Original Story

Something in the Darkness

Oktober 30, 2024


𝐒𝐨𝐦𝐞𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠 𝐢𝐧 𝐭𝐡𝐞 𝐃𝐚𝐫𝐤𝐧𝐞𝐬𝐬

────

Malam itu gelap gulita. Seluruh lilin telah dipadamkan. Satu-satunya sumber penerangan tersisa hanyalah cahaya rembulan yang masuk melalui jendela. Angin malam yang berhembus menyingkap tirai jendela. Seorang anak laki-laki berdiri di depan jendela itu. Ia menoleh ke belakang sekali sebelum memanjat dan meloncat dari kusen jendela. Pada menit berikutnya, kakinya sudah menjejak di atas rerumputan yang basah oleh embun. Ia menoleh sekali lagi untuk memastikan tidak ada yang menangkap basah dirinya menghindari acara ritual bulan purnama. Lalu ia berlari menjauhi jendela. 

 

Sebagai anggota termuda, ia menjadi anak bontot yang dianggap paling rentan memberontak. Jadi biasanya ia berada di bawah pengawasan penuh anggota-anggota penyihir lainnya yang lebih senior. Namun, setiap malam purnama, mereka semua akan terlalu fokus pada ritual sehingga mengabaikan kehadirannya. Paling tidak begitu dugaannya.

 

Sekarang anak itu berdiri termenung di hadapan hutan yang mengelilingi mansion—bangunan yang menjadi rumah sekaligus lokasi pertemuan para anggota penyihir setiap bulan purnama. Mansion itu berada di atas bukit. Selama 15 tahun hidupnya, ia belum pernah memasuki hutan itu karena hidupnya terisolasi di atas bukit tanpa pernah mengetahui apa yang ada di luar sana kecuali berasal dari percakapan yang ia curi dengar setiap malam bulan purnama. Ia selalu penasaran dengan apa yang ada di luar sana. Ia ingin melihat dunia tapi semua orang melarangnya pergi tanpa pernah memberitahu alasannya. 

 

Setelah menarik napas panjang, ia mulai melangkah memasuki hutan yang tumbuh rimbun di sekeliling bukit. Ia mematahkan pelindung tak kasat mata yang dipasang khusus agar dirinya tidak bisa kabur. Mereka bodoh meninggalkan perkamen mantra pelindung tak kasat mata di atas meja rapat, ucapnya dalam hati sambil tersenyum puas karena berhasil mematahkan mantra untuk pertama kalinya. 


Tanpa menoleh ke belakang lagi, ia berjalan menyusuri jalan setapak dengan langkah cepat. Ia merasa sangat bebas dan ingin segera turun dari bukit untuk melihat kota. Jantungnya berdegup kencang karena bergairah. Tidak sabar ia untuk mengetahui apa di luar sana.

 

“Mau ke mana, Rigel?” ujar seseorang dengan suara dingin sambil memegang kerah kemeja Rigel. 

 

“Arrrghhh!!! Lepaskan aku!!” seru Rigel sambil berusaha melepaskan diri dari tangan Caelus—kakak kandungnya yang berusia 10 tahun di atasnya. Rigel mengerutkan dahinya dan cemberut. Meskipun sekarang ia sudah menjadi remaja dan tinggi badannya bertambah 20 cm sejak setahun yang lalu, ia tetap tampak seperti bocah di depan mata Caelus. 

 

Caelus menghela napas dramatis setiap menghadapi adiknya. Rambut panjangnya yang berwarna hitam tampak digerai dan berkilauan di bawah cahaya rembulan. “Kau hampir menggagalkan ritual.”

 

"Jadi, selama ini aku disekap di mansion demi kelancaran ritual belaka?" tanya Rigel sambil bersedekap.

 

"Bukan begitu. Kau belum siap menghadapi dunia luar."


"Kau pernah ke luar sejak kau seusiaku," balas Rigel dengan mata berkilat. Rambutnya yang berwarna silver tampak berantakan tertiup angin malam. Di antara seluruh anggota penyihir, hanya dirinya yang memiliki warna rambut yang berbeda. 


"Yeah, tapi kau tetap tidak boleh."


"Kenapa? Aku hanya jaminan, kan?" 


"Bukan, Rigel. Hanya saja—ah sudahlah, kau harus kembali." Caelus tak sampai hati mengatakan kalau keberadaan Rigel memang sebagai jaminan bahwa ritual berhasil. Ritual itu harus mereka lakukan demi menjaga kekuatan supranatural mereka dan agar umur mereka panjang. Penyihir tertua di kelompok mereka bersia 205 tahun. Di kelompok lain yang berasal dari kota lain mungkin ada yang mencapai 500 tahun. 

 

"Tidak." Rigel menggelengkan kepala dan menjauh ketika Caelus menggapainya. "Tidak, sampai kau jelaskan alasanku diisolasi." Manik mata hijau Rigel semakin terlihat berkilat kekanakan. 

 

Caelus menyentuh pelipisnya dan memasang wajah frustasi. "Hanya tetua yang bisa bilang—"

 

"Kau kan sudah tua." 

