The Last Time
Januari 29, 20242009
Rumah
itu terbakar habis. Abu berterbangan ke udara. Kobaran api membubung tinggi ke
angkasa membuat udara di sekitarnya terasa panas. Suluh melahap habis rumah itu
dengan ganas dan tanpa ampun. Seorang anak laki-laki dengan pakaian usang berlari
menjauhi rumah yang terbakar itu dengan abu dan darah yang mencoreng wajah
mungilnya. Asap membuat matanya perih dan napasnya sesak. Ia terus berlari
hingga ia cukup jauh dari jangkauan api menuju barisan pepohonan yang kokoh.
Ketika anak itu sampai di bawah sebuah pohon, ia
memperhatikan bagaimana kobaran api melahap rumah itu seperti kelaparan. Kilat
api yang berwarna merah membara terpantul pada manik mata heterokromianya.
Meskipun sudah berdiri cukup jauh dari lokasi rumah yang terbakar itu, radiasi
api tetap menyentuh kulitnya.
Anak itu mengusap pipinya yang bernoda abu dan darah
dengan punggung tangannya yang berlumuran cairan berwarna beram. Cairan itu
mulai mengering namun rasa hangat saat cairan itu masih basah tetap membekas di
kedua tangan kecilnya. Ia berdiri menatap kekacauan di hadapannya dengan raut
wajah kosong tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“Kerja bagus.” Seseorang dengan suara kasar
tiba-tiba muncul di sebelahnya. Orang itu berdiri dengan kedua tangan terlipat
di depan dada dan wajah pongah.
“Anak ini sangat berguna, bukan?” Suara kasar yang
lain muncul di belakang orang yang pertama. “Dia gesit dan ampuh. Kita bisa
menjarah rumah manapun lalu menyuruh anak ini membakar lokasi dan membunuh
siapapun saksinya. Jejak kita sepenuhnya lenyap.”
“Yeah, dia juga bisu. Jadi, mustahil dia akan buka
mulut kalau ada seseorang mengintrogasinya.”
Anak itu mendengar dengan seksama. Ekspresi wajahnya
tetap datar dan seolah tak terpengaruh oleh ucapan-ucapan tentang dirinya itu.
Kemudian kedua lelaki dewasa itu berjalan menuju
mobil van yang terparkir tersembunyi
di balik barisan pepohonan. Rumah yang menjadi target perampokan mereka berada
di wilayah pinggiran kota yang masih rimbun oleh pepohonan. Lokasi rumah itu
terpencil dan terisolasi dari pemukiman warga.
Mobil van itu
berwarna putih dengan tulisan jasa pengiriman barang antar kota. Dari luar,
mobil tersebut tampak seperti mobil operasional biasa. Namun, di dalamnya
terdapat kardus-kardus berisi barang-barang berharga dan tumpukan uang hasil
penjarahan. Anak itu masuk dan duduk berhimpitan di antara kardus-kardus. Bau
asap tembakau yang terbakar nonstop langsung menyerbak begitu ia memasuki
mobil. Bau itu membuat siapapun yang menghirupnya mual.
Anak itu duduk meringkuk dengan memeluk kedua
lututnya. Ia lapar dan sangat haus setelah bekerja tanpa henti semalaman. Ia
telah mengarahkan ujung pisau kecilnya yang tajam pada sepasang suami-istri
yang tertidur nyaman di tempat tidur empuk mereka. Kemudian ia menuang minyak
di seluruh penjuru lantai rumah mereka sebelum menyulutnya dengan api. Ia
melakukan itu semua sendirian sementara kedua orang dewasa itu merogoh isi
brankas yang kata sandinya terkuak dengan mudah dan harta benda apapun yang
bisa dijual di pasar gelap.
Mobil mulai melaju di atas jalan raya yang senyap.
Kedua orang dewasa itu mulai menghisap tembakau dan melupakan keberadaannya.
Jika mereka sudah ingat, mereka akan memberikan anak itu sepotong roti dan air
minum.
Anak itu sudah pernah berusaha kabur dari kedua
orang itu, namun usahanya selalu gagal. Lagipula ia tak punya tujuan lain.
Hidupnya tanpa arah dan tujuan. Jika kedua orang itu tidak memungutnya di
pinggir sungai setelah diusir dari panti asuhan terakhirnya, ia mungkin juga
harus mencuri demi makanan. Tidak banyak selisihnya dengan kondisinya yang
sekarang. Ia hanya mampu mencuri dalam diam dan menjadi suruhan cilik yang
gesit, ampuh atau—persetan dengan apapun yang mereka sebut—untuk menghabisi
apapun dan siapapun.
“Beri anak itu makan dan minum,” kata salah satu
dari kedua orang dewasa itu.
Lalu sebuah bungkusan terlempar kepada anak itu dan
mengenai kepalanya. Bungkusan berisi botol air minum kecil dan sepotong roti
yang sudah tinggal setengah pun jatuh di area sempit di depannya.
Entah perasaan apa yang tiba-tiba menyeruak dari
dalam dirinya. Ia melihat bungkusan plastik itu tanpa selera meskipun isi
perutnya melilit. Perasaan benci yang kuat menguasai dirinya. Ia membenci
dirinya ketika tangannya mengkhianati pikirannya dan meraih bungkusan itu
perlahan. Ia ingin meledak. Ia tak tahan lagi. Ia ingin semua ini berhenti.
Lalu tiba-tiba terdengar bunyi tembakan dan kemudian
mobil oleng. Semua penumpang di mobil itu langsung terguncang-guncang.
Segalanya terasa berputar. Satu tembakan lagi dan kepala kedua orang itu
langsung terkulai. Anak itu meringkuk semakin dalam—melupakan roti sialan—dan
bertanya-tanya kedua peluru itu mengenai tubuh bagian apa dan apakah mereka
masih hidup.
