Biru - PART 2 -

Februari 17, 2018

𝓑𝓲𝓻𝓾

Photography by me


“Kau bisa mendengarku sekarang?”

Aku membuka mataku perlahan. Siapa yang berbicara?

“Aku.”

Aku menutup mulutku. Tak sengaja menghirup air sehingga aku terbatuk-batuk dan lagi-lagi harus muncul ke permukaan. Cepat-cepat kuhirup oksigen dalam-dalam lalu masuk ke dalam air lagi.

“Sekarang, kita bisa bicara lewat pikiran,” ucapnya sambil tersenyum.

Aku membenarkan posisi kacamata renangku. Jadi... ia mengecup keningku agar kami bisa berkomunikasi? Ya Tuhan! Maafkan aku karena baru berpikir macam-macam! Aku merasa tersipu karena cuma Papa yang pernah mengecup keningku dengan lembut membuat diriku seperti anak favoritnya (abaikan Reza). 

“Benarkah?” ucapnya sambil menelengkan kepalanya seperti anak kecil yang penasaran.

Dia bisa membaca pikiranku?!

“Bisa.”

Aku mundur selangkah. Tidak sopan! Sekali lagi membaca pikiranku, aku akan membunuhmu!

“Maafkan aku,” ucapnya di dalam pikiran sambil menunduk. Meskipun ia hanya bersuara di dalam pikiranku, aku tetap bisa mendengar suaranya... Suara seorang laki-laki. 

Ia terlihat ketakutan saat kuancam akan kubunuh. Aku kan cuma bercanda! Dia polos sekali. Sudah lima hari, aku selalu bertemu dengannya. Tapi aku belum tahu namanya. Sebelum aku bertanya siapa namanya, dia sudah menjawab:

“Aku tidak punya nama,” ucapnya polos.

“Jadi aku harus memanggilmu dengan nama apa?”

“Terserah kau.”

Aku berpikir sejenak. Lalu aku melihat ke sekelilingku yang berwarna biru. “Biru. Namamu, Biru ya?” Selain itu, biru adalah warna favoritku.

“Kamu enggak pintar bikin nama ya?” Ia terlihat tak begitu suka dengan namanya yang hanya berarti warna biru.

Dasar! Dia ini sudah untung kuberi nama!

“Apakah aku membuatmu marah?”

Aku ingin menjawab tapi tiba-tiba aku merasa paru-paruku seperti akan meledak. Aku menyembulkan kepalaku lagi ke permukaan untuk menghirup udara sepuasnya. Napasku tersengal selama beberapa saat. Lalu setelah napasku lebih tenang, aku kembali lagi bersama Biru.

“Kalau aku mengecup keningmu sekali lagi, kau bisa tahan napas selama 15 menit.”

Pipiku bersemu merah membayangkan keningku akan dikecup lagi oleh sosok yang tak kukenal. Sepertinya sudah cukup aku berada di dalam air. Aku harus pulang ke rumah Nenek. Aku belum siap dikecup oleh cowok tak dikenal lagi.

“Kau sudah akan pulang?” tanya Biru dengan nada sedih. Suaranya seolah memenuhi pikiranku. Tapi aku benar-benar sudah harus kembali, kalau tidak orang rumah akan curiga terhadap apa yang akan kulakukan selama pergi ke pantai.

“Selamat tinggal, Biru,” ucapku sambil tersenyum.

Biru menatapku dengan wajah sedih.


Setiap malam aku jadi makan lebih banyak karena sepanjang hari kuhabiskan waktu untuk bersama Biru. Kulitku jadi cokelat karena setiap hari berenang di laut. Aku bahkan mulai merasa diriku tidak takut lagi pada lautan. Traumaku perlahan-lahan hilang.

“Sekarang, Kyra jadi tambah hitam ya,” komentar Nenek.

“Eeeh?” Aku langsung menyangkal. Apakah separah itu? Kulitku saat datang sangat putih, oke? Meskipun tomboy dan 'agak' urakan, aku juga merawat diriku sendiri. (Setiap sebelum berenang, aku selalu pakai sunblock banyak-banyak kok.)

“Haha… Tiap hari Kak Kyra berenang sih,” kata Safina yang duduk di sebelahku.

“Sejak kapan Kyra bisa berenang?” ejek Reza. “Dia kan cuma bisa gaya batu.”

“Tapi kelihatannya Kak Kyra seharian cuma renang gaya batu sih. Habis dia diam aja di bawah air,” kata Azianak laki-laki kembarannya Zia. 

Sontak semeja makan langsung tertawa. Aku menunduk malu.


Setelah bisa bercakap-cakap dengan Biru menggunakan pikiran, otakku dibanjiri oleh ide menulis lagu. Aku langsung masuk ke dalam kamar dan menulis sebuah lagu dengan lancar. Aku juga dengan mudah membuat melodinya dan langsung kutulis di notebook.

Safina keheranan melihatku yang bekerja seperti orang gila. Ide-ide itu mengalir begitu lancar. Aku belum pernah seperti ini. Aku memetik gitar lalu menulis. Kemudian aku memetik gitar lagi, lalu menulis lagi sepanjang malam.

“Kak, udah jam 1. Enggak tidur?” tegur Safina yang sudah menguap berkali-kali. Ia baru saja selesai membaca novel.

“Matikan aja lampunya, tapi nyalain lampu tidurnya,” ucapku dengan mata terfokus pada tulisan di depanku.

Kini lampu tidur berwarna kuning temaram menemani malamku. Saat tubuhku pegal, aku beranjak berdiri dan berdiri di samping jendela untuk memandang langit yang bertabur bintang. Aku bisa melihat galaksi Bima Sakti dan ratusan rasi bintang di langit ini. Benar-benar langit yang berbeda dengan langit yang biasa kulihat di Jakarta. Kenapa selama ini aku tidak pernah menyadari kalau langit yang bersih bisa seindah ini?

Aku mencubit pipiku. Ini nyata. Sosok Biru juga nyata! Tiba-tiba aku teringat cowok itu. Nama Biru memang harus diganti. Sepertinya aku harus cari nama yang artinya laut. Aku langsung mengambil handphoneku dan searching ‘nama yang artinya laut’. Tapi koneksinya lambat sekali. Butuh beberapa menit baru bisa membuka satu website. Menyebalkan.

Ada banyak nama. Aku memilih satu nama yang sepertinya terlalu dewasa untuk si Biru. Tapi setiap orang pasti akan dewasa juga kan pada akhirnya?

Aku terkekeh sendiri saat membayangkan Biru punya nama baru. Oke. Mulai sekarang aku harus memanggilnya dengan nama barunya.

Aku duduk di atas tempat tidurku lagi yang berantakan. Gitarku menguasai hampir setengah kasur. Boneka laki-lakiku juga kududukkan di atas kasur. (Tiap hari aku selalu tidur di dekatnya.) Sementara sebuah buku tulis dan pensil tergeletak di atas bantal. Aku mulai menulis lirik lagu lagi. Kali ini lagu tentang makhluk laut itu.


Keesokan harinya, aku bangun dengan perasaan segar meski hanya tidur dua jam. Aku membantu Nenek bersih-bersih rumah bersama Safina. Aku memarahi anak-anak cowok yang hanya bermalas-malasan di sofa panjang yang ada di ruang tamu. Mereka adalah Reza, Alif, dan Azi.

Safina tertawa melihatku menendang kakak kandungku yang sangat rese supaya mau bangun dari sofa.

“Kenapa aku punya adik cewek yang enggak ada anggunnya sama sekali sih?” gerutu Reza.

“Sana, pergi memancing! Cari ikan buat makan malam!” hardikku.

Tapi setelah beres-beres, aku menyuruh mereka berkumpul di ruang tengah untuk mendengarkan lagu terbaruku. Pagi ini aku akan mengadakan perform tunggal.

Lagu pertama kuberi judul ‘Lonely Island’ yang berkisah tentang seseorang merindukan sebuah tempat jauh yang merupakan rumahnya. Ia merindukannya karena ia jatuh cinta pada pulau tempatnya berasal dan ia selalu berhasrat untuk kembali. Zia bertepuk tangan setelah melihat performku. Aku merasa keren diberi applause oleh seorang anak kecil.

“Lagunya bagus, Kak. Enggak sia-sia begadang,” kata Safina.

“Ssst!” ucapku sambil mengacungkan jari telunjukku agar Safina tidak memberitahu orang-orang kalau aku semalaman tidak tidur demi membuat lagu.

Reza bahkan mengangguk-angguk setelah mendengarkan lagu originalku.

“Kak, bilang aja kalo adikmu ini keren!” ucapku sambil membuat tanda centang dengan tanganku dan meletakkannya di bawah dagu.

“Cih… Siapa yang bilang kamu keren?”

“Emang bukan aku, tapi laguku yang keren. Hohoho…”

“Lagu keduanya mana?” tanya Alif yang ternyata diam-diam memperhatikan musikku. Dia memang sangat pendiam sejak datang ke rumah Nenek. Tapi sejak kecil, ia memang jarang bicara. Berbeda dengan Safina yang sangat terbuka dan selalu berani menunjukkan rasa sayang, seperti memeluk orang yang ia sayangi. Benar-benar adik yang sangat lovable.

Aku pun mulai memainkan intro dari lagu kedua. JudulnyauhukBiru’.

Makanya aku juga meletakkan boneka laki-lakiku di sampingku. Supaya dia dengar.


Huwaaa! Aku malu! Aku malu! Maluuu!

Kenapa aku dengan percaya diri bernyanyi di dekatnya? Aku sudah masuk ke dalam air hingga setengah pinggangkegiatanku hampir setiap pukul 9 pagi selama liburan. Aku memandang boneka laki-lakiku di tangan. Batu toskanya terlihat lebih bersinar hari ini.

Semoga saja dia hanya punya memori selama di dalam air saja. Jadi, dia tak mendengar lagu ‘Biru’ yang secara terang-terangan berkisah antara aku dan dia. Kalau dia ternyata bisa tahu apa saja saat ia masih berwujud boneka… berarti… dia bisa melihat apa saja yang terjadi di kamar tidurku…

Kalau begini terus, aku hanya akan menduga-duga hal tak jelas. Lebih baik aku memastikan langsung darinya. Sekaligus aku mau memberi nama baru untuk Biru.

Aku melepas boneka laki-lakiku kemudian masuk ke dalam air.

“Lagunya sangat bagus!” puji Biru begitu aku datang. “Sekarang aku suka namaku. Biru~ Aku si Biru walaupun aku tidak berwarna biru~” Suaranya yang riang langsung memenuhi kepalaku. 

“Jadi, kamu bisa tahu apa yang terjadi saat kamu berwujud boneka laki-laki?” tanyaku setengah shock, setengah tersipu karena tak sengaja sudah terang-terangan menyanyikan lagu ‘Biru’ di hadapan Biru.

“Bisa. Saat aku kesepian di dalam laci selama empat tahun... Aku bisa mengingatnya dengan jelas,” jawab anak laki-laki itu. Sekilas matanya terlihat sedih, tapi ia tersenyum lagi. Ia benar-benar seperti anak kecil yang polos.

Polos apaan ya? Kalau baru pertama ketemu langsung kecup kening?

AAAAAAAAAA!

“Kamu suka aku kecup kening?” tanya Biru tanpa merasa bersalah sedikit pun. Ia bahkan sudah berenang mendekatiku lagi.

Jantungku berdegup kencang. Enggak. Aku enggak bisa. Aku keluar dari dalam air untuk bernapas lantas aku menutup wajahku. Boneka laki-lakiku masih mengambang di atas air karena ia terbuat dari kayu.

Aku harus mengendalikan diri. Dia hanya makhluk laut. Bukan manusia. Tapi dia berwujud seperti manusia!

Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Aku menarik napas panjang lagi kemudian masuk ke dalam air dan… Biru langsung begitu saja mengecup dahiku.

Aku jatuh terduduk di dasar pantai. Berteriak tapi yang keluar hanya gelembung-gelembung air.

“Sekarang kamu bisa tahan napas 15 menit. Aku kasihan melihat kamu megap-megap tiap ke atas air,” kata Biru dengan polosnya. “Oh iya, kecup satu lagi bisa tahan napas 45 menit.”

Tunggu. Ini kenapa jadi kayak deret aritmetika? Berarti kalau dia kecup 10 kali, aku bisa tahan napas selama…

“150 menit.”

“Argh! Sudahlah! Lupakan yang tadi. Ada yang ingin aku tanyakan,” ucapku dengan wajah berusaha serius karena masih terbayang kecupan barusan. Wow… Ternyata perkataan Biru benar. Sekarang aku bisa tahan napas lebih lama.

“Apa?”

“Tadi kamu bilang, kamu kesepian di laci meja… Kenapa kamu bisa merasa? Kenapa kamu bisa hidup? Kamu hanya boneka kan?”

Wajah cowok itu terlihat badmood. “Pertanyaanmu kebanyakan. Otakmu bisa meledak kalau dengar jawabannya sekaligus.”

Bukannya menjawab pertanyaanku, Biru malah menggenggam tanganku lalu mengajakku pergi ke laut yang lebih dalam. Aku menolak karena takut tenggelam. Tapi Biru meyakinkanku kalau ia akan menjagaku selama di dalam air. Bahkan ia menawarkan…

Tapi aku langsung menggeleng. Aku lebih memilih megap-megap di atas air tiap 15 menit.

Kemudian Biru menarik tanganku untuk berenang lebih jauh ke kedalaman air laut. Kami sampai di terumbu karang. Aku bisa melihat berbagai macam coral dan ikan berwarna-warni. Aku berseru senang saat bisa melihat ikan badut dari dekat. “Nemo! Dorry! Haaai!” seruku yang membuat Biru mengejekku: “Norak.”

Aku tidak peduli. Aku menyentuh segerombolan ikan tapi mereka langsung berenang menjauh.

“Aku dan suadara-saudaraku berasal dari sini.”

Aku menoleh ke arah Biru yang sorot matanya kini terlihat meredup. Oh iya. Selama berada di air aku selalu memakai kacamata renang biar bisa melihat dengan jelas.

“Batu-batu karang yang berwarna-warni itu yang membuatku dan saudara-saudaraku bisa hidup. Tapi hanya hidup di dalam air laut," jelasnya lagi sambil menunjuk batu-batu kecil yang tersembunyi di balik terumbu karang. 

“Berarti, boneka-boneka pemberian Kakek yang lain bisa hidup juga?”

Biru mengangguk. “Sayangnya tak pernah ada yang mengetahuinya. Termasuk Kakekmu. Kakekmu hanya membuat kami dengan penuh kasih sayang sambil membayangkan cucu-cucunya saat mengukir kayu untuk menjadi boneka.”

“Lalu kenapa saudara-saudaramu menghilang?”

“Mereka tidak menghilang. Mereka pergi ke makam Kakekmu. Coba saja kau berziarah ke kakekmu saat di daratan nanti. Kau akan melihat 10 boneka duduk berjejer di atas batu nisannya.”

“Itu horror!”

Biru menggeleng. “Kami kesepian. Kakek berharap bonekanya menjadi peninggalan yang berharga bagi cucunya dengan cara kami menjadi teman saat kalian kesepian. Tapi kami malah menjadi pajangan, bukan menjadi mainan cucu-cucu Kakek. Bukannya kalian yang kesepian, malah kami yang kesepian… Jadi, kami bersebelas sepakat untuk pergi ke makam Kakek.”

“Kau tidak.”

Biru menatap kosong ke arah terumbu karang indah di bawah kami. “Karena aku yakin kau pasti kembali dan menemukanku. Aku sampai dikucilkan saudara-saudaraku karena tidak mau pergi bersama mereka. Mereka mengejekku bodoh karena mau menunggumu datang. Aku berdebu dan tiap hari hanya melihat kegelapan. Tidak ada yang pernah membuka laci itu sampai kau datang.”

Aku jadi teringat film Toy Story saat adegan Andy beranjak dewasa dan semua mainan-mainannya pergi dari loteng rumah karena kesepian. Tapi ini lebih menyedihkan.

“Itu sebabnya waktu kamu mengeluarkanku dari laci aku sangat senang, sampai memancarkan sinar toska dari batuku.” Suara riang gembira Biru kembali memenuhi kepalaku. Dia sudah kembali menjadi Biru yang biasanya. “Aku bisa lihat segalanya saat jadi boneka. Tapi kalau kamu atau Safina ganti baju, aku selalu tutup mata kok. Takut dosa kalau lihat.”

Dia bilang begitu tapi baru ketemu seorang cewek aja, langsung asal kecup kening sebanyak dua kali.

Sudah 15 menit, aku berenang menuju permukaan. Mengambil napas dalam-dalam lalu masuk ke dalam air lagi.

Biru dengan sabar menungguku mengambil napas di atas air. Wajahnya polos dan bibirnya selalu terlihat seperti tersenyum. Tapi kedua matanya terkadang menyiratkan sorot kesepian. Tiba-tiba aku ingin melindungi Biru. Aku sangat ingin melindunginya dan berterima kasih pada Kakek yang sudah membuatkan kami boneka-boneka yang sebenarnya bisa menemani kami saat kesepian.

Seandainya aku tahu ini lebih lama, aku pasti tidak akan pernah kesepian di rumah yang sebesar istana. Aku tidak akan kesepian saat Papa, Mama, dan Reza sibuk. Tanpa sadar aku menangis. Aku rindu Kakek. Tiba-tiba aku merasa sangat betah tinggal di tempat ini. Aku ingin bisa pergi ke sini setiap liburan. Aku ingin lebih lama bersama saudara-saudara sepupuku yang menyenangkan, Nenek yang penyayang, serta Tante-Tante dan Om-Om-ku yang ramah.

Rasanya sangat canggung menangis di dalam air karena segalanya yang ada di sekitarmu adalah air.

“Jangan menangis, Kyra.”

Biru memegang kedua lenganku agar aku dan dia tetap di tengah-tengah air. Bukan di dasar air yang berarti bisa menginjak-injak terumbu karang.

“Perlukah aku mengecup keningmu lagi?”

Aku menggeleng. “Enggak usah, Biru.”

Aku sampai lupa untuk mengganti namanya. Padahal semalam, aku sudah sangat senang bisa menemukan nama pengganti Biru. Sekarang aku ingin selamanya dia bernama Biru.

“Siapa sih namaku yang baru?” tanya Biru berusaha menaikkan moodku lagi.

Aku tersenyum sambil menggeleng. Air mata masih keluar dari mataku hingga memenuhi kacamata renangku. “Bukan apa-apa. Kamu enggak akan suka.”

Biru menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Ia mendekat. Aku memundurkan kepalaku. Takut ia akan...

"Jangan kegedean rasa. Aku cuma mau melepas kacamata renangmu."

Aku malu sendiri. Ya ampun... Mikir apa sih aku? 

Dengan perlahan Biru melepas kacamata renangku. “Kamu sudah kukecup dua kali. Jadi sudah bisa melihat di dalam air dengan jelas. Hehehe.”
  
Perkataannya benar. Aku tersenyum ke arahnya.

"Kamu cantik kalau seperti ini," ucap Biru yang terdengar sangat tulus. 

Lagi-lagi pipiku terasa panas. (Padahal ini di dalam air.) 

“Seandainya saudara-saudaraku bisa merasakan seperti aku…”

“Tapi mereka sudah ada di batu nisan Kakek kan?”

“Aku pernah mencoba menghubungi mereka. Mereka sudah masuk ke dalam tanah. Kalau mau melihat mereka, harus membongkar kuburan Kakekmu.”

Aku bergidik ngeri.

Tiba-tiba aku melihat ikan yang sangat besar sedang berenang ke arah kami. Jantungku berdegup kencang. “Biru, kita harus pergi dari sini.”

Biru menoleh ke belakang tanpa takut. “Kamu benar.”

Ia bisa berenang, aku tidak bisa. Tanpa kami sadari, kami sudah berada jauh di tengah dan di kedalaman laut. Aku memandang ke atas sana. Permukaan laut sangat jauh dan aku mulai merasa tubuhku sangat lemas. Pandanganku mulai mengabur tapi Biru seperti tidak sadar kalau seharusnya ia berenang cepat demi menjauhi ikan besar itu.

“Biru… Aku butuh… udara segera…”

Biru menatap ke atas permukaan air. Jauh. Kalau kami berenang ke atas, itu berarti kami akan jadi pancingan si ikan besar.

Ikan besar itu adalah hiu. Seharusnya ikan hiu tidak berada di sini. Jadi aku menduga ikan hiu itu pasti pergi ke sini karena perubahan iklim. Samar aku melihat mulut hiu itu berdarah... Apakah hiu itu baru saja makan manusia? Aku takut sekali menjadi mangsa hiu besar itu.

Kami sudah sangat jauh di tengah. Biru, kenapa kamu nekat mengajak seorang perempuan pergi jauh dari pantai?!

Biru membawaku ke atas permukaan air laut. Aku bisa bernapas lega. Tapi aku merasakan ancaman datang semakin dekat. Napasku tak lagi lega, tapi menyesakkan.

Aku masuk lagi ke dalam air. Wajah Biru sangat serius sekarang.

“Sudah ambil napas kan?”

Aku mengangguk. Kemudian kami berenang menuju pantai. Lebih tepatnya Biru yang berenang. Aku sama sekali tidak bisa berenang. Dari kejauhan, aku melihat sebuah kapal kecil yang sepertinya milik keluarga besarku. Tapi rasanya pantai masih jauh sekali…. Apakah ombak menyeret kami sampai jauh ke tengah? Atau kami sudah melewatkan batas laut tenang dan laut berombak? Aku tidak bisa berpikir jernih. 

“Kyra, sebenarnya kau benar kalau kau bilang aku ini makhluk laut. Jiwaku memang berasal dari batu laut.”

“Terus?”

Hiu itu mengejar kami. Makin dekat.

“Dari tadi aku ingin memelukmu, tapi tidak bisa. Karena kalau aku peluk kamu, berarti kamu akan bisa bernapas di air selamanya seperti aku. Lalu kamu akan menjadi sepertiku dan sebuah boneka kayu perempuan akan mengambang di atas sana.”

Tiba-tiba genggaman Biru melemah. Tapi aku dengan kalut berusaha mencari-cari tangannya agar bisa menggenggamnya lebih erat. Tidak. Jangan tinggalkan aku! JANGAN! 

Biru melepaskan genggaman tangannya dan perlahan menjauh dariku.

Aku berteriak dalam air dengan ketakutan. Takut akan hiu dan kehilangan seseorang. Tapi hanya gelembung air yang keluar. Tiba-tiba sebuah tangan meraihku dan dalam sekejap aku berada di atas permukaan air laut lagi.

“Kyra?!”

Lalu aku melihat boneka laki-lakiku hancur berkeping-keping saat hiu itu muncul ke permukaan. Aku berteriak tanpa suara. Detik berikutnya ombak besar menggulung, menyapu bersih serpihan kayu boneka buatan Kakekku.

“Syukurlah… Untung kau selamat dari hiu,” ucap Reza sambil menggendongku ke dalam kapal milik keluarga kami. "Bagaimana kau bisa berada di tengah laut, Kyra?" 

Om Anwar yang menyetir kapal. Ia sangat terkejut ketika melihatku menangis sejadi-jadinya begitu berada di atas kapal. “Kyra? Kenapa Kyra bisa ada di situ? Laut sedang tidak aman karena beberapa hari ini sering muncul hiu.”

“Kyra? Ada yang sakit?”

Suara-suara di sekitarku timbul tenggelam. Sepertinya telingaku kemasukan banyak air. Segalanya menjadi sunyi perlahan-lahan. Tapi aku sangat yakin, aku mendengar suara anak laki-laki itu di antara teriakan frustasiku yang menggema di kepala.

Selamat tinggal, Kyra.”


Author's Point of View 

Gadis itu berjalan dengan penuh percaya diri ke atas panggung besar. Setelah sebulan tak manggung, akhirnya ia bisa manggung lagi bersama anggota band indienya. Sepulangnya dari liburan, Kyra langsung menemui Yudha dan anggota bandnya yang lain di studio.

Kyra deg-degan saat ketiga anggota band yang lain mendengarkan lagu buatannya yang direkam seadanya saat di rumah Nenek. Ia takut musiknya tidak sesuai ekspektasi Yudha yang perfeksionis.

Tapi setelah keempat lagu selesai diputar, mereka bereempat mengangguk dan bahkan ada yang tersenyum. Pertanda musiknya diterima.

“Cieee… Selama liburan lo dapat pacar ya?” ledek Biancavokalis band indienya. “Biru itu pasti cowok kan? Kiasan lo anomali banget sih, Ky.”

Kyra yang duduk di atas sofa hanya tersenyum saat diledek anomali. Semenjak tragedi yang hanya diketahui oleh dirinya seorang, ia menjadi lebih lembut. Atau anggun? Karena sekarang ia jadi lebih sering memakai dress. Bahkan ia memanjangkan rambutnya hingga ke bawah telinga (sedikit).

“Gue paling suka yang judulnya ‘Wave’. Maknanya dalem banget. Lo makan apaan di sana?" tanya Dimas.

Yudha tersenyum bangga melihat Kyra melakukan kerja bagus. Ia tak menyesal telah meilih Kyra. Ia menepuk rambut Kyra yang pendek. “Bulan depan, ada kompetisi lagi. Gimana kalau kita manggung dengan lagu-lagu ini?”

Dan di sinilah Kyra berada. Memetik gitar akustiknya untuk mengiringi Bianca bernyanyi di atas panggung. Suara Bianca yang halus sangat cocok dengan lagu utamanya yang berjudul ‘Biru’.

Penonton terhanyut saat mendengar lagu dari grup band ‘Winter Tale’. Kyra susah payah agar tidak tersenyum terlalu lebar di depan audience. Saat lagu berhenti, penonton bersorak. Kyra senang melihat Yudha, Bianca, dan Dimas berseru heboh di atas panggung.

Tapi tetap saja, air matanya menitik saat teringat Biru; bagaimana cowok itu tersenyum polos, mengecup keningnya, dan… mati. Ia tak akan lupa saat menangis kalut waktu menulis lirik lagu ‘Wave’ karena lagu itu menceritakan bagaimana Biru mati dan serpihannya terbawa buih ombak.

Bianca tiba-tiba melihat Kyra yang sudah ia anggap seperti adik sendiri. Cewek itu memeluk Kyra karena sangat bahagia lagu mereka disambut meriah oleh penonton. Kyra akan menganggap Biru sebagai bagian memorinya yang indah selama berlibur di tempat antah-berantah itu.

𝓔𝓷𝓭

You Might Also Like

0 comments