Original Story

Wandering Souls ━ Epilogue

Maret 24, 2024

 


𝕰𝖕𝖎𝖑𝖔𝖌𝖚𝖊

━━━━━━━━
Sebelumnya: 
https://bittersweetjourneyy.blogspot.com/2024/03/wandering-souls-bagian-2.html

🔮

Kuharap kau menepati janjimu.


Setelah Sola melangkah melewati pintu mercusuar, ia sampai di depan sebuah pintu rumah yang rusak akibat angin puting beliung. Atap rumah itu terlepas dan tersangkut di atas sebuah pohon. Barang-barang di dalamnya berantakan. Rumah itu porak poranda dan ditinggalkan.

Akan tetapi, rumah itu bukan miliknya karena rumahnya berada di pinggir jalan raya besarbukan di tengah kebun seperti ini. Ia tidak tahu rumah siapa itu tapi hatinya pilu pada siapapun pemilik rumah itu.

Ia menoleh ke belakang—berharap masih bisa melihat senyuman Reef. Ia bahkan berjalan melewati pintu itu lagi dengan sedikit berharap bisa kembali ke padang rumput untuk menemui Reef. Namun, ia hanya menemukan pintu rumah biasa yang tidak menunjukkan pemandangan apapun.

Portalnya lenyap seketika.

Sola mencari liontin batu obsidian itu untuk menenangkan dirinya bahwa semua itu bukan halusinasinya. Liontin itu terasa padat dan dingin di kulitnya. Ia bergeming selama beberapa detik sambil menggenggam erat liontin batu obsidian itu.

Kali ini waktu kembali bergulir. Ia melihat jam dinding yang tergeletak di tanah akibat diterpa angin malapetaka. Jam dinding itu masih berdetak. Sekarang pukul 10 pagi entah tanggal berapa. Sungguh ganjil kembali melihat waktu.

Aku harus kembali ke rumah. Sepertinya, aku tahu ini di daerah mana.

Gadis itu pun berjalan keluar dari halaman rumah yang sudah kacau-balau. Ia berjalan menyusuri jalan sempit beraspal. Ia pun teringat kalau daerah ini adalah kampung kecil tempat tinggalnya sebelum keluarganya pindah ke wilayah kota.

Sola menemui banyak orang yang sedang bergotong-royong memperbaiki rumah warga dan mushola yang atapnya terbang dibawa oleh angin. Beberapa warga lainnya sibuk menyingkirkan dahan pohon yang berserakan di halaman rumah.

Sola tersenyum tipis ketika tak sengaja matanya berpapasan dengan Bapak-Bapak atau Ibu-Ibu yang sedang bekerja.

Kampung kecil ini berada tidak begitu jauh dari rumahnya yang sekarang. Mungkin jaraknya sekitar sepuluh kilometer.

Capek juga kalau harus jalan kaki, pikirnya sambil berhenti di pinggir jalan yang ramai oleh kendaraan. Ia memutuskan untuk naik angkot. Soal uang transport, ia akan ambil dari laci warung.

Sola duduk di dalam angkot dan merogoh sakunya—siapa tahu ia menemukan selembar uang lima ribu. Tetapi yang ia temukan justru seikat bunga mungil yang dihiasi dengan  berbagai tangkai daun. Dari Piero. Ia tersenyum kecil dan merasa hatinya sehangat sinar matahari di pagi hari yang dingin.

Ia sampai tidak sadar kalau tangkai bunga daisy masih terselip di belakang telinganya. Pantas saja beberapa orang melihatnya sambil tersenyum-senyum. Memalukaaan! keluh Sola dalam hati. Orang-orang pasti menganggapnya sinting.

Sola merogoh saku cardigannya dan menemukan selembar uang dua ribuan. Spontan ia tersenyum lega. Paling tidak ia bisa membayar—walaupun kurang dari harga seharusnya.

Ia menatap jalan raya yang ramai oleh kendaraan bermotor dan memperhatikan pertokoan yang ramai oleh pengunjung. Dunia tetap berjalan meskipun bencana alam baru menimpa kota. 

Angkot merah itu berhenti tepat di depan warungnya yang masih utuh meskipun kaca depannya pecah berkeping-keping. Ia menghela napas lega ketika melihat warungnya masih sama seperti ketika ia tinggalkan—dihiasi kaca pecah dan rak display berantakan.

Tapi… tidak ada pasir sama sekali. Warungnya tidak dipenuhi pasir seperti terakhir kali ia melihatnya.

Sola turun dari angkot dan membayar angkot itu dengan uang dua ribunya. Sopir angkot itu tidak sadar kalau Sola membayarnya kurang dari seharusnya. Sola lega ketika angkot merah itu melesat pergi sebelum sopirnya menyadari uang yang diberikan bukan lembaran uang coklat.

Yeah, warung dan rumahnya masih sama. Kakek dan nenek pasti sudah mengungsi ke rumah tante yang jauh dari sini. Makanya, warung masih berantakan. Sola memang hanya tinggal bersama kakek dan nenek sejak bayi.

Aku akan membereskan nanti, ucap Sola dalam hati sambil melangkah menuju pintu rumahnya. Ia pun berjalan melewati warung dan memasuki rumah. “Kakek? Nenek?” Ia mencoba memanggil kakek-neneknya. Namun tak ada jawaban. Sepertinya dugaannya benar. Mereka pergi ke rumah tante.

Lalu, ia menemukan ponsel jadul milik nenek tergeletak di atas meja. Buru-buru, ia mengecek tanggal di layar ponsel jadul itu. Hari ini tanggal 22 Februari. Malapetaka angin puting beliung terjadi pada tanggal 21 Februari. Itu berarti ia menghilang selama semalam.

Padahal rasanya seperti lenyap berminggu-minggu.

Sola mulai meragukan ingatannya. Ia bergeming di ruang tengah keluarganya sambil mengingat setiap kejadian yang terjadi padanya. Eksistensi Reef, Piero, dan Hima itu nyata bukan? Ia memutar ingatan tentang mereka di dalam kepalanya. Lalu, ia menyentuh kalung dengan liontin batu obsidian itu lagi dan merasakan permukaannya yang halus dan dingin di jemarinya..

Kalung itu milik Reef.

Dia nyata.

Mereka nyata.

 

━━━━━━━

Sepuluh tahun kemudian

━━━━━━━

Musim dingin. Sola baru kali ini merasakan musim dingin. Ia mengeratkan jaket empuknya dan membenarkan posisi syal berwarna kuning yang melindungi lehernya dari udara dingin. Sore itu, ia sedang berjalan-jalan di tengah pusat kota Aberdeen—sebuah kota besar yang ada di Skotlandia.

Enam bulan yang sebelumnya ia diterima Universitas Glasgow untuk melanjutkan studi S2 gratis. Ia sangat senang dapat melanjutkan studinya di sini. Entah kenapa, beberapa tahun yang lalu muncul keinginannya untuk melanjutkan kuliah di negara ini. Aneh. Kenapa kompas hatinya selalu mengarah ke sini?

 Berhubung sekarang sudah memasuki winter break, ia bersama teman-temannya pun memutuskan untuk travelling ke  Aberdeen. Mereka naik kereta untuk mencapai Kota Aberdeen. Begitu sampai, Sola langsung jatuh cinta pada arsitektur kota itu. Sebelumnya ia juga sudah mencari tahu kalau kota itu berada di pinggir pantai yang berhadapan langsung dengan Laut Utara. Sola bersama dua temannya menginap di penginapan murah milik kerabat salah satu temannya yang kebetulan bertempat tinggal di pinggir kota Aberdeen.

