Biru - PART 1 -
Februari 17, 2018𝓑𝓲𝓻𝓾
Photography by me
♪
“Jadi, kamu lebih memilih stay di rumah?”
Seorang cowok jangkung baru saja selesai mengemasi barang-barangnya ke
dalam koper untuk ia bawa pergi berlibur. Ia menatap adik perempuannya yang
sedang bermalas-malasan di atas sofa sambil bermain laptop. Ia tak habis pikir,
kenapa bisa ia punya adik cewek yang sangat pemalas karena seharian gadis itu hanya duduk di sofa.
“Iya,” jawab Kyraㅡnama adik
perempuannyaㅡketus.
Reza menatap adiknya dengan sangsi. “Yakin mau mendekam terus di rumah selama empat minggu liburan?”
"Iya. Lagian
aku memang berencana buat berhibernasi,” jawab Kyra seenaknya.
Reza menggelengkan kepalanya lantas pergi ke dapur
sambil berkata, “Baru kali ini aku ngajak orang liburan ke laut,
malah enggak mau, cuma gara-gara kepengennya pergi ke gunung tapi enggak
diizinin.”
Kyra menghentikan kegiatannya scrolling tumblr. Ia mendengus kesal.“Terus
kenapa? Harusnya Kakak bersyukur, jadi enggak perlu beli tiket pesawat buat dua
orang!”
Reza membuka kulkas, mencari-cari makanan. Setelah
menemukan satu slice cheese cake, pizza
sisa kemarin, es krim cookies, dan
sekaleng soda, ia menutup kulkas menggunakan kakinya lalu kembali ke ruang
tengah. Ia sedang lapar berat tapi malas memasak ataupun keluar cari makan. “Ini bukan masalah tiket pesawat, Kyra. Tapi ada keluarga kita di sana.
Emang kamu enggak kangen Nenek? Udah empat tahun kan kamu enggak pulang ke
sana?”
Kyra terlihat menimbang-nimbang sesaat. Keluarganya
memang keluarga yang berkecukupan. Harga tiket pesawat hanya masalah kecil bagi keluarga mereka tapi Kyra sering tidak menyadarinya. Papanya punya perusahaan besar dan menjadi
CEO di perusahaannya sendiri, sedangkan Mama memangku
jabatan sebagai Menteri. Mereka orang hebat. Tapi akibatnya mereka jadi sangat
sibuk sehingga sering lupa melupakan keberadaan Reza dan Kyra.
Kyra sendiri lebih sering menghabiskan waktunya di apartement kakaknya daripada di rumah karena di rumah hanya ada pembantu, tukang kebun, dan sopir. Meskipun ada 'banyak' orang, ia tetap selalu merasa kesepian.
“Tapi aku maunya liburan ke vila di gunung atau
mendaki gunung.” Kyra masih berkilah.
“Kamu udah dengerin sendiri kan? Papa dan Mama enggak
ngizinin kamu mendaki.”
“Kalau gitu aku enggak mau ikut Kakak.” Kyra mencibir
dan melanjutkan bermain laptopnya.
Reza pikir adiknya akan berubah pikiran, tapi
ternyata Kyra lebih keras kepala daripada yang ia duga. Tiba-tiba ia menyeringai usil. Sebenarnya tanpa meminta persetujuan Kyra pun, Reza akan
tetap mengajak Kyra pergi ke rumah Nenek. “Enggak peduli kamu menolak terus,
aku tetap akan ajak kamu. Soalnya aku udah beli dua tiket buat besok pagi.”
Cowok itu terkekeh sambil menjilat es krimnya.
“WHAT?!”
Kyra hampir menjatuhkan laptopnya karena terkejut. "Terus ngapain pakek tawar-menawar sama aku?"
"Buang bosan."
"Ih... Tetap aja aku enggak mau walau udah dibelikan tiket. Pokoknya besok pagi aku bakal bangun siang dan malam ini aku enggak akan
bersiap-siap buat besok!”
“Terserah. Toh yang susah bakal kamu sendiri,” kata Reza sambil memakan cheese cake yang ada di tangannya.
Kyra menatap abangnya sebal. "Awas entar jadi gendut."
