Malam itu gelap gulita. Seluruh lilin telah dipadamkan. Satu-satunya sumber penerangan tersisa hanyalah cahaya rembulan yang masuk melalui jendela. Angin malam yang berhembus menyingkap tirai jendela. Seorang anak laki-laki berdiri di depan jendela itu. Ia menoleh ke belakang sekali sebelum memanjat dan meloncat dari kusen jendela. Pada menit berikutnya, kakinya sudah menjejak di atas rerumputan yang basah oleh embun. Ia menoleh sekali lagi untuk memastikan tidak ada yang menangkap basah dirinya menghindari acara ritual bulan purnama. Lalu ia berlari menjauhi jendela.
Sebagai anggota termuda, ia menjadi anak bontot yang dianggap paling rentan memberontak. Jadi biasanya ia berada di bawah pengawasan penuh anggota-anggota penyihir lainnya yang lebih senior. Namun, setiap malam purnama, mereka semua akan terlalu fokus pada ritual sehingga mengabaikan kehadirannya. Paling tidak begitu dugaannya.
Sekarang anak itu berdiri termenung di hadapan hutan yang mengelilingi mansion—bangunan yang menjadi rumah sekaligus lokasi pertemuan para anggota penyihir setiap bulan purnama. Mansion itu berada di atas bukit. Selama 15 tahun hidupnya, ia belum pernah memasuki hutan itu karena hidupnya terisolasi di atas bukit tanpa pernah mengetahui apa yang ada di luar sana kecuali berasal dari percakapan yang ia curi dengar setiap malam bulan purnama. Ia selalu penasaran dengan apa yang ada di luar sana. Ia ingin melihat dunia tapi semua orang melarangnya pergi tanpa pernah memberitahu alasannya.
Setelah menarik napas panjang, ia mulai melangkah memasuki hutan yang
tumbuh rimbun di sekeliling bukit. Ia mematahkan pelindung tak kasat mata yang dipasang
khusus agar dirinya tidak bisa kabur. Mereka bodoh meninggalkan perkamen mantra
pelindung tak kasat mata di atas meja rapat, ucapnya dalam hati sambil tersenyum
puas karena berhasil mematahkan mantra untuk pertama kalinya.
Tanpa menoleh ke belakang lagi, ia berjalan menyusuri jalan setapak dengan langkah cepat. Ia merasa sangat bebas dan ingin segera turun dari bukit untuk melihat kota. Jantungnya berdegup kencang karena bergairah. Tidak sabar ia untuk mengetahui apa di luar sana.
“Mau ke mana, Rigel?” ujar seseorang dengan suara dingin sambil memegang
kerah kemeja Rigel.
“Arrrghhh!!! Lepaskan aku!!” seru Rigel sambil berusaha melepaskan diri dari tangan Caelus—kakak kandungnya yang berusia 10 tahun di atasnya. Rigel mengerutkan dahinya dan cemberut. Meskipun sekarang ia sudah menjadi remaja dan tinggi badannya
bertambah 20 cm sejak setahun yang lalu, ia tetap tampak seperti bocah di depan
mata Caelus.
Caelus menghela napas dramatis setiap menghadapi adiknya. Rambut panjangnya yang berwarna hitam tampak digerai dan berkilauan di bawah cahaya rembulan. “Kau hampir
menggagalkan ritual.”
"Jadi, selama ini aku disekap di mansion demi kelancaran ritual
belaka?" tanya Rigel sambil bersedekap.
"Bukan begitu. Kau belum siap menghadapi dunia luar."
"Kau pernah ke luar sejak kau seusiaku," balas Rigel dengan mata berkilat. Rambutnya yang berwarna silver tampak berantakan tertiup angin malam. Di antara seluruh anggota penyihir, hanya dirinya yang memiliki warna rambut yang berbeda.
"Yeah, tapi kau tetap tidak boleh."
"Kenapa? Aku hanya jaminan, kan?"
