Original Story

Chapter 3 — Deranged

November 27, 2024


The Casket of Unforgiven Pieces
Chapter 3

────────────

Deranged

𝘋𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘦𝘥: 𝘶𝘯𝘢𝘣𝘭𝘦 𝘵𝘰 𝘣𝘦𝘩𝘢𝘷𝘦 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘪𝘯𝘬 𝘯𝘰𝘳𝘮𝘢𝘭𝘭𝘺

────────────

Langit masih berwarna biru gelap dan matahari belum terbit, tapi ia sudah pergi keluar rumah. Berhubung  liburan semester ganjil sudah dimulai, ia bisa mencoba jogging di tempat lain karena biasanya track larinya hanya di sekitar kompleks perumahan.

Ia menemukan tempat baru untuk lari yang terletak di area universitas. Riga yang memberitahunya tempat ini karena kakak perempuannya kuliah di universitas tersebut. Jarak universitas dari rumahnya tidak terlalu. Area terbuka tersebut dikelilingi pepohonan yang rindang. Belum banyak orang yang mengunjungi area terbuka itu di pagi hari dan itu membuat Kalev lebih tenang. Ia cenderung menghindari keramaian ataupun bertemu orang-orang.

Ia mulai berlari mengitari area terbuka. Awalnya ia mencoba berlari karena itu satu-satunya olahraga yang tak mengharuskannya berinteraksi dengan orang lain dan mudah dilakukan. Namun ternyata berlari dapat membuatnya berhenti berpikir sejenak karena kepalanya terlalu sibuk menyuruhnya mengambil napas. Ia hanya mau mendiamkan isi kepalanya yang seringkali bising. Saat berlari, ia hanya perlu mendengarkan suara angin dan fokus pada langkah kakinya. Biasanya ia baru berhenti ketika kunang-kunang membanjiri pandangannya dan napasnya hampir habis.

Setelah berlari selama satu jam penuh, suasana area terbuka itu mulai ramai oleh mahasiswa. Ia melambatkan langkahnya dan mengatur napasnya seraya mencari tempat untuk beristirahat. Ada beberapa gazebo kosong yang berada di sekeliling tempat itu.

“Hey, anjing.”

Kalev tidak menoleh dan pura-pura tidak mendengar meskipun ia mengenal intonasi suara itu. Ia menghela napas. Hanya ada satu orang yang memanggilnya anjing. Kenapa dia ada di tempat beradab ini? ucapnya dalam hati.

“Kalev, udah lupa posisimu sebagai anjing?”

Kalev berbalik badan karena seorang mahasiswa yang baru saja berjalan melewatinya tampak menoleh penasaran. Baiklah. Kita ladeni manusia sampah ini. Ia menatap Bari yang berdiri beberapa meter di belakangnya. Pemandangan yang aneh melihat Bari berdiri sendirian tanpa kroni-kroninya.

Berandal itu berdiri dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Ia memakai topi, kaos berwarna hitam, dan celana training. Wajahnya yang menyebalkan tampak menyeringai pada Kalev. “Siapa sangka bisa bertemu denganmu di sini?”

“Justru aku yang heran bisa melihatmu di tempat beradab ini.

“Bukan cuma kau yang bisa berlari di sini.”

To the point. Mau apa kau bicara denganku?”

“Ckckck, udah berani menyalak sekarang?”

Kalev menatap Bari dengan sorot mata tak tertarik. Walau begitu, ia masih menjaga jarak aman dari Bari. Ia tidak bisa menebak apa yang akan dilakukannya di tempat itu. “Mau apa?”

“Aku hanya mau memberi peringatan. Jangan pikir kau selamat gara-gara Riga. Keluargamu masih belum aman.”

“Maksudmu?” Kalev mengatupkan rahangnya.

“Bukan aku yang akan melakukannya, jadi aku enggak tau detailnya. Tapi mereka akan mulai membalas dendam pada keluargamu.”

“Masalah uang satu miliar rupiah?” kata Kalev dengan nada suara malas. Ia memastikan tidak ada orang-orang di sekitarnya. “Bukan keluargaku yang melakukannya. Orang itu bukan keluargaku lagi.”

Bari mengangkat tangan. “Bukan urusanku.”

Kalev menghembuskan napas panjang. Matanya melihat sebuah objek yang dikenalinya di tempat parkir. “Aku heran kenapa kau begitu terlibat dalam urusan ini. Kau cuma anak-anak. Kau cuma dimanfaatkan dan dijadikan alat yang habis itu akan dibuang. Kau ini manusia sampah.”

Tiba-tiba Bari menarik kerah baju Kalev. Sontak beberapa pengunjung yang ada di sekitar area itu langsung menoleh ke arah mereka. Kalev memejamkan mata—bersiap menghadapi bogem mentah. Tapi ternyata tidak ada. Bari melepaskan tangan dari kerah bajunya.

“Kau tidak tahu apa-apa, anjing,” desis Bari penuh penekanan.

**

Selama liburan, Kalev lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Sementara Mama bekerja di kantor dan bepergian ke luar kota, cowok itu lebih banyak berdiam diri di rumah dengan membaca buku. Ia cukup menikmati buku bergenre misteri dan horor seperti novel dari penulis John Grisham dan Keigo Higashino. Ia juga membantu Mama melakukan pekerjaan rumah karena mereka tidak memiliki Asisten Rumah Tangga. Mama masih takut akan ada orang yang membocorkan alamat mereka ke orang yang salah. Ia cukup ahli membersihkan rumah, memasak menu makan siang sederhana, dan ia bisa merapikan rumah (kecuali kamarnya).

Liburan akhir semester bertepatan dengan natal dan tahun baru. Ia merayakan natal bersama Mama dengan hanya pergi ke gereja. Setiap menjelang akhir tahun, Mama selalu banyak termenung sendirian karena tanggal 30 Desember adalah hari peringatan kematian putra bungsunya. Rumah menjadi sangat hening dan nuansa perayaan natal mereka pun terasa hampa. Lagi-lagi tahun ini Mama tak merayakan natal di rumah keluarga besar yang ada di Jakarta.

Kalev memberikan Mama waktu untuk menyendiri. Ia tidak menanyakan alasan kenapa mereka tak berkumpul dengan keluarga besar karena sepertinya ia tahu jawabannya. Saat Mama sedang termenung sendirian, Mama seringkali hanya mengurung diri di kamar dan keluar kamar hanya ketika waktu makan. Di saat seperti itu, Kalev mengambil tanggung jawab atas semua pekerjaan rumah. Ia menolak ajakan Riga untuk merayakan malam tahun baru di luar. Ia terbiasa menghabiskan waktunya sendirian di rumah saat malam tahun baru dan melihat kembang api dari jendela kamarnya.

Namun, tepat di hari terakhir liburannya, tiba-tiba Mama pingsan saat sedang memasak makan malam di dapur. Kalev yang mendengar suara seperti seseorang jatuh langsung bergegas ke dapur. Malam itu baru hari kedua di tahun yang baru dan langit bergemuruh oleh hujan badai.

Spontan Kalev mematikan kompor lalu mengecek denyut nadi ibunya. Denyut nadi mama terasa berdenyut tapi entah kenapa tangan Mama sangat dingin.  Kalev mencoba memanggil Mamanya, tapi tidak ada respons. “Ma?”

Ia mencoba meluruskan tubuh Mama dan meninggikan posisi kaki Mama supaya melancarkan aliran darah. Ia tahu bagaimana pertolongan pertama pada orang pingsan Kalev berusaha keras untuk tidak panik, tapi setelah 20 menit, Mama masih belum sadarkan diri. Pelan-pelan, ia menggendong Mama ke sofa ruang tengah dan tetap memposisikan kaki Mama supaya lebih tinggi. Wajah Mama tampak sangat pucat seolah tidak ada darah mengalir di wajahnya.

Kalev langsung menelepon nomor emergency rumah sakit karena mobil Mama saat itu sedang diservice dan beberapa saat kemudian sebuah mobil ambulans datang menjemput Mama. Untungnya ambulans itu tetap cepat merespons panggilannya meskipun di luar hujan deras. Ia bergegas mengambil beberapa pakaian ganti untuk Mama dan memasukkannya ke dalam tas, memastikan lagi kalau kompor sudah mati, mencabut kabel blender dan rice cooker, lalu mengambil tasnya sendiri sebelum masuk ke dalam ambulans.

Para perawat langsung mengecek kondisi Mama. Kalev memperhatikan perawat itu bekerja di dalam mobil ambulans. Ia menjawab pertanyaan dari perawat itu dengan tenang. Kalev menjaga agar suaranya tidak panik dan mengatur napasnya. Ia tampak sangat tenang dari luar, namun sebenarnya ia luar biasa khawatir. Ia takut Mama terkena penyakit kronis…

Begitu sampai di rumah sakit, Kalev membiarkan Dokter IGD memeriksa Mama serta menjawab beberapa pertanyaan sederhana dari dokter soal kronologi kenapa ibunya bisa pingsan dan bagaimana ia melakukan pertolongan pertama. Kemudi, ia diminta untuk menunggu sebentar.

Ia menunggu pemeriksaan dokter dengan gelisah dan memutuskan untuk keluar area IGD sebentar untuk menarik napas. Ia menghirup dalam-dalam udara malam yang dingin akibat hujan deras. Entah sejak kapan, tangannya gemetar. Ia duduk di kursi tunggu yang ada di luar selama beberapa saat sampai napasnya jauh lebih stabil dan tangannya berhenti gemetar. Ia tersentak ketika seorang perawat menyentuh bahunya untuk menyampaikan kalau ibunya sudah kembali sadarkan diri. Walau sudah sadarkan diri, Mama tetap harus dirawat inap.

Ia pun masuk kembali ke IGD dan menghampiri dokter yang baru saja memeriksa Mama. “Benar kamu Putranya Ibu Riana Sanjaya?” tanya dokter tersebut memastikan.

