ia merasa sudah cukup. Ia tak mau mendengar satu suruhan lagi. Ia mengacungkan ujung pisau yang tajam itu. Ini akan menjadi terakhir kalinya. Ia bersumpah. Ini akan menjadi yang terakhir.

**

Senyap.

Archie mendorong tubuh Aldric yang jatuh ke arahnya. Ia tak menyangka semudah itu. Kenapa semudah itu untuk mengakhiri segalanya? Ia melangkahi tubuh Aldric yang jatuh tersungkur di depannya. Kenapa tidak ada perlawanan?

Lalu ia melangkah menjauhi Aldric dan Rue, sebelum kesadaran total memenuhi dirinya lagi. Namun, suara lemah Aldric membuat langkahnya terhenti.

“Archie.” Aldric berkata dengan susah payah. Ia menahan rintihan. Tangan kanannya menahan darah yang mengalir keluar dari perutnya. Darah itu merembes pakaian jasnya yang rapih dan membuatnya tampan. Ia menatap Archie dengan matanya yang gelap seperti langit malam. Rambutnya yang panjang tak diikat.

“Aku tahu kau pembunuh sebenarnya di kasus enam tahun yang lalu.”

“Aku” Aldric menarik napas dengan susah payah. “menyelidiki perilakumu selama enam tahun ini. Awalnya aku menyangkal bahwa kau yang melakukannya. Kau membuatku luluh. Kau seperti adikku, Archie.”

Kini suara Aldric terdengar sejelas lonceng. Berdentang-dentang dalam telinganya dan bergema dalam ruang hampa dalam jiwanya.

“Tapi ada satu hal yang membuatku sadar kau adalah pelaku sebenarnya di semua kasus perampokan dan pembunuhan yang melibatkanmu.”

Archie diam menunggu. Ia menatap Aldric tanpa perasaan. Ia membendung apapun yang muncul di benaknya. Ia menahan napasnya. Ia ingin berhenti bernapas. Pikirannya mulai kalut. Cahaya rembulan menerangi kedua matanya yang berbeda warna. Ia tampak mematikan. Ia memang bisa mematikan. Dia senjata ampuh kan?

“Saat aku bilang kalau kedua penculikmu mati di selnya, kau sangat lega. Apalagi ketika polisi akhirnya menutup beberapa kasus pembunuhan yang sudah kadaluarsa tanpa menemukan pelakunya.”

Aldric menarik napas dengan kepayahan lagi. Rintihan lolos di suaranya.

“Kau pelakunya, Archie.”

Archie menatap mata Aldric yang balas menatapnya tajam.

“Lalu kenapa kau tak membawaku ke polisi sebelum ini?” tanya Archie dengan suara datar. Dingin. Sedingin warna iris mata kanannya yang sebiru laut di musim dingin.

“Aku menyangkalnya, Archie. Kau seperti adikku yang sudah mati. Tapi kau tak pantas bersamanya di surga. Kau tak waras.” Aldric terbatuk. Laki-laki itu mengernyit menahan rasa nyeri luar biasa. Tatapan tajamnya berubah menjadi tatapan yang hancur dan pedih. Ia sangat frustasi. “Kenapa kau juga harus membunuh Rue? Kenapa tak cukup membunuhku saja?”

Archie tak menjawab. 

You’ll rot in hell,” ucap Aldric penuh penekanan. “You’re just a curse to anyone around you.

Sesuatu tampak putus di kepala Archie. Seperti ada yang menggunting tali di dalam pikirannya yang selama ini sudah rapuh dan menahan seluruh kewarasannya. Ia pun berjalan mendekati Aldric yang duduk dengan susah payah. Darah mengalir di dagu Aldric dan keluar dari torsonya.

“Alasannya adalah aku harus menuntaskan apa yang telah kumulai, Aldric.” Suaranya terdengar sedingin salju yang turun di luar sana. “Menjadi kutukan memang sudah takdirku.”

Archie melakukannya sekali lagi. Kali ini ia menghunuskan pisau yang ada di genggaman tangannya dengan lebih akurat lagi. Lalu ia melepas pisau itu secara paksa hingga darah mengalir deras dari dada Aldric. Sekali namun cukup ampuh.

Archie berjongkok selama beberapa saat sampai ia memastikan Aldric tak bernapas lagi.

Lantas ia berdiri perlahan.

Ia menggigit bibirnya ketika melihat dua orang yang sudah menjadi keluarganya selama ini seolah mengucapkan kata selamat tinggal yang tak pernah terucap.