Pengemudi mobil van
itu ternyata menginjak gas terlalu keras akibat sudah kehilangan kesadaran.
Mobil itu pun terus melaju tanpa ada yang mengemudikannya dan baru berhenti
ketika menabrak sebuah pohon.
Anak itu memejamkan matanya dan melindungi kepalanya
dengan lengannya yang kurus. Sibuknya membentur kardus berkali-kali. Tubuhnya
berguncang bersamaan dengan kardus-kardus yang juga bergeser mendesaknya.
Seluruh tubuhnya sakit luar biasa. Sesuatu ada yang pecah dan ia bisa merasakan
sesuatu yang tajam menggores pelipisnya. Belum sempat pikirannya meregister apa
yang baru saja terjadi, tiba-tiba pintu belakang mobil van itu terbuka. Cahaya senter langsung mengenai kedua manik
matanya. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali untuk menyesuaikan matanya dengan
cahaya yang membanjiri indra penglihatannya.
“Anak korban penculikan?”
“Atau korban penganiayaan? Lihat darah di
tangannya.”
“Bagaimana matanya bisa berbeda warna?”
“God.”
Lalu seseorang berbicara pada walkie-talkie. “Kita sudah menemukan pelaku pembunuhan. Ternyata
dia tak hanya pembunuh dan perampok, dia juga menculik seorang anak. Cari
informasi tentang anak hilang.”
Anak itu memahami sesuatu. Ia telah melakukan hal-hal yang tak seharusnya
dilakukan oleh anak seusianya dan mungkin sekarang ia akan menghadapi
konsekuensinya. Kedua matanya berusaha fokus untuk melihat wajah siapapun yang
mengepungnya. Ia harus kabur. Ia harus mencari celah untuk melarikan diri.
Tetapi matanya hanya mampu melihat siluet orang-orang yang mengerubunginya
sebelum dirinya tenggelam ke dalam lubang gelap pikirannya.
**
Tiga hari kemudian
Seseorang
berseragam polisi mengarahkan Aldric ke sebuah ruangan rawat inap. Ia berusaha
menahan diri untuk menjaga jarak dari polisi itu. Sebenarnya, ia sangat enggan
berurusan dengan kepolisian, namun pagi ini hanya dirinya yang dapat memenuhi
permintaan dari polisi untuk melakukan pemeriksaan kejiwaan terhadap korban
penculikan anak. Para dokter spesialis lain yang lebih senior dan pernah
menghadapi kasus serupa sedang menghadiri konferensi atau sedang melakukan visite yang sudah dijadwalkan.
“Anak ini kemungkinan besar bisu. Aku tak tahu dia
bisa berkomunikasi atau tidak. Dia selalu menolak untuk menjawab pertanyaan
bahkan dengan pertanyaan ya-tidak paling
sederhana,” ucap polisi tersebut pada dokter muda di sampingnya ketika mereka
sampai di depan ruang rawat inap yang dimaksud. Polisi senior itu tampak
sedikit meremehkan pengalaman dokter muda di hadapannya. “Anak ini juga tak mau
menulis siapa namanya ataupun asalnya. Kemungkinan dia tuna aksara juga.”
“Baik. Saya akan tahu setelah berinteraksi
dengannya. Terima kasih penjelasannya, Sir,” kata dokter muda itu dengan sopan.
Kemudian Aldric masuk ke dalam ruangan bernuansa
warna putih tersebut. Hanya terdapat satu bed
di dalam ruangan dan ia langsung menemukan bocah yang dimaksud polisi tadi.
Anak itu sedang duduk di atas bednya
sambil menatap keluar jendela. Ketika mendengar suara langkah kakinya, anak itu
tetap tak menoleh.
Aldric menganalisis anak kecil itu dengan sekilas.
Kemungkinan usianya 11 tahun, namun gizi buruk membuatnya tampak lebih kecil.
Lengan dan tungkai anak itu terlihat kurus. Rambut coklatnya yang tak terawat
terlihat berantakan dan tak terawat. Kulitnya putih pucat dan banyak bekas luka
berupa goresan di pergelangan tangannya.
“Halo,” sapa Aldric tersenyum ramah seraya mengambil
tempat duduk di samping bed anak itu.
Anak itu pun menoleh dan kali ini Aldric mampu
melihat wajah anak itu dengan jelas. Mata anak itu yang berwarna heterokromia
membuat Aldric terpana. Sangat indah. Iris
mata kanannya yang berwarna biru terlihat seperti es. Sedangkan iris mata
sebelah kirinya seperti batu amber. Kedua
manik mata anak itu membalas tatapan Aldric dengan sorot tak terbaca.
Di waktu yang sama, Aldric seperti sedang melihat
mendiang adiknya yang sudah lama tiada. Rambut coklat, wajah yang cekung, dan
kulitnya yang pucat mengingatkan Aldric pada saat terakhir adiknya pergi. Hanya warna matanya yang berbeda.
Adiknya memiliki warna mata biru pucat.
“Kau bisa berbahasa ASL (*American Sign Language)?” tanya Aldric dengan suara lembutnya.
Suara yang membuat setiap orang akan luluh mendengarnya.
Anak itu tak menjawab.
“Kau bisa mendengar?”
Anak itu tetap tak menjawab.
Aldric punya dugaan anak ini mengalami guncangan
yang sangat hebat sampai tak mampu merespons pertanyaannya.
Namun kemudian, anak itu mengulurkan tangan untuk
meminta clipboard yang dipegang
Aldric. Aldric pun memberikan clipboard dan
pulpennya. Anak itu menuliskan namanya dengan lancar di salah satu sudut
kertas. Jadi dia bisa mendengar dan punya
kemampuan baca-tulis.