Kalev mengangguk.

"Ibumu pingsan bukan karena terkena anemia berat. Nanti Ibumu akan mendapat transfusi darah dan setelah itu harus dirawat inap sampai kondisinya membaik. Kamu tahu informasi golongan darahnya?”

“Golongan darahnya A+,” jawab Kalev.

“Baik, berikutnya kamu bisa mengurus administrasi untuk rawat inap. Setelah itu, Ibumu akan dibawa ke ruangan rawat inap untuk bedrest. Besok pagi, dokter spesialis akan memeriksa kondisi Ibumu."

Kalev mengangguk dan berterima kasih pada dokter tersebut. Ia menghela napas panjang. Setelah mengurus administrasi rawat inap, ia menuju ruang rawat inap Mama yang berada di lantai lima rumah sakit. Ketika ia masuk ke ruangan rawat inap VIP itu, Mama sedang tertidur. Wajah Mama tidak sepucat tadi setelah mendapatkan transfusi darah.

Kalev menghempaskan tubuhnya di sofa sempit yang ada di ruangan itu. Tiba-tiba ia merasa sangat lelah. Ia sangat ingin tidur tapi otaknya tak membiarkannya beristirahat. Di luar hujan sudah berhenti membuat suasana menjadi sangat sunyi. Ia pun mengambil ponselnya dari saku jaket yang ia kenakan. Ia melihat ada notification dari satu-satunya temannya saat itu. 

Riga

Posisi di mana?
Ada di rumah?


Kalev
Aku di luar
Whyyy?

Tadinya mau kuajak keluar
Luar mana?
Rumah sakit

Siapa yang sakit?

Mama

Di rsud ulin bukan?
Yeahh


Satu jam kemudian, Riga meneleponnya dan menyuruhnya untuk turun ke lobi rumah sakit. Kalev tidak pernah bisa menebak apa yang akan dilakukan Riga selanjutnya. Kelakuan Riga sering tidak bisa ditebak. Ketika ia menemui Riga di lobi rumah sakit, Riga langsung menyodorkan sebungkus plastik berisi kotak bekal dan sekeranjang buah-buahan.

“Apa ini?” Kalev tidak langsung menerimanya.

“Kebetulan, Kakakku masak nasi goreng berlebihan dan buah-buahan yang satu ini buat Ibumu,” kata Riga tanpa menatap Kalev. Ia tampak sedikit kikuk—suatu hal yang jarang ditunjukkan Riga. “Jangan menolak! Ambil enggak?” ucapnya dengan sedikit memaksa.

Kalev tertawa. “Kakakmu baik sekali. Thanks buat kakakmu,” kata Kalev seraya menerima dua bungkusan itu. Kotak bekal itu bahkan masih terasa hangat di tangannya.

“Huffft…” Riga tampak lega ketika Kalev mau menerimanya. “Kakakku ini benar-benar ribet,” gerutunya dengan suara pelan. Begitu ia bilang kalau temannya berada di rumah sakit, Kakaknya langsung menyuruhnya untuk menjenguk temannya. Padahal Riga sudah jelaskan kalau yang sakit bukan temannya, tapi Kakaknya tetap bersikeras untuk menyuruh Riga mengantarkan makanan untuk temannya karena biasanya orang yang menjaga seringkali tidak sempat makan.

Namun sebenarnya, tanpa disuruh pun, Riga tetap akan menemui Kalev karena selama liburan itu mereka hampir tidak pernah bertemu. Ia penasaran kenapa anak itu lebih memilih mendekam di dalam rumah selama liburan dan menolak ajakannya keluar saat malam tahun baru.

“Sori jadi ngerepotin,” kata Kalev pelan. Ia sedikit merasa bersalah karena merepotkan Riga.

"BUKAN ITU MAKSUDKU!” Riga langsung membuat tanda silang dengan tangannya. “Maksudku… ah sudahlah. Kau pasti belum makan, kan?”

Kalev sama sekali tak teringat untuk makan malam. Ia tidak berselera makan karena kejadian malam ini. “Belum.” Tapi, isi kotak bekal buatan kakaknya Riga entah kenapa membuatnya lapar.

“Bagaimana kondisi Ibumu?” tanya Riga. Saat itu mereka duduk di kursi tunggu yang ada di lobi rumah sakit.

“Udah mendingan setelah transfusi darah,” jawab Kalev. “Kurasa besok Mama bisa kembali ke rumah, tapi tentunya belum bisa ke kantor.”

“Kau hanya tinggal dengan Ibu ya?” tanya Riga hati-hati.

“Iya, orang tuaku sudah berpisah,” jawab Kalev santai.

“Ooh sorry.”

“Bukan masalah lagi kok,” sahut Kalev. Ia melirik jam dinding yang ada di lobi. Sekarang baru pukul 10 malam, tapi entah kenapa rasanya seperti sudah tengah malam. Ia benar-benar capek. Besok seharusnya sudah masuk sekolah, tapi terpaksa besok ia harus izin karena harus menjaga Mama.

“Makan nasi gorengnya sekarang sebelum jadi dingin,” ucap Riga. “Aku akan menemanimu makan sambil ngerjain soal.”

“Kau takut aku akan menghilangkan tupperwarenya dan jadinya kau yang dimarahi?”

Riga tertawa. “Ibuku bakal marah kalau kotak bekal itu hilang, tapi Kakakku bakal senang kalau tahu kau menghabiskannya,” ucapnya seraya mengambil tab yang ternyata dibawanya di dalam tas selempangnya. Kemudian ia mulai mengerjakan soal matematika yang ada di layar tabnya menggunakan stylus pen. Raut wajahnya langsung berubah serius.

Kalev pun membuka kotak bekal itu. Aroma nasi goreng hangat yang penuh rempah-rempah langsung tercium semerbak. Nasi goreng buatan Kakaknya Riga itu ternyata juga lengkap dengan sayur capcay dan roll egg. Ia langsung menikmati masakan rumahan itu sambil berpikir sepertinya ia bisa meniru resep nasi goreng ini dan memasaknya sendiri di rumah. Sebenarnya ia lumayan suka memasak. Jika dibandingkan mencuci piring, ia lebih memilih memasak.

Beberapa saat kemudian, Kalev menandaskan isi kotak bekal itu. “Aku akan mengembalikan kotak ini besok ke rumahmu,” katanya pada Riga.

Riga menurunkan tabnya. Ia mengambil kotak bekal miliknya yang ada di tangan Kalev. “Biar aku bawa sekarang. Besok kau masih harus menjaga Ibumu kan?” Lalu ia memasukkan kotak itu ke dalam tas selempangnya bersamaan dengan tabnya.

“Kau ini benar-benar. Aku kan bisa mencucinya dulu,” kata Kalev.

“Udah, udah. Kau fokus menjaga Ibumu.”

Thank you,” kata Kalev dengan telinga memerah. Senyuman yang jarang terlihat itu, kini terlukis di wajahnya. Ia merasa tidak tahu bagaimana harus berterima kasih selain mengucapkan kata terima kasih. Riga sudah terlalu baik padanya dan kebaikannya yang tak terduga selalu membuat hatinya hangat.

Riga tampak berseri-seri. Ia sangat senang bisa membantu temannya itu. “Sama-sama. Aku pulang dulu. Kabari aku kalau kau kembali ke rumah!” Cowok itu beranjak berdiri lantas berjalan keluar dari lobi rumah sakit sambil melambaikan tangannya pada Kalev 

Malam itu, Kalev kembali ke ruangan rawat inap Mama sambil membawa sekeranjang buah dari Riga. Mama masih terlelap. Hanya lampu berwarna kuning temaram yang menyinari ruangan itu. Kalev mendudukan diri di atas sofa dan mencoba untuk memejamkan matanya. Namun, ia kembali membuka matanya. Ia tetap tidak bisa tertidur meskipun ia sangat lelah. Ia menatap langit-langit rumah sakit selama beberapa waktu. Lalu ia mengambil ebook readernya dan membaca sampai pagi. Tapi paginya, ia jatuh tertidur.

Ketika bangun, selimut sudah menutupi tubuhnya yang meringkuk di atas sofa. Sofa mungil itu tak mampu menampung tubuh tingginya. Ia bangun dengan tubuh terasa kaku karena tidur dengan posisi badan tertekuk di sofa yang sempit. Lalu ia mendapati lebih banyak keranjang buah di nakas samping tempat tidur Mama.

“Sudah bangun?” sapa Mama yang sedang menyantap makan siang yang disiapkan rumah sakit. Mama tampak jauh lebih segar. “Tuh, ada bubur. Tadi ada rekan kerja Mama datang bawain bubur sama buah.”

AC Rumah Sakit terasa sangat dingin sehingga ia menyampirkan selimut itu di bahunya sambil berjalan mengambil sekotak bubur ayam yang ada di nakas. “Mama kenapa enggak bangunkan aku???” keluhnya. Ia malu karena pasti rekan kerja Mama melihatnya tidur meringkuk di atas sofa.

Mama tersenyum hangat. “Kamu pasti capek. Mama mana mungkin tega membangunkanmu.” Ia memperhatikan putranya yang kembali duduk di atas sofa. Rambut hitamnya tampak awut-awutan. Ia baru menyadari Kalev tumbuh semakin tinggi selama dua tahun belakangan ini dan bahunya semakin lebar.  “Tadi malam ada yang bawain buah ya?” tanya Mama lagi.

“Temanku yang bawain,” jawab Kalev sambil menyuap bubur.

“Oh ya? Syukurlah kamu sudah punya teman di sini.” Wajah Mama langsung terlihat sumringah. Beberapa bulan terakhir, ia sempat khawatir anaknya tidak bisa membaur di sekolah barunya. Sebenarnya sejak di Denpasar, ia sudah mengetahui kalau Kalev berbohong waktu anak itu bilang dia punya teman di sekolah. Tapi kali ini, Kalev terlihat jujur.