 

Kali ini Caelus menjewer telinga Rigel. Ia paling tidak suka dibilang tua padahal ia sendiri anggota termuda kedua setelah Rigel. "Apa katamu?"

 

Rigel mengaduh pelan. "Cepat katakan. Hanya ada kita berdua di hutan!" Bocah itu masih bersikeras.

 

"Baiklah. Pertama-tama aku bertanya dulu. Sekarang kau sudah punya Ability?" tanya Caelus sambil berkacak pinggang. *Ability: kelebihan penyihir untuk mengendalikan elemen, atau kekuatan magis seperti membaca pikiran orang lain, meramal, teleportasi, berubah bentuk.

 

Rigel langsung bungkam. Ia sudah berumur 15 tahun, tapi kemampuannya masih belum muncul. Padahal kemampuan penyihir seharusnya muncul di usia anak-anak. Sedangkan ia sudah memasuki usia remaja. Hal itu membuat status penyihir Rigel diragukan meskipun kedua orang tuanya penyihir. Dia adalah anomali di kumpulannya. "Shut up." Dengan wajah kalah, ia berbalik badan dan kembali berjalan menyusuri jalan setapak yang menuju mansion.

 

Semudah itu membujuknya? pikir Caelus dan merasa sedikit bersalah karena bukan hanya itu alasan Rigel tidak bisa keluar dari area mansion. “Tidak semua penyihir punya Ability—”

 

“Dalam lima abad terakhir,” timpal Rigel. 

 

“Baiklah, kau boleh makan potongan kue blueberry punyaku setelah ini,” kata Caelus mencoba menghibur adiknya seraya menyamakan langkahnya dengan langkah kaki Rigel. 

 

“Memangnya aku anak kecil?” kata Rigel masih dengan raut wajah muram. “Jangan hibur aku.” 

 

Caelus meringis. Mereka pun berjalan dalam diam menyusuri lantai hutan yang lembap setelah diterpa hujan sepanjang hari. Untungnya, malam itu hujan berhenti dan cerah. Bulan purnama menampakkan dirinya di langit yang berwarna hitam pekat. 

 

Tiba-tiba Rigel berhenti melangkah ketika melihat sepasang mata berwarna hijau yang berpendar di tengah kegelapan. Sepasang mata itu berkedip lalu lenyap begitu saja seperti ditelan hutan. Namun, Rigel sama sekali mendengar suara langkah kaki cepat yang seharusnya menyentuh dedaunan kering di lantai hutan. Rigel mengerjapkan matanya tak percaya.  

 

“Kenapa berhenti?” tanya Caelus yang sudah berjalan di depannya. “Anggota yang lain menunggu kita.” 

 

“Barusan kau lihat itu?” tanya Rigel dengan wajah tegang. Makhluk itu bukan hantu. Mata yang baru saja muncul di tengah kegelapan jelas bukan hantu… meskipun gerakan makhluk itu terlalu cepat. Mata itu tampak seperti mata serigala. Tapi tak mungkin serigala bisa masuk ke area ini karena area ini terisolasi dan terlindungi mantra. 

 

“Apa?” Caelus mengangkat alisnya. 

 

Mulut Rigel terbuka untuk menjelaskan penampakan mata berpendar yang baru saja ia lihat. Namun, ia mengurungkan niatnya. “Sepertinya aku salah lihat.”

 

Mereka lanjut berjalan menuju mansion. Hening. Hanya terdengar suara daun bergemerisik akibat angin malam. Dalam diam, Rigel mencari mata serigala yang berpendar itu. Ia tak salah lihat. Ada entitas lain yang memasuki wilayah mereka. Caelus maupun Rigel merasa ada yang tidak beres. Ada ancaman tak kasat mata yang mengusik kehidupan mereka sebagai penyihir.

 

Detik berikutnya, terdengar ratusan kepak sayap burung gagak yang berteriak dan berterbangan ke udara. Mansion tidak pernah memelihara burung gagak. Tapi burung gagak selalu muncul jika ada seseorang yang mengembuskan napas terakhirnya. Burung dengan sayap sewarna langit malam itu akan terbang berputar-putar di atas mayat. Hewan itu adalah makhluk magis di dunia mereka dan kemunculan mereka hanya berarti satu. “Pertanda buruk,” ucap Caelus—dengan suara cemas.

 

“Siapa yang mati…?” 

 

Tapi Caelus kini berhadapan pada Rigel dan memegang bahu adiknya. “Kau diam di sini. Aku akan mengecek situasi. Jangan bergerak sebelum aku memberi tanda.”

 

Rigel menatap nanar abangnya yang tingginya sejajar dengannya. 

 

Sementara Caelus kini mencengkram bahunya dan mengguncangnya. “Kau mengerti?!!” 

 

Rigel menggeleng. “Biarkan aku ikut!” 

 

“Diam di sini.” Caelus memberikan mantra non verbal pada Rigel yang membuat Rigel tak bisa memberontak dan tubuhnya terpaku diam berdiri. “Aku janji akan kembali," ucap Caelus sebelum berlari menembus kegelapan malam seiring dengan tubuhnya menjelma menjadi seekor kucing hitam. Lemampuan luar biasanyanya adalah shape shifting. Namun, ia hanya bisa berubah bentuk menjadi kucing hitam. 

