Ghost
November 19, 2023
Tidak seorang pun tahu kalau aku bisa melihat apa yang tak terlihat oleh mata manusia biasa. Bahkan kedua orang tuaku tidak tahu kemampuanku. Sejak kecil, aku memang sangat lihai menyembunyikan rahasia. Ah ya, ada satu yang mengetahui rahasiaku—saudara kembarku.
Berulang kali aku berusaha mempertahankan fokus pada perkataan profesor yang sedang mengomentari tulisanku yang kelak akan menjadi syarat agar aku bisa lulus dengan Bachelor of Arts in History degree. Namun, perhatianku tersedot pada sosok mengerikan di belakang profesorku. Sosok itu sepertinya hantu yang berasa dari abad renaissance karena wig putih dan pakaiannya yang terbuat dari beludru. Matanya berwarna merah dan mengeluarkan darah. Aku merasa mual.
“Miss Ivanka? You’re still here?”
Aku terperanjat. Kurang tidur berhari-hari benar-benar membuatku kehilangan fokus. Ditambah para hantu di sekitarku semakin sering bermunculan.
“Ya, saya dengar, Prof,” sahutku—padahal sebenarnya aku tak mendengar sejak kalimat tulisanmu kurang kritis dan terlalu bertele-tele.
Profesor wanita di hadapanku meletakkan kertas berisi tugas akhirku di atas meja. Ia membenarkan kacamatanya yang tebal lantas menatapku dengan prihatin. Sekilas dia mengingatkanku pada Professor McGonagall. “Berapa pekerjaan yang kamu lakukan sekarang?” tanya beliau tiba-tiba.
Aku mencoba menghitung di kepalaku. Asisten Researcher, waitress di restoran, penulis artikel freelance, penjaga perpustakaan di waktu weekend, dan kadang aku membantu temanku berjualan barang-barang thrift di tokonya. “Saya masih bisa mengatur jadwal saya. Saya juga yakin bisa menyelesaikan thesis saya di akhir semester ini,” ucapku penuh optimis meskipun jiwaku mengelak mentah-mentah.
“Metode penelitianmu sudah bagus, hanya saja penjelasanmu dalam poin penting hasil penelitianmu masih belum jelas,” kata Mrs. Davies yang sedikit membangkitkan diriku. “Saya tunggu progress revisinya minggu depan.”
Semangatku langsung runtuh. Aku tak mungkin bisa menyelesaikannya minggu depan.
“Tak perlu selesai di minggu depan. Cukup sampaikan apa kendalamu dalam merevisinya,” kata Mrs. Davies yang seperti bisa membaca pikiranku.
Seharusnya aku bisa bernapas sedikit lega, tapi mata hantu di belakang professor tiba-tiba jatuh dan membuatku ingin muntah saat itu juga. Aku berterima kasih lantas permisi cepat-cepat. Lalu aku berlari menyusuri selasar bangunan kampus yang bergaya Victoria era seperti orang yang kesetanan—tanpa mempedulikan dosen atau mahasiswa lain yang mungkin melihatku dengan heran.
Hari yang sial. Aku memecahkan piring saat mencuci piring di restoran dan upahku dipotong. Lalu Papa telepon kalau aku harus segera menyelesaikan studiku di semester ini dan seperti biasa aku dibandingkan dengan saudara kembarku sendiri.
Aku menghela napas panjang seraya membuka pintu flatku. Pukul 12 malam. Aku merebahkan diriku di atas sofa tua yang ada di dalam kamar flatku sambil memikirkan kejadian-kejadian hari ini.
Mereka tak tahu saat aku tak sengaja memecahkan piring, aku terkejut karena ada hantu perempuan yang sedang gantung diri tiba-tiba muncul di dapur. Lalu ketika Papa membandingkanku dengan Victor lagi, bukankah tidak adil? Dia waktu SMP dan SMA selalu masuk kelas akselerasi. Lalu, di kuliah, dia mengambil semester pendek dan lulus hanya dalam waktu 3,5 tahun. Kemudian langsung diterima di perusahaan bonafide.
Aku memejamkan mataku.
“I’m so tired.”
Lantas ketika membuka mataku, sosok itu muncul—membungkuk di atasku.
Aku tak kaget karena dia bukan sosok yang menyeramkan. Selama bukan hantu yang menyeramkan, aku tak akan terjengkang sampai memecahkan piring.
“Why?”