“Lain kali biar aku yang memasak makan malam,” kata Kalev tiba-tiba—teringat kejadian semalam.

“Mama kan sekali-sekali juga mau masak buat anaknya,” balas Mama. Ia merasa bersalah karena selama liburan, putranya yang lebih banyak melakukan pekerjaan rumah mulai dari memasak sampai membersihkan rumah, hanya karena ia selalu dilanda perasaan duka setiap akhir tahun. Kalev melakukan semuanya sendirian tanpa mengeluh dan tak pernah sekalipun menganggap pekerjaan rumah sebagai pekerjaan perempuan, seperti kebanyakan pikiran laki-laki lain. Tanpa disadarinya, Kalev tumbuh dewasa terlalu cepat.

“Atau Mama sebenarnya enggak suka masakanku?” kata Kalev sambil tersenyum bercanda.

Mama tertawa. “Siapa bilang? Masakanmu selalu yang paling enak di rumah.” Bahkan anak itu sampai rela belajar memasak.

Kalev balas tertawa. Hatinya terasa ringan saat Mama mulai kembali tersenyum. Ia sempat khawatir Mama akan selamanya berduka karena kepergian Maven. Hatinya semakin riang ketika Mama bilang menyukai masakannya. Yeah, ternyata tidak sia-sia ia sering berlatih memasak sendirian sambil mengikuti tutorial di youtube kalau Mama pergi keluar kota.

Tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal di hati Mama. Sesuatu yang terus-menerus menghantuinya. Kali ini, ia harus berterus terang pada putranya. “Kalev, sebenarnya Mama sudah mencoba menelepon Ayahmu, tapi nomor Ayahmu tidak bisa dihubungi lagi.”

Kalev tertegun. “Buat apa telepon, Ma?”

“Sepertinya… tamu tak diundang yang datang malam itu mencoba menemui Mama di ruangan Mama berkali-kali. Dia mengaku sendiri kalau dia yang datang ke rumah kita yang pertama kita datangi malam itu. Seminggu yang lalu, Mama bertemu langsung dengannya dan mendengar pengakuannya. Tamu itu bilang, kalau kita harus ganti rugi atas penipuan yang dilakukan Papa.”

Raut wajah Kalev berubah serius.

Mama menghela napas panjang. “Mama memang memiliki aset yang nilainya lebih dari itu, tapi itu semua untuk kehidupan kita. Mama tak mungkin mengeluarkan uang itu begitu saja untuk hal sia-sia.”

Kalev mendengarkan cerita Mamanya yang terdengar gawat. Bagaimana mungkin Mama menahan tidak memberitahunya soal ini?

“Kalau Mama tidak membayarnya sampai akhir bulan ini, mereka mengancam akan merusak karier Mama.”

“Apa?” Merusak karier Mama berarti merusak kehidupan Mama dan akan mengancam kehidupan mereka berdua ke depannya. Ini situasi yang serius.

“Dia juga mengatakan… kalau Papa terlibat penjualan narkoba dan jika namanya dilaporkan, tamu tak diundang itu mengancam akan mencemarkan nama baik Mama,” Suara Mama melemah. Wajahnya kembali pucat pasi.

“Ma???” Kalev refleks berdiri dan membantu Mama mengambilkan air minum. Lantas ia membantu Mama membereskan sisa makan siangnya. “Jangan pikirkan Papa. Semua perbuatan Papa sekarang tidak ada hubungannya dengan Mama sekarang.”

Tiba-tiba tangis Mama pecah. “Tapi bagaimana kalau orang itu sampai mencelakaimu juga? Orang itu bilang tak akan segan-segan—” Mama tak sanggup melanjutkan ucapannya. Saat itu, Mama terlihat sangat rapuh. Padahal selama ini, ia selalu berusaha terlihat kuat dan tegar di depan putranya. Ia selalu menunjukkan kalau ia tetap bisa menjadi Ibu yang baik untuk Kalev meskipun membesarkan Kalev sendirian.

Kalev menggeleng. “Enggak akan pernah yang ada menggangguku.” Bohong. “Bisa sebutkan nama siapa tamu yang mendatangi Mama waktu itu, Ma?”

Mama mencoba mengingat-ingat, tapi Mama tidak yakin apakah tamu tak diundang itu menyebutkan namanya. “Mama lupa siapa namanya.”

Kalev tampak kecewa berat karena gagal mendapatkan clue nama yang bisa diincarnya.. “Yang benar, Ma?” Baiklah, dia akan cari tahu sendiri.

Dengan suara sengau, Mama berkata, “Tenang… Mama sudah melaporkan soal ini ke polisi dan sejak ada tamu itu, keamanan di kantor Mama diperketat. Mama sudah bilang ke security kantor supaya jangan menerima tamu dari perusahaan ekspor-impor PT Exchange.  Jadi, jangan khawatirkan keamanan Mama, oke?”

Mata Kalev melebar penasaran. “Dia menyebutkan mama perusahaannya?”

“Ya.. orang itu hanya menyebut sekali nama perusahaannya. Namanya PT Exchange. Mama sendiri enggak pernah mendengar nama itu sebelumnya.”

Akhirnya Kalev mendapatkan sebuah clue. Ia mengingat pernah melihat logo PT Ex yang sudah kabur tulisannya di mobil Granmax putih yang dilihatnya dua minggu yang lalu saat Bari menghampirinya di area terbuka universitas. Waktu itu, tak jauh dari tempatnya memarkir motor, ia melihat mobil Granmax putih dengan baret yang sama dan sebuah stiker pudar di jendela sisi kanan.

“Kalev?” Mama memanggil nama putranya.

Kalev mengerjapkan mata. Ia sampai tak mendengar suara Mama karena otaknya berpikir keras. Ia menatap mata Mama yang sangat mirip dengan matanya. Sorot mata Mama tampak sendu.

“Mama meminta maaf… karena tidak bisa menjagamu dengan baik.”

“Ini semua bukan salah Mama,” ucap Kalev lembut.

**

Minggu pertama semester genap

6 Januari 2023

“Kau kenal Bari sejak SD?” tanya Kalev pada suatu siang saat mereka berada di bagian atap sekolah yang tertutup kanopi. Mereka duduk berteduh di bawah kanopi dari sinar matahari yang terik. Meskipun matahari bersinar terik, awan besar menggantung di atas langit sana dan angin berembus sepoi-sepoi. 

Riga menghisap rokoknya dan menghembuskannya. “Kenapa? Dia mengganggumu lagi?” balas Riga sambil menoleh pada Kalev.

Sebenarnya Kalev kurang nyaman saat Riga merokok di sampingnya karena bau rokok akan menempel di bajunya sampai pulang sekolah nanti. Mama pernah tak sengaja mencium bau rokok dari seragamnya dan setelah itu Mama menuduhnya merokok serta memberinya kuliah singkat soal bahaya merokok.

Tapi kali itu sepertinya Kalev juga butuh efek nikotin untuk menenangkan pikirannya yang sedang kacau. Ia kurang tidur karena otaknya tak membiarkannya beristirahat setiap malam semenjak kembali dari rumah sakit. Otaknya terus-menerus berpikir keras bagaimana caranya mengungkap siapa nama tak diundang itu dan bagaimana cara menyingkirkannya dari kehidupannya.

“Enggak. Aku cuma penasaran, bagaimana lingkungan sekelilingnya,” ucap Kalev sambil berdiri pada pinggiran atap sekolah yang pendek. Mungkin jatuh dari sini akan membuat semua ini berakhir, bisik pikiran intrusifnya.

“Lev, kau bisa jatuh,” kata Riga yang duduk tak jauh darinya. Sorot matanya tampak khawatir.

Kalev berjalan di atas pinggiran itu tanpa rasa takut sedikitpun. Ia tidak gentar pada ketinggian. Tapi, melihat mata Riga yang terus memelototinya seolah ia akan loncat dari atas gedung membuatnya turun dari pinggiran atap dan duduk di sampingnya. “Aku mau coba itu,” kata Kalev sambil menunjuk batang rokok yang terselip di bibir Riga.

Riga tertawa. “Kau serius?” Ia mengambil batang rokoknya dari mulutnya dan menyerahkannya pada Kalev.

Kepala Kalev langsung menghindar mundur. “Bukan dari mulutmu, bodoh!”

Tawa Riga terdengar renyah. Ia pun mengambil bungkus rokoknya dari saku baju dan mengambilkan satu untuk Kalev. Kalev langsung menerimanya dan menyelipkannya di bibir. “Korek api?”

“Habis.” Riga menyulut korek apinya beberapa kali tapi tidak ada api yang muncul.

“Yang benar aja…”

“Kau bisa menyulutnya dengan rokokku.”

Spontan Kalev mengambil rokoknya dari bibir dan menyerahkannya pada Riga. Riga mengambil rokok itu dan menyundut ujungnya dengan bara api di rokoknya. Ia memberikan rokok yang sudah menyala itu pada Kalev. Kemudian, cowok berambut hijau itu menonton Kalev menghisap rokok pertamanya. Ia pikir Kalev akan terbatuk-batuk, namun anak itu kelihatan sangat mahir menghisap dan mengembuskan asap dari mulutnya.

“Ada yang lagi kau pikirkan?”

“Enggak ada," jawab Kalev. Raut wajahnya tanpa ekspresi. Manik matanya yang berwarna hitam tampak menyembunyikan sesuatu. Namun, Riga tak pernah bisa membaca apa yang ada di balik pikiran Kalev. Terkadang Kalev tampak sangat misterius dan dingin, tapi kadang anak itu bisa terlihat seperti buku yang terbuka dan polos.

"Terus kenapa merokok?"

"Mau tau efek nikotin."

