(Don't) Take My Breath Away
Oktober 12, 2025(Don't) Take My Breath Away
🕰️
“Kamu janji akan ingat namaku?”
Keduanya saling menautkan jari kelingking meskipun saling membohongi.
🕰️
Mereka akan bilang ini
tidak nyata. Tapi aku sedang terbangun saat ini.
Deras air sungai
mengisi keheningan hutan. Aroma lembap menguar di udara. Bunga liar
menyerbakkan wangi. Ranting pohon menumbuh rapat. Lumut hijau menyesaki tanah. Jalan
setapak menurun licin. Semua berakhir dan berawal di aliran sungai dangkal yang
deras.
Kejadiannya sangat
cepat. Ya, aku baru saja tergelincir dari jurang dan tercebur ke air yang
dingin. Untungnya sungai ini dangkal jadi aku tidak harus tenggelam. Namun, sekarang sepatuku kotor oleh lumpur,
begitu pula celana kargoku. Topi merahku lepas, tersangkut entah dimana. Kucoba
berdiri sambil mengaduh dan kusadari kalau tulang tibiaku terbentur keras,
membuat mataku berair. Tertatih-tatih aku berjalan menuju tepi sungai.
Bekas tanah
tempatku terpeleset melintang di atas sana. Ternyata cukup tinggi. Mungkin saat
ini rombongan open tripku menyadari ada salah satu dari mereka yang menghilang.
Aku berjalan pincang mencari jalur untuk mendaki. Beberapa kali aku melewati
pohon yang sama. Aku panik karena aku sudah kehilangan arah. Kulihat ponselku
yang tidak ada sinyal. Kompas di ponselku juga tidak berfungsi. Suaraku habis
untuk berteriak meminta tolong, tapi aku tetap tidak mendengar suara-suara yang
mungkin menjadi penolongku. Perjalanan menuju air terjun yang kupikir hanya
sebentar, ternyata berakhir seperti ini.
Ketika aku mulai
menyerah, mataku menangkap sebuah pintu yang berhias mawar dan tumbuhan liar.
Secercah harapan muncul. Mungkin pintu itu akan menjadi tanda peradaban
manusia. Aku mendekati dan membukanya, tapi apa yang kuharapkan terjadi? Sebuah
pintu ajaib yang menjadi jalan pintas ke arah rombongan?
Sebentar. Kenapa
ada pintu yang berdiri tegak di tengah hutan?
Aku terhenyak di depan
pintu dan duduk memeluk lututku. Mataku terpejam, lalu aku menangis dengan
suara pelan karena lebam di kakiku terasa semakin nyeri.
Kumohon. Siapapun.
Temukan aku.
Saat itulah, aku menyadari
suara kapal yang biasa terdengar dari jendela kamarku, di rumah yang jaraknya
ribuan kilometer dari tempat ini. Aku tersentak ketika mencium aroma asin laut
yang membuat hatiku perih karena aku rindu rumah. Aku pasti berhalusinasi
ketika melihat siluet sebuah kota dari kejauhan. Apakah ini yang sering
dibilang orang-orang yang hilang di pegunungan? Kota gaib. Pasar hantu. Tampaknya
aku sedang mengalami fatamorgana. Iya kan?
Tetapi, aku sangat
yakin dengan penglihatanku. Kota itu nyata. Kadang dunia memang bekerja secara
mustahil. Tidak ada salahnya melangkah menuju kota itu untuk mencari
pertolongan. Sudah berjam-jam aku berputar di area hutan, tapi sama sekali
tidak melihat tanda-tanda perkotaan. Perlahan aku berjalan memasuki area kota
sambil memeluk diriku diriku sendiri.
Kota itu berbau
seperti kota pinggir laut. Kedai-kedai yang penuh dengan masakan seafood berjejer
di sepanjang jalan setapak. Terdengar suara penggorengan panci di atas kompor
panas, derap langkah kaki yang terburu-buru, dan tawa anak kecil maupun orang
dewasa yang wujudnya gaib.
Tidak ada
siapapun.
Aku menatap
sekelilingku dengan ngeri. Tempat apa ini? Meskipun kepiting saus padang dan
udang goreng tepung sangat menggiurkan, aku sama sekali tidak tertarik untuk
menjaja makanan di tempat ini.
Kupaksa kakiku terus
berjalan. Aku mulai menyesal karena telah mendekati pintu tadi. Sebenarnya apa
yang terjadi? Aku ingin kembali ke rombongan dan pulang ke kost. Aku rindu kamar
kecilku. Aku juga rindu rumah yang jauh dari lokasi penempatan kerjaku.
Entah kenapa,
langkahku semakin berat. Punggungku membungkuk semakin dalam. Kurasakan
eksistensiku mengabur, menyusut, dan meleleh. Tanpa kusadari, langit biru
berganti menjadi senja. Warna indigo dan oranye menghiasi cakrawala tanpa awan.
Lalu … kulihat
penghuni kota di sekitarku.
Suara tanpa wujud
berubah menjadi mimpi buruk. Sekarang, aku bisa melihat makhluk-makhluk aneh
ini … atau hantu? Atau jin? Atau monster?
Rupa mereka
beraneka ragam. Manusia berkepala tikus. Tarantula raksasa bersepatu. Kera
berdasi. Makhluk bersayap kelelawar. Makhluk bermata empat. Termasuk makhluk
mitologi dari cerita rakyat, seperti genderuwo dan leak. Mereka menatapku
penasaran seolah aku ini satwa langka di kebun binatang.
Sorot mata yang
tertuju ke arahku membuat dadaku sesak. Aku ingin berlari kabur, tapi kakiku
terasa berat seperti menyeret belenggu tak kasat mata. Tatapan mereka
menghujaniku penuh selidik, sampai akhirnya indra penglihatanku menangkap
sesosok manusia di antara kemelut makhluk menakutkan.
“Tolong aku,”
bisikku mengibakan.
Manik mata hijaunya mengerling kepadaku. Kemudian,
tangannya menggapai tanganku. Ia menarikku menjauh. Aku pun berlari di
belakangnya tanpa beban, seolah kakiku tidak pernah ngilu akibat jatuh di
sungai. Tangannya yang menggamit erat tanganku membuatku bisa belari secepat
angin.
Kami sampai ke dapur
sebuah toko roti. Aroma roti yang lezat memenuhi udara. Hanya ada oven-oven
yang menyala di sekitar kami. Akhirnya, aku bisa menjauh dari makhluk-makhluk
mengerikan itu. Walau begitu, aku tetap tidak mengerti apa yang terjadi padaku.
“Aku takut,”
ucapku lirih. Tanpa sadar air mataku mengalir lagi dengan bodoh. Sial,
kenapa aku sangat cengeng hari ini. “Di mana aku?”
“Sekarang kamu
aman, tapi jangan berada di tengah keramaian seperti itu lagi ya.” Sosok
laki-laki penyelamatku berdiri di hadapanku. Suaranya lembut menenangkan,
meskipun tidak ada senyum di wajahnya.
Perlahan tubuhku
merosot di tembok belakangku. Aku berjongkok sambil tersedu-sedan. Bodoh. Air
mataku yang sebesar biji jagung terus berjatuhan. Hentikan apapun ini. Aku
benar-benar tidak tahu di mana aku. Apa aku masih hidup? Atau aku bermimpi?
Atau aku sudah gila?
“Makan ini,”
ucapnya tegas sambil mengambil roti yang baru saja matang dengan gerakan
diam-diam layaknya pencuri. Berulang kali matanya melirik ke arah pintu yang
menuju area toko roti.
“Enggak apa-apa?”
tanyaku sesenggukan.
“Cepat, soalnya
kamu memudar.”
“Hah?!” Lantas,
kuangkat tanganku yang transparan. “HAAAH????”
“Ssshhhh!” Dia
menyumpal mulutku dengan roti. “Gigit, kunyah, telan.” Mata hijaunya menatap
lurus ke mataku. Ia berjongkok di depanku. Jarak wajah kami sangat dekat, aku
bisa merasakan napasnya yang hangat di wajahku. Ia beraroma seperti petrikor,
mengingatkanku pada embun hujan di pagi hari.
Terpaksa, aku
menggigit roti abon yang ada di mulutku. Runtukan abon berceceran di lantai,
sementara rasa asin dan manis melumer di lidahku. Awalnya aku ragu, tapi doyan
dan lapar membuatku melahap roti itu dengan rakus.
Aku mengamati
tanganku lagi dan tanganku kembali padat. “Terima kasih.”
“Namamu siapa?”
Mata hijaunya mengerjap penasaran.
“Xevara,” jawabku.
