Solitude

Desember 11, 2023

 


Ia tersenyum, namun senyumannya hampa. 

Dalam diam, aku memperhatikannya yang tengah tersenyum menikmati pemandangan laut dari atas tebing. Aku mengamati langkah kakinya yang berjalan lincah di atas tebing seolah dia tidak takut jika jatuh ke karang-karang tajam di bawah sana.

Tubuh tinggiku berjalan agak canggung mengikuti langkahnya. Aku berjalan di samping kirinya yang tidak bersisian langsung dengan tebing yang curam.  Meskipun ada pagar pembatas yang terbuat dari kayu di sisi tebing, tetap saja aku merasa harus memperhatikan langkahku karena batu karang yang licin. Hujan baru saja berhenti.

“Jalanmu lambat, Shan,” kata Gianna yang sudah berjalan mendahuluiku. Baru beberapa detik yang lalu ia berada di sampingku. Sekarang ia sudah di depanku.

Gia—nama panggilan Gianna—menoleh ke belakang sembari memegang topi birunya erat-erat agar tidak lepas tertiup angin. Ia tersenyum geli melihat langkahku yang ekstra hati-hati karena takut tergelincir.

“Tebingnya licin tau,” balasku pura-pura kesal. Namun, aku tidak pernah kesal sungguhan kepadanya. Aku kira justru ia yang seringkali kesal denganku karena suka menjahilinya.

Kami terus berjalan menyusuri sisi tebing. Di ujung tebing ini ada area yang cukup lebar dan bisa untuk duduk. Aku tahu karena ini kedua kalinya aku mengunjungi tebing pantai yang terkenal dari daerah ini.

Tanpa terasa, sudah setahun aku tinggal di kota kecil ini. Awalnya, aku merasakan perubahan warna kehidupan yang sungguh kontras karena sebelumnya Mama dan aku tinggal di ibukota yang selalu hiruk-pikuk. Walau begitu, aku dengan mudah beradaptasi di sekolah baruku yang jumlah muridnya lebih sedikit dan pembelajarannya lebih konvensional.

 

Mungkin keputusan Mama untuk rehat dari pekerjaannya dan memboyongku ke sini bukan keputusan yang buruk.

“Shan, sebentar lagi kita sampai!” seru Gia.

“Sebentaaar!”

Waktu pertama kali datang ke kelas baruku, bangku kosong yang tersisa hanya bangku yang ada di sampingnya dan sejak saat itu Gia menjadi temanku. Aku sendiri tidak paham kenapa pada akhirnya kami menjadi teman mengingat karakter kami yang berbeda seratus delapan puluh derajat.

Gia lebih suka menyendiri di kelas meskipun sesekali ia terlihat bergabung dan mengobrol dengan teman-teman sekelas yang lain. Sedangkan, aku dengan mudah membaur di kelas yang sepenuhnya baru bagiku. Mungkin adaptasi memang salah satu keahlianku berhubung aku begitu sering pindah sekolah dan pindah rumah.

Namun, sebenarnya aku dan Gia hanya sebatas teman sebangku yang obrolannya cocok.

“Shan, cepaat!” Ia sudah sampai di ujung tebing yang menjadi tujuan kami.

Aku nyengir lebar seraya mempercepat langkahku.

Kenapa ya kami bisa cocok?

Mungkin karena tanpa disadari kami sebenarnya punya banyak kesamaan.

Angin kencang menerpa helai rambut kami sehingga membuat rambutku berantakan. Aroma laut yang khas memenuhi indra penciumanku. Dari atas tebing, langit tampak dekat. Warna langit terlihat sangat biru karena hujan baru selesai. Awan-awan putih di atas sana bergerak perlahan dan membiarkan sinar matahari menyinari laut yang biru.

Aku takjub pada pemandangan luas yang tak terbatas di hadapanku.

Kemudian, aku menoleh ke gadis gadis yang berada di sampingku. Gia memejamkan matanya. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai di punggungnya. Ia tampak damai saat memejamkan mata. Penampilannya tampak jauh lebih manis saat memakai pakaian bebas (dengan seragam putih abu-abu pun, dia juga manis).

Sial. Aku memperhatikannya terlalu lama.

Ketika ia membuka matanya, aku mengalihkan pandanganku ke garis horizon laut.

“Ada apa tiba-tiba mengajakku ke sini?” tanyaku memecahkan keheningan. Sejak kami bertemu di area parkir, ia belum mengatakan alasannya mengajakku ke sini.

“Hmmm… enggak ada alasan. Aku hanya ingin mengajakmu ke sini,” jawab Gia. “Kamu belum pernah ke sini juga kan?”

“Udah,” balasku. Sebelumnya aku pernah ke tebing pantai ini bersama Mama. 

Diam-diam aku memperhatikan Gia yang sore ini memakai kaus crewneck lengan panjang berwarna biru muda dan celana jeans.