Saat itu jam 2 siang dan seharusnya mereka berada di kelas, tapi kebetulan kedua kelas mereka jam kosong. Guru mereka hanya meninggalkan seabrek tugas yang harus dikumpulkan nanti sore dan niat awalnya, mereka ingin mengerjakan tugas itu di bawah kanopi atap sekolah sambil menikmati angin tapi berujung mereka hanya duduk merokok sambil menatap langit yang penuh awan cumulonimbus.

Menit demi menit berlalu. Mereka memutuskan untuk mengerjakan tugas dari guru masing-masing karena mereka sudah bawa buku tulis sampai ke atas. Mereka perlu membunuh waktu sampai bel pulang sekolah berbunyi. Setelah tugas mereka selesai, mereka kembali ke kelas.

Begitu bel pulang berdering, Kalev langsung pergi ke parkiran sekolah. Ia berencana akan mengikuti kemana Bari pergi. Ia menunggu Bari datang.

Plat motor Kalev sudah berganti menjadi DA sehingga motornya tidak lagi mencolok dengan plat DK. Ia berdiri di balik bayangan, memperhatikan Bari yang baru saja keluar bersama gerombolannya. Ia sempat mendengar sekilas informasi saat Kalev menyelinap ke pintu rahasia belakang sekolah pada hari sebelumnya kalau hari ini Bari harus ke gudang. Ia menunggu hingga Bari mengendarai motornya keluar dalam diam.

Saat itu, parkiran motor sangat ramai. Bari tak mungkin menyadari dirinya sedang memperhatikannya.

Setelah Bari melesat keluar parkiran, Kalev menyalakan motornya dan menyusul tak jauh di belakangnya. Kalev menjaga jarak agar Bari tidak melihatnya. Ia tidak tahu kemana Bari akan pergi tapi arah ini menuju ke jalan lingkar luar kota. Ia pernah melewati jalan itu sekali. Di wilayah itu banyak truk lewat karena arahnya yang menuju pelabuhan sungai. Di sekeliling wilayah itu juga banyak gudang-gudang yang menjadi tempat penyimpanan barang.

Buat apa Bari pergi ke daerah ini sendirian? Saat itu, Bari tidak lagi bersama gerombolannya. Ia mengamati motor Bari yang memasuki ke sebuah gudang dan ia tidak langsung berbelok ke arah yang sama dengan Bari. Ia menunggu dengan sabar hingga langit mulai gelap. Gudang itu tidak dijaga oleh security.

Ketika ada truk melaju keluar dari gudang, Kalev memarkirkannya di luar area gudang dan berjalan masuk ke area gudang. Gudang itu sangat sepi. Berhubung gudang itu berada di tengah lahan kosong, ia hanya mendengar suara jangkrik sahut-menyahut. Ia mencari sumber suara manusia dan mengikuti arah cahaya lampu karena halaman di depan gudang tidak memiliki penerangan apapun.

Ia berjalan mengendap-endap tanpa suara. Kemudian, ia menemukan sebuah tangga  lurus tunggal menuju jendela yang mengarah ke bagian dalam gudang. Tangga itu berkarat. Ia harus melihat ke dalam gudang karena ada suara orang-orang dari dalam situ. Lantas ia memanjat tanpa suara dan bergantung tepat di bagian depan jendela kecil.

Matanya menyipit melihat tumpukan karung barang dan kontainer. Ia tidak bisa menebak apa isi karung-karung tersebut? Apakah bahan makanan? Apakah bahan manufaktur? Lalu ia melihat beberapa orang—salah satunya ada tamu tak diundang malam itu. Meskipun jarak mereka jauh dari jendela, Kalev bisa melihat jelas perawakan tubuh dan dua wajah lainnya yang pernah mendatangi rumahnya di malam hari.

Tidak salah lagi.

Kumpulan orang itu sedang melingkari sebuah meja bundar—bermain kartu remi dengan taruhan setumpuk uang di tengahnya. Ia terus mengamati hingga salah satu dari mereka kalah dan tidak terima dengan kekalahannya. Ia juga melihat Bari bermain bersama mereka. Bari tampak mudah sekali membaur dengan orang-orang dewasa di sekelilingnya. Suara obrolan mereka tidak terdengar karena jarak mereka terlalu jauh dari jendela atas. 

Tangan Kalev mulai kebas karena terus berpegangan erat pada tangga besi yang mulai rapuh itu. Namun ia tetap bergeming di posisinya. Ia menunduk ketika salah seorang menatap ke arah jendela. Jantungnya berdetak keras hingga ia bisa mendengar detaknya di telinga. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Setelah merasa aman, ia mengangkat kepalanya lagi untuk mengintip. Kali ini ada seorang pria berusia 40 tahunan dengan jas rapih muncul di antara mereka.

Ia mengingat setiap detail mereka.

**

Hari-hari berikutnya, Kalev sering pergi ke area gudang meskipun Bari tidak pergi ke sana. Ia mencari tempat tersembunyi yang lebih dekat dengan kumpulan orang mencurigakan itu. Ia semakin mahir menyelinap dan bersembunyi. Semakin banyak juga informasi yang didapatkannya. Ia mulai hapal celah-celah untuk menyelinap. Untungnya, tidak ada kamera pengintai di luar maupun dalam area gudang.

Ia menyelinap dengan waktu acak agar tidak bisa terdeteksi. Seringkali orang yang ia temui berbeda dari waktu ke waktu. Namun, malam itu Kalev mulai mendengar sesuatu. Malam itu keempat kalinya Kalev datang untuk mengorek informasi, ia mendengar nama Winata disebut—nama Papanya.

“Winata tak mungkin bisa mengembalikan uang sebanyak satu miliar."

"Tapi penghasilannya dari penggelapan uang dan narkotika harusnya bisa."

"Kalau membunuh mantan istri dan anak kandungnya di sini? Apakah cukup bisa membuatnya mau membayar?"

"Aku tahu anaknya. Anak itu lemah tapi tangguh. Sulit membunuhnya kecuali mengancamnya dengan Ibunya."“

"Dua orang itu paling tidak punya sepersepuluh dari satu miliar."

“Aku sudah datang ke kantor mantan istri Winata. Kita lihat saja akhir bulan nanti.”

Kemudian obrolan itu berlanjut ke hal lain soal transaksi ilegal dan penggelapan uang. Orang-orang itu terdengar mabuk karena Kalev bisa mencium bau alkohol yang tajam dari tempatnya bersembunyi. Kalev menahan bau memuakkan itu dan terus mendengarkan.

Malam itu, untuk pertama kalinya ia pulang tengah malam karena menunggu sampai orang-orang itu pergi. Ia menyesal bersembunyi di tempat yang terlalu dekat dengan mereka karena membuatnya sulit untuk menyelinap pergi tanpa ketahuan.

Sesampainya di rumah, waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Ia membawa kunci rumah cadangan. Sebelumnya ia memang sudah bilang akan pulang ‘telat’ karena ada tugas kelompok, tapi ia tidak bilang kalau akan sampai melewati tengah malam. Untungnya Mama sudah terlelap di kamar tidurnya sehingga ia tidak perlu diinterogasi Mama.

Begitu masuk ke dalam kamar, ia langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Seluruh tubuhnya luar biasa pegal karena berdiam dalam posisi yang sama selama berjam-jam. Namun, ia tidak bisa tidur. Pikirannya berkelebat. Apa yang akan dilakukan komplotan orang itu?

Beberapa hari berikutnya, Kalev tampak lebih pendiam daripada biasanya. Ia menanggapi obrolan Riga dengan jawaban lebih singkat. Ia setengah mendengarkan ketika Riga berceloteh panjang lebar. Ia setengah memperhatikan ucapan Riga ketika mereka bersama saat makan siang atau saat Riga mampir ke rumahnya sepulang sekolah. Suara Riga timbul-tenggelam di kepalanya yang bising. Riga menyadari perubahan sikap Kalev, namun Riga hanya menduga Kalev punya masalah yang tidak bisa diungkapkannya. Terkadang ada beberapa masalah yang memang lebih baik disimpan sendiri, bukan?

Namun, malam itu Kalev datang ke lapangan basket yang berada di pinggir sungai. Ia datang sesuai dengan jadwal yang pernah disampaikan Riga. Cowok berambut hijau itu langsung menyambut Kalev.

Malam itu, Kalev datang dengan memakai celana training, t-shirt putih dan jaket varsity. Tidak biasanya Kalev melangkah ke lapangan, biasanya ia hanya, akan duduk-duduk di pinggir lapangan.

“Ada apa nih?” tanya Riga pada Kalev saat timnya sedang break. Ia mengambil botol air minum dari tasnya dan menenggaknya.

“Ketularan kau,” jawab Kalev.

“Serius?!” seru Riga dengan mata berbinar-binar.

“Yeah, tapi jangan ketawa kalau dribbleku payah,” kata Kalev sambil menyentuh tengkuknya dengan canggung.

Awalnya Riga sempat berpikir Kalev  enggan berteman dengannya lagi karena akhir-akhir ini Kalev tidak menanggapi ceritanya dengan atensi seperti sebelumnya. Biasanya Kalev menjadi pendengar yang attentive, tapi belakangan, ia bahkan seperti tidak mendengarkan setengah dari jalan cerita Riga. 

Itu sebabnya, Riga terlihat gembira waktu Kalev datang untuk coba bermain basket.

“Nih tangkap!” Riga melemparkan bola basket padanya.

Kalev menangkapnya. Ia mencoba mendrible bola itu dan memasukkannya ke ring basket dan masuk. Ia memang tahu sedikit basic bermain basket berkat pelajaran penjasorkes di sekolah. Berikutnya, ia ikut bermain di tim yang sama dengan Riga. Mereka bermain  three on three dengan teman-teman tim basket Riga yang lain.