Tunggu. Sola tidak mendengar gelak-tawa teman-teman kuliahnya lagi. Ia langsung menoleh ke sekelilingnya lalu tersadar kalau dirinya sudah terpisah dari gerombolannya. Ia mulai panik karena kota itu masih asing baginya. Ia berbalik badan, mencoba menelusuri jalan yang sudah dilewatinya, dan berusaha mencari keberadaan kedua temannya yang mungkin mampir ke suatu tempat tanpa mengajaknya.

Sola merasa agak getir tapi ia menabahkan hatinya.

Ia terus melangkah menyusuri trotoar yang ramai oleh penduduk kota dan  mencoba mengingat tempat yang mungkin disukai oleh kedua temannya. Tempat seperti butik baju atau toko pakaian branded.

Saat matanya terlalu fokus mencari, ia menabrak seseorang. Refleks ia segera meminta maaf pada orang itu tanpa menatap mata orang itu dan lanjut berjalan.

Tapi, ketika Sola melanjutkan langkahnya, tanpa sengaja tangannya mengenai tangan sosok asing itu yang tidak memakai sarung tangan. Sola langsung menarik tangannya kembali. Dingin sekali dan kenapa rasanya seperti jarinya barusan tersetrum listrik tegangan tinggi?

Wait.

Kenapa rasanya seperti waktu aku bertemu dengannya?

Meskipun sudah 10 tahun berlalu semenjak angin puting beliung melanda kotanya dan membawanya ke sebuah gurun pasir antah berantah, ia tidak pernah lupa setiap detail kejadian setelahnya. Ia masih ingat setiap detail sosok yang ditemuinya kala itu.

 Sola pun membalikan badannya dengan sangsi. Ia pasti baru saja membayangkan lagi soal ingatannya tentang gurun pasir, kereta api terbang, dan mercusuar di tengah padang rumput. Ia memberanikan diri untuk menatap orang asing itu, tetapi dia memakai kacamata hitam padahal sinar matahari di siang itu tidak terik. Orang asing itu juga memakai topi baseball berwarna hitam. Tapi, topi tidak mampu menyembunyikan helaian rambut birunya yang mulai panjang.

Reef? Dia nyata?

Mereka saling bertatapan selama sepersekian detik.

“Kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Sola ragu. Ia sudah tidak mampu membendung rasa penasaran yang membanjiri dirinya.

Pria asing itu melepas kacamatanya dan tampaklah sepasang mata heterokromia yang unik—mata kanan berwarna hitam sepenuhnya termasuk warna skleranya dan mata kiri berwarna sebiru lautan.

“Sola?” ucapnya dengan nada ragu yang sama dengan Sola.

Sola bernapas lega sambil mengangguk.

Dia nyata.

Dia senyata dirimu.

End

Original Story

Wandering Souls ━ Bagian 2

Maret 16, 2024

 


𝕭𝖆𝖌𝖎𝖆𝖓 2

━━━━━━━━

Sebelumnya: 
https://bittersweetjourneyy.blogspot.com/2024/03/wandering-souls.html

🔮

Sola memejamkan matanya karena kehilangan kesadaran. Reef pun menarik tangan Sola dan mengabaikan rasa melepuh yang menjalar di kulitnya. Ia melihat Sola pingsan kehabisan oksigen.

Ia terus berenang hingga ke sisi perairan yang dangkal. Ketika mereka sampai di permukaan, Reef mengangkat tubuh Sola ke daratan. Lalu ia langsung menjatuhkan tubuh Sola di pasir danau, saat gadis itu sudah membuka mata. Gadis itu langsung terbatuk mengeluarkan air dan menghirup udara banyak-banyak.

Kedua lengan Reef langsung melepuh, tapi ia diam saja, karena kemungkinan besar Sola juga merasakan hal berlawanan yang sama sakitnya.

Mereka berempat pun duduk di pinggir danau dengan tubuh basah kuyup dan napas tersengal.

“Kupikir kita sudah mati berkali-kali,” ucap Sola sambil mendudukan dirinya di depan Hima dan Piero. Ia mengernyitkan dahi sambil mengangkat celana jeansnya. Reef bisa melihat kedua pergelangan kaki Sola memar dan membiru—akibat sentuhannya.

Hima yang telah sepenuhnya sadar menatap Reef dengan sorot bertanya-tanya. Kenapa Reef juga kelelahan setelah tenggelam di dalam air. Bukannya air adalah rumahnya? “Kau makhluk air kan? Kau harusnya bisa bernapas dalam air," kata Hima.

“Air laut,” jawab Reef. “Bukan air tawar!”

Piero memasang kembali kacamatanya yang retak. Ia tampak sedih karena kacamatanya yang rusak dan mahkota daunnya layu. Tetapi ia tetap memakai kacamatanya karena penglihatannya buruk dan ia juga tidak melepas mahkota daun karena sudah menjadi ciri khasnya.

Anak lelaki itu menatap pepohonan tinggi di sekelilingnya. Tempat ini memang hutan tapi berbeda dari rumahnya.

“Hutan ini bukan rumahku,” ucap Piero suram. Mata bulatnya menatap hutan itu dengan sorot mata ngeri. Hutan itu terlihat mencekam dan gelap. Tak ada suara apapun.

Sola, Hima, dan Reef menyetujui ucapan Piero dalam keheningan. Persetujuan mereka tak perlu diucapkan keras-keras karena hanya akan membuat mereka gentar. Saat itu, mereka berempat menghadapi kenyataan yang sangat pahit. Mereka terdampar di gurun pasir, terbang keluar angkasa dengan kereta api terbang, jatuh tenggelam di danau, dan sekarang mereka berada di hutan raksasa yang dedaunannya sebesar manusia dewasa.

“Hutan ini juga tidak seperti hutan tropis yang ada di negara asalku,” kata Sola pelan.

Hima dan Reef belum pernah melihat hutan hujan sebelumnya. Jadi mereka hanya menjadi pendengar.

“Kita masuk ke dalamnya,” kata Reef memutuskan.

“Aku tidak mau!” kata Piero.

“Jadi kau mau terus diam sini? Tanpa berusaha melakukan apapun?” kata Reef tajam.

“Untuk apa kita berusaha kalau ujung-ujungnya kita mungkin hanya akan bertemu bencana lagi!” teriak Piero. Suaranya bergetar. Ia marah, takut, sedih, lelah, dan semuanya tercampur aduk menjadi satu. Kali ini tak bisa ditutupi lagi dengan sifatnya yang ceria.

Kali ini Hima bersuara. “Kita sudah melalui banyak hal. Apa hal buruk yang bisa terjadi lagi? Tidak ada salahnya nekat berjalan masuk ke hutan angker ini.”

Sola tampak menimbang-nimbang. “Aku sepemikiran dengan Piero, tapi aku yakin tempat ini akan sama seperti gurun pasir. Selama apapun kau diam duduk dan menunggu, waktu dan keadaan tidak akan berubah. Kau tidak akan mati dan kau terjebak selamanya di waktu yang lembam.”

Tiga suara lawan satu suara.

Keempatnya mulai berjalan menyusuri celah kecil di antara pepohonan raksasa. Tumbuhan pakis kolosal tumbuh di kanan-kiri mereka. Tidak ada suara jangkrik ataupun serangga hutan—seakan-akan hanya mereka berempat makhluk hidup selain tumbuhan yang ada di tempat itu.

