Original Story

Biru - PART 2 -

Februari 17, 2018

𝓑𝓲𝓻𝓾

Photography by me


“Kau bisa mendengarku sekarang?”

Aku membuka mataku perlahan. Siapa yang berbicara?

“Aku.”

Aku menutup mulutku. Tak sengaja menghirup air sehingga aku terbatuk-batuk dan lagi-lagi harus muncul ke permukaan. Cepat-cepat kuhirup oksigen dalam-dalam lalu masuk ke dalam air lagi.

“Sekarang, kita bisa bicara lewat pikiran,” ucapnya sambil tersenyum.

Aku membenarkan posisi kacamata renangku. Jadi... ia mengecup keningku agar kami bisa berkomunikasi? Ya Tuhan! Maafkan aku karena baru berpikir macam-macam! Aku merasa tersipu karena cuma Papa yang pernah mengecup keningku dengan lembut membuat diriku seperti anak favoritnya (abaikan Reza). 

“Benarkah?” ucapnya sambil menelengkan kepalanya seperti anak kecil yang penasaran.

Dia bisa membaca pikiranku?!

“Bisa.”

Aku mundur selangkah. Tidak sopan! Sekali lagi membaca pikiranku, aku akan membunuhmu!

“Maafkan aku,” ucapnya di dalam pikiran sambil menunduk. Meskipun ia hanya bersuara di dalam pikiranku, aku tetap bisa mendengar suaranya... Suara seorang laki-laki. 

Ia terlihat ketakutan saat kuancam akan kubunuh. Aku kan cuma bercanda! Dia polos sekali. Sudah lima hari, aku selalu bertemu dengannya. Tapi aku belum tahu namanya. Sebelum aku bertanya siapa namanya, dia sudah menjawab:

“Aku tidak punya nama,” ucapnya polos.

“Jadi aku harus memanggilmu dengan nama apa?”

“Terserah kau.”

Aku berpikir sejenak. Lalu aku melihat ke sekelilingku yang berwarna biru. “Biru. Namamu, Biru ya?” Selain itu, biru adalah warna favoritku.

“Kamu enggak pintar bikin nama ya?” Ia terlihat tak begitu suka dengan namanya yang hanya berarti warna biru.

Dasar! Dia ini sudah untung kuberi nama!

“Apakah aku membuatmu marah?”

Aku ingin menjawab tapi tiba-tiba aku merasa paru-paruku seperti akan meledak. Aku menyembulkan kepalaku lagi ke permukaan untuk menghirup udara sepuasnya. Napasku tersengal selama beberapa saat. Lalu setelah napasku lebih tenang, aku kembali lagi bersama Biru.

“Kalau aku mengecup keningmu sekali lagi, kau bisa tahan napas selama 15 menit.”

Pipiku bersemu merah membayangkan keningku akan dikecup lagi oleh sosok yang tak kukenal. Sepertinya sudah cukup aku berada di dalam air. Aku harus pulang ke rumah Nenek. Aku belum siap dikecup oleh cowok tak dikenal lagi.

“Kau sudah akan pulang?” tanya Biru dengan nada sedih. Suaranya seolah memenuhi pikiranku. Tapi aku benar-benar sudah harus kembali, kalau tidak orang rumah akan curiga terhadap apa yang akan kulakukan selama pergi ke pantai.

“Selamat tinggal, Biru,” ucapku sambil tersenyum.

Biru menatapku dengan wajah sedih.


Setiap malam aku jadi makan lebih banyak karena sepanjang hari kuhabiskan waktu untuk bersama Biru. Kulitku jadi cokelat karena setiap hari berenang di laut. Aku bahkan mulai merasa diriku tidak takut lagi pada lautan. Traumaku perlahan-lahan hilang.

“Sekarang, Kyra jadi tambah hitam ya,” komentar Nenek.

“Eeeh?” Aku langsung menyangkal. Apakah separah itu? Kulitku saat datang sangat putih, oke? Meskipun tomboy dan 'agak' urakan, aku juga merawat diriku sendiri. (Setiap sebelum berenang, aku selalu pakai sunblock banyak-banyak kok.)

“Haha… Tiap hari Kak Kyra berenang sih,” kata Safina yang duduk di sebelahku.

“Sejak kapan Kyra bisa berenang?” ejek Reza. “Dia kan cuma bisa gaya batu.”

“Tapi kelihatannya Kak Kyra seharian cuma renang gaya batu sih. Habis dia diam aja di bawah air,” kata Azianak laki-laki kembarannya Zia. 

Sontak semeja makan langsung tertawa. Aku menunduk malu.


Setelah bisa bercakap-cakap dengan Biru menggunakan pikiran, otakku dibanjiri oleh ide menulis lagu. Aku langsung masuk ke dalam kamar dan menulis sebuah lagu dengan lancar. Aku juga dengan mudah membuat melodinya dan langsung kutulis di notebook.

Safina keheranan melihatku yang bekerja seperti orang gila. Ide-ide itu mengalir begitu lancar. Aku belum pernah seperti ini. Aku memetik gitar lalu menulis. Kemudian aku memetik gitar lagi, lalu menulis lagi sepanjang malam.

“Kak, udah jam 1. Enggak tidur?” tegur Safina yang sudah menguap berkali-kali. Ia baru saja selesai membaca novel.

“Matikan aja lampunya, tapi nyalain lampu tidurnya,” ucapku dengan mata terfokus pada tulisan di depanku.

Kini lampu tidur berwarna kuning temaram menemani malamku. Saat tubuhku pegal, aku beranjak berdiri dan berdiri di samping jendela untuk memandang langit yang bertabur bintang. Aku bisa melihat galaksi Bima Sakti dan ratusan rasi bintang di langit ini. Benar-benar langit yang berbeda dengan langit yang biasa kulihat di Jakarta. Kenapa selama ini aku tidak pernah menyadari kalau langit yang bersih bisa seindah ini?

Aku mencubit pipiku. Ini nyata. Sosok Biru juga nyata! Tiba-tiba aku teringat cowok itu. Nama Biru memang harus diganti. Sepertinya aku harus cari nama yang artinya laut. Aku langsung mengambil handphoneku dan searching ‘nama yang artinya laut’. Tapi koneksinya lambat sekali. Butuh beberapa menit baru bisa membuka satu website. Menyebalkan.

Ada banyak nama. Aku memilih satu nama yang sepertinya terlalu dewasa untuk si Biru. Tapi setiap orang pasti akan dewasa juga kan pada akhirnya?

Aku terkekeh sendiri saat membayangkan Biru punya nama baru. Oke. Mulai sekarang aku harus memanggilnya dengan nama barunya.

Aku duduk di atas tempat tidurku lagi yang berantakan. Gitarku menguasai hampir setengah kasur. Boneka laki-lakiku juga kududukkan di atas kasur. (Tiap hari aku selalu tidur di dekatnya.) Sementara sebuah buku tulis dan pensil tergeletak di atas bantal. Aku mulai menulis lirik lagu lagi. Kali ini lagu tentang makhluk laut itu.