Tim Riga mencetak 21 poin lebih dahulu sehingga timnya memenangkan permainan kecil-kecilan itu. Ia tampak lebih riang karena ada Kalev. Saat itu, tim basket yang lain mulai bubar, tapi Kalev masih ingin mencoba memasukkan bola ke ring dari wilayah three points. Tidak terlalu sulit mengarahkan bola ke ring dari titik itu saat sedang latihan, tapi kenapa tadi sulit sekali mencetak three points saat permainan berlangsung.

“Kau ternyata bisa main juga,” kata Riga dari pinggir lapangan. Ia sedang menyeka keringatnya dengan handuk. ‘Tapi kerja samamu emang buruk, sih.”

Kalev nyengir.

“Kenapa tiba-tiba mau main?” tanya Riga.

“Emangnya harus ada alasan," jawab Kalev seraya melempar bola ke ring sekali lagi dan masuk. Kemudian, berlari memungut bola yang baru saja ia lemparkan. Ternyata permainan itu tidak buruk juga. Pikirannya terasa jauh lebih ringan.

Kalev berhenti melempar bola setelah ia capek bolak-balik melempar dan mengambil bola sendirian. Keringat meleleh di pelipisnya. Napasnya terengah setelah bermain satu permainan dan mencoba melempar bola sendirian berkali-kali. Ia menyugar rambut hitamnya yang mulai panjang. Lalu ia mengecek smartphonenya untuk melihat jam. Pukul 9 malam.  Masih ada waktu sebelum Mama mencarinya.

“Besok kau harus berkenalan dengan yang lain,” kata Riga. Saat itu tersisa mereka berdua di sisi lapangan basket.

Kalev tampak enggan. “Mereka pasti udah tahu namaku karena kau terus memanggilku tiap kali aku datang," balas Kalev.

“Tapi kau tidak tahu nama mereka, kan? Kecuali tiga orang yang mengajak kita ke Pantai Turki waktu itu.”

Kalev termenung. Sebenarnya, ia sangat enggan berkenalan dengan orang lain. Baginya, teman banyak itu tidak penting. Kualitas lebih penting daripada kuantitas. Maksudnya, ia lebih memilih punya satu teman yang dekat daripada punya banyak teman yang sebenarnya tidak mengenal dirinya. 

Malam itu langit cerah. Meskipun di tengah kota, bintang tetap bisa terlihat. “Udah pernah lihat bintang jatuh?” tanya Riga tiba-tiba.

Kalev menggeleng. “Kenapa? Memangnya kau mau membuat permohonan?”

Riga tertawa. “Bukan… Aku tahu tempat untuk melihat bintang jatuh. Tapi agak jauh dari sini.”

“Aku bisa cari di youtube kalau begitu,” balas Kalev yang membuat Riga hanya bisa menggelengkan kepala. Anak itu terlalu anak rumahan.

“Aku duluan ya. Mama pasti nyariin,” ucapnya seraya memakai jaket dan mengambil botol minumnya.

“Aku juga harus pulang,” kata Riga sambil mengecek jam di layar sentuh ponselnya. Ada missed call dari Ayahnya yang jarang-jarang menelepon karena Ayahnya pasti tahu dia ada di lapangan basket di hari Rabu malam.

Mereka pun beranjak bersamaan. Malam itu, Riga pikir Kalev hanya anak rumahan baik-baik yang kebetulan pindah ke sekolahnya. Ia tidak akan tahu apa yang ada di balik sifat tenang Kalev. Ia tidak akan bisa menebak apa yang bisa dilakukan Kalev berikutnya.

**

Sebelum akhir bulan Januari

30 Januari 2023

Hanya satu clue yang dimiliki Kalev dan ia berhasil mengungkapnya satu per satu. Sekarang menjelang akhir bulan dan ia tak bisa berhenti memikirkan percakapan yang ia dengar saat di gudang. Ia berpikir keras untuk membuat sebuah rencana di sela-sela jam pelajaran. Ia tidak menuangkan rencananya ke kertas karena khawatir akan ada orang membacanya.

Sementara guru menjelaskan di depan kelas, ia mendengarkan dan mencatat hanya untuk mendistraksi pikirannya dari detail rencana yang berspiral dalam kepalanya. Ia melirik jam dinding yang ada di atas papan tulis. Tanpa sadar ia mengetuk-ngetuk pulpennya ke meja.

Ia memutuskan akan melakukan rencananya malam itu.

**

Pukul 9 malam, ia mengendarai motornya ke gudang itu untuk keenam kalinya. Ia selalu mengingat detail setiap kali ia menyelinap ke gudang itu. Setiap kali ia pergi ke tempat itu, selalu terdapat orang yang berkumpul sampai tengah malam. Orang yang datang tidak selalu sama, tapi ia ingat wajah yang pernah meneror rumahnya.

Ia memarkirkan motornya di luar area gudang, tepatnya di balik bayangan tembok yang tak terlihat siapapun. Dalam hening, ia melangkah memasuki area gudang. Lalu ia memanjat tangga dan mengintip ke dalam melalui jendela atap—tempat pertama kali ia memantau isi gudang itu. Ia menangkap target incarannya dan menghitung berapa orang yang mengelilingi targetnya. Hanya dua orang.

Tiga orang sedang mengelilingi meja bundar yang berisi kartu domino, rokok, dan minuman beralkohol. Ketika targetnya bergerak, Kalev meluncur turun dari tangga besi. Ia memastikan langkahnya sesenyap mungkin.

Setelah memastikan tidak ada orang di luar area gudang, ia berjalan menuju pintu masuk gudang yang terbuka. Ia berdiri di depan pintu dengan pisau tajam di tangannya. Ia menyembunyikan pisau itu di saku dalam jaketnya. Telinganya fokus mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekati pintu.

Tepat ketika orang itu sampai di ambang pintu, Kalev mengangkat pisaunya dan mengarahkannya langsung pada dada orang itu. Kalev menyasar langsung ke organ vital tapi Kalev tidak menyangka menghujamkan pisau ke tubuh manusia yang hangat butuh tenaga besar. Ia berkonsentrasi penuh untuk memastikan bilah tajam pisaunya mengenai organ vital. Orang itu tersedak dan mengeluarkan darah dari mulutnya. Matanya menatap horor pada wajah Kalev yang tertutupi kacamata hitam dan masker hitam. Sosok itu membuka mulut untuk berteriak, tapi Kalev menutup mulutnya. Kalev menarik pisaunya dan menghujamkan pisaunya lagi ke tempat yang sama. Orang itu langsung ambruk dengan darah membanjiri pakaiannya dan mengalir ke lantai pualam.

Kalev menyadari ketiga orang lainnya sudah melihatnya dan sedang berlari menghampirinya. Seseorang mencoba menendang tangannya yang memegang pisau tapi Kalev lebih dulu menghindar.

“PENYUSUP!”

“AKAN KULAPORKAN POLISI—”

Kalev menusuk leher orang yang sedang menekan layar ponsel untuk menelepon polisi. Kalev menginjak dan menendang ponsel yang terjatuh itu. Darah pria tersebut langsung muncrat ke masker dan kacamata hitamnya.

Pria itu langsung roboh—masih bergerak dan terbatuk-batuk sambil memegangi leher. Ia sedang sekarat.

Tinggal dua orang lagi.

Seseorang meninjunya dan seorang lagi berusaha kabur. Kalev terhuyung mundur dan jatuh karena kakinya menabrak tubuh targetnya. Kacamata hitamnya terlepas. Namun ia berhasil menangkap kaki orang yang mau kabur tersebut.

Kalev menggapai pisaunya yang jatuh dan menancapkan pisau ke kaki orang yang mau kabur itu. Ia menghujamkan pisaunya ke kaki orang itu hingga orang itu berteriak histeris kesakitan. 

Sekarang lebih banyak darah mengalir di atas lantai.

“Kau suruhan siapa?” Orang yang tadi meninju perut Kalev kini menginjak kakinya dengan keras. Kalev menarik napas dan menahan nyeri luar biasa. Ia menggigit bibirnya hingga terasa darah di mulutnya. Kakinya terasa seperti hancur—diinjak dengan tenaga penuh pria dewasa yang bobotnya lebih berat darinya.

Kalev menarik pisaunya dari kaki orang lain. Tangan pria tambun itu terulur untuk menarik maskernya dan mengungkap identitasnya. Tapi, tanpa ragu, Kalev lebih dulu menusuk dada orang itu. Ia menggertakan giginya dan menusuk orang itu sekuat tenaga hingga mengenai organ vital.  Darah menghujani pakaiannya.

Pria tambun itu pun ambruk di atasnya dan darahnya mengalir di tangan Kalev.

Sunyi senyap. Napas Kalev menderu cepat. Tangannya gemetar. Susah payah ia mengatur napasnya supaya stabil. Sama sekali tidak ada perasaan bersalah—hanya ada adrenalin yang mengalir deras dalam darahnya. Ia menggeser pria tambun itu dari atas tubuhnya dan berguling ke samping. Ia pungut kacamata hitamnya yang retak. Lalu ia menusukkan pisau ke sosok yang tadi berusaha kabur.

“Kau… putranya Ferdinand Winata bukan?”

Kalev langsung terkesiap dan berbalik badan. Seorang pria dengan jas hitam rapih dan cincin giok berjejeran di jari tangannya entah bagaimana muncul di dari dalam gudang. 

Meskipun Kalev mengenakan kacamata hitam yang retak dan masker berwarna senada, orang itu masih bisa mengenali dirinya.

Bahaya.

Ia menggunakan sisa tenaganya yang terakhir untuk berdiri dan menerjang orang itu. Tapi orang itu menangkisnya dengan mudah. Lantas memukulnya dengan tangan beratnya yang dipenuhi jam tangan dan perhiasan emas. Masker Kalev terlepas. Kalev tergeletak di atas lantai dengan pelipis berdarah. Salah satu cincin orang itu melukai pelipisnya.   Kalev mengerang karena tidak tahan lagi menahan sakit. Tangannya terkepal. Ia ingin berhenti saat itu juga. Ia tak sanggup lagi. Energinya terkuras habis. Bagaimana mungkin ia membunuh orang itu? Tapi kalau tidak dibunuh, orang itu akan menjadi saksi tunggal.

