Semua sumpah serapah paling kasar menyembur keluar dari mulutnya. Sekujur tubuhnya gemetar. Ia ingin berteriak lebih keras lagi hingga suaranya habis. Namun ia hanya mampu menutup wajahnya dan membuka mulutnya tanpa mengeluarkan suara.
Ia menatap sungai yang gelap di hadapannya dengan napas tersengal akibat berlari dan amarah yang berkecamuk dalam dirinya. Jam menunjukkan lebih dari pukul satu dini hari dan sekarang ia berada di pinggir sungai gelap ini. Hampir tidak ada orang di area pinggir sungai di tengah malam. Pikiran buruk berkelebat dalam kepalanya.
Saat itu, ia hanya ingin diselamatkan. Tapi tidak mungkin ada orang yang mau menyelamatkannya, kecuali dirinya sendiri.
**
Satu tahun sebelumnya
24 Juli 2022
“Bagaimana sekolah barumu?” tanya Mama pada putra tunggalnya sambil bersandar pada sofa setelah seharian membersihkan rumah baru mereka bersama. Meskipun lantai dan dinding rumah sudah bersih dari peninggalan penghuni sebelumnya, kardus-kardus berisi barang masih menumpuk di setiap ruangan. Hari itu ekspedisi yang membawa barang-barang pindahan dari Denpasar baru tiba pada sore hari sehingga masih banyak kardus-kardus barang yang belum dibuka.
“Belum bisa menilai,” jawab Kalev—nama anak laki-laki berusia 16 tahun itu—sambil membawa dua gelas berisi air es ke ruang tengah. Ia menyerahkan salah satu gelas pada Mama. Lantas ia menghempaskan tubuhnya di sofa yang dibeli Mama sewaktu tinggal di Denpasar. Sofa panjang itu berwarna abu-abu dan sering menjadi tempatnya ketiduran karena menunggu Mama pulang dari pekerjaannya.
Mama hanya bisa tersenyum melihat keterusterangan putranya. Mereka memang baru pindah ke kota itu tepat seminggu yang lalu. Ia memaklumi kalau putranya masih beradaptasi dengan lingkungan baru. Pekerjaan membuat Mama cukup sering berotasi antar Ibukota Provinsi di Indonesia. Dua tahun sekali pindah. Bahkan pernah setahun sekali, Dan, kota seribu sungai ini adalah kota kedelapan mereka.
“Enggak ada masalah dengan teman baru?”
Kalev menggeleng. “Enggak ada,” jawabnya dengan suara meyakinkan. Ia meletakkan gelasnya yang sudah kosong di atas meja. Air dingin terasa menyegarkan setelah mengangkat-angkat kardus dari truk ekspedisi ke dalam rumah.
Dia berbohong. Hari pertamanya di sekolah baru, ia sudah berhadapan dengan masalah. Sekumpulan murid pengganggu menjadikannya sasaran empuk. Otaknya berulang kali memutar memori hari pertamanya di sekolah baru dan mencoba mengingat apa yang membuat dirinya menjadi magnet perhatian manusia-manusia sampah itu. Yang ia ingat hanya tiba-tiba saja mereka memanggil dirinya di area belakang sekolah dan adegan berikutnya ia dinyatakan menjadi budak mereka. What the hell? Memangnya mereka siapa? Waktu itu, Kalev berpikir, mereka pasti bercanda. Mungkin itu candaan baru di sekolahnya.
Hari keduanya di sekolah, mereka mengikuti kemanapun Kalev pergi. Murid-murid sekelasnya menyadari dirinya sedang menjadi mangsa gerombolan manusia pembuat onar. Akibatnya, tidak ada siapapun yang tertarik berkenalan dengannya.
Bukan masalah. Ia sudah berpindah sekolah berkali-kali dan terbiasa bertahan sendirian. Lagi pula, ia tidak akan lama berada di sekolah itu. Dua tahun lagi, ia akan lulus dan melanjutkan kuliah di universitas impiannya.
Di hari itu juga, ia dipanggil lagi ke area belakang sekolah yang ternyata menjadi semacam markas mereka. Seseorang mendatangi tempat duduknya di pojok ruang kelas saat jam istirahat dan menyuruhnya untuk pergi ke markas mereka. Kalev berpura-pura tak mendengar dan mengabaikan mereka dengan cara melenggang pergi keluar kelas menuju kantin sekolah. Ia tidak mau disuruh siapapun.
