Dissolve [2/2]

November 26, 2023

 Part 2

2015

Suasana stasiun commuter line kala itu sedang tidak terlalu ramai. Mungkin karena belum memasuki rush hour. Atau mungkin karena orang-orang masih berada di ruang kerja mereka.

Azel dan Kara berniat untuk pergi berkeliling kota dengan kereta di waktu senggang mereka. Hari itu kebetulan mereka tak ada kelas. Sebenarnya tujuan mereka sederhana saja. Mereka hanya ingin melepas diri dari rutinitas mereka.

Meskipun suasana sedang terlalu ramai, Azel yang berjalan sambil membuka-buka tas selempangnya untuk mencari sesuatu membuatnya menabrak punggung seseorang. Aroma parfum yang lembut dan pelembut pakaian langsung memenuhi indra penciumannya.

Ia langsung buru-buru meminta maaf. “Sorry—”

Saat ia melihat sekilas siapa yang ditabraknya, ia menyadari kalau wajahnya sangat familiar. Kedua manik mata berwarna hitam itu menatapnya datar. Helaian rambutnya yang berwarna hitam selalu tampak hampir menutupi matanya. Seperti biasa, ia selalu memakai pakaian serba hitam. Ia memakai jaket, kemeja, dan jeans berwarna senada. Kulitnya putih pucat dan ia selalu terlihat dingin.

Azel selalu melihatnya di perpustakaan di pagi hari. “Kau yang selalu ada di perpustakaan kampus kan?” tanya Azel. Ia tak tahu siapa namanya. Dari jurusan apa? Dari fakultas apa?

“Iya.” Ternyata pemuda itu juga mengingat Azel. Azel memang cukup mudah diingat. Wajahnya mungil. Rambutnya yang sebahu dicat warna ginger. Matanya menatapnya hangat.

“Lagi kelas kosong juga?” Azel mencoba berbasa-basi.

Namun Kara memanggilnya dan menarik tangannya. “Azel, ayo cepat kereta kita tiba!”

Terdengar suara kereta yang akan mereka naiki telah tiba di peron. Kara menggenggam tangannya supaya Azel tidak hilang. “Kenapa tadi belinya lama sekali? Kupikir kau hilang!”

Azel mengikuti langkah Kara yang cepat sementara dirinya menoleh sekali lagi ke belakang.

Cowok itu balas menatapnya.

Keesokan paginya saat Azel pergi ke perpustakaan untuk memulai hari dengan mengerjakan tugas, ia tersadar kalau ID cardnya hilang dari tas selempangnya. Ia baru menyadari saat melihat slot yang kosong dari dompet kartunya. Slot itu seharusnya diisi dengan kartu identitasnya.

Ia panik karena kartu itu penting.

“Mencari ini?”

Seseorang menyodorkan kartu identitasnya di atas mejanya. Azel langsung mendongak untuk melihat siapa yang menyelamatkan harinya. “Syukurlah, terima kasih banyak. Dari mana kau temukan ini?”

“Kemarin kau menjatuhkannya tanpa sadar.”

Lagi-lagi cowok itu. Pagi ini ia memakai outfit yang berbeda dari yang kemarin namun tetap berwarna hitam. Ia memakai t-shirt dengan kemeja sebagai luarannya.

Setelah mengembalikan kartu itu, cowok itu langsung berbalik.

Wait, siapa namamu?”

Cowok itu menghentikan langkahnya. “Hugo.”

Saat itu di ruang baca perpustakaan hanya ada mereka berdua karena Azel suka menjadi pengunjung perpustakaan yang pertama. “Kau pasti sudah tahu namaku dari kartuku. Terima kasih, Hugo… Oh iya, kau dari jurusan mana?” tanyanya lagi karena pemuda itu seringkali membaca buku materi yang sama dengannya.

Namun Hugo hanya tersenyum samar. “Aku pergi dulu,” katanya seraya berlalu begitu saja tanpa menjawab pertanyaan Azel. Ia pergi keluar dari ruang baca itu. 

Komunikasi mereka terbatas pada anotasi di buku yang mereka baca. Beberapa kali Azel menemukan catatan yang diselipkannya pada buku pinjamannya dibalas oleh seseorang.  Azel memang sering menempelkan post-it kecil di buku yang dipinjamnya. Kadang ia menuliskan catatan dari dosen yang membahas buku itu atau pertanyaan tentang teori yang beli ia mengerti.