"Bodo amat. Pokoknya besok kita berangkat. Enggak peduli kamu siap atau enggak. Kalau enggak ada aku di sini, siapa yang jagain kamu emangnya?"
Kyra mendesah panjang. Ia sudah menduga hal ini akan
terjadi. Ia langsung mengambil ponselnya untuk menghubungi teman-temannya agar
mereka mau menjemputnya malam ini dari apartementㅡ
“Enggak. Nanti malam, kamu enggak boleh pergi sama
anak-anak urakan itu,” kata Reza ketus seperti dapat membaca pikiran adiknya.
Alis Kyra bertaut. “Mereka bukan anak urakan! Mereka teman-teman bandku!” Kali ini Kyra benar-benar
tersinggung. Ia berjalan menuju kamarnya dan membanting pintu kamarnya. Ia kesal sekali. Ternyata Reza sudah tahu tentang band indienya. Dari mana Reza tahu?! Arghhh... Tapi yang paling ia tidak suka adalah saat teman-temannya disebut sebagai anak-anak urakan.
♪
♪
♪
♪
♪
Selama di pesawat, Kyra lebih banyak diam. Begitu
duduk di kursi penumpang kelas bisnis, ia langsung membuang muka ke arah jendela. Walaupun Reza mengancam tidak akan membereskan barang-barang Kyra, laki-laki itu tetap saja memasukkan beberapa pakaian Kyra ke dalam kopernya. Kyra dengan cuek hanya membawa gitarnya dan sebuah ransel hitam yang berisi pernak-perniknya.
Reza selalu pura-pura bersikap tidak peduli pada adiknya. Tapi sebenarnya ia sangat memperhatikan adiknya. Ia tahu kalau adiknya pernah menjadi anggota band rock sebelum gabung dengan band indie, tapi tak berlangsung lama. Adiknya memang sangat
berbakat di bidang musik. Papa dan Mama tak pernah menghalangi minatnya. Bahkan
saat ulang tahun Kyra yang keenam, Papa membelikan putri satu-satunya sebuah grand prix piano.
Tunggu. Musik klasik ke musik rock?
Ya. Waktu pertama kali melihat piano di rumah teman
Papa, Kyra langsung jatuh cinta pada alat musik tersebut. Gadis kecil itu bisa
memainkan berbagai melodi sulit, tanpa guru yang membimbing. Namun saat SMP,
Kyra mengenal gitar elektrik, gitar akustik, dan bass. Ia jadi lebih suka bermain kedua alat musik itu hingga ujung jarinya melepuh.
Papa dan Mama tak masalah. Mereka pun membelikan Kyra
gitar elektrik dan gitar akustik sekaligus. Tapi karena terlalu dibebaskan, Kyra menjadi semaunya sendiri. Ia merasa tak akan pernah ada yang menghalangi jalannya. Sampai akhirnya, saat
SMA, Kyra mengikuti band rock dan
menjadi gitarisnya. Ia bersama teman-teman
bandnya bahkan mengikuti kompetisi band yang seharusnya untuk usia 18
tahun ke atas. Tapi Kyra bisa lolos mengikuti kompetisi itu saat umurnya masih 15 tahun. Orangtuanya tentu saja tidak mengetahui hal itu. Yang ia tahu, Kyra hanyalah anak perempuan tomboy yang suka bermain alat musik.
“Kak... aku mual,” ucap Kyra tiba-tiba dengan
wajah pucat pasi. Ia menarik lengan kemeja Reza dengan tangan lemas.
Reza mengambilkan kantong muntah yang selalu tersedia
di kantong kursi penumpang. Bukannya bersimpati pada adiknya yang mabuk
pesawat, Reza justru terkekeh. “Hehehe… Udah selesai ngambeknya?” Ia tahu, Kyra kalau sedang merajuk tak akan bicara pada subjek penyebab ia merajuk.
Kyra mengernyitkan dahi sambil memuntahkan
sarapannya. Kekesalannya semakin bertambah karena tak bisa membalas ejekan
Reza.
♪
♪
♪
♪
♪
“Apa? Kamu pergi ke antah berantah selama sebulan?!”