Sayangnya mereka tidak bercanda. Gerombolan manusia itu menunggunya di kantin sekolah seolah mereka penguasa sekolah. Mereka berpura-pura menjadi temannya, lalu berikutnya memukul wajahnya di tengah keramaian kantin, membuat semua mata tertuju ke arahnya.
Tanpa sadar, rahangnya mengeras mengingat kejadian itu. Memuakkan. Di setiap tempat, selalu ada orang-orang yang bersikap seolah mereka punya kuasa atas orang lain.
“Sudah punya teman dekat?” tanya Mama lagi membuyarkan lamunannya.
Kalev mendengus tertawa. “Ma, aku baru empat hari di sekolah ini.” Bagaimana mungkin ia bisa punya teman dekat? Sekarang, semua orang di sekolah tahu kalau ia menjadi bulan-bulanan kumpulan manusia sampah itu. Hanya karena ia anak baru. Baru kali ini ia mengalami hal seperti ini. Apa susahnya mengabaikan eksistensinya dan bersikap seolah dirinya tidak ada di sekolah baru ini?
“Nanti pasti punya teman dekat. Seperti waktu kamu sekolah di Denpasar. Mungkin bisa dimulai dengan murah senyum dan jangan menatap orang seperti mau mengajaknya berkelahi,” kata Mama bergurau.
Spontan Kalev menolehkan wajahnya pada Mama dengan sorot tak percaya. Ia jadi berpikir, apa itu juga yang membuat dirinya menjadi target sasaran gerombolan pembuat onar di sekolah.
“Tuh kan. Gimana cewek mau mendekat kalau kamu selalu galak?” Mama hanya tertawa melihat putranya yang memang jarang tersenyum.
Tanpa sadar telinga Kalev langsung memerah—kebiasaannya saat ia tersipu malu. Ia belum terpikirkan untuk menjalin hubungan dengan siapapun.
Terkadang Mama khawatir anak itu tidak bisa beradaptasi karena sifat Kalev yang pendiam, jarang mengungkapkan perasaannya, serta sulit bersosialisasi. Tapi Kalev selalu mendapatkan ranking teratas dan nilai raport sempurna dimanapun ia berada. Mama juga tidak pernah mendapat laporan dari guru BK kalau anaknya mengacau ataupun membolos jam pelajaran.
Mereka baru saja mau menyantap makan malam di ruang tengah ketika terdengar suara ketukan pintu kasar seolah ada seseorang yang menggedor pintu rumah. Terpaksa kotak nasi goreng yang tampak nikmat itu harus ditutup lagi.
“Biar Mama saja,” kata Mama seraya berdiri untuk menyambut tamu tak diundang itu.
Tamu itu menggedor-gedor pintu lebih keras lagi seperti tidak sabar untuk dibukakan pintu. Siapa tamu biadab ini? keluh Kalev. Ia heran kenapa dirinya tidak mendengar saat pintu pagar dibuka sebelum tamu itu menginjakkan kaki di depan pintu rumah persis.
“Jangan, Ma. Biar aku.” Kalev langsung berdiri dan berjalan menuju pintu rumah.
Ketika ia membuka pintu dengan perlahan, ia langsung berhadapan dengan lima orang sekaligus. Seharian ini perasaannya sudah tidak enak karena ia merasa terus-terusan diawasi sejak menurunkan barang-barang dari truk ekspedisi. Ia bahkan sempat sedikit mencurigai pihak ekspedisi yang membantunya menurunkan kardus-kardus berat. Tapi ia pikir, mungkin hanya pikirannya saja yang terlalu senewen jika berada di tempat yang baru. Ia seringkali waspada berlebihan.
Kelima pria dewasa itu memakai pakaian kasual rapi. Tidak ada yang mencurigakan. Hal yang mencurigakan dari mereka hanyalah mereka baru saja menggedor pintu rumahnya seperti mau mendobraknya. Tapi begitu Kalev membukakan pintu, mereka langsung memasang senyum ramah. Kalev menatap tajam orang-orang itu.
Salah satu dari mereka memakai kacamata hitam—padahal hari sudah gelap. Seseorang lainnya memakai masker dan memakai topi sehingga wajahnya tertutup. Tiga orang lainnya memakai hoodie hitam dan penutup wajah. Mereka bertiga berdiri dekat pagar dan bersikap seolah sedang mengawasi situasi jalan di depan rumahnya. Kalev merasa mengenali postur tubuh salah satu dari tiga orang itu.
“Selamat malam. Maaf mengganggu malam-malam. Mas mengenal Pak Winata? Beliau tinggal di sini?”