Reef berjalan paling depan. Sola di belakangnya. Piero di belakang Sola. Hima berjalan di urutan paling terakhir. Manik matanya yang berwarna putih tampak awas mengamati sekitar.

Setelah berjalan cukup lama, Sola memperhatikan Reef yang berada di depannya. “Kau belum tidur sama sekali kan, semenjak kita bertemu?” ucapnya pelan sambil melangkah lebih dekat pada Reef tapi juga menjaga jarak karena ia tidak mau membeku lagi. 

Reef menoleh sedikit ke belakang, “Bukan masalah.”

Mereka terus berjalan menyusuri hutan. Sola memberi ide agar mereka memberi tanda berupa coretan di tanah pada jalan yang sudah mereka lalui. Begitulah yang pernah dilihat Sola dari film supaya mereka tahu apakah mereka berputar-putar di satu tempat atau tidak.

Udara terasa lebih berat daripada udara di gurun pasir. Matahari lagi-lagi menetap di atas sana seolah waktu tidak bergulir, tapi sinar matahari yang sampai ke mereka hanya sedikit. Keempat remaja itu mulai jengah karena keadaan dan waktu yang monoton, tetapi tidak ada yang berani menunjukkan perasaan itu karena hanya akan memperkeruh suasana yang sudah tidak kondusif.

Sola mulai melihat tanda-tanda aneh dari Reef. Langkahnya semakin pelan. Terlihat jelas, ia memaksakan diri untuk terus melangkah. Napasnya menderu cepat. Beberapa kali kakinya hampir tersandung akar-akar yang berserakan di jalan tanah yang mereka lewati. Kantung matanya semakin tebal. Ia hampir di ambang batasnya.

“Kurasa ada baiknya kita berhenti sebentar,” kata Piero tiba-tiba.

“TIDAK! Jika kita berhenti, suatu bencana akan terjadi!” seru Reef dari paling depan. Ia mulai memahami polanya. Hening-bencana-hening-bencana.

“Tapi kita hanya akan istirahat beberapa menit sebelum berjalan lagi,” balas Piero sambil mengibaskan daun raksasa di tangannya. Ia sangat capek.

“Di sini tidak ada penanda waktu. Kau tidak akan tahu berapa lama waktu sudah berjalan,” kata Reef bersikeras.

“Sampai kapan?!” timpal Hima.

“Belum pasti juga bencana itu akan datang,” kata Sola dengan raut wajah khawatir. Ia tak mengerti kenapa Reef tak mau berhenti sebentar.

Reef menatap ketiga temannya yang mulai kelelahan, setelah berjalan jauh di tengah hutan antah-berantah. Ia pun menyetujui untuk beristirahat sejenak di bawah pohon raksasa yang teduh. Mereka duduk sejajar dan menyandarkan punggung pada permukaan kayu yang kasar.

Reef tampak lebih rileks setelah bisa duduk dan menyandarkan punggungnya pada pohon.

“Kali ini aku yang berjaga,” bisik Sola. “Kau tidur.”

Reef menatap Sola selama beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. Ia pun memejamkan matanya dan mengatur napasnya. Ia mencoba untuk tidak menjadi hypervigilant kali ini—meskipun sangat sulit untuk membuat otaknya berhenti dalam mode siaga.

Sola merasa lega ketika melihat Reef bisa beristirahat.

“Aku rindu laut,” ucap Reef sangat pelan, sehingga hanya Sola yang mampu mendengarnya. Mereka duduk bersebelahan persis.

“Kau akan segera sampai di sana lagi,” ucap Sola menenangkan—ingin rasanya ia menepuk bahu Reef, tapi ia tak mau menyakiti Reef dengan sentuhannya.

Sola menatap ke sekelilingnya dalam diam. Hanya ada pohon, semak, daun, lumut, pakis, dan akar saling melintang di permukaan tanah. Ia mendongak, mencari secercah warna biru. Namun nihil. Kanopi hutan terlalu tebal dan padat.

Ia menoleh ke arah Piero yang duduk di sisinya. Piero tengah membuat sesuatu dari daun dengan tangannya. Sementara itu, Hima tertidur pulas begitu menyentuh sandaran pohon.

“Menurutmu aku perlu memantau ke atas atau tidak?” tanya Piero tiba-tiba seraya meletakkan kerajinan tangannya.

“Kau harus memanjat pohon raksasa ini kalau begitu.”

“Sebenarnya aku bisa terbang.”

Sola baru akan menyangsikan Piero ketika ia melihat sendiri sayap tiba-tiba muncul di balik punggung Piero. Piero beranjak berdiri dan secara ajaib, sayap ringan yang sangat tipis muncul di punggungnya. Sepasang sayap itu mengingatkannya pada sayap kupu-kupu dan sayap capung yang digabung menjadi satu. Bentuknya seperti sayap kupu-kupu, tetapi teksturnya seperti sayap capung.

Sayap itu berkelepak. Piero pun melayang rendah di atas tanah seakan-akan tubuhnya seringan bulu.

"Kau bukan manusia biasa," gumam Sola takjub. "Kau ini… sebenarnya apa?"

"Peri hutan," jawab Piero tersenyum━senyumnya sudah kembali lagi. "Kami hidup di dalam hutan tersembunyi yang jauh dari peradaban manusia. Ada banyak yang seperti aku,” jelasnya masih dengan suara pelan nan lembut.

Sola pun berdiri perlahan karena penasaran ingin menyentuh sayap Piero yang terlihat sehalus sutra. Ia  kagum, selama ini keberadaan peri hanya ada di dunia imajinasinya. “Kenapa tidak bilang dari awal?” tanyanya sambil menatap detail mungil di sayap Piero.

“Kalian semua membuatku kurang percaya diri… untuk menyebutkan diriku yang sebenarnya. Reef makhluk laut; Hima gadis kutub; dan kau hidup di perkotaan.”

“Hey! iIu sama sekali tidak istimewa,” kata Sola.

"Menurutku kau spesial," ucap Piero bersungguh-sungguh. Lalu, anak lelaki itu terbang lebih tinggi. Jejak terbangnya meninggalkan cahaya kecil yang berkelap-kelip seperti bubuk glitter. Piero terbang semakin tinggi hingga mencapai kanopi hutan. Kemudian ia turun dengan wajah pucat pasi.

“Kenapa cepat sekali?” Sola bertanya cemas.

“Aku tak melihat ujung dari hutan ini, Sola,” bisik Piero. Suaranya ketakutan. Panik merambat di dalam dirinya.

“Tenang, tenang. Kau bersama kami di hutan tanpa ujung ini. Ada aku dan yang lain.” Secara naluriah, Sola menyentuh tangan Piero untuk menenangkan anak laki-laki itu dan ternyata suhu mereka sama. Sepertinya, tubuh mereka sama-sama berasal dari unsur yang sama sehingga mereka tidak saling menyakiti saat bersentuhan.

“Terima kasih,” ucap Piero tersenyum tipis. Mata bulatnya yang tadi nampak suram kini mulai berbinar-binar kembali. “Aku ingin melihat duniaaa! Tapi aku dilarang melihat manusia ataupun peradaban dunia. Itu sebabnya aku iri denganmu yang hidup di kota.”

Betapa cepat ekspresinya berubah, pikir Sola sambil menahan senyum. 

“Bagaimana denganmu, Sola?”  Piero balas bertanya. Sayap perinya sudah lenyap secara ajaib. Mereka pun kini kembali duduk bersandar pada tempat masing-masing.

