Chapter 2 — Count on Me

November 23, 2024

 


The Casket of Unforgiven Pieces 
Chapter 2

────────────

Count on Me

────────────

Malam itu, Kalev mengendarai motornya sendirian menuju tengah kota. Ia sudah hapal setiap jalan besar di kota ini. Ia memberhentikan motornya di taman kota yang ada di pinggir sungai Barito dan mulai berjalan menyusuri pinggiran sungai. Di taman itu, ada patung hewan yang menjadi icon dari Provinsi Kalimantan Selatan. Suasana taman malam itu tidak terlalu ramai karena masih malam weekdays.


Tanpa disadari, ia sampai ke lapangan basket yang posisinya di pinggir sungai. Ia baru akan duduk di area tempat duduk yang ada di sekeliling lapangan basket, ketika seseorang tak sengaja melemparkan bola basket ke arahnya. 


“Kalev!” Suara familiar memanggil namanya. Riga dengan kaos dan celana training pendek berlari ke arahnya untuk mengambil bola basket. Anak itu tersenyum sumringah pada Kalev. “Baru kali ini aku melihatmu di sini!” 


Kalev melepas headsetnya. “Bukannya besok kau ada kompetisi?” tanyanya teringat pada percakapan mereka tadi siang. 


“Yeah, enggak ada salahnya main keluar sebentar,” kata Riga sambil mengangkat bahu. “Sebentar, tunggu di sini,” Ia mengambil bola basket yang terjatuh di dekat kaki Kalev lantas berlari masuk ke dalam lapangan basket. 

 

Kalev mengangguk. Ia menonton sebentar Riga yang sibuk berlari kesana kemari sambil mendrible bola basket di lapangan. Lalu ia mengambil kindle yang ada di tas ranselnya. Sebenarnya tujuannya ke sini adalah untuk membaca ebook. Ia bosan sendirian di rumah. Mama masih belum pulang karena ada acara kantor. Kalev berniat akan pulang kalau Mama mengabarinya melalui chat.


Setengah jam kemudian, Riga berlari menghampirinya. Sepertinya ia hanya bermain setengah permainan karena teman-temannya yang lain masih lanjut bermain kecuali dirinya. 


“Udah selesai mainnya?” tanya Kalev seraya menoleh pada Riga yang sedang meluruskan kaki di sebelahnya. Ia meletakkan gadget ebook readernya. 


“Aku udah capek,” kata Riga. Ia mengambil botol air minumnya dari tas lalu meneguknya hingga tandas. “Mereka semua bukan dari anak sekolah kita, ada yang masih SMP, dari SMA lain, dan ada juga yang sudah kuliah.” 


“Bagaimana kau bisa mengenal mereka?” tanya Kalev. 


“Aku lupa… Waktu SMP, aku sering datang ke sini dan bertemu dengan sekumpulan orang-orang yang main basket. Kukira mereka dari sekolah yang sama, tapi ternyata mereka beda sekolah.” 


Beberapa dari anggota tim basket itu mengajak Riga bermain lagi, tapi Riga hanya tertawa sambil melambaikan tangan tanda menolak. 


"Kau juga ikut basket di sekolah?" tanya Kalev—teringat beberapa murid perempuan di kelasnya pernah membicarakan Riga. 


Riga menggeleng. "Aku berhenti main dengan tim basket sekolah sejak awal kelas 11." Ia tampak enggan membicarakan alasannya meskipun alasannya sederhana. Alasannya, bermain dengan tim basket sekolah membuatnya seperti diberi ekspektasi kalau ia harus bermain bagus, padahal ia hanya mau bermain-main basket tanpa tekanan apapun. “Kudengar kau pindahan dari Denpasar?” tanya Riga mengalihkan topik pembicaraan.


Kalev mengangguk. 


“Jadi, kau orang Bali?” 


“Bukan, aku hanya tinggal 2 tahun di Denpasar,” jawab Kalev. 


“Sebelumnya?” 


“Aku sempat tinggal di Batam.” 