Suara pria di hadapannya membuatnya kembali fokus. “Tidak,” jawab Kalev menatap tajam mata pria di hadapannya. Tubuh Kalev yang tinggi membuat sosok di hadapannya terintimidasi meskipun anak itu Masih sangat muda. Rahangnya mengeras. Winata adalah nama Papanya yang sudah bertahun-tahun melupakan keberadaan dirinya.
“Benar? Mas pasti anaknya?”
“Bukan,” jawab Kalev tegas. “Ada apa Anda datang ke sini? Apakah mencari penghuni rumah sebelumnya?”
“Kami mencari Pak Winata.”
Kalev tahu pasti, penghuni rumah sebelumnya bukan bernama Winata. “Salah rumah,” jawab Kalev dingin.
“Oh ya? Di sini Masnya tinggal dengan siapa?”
Secara naluriah, Kalev memastikan pintu rumah di belakangnya tertutup rapat. “Sendirian. Sudah selesai urusannya?”
“Begini. Pak Winata baru saja melakukan kesalahan besar pada perusahaan kami. Tadinya beliau juga bagian dari pendiri perusahaan rintisan kami, tapi beliau mengambil uang sebesar satu miliar. Mungkin bukan uang yang kecil baginya, tapi bagi kami… uang itu cukup besar. Beliau pernah bilang kalau punya keluarga tinggal di sini.”
Kalev berusaha memasang ekspresi setenang mungkin meskipun jantungnya berdebar kencang. “Maaf, bukan urusan saya.” Ia sudah berlagak akan masuk ke dalam rumah, tapi orang itu menahannya.
“Waduh, bagaimana ya? Mas bernama Kalev Agastya Winata?”
Kalev mengumpat dalam hati. Fuck. Dari mana orang-orang ini tahu namaku? “Bukan. Saya enggak kenal siapa orang itu,” ucapnya menjaga suaranya agar tetap sopan dan tenang. Ia bersyukur mobil Mama masih di tempat service dan motornya sudah masuk ke dalam garasi rumah. “Bapak dari perusahaan mana kalau saya boleh tahu?”
“Kami dari perusahaan eksportir barang.”
“Namanya?” Kalev bertanya.
“Terus nama Masnya?”
“Jawab dulu pertanyaan saya,” kata Kalev tanpa gentar. Matanya menatap pria di hadapannnya dengan penuh intimidasi.
“Maaf, kami tidak bisa memberitahu kalau bukan kepada orang yang berkenan.”
“Siapa nama Bapak?” Sekarang giliran Kalev yang menginterogasi.
“Mohon maaf sekali, sepertinya kami salah rumah. Mohon maaf mengganggu waktu Mas, kami pamit dulu,” kata pria tak dikenal itu. Kalev mengingat baik-baik wajah kelima orang tersebut.
Kalev hanya tersenyum sopan dan mengantarkan kelima tamu mencurigakan itu hingga ke pagar. Sosok asing yang berbicara kepadanya berulang kali membungkuk dan memohon maaf sambil mengatupkan tangan seraya berjalan menuju mobil Granmax putih yang terparkir di jalan depan rumah tetangga. Ia masuk ke dalam mobil tanpa plat nomor itu diikuti empat pengikutnya. Keempat pengikutnya itu selalu bergerak dalam keheningan dan menghindari tatapan mata Kalev.
Kalev tidak menemukan ciri khas dari mobil Granmax putih itu kecuali slot plat nomornya yang nihil dan setiap kacanya yang dilapisi cat putih pekat. Mobil mencurigakan dengan penumpang-penumpang yang misterius. Mata Kalev melebar ketika menemukan baret panjang di sisi kanan mobil itu ketika melihat mobil itu berbelok di tikungan. Ia akan mengingat setiap detailnya dengan ingatan eideticnya.
Kemudian, Kalev langsung mengunci pagar dan pintu rumahnya rapat-rapat. Tanpa sadar keringat dingin mengalir di pelipisnya.
“Siapa mereka?” tanya Mama mengamati putranya yang tampak pucat. “Kalev? Ada apa?” tanya Mama terheran melihat reaksi putranya setelah tamu itu datang.
“Ma, kurasa kita harus menyewa rumah lain,” jawab Kalev tenang seraya mendudukan dirinya di karpet ruang tengah. Kotak nasi goreng seafood itu tidak lagi membuatnya selera makan. Ia menghapus keringat dingin yang meleleh karena tegang. “Aku enggak kenal siapa mereka, tapi mereka tahu nama lengkapku, nama Papa, dan alamat rumah ini. Padahal kita baru seminggu di sini bukan. Aneh kan?”
