Lost [CHAPTER 2]
Desember 18, 2022Chapter 2
Langit terlihat mendung selama perjalanan panjang itu. Terkadang
cerah menunjukkan seberkas sinar mmatahari. Namun, lebih sering mendung dan
hujan. Aiden memilih tidur di jok belakang bersama barang-barangnya yang
menumpuk di segala penjuru mobil.
Kali ini ia terbangun karena mobil berguncang begitu
keras sampai punggungnya terasa sakit. Padahal ia sudah merasa pegal dengan
seluruh perjalanan panjang ini.
“Ada apa?” tanyanya pada sopir—yang menjadi
satu-satunya orang selain dirinya di dalam mobil tua itu—ketika mobil berhenti.
Ia beranjak bangun. Rambut curly-nya terlihat acak-acakan setelah tidak
disisir selama perjalanan.
Waktu menunjukkan pukul 5 sore dan mereka berhenti di
tengah-tengah sawah. Tidak ada rumah dekat situ yang bisa memberi pertolongan.
Pak Radi yang menjadi sopir mobil itu kelihatan gugup karena mobilnya sudah
berkali-kali distarter tidak menyala juga. “Mogok, Mas.”
“Bukan gara-gara bensin habis kan?” tanya Aiden.
“Bukan. Dua jam yang lalu baru aja isi bensin,” jawab
Pak Radi.
Aiden pun turun dari mobil. Ia membuka kap mobil dan
memperhatikan mesin mobil tua yang kelak menjadi miliknya sepenuhnya. Ia suka
mobil itu sejak pandangan pertama tidak peduli orang-orang bilang kalau mobil
itu sudah selayaknya dijual murah saja.
Pak Radi juga turun dan berdiri di sampingnya.
“Tolong ambil perkakas mobil, Pak,” pinta Aiden sambil
meraih sebungkus rokok dari saku jaket bomber-nya. Pak Radi melihatnya
dengan kaget. Selama perjalanan, Aiden tidak pernah menunjukkan kalau ia
perokok. “Tolong ya, Pak.”
Pak Radi seolah tersadar dari lamunannya lantas
menuruti perkataan putra majikannya. Beberapa menit kemudian, Aiden sudah
berkutat dengan mesin mobil di hadapannya. Pak Radi merasa seharusnya ia lebih
berpengalaman dalam hal ini daripada anak usia 16 tahun di hadapannya. Tapi ia
belum pernah melihat mesin mobil buatan Amerika seperti ini. Biasanya ia hanya
mengendarai atau memperbaiki mobil buatan Jepang yang biasa digunakan orang-orang
di sekitarnya.
Aiden menghisap rokoknya dan mengembuskan asapnya
dengan santai sambil membetulkan mesin. Setengah jam kemudian, ia meminta
tolong Pak Radi untuk menstarter mobilnya lagi dan mobilnya menyala.
“Sudah oke, Mas.”
Aiden mau tak mau tersenyum puas. Ia membereskan
perkakas yang ia gunakan, memasukkannya lagi ke bagasi belakang, dan membuang
puntung rokoknya. Lalu ia masuk ke dalam mobil. “Engga usah lapor Mama kalau
aku merokok,” katanya sambil menatap Pak Radi melalui spion tengah mobil.
“Iya, tenang. Saya engga bilang-bilang.”
Aiden tersenyum sekilas. Lalu merebahkan tubuhnya lagi
di atas tumpukan bantal yang ia bawa. Ia menekuk kakinya yang panjang di atas
jok tengah mobil. Lalu memejamkan matanya lagi.
--
Sebenarnya bukan keinginannya untuk diantar sopir ke
rumah barunya seperti ini. Ia merasa dirinya sanggup menyetir sejauh 1000 km
sendirian selama 12 jam. Tapi mama-nya tidak menyetujui keinginannya. Ia tetap
harus diantar sopir. Oleh karena itu, ia memilih tidur selama di mobil karena beberapa
hari sebelumnya ia sama sekali tidak bisa tidur.
Tangannya masih dingin ketika mengingat kejadian malam
itu saat papanya terkena serangan jantung. Ia merasa bodoh karena tidak berdaya
untuk membantu papanya. Perasaan bersalah masih menyelimuti dirinya setiap
malam hingga ia tak bisa tidur.
Tapi hidup terus berjalan tak peduli sepahit apapun
pengalaman yang ia alami. Ia tidak bisa hanya terpuruk dalam jurang perasaan
bersalah. Ia masih tetap harus hidup, salah satunya karena mama.
Rumah itu akan dijual.