“Aku tidak tahu apa yang kuinginkan. Aku ingin kuliah di jurusan seni rupa tapi keluargaku melarang. Hmmm, tapi kurasa mereka ada benarnya. Semakin dewasa, aku harus lebih realistis. Menjadi seniman bukan pilihan realistis…." kata Sola dengan suara lirih. “Jadi, aku memilih jurusan lain yang lebih… realistis. Tapi aku juga belum tahu apa sebenarnya yang kumau.”

Piero termenung.

“Ah maaf, aku jadi cerita hal yang tak kau mengerti—”

“Aku paham karena di tempatku juga sama. Berhubung aku sudah mencapai 18, aku harus memilih keahlian yang harus kutekuni supaya aku bisa terjun ke masyarakat.”

“Ya ampun, kukira kau masih 15!”

“Apaaa?!"

“Kau seperti anak kecil.”

Pipi Piero merah padam. Ekspresinya membuat Sola tertawa.

Sola diam-diam berpikir bahwa di mana-mana terdapat konsep yang sama soal mendewasakan diri. Perasaan mereka wajar; kebingungan dan dilema di antara berbagai macam pilihan hidup.

Namun, di antara kerumitan benak masing-masing, mereka merasa damai untuk sejenak. Hutan raksasa yang sunyi itu menenangkan jiwa mereka.

Kedua anak remaja itu terbenam dalam pikiran masing-masing.

Suara erangan Reef membuat Sola terkesiap. Spontan ia menoleh ke arah pemuda itu. Reef mencengkram kepalanya dan menekuk kedua lututnya hingga ke dada. Wajahnya mengernyitkan dahi. Matanya terpejam rapat. Napasnya tersengal.

“Reef?” Sola refleks menyentuh pundak Reef. Tapi Sola langsung menarik tangannya lagi sambil mengaduh. Ujung jari-jari tangannya langsung membiru. Jika ia lebih lama menyentuh Reef, seluruh tangannya bisa-bisa membeku sepenuhnya. Perih. Sentuhan itu lebih menyakitkan dari sebelumnya.

Sola menyadari sesuatu. Suhu tubuh Reef jauh lebih dingin dari sebelumnya. Reef mengerang kesakitan. Matanya masih terpejam rapat. Apa karena suhu tubuhnya yang semakin beku? Sola frustasi karena tidak bisa menyadarkan Reef. Ia butuh seseorang yang bisa menyentuh Reef. Hima  mungkin punya unsur dingin. Dia dari Kutub Selatan kan?

“Hima, bangun!" seru Sola membangunkan Hima dan gadis salju itu pun membuka mata. Sola menatap manik mata putih pucat milik Hima. “Kau harus membangunkannya,” pintanya dengan raut wajah serius.

Hima menoleh pada Reef yang meringkuk dan mencengkram kepalanya sendiri. Gigi taringnya terlihat mencuat karena meringis. Hima merasakan situasi yang gawat. Ia pun mengguncang bahu Reef dan menyadari suhu tubuh Reef jauh lebih dingin dibanding suhu tubuhnya. Suhu tubuh Reef membuat ujung jari Hima membeku.

Sola ngeri ketika melihat jemari Hima yang membiru. Ternyata bukan hanya dirinya yang terkena efek dingin Reef.

“REEF!!! REEEFFF!!!!!” teriak Hima tepat di depan muka Reef. Kedua tangannya masih menyentuh bahu Reef.

Reef terkesiap dan membuka matanya lebar-lebar. Ia menatap nanar ketiga orang yang mengerubunginya. Wajahnya pucat pasi. Tangannya gemetar. Perlahan ia menurunkan tangan dari kepalanya.

“Apa yang kau sembunyikan?” cecar Hima yang membuat Sola dan Piero mengernyitkan dahi.

Sembunyikan?

Mulut Reef terbuka. Tenggorokannya sangat kering. Lalu ia menjawab serak, “Bencana itu muncul karena keberadaanku. Aku lebih baik enyah dari muka bumi. Kalian seharusnya membiarkanku tetap tidur!” serunya penuh murka. Alisnya bertaut. Matanya menatap ketiga orang di hadapannya dengan sorot berang.

Ia beranjak berdiri dan berjalan mencari sesuatu dengan langkah terburu-buru. Ketiga lainnya mengamati Reef yang mulai bersikap ganjil. Reef berhenti melangkah setelah menemukan apa yang dicarinya. Ia pun mengambil benda tersebut—batu dengan permukaan kasar seukuran telapak tangan orang dewasa. Ia mengangkat batu itu dan mengarahkannya ke kepalanya—

“JANGAN!” Sola mendorong Reef agar batu tergelincir dari genggamannya. Dia bisa mati kalau batu kasar itu menabrak kepalanya. “Kau gila ya? Kau cari mati hah?!” Sola mendorong tubuh Reef sekali lagi tanpa menghiraukan perih di telapak tangannya.

“KAU DENGAR AKU?! Aku pemicu bencana yang mengejar kita! Badai pasir, kereta jatuh, tenggelam, semuanya karena aku memproyeksikannya! Aku harus mati supaya kalian tetap hidup!” Reef mencoba untuk memungut batu itu tapi Sola memegang tangan Reef.

Keduanya berjengit dan saling menarik tangan masing-masing. Rasa perih di telapak kulit mereka membuat mereka saling menjauh.

Hima dan Piero terdiam. Sola masih menatap Reef dengan marah.

“Bencana itu akan tetap terjadi ada atau tanpa dirimu. Kau pikir angin tornado, badai salju, dan badai di hutan rumah Piero itu karenamu?! Berhenti berpikir irasional, Reef!” teriak Sola. Suaranya terdengar nyaring di tengah hutan yang sunyi itu. Ia mengembuskan napas kasar. “Aku tahu segala hal yang sudah terjadi pada kita sangat tidak masuk akal tapi bukan berarti kau harus membunuh dirimu sendiri dan menganggap kau penyebab segalanya!”

“Kau juga irasional, Sola,” kata Reef menohok hati Sola. Ia menyeringai dan memamerkan gigi taringnya yang tajam, “Kau dan aku sama. Lalu apa gunanya terus berjalan di hutan tanpa ujung ini??!!”

Piero merasa dejavu dengan perkataan Reef. Baru beberapa waktu yang lalu, ia juga mengatakan hal yang sama. Hutan ini kemungkinan membuat mereka gila satu per satu.

Sola menggertakkan giginya. “Bukan berarti kau harus bunuh diri! Dan yeah, kita sama. Kita berempat sama-sama terseret di tengah hutan ini! Aku juga putus asa, Reef. Tapi melihatmu terus berjalan, membuatku ingin terus melangkah. KAU SADAR ITU??? KAU MEMBUATKU TETAP BERTAHAN.” Jadi jangan mencoba membunuh dirimu sendiri di tengah kekacauan ini!

Sola mengatur napasnya kembali. Ia menenangkan emosinya yang tadi sempat melonjak naik seperti roket. Baru saja ia merasa seperti gunung berapi yang mau memuntahkan lava.

Reef mengalihkan matanya dari Sola. Mimpi buruk membuat pikirannya carut-marut. Ia memang selalu dihantui mimpi buruk, tapi mimpi tadi sangat nyata. Di dalam mimpi, Reef menjadi penyebab segala kecelakaan mereka hingga ia tenggelam di perasaan bersalah. 