“Jauhnya! Jadi asalmu dari mana?” tanya Riga lagi. 


“Jakarta,” jawab Kalev lagi. 


Riga manggut-manggut. “Kau punya kakak atau adek?” 


Kalev menggeleng. Ia anak tunggal, tapi ia pernah merasakan punya adik selama enam tahun sebelum adiknya meninggal karena penyakit kronis. Sampai saat ini, ia masih merindukan adiknya. “Kau sendiri?”


“Aku punya kakak dan adek,” jawab Riga. “Enak ya jadi anak tunggal? Engga pernah berantem sama saudara.” Riga tertawa renyah. 


“Enggak juga,” jawab Kalev dengan nada datar. Entah sejak kapan Mama semakin  menyibukkan diri dengan pekerjaan dan tenggelam di dalamnya. Akhir-akhir ini mereka bahkan jarang mengobrol meskipun tinggal serumah. Sepertinya, momen pindahan waktu itu menjadi satu-satunya mereka bisa menghabiskan waktu bersama. 


Sorot mata Kalev untuk sekejap terlihat menyiratkan rasa kesepian. Riga sungkan untuk bertanya lebih lanjut. Benaknya sibuk mencari topik lain. Ia merasa sedikit kikuk karena asal ceplos. Sekilas, Riga melihat hansaplast menutupi luka di punggung tangan Kalev yang tadi sempat dilihatnya saat mereka di UKS. Ia tidak ingin mengungkit masalah itu karena ia mau membuat Kalev merasa dikasihani. Ia mendengar apa yang terjadi tadi siang saat jam istirahat dan ia tahu seluruh sekolah berusaha tidak berurusan dengan si murid baru. 


Tapi semata-mata, Riga mendekatinya bukan karena iba pada Kalev. Ia hanya penasaran kenapa orang sepertinya menjadi sasaran empuk geng berandal di sekolah. Kalev tampak tangguh dan auranya sedikit mengintimidasi. Lantas kenapa dia jadi target Bari?


“Aku boleh minta kontakmu? Siapa tahu kau mau coba main basket juga di sini,” kata Riga seraya mengeluarkan ponsel dari tas olahraganya. 


Kalev tersenyum kecil dan menerima ponsel Riga untuk mengetikkan nomor teleponnya. “Jangan paksa aku main basket.” Ia mengambil ponselnya juga dan meminta nomor Riga. Saat membuka ponselnya, ia tersadar kalau ada chat dari Mama sejak setengah jam yang lalu. Mama pasti sudah sampai di rumah dan benar saja—Mama menanyakan kemana ia pergi.


Cowok itu beranjak berdiri. “Aku pulang dulu.” ucapnya seraya berjalan menuju parkiran motor. Ia tersenyum canggung pada Riga sebelum berlalu pergi. “Dah.”


Riga melambaikan tangan padanya dan tersenyum lebar. 


Semenjak hari itu, mereka semakin sering berjumpa tanpa direncanakan. Mereka tak sengaja bertemu di area belakang sekolah saat Kalev melarikan diri dari perbuatan Bari dan kroninya. Mereka tak sengaja bertemu di atap sekolah saat jam istirahat makan siang karena sekolah mereka punya area atap yang teduh tapi jarang didatangi murid karena harus mendaki tiga lantai. Pada saat itu, Kalev memergoki Riga sedang merokok. Kemudian, mereka tak sengaja bertemu lagi di ruangan BK saat Kalev dipanggil karena bolos kelas siang selama lima hari berturut-turut. Sang guru hampir melaporkan perbuatannya pada orang tua Kalev, tapi anak itu berhasil menegosiasi guru BK dengan berjanji akan mendapat nilai paling tinggi di setiap mata pelajaran saat UTS nanti. Guru BK itu meragukan kemampuan Kalev. Anak itu jarang masuk kelas. Ia pikir Kalev pasti tidak akan mampu menyaingi murid ranking satu di angkatan dan pada akhirnya ia pasti harus melaporkan tabiat anak itu ke orang tuanya dan membuat anak itu jera. Maka, ia pun menerima negosiasi Kalev sekaligus bertaruh pada dirinya sendiri. Guru BK itu sebenarnya sudah lelah dengan keluhan guru-guru di kelas Kalev karena ada satu murid yang sering membolos dan terlambat di tengah pelajaran.  