Kalev memaksakan dirinya untuk bangkit. Ia berdiri sempoyongan. Matanya menatap tajam sosok di hadapannya. Tangan kanannya masih menggenggam gagang pisau.

“Aku kenal Ayahmu. Ternyata ia dan anaknya sama-sama brengsek. Asal kau tahu—”

Kalev tak mau mendengarkan kelanjutannya. Persetan! Ia mengeraskan rahangnya dan berlari menerjang orang itu sampai orang itu terhempas ke belakang dengan bunyi berdebum mengerikan. Ia menggunakan lututnya untuk mengunci tangan orang itu supaya tidak bergerak. Tanpa pikir panjang, Kalev menghujamkan pisaunya ke dada orang itu berkali-kali secara brutal. Terakhir, Kalev menekan pisau itu jauh lebih dalam ke organ vitalnya lantas ia memelintir pisaunya.

Kemudian orang itu berhenti menggeliat dan mata merahnya menatap kosong. Ia sudah mati.

Tangan Kalev gemetar. Ia menunduk melihat tangannya yang penuh darah lalu menatap nanar sosok itu yang kini tidak bernyawa. Lalu ia berlari ke sekeliling gudang untuk mengecek tidak ada orang lagi yang mungkin akan muncul.

“Kalian bedebah. Kau tidak bisa mengganggu hidupku lagi,” desis Kalev pada orang terakhir yang dibunuhnya, setelah selesai mengecek situasi. Keringat membasahi wajahnya.

Aroma anyir darah menyeruak di udara. Sekarang, ia berpikir keras supaya adegan ini tidak terlihat seperti ada orang lain yang melakukannya. Maka, ia membuka tangan pria dengan cincin giok itu dan menyelipkan pisau miliknya ke tangannya. Ia sudah memastikan tidak ada sidik jari ataupun darahnya di situ. Kemudian ia membuat agar pria bercincin itu yang seolah melakukan pembunuhan dan kemudian membunuh dirinya sendiri.

Kalev hampir gila. Tidak mungkin ia puas  melihat hasil pekerjaannya yang rapih. Semua ini terasa memabukkan. Ia ingin tertawa karena begitu mudahnya menghilangkan nyawa seseorang.

Ia berjalan keluar gudang. Tidak akan lagi yang mampu mengganggu kehidupan Mama maupun kehidupannya. Pergelangan kakinya baru terasa nyeri luar biasa ketika ia berjalan tapi ia memaksakan diri untuk berjalan. Saat  ia berjalan keluar gudang, ia melihat salah satu ponsel milik mereka menyala. Kalev menginjak ponsel orang itu hingga hancur tanpa alasan.

Menghancurkan terasa menyenangkan.

Sekali lagi ia periksa satu per satu dari mereka apakah masih bernapas atau tidak, dan ternyata sudah tidak ada satupun derak napas dari mereka.

Kalev pun berlari tertatih-tatih menuju tempatnya memarkirkan motor. Ia melepas sarung tangannya yang penuh darah dan menyimpannya di saku jaketnya. Ia membiarkan angin malam mendinginkan kepalanya yang mendidih.

Sesampainya di rumah, ia berlari ke kamar mandi dan langsung muntah ke dalam kloset. Efek aroma anyir darah baru sekarang terasa olehnya. 

Lantas, ia langsung membersihkan dirinya di bawah shower. Ia menghapus setiap sisa darah yang menempel di tangan, kuku, dan wajahnya. Ia membersihkan luka berdarah di pelipisnya. Darah mengalir bersamaan dengan air di lantai kamar mandi.

Setelah mengganti pakaiannya dengan baju bersih, ia mengambil pakaiannya yang kotor oleh darah dan membawanya ke halaman belakang. Ia sudah menyiapkan tempat pembakaran. Ia membakar sepatu, pakaian, kacamata, masker, dan sarung tangan yang dipakai untuk membunuh.

Ia menunggu semuanya terbakar sampai menjadi abu. Sambil menunggu, ia menggali lubang di tanah halaman belakang untuk mengubur abu tersebut.

Setelah yakin segala hal sudah bersih, termasuk jejak kaki sepatunya yang mungkin meninggalkan noda di teras dan mengecek tidak ada darah di stang motornya, ia mengunci seluruh pintu rumahnya rapat-rapat. Lalu ia masuk ke dalam kamarnya.

Ia bersyukur malam itu Mama sedang berada di luar kota.

Jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi ketika ia menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Aku melakukannya. Aku sudah membunuh seseorang—bukan, tapi beberapa orang.

Kalev ingin tertawa puas. Ada euforia menyeruak dari dalam dirinya. Namun ada elegi yang juga menyeruak menuju permukaan. Kalev sudah lama tidak merasakan buncahan emosi seperti ini. Ia merasa luar biasa puas dan suara intrusif di kepalanya membuatnya ingin melakukannya lagi. Tapi perasaan itu disusul dengan gelombang perasaan waspada dan cemas akut.

Bagaimana kalau orang lain tahu?

Ia harus menekan perasaannya agar jangan sampai menyembur keluar.

Seluruh syarafnya menjerit kelelahan. Tapi kepalanya semakin ribut. Ia beranjak mencari sesuatu yang disembunyikannya dengan baik di antara buku-buku pelajaran. Tangannya mencari dengan tergesa-gesa karena panik. Ketika menemukan benda itu, ia langsung membuka bungkusnya. Benda itu adalah obat penenang.

Ia menenggak dua pil sekaligus.

Tak sampai beberapa menit kemudian, ia ambruk di atas lantai. Ia tenggelam dalam ruang hampa yang ada di dalam dirinya.

To Be Continued

p.s. Please kindly leave comment if you have read this, I will really appreciate any critique or thoughts from you. Thank you so much for reading. 

Next

Original Story

Chapter 2 — Count on Me

November 23, 2024

 


The Casket of Unforgiven Pieces 
Chapter 2

────────────

Count on Me

────────────

Malam itu, Kalev mengendarai motornya sendirian menuju tengah kota. Ia sudah hapal setiap jalan besar di kota ini. Ia memberhentikan motornya di taman kota yang ada di pinggir sungai Barito dan mulai berjalan menyusuri pinggiran sungai. Di taman itu, ada patung hewan yang menjadi icon dari Provinsi Kalimantan Selatan. Suasana taman malam itu tidak terlalu ramai karena masih malam weekdays.


Tanpa disadari, ia sampai ke lapangan basket yang posisinya di pinggir sungai. Ia baru akan duduk di area tempat duduk yang ada di sekeliling lapangan basket, ketika seseorang tak sengaja melemparkan bola basket ke arahnya. 


“Kalev!” Suara familiar memanggil namanya. Riga dengan kaos dan celana training pendek berlari ke arahnya untuk mengambil bola basket. Anak itu tersenyum sumringah pada Kalev. “Baru kali ini aku melihatmu di sini!” 


Kalev melepas headsetnya. “Bukannya besok kau ada kompetisi?” tanyanya teringat pada percakapan mereka tadi siang. 


“Yeah, enggak ada salahnya main keluar sebentar,” kata Riga sambil mengangkat bahu. “Sebentar, tunggu di sini,” Ia mengambil bola basket yang terjatuh di dekat kaki Kalev lantas berlari masuk ke dalam lapangan basket. 

 

Kalev mengangguk. Ia menonton sebentar Riga yang sibuk berlari kesana kemari sambil mendrible bola basket di lapangan. Lalu ia mengambil kindle yang ada di tas ranselnya. Sebenarnya tujuannya ke sini adalah untuk membaca ebook. Ia bosan sendirian di rumah. Mama masih belum pulang karena ada acara kantor. Kalev berniat akan pulang kalau Mama mengabarinya melalui chat.


Setengah jam kemudian, Riga berlari menghampirinya. Sepertinya ia hanya bermain setengah permainan karena teman-temannya yang lain masih lanjut bermain kecuali dirinya. 


“Udah selesai mainnya?” tanya Kalev seraya menoleh pada Riga yang sedang meluruskan kaki di sebelahnya. Ia meletakkan gadget ebook readernya. 


“Aku udah capek,” kata Riga. Ia mengambil botol air minumnya dari tas lalu meneguknya hingga tandas. “Mereka semua bukan dari anak sekolah kita, ada yang masih SMP, dari SMA lain, dan ada juga yang sudah kuliah.” 


“Bagaimana kau bisa mengenal mereka?” tanya Kalev. 


“Aku lupa… Waktu SMP, aku sering datang ke sini dan bertemu dengan sekumpulan orang-orang yang main basket. Kukira mereka dari sekolah yang sama, tapi ternyata mereka beda sekolah.” 


Beberapa dari anggota tim basket itu mengajak Riga bermain lagi, tapi Riga hanya tertawa sambil melambaikan tangan tanda menolak. 


"Kau juga ikut basket di sekolah?" tanya Kalev—teringat beberapa murid perempuan di kelasnya pernah membicarakan Riga. 


Riga menggeleng. "Aku berhenti main dengan tim basket sekolah sejak awal kelas 11." Ia tampak enggan membicarakan alasannya meskipun alasannya sederhana. Alasannya, bermain dengan tim basket sekolah membuatnya seperti diberi ekspektasi kalau ia harus bermain bagus, padahal ia hanya mau bermain-main basket tanpa tekanan apapun. “Kudengar kau pindahan dari Denpasar?” tanya Riga mengalihkan topik pembicaraan.


Kalev mengangguk. 


“Jadi, kau orang Bali?” 


“Bukan, aku hanya tinggal 2 tahun di Denpasar,” jawab Kalev. 


