At Least, We Celebrated
Juli 13, 2024𝐀𝐭 𝐋𝐞𝐚𝐬𝐭, 𝐖𝐞 𝐂𝐞𝐥𝐞𝐛𝐫𝐚𝐭𝐞𝐝
Hujan deras mengguyur pemakaman sore itu. Seorang anak perempuan dengan gaun vintage dan jas lusuh kebesaran penuh tambalan bergeming di antara dua buah batu nisan. Ia bergeming di tempatnya duduk. Mereka yang baru saja dikuburkan bukan bagian dari dirinya, tapi ia merasa seperti ada yang dicabut paksa dari dalam dirinya saat tanah mulai menghapus keberadaan mereka.
Gadis itu mendekap
tas kanvas yang selalu dibawanya pergi ke manapun. Isi tas itu adalah seluruh
dunianya yang tersisa—bunga kering, bunga layu, dan bunga yang mati. Rambut
coklatnya yang dikepang dua tampak lepek dan basah kuyup akibat terguyur hujan.
Entah sudah berapa lama hujan turun. Ia kehilangan jejak waktu. Lama. Sebentar.
Baginya sudah tidak berarti.
“Hari akan
gelap, seorang gadis tidak boleh berada di kuburan pada malam hari.”
Gadis itu
mendongak untuk melihat siapa yang baru saja menegurnya. Siapa yang baru saja
membuat waktu kembali bergulir? Sekarang, ia jadi tahu kalau waktu sudah mulai malam. “Memang
sekarang sudah berlalu satu hari?” tanyanya pada sosok yang tiba-tiba muncul di
hadapannya.
Sosok itu adalah seorang anak laki-laki dengan mata yang terbuat dari kancing.
“Kau sudah berdiam di sini selama seminggu,” jawab sosok menyeramkan itu dengan nada suaranya yang tengil. Dilihat dari wajah dan tingginya, mungkin dia masih usia remaja.
“Itu berarti… aku
sudah melewati enam malam di sini dan aku baik-baik saja. Kenapa sekarang
menyapaku?!”
Sosok itu
mengangkat bahu. Pakaiannya necis—tuxedo berwarna hitam dan celana bahan
berwarna senada, lengkap dengan dasi kupu-kupunya. “Aku bosan melihatmu tidak
berbuat apa-apa,” jawabnya. “Lagipula sekarang hujan. Kau bisa luruh jika
terus-terusan berada di bawah hujan.”
“Lalu?”
“Ceritamu akan
berakhir dan tidak ada kata ‘lalu’ lagi.” Anak laki-laki bertuxedo itu mengulurkan
tangannya yang berbalut sarung tangan putih pada gadis yang duduk bersimpuh di
hadapannya. Ia sedikit membungkuk dan berkata lembut, “Ikut aku. Kita akan
berteduh.”
Gadis itu terkesima, tapi ia tidak langsung menyambut uluran tangannya. “Kemana?” tanyanya seraya mendekap tas kanvasnya
semakin erat. “Tidak ada lagi tempat untukku.”
Lelaki itu menegakkan tubuhnya lagi. “Kata siapa?”
“Kata semua orang
di muka bumi ini.”
“Memang kau sudah
pernah keliling bumi?”
“Sudah… Bumiku kan
sebatas pekarangan rumah.”
“Bagaimana kalau
aku mengajakmu ke luar batas bumi?”
“Ke luar angkasa?”
Anak laki-laki itu menghela napas. Ia mulai tidak sabar dan ingin segera berteduh dari hujan deras. Ia paling benci kalau topi dan pakaiannya basah. Ditambah, ia melihat bayangan hitam raksasa sedang menunggu untuk menyantap makhluk seperti mereka. Mereka akan dimakan kalau terlalu lama berada di dekat pemakaman.
“Tidak ada waktu untuk menjelaskan.” Ia pun menarik paksa tangan sang perempuan dan berlari cepat menyusuri jalan setapak yang dikelilingi tanaman bunga lebat yang merunduk akibat hujan. “Jangan lihat ke belakang!” serunya berusaha mengalahkan suara hujan.
Gadis itu
merasa seperti terbang karena cepatnya anak laki-laki itu menyeret tangannya. Pemandangan di sekelilingnya menjadi kabur. Ia ingin
menoleh ke belakang—
“Kubilang,
jangan!”
Ia terkesiap. Bulu kuduknya merinding. Maka, ia mengurungkan niatnya untuk menolehkan kepala ke belakang. Sekarang ia hanya bisa membiarkan anak laki-laki itu membawanya pergi—keluar bumi yang dikenalnya dengan kecepatan seperti angin badai.
Apa yang ada di luar sana?