Namun, betapa aneh ketika ia melihat post-it berisi pertanyaan itu, dijawab oleh seseorang dengan tulisan yang miring ke kanan. Tulisan itu selalu menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang lugas. Ia berdiri dari kursinya lantas berlari ke rak buku untuk mencari buku berbeda yang pernah dipinjamnya. Ia langsung membuka halaman yang terselip catatan kecilnya yang berisi pertanyaan. Lagi-lagi pertanyaannya sudah terjawab.

Pikirannya entah mengapa langsung tertuju pada pemuda bernama Hugo karena ia pernah melihat sekilas Hugo yang membaca buku yang sama dengannya. Lalu suatu pagi, ia mendekati Hugo untuk memastikan kalau ia yang menulis catatan-catatan kecil itu juga dan Hugo mengangguk. “Ya, itu tulisanku.” Tapi percakapan mereka selalu berlangsung sebentar karena setelah itu Hugo akan pergi terburu-buru meninggalkan Azel yang masih berdiri di antara deretan rak-rak buku tinggi.

Nada suara Hugo yang datar dan tanpa ekspresi itu membuatnya merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakannya. Tanpa ia sadari, pipinya bersemu merah.

Beberapa waktu kemudian, Azel mengetahui kalau cowok itu bukan mahasiswa. Ia hanya pekerja part-time yang bekerja membersihkan area gedung perpustakaan. Ia tahu dari penjaga perpustakaan ketika ia berusaha mencari nama Hugo di daftar peminjam buku karena ia penasaran setengah mati apa jurusannya? Kelas apa yang ia ambil? Tapi tak ada nama Hugo di buku registrasi peminjam.

Lalu penjaga perpustakaan itu justru berkata kalau Hugo sebenarnya drop out dari SMA karena suatu kejadian. Sekarang usianya masih 17 tahun yang berarti setahun lebih muda dari Azel. Ibu penjaga perpustakaan itu mengatakan kalau ia mengenal keluarga Hugo dan meminta pengelola perpustakaan agar mau menerimanya bekerja part-time.

Azel terperangah. Ia tak menyangka Hugo seorang anak yang putus sekolah. He is so smart and he easily understand the hard topics in law related books. Azel memang mahasisiwi jurusan hukum dan ia seringkali membaca buku terkait hukum untuk referensi. Buku-buku itu juga yang dibaca oleh Hugo.

Percakapan singkat itu berkembang menjadi pertemuan yang lebih panjang sampai Azel mengetahui jadwal Hugo selesai bekerja part-time di perpustakaan.

“Azel, you like him right?” tanya Kara suatu waktu saat mereka makan malam bersama setelah kelas yang panjang. Tiga bulan terakhir ini, Azel sering menyebut nama Hugo meskipun ia terlihat berusaha keras menyembunyikan perasaannya. Ia tak mau terlihat sedang intoxicated by love di depan Kara.

Pipi Azel memerah. Waktu yang dihabiskan bersama Hugo selalu terasa sangat nyaman. Ia mengaguminya. Dan ia ingin melindunginya setelah tahu apa yang membuatnya drop out dari sekolah. Ia dijebak oleh seseorang yang membuatnya dituduh melakukan perbuatan kriminal. Ia terjerat hukum dan harus bertahan di penjara selama dua tahun.

“Dia sepertinya anak baik-baik. Dua hari yang lalu aku melihat kalian berdua di taman kampus. Lalu tadi pagi kalian mengobrol di perpustakaan sepanjang pagi,” kata Kara seraya menyuap sushi yang menjadi menu mereka malam itu.

Azel tersenyum misterius. Ia belum bisa menjelaskan secara gamblang bagaimana sosok Hugo pada Kara. Mungkin bukan saat ini. “Ah sudahlah, jangan bahas dia terus. Dia memang sesama avid reader like me.”

“Tunggu. Jangan-jangan kalian sudah… official?

Azel memandang keluar jendela yang ada di sampingnya. Ia melihat pohon-pohon yang mulai berwarna kecoklatan di luar sana seolah pemandangan itu lebih menarik. Ia duduk bertopang dagu dan tangannya menutup bibirnya. Terlihat jelas ia tengah menyembunyikan perasaanya.We actually had our first kiss last night and he confessed…

Kara meletakkan sumpitnya di atas piring kecilnya. “Whaat?