Namun, tidak ada yang tahu beban berat di pikirannya yang membuatnya tidur dengan mimpi buruk. Di Laut Utara, ia menjadi anak angkat seorang Pemimpin Lautan dan seluruh warga Laut Utara berekspektasi dirinya dapat menjadi pelindung mereka setelah ayah angkatnya mengundurkan diri. Ekspektasi warga Lautan pada dirinya membuatnya tersiksa karena ia hanya ingin pergi ke permukaan.

Tenang. Jangan memikirkan hal itu lagi.

Ia pun menjatuhkan batu di tangannya dan mengabaikan keberadaan Sola.

“Kurasa… Sola ada benarnya. Bunuh diri di sini bukan jawaban,” ucap Hima.

“Kita lanjut berjalan,” kata Piero yang kali ini memutuskan.

Kemudian, keempat remaja itu melanjutkan perjalanan mereka. Kali ini dengan susunan yang berbeda. Reef tetap berada paling depan. Hima di barisan kedua. Piero urutan ketiga. Dan Sola berada paling belakang.

Selama berjalan, Sola terust memperhatikan ketiga teman senasibnya. Ia masih terbayang-bayang wajah Reef yang penuh keputusasaan. Bagaimana jika batu itu tepat mengenai kepalanya? Sola tak sanggup membayangkannya. Reef tampak tenang dari luar, tapi penuh kalut di dalam jiwanya.

Pelan-pelan, Sola mulai mengenali karakter mereka. Reef yang terlalu keras pada dirinya sendiri. Hima yang dingin dan cuek, tapi sebenarnya peka dengan situasi. Piero yang selalu penuh senyum, tapi menyimpan banyak kegamangan dalam dirinya.

Perjalanan ini terlalu abnormal dengan empat remaja yang terdampar di antah-berantah. Mereka tidak memiliki persamaan, kecuali perasaan bahwa mereka seperti outcast—orang buangan—yang tidak diterima di belahan dunia mana pun.

Semakin jauh mereka berjalan, semakin renggang jarak antara pohon di hutan raksasa itu. Cahaya matahari mulai sampai ke tanah hutan yang lembab. Mereka mulai merasa tanah melandai turun…. dan pada akhirnya mereka mencapai hamparan rumput yang sangat luas. Sekarang, mereka berjalan melewati padang rumput hijau yang mengeluarkan aroma heather.

Meskipun sebelumnya Piero mengatakan hutan itu tidak berujung, tetapi faktanya mereka berhasil keluar dari hutan dan sampai di padang rumput yang menghampar luas.

“Aku melihat mercusuar!” seru Sola sambil menunjuk sebuah bangunan tinggi menjulang yang berada di tengah-tengah padang rumput itu. Harapan melingkupi hatinya. Mercusuar tidak mungkin tiba-tiba berdiri di situ tanpa dibangun oleh manusia. Sola pun berkata, “Mungkin ada manusia lain di dalamnya yang bisa kita tanya.”

Secercah harapan untuk mendapat jawaban akhirnya muncul. Mereka telah berusaha dan berjalan sejauh ini. Mungkin ini akan menjadi akhirnya. Keempat remaja itu pun berjalan semakin cepat. Angin sepoi-sepoi yang beraroma heather menyegarkan pikiran mereka.

Piero menemukan kumpulan bunga daisy yang tumbuh di antara rerumputan. Ia pun memetiknya dan menyelipkan bunga daisy di saku baju dan di mahkota daun yang ia kenakan. Anak lelaki itu semakin terlihat layaknya wujud peri hutan.

Sola tergoda untuk melakukan hal sama. Ia ikut memetik beberapa tangkai bunga daisy dan menyelipkannya di belakang telinga. Tanpa ia sadari ia tersenyum karena warna cerah bunga itu menghangatkan hatinya. Perlahan ia lupa pada pertengkarannya dengan Reef.

Begitu pula Reef. Ia sudah melupakan pertengkarannya dengan Sola. Dalam senyap, ia menoleh ke belakang untuk melihat Sola yang berjalan paling belakang. 

Namun, perasaan hangat itu tak berlangsung lama. Langkah mereka terhenti di depan jurang yang menganga lebar. Ternyata mercusuar itu bukan berada di tengah padang rumput, melainkan persis di pinggir jurang.

Reef pertama kali berjalan ke pinggir jurang itu untuk mengecek kedalamannya—diikuti oleh Hima, Piero, dan Sola.

Empat kepala melongok ke dalam jurang yang dasarnya tak terlihat. Jurang itu sangat dalam. Saking dalamnya, sampai sinar matahari tak menyentuh dasarnya sehingga dasarnya berwarna hitam pekat.

Tiba-tiba, Hima tanpa sengaja menginjak kerikil dan ia bisa tergelincir ke kedalaman jurang jika Reef tidak sigap menangkap lengannya. Hima terkesiap dan wajahnya memucat. Nyawanya hampir melayang. “Terima kasih,” gumamnya singkat pada Reef. Hima menyadari kalau Suhu tubuh Reef mulai terasa ‘normal’—tidak sedingin tadi.

Keempat remaja tersesat itu refleks melangkah mundur menjauhi jurang. Di seberang jurang yang lebarnya sekitar sepuluh meter itu, terdapat padang rumput yang serupa dengan lokasi mereka sekarang.

“Tempat ini menakutkan…” ucap Hima pelan.

“Kita ke mercusuar sekarang,” kata Reef seraya berjalan memimpin ke arah bangunan berwarna abu-abu itu.

“Mustahil. Seharusnya mercusuar ada di pinggir pantai, bukan di pinggir jurang apalagi di tengah padang rumput,” kata Sola mengeluarkan pendapatnya.

“Aku tahu,” sahut Reef yang juga pernah melihat mercusuar. Ia sudah mencoba beberapa kali berenang sendirian ke perairan dangkal. Waktu ia mendekati pantai, arus laut menariknya kembali ke kedalaman Laut Utara—seolah ia tidak diizinkan untuk pergi ke permukaan. Walau begitu, ia bisa melihat pantai dan mercusuarnya yang berdiri kokoh di tengah kegelapan malam. Sejak saat itu, cahaya lampu mercusuar yang berpendar menerangi malam selalu membayangi benaknya.

“Atau dulunya padang rumput ini adalah laut?” ujar Piero.

Ketiga remaja itu terdiam—membiarkan pertanyaan Piero mengambang di udara. Tidak ada yang tahu jawabannya.

Akhirnya, mereka sampai di depan pintu mercusuar. Pintu itu terbuat dari kayu ulin yang tak akan lapuk dimakan usia. Setua apapun pintu kayu itu, pintu itu akan tetap tegar menjaga mercusuar.

Masalah berikutnya muncul. Pintu itu tidak memiliki gagang pintu.

“Bagaimana bisa masuk kalau tidak ada gagangnya?” tanya Sola. 

 “Dorong mungkin?” usul Piero.

“Tendang?” Hima memberi usulan.

Reef mencoba usulan Hima tapi pintu itu masih tertutup rapat. Ia tertegun di depan pintu itu karena menyadari ada sesuatu yang familiar dari pintu itu ketika kakinya menyentuh permukaannya. Ia melangkah mendekati pintu itu, menyentuh permukaannya yang dingin, dan menempelkan telinganya di pintu kayu.

“Ada apa?” tanya Sola penasaran.

Reef terdiam sebab mendengar suara arus laut yang menderu. Suara yang sangat familiar karena suara itu selalu didengarnya saat permukaan laut sedang mengamuk. Laut Utara memang terkenal dengan ombaknya yang seperti monster.