 

Meskipun mantra dari Caelus hanya bertahan selama satu jam, waktu berjalan terasa seperti berabad-abad. Rigel berdiri dengan kaku sementara pikirannya berkecamuk gelisah. Caelus telah melanggar salah satu aturan penyihir. Seorang penyihir tidak boleh memantrai penyihir lain kecuali dalam keadaan terdesak.

 

Ini bukan keadaan terdesak, geram Rigel dalam pikirannya. Ia seharusnya mengejar Caelus. Ia seharusnya ikut mengecek ke dalam mansion.

 

Di bawah sinar temaram bulan purnama, Rigel melihat ratusan burung gagak terbang berputar-putar di atas mansion. Pemandangan itu tampak sangat mengerikan. Seperti mimpi buruk. Burung gagak selalu menjadi pertanda kematian seorang penyihir. Tapi dengan burung gagak sebanyak itu… berapa banyak anggota penyihir yang mati?

 

Kenapa mereka mati? Penyihir tak semudah itu untuk mati ataupun dibunuh.

 

Rigel memikirkan para tetua dan para senior yang kemungkinan sudah meninggal. Bukankah mereka kuat? Mereka punya kekuatan magis kan?

 

Tidak. Tidak. Mereka tidak mati. Mereka pasti masih hidup. Burung gagak itu mungkin hanya ilusi buatan Alkana, pikir Rigel. Alkana adalah salah satu anggota mereka yang memiliki kemampuan membuat ilusi. Ia bisa mempengaruhi seseorang untuk melihat apa yang sebenarnya tidak ada di hadapannya. Alkana hampir seperti saudara perempuan bagi Rigel—meskipun usia mereka terpaut dua puluh tahun.

 

Rigel memikirkan anggota lainnya yang selama ini selalu melindunginya. Kota kecil itu hanya memiliki genap 30 penyihir dan setiap malam bulan purnama, mereka mengadakan ritual di mansion milik keluarga Centauri. Para penyihir itu memiliki kehidupan di kota kecil yang ada di kaki bukit sebagai warga biasa. Mereka hidup dengan makhluk lain seperti manusia, peri, vampir, kurcaci, bahkan para werewolf yang punya masa lalu dengan para penyihir. Mereka bekerja, bermasyarakat, dan menjadi warga kota yang taat aturan.

 

Siapa yang berani mengusik kehidupan kami?

 

Tubuh Rigel terjatuh setelah mantra itu berhenti bekerja. Tanpa pikir panjang, ia berlari cepat mendaki ke atas bukit. Di mansion tua itu, hanya lima orang yang menjadi penghuni tetapnya—termasuk dirinya dan Caelus. Mereka adalah anggota keluarga inti Centauri yang konon katanya klan penyihir tertua di dunia.

 

Beberapa kali Rigel tersandung akar pohon. Ia jatuh hingga membuat lututnya berdarah. Sementara tangannya tergores ranting-ranting pohon. Berulang kali ia merutuki dirinya sendiri. 

 

Begitu sampai di mansion, Rigel memanjat jendela tempatnya kabur tadi karena koridornya lebih dekat menuju halaman tengah mansion. Ia berjengit ketika mencium aroma anyir darah.

 

Panik.

 

Ia berlari menuju halaman tengah mansion yang selalu menjadi lokasi pelaksanaan ritual.

 

Napas Rigel tersengal. Ia menyaksikan seluruh anggota penyihir bergelimpangan di halaman tengah. Dengan langkah ragu. Rigel mencoba mendekati seseorang yang wajahnya tertutupi jubah. Ia yakin itu adalah tubuh tetua. Perlahan ia membuka jubah yang menutupi wajah tetua penyihir keluarga Centauri. “Kakek?”

 

Ia berjengit ketika melihat tatapan kosong Baron Frederick—kakeknya—yang sudah tak bernyawa.

 

Rigel mengecek mereka satu per satu dan menemukan hal yang sama. Mata mereka terbelalak dan menatap kosong bulan purnama. Wajah mereka pucat pasi tak bernyawa. Satu hal yang sama. Mereka semua mengalami luka cakaran raksasa di bagian tubuh mereka. Genangan darah mengelilingi tubuh mereka. 

 

Anak itu menghitung jumlah seluruh anggota penyihir untuk memastikan bahwa jumlah mereka kurang dari seharusnya. Ia berharap ada yang tidak hadir selain dirinya malam itu dan ia bukan satu-satunya yang bertahan hidup. Ia mencari wajah Caelus di antara mereka. Suara di benak pikirannya berteriak memohon agar Caelus berhasil melarikan diri sebelum malapetaka ini datang. 


Ia pikir ia tidak akan menemukan Caelus. Tapi, ternyata Caelus terkapar di ambang pintu dengan sorot mata kosong dan tubuh tercakar. Rigel menatap kakaknya dengan perasaan kosong. 