Dan pada saat itu, Riga sedang duduk santai di sofa panjang yang ada di ruangan BK—menunggu gilirannya untuk berhadapan dengan guru BK. Guru BK memanggilnya karena ada tawaran beasiswa kuliah khusus untuk murid berprestasi sepertinya. Cowok itu mengerling pada teman barunya sambil melambaikan tangannya. Ia nyengir karena baru saja menyaksikan Kalev dikuliahi panjang-lebar. 


Entah kenapa, pertemanannya dengan Riga menyebabkan frekuensi gangguan dari geng Bari menurun drastis. Uangnya tidak lagi diperas. Ia tidak lagi harus membelikan Bari dan komplotannya makan siang. Dan ia tidak lagi harus menerima bogem mentah atau dikeroyok saat ia mencoba melawan. Ia bertanya-tanya kenapa Bari langsung menghindarinya ketika melihatnya bersama Riga. Ia punya firasat kalau Bari punya sentimen pada Riga, jadi ia sebenarnya sedang menghindari Riga—bukan menghindarinya. 


Tapi saat ia berpapasan dengan Bari sendirian, Bari bersikap seolah-olah ia tidak ada—rasanya seperti ada yang melepas kalung di lehernya dan ia tidak lagi menjadi anjing mereka. 


Perlahan-lahan, Kalev kembali menjalani kehidupan sekolah yang normal. Ia mulai tidak canggung dengan keberadaan Riga yang seringkali muncul mendadak di kelasnya untuk mengajak makan siang atau menyapanya di pagi hari. Hubungan mereka semakin dekat ketika mereka menyadari kalau alamat rumah mereka searah. 


Pernah suatu pagi, Riga datang ke rumahnya dan mengetuk jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Kalev terbangun dan langsung membuka jendela kamarnya. What the hell? Bagaimana mungkin Riga mengetuk jendela kamarnya? Matanya terbuka lebar ketika melihat Riga duduk di pinggir atap rumahnya dengan kaki terayun ke bawah seperti artis akrobat. 


“Baru bangun?” sapa Riga seraya beranjak berdiri dan meloncat masuk ke dalam kamar Kalev. Jendela kamar Kalev tidak memiliki tralis sehingga Riga dengan mudah meluncur masuk ke dalam kamarnya.


“Gila ya? Manjat rumah orang sembarangan?’ omel Kalev dengan suara serak habis bangun tidur. Rambut hitamnya tampak masai. Ia mengucek matanya dan merebahkan tubuhnya lagi di atas tempat tidur—mengabaikan kehadiran Riga di kamarnya. 


“Rumahmu gampang dipanjat,” kata Riga enteng. Bagian samping rumah Kalev terdapat tembok pembatas yang bisa dilangkahinya dengan cara melompat dari dahan pohon mahoni yang tumbuh di pinggir jalan. “Kau mau tidur lagi?” 


“Hnnng yeah 5 menit lagi,” ucapnya sambil menarik selimut hingga pipi. Kamarnya dingin karena pendingin udara yang menyala nonstop sejak semalam. 


“Sekarang udah jam 9 pagi, Lev,” kata Riga. “Kemarin kau bilang iya waktu aku ajak pergi.”


Kalev ingat hanya saja Riga tidak menyebutkan waktu. 


“Udah izin Ibumu kalau kau mau pergi?” tanya Riga lagi. 


Dengan setengah tidur dan wajah menghadap bantal, Kalev menjawab, “Mamaku lagi pergi ke Semarang. Ada kerjaan.” 


“Jadi aku boleh merokok di sini nih?” Riga tersenyum iseng sambil mengamati isi kamar Kalev yang berantakan.