Ia mengamati sekelilingnya sekilas. Pepohonan rimbun, tanaman yang ia tidak tahu namanya, bunga beraneka warna, kemudian tampak sebuah rumah penuh dengan daun dan lumut di dindingnya. Jika tidak ada pintu, siapapun tak akan menyangka kalau itu adalah bangunan rumah. Rumah itu seolah berkamuflase dengan alam—penuh daun dan warna hijau.
Pintu utama rumah
terbuka saat mereka mendekat. Mereka langsung melesat masuk ke dalam rumah—terlindung
dari monster bayangan dan hujan lebat.
Anak laki-laki itu melepas tangan sang perempuan. Ia mengecek keadaan di luar melalui celah di pintu yang berfungsi untuk
menyelipkan surat. Sosok bayangan itu masih ada tapi sudah berhenti mengejar mereka. Ia memberi isyarat pada gadis itu untuk diam, sampai pada
akhirnya ia memberikan kode aman dengan jari jempolnya.
“Ada bayangan hitam di sekelilingmu tadi. Dia akan melenyapkanmu seperti abu kalau sampai bertatapan denganmu."
“Tapi… Kau sudah
menatapnya.”
“Mataku terbuat
dari kancing, tidak akan mempan padaku,” jawab anak laki-laki itu seraya
melepas topinya dan menggantungnya di gantungan baju. Kemudian, ia
menuju perapian yang berada di ruang tengah untuk menyalakan api. Tangannya
cekatan menyalakan sumbu api dengan korek untuk menghangatkan suhu dingin sore itu yang menusuk
kerangka. “Aku belum tahu siapa namamu.”
“A-aku Aster,” jawab anak perempuan itu gugup, sambil menatap ke sekelilingnya dengan sorot mata penuh tanda tanya. Ia menggenggam erat tas kanvasnya—hal yang selalu dilakukannya kalau ia nervous. “Kau…?” Perlahan ia mendekati perapian untuk berkenalan dengan sosok bermata kancing itu.
“Panggil aku
Robert,” jawabnya santai. Ia melemaskan pundaknya ketika api mulai menghangatkan
tubuhnya. Kilau api terpantul pada mata kancingnya yang berwarna hitam.
“Rasanya sedikit aneh punya teman bicara. Selama ini, teman bicaraku hanya
dia.” Robert menunjuk ke seekor kelinci yang baru saja meloncat bersembunyi ke balik
sofa. Mata sang kelinci sama seperti kelinci pada umumnya, tetapi mulut kelinci
itu berupa jahitan silang. “Rabbit, tak perlu takut. Dia sama seperti kita,
kok.”
“Ada lagi selain
Rabbit?” tanya Aster. Matanya menyapu barang-barang yang ada di ruangan
itu—sofa yang sudah usang, lukisan yang berdebu, meja kayu yang mulai rapuh,
berbagai jenis jam yang berhenti berdetak, dan segala benda-benda kecil yang
diletakkan sembarangan.
Robert menggeleng.
“Selain aku dan Rabbit, penghuni rumah ini sudah lenyap dimakan bayangan.” Ia
menepuk lantai berdebu di sampingnya supaya Aster duduk di sampingnya.
Aster menatap api
yang berpendar di perapian. Ia masih mendekap tas kanvasnya untuk mengurangi rasa
gugup. Hatinya bimbang. Kenapa ia percaya pada sosok bermata kancing itu? Kenapa ia membiarkan dirinya diseret sampai ke sini? Kakinya melangkah mundur. “Aku tak pantas berada di sini,” ucapnya dengan panik. “Aku harus keluar. Aku harus pergi. Aku tidak seharusnya meninggalkan
pemakaman!” Kali ini ia berbalik badan, berlari menuju pintu, dan langsung membuka pintu utama rumah dengan
kasar.
Namun, bukan hujan yang menyambutnya, melainkan padang bunga luas dengan langit biru penuh taburan bintang… Beraneka jenis bunga tumbuh tak beraturan di tempat antah-berantah itu. Bunga forget me not, bunga daisy, dan bunga aster menghiasi padan rumput di hadapannya. Matanya terbelalak lebar. Mulutnya terbuka lebar ketika melihat pemandangan luar biasa indah di hadapannya. Aroma petrichor dan wangi bunga yang semerbak itu menyambutnya. Seharusnya aroma itu menenangkannya, tapi justru membuatnya semakin panik.
“Tidak mungkin!
Apa yang terjadi? Tempat apa ini?!”
Tanpa disadari,
kakinya melangkah keluar dari pintu rumah dan langsung berpijak pada rumput
hijau yang basah. Angin yang berhembus memainkan rambutnya. “Ini mimpi
bukan?! Ini bukan kenyataan!” serunya.
Hening. Robert
sudah menghilang ketika ia menoleh ke dalam rumah. Api di perapian masih
menyala dan interior dalam rumah itu masih sama seperti pertama kali ia
datangi, tapi sekarang kosong. “Robert?” panggilnya. “Robert? Kau di mana? Jelaskan padaku tempat apa
ini!”