"Pembohong," desis Rigel lirih—teringat kalimat terakhir yang diucapkan Caelus padanya. 


Ia berdiri diam dengan wajah tanpa ekspresi. Tapi sebenarnya pikirannya kalut. Tubuhnya gemetaran. Perlahan ia menyadari bahwa ia satu-satunya yang tersisa. Seluruh penyihir di kota kecil itu habis kecuali dirinya dan Rigel tak punya akses untuk menghubungi penyihir dari kota lain karena penyihir yang lain merahasiakan segala informasi tentang jaringan antar penyihir darinya.   

 

Ratusan burung gagak masih berterbangan di atas mansion. Suaranya yang ribut sangat berisik. Suara burung gagak yang menjerit membuat Rigel merasa hampir gila.  Ia menutup telinganya. Bayang-bayang wajah keluarganya yang mati tergambar jelas di benaknya. Wajah Caelus yang mulus bagaikan porselen yang tak bernyawa terbayang di kepala Rigel.

 

Baru kali ini, Rigel tak tahu harus bagaimana. Apa yang harus dilakukannya? Bertahan? Membunuh dirinya sendiri? Memohon untuk dibunuh? Pada siapa?

 

“Selamat. Kau satu-satunya yang bertahan.”

 

Rigel terkesiap. Ia menatap nanar sekelilingnya—mencari sumber suara. Suara itu bergema. “Siapa? Perlihatkan dirimu!” teriak Rigel sambil menegakkan tubuhnya meskipun yang ingin ia lakukan saat itu hanyalah meringkuk di sudut tembok sampai semuanya berhenti.

 

“Kaum kalian harus musnah. Kalian cuma parasit dengan kemampuan berlebihan yang merusak keseimbangan dunia.”

 

Rigel menggertakkan giginya. Ia berharap bisa mengambil pedang yang ada di ruang penyimpangan. “Kau membunuh orang tak bersalah.”

 

Lalu tiba-tiba sosok itu muncul di ambang pintu yang bersebrangan dengan tempatnya berdiri. Wajahnya tak terlihat karena ia mengenakan masquerade yang hanya menutupi sebagian wajahnya. “Betapa naifnya dirimu. Kau pikir kaummu bisa hidup ratusan tahun tanpa dosa? Aku tidak membunuhmu karena kau lah satu-satunya yang tak punya kemampuan.”

 

“Kalau begitu bunuh juga aku,” ucap Rigel.

 

Sosok itu tertawa. “Membunuhmu tidak ada gunanya.”

 

“Aku penyihir sama seperti mereka!” teriak Rigel.

 

“Berhenti memohon. Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan.”

 

“Pengecut.”

 

“Diam. Tidak ada keuntungan bagiku untuk membunuhmu."


Hening. Rigel ingin menerjang orang itu. 


"Tapi kau senang bukan mereka semua mati? Aku sudah membunuh mereka yang mengisolasimu dan mereka yang menyekapmu di istana mungil ini."


"Kau membunuh keluargaku!" 


Rigel berlari menuju sosok itu. Namun, sama seperti kemunculannya yang misterius, pria itu tiba-tiba menghilang bersamaan dengan asap dan suara meletup. Rigel berdiri di tempat orang itu berdiri sebelumnya tapi tidak ada jejak kaki ataupun jejak bau.  


Hening. Anak itu terdiam selama beberapa saat dengan perasaan hampa yang tak bisa dijelaskan. Saat itu, ia hanya sendirian di mansion yang luasnya berhektar-hektar itu. Ia satu-satunya yang bertahan hidup. Dunianya hancur seketika dalam semalam. Pikiran irasional mulai membuatnya menyalahkan dirinya sendiri. Tidak seharusnya aku kabur. Tidak sepantasnya aku meninggalkan ritual. Bodoh. Bodoh. Bodoh. Ia merapal kalimat itu berulang kali hingga tubuhnya merosot pada tembok batu di belakangnya. 

 

Air matanya mengalir hingga tak ada lagi yang tersisa. Ia duduk semalaman di hadapan mayat yang bergelimpangan tanpa tidur sedetikpun meskipun seluruh syarafnya menjerit kelelahan. Ia berharap ini semua hanyalah mimpi buruk. 

 

Ketika langit berubah menjadi keunguan, ia berdiri dan melangkah lesu menuju kamarnya yang tak ingin dilihatnya lagi. Ia mengganti pakaiannya dengan pakaian bepergian lengkap. Lalu ia mengambil beberapa barang-barangnya. Ia mengambil peta dan pisau tajam dari ruang penyimpanan. 

 

Kali ini, ia benar-benar melarikan diri tempat itu. Ia tidak akan melupakan mata itu. Mata sang pembunuh yang tersembunyi di balik masquerade. 


────


Original Story

Cosmic Child Met A Whale

Oktober 06, 2024

༄˖°.🪐.ೃ࿔*:・

Once upon a time, a cosmic child roamed around the galaxies with curiousity. The galaxies were so wide that not every place had been explored. One day, she stumbled upon a big ocean floating in the outer space. She looked at the water levitating in the empty space and went inside it. The density felt thicker here. The first thing she found was a humongous fish. Eventhough she was always living alone in the galaxies, she was gifted by a basic knowledge about the world. So, she knew it was kind of fish. However, she still didn’t know its name. 