“Namamu Archie,” kata Aldric dengan senyum merekah
di bibirnya.
Kemudian, anak itu menulis dua angka. Dugaan Aldric
benar. Anak itu berusia 11 tahun. “Bagus. Jadi kau sudah berumur 11 tahun.
Kalau begitu, bisa tuliskan asalmu?”
“A—”
“A… a—”
Anak itu tiba-tiba bersuara dengan terbata-bata.
Awalnya Aldric berpikir anak itu ingin mengucapkan kata. Namun, tidak ada
kata-kata yang keluar. Hanya teriakan yang tiba-tiba menyeruak keluar seolah
anak itu sudah sangat lama tidak menggunakan suaranya atau memendam segala
perasaan di dalam tubuh kecilnya.
Anak itu menutup telinganya seolah ia merasa berisik
dengan suaranya sendiri. Suara yang mungkin selama ini ditahannya bersamaan
dengan segala perasaan berkecamuk yang dikubur bertahun-tahun. Tanpa anak itu
sadari, semua itu membuat mentalnya terguncang dan menjadikannya kalut saat ia
diberi kesempatan untuk bersuara. Ia berteriak sampai suaranya serak dan
napasnya tersengal. Setelah histeria itu, kedua manik matanya yang indah
menatap Aldric dengan kalut seolah memohon pertolongan. Manik mata yang lelah
dan terluka dan melihat terlalu banyak.
Dan ini juga
mengingatkannya pada adiknya.
Aldric ingin pergi saat itu juga karena tak sanggup
pada luapan kenangan yang tiba-tiba membanjiri kepalanya. Namun, saat ini ia
sedang bekerja dan ia harus tetap fokus.
**
Empat hari kemudian
Archie
sudah lebih stabil setelah berhari-hari menjalani percakapan singkat dengan
Aldric. Namun, ia tetap tak mau menjawab pertanyaan mendetail dari polisi. Ia
hanya berani menjawab melalui Aldric.
Dari pertanyaan-pertanyaan polisi melalui dokter
muda itu, mereka memperoleh informasi kalau Archie memang korban penculikan
anak. Ia diculik dari orang tua angkatnya. Ia menyebutkan nama keluarga orang
tua angkatnya dan mengatakan kalau keduanya sudah meninggal. Ia tak punya
kerabat lain. Ia juga tak mau kembali ke rumah keluarga orang tua angkatnya
karena ia mengaku diberi kekerasan dengan bukti memar-memar di sekujur
punggungnya. Luka memar itu seperti bekas pukulan benda tumpul. Ia selalu
tampak ketakutan ketika polisi menyebut nama orang tua angkatnya.
Ia juga sangat enggan menceritakan penculikan atas
dirinya. Polisi memahami itu. Pihak kepolisian juga menjelaskan padanya kalau
kedua pelaku penculikan itu sudah dikurung di dalam sel penjara (mereka
berhasil bertahan hidup walaupun peluru bersarang di bahu mereka). Jadi Archie
tak perlu khawatir. Kemungkinan besar, setelah ini ia akan dititipkan kepada
panti asuhan yang ada di kota itu.
Archie hanya mengangguk pelan ketika Aldric
menjelaskan bahwa polisi akan mengirimnya ke panti asuhan terdekat.
Namun, Aldric tidak ingin membiarkan polisi
mengirimnya ke panti asuhan. Ia ingin menjaga anak itu. Ia ingin melindungi
Archie seperti adik kandungnya sendiri. Sorot matanya yang polos dan
menggemaskan itu membuat hati Aldric luluh. Ia merasa dorongan yang sangat kuat
untuk menjaga anak itu. Tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk mengurus
administrasi dalam rangka mengadopsi Archie. Ia tak menganggap Archie sebagai
anak angkat sebagaimana tertulis pada dokumen. Ia akan menganggap Archie
sebagai adiknya.
Adik kandungnya
yang telah lama tiada dan kini kembali dalam sosok yang lain.
Hari terakhir di rumah sakit. Archie baru saja akan
meninggalkan rumah sakit bersama polisi ketika Aldric tiba-tiba datang dan
mengatakan kalau ia sudah mengurus segala hal terkait adopsi dan akan mengajak
Archie pulang ke rumahnya.
Hari itu, Aldric meraih tangan kurus Archie. Ia
tersenyum hangat pada adik barunya dan ia bersumpah akan menjaga Archie dengan
sepenuh jiwanya. Ia akan mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi Archie.
Archie tidak tersenyum. Ia hanya memandang Aldric
dengan sorot matanya yang polos sementara otaknya sedang meregister perasaan
baru ini, Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang menganggapnya manusia.
**
Rumah Keluarga Emerson
“Mulai
sekarang, rumah ini menjadi rumahmu juga,” kata Aldric ketika turun dari mobil
bersama Archie.
Rumah itu lebih pantas disebut mansion. Di bawah cahaya matahari sore musim gugur, rumah itu
terlihat mempesona. Arsitekturnya minimalis namun menimbulkan kesan mewah di
setiap sisi bangunan rumah. Halamannya yang sangat luas dipenuhi berbagai macam
tumbuhan dan bunga.
“Kau akan tinggal bersamaku dan Rue mulai hari ini.
Rue akan menjadi saudara perempuanmu. Umurnya setahun di atasmu,” kata Aldric.
Ia merangkul bahu Archie yang membuat Archie berjengit. Aldric paham kalau anak
itu masih belum terbiasa dengan sentuhan karena kekerasan yang diperoleh di
rumah angkat sebelumnya.