Keesokan harinya, aku bangun dengan perasaan segar meski hanya tidur dua jam. Aku membantu Nenek bersih-bersih rumah bersama Safina. Aku memarahi anak-anak cowok yang hanya bermalas-malasan di sofa panjang yang ada di ruang tamu. Mereka adalah Reza, Alif, dan Azi.

Safina tertawa melihatku menendang kakak kandungku yang sangat rese supaya mau bangun dari sofa.

“Kenapa aku punya adik cewek yang enggak ada anggunnya sama sekali sih?” gerutu Reza.

“Sana, pergi memancing! Cari ikan buat makan malam!” hardikku.

Tapi setelah beres-beres, aku menyuruh mereka berkumpul di ruang tengah untuk mendengarkan lagu terbaruku. Pagi ini aku akan mengadakan perform tunggal.

Lagu pertama kuberi judul ‘Lonely Island’ yang berkisah tentang seseorang merindukan sebuah tempat jauh yang merupakan rumahnya. Ia merindukannya karena ia jatuh cinta pada pulau tempatnya berasal dan ia selalu berhasrat untuk kembali. Zia bertepuk tangan setelah melihat performku. Aku merasa keren diberi applause oleh seorang anak kecil.

“Lagunya bagus, Kak. Enggak sia-sia begadang,” kata Safina.

“Ssst!” ucapku sambil mengacungkan jari telunjukku agar Safina tidak memberitahu orang-orang kalau aku semalaman tidak tidur demi membuat lagu.

Reza bahkan mengangguk-angguk setelah mendengarkan lagu originalku.

“Kak, bilang aja kalo adikmu ini keren!” ucapku sambil membuat tanda centang dengan tanganku dan meletakkannya di bawah dagu.

“Cih… Siapa yang bilang kamu keren?”

“Emang bukan aku, tapi laguku yang keren. Hohoho…”

“Lagu keduanya mana?” tanya Alif yang ternyata diam-diam memperhatikan musikku. Dia memang sangat pendiam sejak datang ke rumah Nenek. Tapi sejak kecil, ia memang jarang bicara. Berbeda dengan Safina yang sangat terbuka dan selalu berani menunjukkan rasa sayang, seperti memeluk orang yang ia sayangi. Benar-benar adik yang sangat lovable.

Aku pun mulai memainkan intro dari lagu kedua. JudulnyauhukBiru’.

Makanya aku juga meletakkan boneka laki-lakiku di sampingku. Supaya dia dengar.


Huwaaa! Aku malu! Aku malu! Maluuu!

Kenapa aku dengan percaya diri bernyanyi di dekatnya? Aku sudah masuk ke dalam air hingga setengah pinggangkegiatanku hampir setiap pukul 9 pagi selama liburan. Aku memandang boneka laki-lakiku di tangan. Batu toskanya terlihat lebih bersinar hari ini.

Semoga saja dia hanya punya memori selama di dalam air saja. Jadi, dia tak mendengar lagu ‘Biru’ yang secara terang-terangan berkisah antara aku dan dia. Kalau dia ternyata bisa tahu apa saja saat ia masih berwujud boneka… berarti… dia bisa melihat apa saja yang terjadi di kamar tidurku…

Kalau begini terus, aku hanya akan menduga-duga hal tak jelas. Lebih baik aku memastikan langsung darinya. Sekaligus aku mau memberi nama baru untuk Biru.

Aku melepas boneka laki-lakiku kemudian masuk ke dalam air.

“Lagunya sangat bagus!” puji Biru begitu aku datang. “Sekarang aku suka namaku. Biru~ Aku si Biru walaupun aku tidak berwarna biru~” Suaranya yang riang langsung memenuhi kepalaku. 

“Jadi, kamu bisa tahu apa yang terjadi saat kamu berwujud boneka laki-laki?” tanyaku setengah shock, setengah tersipu karena tak sengaja sudah terang-terangan menyanyikan lagu ‘Biru’ di hadapan Biru.

“Bisa. Saat aku kesepian di dalam laci selama empat tahun... Aku bisa mengingatnya dengan jelas,” jawab anak laki-laki itu. Sekilas matanya terlihat sedih, tapi ia tersenyum lagi. Ia benar-benar seperti anak kecil yang polos.

Polos apaan ya? Kalau baru pertama ketemu langsung kecup kening?

AAAAAAAAAA!

“Kamu suka aku kecup kening?” tanya Biru tanpa merasa bersalah sedikit pun. Ia bahkan sudah berenang mendekatiku lagi.

Jantungku berdegup kencang. Enggak. Aku enggak bisa. Aku keluar dari dalam air untuk bernapas lantas aku menutup wajahku. Boneka laki-lakiku masih mengambang di atas air karena ia terbuat dari kayu.

Aku harus mengendalikan diri. Dia hanya makhluk laut. Bukan manusia. Tapi dia berwujud seperti manusia!

Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Aku menarik napas panjang lagi kemudian masuk ke dalam air dan… Biru langsung begitu saja mengecup dahiku.

Aku jatuh terduduk di dasar pantai. Berteriak tapi yang keluar hanya gelembung-gelembung air.

“Sekarang kamu bisa tahan napas 15 menit. Aku kasihan melihat kamu megap-megap tiap ke atas air,” kata Biru dengan polosnya. “Oh iya, kecup satu lagi bisa tahan napas 45 menit.”

Tunggu. Ini kenapa jadi kayak deret aritmetika? Berarti kalau dia kecup 10 kali, aku bisa tahan napas selama…

“150 menit.”

“Argh! Sudahlah! Lupakan yang tadi. Ada yang ingin aku tanyakan,” ucapku dengan wajah berusaha serius karena masih terbayang kecupan barusan. Wow… Ternyata perkataan Biru benar. Sekarang aku bisa tahan napas lebih lama.

“Apa?”

“Tadi kamu bilang, kamu kesepian di laci meja… Kenapa kamu bisa merasa? Kenapa kamu bisa hidup? Kamu hanya boneka kan?”

Wajah cowok itu terlihat badmood. “Pertanyaanmu kebanyakan. Otakmu bisa meledak kalau dengar jawabannya sekaligus.”

Bukannya menjawab pertanyaanku, Biru malah menggenggam tanganku lalu mengajakku pergi ke laut yang lebih dalam. Aku menolak karena takut tenggelam. Tapi Biru meyakinkanku kalau ia akan menjagaku selama di dalam air. Bahkan ia menawarkan…

Tapi aku langsung menggeleng. Aku lebih memilih megap-megap di atas air tiap 15 menit.

Kemudian Biru menarik tanganku untuk berenang lebih jauh ke kedalaman air laut. Kami sampai di terumbu karang. Aku bisa melihat berbagai macam coral dan ikan berwarna-warni. Aku berseru senang saat bisa melihat ikan badut dari dekat. “Nemo! Dorry! Haaai!” seruku yang membuat Biru mengejekku: “Norak.”