Lalu ia berlari dari rumah itu—seperti yang sudah dilakukannya berkali-kali di masa lalunya yang kelam. Ia berlari hanya dengan jaket hoodie seadanya dan sweatpants yang ia kenakan untuk tidur, sementara di luar salju turun dengan deras. Kaki telanjangnya menyentuh jalan aspal yang dilapisi es. Ia terus berlari hingga setiap napasnya terasa perih.

Ia tak sanggup berada di dalam rumah keluarga Emerson lebih lama lagi. Ia mulai menyadari sesuatu kalau ia tak benar-benar melihat Rue saat menghunuskan pisaunya. Saat ia menyadarinya, air mata mengalir di pipinya.

Ia tak melihat Rue. Ia hanya melihat sosok yang tak dikenal yang harus dibunuhnya karena seseorang menyuruhnya. Ia tak tahu siapa yang menyuruhnya.

Lalu ia tidak benar-benar berniat menghabisi Aldric seperti itu. Tetapi, kalimat yang diucapkan Aldric membuatnya ingin berteriak. Ia ingin terlepas dari segalanya. Ia ingin terlepas dari suara yang memenuhi kepalanya. Ia kelewat lelah. Rasanya terlalu menyakitkan untuk menyaksikan Rue yang terkapar tanpa nyawa.

Terlalu pedih ketika orang yang ia pikir sudah menyelamatkannya ternyata pada akhirnya menghancurkannya juga.

Aku mungkin memang kutukan, lantas kenapa? Aku pantas untuk dibuang?

Tapi aku tak seharusnya membunuh Rue.

Perasaan bersalah menyeruak lagi dan membuatnya muntah. Ia membuang apapun yang ada di dalam isi perutnya yang kosong. Ia berhenti di pinggir jalan. Seluruh tubuhnya gemetar karena udara yang dingin dan perasaan bersalah. Ia tak pernah ingin muntah setelah mencium aroma anyir darah namun kali ini ia sangat mual ketika membayangkan Rue yang terkapar mati akibat perbuatannya.

Ia telah berlari cukup jauh. Ia melihat ke sekelilingnya. Ia berada di dekat area pemakaman. Ia mengelap mulutnya dengan punggung tangannya. Uap putih menyeruak keluar dari mulutnya. Salju turun semakin deras. Kakinya yang berlari tanpa alas kaki tampak membiru dan penuh luka karena berjalan di atas jalan aspal yang berlapis es.

Ia ingin berlari lagi hingga tungkainya tak sanggup bergerak lagi, namun tiba-tiba tangannya merogoh kantong hoodienya yang berisi sebuah pisau. Pisau itu masih bersimbah darah kedua saudaranya. Ia hanya perlu melakukannya sekali lagi dan mengarahkannya tepat ke pembuluh arteri di organ vitalnya.

Samar-samar ia mendengar suara sirine mobil polisi. Aldric sepertinya menelepon polisi sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya.

“Segalanya akan usai.”

Ia memegang pisau itu dengan kokoh. Ia menarik napas agar tangannya tak gemetar. Ia harus konsentrasi agar targetnya tepat. Cukup sekali lagi. Ia tak butuh tempat tujuan lagi. Ia tak butuh penyelamat lagi yang pada akhirnya hanya akan mengutuknya.

Ia mengangkat kedua pisau itu dan mengayunkannya tepat ke arah yang ia mau. Ia membungkam teriakan yang hampir meluncur keluar dari bibirnya. Ia melakukannya sekali lagi karena satu kali tidak cukup.

Lalu, berikutnya suara rubuh seseorang di atas tumpukan salju. Suara sirine mobil polisi terdengar makin keras. Ia melepas genggaman tangannya pada pisau tersebut.

Warna hitam pekat mulai merayapi indra penglihatannya. Ia kesakitan dan menahannya.

Archie menatap butiran putih salju yang jatuh. Langit hitam di atasnya terlihat tak terbatas, dingin, dan hampa. Ranting pohon tanpa dedaunan tampak bergerak karena tertiup angin. Suhu yang rendah mulai mematikan tubuhnya.

Sedetik kemudian, ia tenggelam dalam kehampaan. Kali ini ia tak perlu merasakan apapun. Ia tak perlu mendengarkan suara-suara di kepalanya lagi. Rasa bersalahnya akan terkubur bersamaan dengan salju putih yang menumpuk di sudut sebuah pemakaman.

Matanya yang indah bagaikan permata menatap kosong ke arah langit yang dingin mencekam.

 

-Finn- 

You Might Also Like

0 comments