Kyra menggigit bibirnya sambil mengetuk-ngetuk kusen
jendela kamarnya dengan gelisah. Ia menyebut Pulau Kabaena sebagai tempat antah berantah. Karena untuk menuju tempat ini, ia harus naik pesawat, transit, naik pesawat lagi, lalu naik kapal feri, naik perahu kecil, naik mobil... Hhhh... Ia muntah berkali-kali.
Ia sudah beristirahat selama beberapa jam. Saat ini ia sedang duduk di jendela ruangan yang dulu pernah menjadi kamarnya. Jendela itu menghadap
langsung ke laut yang jaraknya hanya seratus langkah. “Well, aku dipaksa
Reza. Aku juga enggak menyangka kalau dia sudah membelikanku tiket pesawat! Kemarin malam pintu apartementnya juga dijaga ketat olehnya!"
Terdengar helaan napas berat di seberang sana.
Seorang laki-laki berumur 22 tahun. “Kami butuh kau di
kompetisi band itu. Apa arti band kita tanpa seorang gitaris?”
Kyra memindahkan posisi kakinya agar terjulur ke luar
jendela. “Bisa cari pengganti sementara kan?”
“Tapi pasti bakal susah buat menyesuaikan diri lagi, Ky."
“Iya. Aku tahu. Aku bener-bener minta maaf, Yudha.”
Hal yang ia sukai dari grup band ini,
ia bisa sesuka hati memanggil orang yang lebih tua darinya tanpa honorific sebab member grup band itu tidak tahu kalau Kyra sebenarnya masih anak SMA kelas 11.
“Baiklah. Kalau gitu, buat lagu original untuk band kita! Pokoknya sesampainya kamu di
sini, kamu harus udah selesai bikin lirik sekaligus melodinya.”
“Oke.”
“Buat empat lagu, sesuai dengan jumlah kaburmu yang
selama empat minggu.”
“Hey! Aku enggak kabur!”
TUUT TUUT…
Telepon diakhiri secara sepihak.
Kyra menggerutu dalam hati. Andaikan tidak perlu
pergi ke pulau ini, ia bisa ikut kompetisi band
dan manggung di cafe-cafe sesuai
rencana Yudhaㅡleader band indienya.
“Kyra? Ayo makan siang,” panggil Nenek.
Kyra menyahut dengan malas. “Kyra belum
lapar.”
“Ya sudah, nanti datang saja yang ke ruang makan.”
“Iya…”
Cewek itu berusaha menghubungi Yudha lagi. Tapi tidak
ada sinyal. Ia bahkan tak bisa menyalakan koneksi internetnya. Arrrghhh… Kenapa aku harus pergi ke tempat
ini?!
♪
♪
♪
♪
♪
Kyra's Point of View
Rumah Nenek berada di pinggir laut yang tenang, dia
sebuah kepualauan, di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kalau disebutkan nama
kepulauan itu, aku yakin tidak banyak orang yang tahu. Padahal pulau itu memiliki pantai
berwarna biru yang sejernih kristal.
Rumah Nenek adalah satu-satunya rumah mewah di tempat itu. Tentu saja karena anak-anak Nenek yang sudah menjadi orang sukses semua, Nenek jadi bisa menikmati hari tuanya tanpa mengkhawatirkan apa pun. Ia memiliki anak-anak yang sukses dan cucu-cucu yang sehat.
Meskipun Kakek sudah meninggal sejak empat tahun yang
lalu, Nenek tak pernah kesepian. Ada Tante Allisa yang selalu berada di dekat Nenek. Tante Allisa dan suaminya adalah pemilik resort
di kawasan pantai ini.
Waktu masih kecil, aku pernah tinggal di sini selama lima tahun. Tempat
ini menyimpan banyak kenangan. Dan yang paling kuingat adalah Kakek. Ingatan tentang Kakek masih sangat segar di kepalaku. Aku masih ingat Kakek yang suka bercerita saat ia masih menjadi pelaut dan segala macam petualangannya...
“Kyra senang bisa pulang ke sini?” tanya Nenek
membuyarkan lamunanku. Nenek duduk di atas kursi sementara aku duduk di atas tangga.