Aku tidak peduli. Aku menyentuh segerombolan ikan tapi mereka langsung berenang menjauh.

“Aku dan suadara-saudaraku berasal dari sini.”

Aku menoleh ke arah Biru yang sorot matanya kini terlihat meredup. Oh iya. Selama berada di air aku selalu memakai kacamata renang biar bisa melihat dengan jelas.

“Batu-batu karang yang berwarna-warni itu yang membuatku dan saudara-saudaraku bisa hidup. Tapi hanya hidup di dalam air laut," jelasnya lagi sambil menunjuk batu-batu kecil yang tersembunyi di balik terumbu karang. 

“Berarti, boneka-boneka pemberian Kakek yang lain bisa hidup juga?”

Biru mengangguk. “Sayangnya tak pernah ada yang mengetahuinya. Termasuk Kakekmu. Kakekmu hanya membuat kami dengan penuh kasih sayang sambil membayangkan cucu-cucunya saat mengukir kayu untuk menjadi boneka.”

“Lalu kenapa saudara-saudaramu menghilang?”

“Mereka tidak menghilang. Mereka pergi ke makam Kakekmu. Coba saja kau berziarah ke kakekmu saat di daratan nanti. Kau akan melihat 10 boneka duduk berjejer di atas batu nisannya.”

“Itu horror!”

Biru menggeleng. “Kami kesepian. Kakek berharap bonekanya menjadi peninggalan yang berharga bagi cucunya dengan cara kami menjadi teman saat kalian kesepian. Tapi kami malah menjadi pajangan, bukan menjadi mainan cucu-cucu Kakek. Bukannya kalian yang kesepian, malah kami yang kesepian… Jadi, kami bersebelas sepakat untuk pergi ke makam Kakek.”

“Kau tidak.”

Biru menatap kosong ke arah terumbu karang indah di bawah kami. “Karena aku yakin kau pasti kembali dan menemukanku. Aku sampai dikucilkan saudara-saudaraku karena tidak mau pergi bersama mereka. Mereka mengejekku bodoh karena mau menunggumu datang. Aku berdebu dan tiap hari hanya melihat kegelapan. Tidak ada yang pernah membuka laci itu sampai kau datang.”

Aku jadi teringat film Toy Story saat adegan Andy beranjak dewasa dan semua mainan-mainannya pergi dari loteng rumah karena kesepian. Tapi ini lebih menyedihkan.

“Itu sebabnya waktu kamu mengeluarkanku dari laci aku sangat senang, sampai memancarkan sinar toska dari batuku.” Suara riang gembira Biru kembali memenuhi kepalaku. Dia sudah kembali menjadi Biru yang biasanya. “Aku bisa lihat segalanya saat jadi boneka. Tapi kalau kamu atau Safina ganti baju, aku selalu tutup mata kok. Takut dosa kalau lihat.”

Dia bilang begitu tapi baru ketemu seorang cewek aja, langsung asal kecup kening sebanyak dua kali.

Sudah 15 menit, aku berenang menuju permukaan. Mengambil napas dalam-dalam lalu masuk ke dalam air lagi.

Biru dengan sabar menungguku mengambil napas di atas air. Wajahnya polos dan bibirnya selalu terlihat seperti tersenyum. Tapi kedua matanya terkadang menyiratkan sorot kesepian. Tiba-tiba aku ingin melindungi Biru. Aku sangat ingin melindunginya dan berterima kasih pada Kakek yang sudah membuatkan kami boneka-boneka yang sebenarnya bisa menemani kami saat kesepian.

Seandainya aku tahu ini lebih lama, aku pasti tidak akan pernah kesepian di rumah yang sebesar istana. Aku tidak akan kesepian saat Papa, Mama, dan Reza sibuk. Tanpa sadar aku menangis. Aku rindu Kakek. Tiba-tiba aku merasa sangat betah tinggal di tempat ini. Aku ingin bisa pergi ke sini setiap liburan. Aku ingin lebih lama bersama saudara-saudara sepupuku yang menyenangkan, Nenek yang penyayang, serta Tante-Tante dan Om-Om-ku yang ramah.

Rasanya sangat canggung menangis di dalam air karena segalanya yang ada di sekitarmu adalah air.

“Jangan menangis, Kyra.”

Biru memegang kedua lenganku agar aku dan dia tetap di tengah-tengah air. Bukan di dasar air yang berarti bisa menginjak-injak terumbu karang.

“Perlukah aku mengecup keningmu lagi?”

Aku menggeleng. “Enggak usah, Biru.”

Aku sampai lupa untuk mengganti namanya. Padahal semalam, aku sudah sangat senang bisa menemukan nama pengganti Biru. Sekarang aku ingin selamanya dia bernama Biru.

“Siapa sih namaku yang baru?” tanya Biru berusaha menaikkan moodku lagi.

Aku tersenyum sambil menggeleng. Air mata masih keluar dari mataku hingga memenuhi kacamata renangku. “Bukan apa-apa. Kamu enggak akan suka.”

Biru menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Ia mendekat. Aku memundurkan kepalaku. Takut ia akan...

"Jangan kegedean rasa. Aku cuma mau melepas kacamata renangmu."

Aku malu sendiri. Ya ampun... Mikir apa sih aku? 

Dengan perlahan Biru melepas kacamata renangku. “Kamu sudah kukecup dua kali. Jadi sudah bisa melihat di dalam air dengan jelas. Hehehe.”
  
Perkataannya benar. Aku tersenyum ke arahnya.

"Kamu cantik kalau seperti ini," ucap Biru yang terdengar sangat tulus. 

Lagi-lagi pipiku terasa panas. (Padahal ini di dalam air.) 

“Seandainya saudara-saudaraku bisa merasakan seperti aku…”

“Tapi mereka sudah ada di batu nisan Kakek kan?”

“Aku pernah mencoba menghubungi mereka. Mereka sudah masuk ke dalam tanah. Kalau mau melihat mereka, harus membongkar kuburan Kakekmu.”

Aku bergidik ngeri.

Tiba-tiba aku melihat ikan yang sangat besar sedang berenang ke arah kami. Jantungku berdegup kencang. “Biru, kita harus pergi dari sini.”

Biru menoleh ke belakang tanpa takut. “Kamu benar.”

Ia bisa berenang, aku tidak bisa. Tanpa kami sadari, kami sudah berada jauh di tengah dan di kedalaman laut. Aku memandang ke atas sana. Permukaan laut sangat jauh dan aku mulai merasa tubuhku sangat lemas. Pandanganku mulai mengabur tapi Biru seperti tidak sadar kalau seharusnya ia berenang cepat demi menjauhi ikan besar itu.