“Kamu harus ganti
namamu di sini.”
“Enggak mau!”
tolakku bersikeras.
“Ya udah, sekarang
aku panggil kamu X.”
“Dih?” Seenaknya
saja dia mengganti nama orang.
Tiba-tiba pintu
yang menghubungkan ruang oven ke toko roti terbuka lebar. Seorang pria tambun
berkepala babi berteriak. “HEH PENCURI!”
Sosok tanpa nama
di depanku menggenggam tanganku lagi dan melesat kabur lewat pintu belakang,
tempat kami masuk tadi. Ternyata dia hanya asal membawaku ke mana saja yang
sepi, hanya untuk bersembunyi dari keramaian. Di luar, angkasa sudah gelap.
Kami berhenti di bawah jembatan yang menyala terang oleh lampu beraneka warna.
Makhluk-makhluk yang bukan manusia memadati jembatan sambil membawa
umbul-umbul. Suasana tampak meriah bak festival hari raya. Satu-satunya makhluk
berbentuk manusia ya, hanya laki-laki di depanku ini.
Kami bersembunyi
di bawah jembatan, mendudukan diri di rerumputan basah, membiarkan riuh
keramaian di atas kami.
“Namamu siapa?”
Aku balas bertanya.
“Aku udah lupa,”
jawab laki-laki itu sambil memandang riak sungai yang berkilauan di depan kami.
“Terus orang-orang
manggil kamu apa?”
“Y,” balasnya.
“Cuma Y?”
Dia manggut-manggut.
Aku termenung. Apa
dia juga sama sepertiku? Pertama, tersesat di tengah hutan, kedua masuk ke
dunia lain ini? Dalam diam, aku mengamati pakaiannya yang tampak seperti remaja
kota pada umumnya, kaos oblong dan celana jeans.
“Kamu harus
kembali ke duniamu besok, maksimal sebelum matahari tenggelam. Kalau enggak,
kamu bakal terjebak di sini selamanya.”
“Itukah yang
terjadi padamu?!” tanyaku asal ceplos tanpa berpikir dulu. Tentu dia tidak
menjawab. Ketakutan mulai merayapiku. “Aku harus bagaimana?”
“Pertama, kamu
harus cari tempat berteduh malam ini karena malam adalah waktu berbahaya.”
“Di mana?” selaku.
“Kedua, kamu wajib
ingat namamu sendiri,” lanjutnya tanpa mengindahkan dua pertanyaanku.
“Namaku Xevara …”
Entah mengapa lidahku mulai terasa kelu mengucapkan nama sendiri.
“Ingat baik-baik.”
Ia mengacungkan jari telunjuknya padaku. “Tapi rahasiakan. Soalnya nanti namamu
bisa dicuri.”
Aku mengangguk
patuh. Mengingat namaku sendiri adalah satu-satunya hal termudah. “Kalau dicuri
gimana?”
“Kamu enggak bisa
balik ke duniamu.”
“Hmmm, kalau
namanya dikembalikan lagi?”
“Tamat riwayatmu.”
“Terus caraku
keluar dari sini?”
“Menghadap ke
walikota. Kantornya ada di sana.” Ia menunjuk ke bangunan megah berwarna emas
nun jauh di sana. Ribuan lampu menerangi bangunan megah itu.
“Kamu mau
nganterin aku ke sana kan?”
“Enggak. Kamu
harus usaha sendiri.”
“Aku takut. Aku
enggak tau di sana harus ngapain?” Air mataku mulai menggenang lagi.
“Maaf, aku banyak
kerjaan. Lagian kamu sudah dewasa kan?” Lalu, dia beranjak berdiri.
Sedangkan aku
bergeming di tempatku duduk. Mataku terarah pada permukaan riak air sungai. Tidak
terbayang apa yang harus kuhadapi besok. Kota yang penuh dengan makhluk ganjil
dan monster ini membuatku gentar. Aku takut. Benar-benar takut. Belum pernah
aku setakut ini. Rasanya aku ingin berhenti. Bagaimana kalau aku tidak perlu
berusaha untuk kembali ke duniaku?
Tapi bagaimana
dengan pekerjaanku? Aku harus memberi uang untuk nenekku di rumah karena hanya
aku yang tersisa untuk merawat beliau. Aku bahkan sedikit menyesal karena
meninggalkan nenek untuk bekerja di luar kota. Aku mulai menyesal telah
memutuskan pergi jalan-jalan ke air terjun bersama kumpulan orang asing yang
kutemui di sosial media. Aku hanya mau menyegarkan pikiranku yang sumpek dengan
pergi ke alam, tapi kenapa berakhir malapetaka?
“Hey. Selama kamu
melakukan hal yang benar, kamu enggak perlu takut.” Ia menunduk, menepuk
pundakku pelan seraya tersenyum simpul.
Buru-buru aku
mengusap air mataku yang hampir jatuh. Y benar. Aku belum boleh menyerah sampai
matahari terbenam besok. Waktu terus berjalan. Perlahan aku beranjak berdiri
tanpa bantuan tangannya yang terbuka. “Sekarang aku harus ke mana?”
“Ayo ikut aku.
Akan aku antar ke tempat kamu bisa berteduh.” Kali ini, aku menyambut uluran
tangannya.
🕰️
Kami sampai di
sebuah kapal yang sedang sandar di dermaga. Kapal ini mirip dengan kapal Prince
Soya yang sering kulihat di pelabuhan dekat rumah. Lambungnya yang besar tampak
megah.
“Silakan masuk,”
kata Y sambil mengarahkanku ke sebuah tangga.
“Aku mau dikirim
ke mana?” tanyaku cemas.
Y menghela napas.
“Ini hanya tempat berteduhmu malam ini, bukan mau mengirimmu pergi.” Dia
berhenti sejenak, tampak menimbang-nimbang sesuatu dalam benaknya. “Ya udah,
kuantar masuk.”
Tangannya yang
kokoh menuntunku berjalan di atas
tangga. Angin bertiup membuat tangga reyot itu bergoyang sedikit. Aku hampir terpeleset
jatuh kalau tidak berpegangan pada susur tangan tangga.
Kami masuk ke
dalam kapal dan disambut oleh seseorang.
“Hai Bang Y!” Sosok
itu menyapa Y dengan nada centil sambil melambaikan tangan. Dia tampak
seumuranku, bukan manusia, tapi berpakaian dan berdiri seperti manusia.
Kepalanya berbentuk kelinci putih yang sangat cantik. Tangannya seperti tangan
manusia pada umumnya.
“Aku nitip
seseorang. Tolong jaga dia malam ini,” kata Y sambil menunjukku.
“Siap, Bang,” kata
nona kelinci dengan sikap hormat. Lalu dia terkekeh sambil menutup mulut
kelincinya. “Aku boleh mempekerjakan dia kan? Kebetulan malam ini lagi kurang
orang nih buat bersihin kapal.”
“Terserah.” Y
melirik kepadaku.
Spontan aku
menjawab, “Ya, siap!”
Y tersenyum geli
melihat sikapku. “Aku tinggal dulu. Jangan lupakan namamu dan misimu,” ucap Y pelan
tanpa terdengar nona kelinci. Sorot matanya begitu serius. Dia baru menuruni
tangga setelah aku mengangguk penuh tekad.
“Nah, ayo ikut
denganku!” Sekarang giliran nona kelinci yang menarik tanganku untuk mulai
bekerja. “Pertama-tama, kamu ganti baju dulu biar bajumu yang sekarang enggak
kotor.”
Dia berlari ke
lemari persediaan, mengambil sepasang pakaian, lalu menyodorkannya padaku. Aku
menerima dengan canggung sambil mencari-cari ruang ganti.
“Oh!” Nona kelinci
menjentikkan jarinya. “Ganti baju di kamarku yaa, biar kamu nyaman.”
Lantas dia mengantarkanku
pada sebuah kamar di lantai bawah. Dia berdiri di depan pintu sementara aku ganti
baju sendirian di dalam kamarnya. Kamar itu gelap, sumber penerangannya hanya
cahaya perak rembulan dari jendela yang terbuka. Ponselku ternyata tidak
berfungsi di tempat ini. Mati total. Padahal tadi masih ada baterai 50%. Aku
menyembunyikan ponsel dan selembar uang seratus ribu di sela-sela lipatan baju.
Sudah kubilang. Perjalanan ini kukira hanya memakan waktu maksimal dua jam,
jadi aku tidak membawa tas.