She waved her tiny hand. “Hellooo!”


The big fish let out a strange sound—like a sad hollow voice. And then the big fish talked, “I am a whale and I am not a fish.” It said like it could read the cosmic child’s mind and looked directly into her eyes. The whale's one eye probably was the same size as her entire body. 


The cosmic child was astounded. She looked at the whale creature and then she smiled politely. “Hello, Whale. I am just a cosmic child passing by a new place that I’ve never been to before. May I get inside your house?” 


The whale let out the strange voice again. “This is not my house, no one could claim this ocean alone. Welcome, little girl.” 


And that was how the cosmic child explored the ocean. The other fish with colorful scales were swimming around them. There was also a creature with tentacles that she had never seen before. The whale acted as her tour guide. While the whale was explaining the creatures around them, the cosmic child’s eyes were sparkling in wonder. 


The universe always had a way to give her something new to learn and explore. 

Original Story

At Least, We Celebrated

Juli 13, 2024

Painted by me

𝐀𝐭 𝐋𝐞𝐚𝐬𝐭, 𝐖𝐞 𝐂𝐞𝐥𝐞𝐛𝐫𝐚𝐭𝐞𝐝

 

Hujan deras mengguyur pemakaman sore itu. Seorang anak perempuan dengan gaun vintage dan jas lusuh kebesaran penuh tambalan bergeming di antara dua buah batu nisan. Ia bergeming di tempatnya duduk. Mereka yang baru saja dikuburkan bukan bagian dari dirinya, tapi ia merasa seperti ada yang dicabut paksa dari dalam dirinya saat tanah mulai menghapus keberadaan mereka.


Gadis itu mendekap tas kanvas yang selalu dibawanya pergi ke manapun. Isi tas itu adalah seluruh dunianya yang tersisa—bunga kering, bunga layu, dan bunga yang mati. Rambut coklatnya yang dikepang dua tampak lepek dan basah kuyup akibat terguyur hujan. Entah sudah berapa lama hujan turun. Ia kehilangan jejak waktu. Lama. Sebentar. Baginya sudah tidak berarti.

 

“Hari akan gelap, seorang gadis tidak boleh berada di kuburan pada malam hari.”

 

Gadis itu mendongak untuk melihat siapa yang baru saja menegurnya. Siapa yang baru saja membuat waktu kembali bergulir? Sekarang, ia jadi tahu kalau waktu sudah mulai malam. “Memang sekarang sudah berlalu satu hari?” tanyanya pada sosok yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

 

Sosok itu adalah seorang anak laki-laki dengan mata yang terbuat dari kancing.

 

“Kau sudah berdiam di sini selama seminggu,” jawab sosok menyeramkan itu dengan nada suaranya yang tengil. Dilihat dari wajah dan tingginya, mungkin dia masih usia remaja.

 

“Itu berarti… aku sudah melewati enam malam di sini dan aku baik-baik saja. Kenapa sekarang menyapaku?!” 

 

Sosok itu mengangkat bahu. Pakaiannya necis—tuxedo berwarna hitam dan celana bahan berwarna senada, lengkap dengan dasi kupu-kupunya. “Aku bosan melihatmu tidak berbuat apa-apa,” jawabnya. “Lagipula sekarang hujan. Kau bisa luruh jika terus-terusan berada di bawah hujan.”

 

“Lalu?”

 

“Ceritamu akan berakhir dan tidak ada kata ‘lalu’ lagi.” Anak laki-laki bertuxedo itu mengulurkan tangannya yang berbalut sarung tangan putih pada gadis yang duduk bersimpuh di hadapannya. Ia sedikit membungkuk dan berkata lembut, “Ikut aku. Kita akan berteduh.”

 

Gadis itu terkesima, tapi ia tidak langsung menyambut uluran tangannya. “Kemana?” tanyanya seraya mendekap tas kanvasnya semakin erat. “Tidak ada lagi tempat untukku.”

 

Lelaki itu menegakkan tubuhnya lagi. “Kata siapa?” 

 

“Kata semua orang di muka bumi ini.”

 

“Memang kau sudah pernah keliling bumi?”

 

“Sudah… Bumiku kan sebatas pekarangan rumah.”

 

“Bagaimana kalau aku mengajakmu ke luar batas bumi?”

 

“Ke luar angkasa?”

 

Anak laki-laki itu menghela napas. Ia mulai tidak sabar dan ingin segera berteduh dari hujan deras. Ia paling benci kalau topi dan pakaiannya basah. Ditambah, ia melihat bayangan hitam raksasa sedang menunggu untuk menyantap makhluk seperti mereka. Mereka akan dimakan kalau terlalu lama berada di dekat pemakaman.

 

“Tidak ada waktu untuk menjelaskan.” Ia pun menarik paksa tangan sang perempuan dan berlari cepat menyusuri jalan setapak yang dikelilingi tanaman bunga lebat yang merunduk akibat hujan. “Jangan lihat ke belakang!” serunya berusaha mengalahkan suara hujan. 

