Untitled [DON'T OPEN]

Agustus 08, 2023

#UNTITLED


San Fransisco Police Department

 

Hidung Leo berdarah. Entah karena patah atau karena ada sesuatu yang salah dengan tubuhnya. Kepalanya berdenyut sakit dan pandangan matanya berkunang-kunang. Namun, ia tetap menegakkan tubuhnya sementara ia menunggu abangnya mengurus segala aftermath kekacauannya di ruang interogasi kantor polisi.

 

Mobil mercedes-benz series AMG berwarna navy yang terparkir di halaman kantor polisi itu tampak penyok di bagian kapnya. Beberapa jam yang lalu, mobil itu menabrak tiang penerangan jalan setelah dibuat balapan oleh dua remaja. Di sebelahnya terdapat mobil BMW series X6 yang tidak separah itu kerusakannya—hanya baret akibat diserempet habis-habisan ke pembatas pinggir jalan.

 

Leo tidak sendirian di ruang tunggu itu pada pukul 12 malam. Ia bersama lawannya yang tidak mengalami luka apapun kecuali harga dirinya.

 

“Jadi bagaimana? I still can get your pink slip?” kata Leo seraya menoleh kepada cowok berambut pirang yang duduk semeter di sebelahnya. “A  deal is a deal,” ucapnya memperingatkan dengan seringai lebar di wajahnya yang berdarah. Ia belum menyadari kalau ada luka di pelipisnya.

 

Aiden—nama cowok di sebelahnya—memutar bola matanya. Ia menyesal sudah mempertaruhkan sertifikat mobilnya. Mobil yang baru diberikan padanya saat ulang tahunnya yang ke-16. Baru kali ini ia dikalahkan dan oleh orang yang baru pindah ke sekolahnya. Shit. Kenapa aku menggunakan mobil yang itu? gerutunya dalam hati. “Whatever,” jawabnya sambil merogoh saku jeansnya untuk mengambil kunci dan kertas yang dilipat asal tapi isinya tidak main-main. Pertaruhan itu memang serius. Sebelum balapan, mereka sudah menunjukkan kalau mereka membawa bukti kepemilikan mobil itu. 

 

Leo menyambar kedua benda itu ketika Aiden menyodorkan kepadanya. Ia tersenyum puas. Mobil itu hanya perlu dipoles sedikit dan disimpan di garasinya. Sementara Aiden uring-uringan karena untuk pertama kalinya ia kalah taruhan dalam balapan mobil.

 

“Kalau kau tidak berdarah sekarang, mungkin aku sudah meninjumu,” geram Aiden tanpa menatap Leo.

 

“Huh? Kenapa memang? Aku tidak masalah kalau kau mau ngajak gelud sekarang,” kata Leo dengan senyum miring yang membuat Aiden menoleh ke arahnya dengan cepat dan menarik kerah bajunya. Tinjunya teracung tapi tiba-tiba pintu ruang interogasi itu terbuka. Ia langsung melepas kerah kemeja Leo dan kembali ke posisi duduknya sebelum para orang dewasa itu memergoki mereka hampir bergelut.

 

Ryan muncul dari ruangan itu bersama seorang polisi dan Mrs. Agnes—orangtuanya Aiden.

 

Aiden bersama ibunya langsung meninggalkan ruang tunggu itu tanpa banyak kata. Sebelum ia menghilang dari pintu keluar ia mengacungkan jari tengah pada Leo.

 

Leo menggelengkan kepalanya yang masih berdenyut sakit. Ia menyentuh pelipisnya dan ternyata ada darah di sana. Pantas dia bilang aku berdarah, ucapnya dalam hati. Sekarang ia menatap Ryan yang berdiri di hadapannya.

 

Laki-laki berumur 27 tahun itu menghela napas panjang seraya melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya. Ia tidak mengerti apa yang sudah merasuki adik laki-lakinya. Adiknya takkan peduli berapa banyak uang yang sudah digelontorkan demi menutup kasus ini agar tidak perlu ada media yang mengetahuinya, ditambah biaya perbaikan tiang lampu jalan yang bengkok.

 

Uang memang bukan masalah utamanya. Tapi karakter Leo yang menjadi-jadi. “Kau pindah. Besok aku urus surat pindahnya.”

 

Leo menyenderkan punggungnya pada senderan kursi tunggu itu. “Lagi?” Ia menghitung dalam kepalanya. Tahun ini ia sudah dua kali pindah kota. Itu berarti ini akan menjadi kepindahan ketiga kalinya.