“Aku mendengar suara laut,” jawab Reef pelan. “Coba kau dengar.”

Sola pun melangkah mendekati pintu dan menempelkan telinganya pada permukaan pintu. Sekarang mereka saling berdiri berhadapan dengan telinga menempel pada pintu. Mata mereka saling bertemu. Tapi apa yang Sola dengar berbeda dari yang didengar Reef.

Ia justru mendengar bunyi jalan raya yang bising oleh kendaraan bermotor, suara anak-anak sekolah berjalan pulang sambil tertawa terbahak-bahak, dan dentingan penjual bakso gerobak keliling. Ia terkesiap.

“Pintu ini bisa jadi kunci kita bisa pulang,” ucapnya penuh harap sambil menatap ketiga temannya.

“Kau dengar suara laut juga?”

Sola menggeleng. “Bukan. Aku mendengar suara jalan yang ada di dekat kompleks rumahku.”

Detik berikutnya, Sola dan Piero bergegas mendekati pintu. Mereka menempelkan telinga mereka pada permukaan kayu yang dingin. Mata mereka melebar ketika mendengar suara familiar—yang terasa seperti rumah.

“Aku dengar suara hujan salju,” gumam Hima. “Sudah lama sekali aku tidak mendengar suaranya.”

Piero menjauhkan dirinya dari pintu. Ia mendengar suara serangga hutan, keluarganya yang berbincang-bincang sambil memperbaiki bagian rumah kayunya, dan ia mendengar gemerisik daun-daun pepohonan. Ia berjongkok dan menutup wajahnya. Beberapa kelopak bunga daisy yang menempel di mahkota daunnya jatuh.

Perasaan sesak menyeruak. Ia belum pernah merasa serindu itu pada rumah hingga tanpa sadar air matanya mengalir.

“Kau baik-baik saja?” tanya Sola pada Piero seraya ikut berjongkok.

“Aku mendengar rumah,” jawab Piero dengan terisak. Air matanya jatuh ke rerumputan.

Reef pun duduk di samping Piero dan menepuk bahu Piero tapi justru membuat Piero langsung menghindar.

“Terima kasih, Reef, tapi aku tak butuh puk-puk darimu,” kata Piero.

“Sori.” Reef pun mengangkat tangannya.

Hanya Hima yang masih berdiri sambil melipat kedua tangan di depan dada. Ia melihat ke arah padang rumput yang luas. Kemudian ia menghela napas dan bergabung bersama ketiga manusia ajaib itu. Tiga remaja yang sebaya dengan dirinya perlahan meluluhkan hatinya. Hanya saja ia tidak pernah tahu bagaimana caranya bersikap hangat jadi ia hanya berdiri di dekat mereka dengan kaku.

Piero berhenti terisak. Ia lebih tenang setelah Sola yang menepuk-nepuk lengannya.

“Jadi sebentar lagi kita akan berpisah?” tanya Hima.

“Kurasa ya…” kata Sola dengan ragu tapi juga penasaran. “Apa aku bisa melihat rumah kalian melalui pintu ini?” Ia sangat ingin melihat pemandangan Laut Utara, Kutub Selatan, dan Hutan Peri (berhubung Piero tak memberitahu nama hutannya, maka Sola menyebutnya Hutan Peri).

Reef berdiri dan menatap pintu kayu itu. “Aku akan coba membuka pintu ini. Kalian semua menjauh dari pintu ini.”

“Kau yakin tidak butuh bantuan?” tanya Sola seraya berdiri di samping Reef.

“Tidak perlu,” jawab Reef.

Reef menarik napas sebelum ia menendang pintu itu lalu ia tendang pintu itu. Pintu itu pun mulai berderak sedikit tapi masih belum terbuka. Ia menendang pintu itu lagi berkali-kali, namun pintu itu bergeming di bingkainya.

Ia menatap pintu itu dengan terengah. Telapak kakinya mulai lecet karena menendang permukaan pintu yang kasar. Tapi ia sudah bertekad untuk membuka pintu itu. Ia mengatupkan rahangnya dan menendang sekali agi. Pintu itu pun menjeblak terbuka.

Reef, Sola, Hima, dan Piero terpana ketika melihat dunia yang tersembunyi di balik pintu mercusuar itu. Dugaan mereka benar. Pintu itu sungguhan berperan sebagai portal yang mengantar mereka ke tempat asal mereka. Tapi sayangnya… mereka tidak bisa melihat rumah selain rumah masing-masing.

“Apa yang kalian lihat?” tanya Reef yang saat itu melihat kedalaman Laut Utara. Di matanya, air berwarna biru gelap memenuhi seluruh bingkai pintu.

“Rumah,” jawab Sola yang melihat jalan raya ramai yang sangat dihapalnya karena setiap hari ia melewatinya untuk pergi sekolah.

“Aku juga.” Piero menatap hutannya yang penuh dengan kehidupan, pepohonan, serangga, dan bunga-bunga yang indah. Samar-samar ia dapat mendengar suara keluarganya sedang beredar di area hutan.

“Yeah, sama denganku.” Hima melihat salju yang putih bersih. Ia melihat bagian atas bukit kecil yang ada di dekat perkampungannya. Dari kejauhan, ia melihat rumah keluarganya yang diterangi cahaya obor.

Namun, tidak ada satupun dari mereka yang bergegas masuk ke dalam pintu mercusuar.

“Sekali kita melewati pintu itu, tidak akan pernah ada jalan kembali ke tempat ini,” kata Reef mencoba membuat dugaan—seraya menoleh pada ketiga temannya.

“Jadi… ini perpisahan?” tanya Piero.

Jawabannya jelas. Momen ini mungkin menjadi momen terakhir mereka.

Dari semua keanehan di dunia ini, bersama mereka segalanya terasa wajar, gumam Sola di dalam hatinya. Lalu ia teringat sesuatu. Jika aku kembali ke duniaku, bagaimana aku bisa meyakinkan diriku kalau mereka nyata?

“Apa yang harus kulakukan kalau aku ingin bertemu dengan kalian lagi?” tanya Piero mengeluarkan pikiran terpendamnya.

Sola tersenyum sedih. Tentu ia akan merindukan satu-satunya peri hutan yang pernah ia temui. “Jika takdir mempertemukan kita lagi, kita pasti akan bertemu.”

Jawaban Sola tidak cukup menenangkan hati Piero. Seandainya Piero bisa memberitahunya di benua atau negara apa hutannya berada, Sola pasti berjanji akan mencarinya.

“Aku akan coba masuk yang pertama kali,” kata Hima menetapkan keputusannya. Ia pun melangkah mendekati pintu itu. Kemudian, ia berbalik badan ke hadapan tiga temannya. Ia tampak malu dan untuk pertama kalinya pipinya bersemu merah muda. Wajahnya tampak lebih berwarna dibandingkan yang pernah Sola lihat sebelumnya.

Sang gadis salju menghela napas panjang. “Jika aku tak kembali ke sini, itu berarti aku sudah mencapai rumah,” ucapnya seraya menatap ketiga temannya pertamanya untuk terakhir kalinya. 

Ia tersenyum samar, lalu berbalik dan memasuki pintu mercusuar.

Ketika ia menjejakan kaki ke pintu tersebut, serpihan salju terbang di wajah ketiga lainnya dan selama sepersekian detik, mereka  dapat melihat rumah Hima.