Buru-buru kuganti
pakaianku. Seragam itu sama persis dengan yang dikenakan nona kelinci. Dress
pink berlengan balon yang imut, dipadukan dengan celemek bermotif tartan. Aku
berputar di depan cermin sebelum keluar dari kamar nona kelinci. Sungguh pakaian ini membuatku seperti maid
lady.
“Yuk kita mulai
kerja.” Nona kelinci menyodorkan semprotan pembersih kaca dan kain lap kepadaku
begitu aku keluar. Sedangkan dia sudah siap menenteng ember dan pel. “Oh iya, nama
kamu siapa ya?”
“Aku …” Siapa? Aku panik. Seperti ada sesuatu
yang hilang. Lalu aku teringat namaku. “X. Panggil aku X.”
“Salam kenal, X.
Namaku Konijntje,” kata nona kelinci dengan suaranya yang menggemaskan.
“Eh? Bukan satu
huruf?”
“Hahaha, cuma Y
aja yang namanya satu huruf di sini. Sekarang sama kamu.” Ia mengedipkan
matanya.
Aku hanya bisa
tertegun. Tahu begitu aku bakal ganti namaku jadi nama lain yang bagusan dikit.
“Y itu kerjanya apa ya?”
“Hahaha, dia itu super sibuk.” Kami menaiki tangga ke ruang penumpang yang luas. Kursi dan kasur berjejer rapi. Ada beberapa makhluk lain yang juga sedang mengelap dinding kapal. Mereka juga memakai seragam yang sama. “X, kamu mulai lap semua kursi, lalu bersihkan kaca jendela ya!
Konijntje ternyata enggan memberitahu lebih banyak soal Y.
🕰️
Entah sudah berapa jam aku membersihkan semua kursi penumpang, jendela ruangan penumpang, layar televisi, sampai mengelap susur tangga. Aku capek membersihkan kapal ferry sebesar ini, bersama Konijntje dan staff lain yang bentuknya beraneka ragam. Tidak ada satupun dari mereka yang berupa manusia.
Sekarang mereka
memandangku seperti aku ini anomali.
Pekerjaanku
rampung. Aku pun termenung di depan salah satu jendela, memandang pesisir kota
ini yang sangat mirip dengan kotaku. Angin sepoi-sepoi memainkan rambut panjangku
yang dikuncir asal dengan karet bekas nasi bungkus. Malam itu sejuk. Benakku
mulai berpikir, aku harus segera kembali, mengajukan surat permohonan mutasi,
atau berganti pekerjaan yang bisa dekat kampung halaman supaya aku bisa menjaga
nenekku. Huft. Beginilah kalau hidup di negara kepulauan yang luas dan pemberi
kerjamu menjauhkanmu dari rumah.
“X, udahan yuk.
Kamu lapar?” tanya Konijntje yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku.
Aku menggelengkan
kepala saat dia menawariku segenggam nasi kepal. Tapi waktu mendengarnya
mengunyah, aku jadi lapar dan tergoda untuk ikut makan.
“Nih kalau mau.”
Konijntje mengambil satu nasi kepal lagi dari kresek yang di bawa.
Kami pun memakan
nasi kepal isi tuna—seperti yang biasa dijual di Indomaret Point—sambil bersandar
pada kusen jendela kapal. Aku masih tidak mengerti banyak hal. Tadi siang, aku
berada di tengah hutan yang seharusnya menuju ke air terjun, lalu sekarang aku
berada di atas kapal.
“Konijntje, kamu
tau kantor walikota di mana?”
“Tau dong. Ada di
sana.” Konijntje menunjuk ke sebuah bangunan megah di ujung sana. Jauh dari pelabuhan
tempat kami berada sekarang. “Kenapa?”
“Y menyuruhku
pergi ke sana. Caranya ke sana gimana?”
“Jalan aja,”
jawabnya tanpa memberi solusi. Aku yakin dia tidak pernah ke sana sebelumnya. Lalu
Konijntje menoleh kepadaku. Mata hitamnya yang bulat mengerjap. “Kamu pasti
tersesat di sini. Tempat ini enggak seharusnya didatangi manusia kayak kamu.”
“Bukannya Y juga
manusia?”
Konijntje
mengendikkan bahu. Nasi kepal kami sudah habis. “Kamu belum lihat wujud
aslinya.”
“Loh? Berarti dia
apa?”
Nona kelinci
mengangkat jari telunjuk di depan mulutnya. Lagaknya seperti mau membeberkan
rahasia misterius, ternyata dia malah berkata, “Aku juga enggak tahu.”
“Kamu kenapa bisa
ada di sini?” tanyaku penasaran.
“Tempatku memang
di sini.”
Suara bel
menyentakku dari lamunan.
Konijntje berkata.
“Yeay! Sekarang waktunya istirahat!”
Aku pun
mengurungkan niatku untuk bercerita dan bertanya lebih banyak. Suasana kapal
langsung ramai oleh berbagai makhluk yang berebut masuk ke tempat istirahat
masing-masing. Riuh obrolan, sambatan, dan candaan memenuhi seisi kapal.
Padahal tadi tidak seramai ini.
Begitu masuk ke
kamar Konijntje, dia langsung menggelar karpet untukku dan memberikan satu
bantal. Kemudian, aku langsung tepar.
🕰️
Sebelum pagi
merekah dan Konijntje bangun, mataku terbuka lebar. Aku menatap langit-langit
kamar. Kurasakan ayunan kapal yang bergerak di atas gelombang pesisir pantai.
Bukan mimpi. Ini semua kenyataan dan aku harus menghadapinya. Aku bergegas
mengganti pakaianku dengan bajuku yang kemarin—sweater ungu dan celana kargo
cokelat. Kulipat seragam lady maid di atas karpet. Kupakai lagi sepatu
kedsku. Pelan-pelan kugeser pintu kamar Konijntje, lalu aku menyelinap pergi ke
kantor Walikota.
Hati-hati kususuri
tangga kapal menuju dermaga. Begitu sampai di anak terakhir, aku meloncat ke
lantai kayu dermaga. Petualangan baruku dimulai.
Kota tampak sunyi
jika dibandingkan semalam. Matahari mulai terbit di ufuk Timur. Aku berjalan di
pinggir pantai dengan was-was. Ombak pantai memecah keheningan fajar. Tiba-tiba
sebuah trem berhenti di depanku. Aku pun menaikinya karena kutebak tram itu
mengarah ke kantor walikota. Di dalam tram, terdapat beberapa makhluk aneh yang
menatapku penasaran.
Perlahan aku
mencoba duduk sambil membuat diriku tidak terlihat.
Walau begitu,
pandangan pria berkepala buaya terus menusukku. Sementara burung hantu di
sampingnya yang bertengger di atas kursi, juga ikut mengamatiku seolah aku barang
ajaib. Aku sangat risih tapi aku tidak punya tempat bersembunyi.
Posisi tempat
duduk di dalam tram memang seperti tempat duduk di KRL, jadi penumpangnya duduk
berhadapan di kedua sisi.
Aku meringkuk di
tempatku duduk sambil berusaha mengalihkan perhatianku pada pemandangan jendela
di luar. Kuabsen satu per satu objek yang kuamati. Kapal ferry, kapal klotok,
dermaga, laut, matahari, pelelangan ikan,
pasar pagi, dan makhluk-makhluk aneh yang bekerja di pagi hari.
Kubiarkan tram
membuaiku dalam ayunan lembut.
🕰️
Markah hijau bertuliskan
kantor walikota menangkap perhatianku. Tram berhenti tepat di depan markah.
Lantas aku turun setelah lama dibuai oleh tram yang melaju lembut.
Aku mengikuti petunjuk
jalan yang menuntunku ke tangga emas. Ratusan tangga di depanku, mengarah ke
sebuah kantor yang lebih tepat disebut istana megah. Aku menghela napas, lalu aku
mulai menaiki tangga satu per satu hingga sampai ke depan pintu gerbang raksasa
yang terbuka. Cukup menguras energi. Meskipun udara masih dingin, matahari mulai
bersinar terang di atasku.
Ukiran tulisan
kantor walikota terpampang nyata di belakang meja resepsionis. Aku menghampiri
meja tersebut dan menghadapi sesosok makhluk berantena semut.
“Permisi, saya mau
bertemu walikota,” ucapku pelan. Aneh. Tidak ada siapapun di kantor itu. Kayaknya
aku datang kepagian.
Makhluk berantena
semut menatapku enggan. “Apakah sudah ada janji?”
Aku melirik ke
kanan dan ke kiri. “Sudah,” jawabku yakin?
“Silakan isi buku
tamu,” ujarnya sambil memberikan buku tamu kepadaku.