 

Ryan mengambil sebatang rokok dan memantik ujungnya dengan api. Ia menghisap dalam-dalam rokok itu sebelum menjawab, “Kali ini aku tidak ikut bersamamu, Leo. Kau harus dipindah ke kota kecil yang terasing.”

 

Tangan Leo tanpa sadar mengepal.

 

“Jadi, sekali lagi kau mengacau, aku tidak akan datang. Kalau kau sampai masuk ke dalam jeruji itu, aku tidak peduli lagi,” kata Ryan sambil menunjuk ruang penahanan yang ada di kantor itu.

 

Ucapan Ryan diucapkan dengan nada yang tenang tanpa ancaman, tapi sangat kasar. Kalimatnya membuat pipi Leo panas. Sebelumnya kakaknya belum pernah mengucapkan peringatan sekeras itu. Sekacau-kacaunya dia, Ryan akan selalu datang menyelamatkannya.

 

Tapi mungkin dia memang tidak pantas untuk diselamatkan lagi.

 

“Kau hampir berumur 18, Leo. Tahun depan kau tidak bisa dilindungi hukum anak-anak lagi,” ucap Ryan sambil mengembuskan asap rokok dari mulutnya.

 

Persetan dengan hukum atau aturan, pikirnya seraya beranjak berdiri.

 

“Mau kemana kau? Mobil penyok gitu?” Beberapa detik kemudian, Ryan langsung paham. “Kau menang taruhan pink slip lagi?”

 

Leo menunjukkan kunci mobil barunya yang didapat dari balapan. Bukan sekali-dua kali ia melakukan ini. Hampir setiap kali ia pindah ke kota besar, entah kenapa ia selalu bisa menemukan kumpulan balap liar yang melakukan taruhan pink slip atau bukti kepemilikan mobil.  

 

“Kau serius mau nyetir mobil dengan keadaan bonyok gitu?” tanya Ryan sambil menunjuk pelipis dan hidung Leo yang berdarah. Meskipun adiknya memang selalu mengacau dan berandalan, ia selalu merasa bertanggungjawab pada Leo. “Jangan sampai nabrak lagi, langsung pulang ke rumah.”

 

Kepala Leo luar biasa sakit. Hidungnya juga semakin perih. Namun ia tetap masuk ke dalam mobil BMW berwarna silver itu dan mengemudikannya menuju rumah. Rumah yang saat ini hanya berupa bangunan besar dengan ruangan-ruangan kosong.

 

--

 

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua dini hari saat Leo memarkirkan mobilnya di garasi rumah. Rumah keluarganya yang satu ini tidak punya garasi basement tapi pagarnya cukup tinggi dan entah kenapa itu membuatnya merasa aman.

 

Begitu sampai di rumah, ia disambut oleh Exsa—anak dari sosok kepercayaan Ayahnya—yang biaya pendidikannya dibiayai oleh Ayahnya sampai ia lulus dan menjadi dokter kenamaan yang berpindah-pindah mengikuti pindahnya keluarga mereka sekaligus menjadi dokter pribadi keluarga itu.

 

Malam itu, Exsa tidak memakai snelinya yang berarti ia tidak berangkat dari rumah sakit, melainkan dari flatnya. Ia terlihat kasual dan seolah tidak terpengaruh kalau waktu menunjukkan waktu dini hari.

 

“Halo Leo, aku langsung ke sini begitu abangmu memanggilku ke sini. Katanya urgent tingkat paling tinggi karena khawatirnya kau geger otak.”

 

Leo memutar bola matanya. Ryan selalu berlebihan. Ia tidak apa-apa. Tapi kepalanya memang sakit dan ia luar biasa lelah. Malam yang sangat panjang dan ternyata belum berakhir. “Jangan banyak omong, aku capek,” kata Leo seraya mendudukan dirinya di atas sofa. Sedari tadi matanya berkunang-kunang. Ia memejamkan matanya—menahan sakit di tubuhnya. Ia baru sadar bukan hanya kepala dan hidungnya yang sakit.

 

Exsa memeriksa Leo dan mengecek apakah anak itu benar terkena gegar otak atau tidak. Tapi sepertinya ia hanya terkena gegar otak ringan karena ia masih bisa berdiri dan bahkan menyetir mobilnya dengan aman sampai rumah. Tapi hidungnya jelas robek dan pelipisnya butuh jahitan.

 

Bukan pertama kalinya Exsa dipanggil dini hari oleh keluarga itu. Ia memang diberi kebebasan dari utang budi oleh Kepala Keluarga Damaris—ayahnya Ryan dan Leo yang sudah tiada. Ia dibolehkan untuk jadi dokter spesialis di negara mana pun ia mau. Tapi ia memilih menjadi dokter pribadi keluarga itu.