“Ya, Mama dengar mereka menyebut nama Ayahmu,” kata Mama. Suaranya berubah dingin. “Ini ada kaitannya dengan perbuatannya?”
“Kurasa iya,” jawab Kalev tenang. “Orang itu bilang Papa mengambil uang perusahaan mereka. Sepertinya Papa menjerumuskan kita supaya kita ikut bertanggung jawab.”
Mama terlihat geram.
“Mama sudah tahu perbuatan Papa yang ini?” tanya Kalev langsung. Ia baru tahu soal ini dan sebenarnya ia sangat terguncang. Namun, Kalev seorang ahli dalam menyembunyikan perasaan.
“Mama sudah pernah mendengar kalau Ayahmu menipu orang yang salah. Orang yang ditipunya ada hubungannya dengan semacam kelompok gangster.”
Kalev tertawa getir. Ia masih mengingat jelas setiap detail kelima tamu tak diundang itu.
“Makan dulu yuk? Soal pindah rumah, kita pikirkan besok.”
**
Beberapa hari kemudian memang tidak ada lagi tamu tengah malam yang menggedor pintu rumah. Namun, seminggu berikutnya Mama tetap memutuskan untuk pindah ke area kompleks perumahan yang lebih aman. Jaraknya lebih jauh dari sekolah Kalev, namun lebih dekat dari kantor Mama.
Kalev berprasangka gerombolan murid pembuat onar yang ia sebut sebagai kumpulan manusia sampah itu pasti akan bosan mengusik kehidupan sekolahnya, setelah dua minggu. Kenyataannya, siang itu mereka kembali mengepung Kalev di toilet siswa setelah jam pelajaran olahraga usai. Kalev berjalan keluar dari salah satu bilik setelah mengganti baju olahraga dengan seragam putih abu-abu tepat ketika mereka muncul.
Kalev melengos. “Kalian mau apa?” tanyanya seraya mengangkat dagu. Ia tidak takut meskipun ia tidak punya kemampuan bela diri apapun. Ia sangat payah soal membela diri, tapi paling tidak ia mahir mempertahankan diri.
“Bocah songong,” kata ketua gerombolan itu—cowok bergaya rambut undercut—yang tingginya hampir menyaingi tinggi badan Kalev.
Kalev memang tinggi. Tinggi tubuhnya 187 cm. Ia tampak mengintimidasi namun ia tetap tidak bisa melawan mereka yang mengeroyoknya dan bersama-sama mendorong kepalanya ke dalam bak mandi yang ada di toilet. Kalev tidak menduga kepalanya akan ditarik dan dibawa ke dalam air. Ia pikir ia hanya akan disuruh membeli makan siang untuk mereka.
Kalev memberontak, berusaha menarik napas, tapi tangan-tangan keparat itu menahan kepalanya agar tidak bisa keluar dari dalam air. Tangan Kalev ditarik ke belakang oleh dua murid yang menertawakan ketidakberdayaannya.
Lalu detik berikutnya, salah satu dari mereka menarik kepalanya agar ia bisa bernapas sedetik sebelum lanjut memasukkan kepalanya ke dalam bak mandi lagi.
Suara tawa penuh ejekan memenuhi ruangan sempit itu.
“Bagaimana hah, rasanya jadi anak penipu?”
Kalev mendengar salah satu dari mereka mengucapkan kata itu. Tapi Kalev terlalu sibuk mencari udara untuk bernapas. Telinga dan hidungnya kemasukan banyak air. Paru-parunya butuh udara. Rambut hitamnya sudah basah kuyup, begitu pula seragam atasannya.
Bagaimana mereka tahu?
“Kau pasti pindah ke sini untuk kabur dari polisi kan?”
Kalev setengah mati berusaha meloloskan tangan dari cengkraman tangan orang-orang itu. “Apa kau bilang?!” serunya setelah berhasil melepaskan diri. Ia benci dirinya yang tidak punya kemampuan untuk menyerang. Napasnya terengah. Jika ia menyerang, hasilnya ia akan terkapar di lantai kamar mandi siswa.
Tapi, ia tetap menarik kerah salah satu dari mereka dan membaca name tag di pakaian murid itu karena sebelumnya ia tidak pernah memperhatikan namanya. Bari.
Dia ketua kumpulan manusia sampah itu. “Apa kau bilang barusan? Dari mana kau tahu?”
“Takut yaaaa data pribadimu tersebar?” Bari menjulurkan lidahnya.