Tiba-tiba pintu terbuka dan seorang gadis dengan
rambut serta warna mata yang putih pucat menyambut mereka. Archie menatap anak
perempuan itu dengan sedikit rasa penasaran karena mata gadis itu sangat pucat.
Rue tersenyum lebar pada abangnya lalu ia tersenyum
pada Archie. “Kau yang bernama Archie ya?” sapa Rue. “Namaku Aruena, tapi
panggil aku Rue.”
Archie mengangguk singkat. Gadis itu jauh lebih
tinggi darinya. Ia masih memperhatikan warna mata Rue yang begitu pucat seolah
tak ada pigmen di irisnya. Rasanya tidak buruk ketika bukan hanya dirinya yang
memiliki warna mata yang tidak wajar. Lantas Archie memasuki rumah barunya yang
terkesan hangat.
Rue membalas tatapan mata Archie. Ia terpana melihat
mata heterokromia milik Archie. “Bagaimana matamu bisa berbeda warna?” tanya
Rue dengan polos—tak mampu membendung rasa penasarannya.
“Dia punya mata heterokromia,” jelas Aldric menjawab
pertanyaan Rue.
“Your eyes are
so beautiful,” kata Rue pada Archie. Ia tak dapat menahan perasaan kagumnya
karena baru kali itu ia bertemu dengan seseorang bermata heterokromia.
“Sebentar ya. Aku akan memasak makan siang untuk
kita bertiga,” kata Aldric seraya melepas jaket yang ia kenakan dan berjalan
menuju dapur.
“Dia akan sekelas denganku kan di sekolah?” tanya
Rue seraya berjalan mengikuti Aldric. Archie mengekori kedua saudara barunya.
“Archie belum pernah sekolah sebelumnya, jadi
mungkin untuk beberapa waktu dia akan homeschooling
dulu,” jelas Aldric dengan suara lembutnya.
Rue langsung menoleh pada Archie. Ia memandang
Archie dengan sedikit kecewa karena belum bisa langsung berangkat sekolah
dengan adik barunya. Ia sangat rindu dengan perasaan itu. Perasaan saat ia tak perlu pergi ke sekolah sendirian karena ia punya
adik laki-lakinya yang akan dilindunginya.
“Dia akan sekelas denganmu saat SMA nanti,” kata
Aldric pada Rue.
Rue pun langsung tersenyum sumringah pada Archie.
Mulai hari ini, mereka akan menjadi bertiga untuk selamanya. Mereka akan saling
menjaga dan melindungi.
Dengan mudah, Rue menyesuaikan diri menjadi seorang
kakak perempuan untuk Archie. Semakin mengenal Archie yang pendiam, ia semakin
sayang pada anak itu.
Sementara itu, Archie perlahan mulai memahami kalau
kedua orang tua Rue dan Aldric sudah tiada. Rue pernah menunjukkan foto Mr dan Mrs Emerson padanya.
Sorot mata Rue tampak sangat berduka ketika menunjukkan foto Papa dan Mamanya.
Archie memperhatikan wajah Rue yang sedu sementara nada suaranya terdengar
ceria ketika menceritakan masa-masa ketika kedua orang tuanya masih ada. Ia
juga memahami kalau keluarga Emerson pernah memiliki seorang putra bungsu yang
meninggal saat usianya 8 tahun. Usianya terpaut setahun di bawah Rue. Rue
sangat jarang membicarakan adiknya yang sudah meninggal itu.
Perasaan sedih itu membuat Archie entah kenapa ikut
merasakan apa yang dirasakan oleh Rue.
Akan tetapi, Rue tidak pernah benar-benar berlarut
dalam kesedihannya. Ia akan tersenyum lagi pada Archie lalu mengajaknya
mengobrol, menonton TV di ruang tengah, makan bersama di rumah, membuat kue
yang gagal, mengajak Archie bertengkar (meskipun Archie tak banyak merespons)
dan semua hal yang dilakukan kakak-adik pada umumnya.
Perlahan Archie mulai bisa tersenyum meskipun ia tak
akan pernah melupakan masa-masa ketika ia menjadi suruhan atau buangan yang
dianggap kutukan oleh siapapun yang menemukannya.
**
2012
Sore
itu mereka berdua berjalan di tengah hutan pohon pinus. Archie berjalan
mengikuti Rue yang sangat yakin dengan rute yang ditempuhnya. Mereka bersama
Aldric sedang camping di salah satu
area perkemahan yang ada di sekitar hutan nasional.
Sementara Aldric menyiapkan tenda, makanan, dan
menikmati waktu sendirinya dengan membaca buku, Rue dan Archie berjalan di
sekitar area hutan yang masih aman.
Rue berhenti sejenak untuk memutuskan akan belok ke
kanan atau kiri saat menemukan persimpangan. Ia memakai topi lebar, jaket, dan dress santai bercorak bunga lily.
“Belok ke kiri,” gumam Rue sambil melihat ke arah
petanya.
Archie tak banyak komentar. Ia mengikuti Rue sampai
akhirnya mereka sampai di tanah lapang berumput yang tak terlalu luas namun
sangat indah.
“Tempat ini yang mau kutunjukkan padamu,” kata Rue
dengan ceria seraya berjalan dengan semangat ke bawah salah satu pohon. Lalu ia
merebahkan diri di atas rumput yang beraroma heather. Ia bangun sejenak untuk mengajak Archie telentang di
sebelahnya.
Archie pun mengambil posisi di dekat Rue. Setahun
semenjak tinggal di keluarga Emerson, ia sudah tampak jauh lebih baik. Rambut
coklatnya nya masih berantakan tapi lebih terawat. Tubuhnya sudah tidak kurus
mengkhawatirkan seperti waktu pertama kali Aldric menemukannya.