 

Gadis itu merasa seperti terbang karena cepatnya anak laki-laki itu menyeret tangannya. Pemandangan di sekelilingnya menjadi kabur. Ia ingin menoleh ke belakang—

 

“Kubilang, jangan!”

 

Ia terkesiap. Bulu kuduknya merinding. Maka, ia mengurungkan niatnya untuk menolehkan kepala ke belakang. Sekarang ia hanya bisa membiarkan anak laki-laki itu membawanya pergi—keluar bumi yang dikenalnya dengan kecepatan seperti angin badai. 

 

Apa yang ada di luar sana? 

 

Ia mengamati sekelilingnya sekilas. Pepohonan rimbun, tanaman yang ia tidak tahu namanya, bunga beraneka warna, kemudian tampak sebuah rumah penuh dengan daun dan lumut di dindingnya. Jika tidak ada pintu, siapapun tak akan menyangka kalau itu adalah bangunan rumah. Rumah itu seolah berkamuflase dengan alam—penuh daun dan warna hijau. 

 

Pintu utama rumah terbuka saat mereka mendekat. Mereka langsung melesat masuk ke dalam rumah—terlindung dari monster bayangan dan hujan lebat. 

 

Anak laki-laki itu melepas tangan sang perempuan. Ia mengecek keadaan di luar melalui celah di pintu yang berfungsi untuk menyelipkan surat. Sosok bayangan itu masih ada tapi sudah berhenti mengejar mereka. Ia memberi isyarat pada gadis itu untuk diam, sampai pada akhirnya ia memberikan kode aman dengan jari jempolnya. 

 

“Ada bayangan hitam di sekelilingmu tadi. Dia akan melenyapkanmu seperti abu kalau sampai bertatapan denganmu." 

 

“Tapi… Kau sudah menatapnya.”

 

“Mataku terbuat dari kancing, tidak akan mempan padaku,” jawab anak laki-laki itu seraya melepas topinya dan menggantungnya di gantungan baju. Kemudian, ia menuju perapian yang berada di ruang tengah untuk menyalakan api. Tangannya cekatan menyalakan sumbu api dengan korek untuk menghangatkan suhu dingin sore itu yang menusuk kerangka. “Aku belum tahu siapa namamu.”

 

“A-aku Aster,” jawab anak perempuan itu gugup, sambil menatap ke sekelilingnya dengan sorot mata penuh tanda tanya. Ia menggenggam erat tas kanvasnya—hal yang selalu dilakukannya kalau ia nervous. “Kau…?” Perlahan ia mendekati perapian untuk berkenalan dengan sosok bermata kancing itu.

 

“Panggil aku Robert,” jawabnya santai. Ia melemaskan pundaknya ketika api mulai menghangatkan tubuhnya. Kilau api terpantul pada mata kancingnya yang berwarna hitam. “Rasanya sedikit aneh punya teman bicara. Selama ini, teman bicaraku hanya dia.” Robert menunjuk ke seekor kelinci yang baru saja meloncat bersembunyi ke balik sofa. Mata sang kelinci sama seperti kelinci pada umumnya, tetapi mulut kelinci itu berupa jahitan silang. “Rabbit, tak perlu takut. Dia sama seperti kita, kok.”

 

“Ada lagi selain Rabbit?” tanya Aster. Matanya menyapu barang-barang yang ada di ruangan itu—sofa yang sudah usang, lukisan yang berdebu, meja kayu yang mulai rapuh, berbagai jenis jam yang berhenti berdetak, dan segala benda-benda kecil yang diletakkan sembarangan.

 

Robert menggeleng. “Selain aku dan Rabbit, penghuni rumah ini sudah lenyap dimakan bayangan.” Ia menepuk lantai berdebu di sampingnya supaya Aster duduk di sampingnya.

 

Aster menatap api yang berpendar di perapian. Ia masih mendekap tas kanvasnya untuk mengurangi rasa gugup. Hatinya bimbang. Kenapa ia percaya pada sosok bermata kancing itu? Kenapa ia membiarkan dirinya diseret sampai ke sini? Kakinya melangkah mundur. “Aku tak pantas berada di sini,” ucapnya dengan panik. “Aku harus keluar. Aku harus pergi. Aku tidak seharusnya meninggalkan pemakaman!” Kali ini ia berbalik badan, berlari menuju pintu, dan langsung membuka pintu utama rumah dengan kasar.

 

Namun, bukan hujan yang menyambutnya, melainkan padang bunga luas dengan langit biru penuh taburan bintang… Beraneka jenis bunga tumbuh tak beraturan di tempat antah-berantah itu. Bunga forget me not, bunga daisy, dan bunga aster menghiasi padan rumput di hadapannya. Matanya terbelalak lebar. Mulutnya terbuka lebar ketika melihat pemandangan luar biasa indah di hadapannya. Aroma petrichor dan wangi bunga yang semerbak itu menyambutnya. Seharusnya aroma itu menenangkannya, tapi justru membuatnya semakin panik.