 

Ia dan Ryan hampir tumbuh bersama karena umur mereka hanya terpaut 3 tahun. Selain itu, ia sudah merasa Leo sebagai adik laki-lakinya yang tidak pernah ia punya.

 

Leo diam selama Exsa membersihkan dan merawat luka-lukanya. Ia juga memeriksa apakah ada tulang yang patah, tapi sepertinya anak itu hanya mendapatkan lebam dari benturan mobil ke tiang penerangan jalan.

 

“Kau barusan balapan lagi?”  

 

Leo membuka matanya dan menatap Exsa dengan sorot tajam. “Kau kan sudah tahu detailnya dari Ryan.”

 

Exsa meringis. Anak ini benar-benar tidak suka berbasa-basi dan sangat blak-blakan. Ia pun menanyakan hal lain. “Bagaimana perasaanmu? Selain sakit di fisik?” Yang satu ini tentu tidak diberitahu oleh Ryan karena dua kakak-beradik itu seringkali tidak paham perasaan mereka masing-masing.

 

Kacau, jawab Leo dalam hati. Tapi yang ia ucapkan, “Besok aku akan pindah sendirian.”

 

“Ke mana?”

 

Leo mengangkat bahu. “Aku tidak peduli selama dia tetap membolehkanku membawa mobil.” Ia menghela napas. Ia ingin berendam air panas lalu tidur selama yang ia mau karena hari ini ia akan pindah. Tak perlu lagi datang ke sekolah yang ada di kota ini.

 

“Kalau ada gejala vertigo atau pandanganmu buram, bilang padaku.”

 

Leo mengangguk. “Thank you, Kak Exsa,” ucapnya—dengan senyum simpul di wajahnya. Senyum yang jarang ia tunjukkan pada siapapun termasuk ke kakak kandungnya. Lalu ia beranjak pergi menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Ia tidak tahu kota macam apa yang akan ia kunjungi. Ia tidak peduli sekolah jenis apa yang harus ia ikuti. Ia hanya ingin mengalihkan pikirannya dari apapun yang muncul di benaknya.

 

--

 

Leo terbangun karena suara langkah kaki yang mendekat. Ia selalu bilang pada siapapun yang di rumahnya agar jangan pernah ada yang mendekati kamarnya saat ia tidur. Indra pendengarannya terlalu sensitif dan kadang ia membenci hal itu. Seberapapun capeknya dia, ia akan tetap terbangun ketika ada suara langkah kaki mendekat.

 

Tanpa membuka matanya ia tahu siapa yang mendekati kamarnya. Sudah pasti Ryan. Ia menarik selimutnya lebih tinggi hingga menutupi kepalanya. Ryan bisa membuka kamar tidurnya karena ia punya master key seluruh ruangan di rumah ini.

 

Waktu menunjukkan pukul 6 pagi, matahari belum sepenuhnya bersinar di luar sana. Tapi Ryan sudah berpakaian rapih dan lengkap. Rambutnya seperti biasa distyle dengan gaya slicked back hair. Kacamata bertengger di batang hidungnya.

 

“Udah bangun kan?” kata Ryan sambil menarik selimut Leo. “Penerbanganmu jam 11.30 pagi. Packing barang-barangmu yang penting saja.”

 

“Aku ini disuruh pindah atau mau dibuang?” kata Leo dengan seringai miring di wajahnya. Suaranya masih serak karena baru bangun tidur.

 

“Kamu enggak penasaran ke mana kamu pergi?” Ryan menyodorkan tiket pesawat dan passport milik Leo ke hadapan wajah anak itu.

 

Leo membaca tujuan di tiket itu. Indonesia. Pindah antar states sudah biasa, tapi pindah antar benua dan sendirian? Ia paham leluhur keluarga Ibunya ada di negara tropis itu. Pikirannya terbang pada kenangan 10 tahun yang lalu saat ia tinggal di Jakarta dan selalu berlibur ke rumah kakek dan neneknya yang ada di sebuah kota kecil di pulau Jawa. Lalu, kakeknya meninggal… dan sekarang hanya ada neneknya.

 

Ia teringat lake house—tempat kakek dan neneknya tinggal—yang terakhir kali ia datangi waktu usianya 7 tahun. Ingatannya hampir pudar tentang bentuk rumah itu, tapi suasana sejuk dan tenangnya selalu membekas di benaknya.