Mereka terlentang selama beberapa saat, menikmati
cahaya matahari sore, aroma bunga dan heather,
dan melihat kupu-kupu yang terbang di sekeliling mereka.
“Archie?”
“Ya,” sahut Archie pelan. Suaranya masih kecil dan
ia seolah masih ragu untuk menggunakan suaranya.
“Bagaimana homeschoolingmu?”
“Hmm baik.”
“Tidak bosan? Kau tidak punya teman selain aku dan
Aldric.”
“Kadang ada komunitas sesama anak homeschool, tapi tidak menarik.”
Rue terpana sedikit karena itu salah satu kalimat
terpanjang yang pernah diutarakan oleh Archie. “Ini tahun terakhirmu homeschool kan?”
“Ya.”
“Kau harus tahu rasanya sekolah yang sungguhan.”
Hening.
Hanya terdengar suara angin meniup rerumputan dan
suara burung berkicau.
“Archie, seperti
apa kehidupanmu sebelum penculikan itu?” tanya Rue
tiba-tiba—memecahkan keheningan di antara mereka berdua. Ia selalu penasaran
pada masa lalu Archie tapi baik Aldric maupun Archie ternyata enggan menjawab
pertanyaannya.
Archie hanya diam selama bermenit-menit lamanya
sampai membuat Rue penasaran apakah anak itu sedang tertidur. Ia pun berguling dan menatap Archie yang
sedang terlentang di sampingnya. Mata anak itu terpejam rapat membuat Rue tak
bisa melihat kedua mata heterokromianya. Anak itu bernapas pelan dan sangat
tenang. Ternyata dia tertidur. Rue
memperhatikan adiknya yang terlelap selama beberapa saat, lalu kemudian ia
kembali terlentang.
“Baiklah… Masa lalu bukan untuk dibongkar,” gumam
Rue pelan. Untuk sementara, ia hanya mau mengabadikan moment hening itu di
dalam benaknya. Ia yakin mereka bertiga akan menjadi keluarga selamanya.
“Thank you, Archie,” gumam Rue tiba-tiba
tanpa mengetahui bahwa Archie sebenarnya mendengar setiap ucapannya. “Kau
mengisi rumah kami yang awalnya kosong.”
Namun, Rue tak pernah tahu apa yang benar-bener
tersembunyi di balik wajah polos Archie. Tak akan pernah tahu badai kekalutan
apa yang terus-menerus konstan di dalam kepala Archie. Tak akan pernah tahu
jika Archie terkadang melihat hal yang tak seharusnya ada. Tak akan pernah tahu
suara terdistorsi yang seringkali muncul di benak Archie.
**
3 tahun kemudian
2015
Sore
itu, serpihan salju mulai turun. Langit tampak putih pucat dan kelabu.
Pohon-pohon tak berdaun yang menghiasi pinggir jalan berderak ketika tertiup
angin musim dingin. Ornamen natal mulai dipajang di setiap etalase toko yang
berada di sepanjang jalan itu.
Mobil Mercedes-Benz AMG G 63 milik Aldric Emerson
melaju dengan lancar di jalan raya menuju rumah mereka yang berada di pinggiran
kota—cukup jauh dari pusat keramaian. Kota tempat mereka tinggal pun bukan kota
besar, hanya kota kecil yang berada di negara bagian Oregon. Kota itu
dikelilingi oleh hutan pinus nasional dan lokasi rumah mereka berada di sekitar
area itu. Rumah mereka cukup lampau dari sekolah sehingga Aldric biasanya
mengantar-jemput kedua adiknya jika kebetulan jam pulang kerjanya bertepatan dengan
jam pulang mereka.
Seperti biasa Aldric yang menyetir. Jika Aldric
tidak bisa menjemput mereka karena kesibukannya sebagai psikiater di rumah
sakit, biasanya Archie membawa mobil miliknya sendiri yang dihadiahkan Aldric
saat umurnya 15 tahun. Mobilnya tidak sebagus punya Aldric tapi ia sudah sangat
senang (sebuah perasaan baru yang dipelajarinya selama tinggal bersama mereka).
Ia sendiri tidak akan masalah jika ia diberikan mobil pick up, tapi Aldric memberinya mobil sedan civic berwarna silver.
“Archie, is
there anything wrong?” tanya Aldric seraya menoleh sekilas pada Archie yang
duduk di sampingnya. Archie duduk di jok penumpang yang ada di samping Aldric sementara
Rue duduk di jok belakang.
Archie sudah duduk di bangku SMA sekarang dan
setingkat dengan Rue. Selama homeschooling,
ternyata ia belajar dengan sangat cepat dan mampu mengejar ketinggalannya di
akademik. Otaknya sangat encer terutama di pelajaran kimia sehingga ia
mengambil kelas AP Chemistry di sekolah.
Anak itu tidak menjawab. Wajahnya tampak lebih pucat
dari biasanya. Ia hanya menatap keluar jendela sambil menyenderkan kepalanya ke
kaca jendela yang dingin.
“Dia baru saja masuk ruang detensi,” jawab Rue
mewakili Archie.
“Oh ya?”
“Bukan masalah besar,” kata Archie pelan. Meskipun
sudah enam tahun berlalu semenjak ia harus bertahan hidup dengan berpura-pura
bisu, ia masih sering terbawa kebiasaan lamanya. Ia lebih suka mulutnya bungkam
daripada bicara.
“Dia meninju seseorang di kafetaria sekolah,” kata
Rue berkata lagi dengan nada iseng. “Tapi cowok yang ditinjunya pantas mendapat
tinjuan dari Archie. He is a jerk and a
bully.”