“Jangan berani-berani merokok di kamarku,” ucap Kalev tajam. 


Riga tertawa renyah. “Bercanda~” Matanya tertuju pada sekeliling kamar Kalev. Ada tiga kardus besar terbuka berwarna coklat yang berisi buku. Di sampingnya ada rak buku, tapi justru berisi kotak sepat, tas ransel, dan barang-barangnya yang lain. Bahkan ada sofa panjang yang berada di pojok ruangan yang di atasnya terdapat tumpukan baju bersih. Lalu ia melihat ke meja belajar cowok itu yang berantakan. Macbook dan iPad tergeletak di atas tumpukan buku pelajaran. Buku-buku tulis milik Kalev tersebar acak di atas meja belajar. Mug dan piring kotor juga menghiasi meja belajar itu. 


Lalu ada sesuatu menarik perhatian Riga. Ia melihat sebingkai foto yang menampilkan foto Kalev waktu masih kecil bersama seorang anak kecil yang mungkin umurnya empat tahun. Kalev tersenyum bahagia sambil memeluk anak kecil yang ada di pangkuannya. Bukannya dia anak semata wayang? Lalu ia tertegun ketika melihat beberapa bungkus obat yang disembunyikan dengan baik. Mata Riga terlalu jeli sehingga ia menemukan obat itu disembunyikan di balik buku-buku pelajaran. Ia meraih dan membaca nama jenis obat yang ada di kemasannya. Xanax. Obat penenang? 


Riga menemukan kemasan obat itu sudah robek yang artinya Kalev pernah mengkonsumsinya. Ia meletakkan kembali obat itu ke tempat semula dan tidak berniat menanyakan alasan Kalev mengkonsumsi obat penenang. Riga pun memperhatikan hal yang lain di kamar Kalev yang luas. Di sisi tempat tidur Kalev, terdapat nakas yang berisi lampu tidur, ebook reader, dan headphone yang sedang dicharge. Selain kardus-kardus berisi buku, rak buku malfungsi, gantungan baju yang penuh jaket, lantai yang berantakan oleh barang-barang, meja belajar yang berantakan, dan lemari baju yang terbuka, sofa penuh tumpukan pakaian bersih, tidak ada lagi hal yang menarik untuk diperhatikan.


Riga melirik jam dinding yang tergantung di kamar Kalev. Sudah lima menit dan anak itu masih bergeming di bawah selimut.


“Lev, jadi ikut enggak?” 


Perlahan Kalev membuka matanya dan mendudukan dirinya di atas tempat tidur. Ia menatap Riga dengan heran karena ternyata Riga sudah mengganti warna rambutnya. “Apa-apaan rambutmu itu?” 


Riga tersenyum lebar. “Sekolah membolehkan siswa mewarnai rambut selama itu bukan warna yang terlalu mencolok.” 


“Rambutmu warna hijau.”  


“Hijau gelap,” ralat Riga sambil mengacak-acak rambut barunya. 


Kalev hanya menggelengkan kepala. Setelah warna coklat terang, sekarang anak itu punya rambut warna hijau. Terserahlah. “Mau mengajakku ke mana?”


“Pantai. Belum pernah ke pantai kan selama di sini?” kata Riga dengan sumringah. “Tapi jangan bayangkan pantainya seindah di Bali.”


“Siapa saja?”


“Sama tiga orang dari tim basketku”—merujuk pada klub basket yang ia ikuti di luar sekolah—“Dua orang mahasiswa, satu orang dari SMA lain.” 


“Kapan?” 


“Janjiannya jam 1 siang karena kita mau melihat sunset. Mau ikut enggak?” 


Kalev mengangguk tanpa beranjak dari tempat tidurnya. Ia masih mengumpulkan nyawa. 


“Oke. Aku pulang dulu. Nanti mobilnya akan menjemputmu di sini. Jangan lupa bawa pakaian ganti!” kata Riga seraya keluar dari kamar Kalev melalui jendela. 