Aku kebingungan di
kolom pertama yang bertuliskan ‘nama’. Aku siapa? Aku siapa? Oh Tuhan, siapa
namaku? Sesuatu berawalan X? Tidak penting sekarang. Buru-buru aku tulis X,
tujuanku ke kantor walikota, dan tanda tangan asal.
“Baik.” Makhluk
berantena semut berkata datar. “Jadi Anda ini dari instansi mana?”
“Saya perwakilan
diplomat dari negeri lain,” jawabku ngarang.
“Sudah bersurat ke
Sekretaris Daerah sebelumnya?”
Aku menggerutu
dalam hati. Ya Tuhan, di tempat ini juga ada birokrasi ribet? Waktuku hanya
sampai matahari terbenam! “Ini keperluan mendesak. Tidak butuh surat,” ucapku tanpa
keraguan sedikitpun agar dia percaya pada penjelasan fiktifku.
Makhluk berantena
terdiam sejenak. “Baik. Silakan masuk. Ruang walikota ada di lantai tiga.
Tangganya ada di sisi kiri gedung."
Aku langsung melesat
ke arah yang ditunjuk makhluk berantena. Tangga lagi. Aku menaiki tangga hingga ke lantai tiga. Suara sepatu kedsku
bergema di lorong tangga. Belum ada siapapun yang lewat selain diriku.
Sesampainya di
lantai tiga, aku menemukan papan penunjuk yang mengarahkan ke ruang walikota. Belok
kanan. Aku berjalan menyusuri selasar panjang yang memiliki puluhan pintu
berjejer. Ruang walikota berada di ujung koridor ini.
Sepasang mata
raksasa di pintu ruang walikota menyambutku, mendelik ke arahku tanpa bicara,
seolah sedang mengevaluasi apakah aku layak masuk. Aku bergidik ngeri lalu aku
berdeham. “Perkenalkan. Saya perwakilan diplomat dari negeri tetangga,” ucapku penuh
keyakinan. Aku harus bisa keluar dari dunia aneh ini dan kembali ke duniaku
apapun caranya, bahkan jika harus berbohong ratusan kali. Aku benci berbohong,
tapi aku tidak punya pilihan.
Sepasang mata itu mengerjap
sekali, kemudian membukakan pintu yang tingginya lebih dari lima meter,
mempersilakanku untuk masuk. Semua yang ada di kantor ini serba raksasa dan
berwarna emas menyilaukan. Dindingnya diberi
cat emas tanpa cela. Lantainya bersih kinclong tanpa debu. Langit-langitnya
dihiasi lampu chandelier terang-benderang.
Begitu pula saat
aku masuk ke ruangan walikota. Ruangan itu penuh dengan ornamen, boneka,
bantal, sofa empuk, meja panjang, permadani, dan lukisan abstrak. Aroma ruangan
itu berbau seperti dupa. Atapnya terbuat dari kaca sehingga cahaya matahari
bebas masuk dengan leluasa. Sejauh mata memandang, aku selalu menemukan objek
baru. Rak buku berisi cinderamata, tropi, dan batu berlian. Meja panjang berisi
buah-buahan segar. Patung kupu-kupu raksasa. Guci keramik antik. Sangkar burung
merak. Vas bunga anggrek.
Aku pun duduk
ragu-ragu di salah satu sofa. Kedua tanganku mengepal di atas lutut. Tegang. Di
mana sang walikota?
Lalu, aku
menyadari kalau ruangan walikota juga dikelilingi pintu-pintu yang terbuat dari
kayu meranti sama seperti selasar tadi.
Apa sang walikota
ada di balik salah satu pintu? Aku menunggu dan menunggu tanpa kepastian.
Ruangan itu sangat senyap. Lama-lama aku mengantuk akibat sinar matahari dan
embusan angin dari jendela yang terbuka.
Suara berdebum
seperti ada yang jatuh membuatku tersentak dari kantuk. Kubuka mataku lebar. Jantungku
bertalu. Penasaran aku menoleh ke kanan dan kiri, mencari sumber suaranya, selanjutnya
aku menangkap satu pintu yang berbeda. Dengan waspada, aku mendekati pintu itu.
Mataku mulai memantau melalui celah pintu.
Aku terpukau pada
pemandangan di depanku. Di dalam ruangan itu, seseorang yang memiliki sayap
putih duduk membelakangiku dengan sayap terbentang di lantai. Bulu-bulu
berwarna putih berterbangan di udara. Sebuah jendela raksasa yang menghadap
langsung ke arah laut terbuka lebar. Samar, aroma anyir darah merebak. Lalu, warna
skarlet mulai mewarnai salah satu sayapnya yang patah.
Saat dia
mengangkat kepalanya, aku mengenali sosoknya berkat rambut pirang masai penuh
jelaga dan bahu yang lebar. Dia penyelamatku semalam!
“Y!” Aku berteriak.
Dia tak
mendengarku atau pura-pura tidak dengar? Kucoba membuka pintu tapi pintu itu
dipasang rantai yang membuatnya tak bisa terbuka.
Y membungkuk lagi sambil
mencoba mengangkat sayapnya. Hanya satu sayap yang terangkat. Yang satu lagi
hanya bergetar dengan menyedihkan. Ia terus memaksakan diri untuk mengangkat
sayapnya. Detik berikutnya ia mengerang, terengah, kesakitan. Ada sesuatu yang
salah.
“Y! BUKA
PINTUNYA.” Aku menggedor pintu keras. Dia sudah menolongku di dunia
antah-berantah ini. Aku tidak mungkin membiarkannya terluka begitu saja.
“TOLONG BUKA!”
Ia tetap mengabaikan
teriakanku. Salah satu tangannya menggapai sayapnya yang patah. Ia tampak tertegun
ketika lumuran darah membasahi tangannya. Darah dari sayapnya yang patah semakin
melebar. Lukanya parah. Pakaiannya kotor oleh abu bagaikan baru saja
melewati malam panjang yang penuh pertarungan.
Akhirnya Y menoleh
kepadaku. Bukan tatapan lembut yang kudapatkan, melainkan tatapan hewan buas.
Dia menggerakkan
tangannya ke arah pintu dan seakan ada sihir, pintu itu berdebam di depan
wajahku.
“Y! Y!” Aku
menggedor-gedor dan menarik gagang pintu panik. “Y! BUKA!”
Tiba-tiba seseorang
muncul di sebelahku.
“Selamat pagi, Kak
X.”
Sontak aku
melangkah mundur. Aku menatap siapa yang baru saja mendatangiku. Ternyata seorang
anak kecil dengan mata kancing, jas berekor warna hijau, dasi kupu-kupu, dan
topi bundar bergaya era victoria. Usianya mungkin sekitar enam tahun. Ia
memegang sebuah mobil-mobilan yang terbuat dari kayu.
“Pagi?” ucapku
seperti sedang tertangkap basah.
“Kakak cari
siapa?” tanya si anak kecil dengan nada polos.
“Walikota,”
jawabku spontan. Terbersit di pikiranku untuk bertanya misi baru yang mendesak—menyelamatkan
Y. Hanya Y satu-satunya yang mengerti kondisiku sekarang. “Kamu bisa bukain
pintu ini?” tanyaku sambil tersenyum pada victorian child di hadapanku.
“Bisa, tapi mati.”
“Hah?”
“Lewat luar.” Si
anak kecil bermata kancing menunjuk ke jendela.
Aku menepuk dahi.
Baiklah, ternyata susah juga menghadapi bocah kematian ini. Kembali ke misi
utamaku pergi ke sini. “Kamu tahu di mana Walikota?”
“Walikota lagi
keluar kota,” jawab anak kecil itu.
Berikutnya, aku
berjongkok di depannya sambil menutup muka. “Hiks, terus gimana caraku keluar
dari sini?”
“Tunggu Mama aja,”
jawab si anak kecil masih dengan nada polos. Mata kancingnya terus menatapku.
“Emang Mama kamu
siapa?” balasku bertanya.
“Walikota.”
Aku tertegun. Anak
ini adalah putra walikota? Lalu aku menyimpulkan kalau walikota adalah seorang
wanita. “Kamu tahu Mama kamu ke kota apa?”
“Kota yang jauh,
harus terbang buat ke sana.”
Baiklah, apapun
caranya akan kususul Walikota ini sebelum matahari terbenam. “Siapa yang bisa
terbang?”
Si anak kecil
menunjuk ke arah pintu tempat Y terkurung.
Kuakui
pertanyaanku sangat bodoh. “Tapi sayapnya dia lagi patah. Ada cara lain enggak?”
kataku dengan nada sedih.
“Kita main petak
umpet yuk!” Si bocah viktoria mengalihkan percakapan.