“Sebelumnya?” 


“Aku sempat tinggal di Batam.” 


“Jauhnya! Jadi asalmu dari mana?” tanya Riga lagi. 


“Jakarta,” jawab Kalev lagi. 


Riga manggut-manggut. “Kau punya kakak atau adek?” 


Kalev menggeleng. Ia anak tunggal, tapi ia pernah merasakan punya adik selama enam tahun sebelum adiknya meninggal karena penyakit kronis. Sampai saat ini, ia masih merindukan adiknya. “Kau sendiri?”


“Aku punya kakak dan adek,” jawab Riga. “Enak ya jadi anak tunggal? Engga pernah berantem sama saudara.” Riga tertawa renyah. 


“Enggak juga,” jawab Kalev dengan nada datar. Entah sejak kapan Mama semakin  menyibukkan diri dengan pekerjaan dan tenggelam di dalamnya. Akhir-akhir ini mereka bahkan jarang mengobrol meskipun tinggal serumah. Sepertinya, momen pindahan waktu itu menjadi satu-satunya mereka bisa menghabiskan waktu bersama. 


Sorot mata Kalev untuk sekejap terlihat menyiratkan rasa kesepian. Riga sungkan untuk bertanya lebih lanjut. Benaknya sibuk mencari topik lain. Ia merasa sedikit kikuk karena asal ceplos. Sekilas, Riga melihat hansaplast menutupi luka di punggung tangan Kalev yang tadi sempat dilihatnya saat mereka di UKS. Ia tidak ingin mengungkit masalah itu karena ia mau membuat Kalev merasa dikasihani. Ia mendengar apa yang terjadi tadi siang saat jam istirahat dan ia tahu seluruh sekolah berusaha tidak berurusan dengan si murid baru. 


Tapi semata-mata, Riga mendekatinya bukan karena iba pada Kalev. Ia hanya penasaran kenapa orang sepertinya menjadi sasaran empuk geng berandal di sekolah. Kalev tampak tangguh dan auranya sedikit mengintimidasi. Lantas kenapa dia jadi target Bari?


“Aku boleh minta kontakmu? Siapa tahu kau mau coba main basket juga di sini,” kata Riga seraya mengeluarkan ponsel dari tas olahraganya. 


Kalev tersenyum kecil dan menerima ponsel Riga untuk mengetikkan nomor teleponnya. “Jangan paksa aku main basket.” Ia mengambil ponselnya juga dan meminta nomor Riga. Saat membuka ponselnya, ia tersadar kalau ada chat dari Mama sejak setengah jam yang lalu. Mama pasti sudah sampai di rumah dan benar saja—Mama menanyakan kemana ia pergi.


Cowok itu beranjak berdiri. “Aku pulang dulu.” ucapnya seraya berjalan menuju parkiran motor. Ia tersenyum canggung pada Riga sebelum berlalu pergi. “Dah.”


Riga melambaikan tangan padanya dan tersenyum lebar. 


Semenjak hari itu, mereka semakin sering berjumpa tanpa direncanakan. Mereka tak sengaja bertemu di area belakang sekolah saat Kalev melarikan diri dari perbuatan Bari dan kroninya. Mereka tak sengaja bertemu di atap sekolah saat jam istirahat makan siang karena sekolah mereka punya area atap yang teduh tapi jarang didatangi murid karena harus mendaki tiga lantai. Pada saat itu, Kalev memergoki Riga sedang merokok. Kemudian, mereka tak sengaja bertemu lagi di ruangan BK saat Kalev dipanggil karena bolos kelas siang selama lima hari berturut-turut. Sang guru hampir melaporkan perbuatannya pada orang tua Kalev, tapi anak itu berhasil menegosiasi guru BK dengan berjanji akan mendapat nilai paling tinggi di setiap mata pelajaran saat UTS nanti. Guru BK itu meragukan kemampuan Kalev. Anak itu jarang masuk kelas. Ia pikir Kalev pasti tidak akan mampu menyaingi murid ranking satu di angkatan dan pada akhirnya ia pasti harus melaporkan tabiat anak itu ke orang tuanya dan membuat anak itu jera. Maka, ia pun menerima negosiasi Kalev sekaligus bertaruh pada dirinya sendiri. Guru BK itu sebenarnya sudah lelah dengan keluhan guru-guru di kelas Kalev karena ada satu murid yang sering membolos dan terlambat di tengah pelajaran.  


Dan pada saat itu, Riga sedang duduk santai di sofa panjang yang ada di ruangan BK—menunggu gilirannya untuk berhadapan dengan guru BK. Guru BK memanggilnya karena ada tawaran beasiswa kuliah khusus untuk murid berprestasi sepertinya. Cowok itu mengerling pada teman barunya sambil melambaikan tangannya. Ia nyengir karena baru saja menyaksikan Kalev dikuliahi panjang-lebar. 


Entah kenapa, pertemanannya dengan Riga menyebabkan frekuensi gangguan dari geng Bari menurun drastis. Uangnya tidak lagi diperas. Ia tidak lagi harus membelikan Bari dan komplotannya makan siang. Dan ia tidak lagi harus menerima bogem mentah atau dikeroyok saat ia mencoba melawan. Ia bertanya-tanya kenapa Bari langsung menghindarinya ketika melihatnya bersama Riga. Ia punya firasat kalau Bari punya sentimen pada Riga, jadi ia sebenarnya sedang menghindari Riga—bukan menghindarinya. 


Tapi saat ia berpapasan dengan Bari sendirian, Bari bersikap seolah-olah ia tidak ada—rasanya seperti ada yang melepas kalung di lehernya dan ia tidak lagi menjadi anjing mereka. 


Perlahan-lahan, Kalev kembali menjalani kehidupan sekolah yang normal. Ia mulai tidak canggung dengan keberadaan Riga yang seringkali muncul mendadak di kelasnya untuk mengajak makan siang atau menyapanya di pagi hari. Hubungan mereka semakin dekat ketika mereka menyadari kalau alamat rumah mereka searah. 


Pernah suatu pagi, Riga datang ke rumahnya dan mengetuk jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Kalev terbangun dan langsung membuka jendela kamarnya. What the hell? Bagaimana mungkin Riga mengetuk jendela kamarnya? Matanya terbuka lebar ketika melihat Riga duduk di pinggir atap rumahnya dengan kaki terayun ke bawah seperti artis akrobat. 


“Baru bangun?” sapa Riga seraya beranjak berdiri dan meloncat masuk ke dalam kamar Kalev. Jendela kamar Kalev tidak memiliki tralis sehingga Riga dengan mudah meluncur masuk ke dalam kamarnya.


“Gila ya? Manjat rumah orang sembarangan?’ omel Kalev dengan suara serak habis bangun tidur. Rambut hitamnya tampak masai. Ia mengucek matanya dan merebahkan tubuhnya lagi di atas tempat tidur—mengabaikan kehadiran Riga di kamarnya. 


“Rumahmu gampang dipanjat,” kata Riga enteng. Bagian samping rumah Kalev terdapat tembok pembatas yang bisa dilangkahinya dengan cara melompat dari dahan pohon mahoni yang tumbuh di pinggir jalan. “Kau mau tidur lagi?” 


“Hnnng yeah 5 menit lagi,” ucapnya sambil menarik selimut hingga pipi. Kamarnya dingin karena pendingin udara yang menyala nonstop sejak semalam. 


“Sekarang udah jam 9 pagi, Lev,” kata Riga. “Kemarin kau bilang iya waktu aku ajak pergi.”


Kalev ingat hanya saja Riga tidak menyebutkan waktu. 


“Udah izin Ibumu kalau kau mau pergi?” tanya Riga lagi. 


Dengan setengah tidur dan wajah menghadap bantal, Kalev menjawab, “Mamaku lagi pergi ke Semarang. Ada kerjaan.” 


“Jadi aku boleh merokok di sini nih?” Riga tersenyum iseng sambil mengamati isi kamar Kalev yang berantakan.


“Jangan berani-berani merokok di kamarku,” ucap Kalev tajam. 


Riga tertawa renyah. “Bercanda~” Matanya tertuju pada sekeliling kamar Kalev. Ada tiga kardus besar terbuka berwarna coklat yang berisi buku. Di sampingnya ada rak buku, tapi justru berisi kotak sepat, tas ransel, dan barang-barangnya yang lain. Bahkan ada sofa panjang yang berada di pojok ruangan yang di atasnya terdapat tumpukan baju bersih. Lalu ia melihat ke meja belajar cowok itu yang berantakan. Macbook dan iPad tergeletak di atas tumpukan buku pelajaran. Buku-buku tulis milik Kalev tersebar acak di atas meja belajar. Mug dan piring kotor juga menghiasi meja belajar itu. 


Lalu ada sesuatu menarik perhatian Riga. Ia melihat sebingkai foto yang menampilkan foto Kalev waktu masih kecil bersama seorang anak kecil yang mungkin umurnya empat tahun. Kalev tersenyum bahagia sambil memeluk anak kecil yang ada di pangkuannya. Bukannya dia anak semata wayang? Lalu ia tertegun ketika melihat beberapa bungkus obat yang disembunyikan dengan baik. Mata Riga terlalu jeli sehingga ia menemukan obat itu disembunyikan di balik buku-buku pelajaran. Ia meraih dan membaca nama jenis obat yang ada di kemasannya. Xanax. Obat penenang? 


Riga menemukan kemasan obat itu sudah robek yang artinya Kalev pernah mengkonsumsinya. Ia meletakkan kembali obat itu ke tempat semula dan tidak berniat menanyakan alasan Kalev mengkonsumsi obat penenang. Riga pun memperhatikan hal yang lain di kamar Kalev yang luas. Di sisi tempat tidur Kalev, terdapat nakas yang berisi lampu tidur, ebook reader, dan headphone yang sedang dicharge. Selain kardus-kardus berisi buku, rak buku malfungsi, gantungan baju yang penuh jaket, lantai yang berantakan oleh barang-barang, meja belajar yang berantakan, dan lemari baju yang terbuka, sofa penuh tumpukan pakaian bersih, tidak ada lagi hal yang menarik untuk diperhatikan.