Aldric tampak tidak bangga dengan cerita itu, tetapi
ia tidak langsung menjudge perbuatan
adiknya. “Archie, lain kali jangan terlalu sering terbawa emosimu,” nasihat
Aldric. Ia kini sudah berusia 34 tahun dan tampak jauh lebih matang. Rambut
hitamnya yang gondrong sudah melebihi bawah telinganya dan diikat asal. Ia suka
dengan rambut panjangnya.
Bukan sekali-dua kali Aldric mendengar Rue
mengadukan Archie yang masuk ruang detensi saat mereka di mobil bersama.
Sekolah mereka adalah sekolah swasta elit yang
peraturannya cukup ketat. Tidak seperti sekolah publik pada umumnya, mereka
juga harus memakai seragam sekolah yang sudah terjadwal.
“Aku tahu,” balas Archie singkat. Ia ingin cepat
sampai di rumah dan tidur. Akhir-akhir ini ia mengalami insomnia parah. Ia
tidak bisa tidur dan jika ia tidur, mimpi buruk selalu menghantuinya.
“Nanti malam kita jadi makan malam bersama Eve?”
tanya Rue pada Aldric. Ia sudah menyiapkan dress
cantik untuk makan malam nanti. Ia sangat sumringah ketika mendengar kakak
sulungnya bertunangan dengan seorang perempuan cantik yang anggun. Evelyn atau
biasa dipanggil Eve adalah tunangan Aldric. Mereka sudah memutuskan akan
menikah di bulan Februari tahun berikutnya.
“Tentu saja,” kata Aldric. Dia memang sudah
reservasi meja di salah satu restoran mahal yang ada di kota. Restoran itu dulu
juga menjadi tempat langganan orang tua mereka untuk makan malam keluarga.
“Kalian harus sudah siap pukul tujuh, okay?” Lalu ia menoleh pada Archie. Lalu
ia iseng menyentuh dahi anak itu untuk mengecek suhu tubuhnya.
Archie langsung berjengit karena ia masih tidak suka
disentuh. “Aku tidak apa-apa.”
Ternyata tubuh anak itu terasa panas. Aldric mulai
cemas. Ia mempertimbangkan untuk mengganti hari janjiannya dengan Evelyn, tapi
di lain sisi, dia tidak mau mengecewakan tunangannya. “Bagaimana kalau kau
istirahat saja malam ini?”
“I’m good.
Aku akan ikut,” kata Archie.
“Kenapa?” tanya Rue. “Archie sakit? Kalau begitu,
aku akan jaga rumah menemani Archie.”
“Atau lebih baik aku ganti harinya…”
“Eve pasti sudah menantikan hari ini,” kata Archie.
“Kalian pergi saja tanpaku.”
“Aku baru ingat ada essay yang harus dikumpulkan malam ini. Kurasa aku juga tidak bisa
ikut,” kata Rue tiba-tiba. “Sorry, Aldric.
Malam ini kalian terpaksa harus date berdua
saja.”
Aldric tak menyangka kalau kedua adiknya akan
berubah pikiran karena ia tahu Rue sudah merencanakan gaun cantik yang
dibelinya di butik minggu lalu. Tapi ia pikir akan lebih aman jika Archie
ditemani Rue di rumah. “Baiklah, kami tidak akan lama. Aku akan segera kembali
sebelum jam 9.”
**
Rue
tampak sedikit kecewa malam itu karena sudah lama keluarga mereka tidak
melakukan ritual makan malam keluarga. Ia merasa jika ia tetap datang bersama
Aldric, suasananya akan rumpang. Ia merasa tidak lengkap tanpa Archie. Sudah
cukup selama 1- tahun hidupnya, ia merasa begitu hampa dan kosong tanpa orang
tuanya hingga terkadang ia merasa seperti cangkang yang kosong.
Namun, kehadiran Archie membuat hatinya terisi lagi.
Soal tugas essay,
Rue tidak benar-benar berbohong. Malam ini adalah deadline untuk mengumpulkan essay
melalui email ke guru. Ia sudah
mencicil tugasnya dan hanya perlu waktu sedikit untuk menyempurnakan tulisannya
sebelum submit tugas.
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam ketika
ia selesai mengirim email. Aldric
belum juga pulang. Ia pun beranjak dari meja belajarnya dan berjalan keluar
dari kamarnya. Suasana rumah malam itu terasa gelap. Setiap ruangan besar dan
luas terasa lebih hampa daripada biasanya.
Rue pun berjalan ke kamar Archie yang berada di
lantai dua. Ia mengetuk pintu kamar adiknya pelan. Rue butuh seseorang untuk
diajak berbicara karena ia khawatir Aldric belum pulang. Ia heran mengapa lampu
di luar kamar Archie dimatikan semua begitu pula kamar Archie. Ternyata kamar
Archie tidak terkunci. Kamar bernuansa warna abu-abu itu hanya diterangi oleh
lampu membaca yang ada di meja samping tempat tidur.
Ia pikir ia akan menemukan Archie sedang tertidur
dengan selimut tebal menyelubungi dirinya. Namun, tempat tidur itu kosong.
Tidak ada siapapun di atasnya.
“Archie???” panggil Rue sambil melangkah masuk ke
dalam kamar yang gelap.
Hening.
Lalu tiba-tiba ada seseorang berjalan dengan senyap
dari belakang. Sebilah pisau kecil yang tipis menembus kulit punggung gadis
itu. Pisau itu mengenai tepat ke organ vitalnya yang berfungsi untuk memompa
darah ke seluruh tubuh. Cairan berwarna merah merembes di gaun tidurnya yang
berwarna putih.
“Kenapa?”
Napas terakhirnya menyelinap keluar dari bibirnya
dan gadis itu pun ambruk ke depan.