Suara Kara yang keras membuat orang-orang menoleh ke meja mereka.

“Sssshh…” Azel meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya. “Please don’t tell anyone, okay?” Itu pertama kalinya Azel menerima confess dari seseorang selama 18 tahun ia hidup di dunia. Ia tampak berseri-seri.

Kara hanya tersenyum seraya mengangguk.

2017

Sebentar lagi, matahari akan terbenam. Hugo menatap pemandangan langit sore di hadapannya dalam diam. Ia selalu menyukai langit di saat pergantian hari menjadi gelap. Tetapi entah kapan terakhir kali ia bisa menikmati sorenya tanpa harus bersepeda terburu-buru dari satu tempat ke tempat lainnya untuk bekerja part-time.

Dari tempat ini, ia bisa puas melihat warna-warna yang tergores di atas langit. Tempat ini merupakan pojok perpustakaan yang menjadi tempat favoritnya bersama Azel karena mempunyai jendela besar yang menghadap langsung ke area taman kampus.

Ia selalu menyukai momen-momen seperti ini. Saat ia tidak diburu-buru waktu dan bisa menghabiskan waktu bersama Azel. Mereka akan membicarakan banyak hal. Tentang hari-hari kuliah Azel. Tentang Azel yang selama ini hanya tinggal berdua dengan Mamanya. Tentang buku yang mereka baca. Tentang kekhawatiran mereka. Tentang segala hal.

Azel juga tahu soal Hugo dan kakak laki-lakinya yang ditinggalkan kedua orangtua mereka di rumah paman semenjak mereka kecil. Tentang ia dan kakaknya yang lebih sering harus bertahan hidup sendirian. Tentang kakaknya yang sejak tahun lalu masuk ruang rehabilitasi karena obat-obatan terlarang. Tentang hari–harinya yang biasa-biasa saja.

They share everything with each other.

Except one thing.

Hugo meletakkan buku yang sedang dipegangnya, lantas ia menyandarkan kepala di atas tangannya yang terlipat di meja. Ia memandangi Azel yang sedang mengerjakan tugasnya dan tanpa sadar tersenyum lembut karena gadis itu selalu terlihat cantik saat sedang serius mengerjakan sesuatu.

Lalu ia memejamkan matanya. Akhir-akhir ini ia sering kewalahan karena orang-orang asing sering muncul di depan rumah paman. Ia seringkali menyalahkan kakaknya yang terlibat dengan geng tidak jelas dan terjerumus obat-obatan terlarang. Sementara ia susah payah menjaga pikirannya tetap waras dan bekerja dari pekerjaan yang satu ke yang lain karena dana bantuan untuk dirinya dan kakaknya lebih banyak digunakan kakaknya untuk hal lain. Contohnya obat-obatan terlarang.

Azel mengalihkan perhatiannya dari laptopnya. Lantas ia melihat Hugo yang tengah memejamkan matanya. Hari itu Hugo lebih banyak diam. Seperti sesuatu yang membuat anak itu terus-terusan hilang dalam pikirannya. Namun saat memejamkan matanya, Hugo tampak tenang. Helai rambut menutupi dahinya. Azel pun mengacak-acak rambut hitam Hugo karena cowok itu tak pernah menyadari kalau dirinya sangat menggemaskan.

“Hey? Ada masalah?”

Hugo membuka matanya. Semburat cahaya sore menimpa matanya yang berwarna hitam. Walaupun berbagai warna menyinari iris matanya, sorotnya tetap terlihat gelap dan kosong. “Tidak ada,” jawabnya.

“Ada orang menyebalkan lagi di tempat kerjamu? Atau orang asing datang ke rumahmu?” tanya Azel. Seminggu yang lalu, wajah Hugo tampak penuh lebam karena ada seseorang dari geng kakaknya mendatangi rumahnya untuk meminta uang entah untuk apa. Waktu itu, Azel langsung mengantar Hugo ke sanatorium kampus untuk mengobati lukanya.

Hugo menggelengkan kepalanya. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Setelah lulus ujian persamaan SMA tahun lalu, ia ingin melanjutkan kuliah. Tapi biaya kuliah membuatnya mundur. Walau begitu, ia beruntung tetap bisa bekerja part-time di perpustakaan kampus ini dan ia bisa membaca diam-diam buku-buku yang ada di perpustakaan.