Matanya yang berwarna abu balas menatapku. Waktu pertama melihatnya, kupikir dia buta. Namun penglihatannya sejak ia hidup selalu normal. Dia bukan hantu dari masa lalu. Dia hantu yang meninggal beberapa tahun yang lalu. Seandainya ia masih hidup, ia pasti akan seumuran denganku. Namun, ia terjebak dalam tubuh usia 18 tahunnya.
“A lot of things happened,” jawabku pelan tanpa bergerak dari posisi telentangku.
“Hantu buruk rupa?”
“Itu juga.”
“Aku bisa mengusirnya untukmu.”
“Nanti kau menghilang,” jawabku. Kenapa aku takut hantu remaja ini menghilang?
“Aku tak akan hilang selama aku belum menemukan pelaku yang membunuhku dan keluargaku. Lalu apa?” ucapnya lagi dengan suara lembut.
Banyak. Bukan hari ini saja yang membuatku lelah. Tapi entah sejak kapan, aku merasa lelah. Apakah karena diriku yang selalu dibandingkan dengan Victor? Atau karena aku yang terus-menerus melihat hal yang tak seharusnya kulihat?
“Vanya,” panggilnya seraya menyentuh dahiku dengan jari telunjuk dinginnya yang rasanya bagaikan disentuh mayat. “Kau bukan seperti biasanya. You don’t seem like yourself.”
“I want to be a ghost, too,” bisikku.
Aiden—namanya Aiden—langsung mengerutkan keningnya. “You won’t like how it feel when your soul left your body.”
“My family won’t even care if my soul left my body.”
“I care.”
Tangannya yang dingin menggenggam tanganku. Namun entah kenapa justru menghangatkan hatiku. Aku ingin menangis. Meskipun punya keluarga yang utuh, aku tak pernah merasa dipedulikan seperti ini. Perhatian mereka selalu tersedot pada Victor. Selain keluarga, aku tak begitu pandai berteman atau menjalin hubungan. Pertemananku selalu berakhir dengan jarak karena aku tak mampu mempertahankannya. Hubunganku dengan cowok selalu kandas di tengah jalan.
It’s strange. Why do I find comfort from a ghost?
Aku masih telentang di atas sofa bututku yang berwarna hijau tua. Sementara ia berdiri di belakang sandaran sofa dengan tangan yang menggenggam tanganku.
Aku seperti mayat. Dia seperti manusia.
“Aiden,” panggilku pelan. Namanya yang berarti surga terdengar indah saat kuucapkan. Aku beranjak bangun perlahan. Lalu, aku menyenderkan pipiku pada sandaran sofa. Tangan kami masih bertaut. Aku memandang tangan kami yang masih bertaut di depan mataku. Warna kulitnya yang pucat membiru. Sementara warna kulitku yang putih susu.
“Perlukah mulai besok aku ikut denganmu ke kampus? I’ll protect you from ghosts.”
“Memangnya kau ini tameng hantu?” kataku—sedikit tersenyum geli mendengar kepercayaan dirinya. “Kau sendiri juga hantu.”
Mata abu-abunya menatapku intens. “Aku punya kemampuan itu. Sama sepertimu yang punya kemampuan melihat hantu. Aku juga punya kemampuan menghalau hantu,” jawabnya dengan serius. “Bahkan sejak aku hidup.”
Mau tak mau aku tertawa kecil. Tawarannya sangat menggoda. Sungguh menyenangkan ada seseorang yang bisa menjadi tempat bersender—meskipun dia sebenarnya bukan orang dan sudah mati.
“Hey jangan menangis,” ucapnya dan tiba-tiba ia sudah berpindah posisi duduk di atas sofa bututku.
Kami duduk berhadapan. Kakiku bersila. Kepalaku terkulai di atas sandaran sofa. Aku mengusap mataku dengan tanganku yang bebas. Aku sebenarnya sangat takut pada hantu-hantu yang menyeramkan. Namun, aku tak tahu harus bicara pada siapa. “Aku takut pada banyak hal. Ekspektasiku. Masa depan. Hantu jelek.”
“Ssssh…” Dia menenangkanku. “I am here. Jangan takutkan hal yang tak bisa kau kendalikan.” Dia mengucapkan sesuatu yang kuinginkan dari orang.
Seandainya dia hidup, dia pasti sangat menawan. Rambut brunettenya yang sedikit curly. Mata abu-abunya yang dalam. Hidungnya yang mancung sempurna. Personalitynya yang hangat dan lembut. Even as ghost, he is such a charming ghost.
Untuk sesaat aku melupakan masalahku.
Aku memejamkan mataku karena mataku mulai mengantuk.
“Thank you,” bisikku pelan.
“I should be the one who is grateful.”
Then, he kissed my hand with his cold kiss.
0 comments