“Aduh, engga ada
waktu buat main.”
“Nanti aku bunuh
kalau enggak mau main,” kata anak kecil itu serius. Sepasang kancing berwarna
emas menatapku dengan sorot tajam. Aku menelan ludah. Ucapannya terdengar jauh
dari kata bercanda.
“Oke deh. Oh iya,
namamu siapa?” Yang benar saja aku takut anak kecil.
“Namaku Robert.
Aku yang jaga, kamu sembunyi!” titahnya. Robert mulai menutup mata kancingnya
dengan kedua tangannya lalu berputar di tempat sambil berhitung. “Satu … dua …
tiga …”
Aku menoleh ke
arah jendela yang terbuka. Aku akan mencoba menyusup ke ruangan Y karena setiap
ruangan di bangunan ini punya jendela besar. Ditambah, kemungkinan besar
ruangan Y ada di sebelah ruangan ini. Aku pasti akan bisa menyelinap masuk ke
sana.
“Delapan …
Sembilan …”
Perlahan aku
memanjat jendela dan meloncat keluar pada pijakan di sekeliling jendela.
Beruntung dinding kantor walikota memiliki pijakan yang bisa membuatku berjalan
sambil menempel pada tembok. Aku melihat ke bawah. Ada pagar runcing yang siap
menyambutku jika aku runtuh. Pagar itu mengelilingi taman labirin. Aku langsung
mendongak ke langit yang biru tanpa awan. Tidak ada waktu untuk merinding
ketakutan.
Kakiku terus melangkah
sambil menempel pada tembok, melewati bata demi bata, hingga akhirnya sampai
pada jendela besar yang terbuka. Aku mengintip ke dalam. Sosok bersayap itu
sudah terkapar di atas lantai berwarna-warni.
“Y!” Aku melompat lincah
dari jendela, mendekati Y yang tersungkur menyedihkan, dan meletakkan jari
tanganku di depan hidungnya. Bernapas. Dia masih hidup.
Lalu aku melihat
sayapnya yang patah. Tanganku terulur untuk menyentuh lukanya yang dalam dan
parah.
Berikutnya aku
mengamati ruangan itu untuk mencari kota P3K atau apapun itu yang bisa
membantunya. Ruangan itu memiliki sebuah tempat tidur bersprei putih, rak buku,
meja yang penuh dengan pernak-pernik, peti terbuka yang berisi pakaian, dan
lemari obat. Aku bergegas menuju lemari obat untuk mencari apapun yang bisa
menolongnya.
“Kenapa dia punya
banyak sekali obat?!” gerutuku sambil mengecek satu per satu botol ramuan obat.
Setiap botol diberi keterangan kandungan zat kimia dan khasiatnya. Pil, salep,
dan obat cair berbaris tanpa urutan. Sangat berantakan. Berbagai macam tabung
reaksi dan gelas kimia beraneka warna berjejer. Ungu, biru, oranye. Sepertinya
lemari kaca ini bukan hanya berisi obat karena aku mulai melihat erlenmeyer
berisi klorin.
Tiba-tiba aku
menemukan sebotol alkohol murni dan povidone iodine. Aku merampasnya dan
kembali pada tubuh Y yang terkapar. Sepertinya luka ini harus dibersihkan
terlebih dahulu dengan cairan antiseptik. Sial, aku tidak tahu pertolongan
pertama pada sayap patah!
Aku membuka tutup
botol untuk meneteskan salah satu isi botol pada lukanya.
“Apa-apaan ini?!”
Pintu menjeblak terbuka dan seorang berkepala arloji berteriak padaku. Suaranya
kasar dan dalam. Ia terdengar seperti pria dewasa hanya saja kepalanya
berbentuk arloji dan ia berpakaian seperti detektif amatir. Kakinya melangkah
pincang masuk ke ruangan Y. Aduh makhluk apa lagi ini?
Dia merebut botol
di tanganku dan mengecek komposisinya. “Y bukan butuh ini!” geramnya memarahiku
sambil melangkah ke lemari obat untuk mengembalikan botol kaca.
“Terus dia butuh
apa?”
Sosok berkepala arloji
itu mendekati Y, memastikan nadinya masih berdenyut, mengukur suhunya dengan
punggung tangan, dan menggoyangkan sayap Y yang patah untuk mengecek seberapa
parah. Y tetap bergeming selama si kepala arloji mengangkat tubuh Y agar Y
bersandar pada kursi. Darah berceceran di lantai.
“Dia cuma butuh
bangun!”
“Hah? Jelas-jelas
dia sekarat!”
Sosok berkepala arloji
menggerunyem sendiri sambil mengubek-ubek ramuan di lemari obat. Akhirnya ia
mengambil salah satu botol kaca berisi zat entah apa dan kembali lagi mendekati
Y dengan susah payah. Kakinya yang pincang menghambat manuvernya. Ia memutar
tutup botol kaca, membuka mulut Y, dan mencekoki Y dengan apapun isi botol itu.
Mata Y terbelalak.
Ia menyembur dan terbatuk-batuk karena tersedak. Tangannya mendorong si kepala arloji
dengan kasar karena si kepala arloji terus-terusan mencekokinya. Sontak ia
mendudukan dirinya dengan tampang awut-awutan. Matanya yang tadi sempat
berkilat liar berubah menjadi lebih ... manusiawi.
“Kenapa kau
membangunkanku dengan gin dan tonik?” Ia meringis ketika merasakan sayapnya
yang patah.
“Kau harus sadar
supaya aku bisa mengobatimu!” kata si kepala arloji parau.
“Jangan pakek
alkohol juga dong. Aku bukan kau. Aku benci miras,” gerutu Y sambil memegang
kepalanya lalu menyentuh sayapnya yang patah lagi.
“Terus kamu
ngapain simpan ginian?” Jika si kepala arloji punya wajah, aku bisa
membayangkan dia sedang menyeringai tengik.
Y hanya menatap
tajam si kepala arloji. Dia mengalihkan topik percakapan. “Aku menyimpan obat
buat sayap yang patah di—” Ucapannya terputus ketika manik matanya mengerling
pada botol kaca berwarna hitam di tangan si kepala arloji. Ternyata obat yang
dia butuhkan sudah dipegang si kepala arloji.
“Diam! Aku akan
meneteskannya ke sayapmu yang busuk ini.” Si kepala arloji mengangkat sebuah
botol berisi obat—yang konon katanya—untuk sayap patah. Asap menguar dari botol
itu.
“Tolong tuangkan
semua saja,” pinta Y sambil membungkukan punggungnya, bersiap diobati. Lantas
si kepala arloji menuang tetes demi tetes cairan berwarna perak yang berkilauan
pada luka di sayap Y.
Samar terdengar
suara berdesis. Y menarik napas dan mengatupkan rahangnya. Punggungnya
menegang, lalu ia jatuh menunduk. Napasnya megap-megap. Ia biarkan dirinya
membungkuk semakin dalam pada lantai, sementara kedua tangannya menjambak
rambutnya sendiri. Giginya gemertak. Sayapnya yang utuh terentang ke atas.
“Ha! Cuma dua
puluh tetes aja, kau sudah seperti ini.”
Y tidak merespons
apapun. Aku tak bisa melihat wajahnya karena saat ini ia membungkuk seperti dalam
posisi bersujud. Beberapa helai pirangnya jatuh ke lantai.
Aku menyaksikan
bagaimana benang-benang fibrin secara luar biasa tumbuh menutup lukanya. Asap
berwarna perak menguar dari lukanya yang menyembuh. Sayapnya yang terkulai itu perlahan
menyatu kembali ke punggungnya. Selama proses itu berlangsung, ia mengepalkan
tangannya hingga kukunya menancap pada telapak tangannya, terlihat jelas ia
sekuat tenaga menahan efek metode penyembuhan yang menyiksa itu.
“Kau boleh
teriak,” kata si kepala arloji parau. Y hanya menggeram dengan gigi gemeletuk.
Tak lama kemudian,
desisan di punggung Y berhenti. Perlahan ia kembali menopang tubuhnya dengan
kedua tangan, mengangkat kepalanya, lalu mendudukan dirinya di atas lantai
seraya menghela napas lega. Wajahnya pucat pasi. Keringat mengalir deras di
pelipisnya. Energinya terkuras habis setelah jaringan di sayapnya menyatu kembali
secara paksa. Kepalanya terkulai lemas, sementara kedua sayapnya sudah bisa
bergerak lagi seperti sedia kala. Sangat indah, meskipun lumuran warna merah
menodainya.