Aster mencari ke
setiap sudut rumah untuk mencari sosok laki-laki dengan mata kancing dan seekor
kelinci bermulut benang jahitan. Ia membuka setiap pintu yang ada di rumah
mungil itu. Ada dua pintu lain yang menuju kamar tidur dan kamar mandi. Tapi setiap ruangan itu kosong dan berdebu. Lalu, ia berjalan ke dapur
hanya untuk menemukan wastafel rusak. Ia tidak tahu kemana perginya Robert
maupun Rabbit.
Firasatnya mulai
buruk. Penyesalan menyergap hatinya karena ia sudah melanggar peraturan pertama
sejak ia hadir di muka bumi ini: ‘Jadilah anak yang patuh.’
Dadanya mulai
terasa sesak. Ia memeluk erat dirinya sendiri seraya berjongkok di depan api
perapian yang hangat. “Maaf, maaf, maaf, maaf, maaf,” rapalnya lirih. Ia
seharusnya tetap berada di depan batu nisan. Ia seharusnya diam membusuk di
tanah pemakaman. Ia seharusnya—
“Aster? Kemari!” ucap Robert tiba-tiba dari pintu utama rumah. Nada suaranya seolah tidak terjadi apapun.
Spontan Aster mengangkat kepalanya. Ia pasti sedang bermimpi saat ini di atas tanah yang berisi mayat karena semua ini terasa gila, dan bisa-bisanya anak laki-laki itu bersikap biasa saja? Aster ingin marah tapi justru air mata yang mengalir keluar. Ia benci perasaan campur-aduk ini.
“Hey? Kenapa menangis?” tanya Robert yang datang menghampirinya. Mata kancingnya yang berwarna hitam terlihat tanpa emosi, namun nada suaranya berubah lembut perhatian yang sangat menenangkan—tidak tengil seperti tadi.
“Aku sudah mati
ya?”
“Kalau kujawab iya bagaimana?”
“Tapi… aku masih
bisa merasa sedih.”
“Hanya yang hidup
yang bisa merasakan sedih.” Sekali lagi, Robert mengulurkan tangannya yang
berbalut sarung tangan putih. “Ayo.”
Kali ini Aster
menyambut uluran tangannya. Lalu mereka berjalan keluar dari pintu rumah menuju
padang bunga yang seolah tanpa batas. Aster menoleh ke belakang dan melihat bentuk bangunan rumah
itu berubah. Sekarang, rumah itu tidak ditumbuhi tanaman merambat lagi, melainkan seperti bangunan baru. Ia
bisa melihat cat rumahnya yang berwarna oranye.
Aster melihat ke depan lagi. Tangannya masih digenggam erat oleh tangan Robert. Rasa hangat terpancar dari telapak tangannya yang berbalut sarung tangan. Entah dari mana, sebuah meja lengkap dengan sepoci teh dan piring kue hadir di pekarangan rumah mungil milik Robert. Namun, mereka tak menuju ke meja itu. Melainkan, mereka berjalan ke tengah padang bunga. Ribuan bunga mengelilingi mereka. Kunang-kunang berterbangan di antara bunga-bunga itu.
Mata Aster tak
lepas dari bulan sabit dan bintang yang bertaburan di atas langit, sementara
langkahnya mengikuti kemana Robert membawanya pergi. Mereka berjalan di tengah
bunga-bunga yang tumbuh liar dan berhenti ketika Aster bertanya, “Aku berada
di alam mimpi, bukan?”
“Tempat ini senyata eksistensi dan kesedihanmu,” jawab Robert dengan lagak misterius.
“Apa?”
Lagi-lagi Robert berkata dalam teka-teki. Tapi Aster enggan mencari tahu jawabannya. Ia tidak peduli jika ini mimpi ataupun nyata. Ia ingin meraup keindahan ini. Ia belum pernah melihat langit secerah dan seindah ini.
Gadis itu berlari di bawah langit biru dan cahaya bintang, di tengah bunga-bunga yang penuh
warna, di atas rumput yang hijau. Kunang-kunang mengikuti setiap gerakannya. Embun dari rumput membasahi kakinya. Tanpa sadar seulas
senyum terlukis di wajah Aster yang pucat. Senyum pertamanya sejak ia hadir di
dunia ini. Ia belum pernah bahagia. Rasa ini asing... tapi sangat menyenangkan. “Tempat ini menakjubkan…” ucapnya pelan. “Bagaimana kalau tempat ini
berakhir setelah aku bangun?”
“Kau kan sudah bangun dari tadi,” ucap Robert dengan suara tengilnya.