Kalev menarik kerah Bari lebih keras. Ia masih mengingat detail kelima tamu malam itu. Lalu, ia melihat kembali postur tubuh tinggi di antara tiga orang yang berdiri dekat pagar, di dalam ingatan fotografinya. Tidak salah lagi. “Kau termasuk orang-orang itu?”
Bari tertawa penuh penghinaan. “Kalau kau berani melawanku, akan kusebar data pribadimu supaya lebih banyak TERROR untuk keluargamu. Atau lebih tepatnya Ibumu.”
Kalev menonjok mulut Bari dengan keras hingga mulut cowok itu berdarah. Ia tidak menyangka tinjuannya sekeras itu. Api amarah penuh hasrat membunuh menggelegak dalam dirinya.
Tapi Bari hanya tertawa lebar dan memamerkan giginya yang berlumuran darah akibat bogem mentah dari Kalev. “Mulai sekarang jadi anjing kami, maka keluargamu selamat. Mengerti? Oh! Kudengar kau ini juga kaya ya?”
Kalev menggertakan giginya.
“Atau mau kusampaikan alamat barumu ke rekan-rekanku yang pernah datang ke rumah lamamu?” ancam Bari.
Kalev ingin mengamuk, tapi kumpulan manusia sampah itu sudah menarik tubuhnya ke belakang supaya menjauh dari sang ketua dan memukul tubuhnya berkali-kali hingga ia tersudut ke tembok kamar mandi yang lembab. Wajah, tangan, tubuhnya dipenuhi memar biru lebam. Mereka memukulnya sampai mereka bosan. Kalev terpuruk. Ini tidak adil. Satu lawan sepuluh. Terlalu banyak orang. Terlalu banyak pukulan yang harus ditangkis.
Setelah mereka pergi, ia hanya terduduk diam di atas lantai kamar mandi yang basah. Susah payah ia mengatur napasnya supaya tidak tersengal. Ia menghapus darah dari hidungnya dengan punggung tangan. Seluruh tubuhnya babak belur.
Ia tidak mungkin kembali ke kelas dengan keadaan seperti ini. Bajunya basah dan tubuhnya penuh bekas bogem. Ia sedang beruntung karena Mama sedang pergi ke Jakarta untuk seminggu sehingga tidak perlu melihatnya babak belur.
Ia beranjak berdiri perlahan karena seluruh tubuhnya nyeri. Tanpa menghiraukan tatapan murid lain yang memergokinya berjalan di koridor dengan seragam basah kuyup, ia melangkah menuju parkiran motor.
Persetan dengan jam pelajaran. Persetan dengan kelas.
Ia merogoh saku celananya untuk mengambil kunci motor, memakai helm, menstarter motornya, dan melaju kencang menuju rumah tanpa mengacuhkan satpam di area parkiran yang meneriakinya.
**
Flashback
Sejak kecil, Kalev sangat mahir menutupi perasaannya. Ia lihai bertingkah seolah baik-baik saja meskipun situasi di sekitarnya sedang kacau-balau. Ia jarang menangis layaknya anak kecil lain—bukan karena Mama atau Papa melarangnya untuk menangis, tapi karena ia lebih aman menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya dan memendam luapan emosinya sendiri.
“Kamu yakin tidak perlu membawanya ke psikolog?”
Kalev yang waktu itu berumur 10 tahun berhenti melangkah menuruni tangga saat mendengar percakapan kedua orang tuanya di ruang keluarga pada malam hari. Ia terbangun karena tiba-tiba merasa haus. Kedua orangtuanya pasti mengira kalau ia sudah terlelap. Tanpa suara, ia bersembunyi di balik bayangan dan berdiri mematung untuk mendengarkan.
“Kenapa?” Suara Mama terdengar sengau seperti baru saja menangis. Hari itu tepat sebulan semenjak putra keduanya meninggal di usia yang sangat belia.
“Kalev bahkan tidak menangis waktu adiknya meninggal. Bukankah itu aneh?” Papa terdengar khawatir.
“Dia punya cara lain untuk berduka.”
Kalev diam-diam mengangguk. Ia memang tidak sedikit pun mengeluarkan air mata sewaktu adiknya merenggang nyawa di rumah sakit akibat kejang dan demam tinggi. Ia mengaku kalau saat itu sangat sedih sampai merasa seperti ada pisau tak terlihat menancap di dadanya, tapi ia tetap tidak bisa menangis.
“Anak kita tidak seperti anak lainnya. Dia bahkan tidak pernah merengek minta dibelikan sesuatu dan dia tidak menangis saat jatuh dari sepeda. Padahal lututnya berdarah-darah.”
“Kalev kuat dan ia hanya dewasa lebih cepat.”
Papa menghela napas. “Aku setuju soal itu… Tapi ada sesuatu yang salah dengan anak kita. Masih ingat waktu dia mencoba membunuh kucing yang kita berikan padanya?”
“Salah kita juga memungut kucing liar yang belum jinak dan berujung kucing itu mencakar Maven,” jelas Mama—menyebut nama adik Kalev yang meninggal saat berumur 8 tahun.
“Tapi apa wajar anak kecil membunuh hewan peliharaannya secara brutal?”
Ingatan Kalev kembali pada kejadian itu. Kucing berwarna hitam yang sangat menggemaskan itu tiba-tiba mencakar Maven sampai adik manisnya itu menangis. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengambil pisau dapur dan menikam kucing itu dengan brutal. Ia tidak menyadari kalau perbuatannya salah. Yang ia pikirkan hanya, ia tidak mau kucing itu melukai adiknya lagi.
“Saat itu, ia memang sedang proses belajar soal empati. Ia belum tahu kalau itu salah.”
“Bagaimana kalau bukan kucing? Bagaimana kalau ada orang yang melukai adiknya?” suara Papa terdengar takut.
Aku juga akan melakukan hal yang sama, jawab Kalev dalam hati.
Keesokan harinya, kedua orangtuanya menjadwalkan pertemuan dengan psikolog sepulang sekolah. Psikolog tidak menemukan kejanggalan pada mental Kalev. Anak yang masih berumur 11 tahun itu menjawab daftar pertanyaan test psikologi dengan jawaban yang konsisten. Psikolog hanya menyimpulkan kalau Kalev suka memendam segalanya sendirian hingga tubuh kecilnya kewalahan dan memicunya melakukan hal yang diluar nalar demi melindungi orang yang disayanginya. Psikolog menyarankan Kalev untuk terapi sebulan sekali. Tapi beberapa bulan berikutnya, Psikolog itu mengundurkan diri dan menyimpulkan kalau Kalev sudah tak perlu menjalani terapi psikologis lagi.
Setahun berikutnya, Papa tiba-tiba menghilang dan meninggalkan Mama. Kalev pun mengerti penyebab Papa pergi setelah melihat isi amplop berwarna coklat yang berisi dokumen perceraian mereka. Papa mempunyai keluarga lain selain dirinya dan Mama yang lebih dicintainya. Papa juga punya anak selain dirinya yang mungkin sifatnya lebih normal—tidak seperti dirinya. Pada suatu malam saat umur Kalev sudah 12 tahun, Mama menanyakannya untuk memilih siapa. Ia memilih Mama. Setelah menjawab pertanyaan berat itu, ia dipeluk begitu lama oleh Mama dan Kalev bersumpah dalam hati akan melindungi Mama apapun yang terjadi.
Semenjak saat itu, Mama menjadi single mother dan putranya selalu mengikuti kemanapun ia pindah. Kalev tidak pernah lagi bertemu dengan Papa dan tak pernah sedikitpun ia merasakan rindu pada Papa.
**
September 2022
“Salah, anjing!” Suara Bari membuat Kalev mengatupkan rahangnya. “Tadi dengar aku mau apa?” Ia melempar sebungkus kresek berisi gado-gado ke seragam Kalev. Isi kresek itu pun tumpah dan menodai baju Kalev.
Saat itu mereka berada di area belakang sekolah yang berupa tempat penyimpanan kursi, meja, dan lemari yang sudah rusak. Area itu menjadi markas gerombolan manusia sampah. Kalev pikir, mereka tidak ada bedanya dengan barang-barang rusak yang mengelilingi mereka.
Cowok dengan gaya rambut undercut itu duduk di bangku panjang yang berada di tengah tempat itu layaknya boss. Ia menghisap rokoknya dengan santai dan menghembuskan asap dari paru-parunya. Para pengikutnya duduk di kursi lain yang masih layak diduduki.
Sudah sebulan semenjak Kalev bersekolah di sekolah itu dan mereka masih belum bosan meladeninya. “Brengsek,” umpat Kalev pelan sambil menyingkirkan noda saus kacang yang menempel di bajunya. Ia tidak mungkin salah mendengar apalagi salah mengingat pesanan Bari.
“Belikan aku gado-gado yang ada di luar sekolah. Tau kan tempat jualannya?”
Tiba-tiba bel sekolah berbunyi. Kalev pun berkata, “Kau dengar itu? Udah jam masuk kelas.”
“Hmmph… Kalo gitu, berikan semua uang yang ada dompetmu.”