“Ada yang lagi kamu pikirkan?” tanyaku—mencoba menduga alasan sebenarnya ia ingin ke sini. Ia pernah bilang di salah satu obrolan kami saat pelajaran sejarah yang membosankan, kalau ia suka laut.

“Manusia itu kecil banget ya?” ucapnya seraya memandang cakrawala yang tak terbatas. “Tapi kenapa manusia selalu menganggap masalahnya sebesar dunia?”

Lantas, ia menoleh kepadaku seolah menuntut jawaban. Iris matanya yang berwarna hazel tampak semakin nyata di bawah terpaan sinar matahari sore. Lagi-lagi sorot matanya kosong dan senyumannya hampa.

“Mungkin karena manusia melihat masalahnya dari sudut pandangnya yang kecil,” jawabku pelan.

“Hmm, your answer makes sense.

Kami pun mendudukan diri di pinggir tebing. Aku mengawasinya karena khawatir gadis itu duduk terlalu ke pinggir. Aku duduk bersila sementara ia duduk dengan menjulurkan kakinya sampai kakinya tergantung di atas tebing.

God, why are you not afraid? This cliffside is probably 100 metres high.

Tanpa sadar, naluri protektifku membuatku meraih tangannya. “Kamu enggak takut jatuh?”

“Kalau aku jatuh. kamu bakal gimana?” tanyanya tanpa aba-aba.

Aku memandang sekilas ke karang-karang di bawah sana yang terlihat mengancam—ditambah ombak besar yang tanpa henti memecah bebatuan. Lalu, aku menatapnya dengan sorot serius. “Aku akan raih tanganmu supaya kamu enggak jatuh.” Tanpa sadar genggaman tanganku semakin erat.

Gia menatap tangan kami yang saling bertaut. Pipiku langsung memerah. Sial. Aku kelepasan menggenggam tangannya. Spontan, aku melepas tangannya dan mengacak rambutku yang sudah berantakan—salah tingkah.

Kali ini ia menatapku dengan sorot bertanya. Sorot matanya seolah berkata kenapa-kamu-salah-tingkah? Aaaah, apa dia tidak sadar kalau dirinya  sangat lucu?

Kami terdiam selama beberapa saat—hanya terdengar suara ombak yang memecah karang di bawah sana dan suara burung camar yang terbang berputar-putar di langit. Saat itu, suasana tebing pantai cukup sepi mungkin karena para wisatawan enggan mengunjungi tebing yang berbahaya saat matahari akan tenggelam.

Sorry aku nanya aneh-aneh,” kata Gia memecahkan kesunyian di antara kami.

“Kadang aku juga suka punya pertanyaan seperti itu kok.”

Ia melihatku dengan heran. “Oh ya?”

“Yeah, pertanyaan seperti kalau aku jatuh, apakah akan ada yang menyelamatkanku? Atau kalau aku lenyap, apakah akan ada yang mencariku?” kataku ringan sambil mengangkat bahu.

“Aku enggak percaya seorang Shankara pernah berpikiran seperti itu,” ucapnya dengan penuh sangsi.

Aku menekuk lututku dan mendekap kedua kakiku di depan dada. Lantas aku memiringkan kepalaku agar aku bisa menatap Gia yang tidak pernah menyadari kalau dirinya memenuhi pikiranku akhir-akhir ini.

You have no idea about me, right? I can relate with you.”

“Soal?”

“Banyak hal,” jawabku. Perlahan senyumku pudar. “Sorry, Gia, but I saw the reason why you always wear a long-sleeve sweater or cardigan.

Mata Gia tampak melebar. Refleks ia memegang pergelangan tangan kanannya yang tertutupi lengan panjang kausnya. Sorot matanya tampak meredup. “Can you pretend you haven’t seen my scars?”

Aku mengangguk samar. “Sure.”

“And what about you? Kamu jelas enggak seperti diriku. Sometimes I feel like I don’t deserve any happiness. I don’t I deserve life. You definitely deserve—

I like you.”

Sial. Sial. Sial. Wajahku terasa panas. Did I just accidentally confess to her? “Gia, you deserve happiness. You deserve anything you want in your life. You’re never aware of yourself but you’re like the brightest person in my eyes.”

Gia menatap mata hitamku. Ia masih terdiam.

I love you, Gia… You’re the first person that made me feel this way.”

Aku menggigit lidahku karena enggan mengatakan hal ini. “Soal bekas luka di tanganmu dan kenapa aku bisa memahami perasaanmu… mungkin kamu enggak percaya kalau aku juga pernah menyakiti diriku sendiri sebelum aku datang ke sini. Aku pernah sengaja menabrakkan mobilku sendiri ke pembatas jalan. I regret it afterward.”

“Kamu… serius?”

Aku mengangguk seraya menunjukkan bekas luka di sepanjang tangan kiriku yang sudah semakin pudar.

Angin kencang bertiup di antara kami. Meskipun ombak jauh di bawah kami, tapi entah kenapa aku bisa merasakan cipratan air asin di bibirku.