“Biru… Aku butuh… udara segera…”

Biru menatap ke atas permukaan air. Jauh. Kalau kami berenang ke atas, itu berarti kami akan jadi pancingan si ikan besar.

Ikan besar itu adalah hiu. Seharusnya ikan hiu tidak berada di sini. Jadi aku menduga ikan hiu itu pasti pergi ke sini karena perubahan iklim. Samar aku melihat mulut hiu itu berdarah... Apakah hiu itu baru saja makan manusia? Aku takut sekali menjadi mangsa hiu besar itu.

Kami sudah sangat jauh di tengah. Biru, kenapa kamu nekat mengajak seorang perempuan pergi jauh dari pantai?!

Biru membawaku ke atas permukaan air laut. Aku bisa bernapas lega. Tapi aku merasakan ancaman datang semakin dekat. Napasku tak lagi lega, tapi menyesakkan.

Aku masuk lagi ke dalam air. Wajah Biru sangat serius sekarang.

“Sudah ambil napas kan?”

Aku mengangguk. Kemudian kami berenang menuju pantai. Lebih tepatnya Biru yang berenang. Aku sama sekali tidak bisa berenang. Dari kejauhan, aku melihat sebuah kapal kecil yang sepertinya milik keluarga besarku. Tapi rasanya pantai masih jauh sekali…. Apakah ombak menyeret kami sampai jauh ke tengah? Atau kami sudah melewatkan batas laut tenang dan laut berombak? Aku tidak bisa berpikir jernih. 

“Kyra, sebenarnya kau benar kalau kau bilang aku ini makhluk laut. Jiwaku memang berasal dari batu laut.”

“Terus?”

Hiu itu mengejar kami. Makin dekat.

“Dari tadi aku ingin memelukmu, tapi tidak bisa. Karena kalau aku peluk kamu, berarti kamu akan bisa bernapas di air selamanya seperti aku. Lalu kamu akan menjadi sepertiku dan sebuah boneka kayu perempuan akan mengambang di atas sana.”

Tiba-tiba genggaman Biru melemah. Tapi aku dengan kalut berusaha mencari-cari tangannya agar bisa menggenggamnya lebih erat. Tidak. Jangan tinggalkan aku! JANGAN! 

Biru melepaskan genggaman tangannya dan perlahan menjauh dariku.

Aku berteriak dalam air dengan ketakutan. Takut akan hiu dan kehilangan seseorang. Tapi hanya gelembung air yang keluar. Tiba-tiba sebuah tangan meraihku dan dalam sekejap aku berada di atas permukaan air laut lagi.

“Kyra?!”

Lalu aku melihat boneka laki-lakiku hancur berkeping-keping saat hiu itu muncul ke permukaan. Aku berteriak tanpa suara. Detik berikutnya ombak besar menggulung, menyapu bersih serpihan kayu boneka buatan Kakekku.

“Syukurlah… Untung kau selamat dari hiu,” ucap Reza sambil menggendongku ke dalam kapal milik keluarga kami. "Bagaimana kau bisa berada di tengah laut, Kyra?" 

Om Anwar yang menyetir kapal. Ia sangat terkejut ketika melihatku menangis sejadi-jadinya begitu berada di atas kapal. “Kyra? Kenapa Kyra bisa ada di situ? Laut sedang tidak aman karena beberapa hari ini sering muncul hiu.”

“Kyra? Ada yang sakit?”

Suara-suara di sekitarku timbul tenggelam. Sepertinya telingaku kemasukan banyak air. Segalanya menjadi sunyi perlahan-lahan. Tapi aku sangat yakin, aku mendengar suara anak laki-laki itu di antara teriakan frustasiku yang menggema di kepala.

Selamat tinggal, Kyra.”


Author's Point of View 

Gadis itu berjalan dengan penuh percaya diri ke atas panggung besar. Setelah sebulan tak manggung, akhirnya ia bisa manggung lagi bersama anggota band indienya. Sepulangnya dari liburan, Kyra langsung menemui Yudha dan anggota bandnya yang lain di studio.

Kyra deg-degan saat ketiga anggota band yang lain mendengarkan lagu buatannya yang direkam seadanya saat di rumah Nenek. Ia takut musiknya tidak sesuai ekspektasi Yudha yang perfeksionis.

Tapi setelah keempat lagu selesai diputar, mereka bereempat mengangguk dan bahkan ada yang tersenyum. Pertanda musiknya diterima.

“Cieee… Selama liburan lo dapat pacar ya?” ledek Biancavokalis band indienya. “Biru itu pasti cowok kan? Kiasan lo anomali banget sih, Ky.”

Kyra yang duduk di atas sofa hanya tersenyum saat diledek anomali. Semenjak tragedi yang hanya diketahui oleh dirinya seorang, ia menjadi lebih lembut. Atau anggun? Karena sekarang ia jadi lebih sering memakai dress. Bahkan ia memanjangkan rambutnya hingga ke bawah telinga (sedikit).

“Gue paling suka yang judulnya ‘Wave’. Maknanya dalem banget. Lo makan apaan di sana?" tanya Dimas.

Yudha tersenyum bangga melihat Kyra melakukan kerja bagus. Ia tak menyesal telah meilih Kyra. Ia menepuk rambut Kyra yang pendek. “Bulan depan, ada kompetisi lagi. Gimana kalau kita manggung dengan lagu-lagu ini?”

Dan di sinilah Kyra berada. Memetik gitar akustiknya untuk mengiringi Bianca bernyanyi di atas panggung. Suara Bianca yang halus sangat cocok dengan lagu utamanya yang berjudul ‘Biru’.

Penonton terhanyut saat mendengar lagu dari grup band ‘Winter Tale’. Kyra susah payah agar tidak tersenyum terlalu lebar di depan audience. Saat lagu berhenti, penonton bersorak. Kyra senang melihat Yudha, Bianca, dan Dimas berseru heboh di atas panggung.

Tapi tetap saja, air matanya menitik saat teringat Biru; bagaimana cowok itu tersenyum polos, mengecup keningnya, dan… mati. Ia tak akan lupa saat menangis kalut waktu menulis lirik lagu ‘Wave’ karena lagu itu menceritakan bagaimana Biru mati dan serpihannya terbawa buih ombak.

Bianca tiba-tiba melihat Kyra yang sudah ia anggap seperti adik sendiri. Cewek itu memeluk Kyra karena sangat bahagia lagu mereka disambut meriah oleh penonton. Kyra akan menganggap Biru sebagai bagian memorinya yang indah selama berlibur di tempat antah-berantah itu.

𝓔𝓷𝓭

Original Story

Biru - PART 1 -

Februari 17, 2018

𝓑𝓲𝓻𝓾

Photography by me

 

“Jadi, kamu lebih memilih stay di rumah?”