Hening.

Sore itu, tak ada pengunjung lain di perpustakaan karena hari itu adalah Sabtu. Hanya ada mereka berdua. Dalam keheningan, Azel menatap langit sore yang tampak berwarna merah muda, jingga, ungu, dan biru… Lalu ia bergumam pelan, “Every sunset always has different colours.”

Hugo setuju dengan kalimatnya. Setiap kali ia menatap langit sore saat sedang bersepeda untuk berangkat ke shift kerjanya, ia menyadari warna langit yang selalu berbeda setiap harinya. Meskipun sekilas warna langit sore tampak identik, detailnya tetap berbeda. Seperti sidik jari manusia di muka bumi ini. “And everyone has different nature,” lanjutnya mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.

You’re right.

Hugo ingin waktu bisa berhenti pada saat-saat seperti ini. Hanya ada mereka berdua. Langit sore yang membuatnya takjub. Keheningan yang membuat dirinya tenang. Tapi suatu pikiran impulsif timbul-tenggelam dalam benaknya. Ia merasa hubungan ini harus berakhir karena pada akhirnya tidak ada gunanya.

Ia tak punya masa depan. Ia tak punya apa pun. Semakin dipikirkan, semakin gamblang perbedaan di antara mereka dari segi materi, masa lalu, dan pandangan. Ia tidak tahu apakah ia punya kemampuan untuk mewujudkan mimpinya. Sementara, Azel sudah di tahun ketiga kuliah dan setahun lalu ia akan lulus dari kampus ini.

Walaupun Azel pernah mengatakan hidupnya tidak sempurna dan berantakan semenjak Papanya pergi meninggalkan keluarga kecilnya, Hugo merasa hidupnya jauh lebih kacau lagi. Dirinya tidak mungkin bisa diperbaiki. 

Sore itu, ia menggenggam tangan Azel yang hangat. “I am sorry, but getting to know you was pointless.

Kalimat itu seperti dentuman bom di telinga Azel. Ia langsung menatap Hugo dengan nanar. “What do you mean?” Ia berusaha mencari maksud perkataan cowok itu di balik manik matanya yang sewarna langit malam. Namun, Hugo balas menatapnya dengan getir, dingin, dan lelah.

Bukankah tadinya mereka baik-baik saja?

Forgive me. Tapi sejak awal, seharusnya kita tak pernah memulai.”

“Apa? Kenapa? Karena masa lalumu itu, Hugo? I don’t fucking care.”

Hugo tersenyum. “You can find someone better than me.” Lalu ia melepas genggamannya dari tangan Azel. “We can’t continue this game. It’s already over.

Padahal, sore itu Azel baru saja akan menyampaikan kabar kalau dirinya diterima untuk melakukan pertukaran pelajar dan mungkin akan membuat mereka tak bisa bertemu langsung selama setahun.

Namun ternyata belum sempat ia memberikan kabar itu, benang merah di antara mereka sudah terputus secara paksa.

Walau begitu, diam-diam ia terus menggenggam benang itu dan tidak berniat akan melepaskannya. 

2019

Ia yakin tidak ada usaha yang sia-sia dan tidak ada pertemuan yang tanpa makna. Setiap pertemuan selalu memberikan makna yang mungkin tak pernah kau sadari.

Dua tahun sudah berlalu. Setahun yang lalu ia kembali dari pertukaran pelajar dan tak pernah melihat Hugo lagi di perpustakaan. Ibu penjaga perpustakaan mengatakan kalau Hugo berhenti bekerja part-time.

Lalu ia pergi ke tempat yang dirahasiakan oleh Hugo selama mereka saling mengenal. Taman hiburan terbengkalai. Tiga tahun yang lalu ia pernah tak sengaja melewati taman hiburan yang sudah menjadi sarang hantu itu dan ia melihat Hugo berjalan ke arahnya.

Di kota mereka memang ada sebuah taman hiburan yang dulunya sangat ramai dan terkenal, namun bertahun-tahun yang lalu taman hiburan itu berhenti beroperasi selamanya dan menjadi terbengkalai.