You make me realize that I want to give you happiness.

Ia menatapku lalu menatap ke laut yang luas. “Kehadiranmu sangat berarti untukku,” ucapnya pelan. “But, can you give me time to process this?” Pipinya tampak merona. Ia tak tersenyum, namun kedua manik mata hazelnya tampak berpendar.

Aku mengangguk. “Take your time. I’ll wait.” Aku akan menunggu apapun jawabannya.

Anyway thank you… for coming here with me.” Kali ini ia tersenyum kecil.

Dan untuk pertama kalinya, ia yang menggenggam tanganku. Kami menghabiskan sore itu di atas tebing dalam obrolan kecil kami yang tidak penting. Semburat cahaya oranye dan warna biru laut menjadi saksi kami saling berbagi waktu. 


——

 

Namun, bangku sebelahku selalu kosong setelah hari itu.  

 

——

 

Pada hari Jumathari kelima ia absent—seorang guru menyampaikan berita kalau Gianna harus pindah sekolah tanpa mengucapkan perpisahan pada teman-teman sekelasnya. Kejadian pindahnya sangat cepat dan ia tidak bisa menyempatkan waktu untuk berpamitan dengan teman sekelasnya.

Aneh.

Aku mencoba mengirimkan pesan singkat dan menghubungi nomornya. Hasilnya nihil. Pesannya tidak pernah terbaca. Teleponnya tidak pernah diangkat. Ia seolah menghilang ditelan bumi. Aku berusaha mencari tahu pada guru-guru tapi mereka tidak memberitahu kemana pindahnya gadis itu ataupun alasan kepindahannya. Semuanya serba dirahasiakan.

Apa yang terjadi?

What the fuck just happened?

Tapihari Minggu—tepat seminggu setelah pengakuanku, aku menemukannya berdiri di pantai saat hujan. Aku sendiri tidak tahu apa yang membawaku ke pantai di saat hujan. Yang kuingat dari sore itu hanyalah pikiranku sangat penat.

Aku menemukannya berdiri menatap ke laut dengan payung berwarna hitam di genggamannya. Ketika aku memanggil namanya, ia menoleh ke arahku dengan canggung dan tampak tak menduga aku akan menemukannya di sana. Ia seolah tak ingin ditemukan.

“Gia?”

Aku berlari menghampirinya. Sinar matanya jauh lebih redup daripada pertama kali aku bertemu dengannya.

“Maaf, Shan. You must be waiting for my answer, right?” tanyanya to the point.

“Bukan itu. Kenapa kamu tiba-tiba pindah di penghujung SMA? We’re in our senior year right?

“Papaku menyuruhku pindah ke kotanya dalam waktu singkat and I’m forced to leave my mom here,” ucapnya dengan nada datar. Ia terlihat jelas sedang susah payah menutupi emosinya dan menahannya agar tak keluar. Tetapi air mata di matanya tak bisa berbohong. Ia menggigit bibirnya. “Sorry, my situation is kinda hard to explain.”

Lalu ia menghela napas panjang dan berdiri menghadap penuh ke arahku. “Shankara, I have the same feelings for you. I like you. I fell for you since you came last year. But I can’t stay… I have to leave.”

“Aku paham, aku hanya mau mengutarakan perasaanku saja waktu itu,” ujarku.

Aku mulai memahami sesuatu.

Kami berdiri cukup lama. Atmosfer eheningan yang pekat menyelimuti kami. Kalimat-kalimat yang tak bisa kami ucapkan seolah membuat waktu berhenti.

Aku mau waktu berhenti.

Aku ingin kami punya waktu untuk menjadi teman sebangku lagi bahkan meskipun itu berarti kami jadi teman sebangku untuk lima bulan lagi karena kami sudah berada di penghujung masa SMA.

Maybe… we could be lovers but not at this time.” 

Perlahan aku tersenyum. “It’s totally fine." Apakah aku berbohong? "Someday, I’ll found you again.”

Meskipun terdengar suara ombak yang bergemuruh dan hujan yang mengguyur payung kami, kami seolah tenggelam dalam kesunyian dan kesendirian kami. Pada momen itu, aku tahu bahwa aku harus kehilangan dirinya untuk jangka waktu yang tak ditentukan. It was early December dan sebentar lagi hari ulang tahunku. Dia tiak tahu kalau dia sudah memberikan hadiah bittersweet yang akan kuingat di tahun-tahun mendatang. 

Apakah aku akan menemukannya lagi?

Good bye, Shan.” Ia tersenyum lembut kala mengucapkan kata itu karena hari itu merupakan hari terakhirnya berada di tempat yang sama denganku.

Aku membalas senyumannya. Is this the curse of confessing my feelings? But the good bye doesn’t mean my feelings toward her are over.

 

finn


p.s.

The character "Shankara" is inspired by Soobin txt.
The cliffside is inspired by Apparalang beach, South Sulawesi, and the small town they lived were inspired by Bulukumba regency. 


You Might Also Like

0 comments