Seorang cowok jangkung baru saja selesai mengemasi barang-barangnya ke dalam koper untuk ia bawa pergi berlibur. Ia menatap adik perempuannya yang sedang bermalas-malasan di atas sofa sambil bermain laptop. Ia tak habis pikir, kenapa bisa ia punya adik cewek yang sangat pemalas karena seharian gadis itu hanya duduk di sofa.

“Iya,” jawab Kyranama adik perempuannyaketus.

Reza menatap adiknya dengan sangsi. “Yakin mau mendekam terus di rumah selama empat minggu liburan?”

"Iya. Lagian aku memang berencana buat berhibernasi,” jawab Kyra seenaknya.

Reza menggelengkan kepalanya lantas pergi ke dapur sambil berkata, “Baru kali ini aku ngajak orang liburan ke laut, malah enggak mau, cuma gara-gara kepengennya pergi ke gunung tapi enggak diizinin.”

Kyra menghentikan kegiatannya scrolling tumblr. Ia mendengus kesal.“Terus kenapa? Harusnya Kakak bersyukur, jadi enggak perlu beli tiket pesawat buat dua orang!”

Reza membuka kulkas, mencari-cari makanan. Setelah menemukan satu slice cheese cake, pizza sisa kemarin, es krim cookies, dan sekaleng soda, ia menutup kulkas menggunakan kakinya lalu kembali ke ruang tengah. Ia sedang lapar berat tapi malas memasak ataupun keluar cari makan. “Ini bukan masalah tiket pesawat, Kyra. Tapi ada keluarga kita di sana. Emang kamu enggak kangen Nenek? Udah empat tahun kan kamu enggak pulang ke sana?”

Kyra terlihat menimbang-nimbang sesaat. Keluarganya memang keluarga yang berkecukupan. Harga tiket pesawat hanya masalah kecil bagi keluarga mereka tapi Kyra sering tidak menyadarinya. Papanya punya perusahaan besar dan menjadi CEO di perusahaannya sendiri, sedangkan Mama memangku jabatan sebagai Menteri. Mereka orang hebat. Tapi akibatnya mereka jadi sangat sibuk sehingga sering lupa melupakan keberadaan Reza dan Kyra.

Kyra sendiri lebih sering menghabiskan waktunya di apartement kakaknya daripada di rumah karena di rumah hanya ada pembantu, tukang kebun, dan sopir. Meskipun ada 'banyak' orang, ia tetap selalu merasa kesepian.

“Tapi aku maunya liburan ke vila di gunung atau mendaki gunung.” Kyra masih berkilah.

“Kamu udah dengerin sendiri kan? Papa dan Mama enggak ngizinin kamu mendaki.”

“Kalau gitu aku enggak mau ikut Kakak.” Kyra mencibir dan melanjutkan bermain laptopnya.

Reza pikir adiknya akan berubah pikiran, tapi ternyata Kyra lebih keras kepala daripada yang ia duga. Tiba-tiba ia menyeringai usil. Sebenarnya tanpa meminta persetujuan Kyra pun, Reza akan tetap mengajak Kyra pergi ke rumah Nenek. “Enggak peduli kamu menolak terus, aku tetap akan ajak kamu. Soalnya aku udah beli dua tiket buat besok pagi.” Cowok itu terkekeh sambil menjilat es krimnya. 

WHAT?!” Kyra hampir menjatuhkan laptopnya karena terkejut. "Terus ngapain pakek tawar-menawar sama aku?" 

"Buang bosan." 

"Ih... Tetap aja aku enggak mau walau udah dibelikan tiket. Pokoknya besok pagi aku bakal bangun siang dan malam ini aku enggak akan bersiap-siap buat besok!”

“Terserah. Toh yang susah bakal kamu sendiri,” kata Reza sambil memakan cheese cake yang ada di tangannya.

Kyra menatap abangnya sebal. "Awas entar jadi gendut." 

"Bodo amat. Pokoknya besok kita berangkat. Enggak peduli kamu siap atau enggak. Kalau enggak ada aku di sini, siapa yang jagain kamu emangnya?" 

Kyra mendesah panjang. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Ia langsung mengambil ponselnya untuk menghubungi teman-temannya agar mereka mau menjemputnya malam ini dari apartement

“Enggak. Nanti malam, kamu enggak boleh pergi sama anak-anak urakan itu,” kata Reza ketus seperti dapat membaca pikiran adiknya. 

Alis Kyra bertaut. “Mereka bukan anak urakan! Mereka teman-teman bandku!” Kali ini Kyra benar-benar tersinggung. Ia berjalan menuju kamarnya dan membanting pintu kamarnya. Ia kesal sekali. Ternyata Reza sudah tahu tentang band indienya. Dari mana Reza tahu?! Arghhh... Tapi yang paling ia tidak suka adalah saat teman-temannya disebut sebagai anak-anak urakan.


Selama di pesawat, Kyra lebih banyak diam. Begitu duduk di kursi penumpang kelas bisnis, ia langsung membuang muka ke arah jendela. Walaupun Reza mengancam tidak akan membereskan barang-barang Kyra, laki-laki itu tetap saja memasukkan beberapa pakaian Kyra ke dalam kopernya. Kyra dengan cuek hanya membawa gitarnya dan sebuah ransel hitam yang berisi pernak-perniknya. 

Reza selalu pura-pura bersikap tidak peduli pada adiknya. Tapi sebenarnya ia sangat memperhatikan adiknya. Ia tahu kalau adiknya pernah menjadi anggota band rock sebelum gabung dengan band indie, tapi tak berlangsung lama. Adiknya memang sangat berbakat di bidang musik. Papa dan Mama tak pernah menghalangi minatnya. Bahkan saat ulang tahun Kyra yang keenam, Papa membelikan putri satu-satunya sebuah grand prix piano.

Tunggu. Musik klasik ke musik rock?

Ya. Waktu pertama kali melihat piano di rumah teman Papa, Kyra langsung jatuh cinta pada alat musik tersebut. Gadis kecil itu bisa memainkan berbagai melodi sulit, tanpa guru yang membimbing. Namun saat SMP, Kyra mengenal gitar elektrik, gitar akustik, dan bass. Ia jadi lebih suka bermain kedua alat musik itu hingga ujung jarinya melepuh. 

Papa dan Mama tak masalah. Mereka pun membelikan Kyra gitar elektrik dan gitar akustik sekaligus. Tapi karena terlalu dibebaskan, Kyra menjadi semaunya sendiri. Ia merasa tak akan pernah ada yang menghalangi jalannya. Sampai akhirnya, saat SMA, Kyra mengikuti band rock dan menjadi gitarisnya. Ia bersama teman-teman bandnya bahkan mengikuti kompetisi band yang seharusnya untuk usia 18 tahun ke atas. Tapi Kyra bisa lolos mengikuti kompetisi itu saat umurnya masih 15 tahun. Orangtuanya tentu saja tidak mengetahui hal itu. Yang ia tahu, Kyra hanyalah anak perempuan tomboy yang suka bermain alat musik. 