Kini, tersisa mereka bertiga di dunia asing itu. Kekosongan menyelinap di hati mereka. Walaupun Hima hampir selalu diam sepanjang waktu dan tidak pernah menunjukkan ekspresi kecuali ekspresi dingin di wajahnya, kehadirannya membuat mereka merasa penuh.

“Aku akan masuk berikutnya,” kata Piero. Suaranya terdengar yakin.

Sebelum melangkah menuju pintu mercusuar, ia memeluk Sola dengan hangat. Gadis itu tidak menyangka Piero akan memeluknya sehingga Sola hanya bisa salah tingkah. Dengan canggung, Sola balas memeluk tubuh Piero.

Piero mempererat pelukannya sebelum akhirnya melepaskan Sola dan tersenyum manis.

Sola belum pernah dipeluk laki-laki kecuali oleh Ayahnya waktu Sola masih bayi. Walau begitu, dipeluk Piero tidak berbeda dari dipeluk sahabat akrab yang baik hati.

“Terima kasih, Sola. Aku akan selalu mengingatmu. Jika suatu saat kau pergi ke hutan, ingatlah aku, mungkin aku akan datang dalam bentuk yang lain,” kata Piero dengan senyum lebar di wajahnya yang penuh dengan bintik-bintik. Mata hijaunya berbinar-binar.

Sola mengangguk. “Tentu saja.”

Lalu Piero berhadapan dengan Reef. Ia menjulurkan tangan kanannya untuk berjabat tangan. “Terima kasih, Reef. Kau sudah menjaga kami selama kami di sini.” 

Reef pun menyambut uluran tangan itu dan mereka pun bersalaman. Detik berikutnya, keduanya sama-sama berjengit tapi mereka justru semakin mengeratkan jabat tangan mereka.

“Kau juga.” Reef tersenyum. “Oh! Aku dengar percakapanmu dengan Sola di hutan…. Kudengar, kau bisa terbang.”

Piero mengerjapkan matanya. “Aku harus menunjukkannya padamu juga!” Ia melepas genggaman tangan Reef dan permukaan telapak tangannya langsung membiru. Di lain sisi, telapak tangan Reef memerah. Mereka berdua sama-sama mengibaskan tangan sambil meringis.

“Aku memang bisa terbang!” seru Piero. Kemudian—seperti sihir—sayap Piero muncul di punggungnya. “Sampai jumpa,” kata Piero seraya melayang rendah di atas tanah dan bergerak menuju pintu mercusuar.

Sola melambaikan tangannya. Selama sepersekian detik, ia melihat hutan tempat tinggal Piero yang penuh dengan vegetasi beraneka ragam. Percikan keemasan seperti bubuk glitter muncul di belakang Piero ketika Piero terbang memasuki pintu mercusuar.

Sekarang, tersisa mereka berdua. Kekosongan memenuhi atmosfer di antara mereka. Setelah menghabiskan waktu tidak terhitung bersama-sama, keberadaan Hima dan Piero ternyata begitu membekas di hati mereka.

Mereka bergeming. Tiada satupun di antara dua remaja itu yang berinisiasi untuk masuk ke pintu lebih dahulu.

“Reef, aku tahu ini terdengar aneh, tapi aku masih ingin sebentar lagi di sini,” ucap Sola pelan tanpa menoleh pada Reef.

“Ya, aku juga,” balas Reef,

Kemudian, mereka duduk di atas rerumputan hijau sambil menjulurkan kaki yang sudah berjalan jauh. Sola menghela napas panjang. Dirinya belum pernah merasa seburuk itu untuk meninggalkan seseorang.

“Sola, kau tahu? Kau bercahaya saat di dalam danau,” kata Reef memecah keheningan di antara mereka.

Gadis itu menoleh ke arah Reef. “Kau berbohong kan? Aku cuma ingat mata birumu yang bersinar di kegelapan danau.”

Reef membalas tatapan Sola. Sorot mata mereka saling berpadu. Reef tersenyum lembut. “Kau jauh lebih bersinar daripada diriku. Waktu kau bilang kau bertahan karena diriku. Kurasa yang terjadi adalah sebaliknya.”

Mereka duduk dengan tangan terkulai di sisi tubuh. Jarak di antara tangan mereka mungkin hanya satu sentimeter. Tapi, mereka tak berani bersentuhan karena perbedaan entah apa yang ada di dalam diri mereka membuat mereka saling menyakiti.

“Menurutmu, apa yang membuat kita berjengit saat bersentuhan?” tanya Sola sambil mengangkat tangannya dan mengamati tangannya seolah bagian tubuh itu baru ditelitinya. Jari-jari tangannya bisa merasakan suhu dingin tubuh Reef meskipun hanya berjarak satu senti.

“Aku juga memikirkan hal itu. Suhu tubuhmu mirip Piero. Hangat. Tapi kau jauh lebih hangat. Kau lebih mirip lava bawah laut yang akan menyembur ke permukaan.” Lagi-lagi Reef menatap mata Sola yang berwarna kekuningan. Lalu ia mengerutkan dahinya. “Atau karena warna irismu yang seperti matahari?”

Sola tertawa kecil. “Bisa jadi? Mata Piero berwarna hijau yang bernuansa hangat. Sedangkan kau dan Hima punya warna mata yang bernuansa dingin.”

“Tapi apa yang membuatmu bersinar di bawah air? Kau pernah menyadari sebelumnya?”

Sola menggelengkan kepalanya. “Tidak tahu. Aku tidak pernah berenang bahkan waktu sekolah karena dilarang oleh keluargaku. Katanya, aku akan jadi berubah jadi monster kalau kena air kolam renang dan mereka selalu mengatakan itu berulang kali sejak aku belum mengenal huruf. Setiap kali aku bertanya mengapa, mereka tak menjawab.”

Sola menghela napas panjang. “Irasional bukan? Keluargaku memang sering mencerca aku ini aneh, mulai dari mataku hingga diriku yang suka berkhayal menjadi Putri Matahari.” Ia mendengus tertawa—teringat masa kecilnya yang selalu merasa seperti anak pungut karena warna matanya tidak sama dengan siapapun yang ada di keluarga besarnya. 

Reef tertegun. “Banyak tentang dirimu yang kau sendiri tidak tahu.”

Sola meringis. Ucapan Reef benar. “Kau sendiri? Memang kau tahu matamu bisa bercahaya?”

Reef mengangguk. “Aku bahkan tahu kenapa mataku heterokromia. Saat aku dibuang ke Lautan, sebelah mataku dibuat hitam sepenuhnya sebagai bayaran agar aku bisa hidup di dalam laut. Mata ini bisa melihat jelas, itulah keajaiban yang diberikan laut padaku. Lalu mata sebelah kananku adalah bukti bahwa aku diterima sebagai bagian dari makhluk laut. Kata Ayah angkatku, sebelumnya mataku hanya berwarna biru biasa yang tak bisa berpendar seperti mataku yang sekarang.”

Tanpa sadar mulut Sola terbuka. Ia terpana karena Reef dapat menjelaskan dirinya dengan begitu lugas.

Reef membuat teori lagi di dalam kepalanya. “Mungkin perbedaan suhu di antara kita terjadi karena asal muasal kita. Kau dan Piero berasal dari tempat yang hangat. Aku dan Hima berasal dari tempat yang dingin. Dasar Laut Utara hampir selalu dingin sepanjang tahun. Tetapi percayalah kami punya sumber cahaya sendiri untuk mencari kehangatan.”