Riga melirik jam dinding yang tergantung di kamar Kalev. Sudah lima menit dan anak itu masih bergeming di bawah selimut.


“Lev, jadi ikut enggak?” 


Perlahan Kalev membuka matanya dan mendudukan dirinya di atas tempat tidur. Ia menatap Riga dengan heran karena ternyata Riga sudah mengganti warna rambutnya. “Apa-apaan rambutmu itu?” 


Riga tersenyum lebar. “Sekolah membolehkan siswa mewarnai rambut selama itu bukan warna yang terlalu mencolok.” 


“Rambutmu warna hijau.”  


“Hijau gelap,” ralat Riga sambil mengacak-acak rambut barunya. 


Kalev hanya menggelengkan kepala. Setelah warna coklat terang, sekarang anak itu punya rambut warna hijau. Terserahlah. “Mau mengajakku ke mana?”


“Pantai. Belum pernah ke pantai kan selama di sini?” kata Riga dengan sumringah. “Tapi jangan bayangkan pantainya seindah di Bali.”


“Siapa saja?”


“Sama tiga orang dari tim basketku”—merujuk pada klub basket yang ia ikuti di luar sekolah—“Dua orang mahasiswa, satu orang dari SMA lain.” 


“Kapan?” 


“Janjiannya jam 1 siang karena kita mau melihat sunset. Mau ikut enggak?” 


Kalev mengangguk tanpa beranjak dari tempat tidurnya. Ia masih mengumpulkan nyawa. 


“Oke. Aku pulang dulu. Nanti mobilnya akan menjemputmu di sini. Jangan lupa bawa pakaian ganti!” kata Riga seraya keluar dari kamar Kalev melalui jendela. 


“Heh??? Kau lewat mana?” Kalev langsung berlari cepat ke jendela untuk melihat Riga turun lewat mana.


Namun, Riga sudah meloncat turun lebih dulu ke tembok pembatas yang ada di sisi samping rumahnya. “See yaaa!” serunya sambil melambaikan tangan dan berjalan dengan mudah di tembok yang sempit itu. Dengan lincah, ia melompat turun dari ketinggian dan mendarat di bawah pohon mahoni.


Kalev hanya bisa terperanjat melihat Riga yang memanjat rumahnya dan melompat turun dari lantai dua. 


**


Hari itu, Kalev tidak menyesal menerima ajakan Riga untuk pergi ke pantai. Lokasi pantai yang mereka tuju terletak di Kabupaten Tanah Laut. Namanya Pantai Turki. Sesuai deskripsi dari Riga, pantai itu memang tak seindah pantai biru yang ada di Kuta atau Pandawa. Walau begitu, ia cukup puas melihat laut yang membentang luas. 


Sudah enam bulan ia tinggal di Banjarmasin dan baru kali itu ia keluar kota. Butuh waktu sekitar empat jam untuk mencapai Pantai Turki dari Banjarmasin. Selama perjalanan, ia lebih banyak diam dan mendengarkan Riga yang berceloteh riang dengan teman-teman klub basketnya. Begitu sampai di pantai, Riga dan tiga kawannya langsung menggelar tikar di atas pasir. 


Selama sejenak, Kalev termenung memandangi pantai yang membentang di hadapannya dan hanya bergeming di tempatnya berdiri. Tangan Riga yang menyeretnya ke pantai membuatnya tertarik kembali ke dunia nyata. 


“Lev, ayo nyebur juga!” seru Riga sambil berlari menarik tangan Kalev. Ia menyadari Kalev sama sekali tidak tersenyum dari tadi. Ia sempat berpikir apakah Kalev sebenarnya tidak mau pergi bersamanya hari itu. 


Faktanya, Kalev sebenarnya sangat menyukai laut dan pantai. Pemandangan laut selalu membuatnya senang. Ia suka berjalan di atas pasir pantai dengan kaki telanjang sambil mendengarkan suara ombak. Ia suka menyeburkan dirinya di air laut yang asin. Bahkan ia pernah belajar berselancar selama tinggal di Bali.  Tapi—entah kenapa—ia merasa seperti ada belenggu yang menyeret kakinya dan membuatnya tidak bisa menikmati suasana pantai sore itu. 


Dengan lihai, ia mengubur keresahannya dan ikut tertawa bersama Riga serta tiga kawan barunya. Ia memamerkan skill berenangnya karena terbiasa berenang di laut sewaktu tinggal di Bali. 


Perlahan-lahan, sang surya mulai terbenam di ufuk Barat. Mereka berhenti berenang ketika langit mulai gelap. Kemudian, mereka kembali ke pantai untuk menyaksikan sandikala. Kebetulan sore itu, langit sangat cerah dan hanya ada sedikit awan. Warna langit yang semula berwarna biru kini berangsur-angsur berubah menjadi oranye.  


“Kalev, kalau mereka mengganggumu lagi, bilang padaku,” kata Riga tiba-tiba saat mereka duduk di atas pasir yang hangat. Ia duduk di samping Kalev sambil menekuk lutut. 


“Maksudmu?”  Kalev mengerutkan kening. 


“Aku tahu reputasi geng Bari yang selalu mengganggumu di awal kau masuk. Yah… Enggak heran. Keluarganya memang gangster betulan. Sekolah bahkan takut menghukum Bari karena kuasa orangtuanya,” jelas Riga lagi. 


“Aku bisa melindungi diriku sendiri,” balas Kalev. Bisa tapi bakal berakhir babak-belur. Lagipula kumpulan manusia sampah itu tidak pernah berurusan dengannya lagi. 


“Aku tahu, tapi kau tidak mungkin bisa melawan mereka.” Cowok itu menghela napas panjang. “Walau begitu, keluarga Bari takut pada keluargaku, jadi dia tidak akan mengganggumu selama aku berteman denganmu,” ucapnya dengan sorot mata sungguh-sungguh. Matanya yang berwarna coklat tampak berbinar-binar. “Aku menduga ada sesuatu yang membuat Bari mengincarmu, kan?” 


Kalev tak menjawab dan mengalihkan pandangan matanya ke mentari yang mulai tenggelam. Ia enggan membahas soal itu. Rahangnya mengeras ketika teringat ucapan tamu tak diundang yang datang ke rumahnya malam itu. Bagaimana mungkin Papa melakukan penipuan dan menyeretnya keluarganya ke masalahnya? Ditambah, masalah itu ternyata berkaitan dengan kumpulan gangster. Apakah Papa sengaja menjerumuskan Mama ke masalah uang sebesar satu milyar? Bagaimana kalau ada orang jahat yang mencelakai Mama karena masalah itu? Kalev lelah terus-menerus waspada berlebihan pada siapapun yang datang ke rumahnya. Beberapa kali ia merasa seperti diawasi saat pulang ke rumah dan membuatnya semakin hypervigilance. Ia belum mendapati ada tamu tak diundang datang tapi ia yakin pernah bertemu dengan salah satu dari kelima orang itu. 


Riga memandang manik mata Kalev yang selalu terlihat gelap di bawah cahaya apapun—seolah tidak ada warna lain di iris matanya selain warna batu obsidian. Entah kenapa, ia sangat ingin melindungi anak itu dan membuatnya tersenyum. 


Ia membiarkan Kalev mendiamkan pertanyaannya lalu melanjutkan, “Dia memang sudah jadi pembully sejak SD. Aku tahu karena aku mengenalnya sejak kelas 1 SD. Tapi jangan khawatir, kau akan selalu aman jika bersamaku,” kata Riga sambil tersenyum hangat. 


Perlahan Kalev menoleh pada Riga dan menatapnya tak percaya. “Kenapa?”


“Karena kau temanku.” 


Cowok yang lebih kecil darinya itu justru ingin melindungi dirinya hanya karena mereka berteman. Ia menyadari sikap Riga yang kadang seperti abang yang tak dimilikinya, tapi di lain waktu sikapnya bisa seperti anak kecil yang suka bermain-main. 


“Terima kasih, tapi aku bisa menjaga diriku sendiri.” Raut wajahnya tampak serius, lalu ia menyambung. “Dan lagi secara tahun kelahiran, kau lebih muda dariku. Harusnya aku yang berkata begitu.”


Riga tertawa renyah sambil menepuk punggung Kalev keras-keras. “Secara hitungan bulan, kita cuma beda dua bulan.” Kalev memang lahir pada 15 Desember, sedangkan Riga lahir pada 31 Januari tahun berikutnya.  “Aku cuma mau bilang, kau bisa mencariku kalau kau butuh pertolongan.”


Kalev meringis akibat pukulan tangan Riga yang keras. 


“Kau tidak punya kemampuan basic bela diri apapun kan?” Riga memang pernah belajar taekwondo karena Ayah yang menyuruhnya supaya ia bisa melindungi kakak dan adik perempuannya. Tingkatannya hanya sampai sabuk biru. Ia tidak melanjutkan taekwondo di SMA dengan alasan ingin fokus pada olimpiade matematika dan juga mencoba olahraga lain, tapi sebenarnya ia hanya ingin bisa sedikit bebas dan menentukan pilihannya sendiri. 


“Jangan disebut.” Sementara itu, Kalev memang tidak pernah belajar bela diri apapun. Namun, ia tidak akan segan melukai siapapun yang berani mencelakai orang yang ia sayangi. Ia tidak akan segan-segan menyerang apapun atau siapapun. Bahkan jika darah orang itu harus mengalir di tangannya.



To Be Continued

p.s. Please kindly leave comment if you have read this, I will really appreciate any critique or thoughts from you. Thank you so much for reading.