 

“Tidak mungkin! Apa yang terjadi? Tempat apa ini?!”

 

Tanpa disadari, kakinya melangkah keluar dari pintu rumah dan langsung berpijak pada rumput hijau yang basah. Angin yang berhembus memainkan rambutnya. “Ini mimpi bukan?! Ini bukan kenyataan!” serunya. 

 

Hening. Robert sudah menghilang ketika ia menoleh ke dalam rumah. Api di perapian masih menyala dan interior dalam rumah itu masih sama seperti pertama kali ia datangi, tapi sekarang kosong. “Robert?” panggilnya. “Robert? Kau di mana? Jelaskan padaku tempat apa ini!”

 

Aster mencari ke setiap sudut rumah untuk mencari sosok laki-laki dengan mata kancing dan seekor kelinci bermulut benang jahitan. Ia membuka setiap pintu yang ada di rumah mungil itu. Ada dua pintu lain yang menuju kamar tidur dan kamar mandi. Tapi setiap ruangan itu kosong dan berdebu. Lalu, ia berjalan ke dapur hanya untuk menemukan wastafel rusak. Ia tidak tahu kemana perginya Robert maupun Rabbit.

 

Firasatnya mulai buruk. Penyesalan menyergap hatinya karena ia sudah melanggar peraturan pertama sejak ia hadir di muka bumi ini: ‘Jadilah anak yang patuh.’

 

Dadanya mulai terasa sesak. Ia memeluk erat dirinya sendiri seraya berjongkok di depan api perapian yang hangat. “Maaf, maaf, maaf, maaf, maaf,” rapalnya lirih. Ia seharusnya tetap berada di depan batu nisan. Ia seharusnya diam membusuk di tanah pemakaman. Ia seharusnya—

 

“Aster? Kemari!” ucap Robert tiba-tiba dari pintu utama rumah. Nada suaranya seolah tidak terjadi apapun. 

 

Spontan Aster mengangkat kepalanya. Ia pasti sedang bermimpi saat ini di atas tanah yang berisi mayat karena semua ini terasa gila, dan bisa-bisanya anak laki-laki itu bersikap biasa saja? Aster ingin marah tapi justru air mata yang mengalir keluar. Ia benci perasaan campur-aduk ini. 

 

“Hey? Kenapa menangis?” tanya Robert yang datang menghampirinya. Mata kancingnya yang berwarna hitam terlihat tanpa emosi, namun nada suaranya berubah lembut perhatian yang sangat menenangkan—tidak tengil seperti tadi.

 

“Aku sudah mati ya?”

 

“Kalau kujawab iya bagaimana?”

 

“Tapi… aku masih bisa merasa sedih.”

 

“Hanya yang hidup yang bisa merasakan sedih.” Sekali lagi, Robert mengulurkan tangannya yang berbalut sarung tangan putih. “Ayo.”

 

Kali ini Aster menyambut uluran tangannya. Lalu mereka berjalan keluar dari pintu rumah menuju padang bunga yang seolah tanpa batas. Aster menoleh ke belakang dan melihat bentuk bangunan rumah itu berubah. Sekarang, rumah itu tidak ditumbuhi tanaman merambat lagi, melainkan seperti bangunan baru. Ia bisa melihat cat rumahnya yang berwarna oranye.

 

Aster melihat ke depan lagi. Tangannya masih digenggam erat oleh tangan Robert. Rasa hangat terpancar dari telapak tangannya yang berbalut sarung tangan. Entah dari mana, sebuah meja lengkap dengan sepoci teh dan piring kue hadir di pekarangan rumah mungil milik Robert. Namun, mereka tak menuju ke meja itu. Melainkan, mereka berjalan ke tengah padang bunga. Ribuan bunga mengelilingi mereka. Kunang-kunang berterbangan di antara bunga-bunga itu. 

 

Mata Aster tak lepas dari bulan sabit dan bintang yang bertaburan di atas langit, sementara langkahnya mengikuti kemana Robert membawanya pergi. Mereka berjalan di tengah bunga-bunga yang tumbuh liar dan berhenti ketika Aster bertanya, “Aku berada di alam mimpi, bukan?”

 

“Tempat ini senyata eksistensi dan kesedihanmu,” jawab Robert dengan lagak misterius. 

 

“Apa?”

 

Lagi-lagi Robert berkata dalam teka-teki. Tapi Aster enggan mencari tahu jawabannya. Ia tidak peduli jika ini mimpi ataupun nyata. Ia ingin meraup keindahan ini. Ia belum pernah melihat langit secerah dan seindah ini. 


Gadis itu berlari di bawah langit biru dan cahaya bintang, di tengah bunga-bunga yang penuh warna, di atas rumput yang hijau. Kunang-kunang mengikuti setiap gerakannya. Embun dari rumput membasahi kakinya.  Tanpa sadar seulas senyum terlukis di wajah Aster yang pucat. Senyum pertamanya sejak ia hadir di dunia ini. Ia belum pernah bahagia. Rasa ini asing... tapi sangat menyenangkan. “Tempat ini menakjubkan…” ucapnya pelan. “Bagaimana kalau tempat ini berakhir setelah aku bangun?”