“Kau ternyata banyak bicara juga ya…” Sola tersenyum.

Reef mengalihkan pandangannya karena saat itu Sola tampak seperti matahari. Senyuman gadis itu sangat menyilaukan.

“Jadi, kau masih mau ke permukaan? Kau kan tidak sepenuhnya makhluk laut,” tanya Sola.

Pemuda itu menghela napas panjang. “Entahlah. Aku ingin ke permukaan tapi setelah aku bisa menjelaskan alasanku baik-baik pada keluarga angkatku. Aku benar-benar ingin ke permukaan untuk mencari tahu darimana asalku, walaupun yeah sekarang dasar Laut Utara adalah rumahku satu-satunya."

Mereka pun terdiam selama beberapa saat sambil menikmati pemandangan padang rumput yang luas. Angin sepoi-sepoi membelai kepala mereka. Hanya terdengar suara angin berdesir di antara padang rumput. Cahaya matahari menyinari mereka dengan cahayanya yang lembut.

“Reef… Bagaimana caraku membuktikan kalau kau nyata?” tanya Sola. Ia memikirkan hal ini sejak awal, tetapi ia tak sanggup mengungkapkannya.

Meskipun asal tempat Reef begitu jauh dan tak masuk akal, Sola ingin bisa meyakinkan dirinya—nanti—kalau pemuda itu bukan hanya bagian dari fantasinya belaka.

Reef menyentuh kerah bajunya dan menarik rantai perak yang menjadi kalungnya. Selama mereka bersama, baru kali itu ia mengeluarkan kalungnya. Ia melepaskan kalung dan memberikannya pada Sola. Liontin kalung itu berwarna hitam sebagaimana batu obsidian dan berbentuk lingkaran pipih yang diukir halus. Batu itu bersinar dan memantulkan cahaya—tak seperti mata kanan Reef yang tidak bisa berbinar-binar atau memantulkan cahaya.

“Ini pemberian dari Ibu angkatku yang sudah tiada. Dia memberikanku ini karena katanya mirip denganku,” jelas Reef.

“Kalung ini pasti berharga buatmu,” kata Sola sambil memperhatikan kalung yang berada di tangannya.

Reef menggelengkan kepalanya. “Itu bukti kalau aku senyata dirimu.”

Sola memikirkan apa yang bisa diberikannya pada Reef. Lalu ia teringat gelang yang tersembunyi di balik lengan kardigan. Untungnya, hari itu ia sedang memakai gelang favoritnya yang berbentuk gelang manik-manik. Manik-maniknya terbuat dari batu-batu kecil yang berbentuk matahari dan delapan planet tata surya. “Kalau begitu, untukmu. Aku beli waktu aku jalan-jalan. Harganya mahal, jadi jangan kau hilangkan ya.”

Reef menerima gelang itu dan memakainya di pergelangan tangannya. Gelang itu terlihat mencolok di tangannya. Sola pun melakukan hal yang sama. Ia langsung mengenakan kalung itu di lehernya. Warna kalungnya sangat kontras dengan pakaiannya yang berwarna cerah.

Sekali lagi, mereka berbaring di atas rerumputan seraya menatap langit yang berwarna biru. Keduanya ingin mengabadikan momen itu dalam memori. Mereka ingin waktu berhenti bergulir. Tetapi, bukankah waktu memang sudah berhenti bergulir sejak mereka terdampar di gurun pasir? 

“Reef…” Nama yang unik itu mulai familiar di bibir Sola. “Aku akan pergi duluan, tapi kau harus janji—”

Reef menoleh ke sisi sampingnya untuk menatap Sola. “Apa?”

“Janji. Kau juga akan melewati pintu itu dan kita akan bertemu suatu saat nanti,” kata Sola seraya  mengulurkan jari kelingkingnya.

Reef tampak bingung. Walau begitu, ia menyambut jari kelingking Sola dengan jari kelingkingnya juga. Ia tidak mengerti maksudnya apa. Artinya pasti sakral karena gadis itu tampak sangat bersungguh-sungguh.

Mereka mengernyitkan dahi ketika rasa pedih menjalar di jari  mereka.

“Aku ingin memelukmu juga, seperti Piero tadi,” kata Reef tiba-tiba yang membuat wajah Sola sontak merah padam. Kenyataannya, Reef memang merasa iri pada Piero karena dia bisa menyentuh Sola tanpa harus menyakitinya.

“Semoga di dunia yang lain, aku dan kau tak perlu menyakiti satu sama lain saat bersentuhan,” kata Sola sambil mengatupkan kedua tangannya—berdoa.

“Untuk sekarang, boleh aku memelukmu?” tanya Reef lagi seraya mendudukan dirinya di atas hamparan padang rumput.

Sola juga mendudukan dirinya di depan Reef. Ia menghela napas karena enggan berpisah. Ia mempertimbangkan rasa sakit yang akan mereka rasakan. Hanya sekali lagi, lalu berikutnya mereka berpisah. Lalu ia berkata dengan pipi bersemu merah. “Ya, sebelum aku melewati pintu itu. Tidak apa-apa kan aku pergi duluan?” kata Sola mengkonfirmasi.

Reef mengangguk.

Mereka pun berdiri di hadapan pintu mercusuar. Sola melangkah mendekati Reef. Suhu tubuh Reef yang dingin mulai terasa di kulitnya. Lalu, Sola membiarkan Reef merengkuhnya dengan lembut. Keduanya menahan rasa pedih yang kali ini menjalar di seluruh bagian tubuh. Reef membenamkan wajahnya di rambut Sola yang halus. Setiap helai rambut Sola terasa seperti membakar pipinya. Tapi ia tidak peduli.

Kali ini Sola mengabaikan rasa sakitnya sepenuhnya. Ia memeluk tubuh Reef lebih erat dan tanpa disadarinya air matanya berlinang. Ia menghirup wangi Reef yang manis dan lembut. Ia tak mengerti bagaimana tubuhnya tetap wangi. Tapi segala hal mungkin terjadi di sini.

Mereka diam di posisi itu selama beberapa saat yang terasa seperti selamanya.

Tempat ini adalah nirwaktu, mereka bisa berpelukan selama yang mereka mau. Tetapi tubuh mereka sudah berada di ambang batasnya.

Reef melepas pelukannya. Pipinya merah terbakar karena sentuhannya dengan rambut Sola, begitu pula sekujur tangannya. Di lain sisi, pipi dan kedua tangan Sola memar membiru karena memeluk tubuh Reef. Panas dan dingin saling bertemu. Mereka saling meringis ketika melihat satu sama lain. Lantas, mereka tersenyum. Rasa sakit itu semakin bisa ditolerir oleh mereka meskipun bekasnya tetap kentara.

“Sampai jumpa lagi, Reef.” Mereka menautkan tangan untuk terakhir kalinya sebelum Sola melangkah melewati pintu mercusuar. Mereka menahan perih saat jari mereka saling bersentuhan.

“Sampai jumpa, Sola.”

Sola terus menoleh ke belakang. Ia melihat Reef tersenyum. Ia tak akan melupakan senyuman itu.

Pada akhirnya, mereka sampai di akhir perjalanan.

𝕿𝖍𝖎𝖘 𝖎𝖘 𝖓𝖔𝖙 𝕿𝖍𝖊 𝕰𝖓𝖉

𝕭𝖊𝖗𝖘𝖆𝖒𝖇𝖚𝖓𝖌 𝖐𝖊 𝕰𝖕𝖎𝖑𝖔𝖌