Saat ini aku sedang membantu Nenek mengupas kacang di
dapur. (Sebenarnya Nenek punya pembantu, tapi lebih suka melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil dengan dibantu cucunya.) Di rumah ada dua saudara sepupuku, tapi aku masih
merasa canggung, tidak seperti Reza yang baru datang sudah mengusili Zia dan Aziㅡadik
sepupuku yang umurnya masih 9 tahun. Terdengar suara tawa renyah Reza tiap
kali ia berhasil mengerjai adik kembarnya.
Ini sudah hari ketiga aku berada di sini. Tapi aku
masih belum merasa kerasan. Padahal masih tersisa 25 hari lagi. Ya ampun.
“Huwaaaaa! Neneeeek! Kak Reza jahat!” jerit Zia
sambil berlari menuju Neneknya.
“Eh, siapa yang jahat?” sahut Reza dengan wajah sok
polos.
“Huwaaaaa!” Zia langsung memeluk Neneknya saat Reza
datang ke arahnya.
“Udah… Udah…” Nenek mengelus rambut panjang Zia yang
keriting.
Tak lama kemudian, Tante Allisa dan Om Anwar datang.
Mereka akan makan malam di rumah Nenek. Kemudian terdengar suara klakson mobil, aku mengintip keluar. Dua saudara sepupuku yang berasal dari Makassar
datang.
Sepertinya liburan kali ini benar-benar sulit untuk
menulis lagu. Sangat ramai.
♪
♪
♪
♪
♪
Di kamarku selalu ada dua ranjang karena keluargaku
adalah keluarga besar yang memiliki banyak anggota. Tiap liburan, rumah ini menjadi
sangat ramai. Padahal dengan adanya Zia dan Azi saja, rumah ini sudah terasa seperti pasar malam.
Aku memilih untuk mendekam di dalam kamar. Iseng, aku
membuka laci meja belajarku waktu aku masih SD. Di dalam laci itu, terdapat
sebuah boneka kayu lusuh yang di tengah-tengahnya terdapat batu berwarna toska.
Aku yakin sekali, batu itu baru saja bersinar terang.
Aku terpukau oleh cahaya hijau kebiruan yang baru
saja terpancar dari dada boneka kayu itu. Selain boneka kayu, aku menemukan
buku diaryku waktu masih SD. Aku tersenyum sendiri saat membaca curhatan
seorang bocah 7 tahun itu.
“Kak Kyra, lagi lihat apa?” sapa Safinaㅡadik
sepupuku yang berasal dari Makassar. Meskipun lebih muda dariku setahun,
tubuhnya jauh lebih tinggi daripada diriku.
“Haha… Bukan apa-apa,” jawabku sambil menutup buku
diaryku cepat-cepat. Aku malu banget kalau ada yang baca itu.
“Boneka Kakek ya?” kata Safina sambil menunjuk boneka
kayu di tangan kiriku.
Entah kenapa seperti ada yang menusuk hatiku saat tahu benda
ini ternyata peninggalan kakekku.
“Dulu kakek membuat tiap cucunya satu buah boneka
kayu. Ada 11 boneka, sesuai jumlah kita,” jelas Safina dengan nada mengenang.
‘Kita’ yang dimaksud adalah aku, Safina, Reza, dan saudara-saudara sepupuku
yang lain. Aku merasa hangat saat Safina mengucapkan kata itu. “Sayangnya punyaku
dan punya Kak Alif sudah menghilang.”
Aku mengernyitkan dahi. “Menghilang?”
“Iya. Di rumahku, kedua boneka kayu itu diletakkan di
tempat yang mencolok untuk dipajang. Tapi tiba-tiba suatu hari benda itu
menghilang. Punya Azi dan Zia juga.”
“Dari mana kamu tahu punya Azi dan Zia juga hilang?”
“Tante Allisa yang bilang ke Bundaku,” jawab Safina.
“Emang sih, kedengarannya sepele… Tapi waktu itu semua anak Kakek dan Nenek
langsung saling menghubungi saat boneka peninggalan Kakek hilang. Padahal cuma
boneka anak-anak.”