 

“Aku… akan tinggal sama nenek?” tanya Leo.

 

“Yeah,” jawab Ryan sambil duduk di pinggir bed. Ia mengamati wajah Leo yang baru bangun tidur. Rambut cokelatnya berantakan. Jahitan di pelipisnya ditutupi perban. Plester lain juga menempel di hidungnya. Anak itu memakai kaus tanpa lengan dan ia bisa melihat beberapa memar akibat tabrakan semalam di bahunya.

 

Namun, anak itu sama sekali tidak terlihat kalau dia baru saja menabrak tiang penerangan jalan dengan sembrono. 

 

Leo mengangkat wajahnya. “Kenapa bukan Jakarta?”

 

Ryan mendengus. “Tidak. Yang ada kau malah makin mengacau di kota metropolitan itu.”

 

Fine. Kirimkan mobilku yang mana saja yang ada di garasi,” ucap Leo seraya meletakkan tiket pesawat di nakas yang ada di samping tempat tidurnya. Ia punya lima mobil yang empat di antaranya hasil taruhan balapan penuh bahaya. Satu mobil miliknya merupakan peninggalan Ayahnya yang jarang ia pakai—kecuali saat ia ingin menyendiri ke wilayah pinggiran kota dan makan pizza sendirian di atas kap mobilnya.

 

“Tidak ada mobil. Tidak ada motor,” titah Ryan tanpa meninggalkan celah.

 

Leo melebarkan matanya. Kilatan emosi muncul di matanya. “What?! Terus aku berkendara naik apa di sana?”

 

“Tidak ada. Hanya boleh diantar sopir kemanapun kau pergi.”

 

“Hah, memangnya kau bisa mengendalikanku dari jarak jauh?” kata Leo sambil menyenderkan punggungnya ke headbooard.

 

“Baiklah. Tidak ada sopir juga. Kau di sana naik sepeda.”

 

“APA?!”

 

“Tidak ada black card. Tidak ada kartu kredit juga, Leo. Jadi jangan harap kau di sana bisa kepikiran beli mobil murah di sana. Kau hanya pakai kartu ATM lokal yang aku transfer seminggu sekali,” ucap Ryan dengan tegas.

 

“Arrrghhh! Ini pengasingan atau apa?” Kali ini Leo naik pitam. Otaknya mulai berputar—mencari cara melarikan diri—tapi ke mana? Ia tidak pernah punya teman yang benar-benar dekat atau memahaminya karena terlalu sering berpindah-pindah antar state. Ia juga tak bisa bertindak tanpa perhitungan dengan luka jahit di pelipisnya. Ryan keterlaluan. Fuck. “Kau bukan orangtuaku.”

 

Mata hitam Ryan menatap Leo dengan sorot terluka. Ia sepenuhnya menyadari fakta itu. Ia hanya substitusi dari Ayah dan Ibunya untuk Leo. “Orangtua kita sudah pergi, Leo. Hanya ada aku yang mengurusmu saat ini, kau mengerti?”

 

Leo menggertakkan giginya. “Jangan kira aku akan lama tinggal di negara itu.”

 

Belum mulai tapi dia sudah berpikiran untuk pergi, pikir Ryan sambil menghela napas. Ia tahu melepas Leo ke negara itu tanpa dirinya sangat berisiko. Leo bisa lepas kendali dengan berbagai skema di otaknya. Atau bahkan reaksinya bisa lebih keras lagi. Ia sudah memikirkan risiko itu baik-baik dan lagipula ia punya beberapa orang kepercayaan yang bisa mengawasi Leo tanpa sepengetahuan anak itu. “Terserah. Dan camkan ini. Kalau kau punya masalah di sana, aku tak akan datang membantumu.”

 

Ia beranjak dari pinggir bed Leo untuk sarapan dan mulai bekerja. Begitu keluar dari kamar Leo, ia baru bisa memijat kepalanya yang pening—memikirkan apa lagi yang harus ia buat untuk mengendalikan adiknya yang liar. Apakah ini karena dirinya juga yang seringkali abai pada adiknya karena terlalu fokus mengelola perusahaan milik keluarganya agar tetap bisa sustain setelah Ayahnya tiada? Lagi-lagi perasaan bersalah menggelayuti pikirannya.

 

--

 

Setelah mengucapkan selamat tinggal pada ketiga mobilnya yang ada di garasi (dua mobil lainnya ada di rumah yang lain), ia berangkat menuju bandara dengan sebuah koper dan backpack di punggungnya.

