Silenced
November 30, 2025🚨
Kendaraan
berlalu-lalang tanpa henti meskipun malam telah larut. Rinai hujan perlahan
turun membasahi aspal. Jalan raya dipadati pengendara yang berebut ingin cepat pulang.
Suara klakson yang sahut-menyahut disambut sirine ambulans yang susah payah
menembus lampu merah. Persimpangan sesak menjadi muara kebisingan ibukota yang
berdenyut tak kenal waktu.
Seseorang
dengan kostum badut kelinci berdiri di bawah cahaya lampu lalu lintas yang
menyilaukan. Merah. Kuning. Hijau. Segerombolan patwal yang mengawal orang
penting menambah kegaduhan malam. Lampu rotatornya yang mentereng membutakan
mata. Ia mengerjap perih akibat peluh seraya mencari objek yang baru saja
menyeberangi jalan. Tanpa mengindahkan warna hijau benderang, ia berlari menerobos
jalan yang riuh. Roda-roda berdecit mengerem. Para pengendara motor yang
senewen meneriakinya karena pergerakan mereka jadi tersendat. Malam menjebak
tanpa pilihan.
“Lo
mau mati?!” teriak si badut kelinci murka—berusaha mengalahkan bising. Kepala kelinci
menutupi wajah cemasnya. Ia hampir menyaksikan pemuda di hadapannya terlindas.
“Maaf.”
Sosok di depannya berkata dalam bisindo, tapi rentetan berikutnya tidak sanggup
ia sampaikan melalui gerakan tangan. “Kita cari tempat aman. Rencana awal
batal!”
Si
badut kelinci sudah terlatih membaca gerakan bibir lawan bicaranya, sampai orang
sering kali lupa kalau dia tuli, ditambah artikulasi ucapannya yang selalu
jelas berkat terapi wicara sejak dia bisa mengingat. “Kenapa? Situasinya
parah?”
Samar-samar
tercium bau kebakaran. Mereka menoleh ke belakang dan melihat asap membubung
tinggi ke angkasa. Detik berikutnya, seseorang menubruk si badut kelinci.
Seseorang yang lain menyerempet kostumnya. Lalu ia tersadar orang-orang
membanjiri sekelilingnya dengan membawa selang air dan ember. Dia mencari
pemuda lebih pendek yang menjadi suarnya malam itu. Di mana dia? Kostum
badut yang berat ini membatasi gerakan dan pandangan periferalnya.
Tiba-tiba
ada yang menggapai tangannya dan menyeretnya pergi menjauh dari sumber
kebakaran. “Fokus, Gor. Jangan lepas kalau lo mau selamat.”
“Tapi
ada kebakaran. Kita bisa bantu!” Yegor menarik tangannya dengan kasar.
Pemuda
yang satu tampak geram pada kenaifan sahabatnya. “Enggak. Lo mau adek-adek lo
engga makan kalau ada orang yang liat muka lo?”
Dia benar. Kabur adalah cara yang
terbaik untuk saat ini.
Jembatan
penyeberangan tidak terpikirkan oleh Yegor untuk bersembunyi dan memantau
situasi. Mereka berhenti berlari di jembatan yang cukup jauh dari simpang
empat. Walau begitu, asap kebakaran gedung masih terlihat. Yegor mengangkat
sedikit kepala badut kelincinya. Udara malam yang berpolusi menyegarkan wajahnya
yang terkungkung kostum badut. Tidak ada siapapun di limban penghubung. Aneh.
Padahal biasanya jembatan menjadi lokasi strategis bagi para tunawisma yang
mencari tempat berteduh saat hujan. Tiba-tiba lampu jalan yang berwarna kuning
temaram meredup.
“Owen,
listrik padam.” Suara Yegor gemetar panik. Akses indra penglihatannya hilang
begitu cahaya dari lampu jalan dan gedung mati. Satu-satunya sumber cahaya
hanya lampu kendaraan jauh di bawah sana. Kegelapan total melingkupi jembatan
penyebrangan. “OWEN!!!” Ia melepas kepala badut kelinci dengan kalut. Tangannya
mencengkram susur jembatan. Salah langkah, ia akan jatuh pada bolong di lantai
jembatan. Umpatan terselip keluar dari bibirnya ketika teringat ponsel yang
bisa jadi sumber penerangan tertinggal di rumah.
Owen
muncul di kegelapan dengan layar ponsel menerangi wajahnya. Ia memberi isyarat
untuk merunduk di balik pagar jembatan. Tangannya mengetikkan sesuatu lantas
menyodorkan layar ponselnya pada Yegor. Ada drone di atas.