Ketika ia berjalan menuju area restricted tersebut, ia hanya mendapati lahan kosong. Taman hiburan itu sudah dihancurkan sampai rata dengan tanah. Tak ada lagi roller coasternya yang berkarat. Tak ada lagi komedi putar yang kuda-kudanya terlepas dari tiangnya. Tak ada lagi sisa-sisa taman hiburan terbengkalai yang menjadi urban legend di kotanya.

Setelah wisuda tanpa kehadiran Hugo, ia kembali pergi karena ia diterima magang di perusahaan yang berada di state yang lain. Setahun berlalu dan ia kembali karena ia ditempatkan di cabang perusahaannya yang berada di state asalnya.

Memori dua tahun yang lalu masih sering terputar di kepalanya seperti kaset rusak. Ia mengingat dengan jelas bagaimana akhir pertemuan mereka. Bagaimana ia berjalan mengikuti Hugo keluar dari perpustakaan untuk menuntut penjelasan atau apapun. Tapi Hugo pergi menuruni tangga perpustakaan tanpa menoleh lagi ke arahnya. Seolah-olah mereka tak pernah saling mengenal.

She knew she could find someone else that could make perfect relationship. But there is no such thing as perfect relationship.

Pagi itu, Azel berdiri termenung di tempatnya berdiri saat ia menyadari siapa barista di cafe yang ia datangi. Pemuda itu masih tetap sama seperti dua tahun yang lalu, kecuali garis wajahnya yang tampak semakin tegas. Rambut hitamnya yang pendek tampak berantakan. Pakaiannya berwarna gelap, kecuali apron baristanya yang berwarna marun.

Hugo berdiri di balik meja kasir ketika menyadari kasir yang seharusnya ada di situ menghilang.

Mau pesan apa—” Ucapan Hugo terhenti di tengah jalan saat ia menunduk dan menyadari siapa yang sedang memesan kopi.

Setelah dua tahun tak bertemu, Azel menyadari kalau ia terlihat lebih tinggi dan lebih dewasa di usianya yang ke-21. Namun, sorot matanya masih sama—kosong dan kelam.

Tapi kemudian perhatiannya teralihkan karena mendengar rekan kerjanya berkata. “Jadwal shiftmu sudah selesai. Bukankah sebentar lagi kelasmu akan dimulai?”

“Aku tahu, tapi kau meninggalkan meja kasir!”

Azel mendengarkan percakapan Hugo dengan rekan kerjanya yang merupakan kasir cafe sederhana itu. Azel menyimpulkan kalau Hugo pada akhirnya bisa melanjutkan kuliah.

“Aku pesan satu latte panas,” ucap Azel tanpa menatap ke mata Hugo ketika perhatian Hugo kembali terarah kepadanya.

The same feeling is never gone.

Azel harus menyadari kalau saat itu mereka adalah dua orang asing yang seharusnya tak pernah bertemu sebelumnya. But how? How could I forget you?

Atas nama?” Hugo bertanya seraya memegang cup dan spidol di tangan kirinya. Ia memang bisa menulis dengan tangan kiri ataupun kanan.

Azalea,” jawab Azel.

Sebenarnya tanpa bertanya, Hugo masih mengingat dengan jelas nama perempuan di hadapan. Hatinya berdesir ketika melihat Azel yang masih tetap sama seperti dulu kecuali rambutnya yang kini sudah lebih panjang. The same feeling never left him.

“Kau kembali ke kota ini lagi, Azel,” ucap Hugo yang membuat Azel terhenyak dari lamunannya. 

Hugo tersenyum kecil. Senyum yang sama seperti yang ia sering ia lontarkan dua tahun yang lalu. Senyuman manis yang membuat aura dinginnya perlahan lumer.

Mungkin mereka memang ditakdirkan untuk tidak pernah menjadi orang asing. Azel merasa sedikit lega ketika Hugo ternyata tak bersikap getir kepadanya. Namun, ia teringat momen terakhir mereka saat matahari terbenam. Ia teringat perasaan kehilangan yang berlarut dalam dirinya setelah kejadian itu.

Tentu ia kembali. Ia selalu menepati janjinya.

Saat mereka berbicara satu sama lain lagi, perasaan itu muncul berulang. Everything seems like it begins again. But this time, they hold a small hope in their hearts. They hope they will not dissolve in the end.

finn

drop your comment below
https://curiouscat.live/revveries

You Might Also Like

0 comments