“Jadi, ini satu-satunya yang enggak hilang?” Aku cukup
terkesan dengan cerita barusan dan merasa istimewaㅡsesaatㅡkarena
hanya bonekaku yang tidak hilang. Pasti Mama juga dihubungi oleh adik-adiknya,
tapi Mama yang seorang Menteri mana punya waktu buat memikirkan hal remeh
seperti boneka kayu.
Safina mengangguk yakin. “Punyaku berbatu warna merah
dan merupakan boneka perempuan. Tapi kok punya Kakak, laki-laki?”
Aku menggeleng tak tahu. Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan
itu, karena yang punya jawaban sudah lama tiada…
♪
♪
♪
♪
♪
Selama beberapa hari selanjutnya, aku lebih banyak
menghabiskan waktu di pantai. Tak sengaja aku menemukan kursi bambu di bawah
pohon kelapa. Aku langsung menandai tempat itu sebagai teritorialku. Setiap
hari, aku duduk di situ sambil memegang pensil dan buku tulisㅡberusaha merangkai
kata untuk dijadikan lagu.
Kadang aku bermain gitar. Siapa tahu menemukan
melodinya dulu, baru lirik. Tapi malah berujung aku disuruh bermain gitar untuk
mengiring sepupu-sepupuku bernyanyi lagu anak-anak.
“Kyra, aku pergi memancing dulu ya! Bye!” seru Reza di atas yacht pribadi
milik keluarga besarkuㅡPapa yang membelinya. Ukuran yacht itu tidak terlalu besar karena hanya untuk memancing atau pergi antar pulau. Reza begitu
lengket dengan Alifㅡkakaknya Safina. Mereka melambai kompak ke arahku.
Aku balas melambai dengan malas.
Dasar. Mereka berdua sama-sama sudah kuliah, tapi
tingkahnya masih saja seperti bocah. (Reza sudah sidang, tinggal tunggu pengumuman
kelulusan saja. Sedangkan Alif baru masuk kuliah tahun lalu.)
Aku memandang boneka kayu di tanganku. Batu
di dada boneka anak laki-lakiku itu masih terlihat bersinar-sinar seperti
kristal. Aku penasaran kenapa hanya bonekaku yang tidak hilang. Mungkin karena
boneka ini tak kubawa sampai ke rumahku di Jakarta.
Bukannya memikirkan lirik lagu, malah memikirkan
boneka enggak jelas.
Aku memutar pensilku dengan jari. Sepertinya bagus kalau aku
membuat lagu tentang laut. Aku pun menulis verse
pertamanya. Tapi langsung kuhapus lagi karena liriknya kentang banget.
Aku menghela napas panjang. Ini sudah hari ke-6, aku di sini.
Lalu, aku berbaring di kursi bambu dan mengangkat boneka
berbatu toska itu di atas wajahku. Boneka itu berwajah anak laki-laki.
Rambutnya hitam dan pendek, terbuat dari serat sintetis. Matanya terbuat dari
kancing berwarna hitam. Mulutnya diukir tersenyum. Ia memakai baju berwarna putih dan
celana pendek berwarna biru. Di tengah baju itu, terdapat batu kristal berwarna toska.
Sekilas boneka ini tak ada spesial-spesialnya,
kecuali dibuat langsung oleh Kakekku.
Arrrghhh… Kenapa aku malah lihat-lihat boneka sih?
Ingat, Kyra! Lagu buat band indiemu!
Aku melempar boneka itu. Tapi air laut menyambarnya.
Kemudian, boneka itu pun hanyut di atas air.
“Ah! Jangaaan!” Aku berlari ke arah laut.
Tubuhku menegang saat kakiku menyentuh air laut. Please trauma jangan datang di saat
seperti ini. Oke. Tarik napas. Jangan ingat waktu aku tenggelam di laut. Jangan ingat!
Ah kalau disebutkan malah jadi ingat kan?!
Aku memejamkan mataku dan berlari lebih jauh ke
arah laut. Aku membuka mataku sedikit untuk melihat apakah sudah dekat dengan
si boneka?
Boneka itu berjarak tinggal sedikit lagi dariku. Tapi
saat tanganku menggapainya, aku malah terjerembab jatuh ke dalam air.