Yegor
mendongak dan melihat drone yang
mengerjap terang di kegelapan. Jaraknya dekat. Ia tidak mendengar dengungannya
tapi bisa merasakan semilir angin yang dihasilkan dari kipas drone. Malam mencekam, listrik padam,
ibukota bergejolak, asap membubung ke langit. Dan dia menjadi salah satu pemicunya. Seseorang di hadapannya menepuk pundaknya untuk menarik kembali
perhatiannya. Lo gapapa? Owen
menunjukkan layar ponselnya lagi. Cara komunikasi ini satu-satunya pilihan saat
keduanya tidak bisa saling melihat.
Anak
itu mengangguk tapi kondisinya mengatakan sebaliknya. Ia meraup udara dengan
rakus seperti baru tenggelam. Peluh membanjiri wajahnya yang pucat pasi.
Berlari di tengah keramaian lalu memanjat jembatan penyeberangan memakai kostum
bodoh ini sangat menguras energi. “Gue merasa bersalah sama Wira. Kostum
badutnya jadi kotor padahal besok dia pakek kerja.”
“Sempat-sempatnya
lo mikir gitu?” kata Owen—mendengus tertawa.
Noda
lumpur menghiasi kostum Yegor karena ia tidak sengaja menginjak trotoar rusak saat
berlari menembus hujan bersama Owen. Kostum itu memang milik kenalannya yang
tinggal di kampung padat penduduk pinggir rel kereta. Tidak jauh dari situ,
Yegor bersama adik-adiknya tinggal di kontrakan sempit. Dia terpaksa menyamar
karena statusnya ‘buronan’.
“Tadi
gue nemu ini,” kata Owen sambil merogoh saku jaket usangnya dan menyodorkan
selembar poster kusut pada laki-laki di depannya. Ia menyalakan lampu darurat kecil
yang selalu dibawanya di dalam ransel setelah drone pengintai pergi.
Keduanya
saling kenal sejak kecil. Owen menyaksikan hidup Yegor berubah drastis semenjak
ditemukan sebuah naskah novel misterius di rumah gedongnya waktu penjarahan.
Naskah itu berjejer dengan berkas data asli yang ditandatangani seorang menteri
yang baru saja lengser. Menteri yang sekaligus menjadi orang tua Yegor.
Yegor
memandang pas foto dirinya di selebaran poster fotokopi hitam-putih.
DPO1 TERSANGKA PIDANA. MAHASISWA HILANG. YEGOR
DIONYSIUS TJAKRA. 21. HUBUNGI 110. IMBALAN JUTAAN BAGI YANG MENEMUKAN.
Dia
tertawa gusar. Tersangka pidana apaan? “Mereka sampai begini cuma
gara-gara takut sama tulisan,” ujarnya sambil meremuk kertas itu. Namanya
tercemar.
Owen
menghela napas sambil duduk bertopang dagu di depan Yegor. “Tulisan gamblang yang
membeberkan rahasia negara.”
“Bukan
rahasia. Emang kenyataan kan kalau kondisinya sekarang sesuai kayak di data
itu? Orang-orang perlu tahu kebenaran walaupun harus lewat naskah novel yang entah
bagaimana lolos terbit dan skrip aslinya ada di perpustakaan rumah gue,” balas Yegor
getir. Pahit di lidahnya tidak pernah hilang sejak kedua orang tuanya lenyap meninggalkan
dirinya dengan huru-hara penjarahan dan menelantarkan adik-adiknya tanpa
penjelasan. Apakah mereka dibunuh, dipaksa lenyap, atau hanya pergi sementara,
ia tidak pernah tahu jawabannya. Bahkan ia tidak tahu siapa di balik nama pena Qudera Strandum—penulis menggemparkan
yang karyanya melejit dan tergeletak di rumahnya. Di catatan penulis, nama itu
terinspirasi dari kalimat latin quod erat demonstrandum2.
Siapa di baliknya? Mama? Papa? Atau orang lain? Yegor tidak punya petunjuk. Hanya
tanda tangan pada data di samping naskah yang familiar bagi Yegor. Ia membeberkan
datanya pada dunia dengan meretas situs vital milik negara, tapi bukan dia yang
menerbitkan naskah misterius itu walaupun waktunya terjadi bersamaan. Nahas. Identitasnya
bocor ke publik. Sekarang ia menjadi mangsa empuk.
“Bokap
nyokap lo masih belum ada kabar?” tanya Owen hati-hati.