“Laporkan yang
terjadi,” kata si kepala arloji tanpa mengindahkan Y yang baru saja melewati
hal yang buruk. Nada suaranya layaknya komandan militer. Tampaknya mereka lupa ada orang lain di
ruangan itu.
“Penyerangan,”
jawab Y sambil bersender pada kaki kursi di belakangnya.
“Tidak biasanya,”
kata si kepala arloji sambil menyentuh dagunya dengan tangannya yang bersarung
tangan. Dagu? Maksudku bagian bawah kepala arlojinya.
“Serangan mereka kacau!”
seru Y dengan sorot mata nanar. “Mereka tidak waras! Buat apa menyerang acak
seperti itu? Strategi idiot. Kuselesaikan dalam sedetik.”
“Terus kenapa
sayapmu sampai patah gitu?” tanya si kepala arloji sambul mengembalikan botol
obat sayap patah ke lemari kaca.
Y mendengus. Ia
menyibak rambutnya. “Lengah sedikit. Untung aku masih bisa terbang ke
sini.”
Apakah aku berubah
jadi transparan lagi? Aku sedang berdiri di dekat jendela.
“Istirahatlah,”
kata si kepala arloji sambil melipat tangan di depan dada. Suara detak jam
terdengar dari kepalanya.
“Tadi malam memang
sangat ganjil. Sebelum penyerangan, aku menemukan seorang manusia tersesat
masuk ke dunia ini. Mungkin ada kaitannya dengan lemahnya perbatasan semalam.”
“Maksudmu ada
gadis cantik tersesat di sini?”
“Yeah. Portal di
pintu itu memang sudah seharusnya diganti—”
Si kepala arloji
berdeham, lalu aku muncul di depan Y. Spontan Y langsung menghilangkan sayapnya
dan ia pun kembali terlihat seperti cowok biasa pada umumnya. Helai-helai sayap
berterbangan di sekelilingnya. Ternyata begitu caranya menyembunyikan sayap
magisnya.
Y membelalakkan
matanya. Pagi itu ia memakai kemeja knitwear putih yang berlumuran jelaga dan celana
chino berwarna coklat—sungguh berbeda dengan penampilannya semalam. “Loh X? Kamu
ada di sini dari tadi?”
“Kok malah nanya?
Kan kamu yang suruh aku ke kantor walikota. Kalau ternyata kamu tinggal di
sini, kenapa kamu enggak mau nganterin aku?” ucapku tajam.
Si kepala arloji
mengangkat bahu, bersikap tak acuh. Kemudian, ia melipat kedua tangannya di
depan dada, menyandar pada tembok, menonton percakapan kami.
Sementara itu, Y
gelagapan. “Sudah kubilang, aku banyak kerjaan. Aku harus lanjut kerja,”
kilahnya.
“Y, kau harus
istirahat,” sela si kepala arloji tegas.
“X, aku minta maaf
karena semalam aku tidak yakin Walikota mau memberimu ruangan di sini,” sambung
Y dengan mata berbinar penuh penyesalan.
Pipiku merah
padam. Benar juga, tak mungkin dia mengajakku ke sini, sementara aku tidak tahu
harus tidur dimana. Masa aku langsung tidur di kamarnya. “Terus di mana
Walikota hari ini? Kata Robert, dia sedang keluar kota.”
“Eh—?” Y tergagap.
“Robert benar,
Walikota ada dinas luar mendadak pagi ini.” Si kepala arloji memvalidasi
pernyataanku.
“Tolong antar aku
atau please beritahu aku di mana pun
lokasi dinas luarnya berada, biar aku yang datengin,” ucapku memohon.
Si kepala arloji mengangkat tangan seolah tak mau tahu situasiku, lalu beranjak keluar. “Aku
pergi dulu.”
“Horloge! Tunggu!”
Y beranjak berdiri, lalu berlari mengejar Horloge yang sudah berdiri di luar
pintu. Jadi nama si kepala arloji adalah Horloge. “Biarkan aku mengakses pintu,” kata Y pada Horloge dengan
genting.
“Aturannya sama,
Y. Harus dengan persetujuan Walikota.”
“Kau pemegang
aksesnya.”
“Y, taruhannya
nyawa buat mengakses pintu tanpa otoritas yang sah. Ditambah kau baru saja
terluka. Mau nyari mati ha?”
Detik berikutnya,
seorang anak kecil bermata kancing emas muncul di selasar depan kamar Y. Kamar
Y memang memiliki dua pintu, satu menghadap ke selasar dan satu menghadap ke
ruang kantor Walikota. Aku mengenali bocah yang sedang mengentakkan kakinya
itu.
Oh tidak! Bocil
kematian muncul lagi!
“KAK X CURANG!”
teriaknya saat mendapati kepalaku menyembul keluar dari pintu kamar Y. Dia
berlari memburuku.
“Tuan Muda Robert,
ada apa marah-marah?’ tanya Horloge menangkap tubuh kecil Robert. Suaranya
terdengar kebapakan. Sangat berbeda dari cara bicaranya pada Y.
“Kita lagi main
petak umpet tapi Kak X malah kabur! BAKAL AKU PANGGIL MAMA KE SINI BIAR MAMA
MEMENGGAL KEPALANYA!” Robert berteriak tantrum. Tak kusangka perbendaharaan
kata seorang anak kecil bisa seluas itu.
Horloge menggendong
Robert. “Sssh … Berarti X sudah menang. Dalam permainan harus sportif dong.”
Manusia kecil itu
menendang-nendang torso Horloge sementara Horloge pergi membopongnya menjauh.
“HUAAAHHH GAK ADIL!”
Setelah mereka
pergi, aku merasakan sepasang mata raksasa menatapku lagi. Tapi tidak ada apapun
saat aku menoleh pada tembok yang ada di
sampingku.
Tiba-tiba Y
menutup telinganya seolah-olah menangkap gelombang suara yang tak bisa
kudengar. Ia mengernyitkan dahinya. “Sebentar X, kamu tunggu di sini. Aku harus
pergi.”
“Kamu mau ke
mana?”
Y melesat lari
menjauh tanpa mengindahkan pertanyaanku. Aku ditinggalkan di depan pintu
kamarnya tanpa petunjuk sedikitpun.
Kemudian, lantai
di bawahku terbuka membuatku jatuh ke lubang gelap tanpa ujung. Jeritanku
memantul di ruang hampa. Tanganku menggapai udara kosong.
🕰️
Entah sudah berapa lama aku terjatuh. Rasanya seperti selamanya. Lubang hitam tanpa ujung menyedotku, mengikisku, menghabisi nyawaku perlahan. Tiada bedanya antara membuka dan menutup mata. Gelap. Sunyi. Nihil. Waktu terus berjalan. Sia-sialah aku.
“Halo Xevara
Ellena,” ucap suara seorang yang bernada keibuan sementara aku masih terjun
bebas. Aku tidak tahu siapa dia.
“Kumohon,
kembalikan aku ke duniaku,” pintaku dengan mata terpejam. “Aku mohon … Aku
ingin semuanya normal. Aku rindu Nenekku. Dia hanya punya aku. Aku berjanji
akan menjaganya sepenuh hati. Aku akan berhenti mengeluh. Aku tidak akan
menyia-nyiakan waktuku lagi. Perbuatan baikku masih kurang. Dosaku terlalu
banyak. Tolong. Kembalikan aku …”
Suaraku memantul
di sekitarkuku.
Aku jatuh semakin
dalam ke inti bumi. Rasanya seperti ada beban berat jatuh di atas dadaku.
“Apa kamu ingat
bagaimana kamu masuk dunia ini?” Kali ini suara keibuan itu menyambutku seperti
pelukan hangat di tengah hujan.
“Lewat pintu.
Bisakah kamu kembalikan aku ke duniaku?” tanyaku lagi dengan nada lelah.
Tempat ini
menguras jiwaku.
“Anak baik.
Terlebih dahulu, maukah kamu berbuat satu hal untukku? Sampaikan ini padanya. Dia berhak mendapatkannya setelah
melewati banyak hal.”
Udara hangat terasa
di telinga kananku. Seseorang baru saja membisikanku rahasia. Dalam kegelapan
total, cahaya tak bisa memantul sehingga aku tak bisa mengidentifikasi siapa
yang baru saja berbisik kepadaku.
“Kehadiranmu sudah
ditakdirkan untuk masuk ke dunia ini. Kamu ada sebagai jawaban untuk dia,”
ucapannya bergema di telingaku membuat berdenging.
Rahasia,
kebenaran, dan jati dirinya. Semua
tentangnya berkelindan dalam benakku. Aku berperan sebagai saluran
jawaban untuknya.