Aku masih di berdiri di air yang kedalamannya hanya sepinggang.
Tapi rasanya aku sudah panik. Aku membuka mataku di dalam air dan melihat
seorang anak laki-laki…
Kakiku langsung menjejak pasir lagi agar tidak tenggelam dan kepalaku
sudah berada di atas permukaan air laut. Aku bernapas seperti orang yang habis
berlari jauh.
Boneka laki-laki itu berada di depanku. Tapi aku
tidak melihat sosok anak laki-laki itu dari atas air. Hanya ada boneka kayu berbatu
toska. Karena penasaran, aku berjongkok lagi agar seluruh tubuhku masuk ke
dalam air dan betapa terkejutnya aku melihat seorang anak laki-laki ada di
bawah air laut. Tangannya dilipat silang, matanya tertutup, dan ia seperti
duduk bersila di dasar laut. Tak bergerak. Saking terkejutnya, aku sampai membuka mulut di dalam air dan menelan air laut.
Aku terbatuk-batuk. Ewww asin! Aku menyambar boneka
laki-laki itu dan kembali ke daratan.
♪
♪
♪
♪
♪
Keesokan harinya. Saat melihatku pergi ke laut dengan pakaian renang,
orang-orang serumah langsung kaget. Seorang Kyra berenang? Impossible!
Begitulah pemikiran mereka dan kenyataannya memang
begitu. Waktu umurku 11 tahun, aku pernah tenggelam. Hal itu membuatku trauma
seumur hidup. Selain itu, aku juga tidak pandai berenang. Aku cuma pandai
bermain gitar. Hehehe…
Tapi kali ini
aku berusaha mengalahkan rasa takutku pada air. Aku akan menyelidiki anak
laki-laki itu. Jadi, aku memakai kacamata renang juga agar mataku tidak perih
saat berada di dalam air. Tentu sebelumnya aku sudah memakai sunblock banyak-banyak.
Aku melangkah di atas pasir putih yang sangat lembut, perlahan-lahan menuju ke arah laut yang berwarna sejernih kristal. Aku bahkan
bisa melihat kakiku yang berada di bawah air dengan sangat jelas.
Ketika sudah berada di kedalaman setinggi pinggang orang
dewasa, aku melepas boneka kayuku. Membiarkannya tenggelam di air
laut. Kemudian, aku berjongkok agar seluruh tubuhku masuk ke dalam air.
Sekarang aku bisa melihat di dalam air dengan mudah berkat kacamata renang yang kupakai. Posisi tubuh anak laki-laki itu masih sama seperti kemarin.
Rambutnya berwarna hitam. Kulitnya seputih susu. Ia memakai kaus berwarna putih
dan celana pendek berwarna biru. Ia bertelanjang kaki. Wajahnya... tampan meski sedikit menyiratkan ekspresi bocah.
Aku mengangkat kepalaku lagi untuk menghirup udara.
Setelah kuamati, anak laki-laki itu berpakaian sama persis dengan boneka kayuku.
Tidak mungkin kan… dia perwujudan boneka laki-lakiku?!
Setelah melihat fisiknya secara jelas, sekarang aku
penasaran. Apakah dia hidup?
Aku menarik napas dan masuk lagi ke dalam air.
Tanganku teraih untuk menyentuh pundaknya. Saat aku menyentuhnya, ia langsung
membuka matanya seperti orang yang dibangunkan. Aku langsung kaget dan menarik
napas di atas air.
“Dia hidup!” ucapku tak percaya.
Aku masuk lagi ke dalam air. Ia menatapku dengan
sorot polos seperti anak kecil. Tapi dilihat dari proporsi tubuhnya, kira-kira
ia berumur 17 atau 18 tahun. Ia tersenyum lebar saat melihatku. Ia tak lagi
dalam posisi seperti memeluk sesuatu. Sekarang aku dan dia seperti sedang
menyelam berhadapan di dalam air.
Aku tidak percaya ini. Tapi saat aku menyentuh
tangannya, aku bisa merasakan tekstur tangannya. Tangan seorang laki-laki.
Meskipun kulitnya seputih susu dan wajahnya berekspresi polos seperti bocah,
tangannya berotot.