Ekspresi
wajah Yegor hampa. Delapan bulan berlalu dan jawabannya masih sama. “Enggak ada.”
Siang-malam ia meretas informasi apapun yang bisa memberikan pertanda
keberadaan orang tuanya. Ia tidak bisa melapor pada pihak berwenang karena sama
saja menyerahkan dirinya yang berstatus DPO. Jadi ia melacak sendiri dengan
kemampuan meretasnya pada data apapun, termasuk rekaman CCTV yang terpasang di lampu
lalu lintas. Ia telusuri setiap jalan yang mungkin dilalui orang tuanya; setiap
penerbangan; setiap kemungkinan tempat. Nihil. Ia bertekad mencari jawaban meskipun
nyawa taruhannya, seperti malam ini, mengais informasi di keributan kota.
Waktunya
habis untuk mencari dan bekerja dengan nama palsu. Ia telantarkan kuliahnya. Ia
urus sekolah empat adik perempuannya dan juga sembunyikan identitas mereka.
Ganti nama depan, hapus nama belakang. Mustahil melanjutkan sekolah
adik-adiknya di sekolah internasional tanpa uang. Ia juga tidak mungkin berada
di ruang kelas sementara empat adik perempuannya bergantung pada dirinya. Maka,
ia mengubur mimpinya dan mengasah indranya yang lain lebih tajam.
Owen
menepuk bahunya lagi. Yegor mengerjapkan mata dan memfokuskan dirinya pada
keadaan di sekitarnya yang mulai terang. Hujan mulai mereda. “Kita balik ke
rumah sekarang.” Dia tidak tahu misi rahasia Yegor menemuinya malam ini.
“Huh?
Ga jadi buat grafitinya?” tanya Yegor seraya mengikuti Owen beranjak berdiri,
memakai kembali kepala badutnya. Pemuda itu tidak senaif yang dikira Owen.
“Target
lokasi gue di sana, tapi harus gue ganti sekarang.” Ia menoleh pada Yegor
sambil menunjuk simpang empat yang dipenuhi kendaraan dan manusia kalut.
Keduanya berdiri di pinggir susur jembatan selama beberapa saat. Angin bertiup
sepoi-sepoi. Pemandangan suram mewarnai langit malam yang kelam.
Owen
tidak punya pilihan lokasi lain selain pagar jembatan. Ia pun mulai beraksi
dengan cat pilox. Vandalisme adalah keahliannya. Ia menulis seruan kata yang sedang
digaungkan. Revolusi. Sementara Owen sibuk mencorat-coret, Yegor
memantau. Matanya yang tajam melebar ketika mendapati sosok berseragam taktikal
muncul dari tangga. Tanpa pikir panjang, ia menyeret lengan Owen yang masih
memegang cat pilox dan melesat menuruni anak tangga.
Yang
satu mengumpat ketika melihat ke belakang. Pengejar mereka memakai atribut pelindung
diri lengkap dan meneriaki mereka untuk berhenti, tapi tentu saja Yegor tidak
mendengar. Mereka berlari menyusuri trotoar, lantas keluar jalur pejalan kaki,
menyeberangi rel kereta. Detik yang sama, peluit kereta melengking di udara pertanda
gerbong semakin dekat. Owen menutup telinganya karena suara yang menggentarkan,
sementara Yegor sama sekali tidak terpengaruh.
Lampu
sorot kereta jarak jauh yang melaju di atas rel membayangi mereka. Badut
kelinci jalanan dan pemuda dengan cat pilox di tangan meloncati jalur kereta
dan masuk ke area perkampungan kumuh yang digenangi air dangkal. Oknum
berseragam terus mengejar, tapi gerbong kereta menghalangi bau jejak mereka.
Mereka
merangsek ke dalam gang-gang sempit dan baru berhenti ketika menemukan celah
tersembunyi di antara ruko pinggir jalan. Keduanya bersandar pada tembok kasar
yang memberi rasa aman sementara. Yegor menoleh ke arah jalan, menghela napas
lega ketika pengejarnya tidak tampak lagi.
Sementara
itu, Owen terbahak keras di sampingnya imbas dari adrenalin. Tawa frustasi memecah
kesunyian. Suasana area padat penduduk itu hening seperti dibungkam, sangat
kontras dibanding jalan besar utama ibukota. Namun, keheningan sangat nyaring
bagi orang yang membuka mata. Malam panjang yang tak kunjung berakhir, enggan memberi
pilihan selain bertahan.
SELESAI

0 comments