Satu hal yang
pasti. Hatiku sangat pedih.
🕰️
Aku jatuh terduduk
di lantai pualam tanpa patah tulang sedikitmu. Entah kenapa, aku seperti baru
tenggelam. Kuraup oksigen sebanyaknya.
Kemudian, pantulan
kaca berwarna sepia menyilaukan mataku. Aku tersadar telah jatuh di ruangan
berbentuk lingkaran yang dikelilingi ratusan pintu. Temboknya terbuat dari bata
berwarna coklat muda. Aku mendongak ke atas dan melihat lampu chandelier. Sepertinya aku sudah
kembali ke kantor walikota?
Sebuah kotak
berwarna emas dan buket bunga hyacinth ungu muncul di atas pangkuanku. Kotak
itu berat dan tersegel. Perlahan aku bangkit berdiri sambil membawa dua objek
barang itu. Lalu, aku tersadar ada seorang wanita dengan tiara dan gaun
berwarna marun telah menungguku.
“Selamat sore X,
saya dengar kamu mencari saya.” Suaranya sangat mirip dengan suara yang
kudengar di lubang hitam.
Bagaimana mungkin
waktu sudah sore?
Aku mencoba bersikap
ala kerajaan meskipun pakaianku sangat tidak anggun. Tekuk sedikit lutut dan
anggukan kepala dengan penuh hormat. “Walikota, ada seseorang yang menitipkan
ini.” Aku yakin kalau dia adalah Walikota yang kucari dan aku merasa titipan
barang ini untuknya seorang.
Bagaimana aku bisa
muncul di ruangan dengan ratusan pintu ini? Dari mana aku muncul di sini?
Sepertinya aku harus berhenti bertanya. Terkadang ada hal di dunia ini yang
tidak perlu dipertanyakan.
“Berani sekali
kamu.”
“Ini bukan suap,
Walikota.” Daripada Walikota, dia lebih tepat disebut Ratu.
Walikota membuka
kotak itu dan menerima buket bunga hyacinth sambil manik matanya yang terbuat
dari rubi—secara harfiah—terus menatapku. “Saya dengar pagi ini kamu mengganggu
anak saya Robert.”
“Maaf, saya tidak
bermaksud.” Tolong jangan bunuh aku. Aku memejamkan mataku karena teringat
ucapan Robert kecil yang penuh ancaman.
“Hmm ya. Kotak ini
jelas dari saudari kembar saya yang terjebak di dalam istana. Kamu pasti baru
saja menemuinya.” Walikota mengalihkan percakapannya lagi.
Aku tidak bisa
menebak kemana arah percakapan ini. Meskipun aku merasa tidak bertemu dengan
saudari kembar Walikota, aku hanya bisa menjawab, “Benar.”
“Sepasang mata
yang memantaumu dari tembok adalah dia.” Walikota tersenyum kepadaku.
Senyumannya
ganjil. Ia bergerak bagai boneka porselen. Hatiku mulai gentar.
“Robert tak
hentinya memanggil saya untuk pulang. Tapi saya harus melaksanakan tugas
negara. Kamu pasti paham maksud saya. Benar, perwakilan diplomat dari negara
lain?”
Pipiku bersemu
merah. Tak kusangka Walikota membongkar kebohonganku.
“Kamu masih ingat
namamu?”
Aku mengangguk. Seseorang
yang berada di lubang hitam telah mengingatkanku pada nama milikku sendiri.
Nama yang diberikan oleh orang tuaku.
“Kamu sudah
melewati banyak hal. Saya rasa, saatnya kamu kembali ke duniamu. Duniamu ada di
salah satu pintu ini. Kamu hanya punya satu kesempatan untuk membuka pintu.”
Dia tersenyum ganjil lagi. Kurasa jika aku mendekat, aku bisa melihat garis di
bawah dagunya. Kurasa … Walikota adalah sebuah boneka porselen.
Kupandangi ratusan
pintu di sekelilingku.
“Silakan, Nona X.
Kamu sudah bertemu saya. Misimu terpenuhi dan kembalilah ke duniamu. Kamu hanya
punya satu kesempatan membuka pintu. Jika membuka lebih dari satu, kamu tidak
akan bisa kembali.”
Angin tak kasat
mata mendorongku untuk mulai berjalan mengelilingi ruangan bundar, mengamati
setiap pintu yang identik, menilai kemungkinan di baliknya. Sementara, sang
walikota pun lenyap dari ruangan ajaib ini.
Perlahan panik
merayapiku. Tidak ada yang bisa kutanya. Pintu yang mana? Mana yang mengarah ke
duniaku?
Matahari akan segera
tenggelam. Cahaya keemasan dari sang surya memenuhi ruangan itu dan pantulannya
berpendar melalui mozaik kaca sepia. Mataku mengerjap. Waktuku akan segera sia-sia,
jika aku terus berputar di sini.
Akhirnya, aku
membuka salah satu pintu. Aku melindungi wajahku dari terpaan angin mendadak.
Awan putih menyambutku. Aku melihat ke bawah sambil berpegangan pada rangka
pintu. Pemandangan di bawah terhampar sebuah kota antah-berantah, genangan biru
laut, dan daratan bentala hijau yang akan menyambut ragaku setelah terjun
bebas.
Tanpa ragu, kakiku
melangkah ke udara bebas. Angin berderu di telingaku. Kupejamkan mataku.
Bersiap menerima benturan. Aku sudah terlalu sering jatuh di tempat ini. Satu
kali jatuh lagi sepertinya aku akan selamat. Lagi pula, aku perlu bangun dari
mimpi tak berkesudahan ini.
Tapi aku melayang
begitu lama seakan aku terbuat dari kapas.
“X!” teriak seseorang yang menggapai tanganku. Sayapnya terentang lebar. Lukanya hilang tak berbekas. Rambutnya tak lagi dipenuhi jelaga. Pakaiannya bersih tanpa noda. Kedua tangan kami saling bertaut sementara kami mengambang di udara. Ternyata ada seseorang yang membuatku mengapung di udara.
“Y?” Aku
menatapnya tak percaya. Aku meraih tangannya yang satu agar kedua tangan kami
berpegangan di antara karpet awan. “Bagaimana kamu tahu aku jatuh dari sana?”
Aku mendongak ke atas tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan ruang lingkaran
penuh pintu yang mengambang di sana.
“Memang tugasku
untuk menjaga kota ini,” katanya mengabaikan keanehan dunia ini.
“Kamu yakin?”
tanyaku teringat bisikan yang mengungkap semuanya saat di lubang hitam. Dunia
tanpa aturan telah mengikis habis jiwa sosok di hadapanku ini.
“Kamu enggak
apa-apa?” balas Y lembut sambil mengusap pipiku pelan.
“Justru aku yang
harusnya berkata begitu.” Aku memejamkan mataku. Tidak siap mengungkapkan
kebenaran jati dirinya pada sang pemilik sesungguhnya.
“Maaf,” ucapnya
lagi.
“Untuk apa?”
“Kamu melihat aku
dalam kondisi seperti tadi pagi. Maaf karena membanting pintu di depanmu.”
“A-aku—” Aku
teringat tatapan matanya yang liar. Lalu aku menepis ingatan itu. “Bukan
masalah.”
“Maaf sudah
berbohong padamu,” ucap Y lagi dengan
penyesalan. “Aku harus menuruti perkataan Walikota karena peranku sebagai senjata
yang harus melindungi kota ini.”
“Berhenti minta
maaf,” ujarku dengan suara gemetar. Dia melakukannya bukan tanpa alasan. Perlahan
aku menyentuh pipinya dengan salah satu tanganku yang bebas, sementara tanganku
yang satu masih digamit olehnya agar aku tidak terjun bebas. Wajahnya yang berfreckles
sangat indah. “Kamu pasti juga tersesat di sini kan Y?”
Y mengangguk. “Aku
enggak ingat asalku lagi,” katanya getir. Jelas dia merindukan kehidupannya
sebelumnya.
“Kamu pasti
capek?” tanyaku lagi sambil menyentuh alisnya.
“Capek kenapa?”
“Menipu dirimu
sendiri.”
“Adakah pilihan lain?” Dia balas bertanya dengan senyuman pahit.
“Kamu punya, Y.
Namamu Yegor Dionysius Tjakra. Kita pernah bersinggungan sebelumnya, di dunia lain,
di suatu tempat, di waktu yang tepat. Aku sendiri belum ingat. Takdir pernah
mempertemukan kita tanpa sadar.”
Mata Y terbelalak
lebar. “Apa?? Aku punya nama?!!”
Kemudian, sayap putihnya lenyap. Bulu-bulu putih melayang di sekitar
kami. Kami pun jatuh dengan cepat dengan
kedua tangan saling bertaut.
“IYA, YEGOR! KAMU
YEGOR!” teriakku kencang mengalahkan deru angin.
Ia tertawa lebar, terlihat sangat bahagia. Ya
Tuhan, bagaimana kamu bisa tertawa? Tawa yang membuat hatiku sedih. Berulang
kali aku menyebut nama itu di hatiku.
Aku sendiri tidak
ingat kapan kami pernah bertemu dengannya. Apakah kami pernah bertemu di dunia
asalku? Atau di dunia lain? Kapanpun waktunya tiba, aku pasti akan mengenalnya.
Yegor tertawa hingga air matanya
mengalir. “Aku sudah ingat sekarang. Kita pernah bertemu, Xevara.”
“Eh? Kamu masih
ingat namaku?” Kami berputar di udara selama beberapa saat. Lalu kami terhempas
di atas hamparan kapas yang empuk.
Ia merengkuhku di
atas hamparan kapas dan dedaunan cokelat yang meranggas. Tidak ada rasa sakit
sedikitpun bersamanya. Kudengar detak jantungnya dan detak jantungku
beresonansi. Ia wangi petrikor, seperti embun di atas rerumputan pada pagi
hari. Tangannya yang hangat mengusap rambutku dengan lembut. Aku belum pernah
merasa seaman, seperti dalam rengkuhannya. Ia membenamkan wajahnya pada helai
rambutku, sementara aku membenamkan diriku pada lekukan di bawah dagunya—pada klavikula
dan sternumnya.
“Xevara, Xevara,
Xevara.” Ia menyebut namaku seolah namaku rangkaian kata paling indah.
Perlahan aku bergerak
mundur agar bisa mendongak menatapnya. Kuharap ini nyata. Jangan ambil napasku
saat ini.
Kini, tangan kami
saling bertaut. “Yegor,” bisikku menyebut namanya di antara embusan angin yang
membelai kami bak dua anak kecil. “Walau aku tidak ingat, aku yakin, kita
pernah bertemu sebelumnya.”
Tanpa kusadari,
matahari telah berubah menjadi oranye. Waktuku segera habis.
“Aku juga merasa
begitu, Xevara,” ucapnya sambil memelukku lebih erat. “Sekarang kamu bisa
pulang. Berjalanlah melewati pintu, sebrangi sungai, dan jangan menoleh ke
belakang sama sekali. Oh ya, satu lagi. Jangan menangis selama berjalan kembali.”
“Kalau aku langgar
salah satunya gimana?”
“Kita enggak
ketemu lagi.” Ia menyentuh ujung hidungku dengan telunjuknya.
Aku tersenyum
sambil mengernyitkan dahiku. “Terus kamu gimana?”
“Aku akan
menyusulmu.”
“Yang benar? Kapan
kita bisa bertemu lagi?” tanyaku lagi sambil terkekeh.
Yegor tersenyum ragu. “Kita lihat nanti.”
Jawabannya sama
sekali tak memuaskanku. “Aku akan ingat kamu kan?”
Kali ini, Yegor
mengangguk pasti. Kedua tangan kami masih menyatu. Mata kami saling berpadu. Indah.
“Terima kasih, Xevara. Kita pasti akan bertemu lagi.”
Kapan? Di mana? Bagaimana? Pertanyaan bertalu-talu
di kepalaku.
“Aku yang harusnya
berterima kasih karena kamu udah menyelamatkanku,” ucapku lirih.
“Kamu menyelamatkan
dirimu sendiri.” Ia menyelipkan helai rambutku ke balik telingaku.
“Kamu melindungiku.”
Sinar mentari
keemasan menimpa manik mata hijaunya, frecklesnya, dan rambut pirangnya.
Senyuman lembut terpatri di wajahnya dan di ingatanku. “Memang tugasku untuk
melindungimu selama di sini.”
“Kamu janji akan mengingat
namaku?”
Dia mengangguk. Jari
kelingking kami saling mengait.
Namun, siapa yang
menjamin aku akan mengingat Yegor setelah menyebrangi pintu itu? Apakah aku berbohong?
Atau dia yang berbohong? Bisikan di lubang hitam itu sudah mengungkapkan semua
kebenaran.
Perlahan kami
telentang di atas hamparan kapas yang empuk. Tangan kami mulai terlepas.
Radiasi hangat dari tangannya mulai memadam.
Tunggu.
Tunggu.
“Yegor?” Aku
beranjak bangun dengan tersentak. Yegor tidak bergerak. Aku mengguncangnya
keras, berteriak di samping telinganya, sedangkan matanya terpejam. “YEGOR!”
Lalu aku membenamkan
wajahku di lekukan lehernya. Aku teringat ucapannya yang menjelaskan, riwayat seseorang
akan berakhir jika identitasnya dicuri. Bahkan meskipun namanya telah kembali,
takdir itu tidak akan meleset darinya.
Identitasnya telah
dicuri paksa dari dirinya
Kedua tanganku merengkuh
raganya erat. Mengusap rambutnya yang halus. Menyelipkan helai rambut ke belakang
telinganya. Mengecup keningnya. Mengecup matanya yang terpejam. Mengecup
bibirnya lembut.
“Kita pasti akan
bertemu lagi, kan?” Suaraku bergetar.
Dengan perasaan kalut,
aku beranjak berdiri. Waktuku habis. Matahari sebentar lagi akan tenggelam.
Kupaksa kakiku
untuk melangkah tanpa menoleh ke belakang. Aku tidak boleh menangis meskipun
dadaku seperti ditiban batu. Kulewati pintu terbuka yang dikelilingi sulur
bunga mawar merah. Pintu yang telah mengantarku bertemu dengannya. Berikutnya,
kulewati aliran sungai dangkal tempatku terjatuh.
Dunia asalku. Aku
sudah kembali. Kulihat langit senja berwarna indigo dan oranye di atasku.
Burung elang mengepakkan sayapnya. Jangkrik mempertunjukkan paduan suara
nyaring. Serangga mengudara di antara tanaman bunga liar. Deras air sungai mengiringi
tarian alam. Ranting bergemerisik, daun berdansa mengikuti angin.
Sementara itu,
sepatuku yang basah melangkah di atas jalan setapak yang familiar. Samar terdengar
suara-suara manusia yang berteriak memanggil namaku. Lalu, salah satu dari
mereka mengarahkan senternya kepadaku. Mereka langsung berlari ke arahku. Selanjutnya,
anggota open trip dan tim pencari yang lain juga mendatangiku.
Ternyata aku lenyap
di hutan selama tujuh jam. Rombongan open trip sampai mengerahkan tim
SAR untuk mencariku. Padahal, aku merasa pergi lebih lama dari itu. Tulang
keringku yang kemarin—atau tadi?—membentur batu sungai mulai terasa nyeri lagi.
“Xevara! Ya ampun!
Akhirnya kami menemukanmu!” seru orang-orang itu saling bersahutan. Aku hanya
tersenyum berterima kasih. Aku hanya menjelaskan singkat kalau aku sempat
tergelincir ke bawah jurang dan jatuh ke sungai.
Sementara itu, jiwaku
kacau. Dunia yang tanpa aturan itu telah merenggut sesuatu dari jiwaku. Sekarang
aku berongga. Hampa. Dalam ingatan, kutanam namanya. Kurawat memori pertemuan
singkat yang berakhir tragis. Memori tentang nona kelinci, bocah mata kancing,
dan kepala arloji juga kusimpan erat dalam benakku. Mereka telah mengambil
bagian dari perjalanan panjangku.
Perlahan kusadari
sesuatu. Bisikan saat aku jatuh dalam lubang gelap telah memperingatkanku pada harga
yang harus dibayar agar aku kembali ke duniaku dan dia menjadi memperoleh
identitasnya lagi. Bodohnya, waktu itu aku tidak tahu apa yang harus kutukarkan.
Aku bersyukur karena
dapat kembali ke dunia ini dan berjanji tak akan menyia-nyiakan waktuku lagi.
Tetapi, pilu merayapiku ketika mengingat lontaran janji yang tak mampu kami
tepati. Kami telah menjalani takdir masing-masing.
Ketika tim SAR memapahku
kembali ke gerbang masuk hutan, aku memberanikan diri untuk menoleh ke belakang.
Sihir dunia tanpa aturan itu tak akan sampai di sini. Kupandangi barisan
pepohonan di bawah cahaya senja.
Semua berakhir dan
berawal di aliran sungai deras.
FINN
0 comments