“Hah?”
“Aku tahu kau membawa uang banyak hari ini. Hari ini jadwal pembayaran SPP kan?” Bari berkata dengan nada suara diseret seperti orang malas.
“Jadi orang tuamu enggak mampu membayar sekolah sampai harus meminta padaku?” Kalev menyeringai penuh mengejek. Ia tidak takut pada Bari atau siapapun meskipun Bari pernah mengancamnya dengan akan mengganggu kehidupannya lebih parah lagi.
Bari beranjak berdiri dan menarik kerah baju Kalev. “Jangan pikir bisa melawanku, anjing. Kau ini cuma ANJING. Ingat? Aku bisa membocorkan informasi alamat rumahmu yang sekarang pada orang-orang itu.”
Kalev mengeraskan rahangnya. Sudah sebulan sejak tidak ada lagi tamu tak diundang yang menggedor pintu rumahnya.
“Berikan uangmu, anggap saja sebagai bayaran untuk menyumpal mulutku.” Tiba-tiba Bari menyundut tangan Kalev dengan ujung rokoknya yang masih berapi.
Bara api rokok mulai membakar kulitnya hingga melepuh. Ia menarik napas agar tidak berjengit. “Aku enggak mungkin sebodoh itu belum menyerahkan uangku buat bayar sekolah,” kata Kalev sambil menyeringai. Sorot matanya terlihat menantang untuk bergelut.
“Oh ya? Kau harus mengganti makan siangku dengan uangmu, anjing. Jangan pikir bisa hidup tenang sepulang sekolah,” ucap Bari sambil menarik kemeja Kalev.
“Apa yang kalian lakukan di sini?! Sudah bel masuk, kok masih ada di sini?!” seru seorang guru yang tiba-tiba muncul memergoki mereka yang belum masuk kelas. Beliau guru fisika yang terkenal killer.
Refleks, Bari melepas kerah kemeja Kalev dan menyapu debu tak terlihat yang ada di bahu Kalev untuk menunjukkan kalau ia tidak berniat mencelakai Kalev. Padahal tangan Kalev sedang melepuh akibat sundutan rokok.
Bari bersama kroninya langsung meninggalkan tempat itu langsung menuju kelas yang berlawanan arah dari kelas Kalev.
Hening. Kalev menoleh ke belakang untuk memastikan kalau guru itu sudah pergi. Untuk kedua kalinya, Kalev menyelinap kabur saat jam pelajaran. Ia tidak bisa kabur dengan motornya lagi karena sehari setelah kejadian kabur menggunakan motor, ia langsung dipanggil guru BK. Jadi ia mencari pintu rahasia yang mungkin ada di area belakang sekolah. Ia menemukan pintu rahasia itu setelah meladeni permintaan Bari beberapa hari yang lau.
Ternyata ia bertemu dengan seseorang di depan pintu masuk rahasia itu. “Mau kemana?” tanya seorang cowok yang baru saja melenggang masuk melalui pintu itu. Rambutnya yang pendek berwarna coklat terang mencolok—terlihat jelas kalau ia mewarnai rambutnya. Ia memegang permen stick di tangannya. Tubuhnya yang hanya setinggi 174 cm membuatnya harus mendongak ketika berhadapan dengan cowok jangkung di hadapannya.
Kalev belum pernah bertemu dengan sosok di hadapannya, tapi ia pernah melihat wajahnya di banner pengumuman lomba yang ada di gerbang sekolah. Tanpa melihat nametagnya, Kalev mengingat namanya. Namanya Brilliant Riga Yanuar, namun cowok itu lebih dikenal dengan nama Riga. Ia murid paling terkenal seantero sekolah karena selalu memenangkan kompetisi matematika. Selain memenangkan medali perak di Olimpiade Matematika Nasional, ia juga pernah bergabung dalam tim inti basket dan turut memenangkan kejuaraan basket.
Riga menatap pakaian Kalev yang bernoda saus kacang gado-gado.
Kalev bergeming. Ia ingin pulang karena tidak tahan lagi berada di sekolah. Ia benci menjadi anjing suruhan Bari, tapi ia tidak mau pintu rumahnya diteror lagi. Ia tidak peduli jika papanya pernah menipu orang sampai miliaran. Ia tidak peduli pada keberadaan Pada dan keluarga kecilnya yang entah dimana sedang menikmati uang haram. Semua itu bukan urusannya. Urusannya adalah melindungi Mama.
“Ssst, jangan keluar sekarang. Ada guru di luar sedang beredar mencari murid yang kabur,” bisik Riga sambil mendorong pelan tubuh kalev untuk mundur. Celah di belakang gudang menuju pintu rahasia memang hanya hanya selebar bahunya.
Bahu Kalev yang lebar membuatnya harus berjalan dengan bergeser di celah itu. Satu hal lagi yang membuat dia heran pada Riga. Rambut Riga berwarna coklat terang hasil diwarnai karena ia bisa melihat akar rambut Riga yang berwarna hitam. Ternyata sekolahnya membolehkan siswa mengecat rambut.
“Aku tahu di UKS ada pakaian ganti. Mau kutemani mencari baju ganti?” tanya Riga. Matanya menatap Kalev dengan sorot yang mengatakan kalau ia tahu apa yang terjadi padanya.
“Kau enggak ke kelas?”
“Aku dapat dispensasi karena besok ada kompetisi.” Mereka sudah keluar dari celah sempit dan kini mereka berdiri di bawah pohon akasia yang tumbuh di belakang sekolah. Sinar matahari yang menyelinap melalui celah dahan pohon menimpa mereka. Angin berembus perlahan. Siang itu matahari bersinar sangat terik. Untungnya sekolah mereka mempunyai beberapa pohon teduh seperti ini di beberapa spot.
"Ayo."
Kemudian, Riga memberi isyarat pada Kalev untuk mengikutinya ke UKS. Ia menunjukkan lemari yang berisi seragam siswa yang bersih. Riga mencari ukuran seragam yang mungkin muat untuk Kalev. Ia mengambil ukuran XL lantas melemparkannya pada Kalev.
Kalev menangkap seragam itu. “Thanks,” ucap Kalev singkat seraya pergi ke ruangan lain untuk mengganti seragam.
Ketika ia kembali dengan seragam yang bersih, ia mendapati Riga masih di ruangan itu—sedang tiduran santai di atas tempat tidur.
Kalev enggan kembali ke kelas. Ia pasti hanya akan dimarahi oleh guru yang mengajar karena datang terlambat untuk ke sekian kalinya. Apalagi siang itu jadwalnya guru kimia yang sudah mendapatinya terlambat masuk kelas beberapa kali. Biasanya setelah dimarahi panjang kali lebar kali tinggi di depan kelas, ia tetap diperbolehkan masuk hanya karena nilai ulangan hariannya selalu yang tertinggi di kelas. Murid lain biasanya berterima kasih dalam diam padanya karena dengan begitu, jam pelajaran kimia yang padat jadi lebih singkat.
“Namamu Kalev kan ya?” tanya Riga dengan permen stick di mulutnya.
Kalev mengangguk.
“Aku tahu kau murid baru yang datang waktu tahun ajaran baru dimulai,” ucap Riga sambil bersandar pada bantal seolah UKS adalah tempat tidurnya. “Jarang-jarang ada murid pindahan ke sini. Jadi, sepertinya semua orang di sekolah tahu.”
"Oh ya?" kata Kalev sambil bersandar pada tembok di belakangnya dan melipat kedua tangan di depan dada. Ia menyembunyikan luka bakar bekas sundutan rokok.
"Yeah, tanganmu kenapa?" tanya Riga yang ternyata menyadari ada luka melepuh di punggung tangan Kalev sebelum Kalev menyembunyikan tangannya.
"Bukan apa-apa," jawab anak itu dengan nada defensif. Lukanya tidak parah. Ia sempat membersihkan luka bakarnya saat mengganti pakaian. Lalu ia melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 1 lebih 20 menit. "Aku harus kembali ke kelas. Thanks sudah membantuku."
Tiba-tiba Riga beranjak bangun dari tempat tidur UKS. “Aku juga harus balik ke ruang dispensasi,” katanya sambil memakai sepatunya dengan asal. “Satu hal lagi. Sebenarnya tadi enggak ada guru yang beredar di area belakang sekolah. Aku bohong! Byeeee!” serunya seraya melesat keluar ruangan UKS lebih dulu daripada Kalev dan berlari ke arah gedung perpustakaan sekolah.
“Apa?” Kalev tertawa sendiri karena baru saja ia tertipu oleh ucapan anak yang baru ditemuinya. Anak aneh, ucapnya dalam hati. Ia mengambil seragamnya yang kotor terkena saus kacang dan berjalan keluar dari UKS. Tidak ada alasan baginya untuk kabur lagi karena pakaiannya sudah diganti dengan seragam bersih. Ia kembali ke kelas dan membiarkan Pak Hermawan mengomelinya panjang lebar di depan kelas.