“Kak... aku mual,” ucap Kyra tiba-tiba dengan wajah pucat pasi. Ia menarik lengan kemeja Reza dengan tangan lemas.

Reza mengambilkan kantong muntah yang selalu tersedia di kantong kursi penumpang. Bukannya bersimpati pada adiknya yang mabuk pesawat, Reza justru terkekeh. “Hehehe… Udah selesai ngambeknya?” Ia tahu, Kyra kalau sedang merajuk tak akan bicara pada subjek penyebab ia merajuk. 

Kyra mengernyitkan dahi sambil memuntahkan sarapannya. Kekesalannya semakin bertambah karena tak bisa membalas ejekan Reza. 


“Apa? Kamu pergi ke antah berantah selama sebulan?!”

Kyra menggigit bibirnya sambil mengetuk-ngetuk kusen jendela kamarnya dengan gelisah. Ia menyebut Pulau Kabaena sebagai tempat antah berantah. Karena untuk menuju tempat ini, ia harus naik pesawat, transit, naik pesawat lagi, lalu naik kapal feri, naik perahu kecil, naik mobil... Hhhh... Ia muntah berkali-kali.

Ia sudah beristirahat selama beberapa jam. Saat ini ia sedang duduk di jendela ruangan yang dulu pernah menjadi kamarnya. Jendela itu menghadap langsung ke laut yang jaraknya hanya seratus langkah. “Well, aku dipaksa Reza. Aku juga enggak menyangka kalau dia sudah membelikanku tiket pesawat! Kemarin malam pintu apartementnya juga dijaga ketat olehnya!" 

Terdengar helaan napas berat di seberang sana. Seorang laki-laki berumur 22 tahun. “Kami butuh kau di kompetisi band itu. Apa arti band kita tanpa seorang gitaris?”

Kyra memindahkan posisi kakinya agar terjulur ke luar jendela. “Bisa cari pengganti sementara kan?”

“Tapi pasti bakal susah buat menyesuaikan diri lagi, Ky." 

“Iya. Aku tahu. Aku bener-bener minta maaf, Yudha.” Hal yang ia sukai dari grup band ini, ia bisa sesuka hati memanggil orang yang lebih tua darinya tanpa honorific sebab member grup band itu tidak tahu kalau Kyra sebenarnya masih anak SMA kelas 11. 

“Baiklah. Kalau gitu, buat lagu original untuk band kita! Pokoknya sesampainya kamu di sini, kamu harus udah selesai bikin lirik sekaligus melodinya.”

“Oke.”

“Buat empat lagu, sesuai dengan jumlah kaburmu yang selama empat minggu.”

“Hey! Aku enggak kabur!”

TUUT TUUT…

Telepon diakhiri secara sepihak.

Kyra menggerutu dalam hati. Andaikan tidak perlu pergi ke pulau ini, ia bisa ikut kompetisi band dan manggung di cafe-cafe sesuai rencana Yudhaleader band indienya.

“Kyra? Ayo makan siang,” panggil Nenek. 

Kyra menyahut dengan malas. “Kyra belum lapar.”

“Ya sudah, nanti datang saja yang ke ruang makan.”

“Iya…”

Cewek itu berusaha menghubungi Yudha lagi. Tapi tidak ada sinyal. Ia bahkan tak bisa menyalakan koneksi internetnya. Arrrghhh… Kenapa aku harus pergi ke tempat ini?!


Kyra's Point of View

Rumah Nenek berada di pinggir laut yang tenang, dia sebuah kepualauan, di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kalau disebutkan nama kepulauan itu, aku yakin tidak banyak orang yang tahu. Padahal pulau itu memiliki pantai berwarna biru yang sejernih kristal. 

Rumah Nenek adalah satu-satunya rumah mewah di tempat itu. Tentu saja karena anak-anak Nenek yang sudah menjadi orang sukses semua, Nenek jadi bisa menikmati hari tuanya tanpa mengkhawatirkan apa pun. Ia memiliki anak-anak yang sukses dan cucu-cucu yang sehat. 

Meskipun Kakek sudah meninggal sejak empat tahun yang lalu, Nenek tak pernah kesepian. Ada Tante Allisa yang selalu berada di dekat Nenek. Tante Allisa dan suaminya adalah pemilik resort di kawasan pantai ini.

Waktu masih kecil, aku pernah tinggal di sini selama lima tahun. Tempat ini menyimpan banyak kenangan. Dan yang paling kuingat adalah Kakek. Ingatan tentang Kakek masih sangat segar di kepalaku. Aku masih ingat Kakek yang suka bercerita saat ia masih menjadi pelaut dan segala macam petualangannya...

“Kyra senang bisa pulang ke sini?” tanya Nenek membuyarkan lamunanku. Nenek duduk di atas kursi sementara aku duduk di atas tangga. 

Saat ini aku sedang membantu Nenek mengupas kacang di dapur. (Sebenarnya Nenek punya pembantu, tapi lebih suka melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil dengan dibantu cucunya.) Di rumah ada dua saudara sepupuku, tapi aku masih merasa canggung, tidak seperti Reza yang baru datang sudah mengusili Zia dan Aziadik sepupuku yang umurnya masih 9 tahun. Terdengar suara tawa renyah Reza tiap kali ia berhasil mengerjai adik kembarnya.

Ini sudah hari ketiga aku berada di sini. Tapi aku masih belum merasa kerasan. Padahal masih tersisa 25 hari lagi. Ya ampun. 

“Huwaaaaa! Neneeeek! Kak Reza jahat!” jerit Zia sambil berlari menuju Neneknya.

“Eh, siapa yang jahat?” sahut Reza dengan wajah sok polos.

“Huwaaaaa!” Zia langsung memeluk Neneknya saat Reza datang ke arahnya.

“Udah… Udah…” Nenek mengelus rambut panjang Zia yang keriting.

Tak lama kemudian, Tante Allisa dan Om Anwar datang. Mereka akan makan malam di rumah Nenek. Kemudian terdengar suara klakson mobil, aku mengintip keluar. Dua saudara sepupuku yang berasal dari Makassar datang.

Sepertinya liburan kali ini benar-benar sulit untuk menulis lagu. Sangat ramai.


Di kamarku selalu ada dua ranjang karena keluargaku adalah keluarga besar yang memiliki banyak anggota. Tiap liburan, rumah ini menjadi sangat ramai. Padahal dengan adanya Zia dan Azi saja, rumah ini sudah terasa seperti pasar malam.

Aku memilih untuk mendekam di dalam kamar. Iseng, aku membuka laci meja belajarku waktu aku masih SD. Di dalam laci itu, terdapat sebuah boneka kayu lusuh yang di tengah-tengahnya terdapat batu berwarna toska. Aku yakin sekali, batu itu baru saja bersinar terang.

Aku terpukau oleh cahaya hijau kebiruan yang baru saja terpancar dari dada boneka kayu itu. Selain boneka kayu, aku menemukan buku diaryku waktu masih SD. Aku tersenyum sendiri saat membaca curhatan seorang bocah 7 tahun itu.