**
Archie
berdiri menatap sosok seseorang yang sudah tak bernyawa seolah dirinya tidak
ada di situ. Ia merasakan darah yang hangat di kulit tangannya. Kini ia sudah
jauh lebih tinggi dan kuat, namun ia masih merasa sama seperti dirinya
bertahun-tahun yang lalu.
Manik matanya seolah tak mengenali siapa sosok
dengan darah di gaun tidurnya. Segalanya tampak kabur di mata Archie. Napasnya
begitu stabil sampai ia mendengar kalimat itu lagi.
“Kerja bagus,
Archie.”
Archie terkesiap. Ia mendengar suara benda logam
jatuh berdentangan di atas lantai. Ia menatap Aldric yang tersenyum kepadanya
dengan raut wajah bangga. Namun, suara lembutnya membuat Archie mual karena
kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya mendesak keluar sesuatu dari
dalam dirinya yang sudah lama ia kubur.
“Kenapa kau menyuruhku membunuh lagi?” suara Archie
terdengar putus asa. Ia memungut benda tajam yang barusan jatuh dan
mengarahkannya pada Aldric yang berusaha mendekat. “Kenapa? Kenapa? Kenapa?”
Kini segalanya mulai jelas. Penglihatannya tak kabur
lagi. Ia bisa melihat siapa sosok berambut putih yang kini tergeletak dengan
darah merembes ke lantai marmer yang berwarna putih. Ia tak tahu apa yang terjadi.
Apa yang terjadi?
Kenapa dia
menyuruhku membunuh Rue?
Kenapa?
Lalu perasaan bersalah menyeruak dari dalam
pikirannya, menyebar ke seluruh tubuhnya, dan membuatnya ingin muntah saat itu
juga. Napasnya memburu. Ia ingin berteriak. Ia tak bisa menjadi air yang tenang
seperti biasanya.
Ia baru saja
membunuh Rue—seorang gadis berhati seperti malaikat.
Gadis itu pantas
mendapatkan adik laki-laki yang lebih baik.
“Kau hanya alat,
Archie. Apa yang kau harapkan?”
“Apa?”
Suara Aldric terdistorsi dengan suara-suara lainnya
yang Archie tidak tahu sumbernya.
“Sekarang bisa
membunuh untukku lagi?”
Archie menggelengkan kepalanya. Ia merasa sudah
cukup. Ia tak mau mendengar satu suruhan lagi. Ia mengacungkan ujung pisau yang
tajam itu. Ini akan menjadi terakhir kalinya. Ia bersumpah. Ini akan menjadi
yang terakhir.
**
Senyap.
Archie mendorong tubuh Aldric yang jatuh ke arahnya.
Ia tak menyangka semudah itu. Kenapa
semudah itu untuk mengakhiri segalanya? Ia melangkahi tubuh Aldric yang jatuh
tersungkur di depannya. Kenapa tidak ada perlawanan?
Lalu ia melangkah menjauhi Aldric dan Rue, sebelum
kesadaran total memenuhi dirinya lagi. Namun, suara lemah Aldric membuat
langkahnya terhenti.
“Archie.” Aldric berkata dengan susah payah. Ia
menahan rintihan. Tangan kanannya menahan darah yang mengalir keluar dari
perutnya. Darah itu merembes pakaian jasnya yang rapih dan membuatnya tampan.
Ia menatap Archie dengan matanya yang gelap seperti langit malam. Rambutnya
yang panjang tak diikat.
…
“Aku tahu kau pembunuh sebenarnya di kasus enam
tahun yang lalu.”
…
“Aku—” Aldric menarik napas dengan susah payah. “—menyelidiki
perilakumu selama enam tahun ini. Awalnya aku menyangkal bahwa kau yang
melakukannya. Kau membuatku luluh. Kau seperti adikku, Archie.”
Kini suara Aldric terdengar sejelas lonceng.
Berdentang-dentang dalam telinganya dan bergema dalam ruang hampa dalam
jiwanya.
“Tapi ada satu hal yang membuatku sadar kau adalah
pelaku sebenarnya di semua kasus perampokan dan pembunuhan yang melibatkanmu.”
Archie diam menunggu. Ia menatap Aldric tanpa
perasaan. Ia membendung apapun yang muncul di benaknya. Ia menahan napasnya. Ia
ingin berhenti bernapas. Pikirannya mulai kalut. Cahaya rembulan menerangi
kedua matanya yang berbeda warna. Ia tampak mematikan. Ia memang bisa
mematikan. Dia senjata ampuh kan?
“Saat aku bilang kalau kedua penculikmu mati di
selnya, kau sangat lega. Apalagi ketika polisi akhirnya menutup beberapa kasus
pembunuhan yang sudah kadaluarsa tanpa menemukan pelakunya.”
Aldric menarik napas dengan kepayahan lagi. Rintihan
lolos di suaranya.
“Kau pelakunya, Archie.”
…
Archie menatap mata Aldric yang balas menatapnya
tajam.
“Lalu kenapa kau tak membawaku ke polisi sebelum
ini?” tanya Archie dengan suara datar. Dingin. Sedingin warna iris mata
kanannya yang sebiru laut di musim dingin.
“Aku menyangkalnya, Archie. Kau seperti adikku yang
sudah mati. Tapi kau tak pantas bersamanya di surga. Kau tak waras.” Aldric
terbatuk. Laki-laki itu mengernyit menahan rasa nyeri luar biasa. Tatapan
tajamnya berubah menjadi tatapan yang hancur dan pedih. Ia sangat frustasi.
“Kenapa kau juga harus membunuh Rue? Kenapa tak cukup membunuhku saja?”
Archie tak menjawab.
“You’ll rot in
hell,” ucap Aldric penuh penekanan. “You’re
just a curse to anyone around you.”