 

“Kau kan sudah bangun dari tadi,” ucap Robert dengan suara tengilnya.

 

Aster mengambil setangkai bunga berwarna kuning dan menyelipkannya di saku jas lusuh yang dikenakannya. Jas lusuh itu pemberian dari seseorang yang pernah menjaganya di dunia meskipun orang itu memberikan kenangan buruk. 

 

“Aku tahu rasanya,” bisik Robert. 

 

Tempat itu luar biasa hening sehingga Aster bisa mendengar setiap desir rumput dan ucapan sepelan apapun. “Rasanya apa?”

 

Robert menggeleng. Mata kancingnya seolah menyembunyikan sesuatu.

 

Tiba-tiba Rabbit melompat-lompat ke arah mereka untuk menyampaikan kalau jamuan teh sudah siap. Berhubung mulutnya dijahit, ia menyampaikan melalui tatapan mata yang hanya dapat dipahami oleh Robert. Mereka bertelepati.

 

“Tehnya sudah siap,” kata Robert pada Aster agar mereka berjalan menuju meja yang penuh berisi teh, susu, madu, kue, biskuit, dan krim vanila.

 

Robert menarik kursi untuk Aster duduk. Setelah Aster duduk, ia pun duduk di hadapan gadis itu.

 

“Dari mana makanan ini berasal?” tanya Aster teringat pada dapur dengan wastafel rusak.

 

“Tidak usah dipikirkan. Selamat menikmati,” kata Robert seraya menuangkan teh ke cangkir Aster. Ia tersenyum tengil. 

 

Aster mengabaikan kecurigaannya karena ia yakin akan segera bangun dari mimpi yang terlalu indah ini. Jadi ia harus menikmati hidangan kue dan teh di hadapannya. Ia menyantap sepotong kue rasa blueberry yang dihidangkan untuknya. Rasa krim lembut yang manis langsung lumer di lidahnya. Ia belum pernah makan kue seenak ini. Selama ini ia hanya makan roti kering yang rasanya tawar. Ini terlalu tidak nyata...

 

“Semua ini nyata, Aster,” kata Robert lagi seolah bisa membaca pikirannya. “Senyata aku dan Rabbit.”

 

“Maksudmu?”

 

“Aku tahu bagaimana rasanya tidak diinginkan dan duduk di depan batu nisan selama berhari-hari,” kata Robert dengan ekspresi wajah tak terbaca. "Aku tahu rasanya tidak diinginkan, tapi tetap harus bertahan hidup menghadapi itu semua karena tidak mungkin untuk melarikan diri." 

 

Aster tertegun. Semua itu tepat, ucapnya dalam hati. 

 

Robert mengangkat cangkir tehnya dan mengajak Aster untuk bersulang. “Hari ini kita akan merayakan.”

 

Aster masih tak mengerti kenapa mereka harus merayakan hal yang terlalu pahit. 

 

“Kita rayakan semua kesedihan kita.” Robert tersenyum.

 

Perlahan kepingan teka-teki di otaknya mulai tersusun. Aster membalas senyuman Robert yang terkesan menyebalkan tapi hangat. Satu hal lagi, Aster belum pernah diperlakukan sehangat itu. Ia mengangkat cangkir tehnya dan mempertemukannya pada cangkir milik Robert. Suara dua cangkir saling bertemu terdengar sangat keras di tengah kesunyian padang rumput.

 

Selamanya,” ucap Aster.

 

Mereka saling tersenyum penuh arti yang tak bisa mereka ungkapkan dengan kata-kata. Mata kancing Robert menatap mata Aster yang berwarna hijau.

 

Sedikit demi sedikit, pertanyaan mulai terjawab dalam benak Aster setelah ia meminum teh yang dihidangkan Rabbit. Untuk pertama kalinya, penyesalan karena sudah meninggalkan buminya itu berhenti. Ia biarkan bulan sabit, padang bunga, dan kunang-kunang menjadi saksi.

 

————

 

Keesokan harinya, tiga buah boneka usang tergeletak di depan sebuah rumah tua yang sudah lapuk dimakan usia. Sebuah boneka anak perempuan dengan jas lusuh dan tas kanvas berisi bunga mati. Sebuah boneka anak laki-laki dengan mata kancing dan pakaian tuxedo. Dan, sebuah boneka kelinci putih dengan mulut jahitan. Ketiganya tampak kumal dan basah akibat hujan. Tidak jauh dari mereka, terdapat meja mungil dengan satu set cangkir teh dan piring kue yang sudah retak dan pecah.

 

Beberapa ratus meter dari rumah tua itu terdapat pemakaman. Namun, para peziarah ataupun pengunjung pemakaman tak akan mampu menemukan rumah yang hampir ambruk itu karena rumah itu tersembunyi sempurna di tengah lebatnya tanaman merambat dan tumbuhan yang tumbuh liar.

 

Tidak akan ada yang tahu dan tidak akan ada yang mencari mereka. Selamanya terlupakan dan mereka pun menjadi abu.

 

Finn



p.s. Please kindly leave comment if you have read my story.