"Bukan, Rigel. Hanya saja—ah sudahlah, kau harus kembali."
Caelus tak sampai hati mengatakan kalau keberadaan Rigel memang sebagai jaminan
bahwa ritual berhasil. Ritual itu harus mereka lakukan demi menjaga kekuatan
supranatural mereka dan agar umur mereka panjang. Penyihir tertua di kelompok
mereka bersia 205 tahun. Di kelompok lain yang berasal dari kota lain mungkin ada yang mencapai 500
tahun.
"Tidak." Rigel menggelengkan kepala dan menjauh ketika Caelus
menggapainya. "Tidak, sampai kau jelaskan alasanku diisolasi."
Manik mata hijau Rigel semakin terlihat berkilat kekanakan.
Caelus menyentuh pelipisnya dan memasang wajah frustasi. "Hanya tetua yang bisa bilang—"
"Kau kan sudah tua."
Kali ini Caelus menjewer telinga Rigel. Ia paling tidak suka dibilang tua padahal
ia sendiri anggota termuda kedua setelah Rigel. "Apa katamu?"
Rigel mengaduh pelan. "Cepat katakan. Hanya ada kita berdua di hutan!" Bocah itu masih bersikeras.
"Baiklah. Pertama-tama aku bertanya dulu. Sekarang kau sudah punya Ability?" tanya Caelus sambil berkacak pinggang. *Ability: kelebihan penyihir untuk mengendalikan elemen, atau kekuatan magis seperti membaca pikiran orang lain, meramal, teleportasi, berubah bentuk.
Rigel langsung bungkam. Ia sudah berumur 15 tahun, tapi kemampuannya
masih belum muncul. Padahal kemampuan penyihir seharusnya muncul di usia
anak-anak. Sedangkan ia sudah memasuki usia remaja. Hal itu membuat status penyihir Rigel diragukan meskipun kedua orang
tuanya penyihir. Dia adalah anomali di kumpulannya. "Shut up." Dengan wajah kalah, ia berbalik badan dan kembali berjalan menyusuri jalan setapak yang menuju mansion.
Semudah itu membujuknya? pikir Caelus dan merasa sedikit bersalah karena bukan hanya itu alasan Rigel tidak bisa keluar dari area mansion. “Tidak semua penyihir punya Ability—”
“Dalam lima abad terakhir,” timpal Rigel.
“Baiklah, kau boleh makan potongan kue blueberry punyaku setelah ini,” kata Caelus mencoba
menghibur adiknya seraya menyamakan langkahnya dengan langkah kaki Rigel.
“Memangnya aku anak kecil?” kata Rigel masih dengan raut wajah muram.
“Jangan hibur aku.”
Caelus meringis. Mereka pun berjalan dalam diam menyusuri lantai hutan yang lembap setelah diterpa hujan sepanjang hari. Untungnya, malam itu hujan berhenti dan cerah. Bulan purnama menampakkan dirinya di langit yang berwarna hitam pekat.
Tiba-tiba Rigel berhenti melangkah ketika melihat sepasang mata berwarna hijau
yang berpendar di tengah kegelapan. Sepasang mata itu berkedip lalu lenyap
begitu saja seperti ditelan hutan. Namun, Rigel sama sekali mendengar suara langkah kaki
cepat yang seharusnya menyentuh dedaunan kering di lantai hutan. Rigel mengerjapkan matanya tak percaya.
“Kenapa berhenti?” tanya Caelus yang sudah berjalan di depannya.
“Anggota yang lain menunggu kita.”
“Barusan kau lihat itu?” tanya Rigel dengan wajah tegang. Makhluk
itu bukan hantu. Mata yang baru saja
muncul di tengah kegelapan jelas bukan hantu… meskipun gerakan makhluk itu
terlalu cepat. Mata itu tampak seperti mata serigala. Tapi tak mungkin serigala
bisa masuk ke area ini karena area ini terisolasi dan terlindungi mantra.