“Heh??? Kau lewat mana?” Kalev langsung berlari cepat ke jendela untuk melihat Riga turun lewat mana.


Namun, Riga sudah meloncat turun lebih dulu ke tembok pembatas yang ada di sisi samping rumahnya. “See yaaa!” serunya sambil melambaikan tangan dan berjalan dengan mudah di tembok yang sempit itu. Dengan lincah, ia melompat turun dari ketinggian dan mendarat di bawah pohon mahoni.


Kalev hanya bisa terperanjat melihat Riga yang memanjat rumahnya dan melompat turun dari lantai dua. 


**


Hari itu, Kalev tidak menyesal menerima ajakan Riga untuk pergi ke pantai. Lokasi pantai yang mereka tuju terletak di Kabupaten Tanah Laut. Namanya Pantai Turki. Sesuai deskripsi dari Riga, pantai itu memang tak seindah pantai biru yang ada di Kuta atau Pandawa. Walau begitu, ia cukup puas melihat laut yang membentang luas. 


Sudah enam bulan ia tinggal di Banjarmasin dan baru kali itu ia keluar kota. Butuh waktu sekitar empat jam untuk mencapai Pantai Turki dari Banjarmasin. Selama perjalanan, ia lebih banyak diam dan mendengarkan Riga yang berceloteh riang dengan teman-teman klub basketnya. Begitu sampai di pantai, Riga dan tiga kawannya langsung menggelar tikar di atas pasir. 


Selama sejenak, Kalev termenung memandangi pantai yang membentang di hadapannya dan hanya bergeming di tempatnya berdiri. Tangan Riga yang menyeretnya ke pantai membuatnya tertarik kembali ke dunia nyata. 


“Lev, ayo nyebur juga!” seru Riga sambil berlari menarik tangan Kalev. Ia menyadari Kalev sama sekali tidak tersenyum dari tadi. Ia sempat berpikir apakah Kalev sebenarnya tidak mau pergi bersamanya hari itu. 


Faktanya, Kalev sebenarnya sangat menyukai laut dan pantai. Pemandangan laut selalu membuatnya senang. Ia suka berjalan di atas pasir pantai dengan kaki telanjang sambil mendengarkan suara ombak. Ia suka menyeburkan dirinya di air laut yang asin. Bahkan ia pernah belajar berselancar selama tinggal di Bali.  Tapi—entah kenapa—ia merasa seperti ada belenggu yang menyeret kakinya dan membuatnya tidak bisa menikmati suasana pantai sore itu. 


Dengan lihai, ia mengubur keresahannya dan ikut tertawa bersama Riga serta tiga kawan barunya. Ia memamerkan skill berenangnya karena terbiasa berenang di laut sewaktu tinggal di Bali. 


Perlahan-lahan, sang surya mulai terbenam di ufuk Barat. Mereka berhenti berenang ketika langit mulai gelap. Kemudian, mereka kembali ke pantai untuk menyaksikan sandikala. Kebetulan sore itu, langit sangat cerah dan hanya ada sedikit awan. Warna langit yang semula berwarna biru kini berangsur-angsur berubah menjadi oranye.  


“Kalev, kalau mereka mengganggumu lagi, bilang padaku,” kata Riga tiba-tiba saat mereka duduk di atas pasir yang hangat. Ia duduk di samping Kalev sambil menekuk lutut. 


“Maksudmu?”  Kalev mengerutkan kening. 


“Aku tahu reputasi geng Bari yang selalu mengganggumu di awal kau masuk. Yah… Enggak heran. Keluarganya memang gangster betulan. Sekolah bahkan takut menghukum Bari karena kuasa orangtuanya,” jelas Riga lagi. 


“Aku bisa melindungi diriku sendiri,” balas Kalev. Bisa tapi bakal berakhir babak-belur. Lagipula kumpulan manusia sampah itu tidak pernah berurusan dengannya lagi. 