 

Tidak ada pelukan atau salam perpisahan dari Ryan. Pertemuan tadi pagi mereka anggap sebagai ucapan perpisahan. Ia diantar oleh sopir yang biasa mengantar Ryan dari rumah ke kantornya. Sopir itu mengenal keluarganya sejak mereka pertama kali pindah ke United States.

 

“Kali ini kau pindah sendirian?” tanya Mr. Mitchell—nama pengemudi itu—sembari melihat anak remaja yang duduk di jok belakangnya dengan plester di hidungnya.

 

“Yeah,” jawab Leo sambil memandangi kota San Fransisco yang sebentar lagi ia tinggalkan. Baru tiga bulan ia tinggal di kota yang berbukit-bukit itu. Ia tidak akan bisa mengebut di jalanan kosong saat malam hari atau mempertaruhkan mobil miliknya lagi.

 

“Ryan pasti akan kesepian tanpa kekacauanmu,” ucap Mr. Mitchell sambil terkekeh. Pria berusia 45 tahun itu senang memperhatikan dinamik antara Ryan dan Leo.

 

“Dia justru senang membuangku jauh-jauh ke belahan bumi yang lain,” ucap Leo sambil menyenderkan kepalanya ke kaca mobil tapi langsung mengaduh karena mengenai pelipis yang terluka.

 

--

 

Meskipun tanpa blackcard, Leo masih bisa menikmati duduk di VIP lounge dan duduk di business class. Ia mengecek kelengkapan dokumennya dan passport Indonesianya. Sampai usianya 18 tahun, ia akan berkewarganegaraan ganda. Ia belum menentukan negara mana yang akan ia pilih.

 

Ia berusaha memejamkan matanya selama pesawat itu mengudara di atas Samudera Pasifik. Namun, ia tidak bisa tidur karena terlalu banyak suara. Suara mesin pesawat. Suara langkah kaki pramugari. Suara penumpang yang buru-buru menuju toilet.

 

Sial. Bahkan headphone noise-cancelling miliknya tidak bisa sepenuhnya menyumbat suara-suara di sekelilingnya. Atau lebih tepatnya, juga tidak mampu menyumpal suara-suara di kepalanya.

 

Ia lupa membawa pil obat tidurnya yang tersimpan di laci meja belajarnya. Ia teringat meja belajarnya yang tidak pernah ia gunakan semestinya. Hanya menjadi tempat persinggahan tumpukan baju dan buku-buku pelajaran yang tak pernah ia buka.

 

Meskipun sudah dilarang meminum pil obat tidur oleh therapistnya, ia tetap sering melanggar aturan itu. Ia lupa kapan terakhir kali ia menemui therapistnya. Lagipula baginya setiap sesi dengan therapist yang seringkali ia hindari hanya sia-sia. It was just a vain effort to fix him.

 

Setelah mengudara selama 16 jam 40 menit, pesawat itu mendarat di Changi International Airport untuk transit. Perjalanan itu sangat lama, tapi paling tidak ia bisa selesai menonton berseason-season Criminal Minds.

 

Ia membeli cold brew di starbucks yang ia temui dekat VIP Lounge. Entahlah. Ia frustasi karena tidak bisa tertidur atau bolak-balik gagal memejamkan matanya, jadi kenapa tidak sekalian tidak usah tidur sekalian?

 

Menjelang pukul 10 malam, maskapai Singapore Airlines membawanya ke Bandara Soekarno-Hatta. Pesawat itu mendarat 1 jam 45 menit kemudian di terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. Waktu setempat menunjukkan pukul 10.40 malam dan ia mengalami jet lag. Delapan belas jam di pesawat sejak jam 11.30 pagi di San Fransisco dan di sini baru jam 10.40 malam? How the fuck?

 

Jet lag parah. Otaknya tak mampu berpikir.

 

Untungnya begitu sampai di bagian departure, ia langsung melihat Pak Juno menyambutnya. Wajahnya terlihat jauh berbeda dengan ingatannya 10 tahun yang lalu. Pak Juno dulunya menjadi sopir supplier untuk toko milik Ayahnya yang sekarang sudah berkembang menjadi swalayan yang terbuka di berbagai kota. Berhubung beliau orang yang sangat dipercaya oleh Ayahnya, ia diangkat menjadi sopir keluarga Damaris.

 

“Halo nak Leo! Kamu sudah tinggi sekali,” sapa Pak Juno dengan senyum sumringah di wajahnya. Ia mendongak melihat Leo. Pak Juno jelas lebih tua dari Mr. Mitchell, pikir Leo.