“Kak Kyra, lagi lihat apa?” sapa Safinaadik sepupuku yang berasal dari Makassar. Meskipun lebih muda dariku setahun, tubuhnya jauh lebih tinggi daripada diriku.

“Haha… Bukan apa-apa,” jawabku sambil menutup buku diaryku cepat-cepat. Aku malu banget kalau ada yang baca itu.

“Boneka Kakek ya?” kata Safina sambil menunjuk boneka kayu di tangan kiriku.

Entah kenapa seperti ada yang menusuk hatiku saat tahu benda ini ternyata peninggalan kakekku.

“Dulu kakek membuat tiap cucunya satu buah boneka kayu. Ada 11 boneka, sesuai jumlah kita,” jelas Safina dengan nada mengenang. ‘Kita’ yang dimaksud adalah aku, Safina, Reza, dan saudara-saudara sepupuku yang lain. Aku merasa hangat saat Safina mengucapkan kata itu. “Sayangnya punyaku dan punya Kak Alif sudah menghilang.”

Aku mengernyitkan dahi. “Menghilang?”

“Iya. Di rumahku, kedua boneka kayu itu diletakkan di tempat yang mencolok untuk dipajang. Tapi tiba-tiba suatu hari benda itu menghilang. Punya Azi dan Zia juga.”

“Dari mana kamu tahu punya Azi dan Zia juga hilang?”

“Tante Allisa yang bilang ke Bundaku,” jawab Safina. “Emang sih, kedengarannya sepele… Tapi waktu itu semua anak Kakek dan Nenek langsung saling menghubungi saat boneka peninggalan Kakek hilang. Padahal cuma boneka anak-anak.”

“Jadi, ini satu-satunya yang enggak hilang?” Aku cukup terkesan dengan cerita barusan dan merasa istimewasesaatkarena hanya bonekaku yang tidak hilang. Pasti Mama juga dihubungi oleh adik-adiknya, tapi Mama yang seorang Menteri mana punya waktu buat memikirkan hal remeh seperti boneka kayu.

Safina mengangguk yakin. “Punyaku berbatu warna merah dan merupakan boneka perempuan. Tapi kok punya Kakak, laki-laki?”

Aku menggeleng tak tahu. Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan itu, karena yang punya jawaban sudah lama tiada…


Selama beberapa hari selanjutnya, aku lebih banyak menghabiskan waktu di pantai. Tak sengaja aku menemukan kursi bambu di bawah pohon kelapa. Aku langsung menandai tempat itu sebagai teritorialku. Setiap hari, aku duduk di situ sambil memegang pensil dan buku tulisㅡberusaha merangkai kata untuk dijadikan lagu.

Kadang aku bermain gitar. Siapa tahu menemukan melodinya dulu, baru lirik. Tapi malah berujung aku disuruh bermain gitar untuk mengiring sepupu-sepupuku bernyanyi lagu anak-anak.

“Kyra, aku pergi memancing dulu ya! Bye!” seru Reza di atas yacht pribadi milik keluarga besarkuPapa yang membelinya. Ukuran yacht itu tidak terlalu besar karena hanya untuk memancing atau pergi antar pulau. Reza begitu lengket dengan Alifㅡkakaknya Safina. Mereka melambai kompak ke arahku.

Aku balas melambai dengan malas.

Dasar. Mereka berdua sama-sama sudah kuliah, tapi tingkahnya masih saja seperti bocah. (Reza sudah sidang, tinggal tunggu pengumuman kelulusan saja. Sedangkan Alif baru masuk kuliah tahun lalu.)

Aku memandang boneka kayu di tanganku. Batu di dada boneka anak laki-lakiku itu masih terlihat bersinar-sinar seperti kristal. Aku penasaran kenapa hanya bonekaku yang tidak hilang. Mungkin karena boneka ini tak kubawa sampai ke rumahku di Jakarta.

Bukannya memikirkan lirik lagu, malah memikirkan boneka enggak jelas.

Aku memutar pensilku dengan jari. Sepertinya bagus kalau aku membuat lagu tentang laut. Aku pun menulis verse pertamanya. Tapi langsung kuhapus lagi karena liriknya kentang banget. 

Aku menghela napas panjang. Ini sudah hari ke-6, aku di sini.

Lalu, aku berbaring di kursi bambu dan mengangkat boneka berbatu toska itu di atas wajahku. Boneka itu berwajah anak laki-laki. Rambutnya hitam dan pendek, terbuat dari serat sintetis. Matanya terbuat dari kancing berwarna hitam. Mulutnya diukir tersenyum. Ia memakai baju berwarna putih dan celana pendek berwarna biru. Di tengah baju itu, terdapat batu kristal berwarna toska.

Sekilas boneka ini tak ada spesial-spesialnya, kecuali dibuat langsung oleh Kakekku.

Arrrghhh… Kenapa aku malah lihat-lihat boneka sih? Ingat, Kyra! Lagu buat band indiemu!

Aku melempar boneka itu. Tapi air laut menyambarnya. Kemudian, boneka itu pun hanyut di atas air.

“Ah! Jangaaan!” Aku berlari ke arah laut.

Tubuhku menegang saat kakiku menyentuh air laut. Please trauma jangan datang di saat seperti ini. Oke. Tarik napas. Jangan ingat waktu aku tenggelam di laut. Jangan ingat!

Ah kalau disebutkan malah jadi ingat kan?!

Aku memejamkan mataku dan berlari lebih jauh ke arah laut. Aku membuka mataku sedikit untuk melihat apakah sudah dekat dengan si boneka?

Boneka itu berjarak tinggal sedikit lagi dariku. Tapi saat tanganku menggapainya, aku malah terjerembab jatuh ke dalam air.

Aku masih di berdiri di air yang kedalamannya hanya sepinggang. Tapi rasanya aku sudah panik. Aku membuka mataku di dalam air dan melihat seorang anak laki-laki…

Kakiku langsung menjejak pasir lagi agar tidak tenggelam dan kepalaku sudah berada di atas permukaan air laut. Aku bernapas seperti orang yang habis berlari jauh.

Boneka laki-laki itu berada di depanku. Tapi aku tidak melihat sosok anak laki-laki itu dari atas air. Hanya ada boneka kayu berbatu toska. Karena penasaran, aku berjongkok lagi agar seluruh tubuhku masuk ke dalam air dan betapa terkejutnya aku melihat seorang anak laki-laki ada di bawah air laut. Tangannya dilipat silang, matanya tertutup, dan ia seperti duduk bersila di dasar laut. Tak bergerak. Saking terkejutnya, aku sampai membuka mulut di dalam air dan menelan air laut.

Aku terbatuk-batuk. Ewww asin! Aku menyambar boneka laki-laki itu dan kembali ke daratan.