“Aku tahu, tapi kau tidak mungkin bisa melawan mereka.” Cowok itu menghela napas panjang. “Walau begitu, keluarga Bari takut pada keluargaku, jadi dia tidak akan mengganggumu selama aku berteman denganmu,” ucapnya dengan sorot mata sungguh-sungguh. Matanya yang berwarna coklat tampak berbinar-binar. “Aku menduga ada sesuatu yang membuat Bari mengincarmu, kan?” 


Kalev tak menjawab dan mengalihkan pandangan matanya ke mentari yang mulai tenggelam. Ia enggan membahas soal itu. Rahangnya mengeras ketika teringat ucapan tamu tak diundang yang datang ke rumahnya malam itu. Bagaimana mungkin Papa melakukan penipuan dan menyeretnya keluarganya ke masalahnya? Ditambah, masalah itu ternyata berkaitan dengan kumpulan gangster. Apakah Papa sengaja menjerumuskan Mama ke masalah uang sebesar satu milyar? Bagaimana kalau ada orang jahat yang mencelakai Mama karena masalah itu? Kalev lelah terus-menerus waspada berlebihan pada siapapun yang datang ke rumahnya. Beberapa kali ia merasa seperti diawasi saat pulang ke rumah dan membuatnya semakin hypervigilance. Ia belum mendapati ada tamu tak diundang datang tapi ia yakin pernah bertemu dengan salah satu dari kelima orang itu. 


Riga memandang manik mata Kalev yang selalu terlihat gelap di bawah cahaya apapun—seolah tidak ada warna lain di iris matanya selain warna batu obsidian. Entah kenapa, ia sangat ingin melindungi anak itu dan membuatnya tersenyum. 


Ia membiarkan Kalev mendiamkan pertanyaannya lalu melanjutkan, “Dia memang sudah jadi pembully sejak SD. Aku tahu karena aku mengenalnya sejak kelas 1 SD. Tapi jangan khawatir, kau akan selalu aman jika bersamaku,” kata Riga sambil tersenyum hangat. 


Perlahan Kalev menoleh pada Riga dan menatapnya tak percaya. “Kenapa?”


“Karena kau temanku.” 


Cowok yang lebih kecil darinya itu justru ingin melindungi dirinya hanya karena mereka berteman. Ia menyadari sikap Riga yang kadang seperti abang yang tak dimilikinya, tapi di lain waktu sikapnya bisa seperti anak kecil yang suka bermain-main. 


“Terima kasih, tapi aku bisa menjaga diriku sendiri.” Raut wajahnya tampak serius, lalu ia menyambung. “Dan lagi secara tahun kelahiran, kau lebih muda dariku. Harusnya aku yang berkata begitu.”


Riga tertawa renyah sambil menepuk punggung Kalev keras-keras. “Secara hitungan bulan, kita cuma beda dua bulan.” Kalev memang lahir pada 15 Desember, sedangkan Riga lahir pada 31 Januari tahun berikutnya.  “Aku cuma mau bilang, kau bisa mencariku kalau kau butuh pertolongan.”


Kalev meringis akibat pukulan tangan Riga yang keras. 


“Kau tidak punya kemampuan basic bela diri apapun kan?” Riga memang pernah belajar taekwondo karena Ayah yang menyuruhnya supaya ia bisa melindungi kakak dan adik perempuannya. Tingkatannya hanya sampai sabuk biru. Ia tidak melanjutkan taekwondo di SMA dengan alasan ingin fokus pada olimpiade matematika dan juga mencoba olahraga lain, tapi sebenarnya ia hanya ingin bisa sedikit bebas dan menentukan pilihannya sendiri. 


“Jangan disebut.” Sementara itu, Kalev memang tidak pernah belajar bela diri apapun. Namun, ia tidak akan segan melukai siapapun yang berani mencelakai orang yang ia sayangi. Ia tidak akan segan-segan menyerang apapun atau siapapun. Bahkan jika darah orang itu harus mengalir di tangannya.



To Be Continued

You Might Also Like

0 comments