“Apa?” Caelus mengangkat alisnya.
Mulut Rigel terbuka untuk menjelaskan penampakan mata berpendar yang baru saja ia
lihat. Namun, ia mengurungkan niatnya. “Sepertinya aku salah lihat.”
Mereka lanjut berjalan menuju mansion. Hening. Hanya terdengar suara
daun bergemerisik akibat angin malam. Dalam diam, Rigel mencari mata serigala
yang berpendar itu. Ia tak salah lihat. Ada entitas lain yang memasuki wilayah
mereka. Caelus maupun Rigel merasa ada yang tidak beres. Ada ancaman tak kasat
mata yang mengusik kehidupan mereka sebagai penyihir.
Detik berikutnya, terdengar ratusan kepak sayap burung gagak yang berteriak dan berterbangan ke udara. Mansion tidak pernah memelihara burung gagak. Tapi burung gagak selalu muncul jika ada seseorang yang mengembuskan napas terakhirnya. Burung dengan sayap sewarna langit malam itu akan terbang berputar-putar di atas mayat. Hewan itu adalah makhluk magis di dunia mereka dan kemunculan mereka hanya berarti satu. “Pertanda buruk,” ucap Caelus—dengan suara cemas.
“Siapa yang mati…?”
Tapi Caelus kini berhadapan pada Rigel dan memegang bahu adiknya. “Kau diam di
sini. Aku akan mengecek situasi. Jangan bergerak sebelum aku memberi tanda.”
Rigel menatap nanar abangnya yang tingginya sejajar dengannya.
Sementara Caelus kini mencengkram bahunya dan mengguncangnya. “Kau mengerti?!!”
Rigel menggeleng. “Biarkan aku ikut!”
“Diam di sini.” Caelus memberikan mantra non verbal pada Rigel yang membuat Rigel
tak bisa memberontak dan tubuhnya terpaku diam berdiri. “Aku janji akan
kembali," ucap Caelus sebelum berlari menembus kegelapan malam seiring dengan
tubuhnya menjelma menjadi seekor kucing hitam. Lemampuan luar biasanyanya adalah shape
shifting. Namun, ia hanya bisa berubah bentuk menjadi kucing hitam.
Meskipun mantra dari Caelus hanya bertahan selama satu jam, waktu
berjalan terasa seperti berabad-abad. Rigel berdiri dengan kaku sementara
pikirannya berkecamuk gelisah. Caelus telah melanggar salah satu aturan penyihir. Seorang
penyihir tidak boleh memantrai penyihir lain kecuali dalam keadaan terdesak.
Ini bukan keadaan terdesak, geram Rigel dalam
pikirannya. Ia seharusnya mengejar Caelus. Ia seharusnya ikut mengecek ke dalam mansion.
Di bawah sinar temaram bulan purnama, Rigel melihat ratusan burung gagak
terbang berputar-putar di atas mansion. Pemandangan itu tampak sangat
mengerikan. Seperti mimpi buruk. Burung gagak selalu menjadi pertanda kematian seorang penyihir.
Tapi dengan burung gagak sebanyak itu… berapa banyak anggota penyihir yang
mati?
Kenapa mereka mati? Penyihir tak semudah itu untuk mati ataupun dibunuh.
Rigel memikirkan para tetua dan para senior yang kemungkinan sudah meninggal. Bukankah mereka kuat? Mereka punya kekuatan magis kan?
Tidak. Tidak. Mereka tidak mati. Mereka pasti masih hidup. Burung gagak
itu mungkin hanya ilusi buatan Alkana, pikir Rigel. Alkana
adalah salah satu anggota mereka yang memiliki kemampuan membuat ilusi. Ia bisa mempengaruhi
seseorang untuk melihat apa yang sebenarnya tidak ada di hadapannya. Alkana
hampir seperti saudara perempuan bagi Rigel—meskipun usia mereka terpaut dua puluh
tahun.