Ia menggenggam tanganku. Wajahnya terlihat terlalu
senang sampai ia ingin menarikku ke laut yang lebih dalam, tapi aku menggeleng.
Aku tidak bisa berenang. Wajahnya jadi murung saat aku menggeleng kuat-kuat. Ya
Tuhan. Kenapa dia sangat mirip bocah menggemaskan?
Aku tak bisa menahan napas lebih lama lagi. Jadi aku
mengangkat wajahku ke permukaan. Boneka laki-lakiku mengambang di atas
air. Tapi saat aku menunduk ke dalam air, aku tak melihat sosoknya. Jadi, aku
mengambil kesimpulan kalau anak laki-laki itu hanya bisa dilihat di bawah
permukaan air laut.
Aku menyambar boneka laki-lakiku. Cukup untuk hari
ini. karena ombak semakin besar dan langit terlihat kelabu. Aku harus naik ke
daratan.
♪
♪
♪
♪
♪
Berhari-hari kemudian, aku selalu pergi ke laut membawa boneka kayu milikku. Kalau adik-adik sepupuku juga pergi ke laut,
diam-diam aku akan pergi ke daerah yang lebih sepi agar aku hanya bisa berdua
bersamanya. Aku tak mau kelihatan seperti orang sinting yang berbicara pada makhluk yang aku sendiri tidak yakin dia nyata atau tidak.
Aku belum tahu siapa namanya.
Aku pernah mengajaknya untuk naik ke permukaan, tapi
ia menggeleng. Ia tidak bisa naik ke permukaan. Jadi kusimpulkan dia adalah makhluk laut!
Oke. Ini hanya imajinasiku saja. Tak mungkin ada yang
namanya makhluk laut. Dia pasti tidak nyata. Dia hanya imajinasiku karena aku adalah seorang
anak perempuan yang selalu kesepian.
Hari ini, aku melempar boneka laki-lakiku di air laut seperti biasanya. Kemudian aku berjongkok. Aku langsung disambut oleh
senyum cerianya. Tangannya melambai ke arahku. Selama ini aku berkomunikasi
dengannya menggunakan bahasa isyarat. Ia jago sekali berbahasa isyarat, seperti
berbicara ke orang yang tunarungu. Tapi aku bisa mendengar dengan baik. Jadi seringkali aku tak
paham maksud omongannya yang menggunakan bahasa isyarat itu.
Sepertinya ia baru saja menceritakan hal penting.
Tapi aku tak mengerti satu kata pun bahasa isyaratnya. Ia terlihat frustasi.
Wajahnya yang ceria seperti anak kecil berubah menjadi serius. Tiba-tiba saja
ia mendekat ke arahku. Kini wajahku dan wajahnya berada sangat dekat. Mata kami
saling beradu pandang. Bibirnya terbuka sedikit…
Aku tak kuat. Jadi aku menyembul ke atas air lagi.
“Apa yang mau dia lakukan?!” gumamku dengan
jantung berdetak tak karuan. Memalukan!
Pipiku terasa panas saat mengingat kejadian barusan.
Apakah dia berusaha menciumku? Tidak mungkin! Aku masih 16 tahun! Belum waktunya!
Aku pun berusaha berjalan ke arah pantai. Tapi kakiku
tersandung pasir yang berat. Akhirnya aku jatuh terjerembab ke dalam air. Anak
laki-laki itu langsung berenang mendekatiku. Kedua tangannya yang kokoh
memegang pundakku dengan agak menekanㅡseperti menahanku agar tidak menyembul ke
permukaan air lagi. Kemudian ia mendekatkan wajahnya ke wajahku sebelum aku
bisa menjauh lagi. Aku pasrah. Aku tidak bisa melawan tenaganya. Jadi aku hanya memejamkan mataku.
Tapi ia hanya mengecup keningku dengan lembut. Sangat lembut
sehingga terasa seperti sapuan awan.
“Kau bisa mendengarku sekarang?”
𝓣𝓸 𝓑𝓮 𝓒𝓸𝓷𝓽𝓲𝓷𝓾𝓮𝓭
Here is the Part 2:
0 comments