 

Lidah Leo kelu. Ia mengerti apa yang diucapkan Pak Juno. Hanya saja perlu beberapa waktu untuk menswitch otaknya ke Bahasa Indonesia lagi. Ia tersenyum seraya masuk ke dalam mobil Alphard yang terparkir di tempat penjemputan VIP.

 

Leo mengangkat kopernya sendiri ke dalam mobil karena entah kenapa ia tidak mau merepotkan Pak Juno. Begitu duduk ke jok belakang mobil, ia langsung memperhatikan kemudi mobil Indonesia yang berada di sebelah kanan. Shit. Aku lupa cara membawa mobil di sebelah kanan, ucapnya dalam hati. Ryan berengsek. Pantas dia mengirimku ke sini.

 

“Apa kabar, Leo? Bagaimana Ryan di sana?” tanya Pak Juno.

 

“Aku oke… Ryan.. he’s doing good,” jawab Leo seadanya. Why is my Indonesian so ridiculous?

 

Pak Juno tertawa. Ia lupa Leo sudah 10 tahun melanglang buana di United States dan sebelumnya anak itu disekolahkan di sekolah internasional. Jadi pantas saja bahasa Indonesianya tidak selancar Ibunya. “Hahaha… Pardon my forgetfulness, kid. I forgot. You’re not used talking in Indonesian, right?”

 

Leo merasa lebih rileks saat Pak Juno mengajaknya bicara dalam bahasa Inggris. “I can understand what you’re talking, sir. But I just need an adjustment to answer in Indonesian,” balas Leo.

 

What happened to you—” Pak Juno menunjuk pelipisnya. Ia menatap mata Leo sekilas melalui rearview.

 

Nothing. Just a small accident,” jawab Leo merujuk pada kejadian semalam.

 

“Ah I see. Enjoy your trip, kid. You must be tired. Have you eaten yet?

 

Leo mengangguk. Ia memakan sedikit saat di dalam pesawat. Entah kenapa selera makannya turun selama perjalanan panjang itu. “No worries, Pak Juno.”

 

Pak Juno terkekeh lagi. “Go sleeping then. We probably arrived home at two in the morning.”

 

Itu berarti masih tiga jam lagi. Ia memakai headphonenya dan menyenderkan joknya agar ia bisa berbaring. Namun ia tetap tidak bisa tertidur. Ia memandang keluar jendela. Jalan tol terlihat kosong di tengah malam. Ia memperhatikan gedung-gedung tinggi Jakarta. Lampu jalanan berwrna kuning temaram menghiasi malam. Mobil melaju lancar tanpa suara karena suara mesinya teredam dengan baik.

 

Seharusnya ia bisa saja tidur tapi lagi-lagi ia masih bisa mendengar deru mobil di luar sana. Ia mengecek aplikasi chat dan ternyata ada chat bertubi-tubi dari Ryan.

 

19.10 (waktu Singapore) / 05.10 (waktu San Fransisco)

Leo?

Kau sudah transit di Changi?

Jawab teleponku

 

22.40 (waktu Indonesia Barat) / 08.40 (waktu San Fransisco)

Harusnya kau sudah mendarat di Soetta

 

23.00 (waktu Indonesia Barat) / 09.00 (waktu San Fransisco)

Pak Juno barusan telepon

Dia melihatmu

Kau tidak tidur dari kemarin huh?

Sudah 24 jam sejak kemarin di SF

Terserah kalau kau tidak mau membalas

 

 

23.30 (waktu Indonesia Barat) / 09.30 (waktu San Fransisco)

Otw Bandung

 

Leo terheran melihat tiga titik langsung muncul di layar handphonenya.

 

Kenapa baru mengabari sekarang hah?!

 

Leo mematikan handphonenya. Ia memejamkan matanya. Kepalanya terasa berat, tapi alam bawah sadar tidak juga menariknya.

 

Ia melanjutkan menonton Criminal Minds hingga sampai di depan lake house untuk membunuh waktu. Selama menonton, pikirannya sudah tidak fokus pada siapa membunuh siapa, atau alibi siapapun. Otaknya macet tapi ia tetap tidak bisa terlelap.

 

Thank you, Pak Juno,” kata Leo seraya menyeret kopernya ke dalam ‘rumah’ yang terasa familiar tapi juga asing.

 

Ada seorang asisten rumah tangga yang menyambutnya dan menunjukkan kamarnya yang sudah dibersihkan dan rapih. Suasana sangat sunyi senyap. Pikirannya jauh lebih tenang. Suara-suara di kepalanya sayup-sayup menjauh. Begitu masuk ke dalam kamar, ia mengunci pintunya dan langsung ambruk di atas tempat tidur—tanpa melepas jaket ataupun jeansnya yang ia pakai selama 24 jam.  

 

Akhirnya ia bisa tertidur dan tenggelam dalam alam bawah sadarnya. 

 

--

 

Sementara itu di San Fransisco, Ryan berdiri di luar ruang meeting. Sekarang sudah jam 12 siang tapi meeting itu masih berlangsung. Ia tidak fokus karena cemas melandanya. Ia sudah permisi pada para kepala divisi di dalam ruang meeting itu untuk menelepon.

 

Ia tahu Leo tidak akan mengangkat teleponnya setelah insiden kemarin pagi. Lagipula di sana jam 2 pagi. Jadi dia menelepon Pak Juno.

 

“Halo Pak? Bagaimana? Sudah sampai Bandung?” tanya Ryan—berusaha menyembunyikan nada cemasnya.

 

“Iya, Mas,” balas Pak Juno. “Baru saja sampai lake house. Leo sepertinya tidak tidur selama di pesawat. Ia sempat kelihatan linglung waktu saya jemput di bandara dan kantong matanya tebal. Tapi herannya masih pegang es kopi.”

 

Ryan menggelengkan kepalanya. Ampun deh anak itu. Bisa-bisanya dia enggak tidur selama itu? Ia menghela napas panjang. Leo paling tidak bisa kalau ada suara seminor apapun di sekelilingnya saat tidur. Entah kenapa telinganya sangat sensitif dan bisa mendengar apapun yang mendekati kamarnya. “Pak, tolong bilang pada orang rumah. Jangan ada yang jalan dekat kamarnya selama dia tidur.”

 

“Kenapa Mas?”

 

“Leo itu hyper-sensitive sama suara bahkan saat lagi tidur. Suara sekecil apapun bisa buat dia bolak-balik kebangun.”

 

“Kayak anak kecil aja yah,” Pak Juno terkekeh di seberang sana—mencoba bercanda.

 

Lebih parah dari itu, ucap Ryan dalam hati. “Tolong ya Pak. Oh iya, kalau dia bangun, jangan biarkan dia nyetir mobil Bapak.”

 

“Siap, siap.

 

“Terima kasih, Pak,” kata Ryan mengakhiri percakapan itu dalam bahasa Indonesia. Baginya menswitch bahasa sangat mudah. Ia lebih luwes dalam berganti-ganti bahasa dibandingkan Leo. Setelah percakapan remeh itu, ia kembali ke ruang meeting. Perasaannya jauh lebih enteng sekarang—mengetahui adiknya sudah berada di tempat yang aman.

 

--

 

Suasana rumah itu sangat hening dan tenang. Ia membuka matanya perlahan. Kali ini ia terbangun bukan karena suara. Ia juga tidak tahu kenapa ia terbangun dan kenapa ia berada di sini. Ia menatap langit-langit di atasnya. Lalu menatap ke jendela yang tertutup gordain berwarna sage. Ada rak buku dan meja yang menghadap ke jendela. Lalu di dekat pintu, ada koper hitamnya yang sudah melewati samudera pasifik bersamanya. Tas ranselnya tergeletak sembarang di atas lantai kayu.

 

Lalu ia tersadar kalau ia masih memakai pakaian lengkap. Jaket dan celana jeans. Ia melepas jaketnya karena udara terasa lembab dan sedikit pengap. Mungkin karena musim kemarau sedang berlangsung di negara ini? Ia tidak sempat menyalakan AC semalam.

 

Ia mengecek jam di handphonenya. Pukul 1 siang, itu berarti di San Fransisco jam 11 malam sehari sebelumnya.  

 

Ia membuka jendela dan langsung disambut oleh pemandangan danau yang berwarna biru kehijauan. Angin segar masuk ke dalam kamarnya. Ia menghirup napas dalam-dalam. Udara di sini sangat berbeda dari udara kota yang pernah ia kunjungi sebelumnya.

 

--

 

“Ajarkan aku menyetir di sebelah kanan,” kata Leo sambil melipat kedua tangannya. Matanya menatap ke arah mobil Alphard yang sedang dibersihkan oleh Pak Juno.

 

Siang itu, Nenek kebetulan sedang pergi ke sebuah acara arisan. Jadi ia belum sempat bertemu dengan neneknya. Tapi ia sudah kepikiran untuk belajar menyetir mobil di sebelah kanan.

 

Pak Juno tampak salah tingkah. Ia teringat peringatan Ryan semalam. Namun ia menyadari hari ini Leo mulai memakai bahasa Indonesia. Ia tidak terdengar kaku seperti kemarin. “Lagi saya bersihkan mobilnya, Le.”

 

Leo memakai sandal jepit yang ada di teras rumah dan mendekati mobil itu. “Mana kunci mobilnya?” pinta Leo tanpa tedeng aling-aling.

 

“Hahaha saya enggak bisa semudah itu memberi kunci mobil,” kata Pak Juno dengan nada bercanda.

 

Tapi raut wajah Leo serius. Alisnya hampir bertaut. “Ada yang mau kubeli di minimarket,” kata Leo mencari alasan.

 

“Ya udah, saya anterin ya.”

 

“Aku yang menyetir, Pak Juno awasi aku. Aku janji enggak akan kabur,” ucap Leo dengan nada santai, tapi ekspresinya tidak mengatakan demikian. Ia sedang tidak mau dibantah oleh siapapun. Keinginannya harus dituruti.

 

Pak Juno menatap anak laki-laki di hadapannya yang mencoba mengintimidasinya. Ia sedang memikirkan konsekuensi kalau ia tetap menolak. Anak ini tidak ada celahnya. Mau tidak mau dia mengeluarkan kunci Alphard-nya pada Leo. Haduh, Mas Ryan. Jangan pecat saya, ya, batin Pak Juno tertekan.

 

Leo menyambar kunci mobil itu dan langsung naik ke jok sopir. Sementara Pak Juno menutup pintu belakang karena tadi ia sedang membersihkan jok belakang mobil. Kemudian, ia pun duduk di samping Leo.

 

Senyum sumringah merekah di wajah Leo saat menstarter mobil. Ekspresinya sangat berbeda dengan yang tadi. Leo belum pernah sekalipun menyetir mobil MPV (Multi Purpose Vehhicle), selama ini ia selalu menyetir mobil sedan. Walau begitu, ia dengan cepat menyesuaikan mobil itu di jalan raya.

 

Anak laki-laki itu tampak seolah sudah biasa menyetir di kemudi kanan—meskipun ini pertama kalinya. Tangannya tampak rileks memegang setir. Ia mengamati jalan raya yang dikelilingi pepohonan rimbun.

 

Lima belas menit kemudian, ia sampai di minimarket dengan palang berwarna biru, merah, dan kuning. Untuk pertama kalinya ia mengeluarkan pecahan seratus ribuan rupiah dari dalam dompetnya. Setelah membeli keperluannya, ia kembali ke mobil.

 

“Sekolahku di mana?” tanya Leo.

 

“Dekat kok dari rumah, dari jalan ini lurus sedikit lalu belok kanan ke arah Timur,” jelas Pak Juno yang membuat Leo berpikir. Arah Timur berarti belok kanan ya? ucapnya dalam hati sambil memperhatikan matahari yang bersinar terik di luar sana.

 

Meskipun matahari bersinar terik, kota kecil itu seolah tidak terpengaruh. Suasananya tetap sejuk berkat banyak pohon.

 

“Mas Ryan bilang urusan sekolah udah beres. Besok saya bisa anter Leo ke sini jam setengah 7 pagi,” jelas Pak Juno saat mobil mereka melewati SMA Negeri itu.

 

“Sepagi itu?!”

 

“Di sini sekolah masuk jam 7 pagi.”

 

What the—

 

Pak Juno terkekeh melihat ekspresi Leo. “Jadi gimana besok mau saya anter?”

 

Naik mobil Alphard di kota kecil seperti ini rasanya terlalu mencolok. Seandainya Ryan memberikannya mobil yang lebih kecil. Bahkan kalau Ryan memberikannya mobil jenis hatchback pun, ia akan dengan senang hati menerimanya.

 

“Enggak Pak,” jawab Leo ketus. “Aku akan naik sepeda.”

 

--

 

Mobil mereka sampai di halaman rumah bersamaan dengan sebuah becak yang mengantar Nenek. Begitu Leo turun dari mobil, ia langsung dipeluk oleh Nenek.

 

“Ya ampun, kamu sudah besar sekali,” kata Nenek dengan mata berkaca-kaca. Ia mengamati cucunya dengan senyum hangat di wajahnya.

 

Mau tak mau, Leo tersenyum. Nenek sangat mirip dengan Ibunya dan entah kenapa itu membuatnya hatinya seolah tergores karena ia sudah tidak bisa memeluk Ibunya lagi.

 

 

You Might Also Like

0 comments