Rigel memikirkan anggota lainnya yang selama ini selalu melindunginya.
Kota kecil itu hanya memiliki genap 30 penyihir dan setiap malam bulan
purnama, mereka mengadakan ritual di mansion milik keluarga Centauri. Para penyihir itu memiliki kehidupan di kota kecil yang ada di kaki bukit sebagai warga biasa. Mereka hidup
dengan makhluk lain seperti manusia, peri, vampir, kurcaci, bahkan para
werewolf yang punya masa lalu dengan para penyihir. Mereka bekerja,
bermasyarakat, dan menjadi warga kota yang taat aturan.
Siapa yang berani mengusik kehidupan kami?
Tubuh Rigel terjatuh setelah mantra itu berhenti bekerja. Tanpa pikir panjang,
ia berlari cepat mendaki ke atas bukit. Di mansion tua itu, hanya lima
orang yang menjadi penghuni tetapnya—termasuk dirinya dan Caelus. Mereka adalah
anggota keluarga inti Centauri yang konon katanya klan penyihir tertua di
dunia.
Beberapa kali Rigel tersandung akar pohon. Ia jatuh hingga membuat lututnya berdarah. Sementara tangannya tergores ranting-ranting pohon. Berulang kali ia merutuki dirinya sendiri.
Begitu sampai di mansion, Rigel memanjat jendela tempatnya kabur tadi karena koridornya lebih dekat menuju
halaman tengah mansion. Ia berjengit ketika mencium aroma anyir darah.
Panik.
Ia berlari menuju halaman tengah mansion yang selalu menjadi lokasi pelaksanaan ritual.
Napas Rigel tersengal. Ia menyaksikan seluruh anggota penyihir
bergelimpangan di halaman tengah. Dengan langkah ragu. Rigel mencoba mendekati seseorang yang wajahnya
tertutupi jubah. Ia yakin itu adalah tubuh tetua. Perlahan ia membuka jubah yang menutupi wajah tetua penyihir
keluarga Centauri. “Kakek?”
Ia berjengit ketika melihat tatapan kosong Baron Frederick—kakeknya—yang
sudah tak bernyawa.
Rigel mengecek mereka satu per satu dan menemukan hal yang sama. Mata mereka terbelalak dan menatap kosong bulan purnama. Wajah mereka pucat pasi tak bernyawa. Satu hal yang sama. Mereka semua mengalami luka cakaran raksasa di bagian tubuh mereka. Genangan darah mengelilingi tubuh mereka.
Anak itu menghitung jumlah seluruh anggota penyihir untuk memastikan bahwa jumlah mereka kurang dari seharusnya. Ia berharap ada yang tidak hadir selain dirinya malam itu dan ia bukan satu-satunya yang bertahan hidup. Ia mencari wajah Caelus di antara mereka. Suara di benak pikirannya berteriak memohon agar Caelus berhasil melarikan diri sebelum malapetaka ini datang.
Ia pikir ia tidak akan menemukan Caelus. Tapi, ternyata Caelus terkapar di ambang pintu dengan sorot mata kosong dan tubuh tercakar. Rigel menatap kakaknya dengan perasaan kosong.
Ia berdiri diam dengan wajah tanpa ekspresi. Tapi sebenarnya pikirannya kalut. Tubuhnya gemetaran. Perlahan ia menyadari bahwa ia satu-satunya yang tersisa. Seluruh penyihir di kota kecil itu habis kecuali dirinya dan Rigel tak punya akses untuk menghubungi penyihir dari kota lain karena penyihir yang lain merahasiakan segala informasi tentang jaringan antar penyihir darinya.
Ratusan burung gagak masih berterbangan di atas mansion. Suaranya yang
ribut sangat berisik. Suara burung gagak yang
menjerit membuat Rigel merasa hampir gila. Ia menutup telinganya. Bayang-bayang wajah
keluarganya yang mati tergambar jelas di benaknya. Wajah Caelus yang mulus bagaikan porselen yang tak bernyawa
terbayang di kepala Rigel.