Aster mengambil setangkai bunga berwarna kuning dan menyelipkannya di saku jas lusuh yang dikenakannya. Jas lusuh itu pemberian dari seseorang yang pernah menjaganya di dunia meskipun orang itu memberikan kenangan buruk.
“Aku tahu rasanya,” bisik Robert.
Tempat itu luar
biasa hening sehingga Aster bisa mendengar setiap desir rumput dan ucapan
sepelan apapun. “Rasanya apa?”
Robert menggeleng.
Mata kancingnya seolah menyembunyikan sesuatu.
Tiba-tiba Rabbit melompat-lompat ke arah mereka untuk menyampaikan kalau jamuan teh sudah siap. Berhubung mulutnya dijahit, ia menyampaikan melalui tatapan mata yang hanya dapat dipahami oleh Robert. Mereka bertelepati.
“Tehnya sudah siap,” kata Robert pada Aster agar mereka berjalan menuju meja yang penuh berisi teh, susu, madu, kue, biskuit, dan krim vanila.
Robert menarik
kursi untuk Aster duduk. Setelah Aster duduk, ia pun duduk di hadapan gadis itu.
“Dari mana makanan
ini berasal?” tanya Aster teringat pada dapur dengan wastafel rusak.
“Tidak usah dipikirkan. Selamat menikmati,” kata Robert seraya menuangkan teh ke cangkir Aster. Ia tersenyum tengil.
Aster mengabaikan kecurigaannya karena ia yakin akan segera bangun dari mimpi yang terlalu indah ini. Jadi ia harus menikmati hidangan kue dan teh di hadapannya. Ia menyantap sepotong kue rasa blueberry yang dihidangkan untuknya. Rasa krim lembut yang manis langsung lumer di lidahnya. Ia belum pernah makan kue seenak ini. Selama ini ia hanya makan roti kering yang rasanya tawar. Ini terlalu tidak nyata...
“Semua ini nyata,
Aster,” kata Robert lagi seolah bisa membaca pikirannya. “Senyata aku dan
Rabbit.”
“Maksudmu?”
“Aku tahu bagaimana rasanya tidak diinginkan dan duduk di depan batu nisan selama berhari-hari,” kata Robert dengan ekspresi wajah tak terbaca. "Aku tahu rasanya tidak diinginkan, tapi tetap harus bertahan hidup menghadapi itu semua karena tidak mungkin untuk melarikan diri."
Aster tertegun. Semua itu tepat, ucapnya dalam hati.
Robert mengangkat
cangkir tehnya dan mengajak Aster untuk bersulang. “Hari ini kita akan
merayakan.”
Aster masih tak mengerti kenapa mereka harus merayakan hal yang terlalu pahit.
“Kita rayakan
semua kesedihan kita.” Robert tersenyum.
Perlahan kepingan teka-teki di otaknya mulai tersusun. Aster membalas senyuman Robert yang terkesan menyebalkan tapi hangat. Satu hal lagi, Aster belum pernah diperlakukan sehangat itu. Ia mengangkat cangkir tehnya dan mempertemukannya pada cangkir milik Robert. Suara dua cangkir saling bertemu terdengar sangat keras di tengah kesunyian padang rumput.
“Selamanya,” ucap Aster.
Mereka saling tersenyum penuh arti yang tak bisa mereka ungkapkan dengan kata-kata. Mata kancing Robert menatap mata Aster yang berwarna hijau.
Sedikit demi sedikit, pertanyaan mulai terjawab dalam benak Aster setelah ia meminum teh yang dihidangkan
Rabbit. Untuk pertama kalinya, penyesalan karena sudah meninggalkan buminya itu berhenti. Ia biarkan bulan sabit, padang bunga, dan
kunang-kunang menjadi saksi.
————
Keesokan harinya,
tiga buah boneka usang tergeletak di depan sebuah rumah tua yang sudah lapuk
dimakan usia. Sebuah boneka anak perempuan dengan jas lusuh dan tas kanvas berisi
bunga mati. Sebuah boneka anak laki-laki dengan mata kancing dan pakaian tuxedo. Dan, sebuah boneka
kelinci putih dengan mulut jahitan. Ketiganya tampak kumal dan basah akibat hujan.
Tidak jauh dari mereka, terdapat meja mungil dengan satu set cangkir teh dan
piring kue yang sudah retak dan pecah.
Beberapa ratus
meter dari rumah tua itu terdapat pemakaman. Namun, para peziarah ataupun
pengunjung pemakaman tak akan mampu menemukan rumah yang hampir ambruk itu
karena rumah itu tersembunyi sempurna di tengah lebatnya tanaman merambat dan
tumbuhan yang tumbuh liar.
Tidak akan ada
yang tahu dan tidak akan ada yang mencari mereka. Selamanya terlupakan dan
mereka pun menjadi abu.
—Finn—
p.s. Please kindly leave comment if you have read my story.
0 comments