Sesuatu tampak putus di kepala Archie. Seperti ada
yang menggunting tali di dalam pikirannya yang selama ini sudah rapuh dan
menahan seluruh kewarasannya. Ia pun berjalan mendekati Aldric yang duduk
dengan susah payah. Darah mengalir di dagu Aldric dan keluar dari torsonya.
“Alasannya adalah aku harus menuntaskan apa yang
telah kumulai, Aldric.” Suaranya terdengar sedingin salju yang turun di luar
sana. “Menjadi kutukan memang sudah takdirku.”
Archie melakukannya sekali lagi. Kali ini ia
menghunuskan pisau yang ada di genggaman tangannya dengan lebih akurat lagi.
Lalu ia melepas pisau itu secara paksa hingga darah mengalir deras dari dada
Aldric. Sekali namun cukup ampuh.
Archie berjongkok selama beberapa saat sampai ia
memastikan Aldric tak bernapas lagi.
Lantas ia berdiri perlahan.
…
Ia menggigit bibirnya ketika melihat dua orang yang
sudah menjadi keluarganya selama ini seolah mengucapkan kata selamat tinggal
yang tak pernah terucap.
Lalu ia berlari dari rumah itu—seperti yang
sudah dilakukannya berkali-kali di masa lalunya yang kelam. Ia berlari hanya
dengan jaket hoodie seadanya dan sweatpants yang ia kenakan untuk tidur,
sementara di luar salju turun dengan deras. Kaki telanjangnya menyentuh jalan
aspal yang dilapisi es. Ia terus berlari hingga setiap napasnya terasa perih.
Ia tak sanggup berada di dalam rumah keluarga
Emerson lebih lama lagi. Ia mulai menyadari sesuatu kalau ia tak benar-benar
melihat Rue saat menghunuskan pisaunya. Saat ia menyadarinya, air mata mengalir
di pipinya.
Ia tak melihat Rue. Ia hanya melihat sosok yang tak
dikenal yang harus dibunuhnya karena seseorang menyuruhnya. Ia tak tahu siapa
yang menyuruhnya.
Lalu ia tidak benar-benar berniat menghabisi Aldric
seperti itu. Tetapi, kalimat yang diucapkan Aldric membuatnya ingin berteriak.
Ia ingin terlepas dari segalanya. Ia ingin terlepas dari suara yang memenuhi
kepalanya. Ia kelewat lelah. Rasanya terlalu menyakitkan untuk menyaksikan Rue
yang terkapar tanpa nyawa.
Terlalu pedih ketika orang yang ia pikir sudah
menyelamatkannya ternyata pada akhirnya menghancurkannya juga.
Aku mungkin memang
kutukan, lantas kenapa? Aku pantas untuk dibuang?
Tapi aku tak
seharusnya membunuh Rue.
Perasaan bersalah menyeruak lagi dan membuatnya
muntah. Ia membuang apapun yang ada di dalam isi perutnya yang kosong. Ia
berhenti di pinggir jalan. Seluruh tubuhnya gemetar karena udara yang dingin
dan perasaan bersalah. Ia tak pernah ingin muntah setelah mencium aroma anyir
darah namun kali ini ia sangat mual ketika membayangkan Rue yang terkapar mati
akibat perbuatannya.
Ia telah berlari cukup jauh. Ia melihat ke
sekelilingnya. Ia berada di dekat area pemakaman. Ia mengelap mulutnya dengan
punggung tangannya. Uap putih menyeruak keluar dari mulutnya. Salju turun
semakin deras. Kakinya yang berlari tanpa alas kaki tampak membiru dan penuh
luka karena berjalan di atas jalan aspal yang berlapis es.
Ia ingin berlari lagi hingga tungkainya tak sanggup
bergerak lagi, namun tiba-tiba tangannya merogoh kantong hoodienya yang berisi sebuah pisau. Pisau itu masih bersimbah darah
kedua saudaranya. Ia hanya perlu melakukannya sekali lagi dan mengarahkannya tepat ke pembuluh arteri di organ
vitalnya.
Samar-samar ia mendengar suara sirine mobil polisi.
Aldric sepertinya menelepon polisi sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya.
“Segalanya akan usai.”
Ia memegang pisau itu dengan kokoh. Ia menarik napas
agar tangannya tak gemetar. Ia harus konsentrasi agar targetnya tepat. Cukup sekali lagi. Ia tak butuh tempat tujuan
lagi. Ia tak butuh penyelamat lagi yang pada akhirnya hanya akan mengutuknya.
Ia mengangkat kedua pisau itu dan mengayunkannya
tepat ke arah yang ia mau. Ia membungkam teriakan yang hampir meluncur keluar
dari bibirnya. Ia melakukannya sekali
lagi karena satu kali tidak cukup.
Lalu, berikutnya suara rubuh seseorang di atas
tumpukan salju. Suara sirine mobil polisi terdengar makin keras. Ia melepas
genggaman tangannya pada pisau tersebut.
Warna hitam pekat mulai merayapi indra
penglihatannya. Ia kesakitan dan menahannya.
Archie menatap butiran putih salju yang jatuh.
Langit hitam di atasnya terlihat tak terbatas, dingin, dan hampa. Ranting pohon
tanpa dedaunan tampak bergerak karena tertiup angin. Suhu yang rendah mulai
mematikan tubuhnya.
Sedetik kemudian, ia tenggelam dalam kehampaan. Kali
ini ia tak perlu merasakan apapun. Ia tak perlu mendengarkan suara-suara di
kepalanya lagi. Rasa bersalahnya akan terkubur bersamaan dengan salju putih
yang menumpuk di sudut sebuah pemakaman.
Matanya yang indah bagaikan permata menatap kosong
ke arah langit yang dingin mencekam.
-Finn-
0 comments