Baru kali ini, Rigel tak tahu harus bagaimana. Apa yang harus
dilakukannya? Bertahan? Membunuh dirinya sendiri? Memohon untuk dibunuh? Pada
siapa?
“Selamat. Kau satu-satunya yang bertahan.”
Rigel terkesiap. Ia menatap nanar sekelilingnya—mencari sumber suara.
Suara itu bergema. “Siapa? Perlihatkan dirimu!” teriak Rigel sambil menegakkan
tubuhnya meskipun yang ingin ia lakukan saat itu hanyalah meringkuk di sudut
tembok sampai semuanya berhenti.
“Kaum kalian harus musnah. Kalian cuma parasit dengan kemampuan
berlebihan yang merusak keseimbangan dunia.”
Rigel menggertakkan giginya. Ia berharap bisa mengambil pedang yang ada
di ruang penyimpangan. “Kau membunuh orang tak bersalah.”
Lalu tiba-tiba sosok itu muncul di ambang pintu yang bersebrangan dengan
tempatnya berdiri. Wajahnya tak terlihat karena ia mengenakan masquerade
yang hanya menutupi sebagian wajahnya. “Betapa naifnya dirimu. Kau pikir
kaummu bisa hidup ratusan tahun tanpa dosa? Aku tidak membunuhmu karena kau lah
satu-satunya yang tak punya kemampuan.”
“Kalau begitu bunuh juga aku,” ucap Rigel.
Sosok itu tertawa. “Membunuhmu tidak ada gunanya.”
“Aku penyihir sama seperti mereka!” teriak Rigel.
“Berhenti memohon. Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan.”
“Pengecut.”
“Diam. Tidak ada keuntungan bagiku untuk membunuhmu."
Hening. Rigel ingin menerjang orang itu.
"Tapi kau senang bukan mereka semua mati? Aku sudah membunuh mereka yang mengisolasimu dan mereka yang menyekapmu di istana mungil ini."
"Kau membunuh keluargaku!"
Rigel berlari menuju sosok itu. Namun, sama seperti kemunculannya yang misterius, pria itu tiba-tiba menghilang bersamaan dengan asap dan suara meletup. Rigel berdiri di tempat orang itu berdiri sebelumnya tapi tidak ada jejak kaki ataupun jejak bau.
Hening. Anak itu terdiam selama beberapa saat dengan perasaan hampa yang tak bisa dijelaskan. Saat itu, ia hanya sendirian di mansion yang luasnya berhektar-hektar itu. Ia satu-satunya yang bertahan hidup. Dunianya hancur seketika dalam semalam. Pikiran irasional mulai membuatnya menyalahkan dirinya sendiri. Tidak seharusnya aku kabur. Tidak sepantasnya aku meninggalkan ritual. Bodoh. Bodoh. Bodoh. Ia merapal kalimat itu berulang kali hingga tubuhnya merosot pada tembok batu di belakangnya.
Air matanya mengalir hingga tak ada lagi yang tersisa. Ia duduk semalaman di hadapan mayat yang bergelimpangan tanpa tidur sedetikpun meskipun seluruh syarafnya menjerit kelelahan. Ia berharap ini semua hanyalah mimpi buruk.
Ketika langit berubah menjadi keunguan, ia berdiri dan melangkah lesu menuju kamarnya yang tak ingin dilihatnya lagi. Ia mengganti pakaiannya dengan pakaian bepergian lengkap. Lalu ia mengambil beberapa barang-barangnya. Ia mengambil peta dan pisau tajam dari ruang penyimpanan.
Kali ini, ia benar-benar melarikan diri tempat itu. Ia tidak akan melupakan mata itu. Mata sang pembunuh yang tersembunyi di balik masquerade.
────