Keesokan harinya. Saat melihatku pergi ke laut dengan pakaian renang, orang-orang serumah langsung kaget. Seorang Kyra berenang? Impossible!

Begitulah pemikiran mereka dan kenyataannya memang begitu. Waktu umurku 11 tahun, aku pernah tenggelam. Hal itu membuatku trauma seumur hidup. Selain itu, aku juga tidak pandai berenang. Aku cuma pandai bermain gitar. Hehehe…

Tapi kali ini aku berusaha mengalahkan rasa takutku pada air. Aku akan menyelidiki anak laki-laki itu. Jadi, aku memakai kacamata renang juga agar mataku tidak perih saat berada di dalam air. Tentu sebelumnya aku sudah memakai sunblock banyak-banyak.

Aku melangkah di atas pasir putih yang sangat lembut, perlahan-lahan menuju ke arah laut yang berwarna sejernih kristal. Aku bahkan bisa melihat kakiku yang berada di bawah air dengan sangat jelas.

Ketika sudah berada di kedalaman setinggi pinggang orang dewasa, aku melepas boneka kayuku. Membiarkannya tenggelam di air laut. Kemudian, aku berjongkok agar seluruh tubuhku masuk ke dalam air.

Sekarang aku bisa melihat di dalam air dengan mudah berkat kacamata renang yang kupakai. Posisi tubuh anak laki-laki itu masih sama seperti kemarin. Rambutnya berwarna hitam. Kulitnya seputih susu. Ia memakai kaus berwarna putih dan celana pendek berwarna biru. Ia bertelanjang kaki. Wajahnya... tampan meski sedikit menyiratkan ekspresi bocah.

Aku mengangkat kepalaku lagi untuk menghirup udara. Setelah kuamati, anak laki-laki itu berpakaian sama persis dengan boneka kayuku.

Tidak mungkin kan… dia perwujudan boneka laki-lakiku?!

Setelah melihat fisiknya secara jelas, sekarang aku penasaran. Apakah dia hidup?

Aku menarik napas dan masuk lagi ke dalam air. Tanganku teraih untuk menyentuh pundaknya. Saat aku menyentuhnya, ia langsung membuka matanya seperti orang yang dibangunkan. Aku langsung kaget dan menarik napas di atas air.

“Dia hidup!” ucapku tak percaya.

Aku masuk lagi ke dalam air. Ia menatapku dengan sorot polos seperti anak kecil. Tapi dilihat dari proporsi tubuhnya, kira-kira ia berumur 17 atau 18 tahun. Ia tersenyum lebar saat melihatku. Ia tak lagi dalam posisi seperti memeluk sesuatu. Sekarang aku dan dia seperti sedang menyelam berhadapan di dalam air.

Aku tidak percaya ini. Tapi saat aku menyentuh tangannya, aku bisa merasakan tekstur tangannya. Tangan seorang laki-laki. Meskipun kulitnya seputih susu dan wajahnya berekspresi polos seperti bocah, tangannya berotot.

Ia menggenggam tanganku. Wajahnya terlihat terlalu senang sampai ia ingin menarikku ke laut yang lebih dalam, tapi aku menggeleng. Aku tidak bisa berenang. Wajahnya jadi murung saat aku menggeleng kuat-kuat. Ya Tuhan. Kenapa dia sangat mirip bocah menggemaskan?

Aku tak bisa menahan napas lebih lama lagi. Jadi aku mengangkat wajahku ke permukaan. Boneka laki-lakiku mengambang di atas air. Tapi saat aku menunduk ke dalam air, aku tak melihat sosoknya. Jadi, aku mengambil kesimpulan kalau anak laki-laki itu hanya bisa dilihat di bawah permukaan air laut.

Aku menyambar boneka laki-lakiku. Cukup untuk hari ini. karena ombak semakin besar dan langit terlihat kelabu. Aku harus naik ke daratan.


Berhari-hari kemudian, aku selalu pergi ke laut membawa boneka kayu milikku. Kalau adik-adik sepupuku juga pergi ke laut, diam-diam aku akan pergi ke daerah yang lebih sepi agar aku hanya bisa berdua bersamanya. Aku tak mau kelihatan seperti orang sinting yang berbicara pada makhluk yang aku sendiri tidak yakin dia nyata atau tidak. 

Aku belum tahu siapa namanya.

Aku pernah mengajaknya untuk naik ke permukaan, tapi ia menggeleng. Ia tidak bisa naik ke permukaan. Jadi kusimpulkan dia adalah makhluk laut!

Oke. Ini hanya imajinasiku saja. Tak mungkin ada yang namanya makhluk laut. Dia pasti tidak nyata. Dia hanya imajinasiku karena aku adalah seorang anak perempuan yang selalu kesepian.

Hari ini, aku melempar boneka laki-lakiku di air laut seperti biasanya. Kemudian aku berjongkok. Aku langsung disambut oleh senyum cerianya. Tangannya melambai ke arahku. Selama ini aku berkomunikasi dengannya menggunakan bahasa isyarat. Ia jago sekali berbahasa isyarat, seperti berbicara ke orang yang tunarungu. Tapi aku bisa mendengar dengan baik. Jadi seringkali aku tak paham maksud omongannya yang menggunakan bahasa isyarat itu.

Sepertinya ia baru saja menceritakan hal penting. Tapi aku tak mengerti satu kata pun bahasa isyaratnya. Ia terlihat frustasi. Wajahnya yang ceria seperti anak kecil berubah menjadi serius. Tiba-tiba saja ia mendekat ke arahku. Kini wajahku dan wajahnya berada sangat dekat. Mata kami saling beradu pandang. Bibirnya terbuka sedikit…

Aku tak kuat. Jadi aku menyembul ke atas air lagi.

“Apa yang mau dia lakukan?!” gumamku dengan jantung berdetak tak karuan. Memalukan!

Pipiku terasa panas saat mengingat kejadian barusan. Apakah dia berusaha menciumku? Tidak mungkin! Aku masih 16 tahun! Belum waktunya!

Aku pun berusaha berjalan ke arah pantai. Tapi kakiku tersandung pasir yang berat. Akhirnya aku jatuh terjerembab ke dalam air. Anak laki-laki itu langsung berenang mendekatiku. Kedua tangannya yang kokoh memegang pundakku dengan agak menekanseperti menahanku agar tidak menyembul ke permukaan air lagi. Kemudian ia mendekatkan wajahnya ke wajahku sebelum aku bisa menjauh lagi. Aku pasrah. Aku tidak bisa melawan tenaganya. Jadi aku hanya memejamkan mataku.

Tapi ia hanya mengecup keningku dengan lembut. Sangat lembut sehingga terasa seperti sapuan awan. 

“Kau bisa mendengarku sekarang?” 

𝓣𝓸 𝓑𝓮 𝓒𝓸𝓷𝓽𝓲𝓷𝓾𝓮𝓭

Here is the Part 2: