Chapter 6 — Could You Save My Heavy Dirty Soul? [END]
Februari 23, 2025
The Casket of Unforgiven Pieces
Chapter 6 [END]
────────────
Could You Save My Heavy Dirty Soul?
────────────
Begitu mobil polisi itu menghilang dari halaman rumahnya, Kalev langsung menutup pintu lantas membiarkan tubuhnya merosot pada pintu. Terlalu banyak hal yang terjadi dalam satu hari. Kepalanya mau meledak.
Kacau. Ia sudah menghancurkan kehidupannya yang sedari awal sudah carut-marut. Helaan napas frustasi keluar dari bibirnya yang terbuka. Kegelapan melingkupi tubuhnya yang meringkuk di balik pintu.
Ponselnya bergetar. Perlahan ia mengambil ponselnya dari dalam tas dan membaca ID Caller yang terpampang di layar sentuh. Nama yang sudah bertahun-tahun tidak pernah meneleponnya sampai ia mengira orang itu sudah menghapus eksistensinya di dalam ingatan.
Papa
Kalev membanting ponselnya ke lantai. Baru sekarang mencoba menghubungi hah?! Ia menarik napas—berusaha keras mengatur napasnya agar tetap tenang. Aku tidak butuh siapapun. Aku bisa mengatasi semua ini sendirian.
Perlahan Kalev bangkit berdiri untuk memungut ponsel mahalnya yang kini layarnya sudah retak, namun masih berfungsi. Kemudian ia melihat sebuah pesan masuk dari Riga.
Riga
apa ayahku melakukan sesuatu padamu?
maafkan ayahku, lev
lev? maafkan aku
kau dimana?
Kau dan keluargamu tidak melakukan kesalahan apapun, Riga. Kalev tiba-tiba tertawa. Ia menertawakan hidup ini. Ia ingin berteriak histeris. Apakah kau masih mau berteman denganku kalau Ayahmu tahu aku pelaku pembunuhan di gudang yang muncul di berita hari itu?
Perlahan Kalev bangkit berdiri untuk mengambil segelas air minum. Ia sama sekali tidak berselera makan meskipun ia sebenarnya sangat lapar. Bayang-bayang darah dan baunya masih menghantui indranya.
Lalu ia membersihkan dirinya dan mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih. Ia membiarkan noda darah yang ada di seragam putih dan jaket varsitynya, lantas melemparkan baju itu ke tempat pakaian kotor.
Ia menyambar tas ranselnya, jaket yang bersih, kunci motor dan—entah kenapa—ia mendapat ide untuk mengambil plat nomornya yang lama. Ia harus mengganti plat motornya karena para polisi ikut pasti mencatat plat motornya. Ponselnya yang retak tetap tergeletak di meja belajarnya yang penuh tumpukan buku tulis dan buku pelajaran.
Malam itu, Kalev memutuskan untuk lenyap.
**
Waktu menunjukkan pukul 9 malam, Riana baru saja pulang ke kediamannya yang berada di kompleks perumahan yang masih berada di wilayah perkotaan. Wanita berusia 44 tahun itu baru saja melewati hari yang panjang. Baru kali ini ia harus berhadapan dengan pihak polisi karena masalah yang dialami anaknya sendiri.
Ada banyak yang harus dibicarakan dengan putra tunggalnya. Pembicaraannya dengan Penyelidik cukup alot. Putranya tetap harus menjalani sidang Peradilan Anak meskipun ia tahu cerita sebenarnya dari seorang guru BK yang menjadi saksi kejadian di atas atap sekolah sehari sebelumnya. Kejadian itu diduga menjadi pemicu emosi Kalev melakukan penusukan. Orang tua korban tak peduli soal putranya yang melakukan perundungan. Orang tua korban tetap menuduh Kalev bersalah.
Kalev tetap harus menjalani Persidangan Anak untuk memutuskan apakah ia akan dikenakan hukuman Pasal 351 atau bahkan Pasal 354 KUHP. Namun, penyelidik memastikan akan dilakukan diversi dalam persidangan karena diversi wajib dilakukan untuk kasus seperti yang dilakukan Kalev.
Riana mengerutkan dahinya. Motor Kalev tidak ada di garasi. Padahal seorang petugas sudah memastikan kalau Kalev sudah masuk ke dalam rumah.
Ia langsung masuk ke dalam rumah dan mengecek kamar
Kalev yang berada di lantai dua. Wajahnya memucat saat menemukan kamar itu
kosong. Ia menatap kamar Kalev yang lengang.
Riana langsung menelepon putranya. Terdengar suara getaran ponsel di meja belajar. Gawat. Anak itu meninggalkan ponselnya. Ia terheran melihat layar smartphone itu sudah retak. Riana sangat gelisah. Bagaimana mungkin ia bisa mengetahui di mana keberadaan putranya. Lalu ia mengecek ponsel putranya yang tidak dilindungi password. Ia tipikal orang tua yang tak pernah memborbardir privasi putranya, tapi ini situasi genting.
Ia membuka aplikasi chat dan melihat puluhan missed calls. Lalu ia melihat percakapan yang muncul paling atas—dari seorang anak laki-laki bernama Riga. Ia melihat tanggal chat dari Riga. Tiga hari yang lalu. Riana merasa pernah mendengar nama itu disebut oleh Kalev. Ia membuka isi pesannya dan membaca sebuah pesan singkat yang tidak Kalev balas.
Riga
kau dimana?
Suara petir mulai terdengar menyambar-nyambar di luar sana. Hujan memang belum turun, tapi mungkin akan segera turun.
Riana mencoba menelepon nomor itu. Sayangnya, nomor itu tidak menjawab panggilan meskipun sudah beberapa kali dihubungi.
**
Malam itu, ia berlari menyusuri area pinggiran sungai yang jauh dari keramaian. Meskipun sungai itu berada di tengah kota, ada beberapa spot yang jauh dari pemukiman warga dan pertokoan.
Suasana kota mulai sepi karena sudah waktu sudah melewati tengah malam dan sebentar lagi hujan sepertinya akan turun.
Ia berhenti berlari lantas berteriak sekeras mungkin tanpa peduli jika ada orang yang mendengarnya. “BANGSAAAATTTTT!!!”
Semua sumpah serapah paling kasar menyembur keluar dari mulutnya. Amarah meluap dari dalam jiwanya seperti banjir bandang. Ia hampir tidak bisa bernapas karena kalut. Kesabarannya habis. Dan mungkin sudah tidak tersisa lagi kewarasan dalam dirinya. Kepalanya mau pecah. Semua perasaan yang selama ini ditutup rapat kali ini meletus, meledak, dan membuatnya retak dari dalam.
Sekujur tubuhnya gemetar. Ia ingin berteriak lebih keras lagi hingga suaranya habis. Tapi ia menutup wajahnya dan berteriak tanpa mengeluarkan suara.
Ia menatap sungai yang gelap di hadapannya dengan napas tersengal akibat berlari dan amarah yang berkecamuk dalam dirinya. Jam menunjukkan lebih dari pukul satu dini hari dan sekarang ia berada di pinggir sungai gelap ini. Hampir tidak ada orang di area pinggir sungai di tengah malam. Pikiran buruk berkelebat dalam kepalanya. Kalaupun ada, mereka mungkin akan menganggap suaranya sebagai angin lalu.
Ia tak pernah merasakan amarah sebesar ini hingga ia
ingin menghancurkan sesuatu. Tapi apa yang tersisa untuk dihancurkan? Tanpa ia
sadari air matanya meleleh. Ia lupa kapan terakhir kali meneteskan air matanya.
Ia menangis dalam diam hingga seluruh amarahnya luntur.
Tubuh Kalev berguncang. Ia selalu meyakinkan dirinya kalau ia sangat terkontrol dan tenang. Kenyataannya, saat ini ia ingin meraung dan melampiaskan emosinya.
Air matanya tak bisa berhenti. Saat itu, ia hanya ingin diselamatkan. Seolah-olah ia berada di tengah mata badai. Tapi tidak mungkin ada orang yang mau menyelamatkannya, karena ia tidak pantas diselamatkan.
Ia menyimpan sebuah pisau lipat yang sudah berusia cukup lama. Perlahan ia menggoreskan pisau itu di lengannya sendiri hanya untuk membungkam suara di benaknya. Ia mati rasa karena goresan pisau itu ternyata tak mampu mengalahkan sakit mental yang ia rasakan.
Tiba-tiba tetesan air hujan turun. Udara juga mulai terasa dingin. Kalev bergeming di tempatnya berdiri. Ia berdiri cukup lama hingga seluruh tubuhnya terguyur hujan. Ia belum pernah berduka untuk adiknya yang meninggal karena ia berusaha keras menutupi perasaannya bertahun-tahun. Lagipula ia paham bahwa semua manusia akan mati pada akhirnya.
Entah sejak kapan kelopak matanya terasa berat. Napasnya mulai terasa lambat. Ia menyimpan kembali pisau lipat itu di sakunya. Perlahan tubuhnya merosot dan kini ia menelentangkan tubuhnya di atas tanah yang basah. Ia menatap langit yang berwarna hitam kelam tanpa bintang. Awan memenuhi langit. Tetesan air hujan memenuhi pandangannya.
Perlahan hujan menghapus jejak air matanya.
**
Sebuah payung menaunginya dari hujan yang turun bagai bah. Perlahan Kalev membuka matanya dan melihat seseorang mengulurkan payung untuknya. Tanpa melihat wajahnya, Kalev sudah tahu siapa yang menghampirinya. Senyap. Hanya terdengar suara tetesan hujan pada payung.
“Jangan mati di sini, Lev.”
Sosok itu basah kuyup karena payungnya digunakan untuk menaungi Kalev.
“Aku tidak mau mendengar berita seorang anak SMA yang melakukan penusukan pada pagi hari ditemukan meninggal di pinggir sungai pada malam harinya.” Pemuda itu berkata sekali lagi mencoba bercanda.
Kalev tertawa getir pada Riga yang berdiri menatapnya dengan sorot mata hangat. Bibir Riga melengkung karena ia lega menemukan Kalev masih bernapas. Perlahan Riga mengulurkan tangannya untuk membantu Kalev berdiri. “Mau sampai kapan kau berbaring di sini?”
Pakaian Kalev kotor oleh tanah yang menjadi tempatnya berbaring. Kenapa? Aku sudah tidak pantas diselamatkan. Ucapan itu tertelan dalam tenggorokannya. Tidak ada gunanya lagi tetap bernapas di dunia ini. Kejadian hari ini hanya salah satu dari deretan perbuatannya yang tak termaafkan, meskipun menusuk Bari tetap hal yang benar menurutnya. Matanya terpejam dan telinganya menunggu langkah kaki Riga untuk pergi.
Tapi Riga justru berjongkok di hadapannya dan berkata, “Aku tahu.” Suaranya masih terdengar bersahabat seolah-olah mereka sedang berbicara di atas atap sekolah tentang makan siang, pelajaran, guru, dan segala remeh-temeh di dunia ini. “Aku menyaksikan kebrutalanmu malam itu.”
“Apa maksudmu?” Jantung Kalev berdegup keras namun seluruh tubuhnya terbujur kaku. Napasnya tercekat. Sesuatu di dalam pikirannya berteriak histeris, mengacau, mengobrak-abrik ingatannya tentang malam itu. Bagaimana Riga bisa melihatnya? Perbuatannya tidak termaafkan. Ia adalah monster pembunuh. Hukum anak tidak akan melindungi dirinya lagi jika polisi tahu kalau ia membunuh.
“Aku tahu kau pelakunya,” kata Riga dengan ringan. “Aku ada di sana malam itu, melihatmu menyiksa satu per satu korbanmu.”
“Bunuh aku. Kumohon.” Permohonan itu terselip keluar dari bibir Kalev.
“Enggak. Aku mau kau tetap hidup. Kau ingat ucapanku hari itu? Kau akan selalu jadi temanku, tak peduli kau jahat atau baik atau abu-abu.” Tangannya yang gemetar kedinginan masih terulur—menunggu tangan pucat Kalev untuk menyambutnya. Hatinya tetap terbuka untuk menjadi teman Kalev. Akan ia lakukan apapun untuk melindunginya yang sudah ia anggap saudara.
“Kau gila ya?"
“Siapa peduli? Aku akan tetap berada di sisimu.” Riga menggeleng lalu seringai nakal tersungging di bibirnya. “Apa kau penasaran bagaimana aku tahu kau pelakunya?”
Kalev menelan ludah. Otaknya masih bekerja keras mencari kesalahan yang dilakukannya pada malam itu.
“Sebelum malam itu, aku beberapa kali mengikutimu.” Riga terkekeh. Ia selalu menyadari Kalev selalu kehilangan fokus saat ia sedang merencanakan untuk pergi ke tempat itu sendirian. Kalev akan duduk gelisah di sampingnya dan langkahnya terburu-buru setelah mereka berpisah. Di momen itulah, Riga menguntit Kalev dengan menjaga jarak sehingga Kalev tidak akan menyadari keberadaannya.
“Kau selalu bersikap normal setelah kau pergi ke tempat itu untuk menyelidiki. Sehari setelah pembunuhan, kau bersikap seolah kau tidak pernah membunuh.” Ia masih ingat hari itu ia membolos dan pergi ke rumah Kalev hanya untuk mengetahui reaksi Kalev setelah membunuh. Tapi cowok itu terlihat tanpa dosa dengan luka lebam yang disembunyikannya. Ia kagum pada Kalev yang begitu tenang setelah menghabisi nyawa orang. “Mau melarikan diri?”
“Jadi buronan?” Sungguh ide tentang pelarian itu menggodanya. Kabur seperti menjadi opsi terbaik kedua selain bunuh diri.
“Aku selalu ingin pergi dari kota ini. Ini kesempatan bagus kan?
“Kemana?
Samar terdengar suara sirine mobil polisi dari kejauhan. Riga menoleh ke arah suara dengan kening berkerut. Ia takut staff Ayahnya ada di dalam mobil tersebut. “Ada polisi. Aku akan tunjukkan tempat persembunyianku dan berteduh di sana.”
Perlahan Kalev menyambut uluran tangan Riga dan mereka berlari di bawah guyuran hujan—masih menyusuri pinggiran sungai. Sepatu yang basah membuat suara langkah mereka terdengar berisik. Kalev menatap punggung Riga di depannya. Riga memberinya rasa aman. Riga tetap menginginkannya menjadi teman meskipun dia monster pembunuh. Riga tersenyum padanya meskipun ia menghilangkan nyawa, tangannya berlumuran darah, dan jiwanya kotor menjijikan. Tapi, sampai sejauh mana ia bisa mempercayainya?
Setelah berlari sejauh berkilo-kilometer menyusuri sungai hingga menjauh dari area padat penduduk, mereka berhenti di bawah naungan rumah terbengkalai. Ada spanduk dijual yang sudah robek dimana-mana. Pemiliknya pasti meninggalkan rumah yang miring itu karena area pinggir sungai cukup sering banjir. Tumbuhan dan rumput liar menyamarkan rumah itu. Mereka masuk ke bawah kanopinya untuk berteduh. Hujan tak menunjukkan tanda-tanda akan mereda.
“Kita aman.”
Untuk sesaat Kalev merasa mereka masih bisa berteman seperti sedia kala. Mungkin besok mereka bisa kembali ke atas atap sekolah untuk makan siang bersama atau kabur dari pelajaran yang membosankan. Mungkin setelah itu mereka bisa bertanding basket lagi. Mungkin—Riga bisa mengatakan pada semua orang kalau dia pembunuh bertangan dingin. “Kau yakin?” Kalev berdiri di hadapan Riga lalu mendorong Riga hingga punggungnya menabrak dinding kayu yang lapuk. Ia termakan paranoianya. Tiba-tiba ia yakin kalau Riga sedang bersekongkol. Kehadiran Riga akan mempermudah polisi melacaknya. Kasus itu akan terungkap. Kasus itu akan kembali ke publik dan dia akan muncul di layar TV dengan pakaian oranye dan tangan terborgol. Napas Kalev sesak membayangkan itu. Jika ia tertangkap, ia tidak bisa melakukan pembunuhan lagi. “Atau kau sedang menjebakku? Untuk memberitahu Ayahmu kalau aku pelakunya."
Riga mendengus. “Kau tahu aku sangat membenci Ayahku. Buat apa aku melaporkanmu?”
“Buktikan.”
“Hah?”
“Buktikan kau tidak sedang berkhianat.” Kalev mendesis tajam. Akhirnya, benaknya menemukan celah yang membuat setiap pengintaian dan pembunuhan malam itu terungkap oleh Riga. Kalev mengabaikan pohon-pohon yang mengelilingi gudang. Riga yang jago memanjat tentu bisa mengintainya dari dahan pohon tertinggi. “Tunjukkan ponselmu sekarang juga. Kau bisa jadi sedang menelepon Bapakmu.”
Kali ini Riga geram lantas menyambar kerah baju Kalev. “APA UCAPANKU TIDAK CUKUP—” Suaranya tercekat dan ia langsung membungkuk kesakitan. Sebilah pisau lipat menancap di dadanya
Tepat saat Riga menyambar kerahnya, Kalev menusukkan pisau itu. Persetan dengan jejak sidik jari. Sidik jarinya akan menempel pada pegangan pisau itu. “Pengkhianat.” Kalev memuntir pisau di dada Riga untuk menghancurkan organ dalam Riga. Butuh tenaga ekstra karena pisau yang dibawanya tumpul.
Suara di dalam kepalanya tertawa histeris saat melihat napas Riga terputus-putus dengan tangan menggapai-gapai pisau yang menancap di tubuh. Tangan Kalev masih memegang gagang pisau membuat tangan mereka saling bersentuhan.
“Tarik pisau ini dan kau mati.” Kalev berkata kejam. Ia merogoh saku celana Riga dan mengeluarkan ponsel di dalamnya. Riga menyalakan sebuah rekaman sedari tadi yang akan dikirimnya ke Satreskrim. Kemudian Kalev membanting ponsel itu dengan murka, menginjaknya hingga layarnya rusak, lalu melemparnya ke sungai.
Tubuh Riga yang ambruk membuat Kalev terhuyung ke belakang. Kepalanya tersandar di bahu lebar Kalev. Cairan berwarna merah pekat berlumuran di pakaian mereka. Samar-samar Riga berusaha mengucapkan sesuatu, namun tidak ada suara keluar dari bibirnya. Pemuda itu masih bernapas, maka Kalev memungut bongkahan batu bata dan menghantamkannya ke kepala Riga tanpa perasaan. Darah mengucur keluar dari pelipis kiri Riga. Detik berikutnya Riga mengembuskan napas terakhirnya dan roboh di atas tanah.
Kalev tampak tenang seraya menatap tubuh Riga yang terbujur kaku di kakinya. “Teman huh?” gumamnya.
Sayup-sayup terdengar sirine mobil polisi dari kejauhan. Insting liarnya mengatakan untuk segera kabur meninggalkan mayat Riga. Ia menatap Riga yang jatuh telungkup selama beberapa saat. Perlahan ia membalik tubuh Riga untuk menarik pisau dari dadanya. Darah pun muncrat ke wajah Kalev. “Kau penghianat bangsat.” Gigi Kalev bergemeletuk karena luapan amarah dan kebencian. Ia membunuh lagi.
Namun, di satu sisi, bayangan Riga yang tersenyum lebar dan tertawa bersamanya membuatnya merasa justru dirinya yang tertusuk malam itu. Dialah satu-satunya manusia yang mau berteman dengannya meskipun ia adalah monster. Tapi dia sudah mati di tangannya.
Kalev mengerjapkan matanya berusaha menahan air mata yang akan jatuh. Perlahan ia melangkah mundur menjauhi rumah terbengkalai itu dan berjalan tanpa arah di bawah guyuran hujan yang mengaburkan pandangannya. Ya Tuhan, sampai kapan hujan ini turun? Lalu ia tertawa karena merasa dirinya tak pantas menyebut Tuhan. Jiwanya terlalu kotor dan tidak terampuni.
Ia tertawa keras seraya menatap pisau di tangannya—tergoda untuk menancapkan pisau itu ke jantungnya. Ia mengangkat pisau itu tapi ia tak mampu mengakhiri hidupnya sendiri. Lalu ia berlari hingga paru-parunya terasa seperti terbakar sambil terbahak-bahak hingga membungkuk.
Ironis bukan?
Begitu mudah membunuh seorang teman yang ia pikir akan berada di pihaknya selamanya.
Dia terlalu rusak untuk tetap berada di dunia ini. Penyesalan merayapi tubuhnya yang dingin. Ia hanya ingin melindungi orang yang disayanginya tapi kenapa justru orang tersebut malah berpaling darinya? Ia mencelakai Bari karena Bari menyerang Riga lebih dulu. Ia hanya bertugas menjadi sang pembalas dendam agar orang itu tidak akan mengusik sosok berharga di kehidupan kelamnya.
Kenapa? Kalev tak bisa menghentikan tawa hingga air matanya mengalir. Dunia ini terlalu menggelikan. Aku hanya ingin menjadi teman yang baik tapi kenapa mereka justru berkhianat? Ia teringat Maven—adiknya yang berharga dan selalu ia lindungi—tapi tetap harus meninggalkannya lebih dulu.
Kalev tersedak oleh air mata. Malam ini ia melakukannya lagi. Tanpa rencana. Pembunuhan impromptu pertamanya.
Tanpa ia sadari, seorang polisi sudah berdiri tiga meter di belakangnya dengan lampu senter tersorot pada punggungnya. “BERHENTI! ATAU KAMI TEMBAK!”
Perlahan, Kalev menghentikan larinya yang sudah tersendat. Seluruh syarafnya menjerit kelelahan namun jika langkahnya terhenti, pikirannya menjadi lebih kalut. Napasnya memburu. Keringat, air mata, dan hujan menjadi satu di wajahnya. Ia mengangkat tangannya yang berdarah—darah milik Riga yang sudah tercampur dengan darahnya. Lalu ia berbalik dengan seringai lebar menghiasi wajahnya. Ia terkekeh.
“Oh jadi kalian bisa menangkapku juga ya? Polisi bodoh. Kemana saja kalian? Menyelesaikan kasus pembunuhan yang dilakukan anak remaja saja tidak becus. Hahahahaha!”
**
Kalev tersentak. Cahaya putih membutakan matanya. Ia mengerjapkan netranya beberapa kali hingga bisa melihat sekelilingnya. Tembok berwarna putih, lantai pualam berwarna senada, kolong ranjang rumah sakit, tiang infus, dan nakas terbuat dari besi yang menyedihkan. Lagi-lagi ia tergeletak di atas lantai meskipun ada ranjang di sampingnya.
Ia tidak ingat apapun setelah kejadian malam itu di pinggir sungai. Ia bahkan tak mengerti kenapa ia berakhir di ruangan serba putih ini—bukannya seharusnya ia di bui? Kepalanya hanya ingat pakaiannya yang kotor akibat lumpur. Tapi sekarang ia sudah mengenakan pakaian rumah sakit yang bersih dan wangi antiseptik. Ia melihat tangannya yang penuh dengan luka baru. Seorang perawat pasti sudah membersihkan luka-luka goresan itu dan berusaha menutupinya dengan perban, namun Kalev masih bisa melihat ujung lukanya.
Kalev membiarkan pelipisnya menempel pada lantai yang dingin. Sungguh nyaman meringkuk di lantai. Ia tidak ingin bangun selamanya. Tapi kemudian ia merasakan sakit di dadanya. Ia meraba dada kanannya dan menyadari ada perban di situ. Apa yang terjadi? Pantas saja setiap tarikan napasnya terasa seperti jarum menusuk.
Perlahan ia bangun dan rasa sakit langsung memukul-mukul kepalanya. Ia berusaha untuk duduk di atas bed lalu ia menyadari sebuah pasung melingkari pergelangan kakinya sehingga ia tidak bisa lari dari ranjang. Apa-apaan ini?! Kalev memprotes dan mencoba membuka belenggu itu.
Tiba–tiba pintu terbuka. Seorang suster ditemani Mama masuk ke dalam. Mata Mama tampak merah dan sembab seolah-olah ia tidak tidur semalaman akibat menangis.
“Kalev, akhirnya kau bangun juga,” Mama langsung merengkuhnya. Kalev membalas pelukan Mama. Entah kenapa tubuh Mama terasa lebih rapuh. “Lain kali jangan melarikan diri seperti itu apalagi di bawah badai seperti tadi malam.”
Kalev memperhatikan Mama yang mengambil kursi untuk duduk di sampingnya. “Bagaimana aku bisa berakhir di sini?”
“Seorang warga yang tinggal di sekitar sungai mendengarmu berteriak dan tertawa sendirian…. lalu ia menemukanmu berjalan di bawah hujan tanpa arah dengan darah dimana-mana. Mereka langsung menolongmu dan menelepon ambulans—” Suara Mama tercekat.
“Apa?” Mata Kalev melebar tak percaya. Ia menyentuh dadanya lagi yang terasa nyeri. Kepingan puzzle mulai tersusun ulang di kepalanya.
“Mama sangat panik waktu mendapat telepon dari Rumah Sakit jam 3 pagi. Mama pikir sudah kehilanganmu selamanya… tapi kemudian Dokter memberikan obat penenang dan kau langsung tak sadarkan diri di IGD.”
“Apa orang yang menemukanku mengatakan sesuatu?”
“Mereka hanya mengatakan kalau Kalev meracau soal pembunuhan.”
Jantung Kalev berdebar sangat kencang. Apakah setelah ini ia akan langsung dipenjara? Apakah para polisi sudah mengetahui kalau dia yang membunuh para buronan itu? Kalev menahan napas, ia berusaha memasang ekspresi wajah setenang mungkin. Sebelum ia bertanya lebih lanjut, Mama melanjutkan, “Kamu pasti sangat terpukul akibat kejadian itu bukan? Temanmu jatuh dari atas gedung. Temanmu yang pintar dan selalu datang ke rumah itu meninggal di tempat akibat perundungan. Kamu mungkin menganggap itu pembunuhan.”
Tunggu, tunggu, itu tidak benar! RIGA ADA BERSAMAKU TADI MALAM. AKU YANG MEMBUNUHNYA. BUKAN SI BANGSAT BARI.
“Kejadian itu terus-terusan muncul di berita."
“Boleh aku lihat beritanya?” Kalev berkata tenang. Terlalu tenang bahkan.
Mama pun menunjukkan berita itu di layar ponselnya.
PERUNDUNGAN BERAKHIR TRAGIS BAGI SISWA SMA PEMENANG OLIMPIADE
Seorang murid SMA terjatuh dari atap gedung sekolah akibat perundungan. Korban berinisial BRY mengembuskan napas terakhirnya di lapangan sekolah. Sementara perundung akan dikeluarkan dari sekolah tersebut. Sosok BRY dikenal sebagai murid berprestasi. Prestasi terakhirnya yaitu memenangkan medali perunggu Olimpiade Sains Nasional di bidang Matematika—menjadi satu-satunya siswa dari Kalimantan Selatan yang menduduki tiga penghargaan tertinggi.
Kasatreskrim akan memproses hukuman yang akan dikenakan pada perundung yang berinisial WB. “Kemungkinan besar perundung akan dikenai pasal 351 KUHP setelah melalui peradilan anak. Namun kami tetap akan berkoordinasi dengan orang tua perundung. Kejadian ini akan menjadi perhatian bahwa setiap sekolah harus menegakkan anti-bullying,” Darius—Kasatreskrim Polres Banjarmasin menyampaikan saat diwawancarai di Tempat Kejadian Perkara.
Beliau turun langsung dalam penanganan kasus ini dan tetap tegar meskipun putranya menjadi korban dalam kasus perundungan ini. Berdasarkan wawancara singkat dengan guru dan teman terdekat, BRY dikenal sebagai murid yang aktif, ceria, dan ramah. Tidak ada yang menyangka nyawanya harus habis akibat kecelakaan di perundungan. (EY—HarianBanjarmasin)
Kalev terkesiap. Itu berarti Riga sudah meninggal dua hari yang lalu. “Tidak mungkin. BERITA BOHONG!”
“Apa Kalev tidak ingat sehari setelahnya Kalev melukai si perundung itu juga… Tapi berhubung kasus pertama dijadikan prioritas, peradilan akan ditunda sampai mentalmu stabil.” Mama menyentuh pundak Kalev untuk menenangkan.
Raut wajah Kalev memucat. Benaknya mulai kalut. “Aku bertemu dengan RIGA semalam!!! DIA BERBICARA KEPADAKU!!!” teriaknya tanpa kendali. Ia mengabaikan rasa sakit fisik dan luka mental yang didapatkannya. Ia perlahan turun dari tempat tidur. “Aku tahu dia dimana!”
AKU TAHU LOKASI MAYATNYA YANG SESUNGGUHNYA, teriak Kalev dalam kepalanya. Saat itu juga ia bisa menunjukkan rumah terbengkalai yang menjadi tempat berteduh mereka semalam.
Tangis Mama pecah. Ia menggelengkan kepala seraya memegang tangan Kalev yang penuh luka. Perlahan ia menyadari bahwa perkataan dokter itu benar. Putra satu-satunya kemungkinan besar mengidap skizofrenia yang membuatnya berhalusinasi. Dokter yang menanganinya di IGD tadi malam memang bukan Psikiater, tapi dia bisa mendeteksi kalau Kalev mengalami gejala berat skizofrenia. “Kalev, tenanglah, Nak. Temanmu Riga sudah dikuburkan pagi ini.”
“BERHENTI BERBOHONG!!!” jerit Kalev. Matanya menatap nanar Mamanya. Dengan gerakan panik ia mencari ponselnya untuk menunjukkan kalau Riga mengirim chat padanya tadi malam. Lalu ia menyadari sesuatu… ponsel yang ia hancurkan semalam berarti…. bukan milik Riga karena ponselnya tertinggal di rumah. “Seseorang pasti melihatku tadi malam bersama Riga! TANYAKAN ORANG YANG MENEMUKANKU!”
Mama menggeleng. “Tidak ada, Kalev. Kamu ditemukan sendirian tadi malam.”
“A-aku melihatnya di depan Polres ketika aku keluar dari ruang interogasi kemarin. Kumohon, tolong bilang pada mereka untuk periksa CCTV-nya… Aku melihatnya, Mama… Aku melihat Riga, utuh dan hidup.” Kalev merintih karena dadanya nyeri luar biasa—entah karena bekas luka tusukan atau sakit mental yang dideritanya. Ia ingin semua ini berhenti.
“Ssshhh ya, Mama akan bilang pada mereka. Tenanglah, Kalev. Ikhlaskan temanmu. Dia sudah menjadi teman yang baik dan sekarang ia berhak istirahat dengan tenang.”
**
Revelations
; a surprising and
previously unknown fact, especially one that is made known in a dramatic way
Riga memang terjatuh siang itu ketika Bari mencengkram lehernya dan mendorongnya hingga ke ujung atap. Murid-murid yang berada di bawah berteriak untuk menyadarkan Bari, tapi Bari gelap mata. Ia hanya berniat menakuti Riga, bukan membunuhnya. Sama sekali tak terbesit niat untuk membunuh di usianya yang baru menginjak 18.
Tapi tangannya licin oleh keringat dan kakinya gemetar hingga akhirnya ia kehilangan fokus dan tanpa sadar tangannya berhenti mencengkram. Awalnya ia berusaha menggapai Riga namun kaki Riga yang sudah di ujung tak mampu bertahan lagi.
Riga jatuh dari ketinggian gedung sekolah setinggi 3 lantai. Matanya yang terbelalak lebar menghantui Bari sepanjang sisa hidupnya. Bari mendengar tubuh Riga yang berdebum di atas lapangan yang berdebu. Ia bergidik ngeri melihat Riga yang tergeletak kaku. Lantas ia berbalik badan dengan wajah tanpa ekspresi. Sejak hari itu, ia bersumpah akan menyembunyikan penyesalan dan ketakutannya selamanya. Ia tumbuh menjadi pemuda yang kasar dan kejam setelahnya.
Kalev mendengar tubuh Riga yang jatuh namun otaknya menolak mentah-mentah fakta itu. Ia mencoba berlari ke pinggiran atap gedung tapi para keparat itu menghujaninya dengan bogem mentah dan pukulan tongkat kasti. Kalev berusaha melawan namun dia bukan jagoan yang bisa melawan puluhan musuh sendirian. Fuck.
Menit berikutnya, seantero sekolah menjadi kacau. Kelas siang dibatalkan. Murid-murid dipulangkan lebih awal. Sirine ambulans dan mobil polisi saling sahut-menyahut. Guru-guru kewalahan mengatasi Bari dan kroninya yang sedang menghabisi Kalev.
Sesampainya di rumah, tubuh Kalev penuh dengan lebam biru. Seperti biasa, ia mengobati dirinya sendiri dengan cairan antiseptik, betadine, dan perban di ruang tengah karena ia tak punya tenaga lagi untuk naik ke atas. Kemejanya sobek. Rambutnya masai. Napasnya tercekat ketika cairan betadine menyentuh luka di wajahnya. Syukurlah Mama pulang malam hari itu sehingga tak perlu melihat putranya dalam kondisi menyedihkan.
Sehari setelahnya, berita duka melebar luas. Tapi tak satupun masuk ke kepala Kalev karena yang ada di pikirannya saat itu hanyalah balas dendam. Ia terfokus bagaimana menusuk Bari tanpa ampun.
Setelah kejadian penusukan itu, ia masih melihat tubuh Riga yang utuh berjalan menghampirinya di koridor sekolah karena khawatir. Saat Darius—Kasat Reskrim—mengintrogasinya di ruangan pengap itu, dia tidak menyuruhnya untuk menjauhi Riga. Melainkan berkata, “Oh ya, satu lagi permintaan saya. Jangan pernah mengunjungi kuburan Riga. Kamu sudah mentrigger jiwa liarnya yang suka berkelahi. Kamu pengaruh buruk bagi putra saya.”
Suara Darius terdistorsi. Kalev menolak mentah-mentah. Baginya, Riga masih hidup. Buktinya ia melihat Riga menungguinya di depan kantor kepolisian saat matahari sore bersinar terik dan mendatanginya dengan payung hitam saat ia kabur tengah malam ke area pinggir sungai yang senyap.
Namun, sebenarnya tidak ada siapapun. Kalec menatap kekosongan saat berjalan melewati koridor sekolah di saat seharusnya ia melihat Riga menatapnya cemas. Ia berhenti pada kekosongan di saat seharusnya Riga memanggil namanya ketika melangkah keluar dari kantor kepolisian.
Dan… Tidak ada siapapun yang menyelamatkannya malam itu. Tidak ada tangan hangat yang terulur maupun payung hitam yang menaunginya.
Ia mengulurkan tangan pada kehampaan—kepada ilusi bahwa ada seseorang yang mau menyelamatkannya.
Ia berjalan mengikuti ilusi, berbicara pada hantu, dan mencoba menusuk dirinya sendiri di depan teras rumah terbengkalai. Di saat yang seharusnya, ada Riga yang berlari bersamanya ketika badai mengamuk dan menemaninya berteduh. Malam itu, ia mendorong angin–bukan Riga.
Sepanjang malam, Kalev tertawa dan berkata-kata tanpa lawan bicara. Terjebak dalam arus ilusi dan tak ada seorang pun menariknya dari jeratan arus. Ia akan mati jika seseorang yang kebetulan ronda malam tidak melihatnya.
Pria yang sedang ronda malam itu memberanikan diri mengecek hingga ke area pinggir sungai. Ia melihat sosok Kalev yang berdiri di pinggir sungai dengan lengan penuh guratan. Pria tersebut menyaksikan Kalev terbahak-bahak sambil membungkuk. Remaja itu menyentuh dadanya yang berdarah.
Spontan pria itu bergidik ketika Kalev balas menatapnya dengan seringai mengerikan. Anak itu tampak normal, bertubuh tinggi, dan berwajah tampan. Namun, sinar matanya menyiratkan ada yang salah dengan mentalnya. Ditambah darah yang mengalir dari dada dan lengannya menunjukkan kalau anak itu terkena gangguan mental.
Sambil berjaga jarak, pria paruh baya itu menelpon ambulans. “Ada remaja gila yang melukai dirinya sendiri di pinggir sungai,” ucapnya pada telepon emergency.
Kalev berteriak dan memberontak setiap kali perawat mencoba melepas pisau dari tangannya. Ia menggeram dan mengatupkan rahangnya tanpa ucapan. Tatapan matanya yang tajam tampak mampu membunuh. Sesampainya di IGD, anak itu mencoba melarikan diri saat dokter jaga lengah. Beberapa perawat kepayahan untuk menahan lengan dan kakinya. Akhirnya dokter jaga memutuskan untuk menyuntikan obat penenang berdosis tinggi dan baru di saat itu ia berhenti memberontak.
Tubuhnya yang penuh luka berakhir rubuh di lantai rumah sakit.
**
Dua minggu kemudian, Kalev bisa pulang ke rumah. Jahitan di dadanya masih belum sepenuhnya kering, namun sel-sel tubuhnya berjuang dengan baik sehingga dokter memutuskan dia bisa pulang. Ia juga sudah melewati beberapa sesi terapi dan pengobatan dari psikiater. Psikiater itu menyakannya pertanyaan yang sama seperti waktu ia masih kecil—meskipun psikiaternya berbeda. Sorot ingin tahu psikiater itu membuat Kalev muak. Ia berkata jujur namun tidak sepenuhnya terbuka. Ia hanya menceritakan soal Maven yang meninggal, kehidupan orang tuanya yang penuh drama, dan terakhir… pertemanannya dengan Riga yang berakhir tragis. Ia menatap lurus psikiater tersebut untuk menunjukkan kalau ia jujur dan tidak ada fakta yang ditutupi. Suaranya tenang dan stabil setiap kali menjawab. Tentunya ia tidak mungkin mengatakan kalau ia pernah membunuh orang dan ia menikmati setiap prosesnya.
Psikiater tersebut hanya memberinya obat yang wajib diminum setiap beberapa jam sekali secara rutin, tanpa boleh terlambat. Kemudian Pengadilannya ditunda sampai ia dinyatakan stabil oleh Psikiater.
Selama dirawat di rumah sakit, Kalev juga didatangi oleh guru dari sekolahnya. Guru fisika favoritnya. Pria itu menjelaskan padanya kalau Riga memang terjatuh hari itu. Hampir semua murid di sekolah melihat dan mendengar bagaimana Riga terjatuh. Guru BK kebanjiran tugas untuk memberikan konseling pada murid-murid yang mendapat terguncang dari kejadian itu. Sekolah sangat suram semenjak kejadian itu.
Kemudian, pihak Polres juga mencarikan rekaman CCTV di tanggal dan jam saat ia keluar dari ruang interogasi. Ia melihat dirinya berhenti sejenak di saat seharusnya ia melihat Riga berdiri menunggu dan memanggilnya. Hatinya sangat pedih saat melihat rekaman CCTV itu. Bahkan isi pesan yang menanyakan dirinya setelah ia diinterogasi tidak pernah ada.
“Jangan lupa minum obatmu.” Mama mengambil cuti untuk merawat dan siang itu ia memastikan Kalev minum obat antipsikosis tepat waktu. Kalev mengambil pilnya dan memasukkannya ke mulut. Saat itu mereka sedang duduk di meja makan.
Namun sebenarnya Kalev hanya menaruhnya di bawah lidah dan tidak menelannya. Ia bergegas ke lantai dua melepehkan pil itu di toilet. Begitu masuk ke kamarnya, kamarnya tampak sama seperti waktu ia meninggalkannya. Ia merebahkan tubuh di sofa dan memejamkan matanya selama beberapa saat. Tas berisi pakaian tergeletak di sampingnya. Ia menunggu efek dosis obat pagi menghilang hingga terlelap.
Senyap. Tak ada suara apapun. Sampai tiba-tiba terdengar suara ketukan di jendelanya. Spontan Kalev terkesiap dan menoleh ke arah jendela. Lantas, ia membukakan kaca jendela untuk sosok itu.
“Hey, kemana saja?” Riga tertawa renyah sambil duduk di kusen jendela. Sinar matahari senja berwarna oranye mewarnai langit sore itu.
Kalev menatap Riga tak percaya. Dia hidup lagi? “Maafkan aku soal malam itu…” bisiknya dengan bibir gemetar.
“Ya, tidak apa-apa. Terbukti kan aku tidak pernah melaporkanmu kepada Ayahku?” Riga nyengir lebar.
Kalev mengangguk pelan.
Riga tersenyjm menenangkan. “Hanya aku yang menyaksikanmu membunuh malam itu. Tidak akan ada yang tahu. Rahasiamu aman bersamaku selamanya.”
“Kau bersumpah?” Kalev menatap Riga yang perlahan meloncat masuk ke kamarnya.
Riga mengangkat tangan bersumpah. Kalev tersenyum simpul pada Riga.
Lega. Kasus pembunuhan itu akan tertutup selamanya.
Ia sebagai pelakunya tidak akan pernah terungkap oleh para polisi bodoh itu.
Bayang-bayang penjara perlahan enyah dari benaknya. Gejolak untuk melakukannya lagi muncul tanpa alasan. Tapi ia
menahan diri karena saat itu ia tidak punya alasan. Dalam keheningan, ia
menyeringai puas pada tubuh Riga yang perlahan berlumuran darah di bawah sinar
sandikala. Luka di dadanya kembali terbuka tepat di tempat Kalev menusuknya
malam itu. Kalev tertawa kecil melihat Riga yang membungkuk kesakitan. Tidak
ada gunanya lagi untuk bertahan. The
casket of unforgiven pieces remained sealed.
FINN
—
0 comments