Mama dan dirinya akan pindah ke kota baru ini. Kota
yang selalu ia kunjungi bersama kedua orangtuanya sewaktu masih kecil untuk
berkunjung ke rumah kakek dan nenek dari pihak Mama. Ia akan tinggal sementara
bersama sepupunya sementara mama-nya akan mengurus penjualan rumah dan
pekerjaannya.
Ini kedua kalinya Aiden pindah rumah setelah 16 tahun
hidup di dunia. Ia masih sering memikirkan rumahnya yang lama dengan berbagai
kenangan yang terjadi di rumah itu. Kenapa rumah itu harus dijual?
Dadanya terasa sesak ketika teringat keputusan bulat mama untuk menjual rumah
itu.
Mobil perlahan berhenti. Aiden terbangun dari
tidurnya. Badannya terasa kaku. Ia membuka matanya dan melihat ke rumah yang
terlihat familiar sekaligus asing bagi dirinya. Lampu teras yang berwarna
kuning temaram berpendar di kegelapan malam. Rumah itu terlihat seperti
bangunan Belanda. Jendelanya banyak dan besar. Halamannya luas dengan pepohonan
kecil menghiasinya.
“Dek Aiden, udah sampai,” kata Pak Radi yang mengira Aiden
masih tertidur.
Dengan gerakan enggan, ia mengambil ranselnya dan
membuka pintu mobil. Ia melirik jam tangan rolex yang melingkar di
pergelangan tangan kanannya. Pukul 11.30 malam. Ia berjalan menuju pintu rumah
yang terbuat dari kayu jati.
Ia terkejut ketika pintu terbuka dan seorang wanita
menyambutnya dengan senyum ramah. “Ya ampun, Aiden. Kamu sudah tinggi
sekarang!” serunya.
Aiden tersenyum salah tingkah. Ia selalu tidak tahu
harus bereaksi bagaimana di kondisi seperti ini. “Iya, Bude.”
“Ayo masuk, masuk. Kamu sekamar sama Devan untuk
sementara ya. Pasti capek toh? Mau langsung tidur atau mau makan dulu?” tawar
Bude Tiya sambil menepuk-nepuk lengan Aiden.
“Langsung tidur aja, deh, tadi aku udah makan,”
jawabnya seraya masuk ke dalam rumah.
“Beneran? Ya sudah, masuk aja ke kamar Devan. Di situ
ada kasurmu.”
Bude Tiya menunjukkan
mana kamar Devan—sepupu Aiden yang sebaya dengannya. Mereka kemungkinan akan
masuk sekolah yang sama dan kelas yang sama. Begitu masuk ke dalam kamar Devan
yang sejuk karena AC, ia langsung melihat sosok Devan yang tertidur pulas di
atas tempat tidurnya. Wajahnya tidak kelihatan karena tertutup selimut.
Lantas Aiden melihat satu tempat tidur lagi di
seberangnya. Kamar itu memang luas—sesuai ingatannya.. Bisa menampung dua
tempat tidur dan perabotan dua penghuni. Begitu melihat kasur, ia langsung
melepas jaketnya dan menjatuhkan diri di atas kasur yang empuk. Ia memejamkan
matanya tapi membukanya lagi karena rumah ini membuatnya teringat papa.
Rumah ini pernah kukunjungi bersama Papa, ucap suara di kepalanya. Papa bahkan menganggap
rumah ini juga rumahnya. Ia menatap langit-langit. Kamar itu tidak
sepenuhnya gelap karena lampu baca yang ada di meja belajar masih menyala. Ia
teringat kejadian seminggu yang lalu. Papa, bisiknya dalam hati. Aku
minta maaf.
Lalu, entah bagaimana ia bisa tertidur.
--
“Oy! Bangun. Di sini engga ada orang yang bangun
siang!” seru Devan membangunkan sepupunya. Sudah jadi kebiasaannya dari kecil
kalau ada Aiden di rumah itu untuk mengganggu Aiden.
“Dia siapa?” tanya suara seorang gadis kecil. Umurnya
6 tahun. Ia berdiri di samping kakaknya dengan muka penasaran.
Hari itu Minggu. Matahari bersinar cerah setelah
seharian kemarin mendung. Tapi manusia yang teronggok di kasur ini seolah dibius
dengan obat tiddur. Aiden tidak bangun meski suara Devan yang keras berseru di
samping telinganya.
“Ssssh biarin aja, Van,” kata bundanya dari ambang
pintu kamar yang terbuka. “Baru sampai semalam jam 12 loh.”
Devan sebenarnya ingin membangunkan sepupunya karena
ingin mengganggunya. Terakhir kali mereka bertemu, umur mereka masih 11 tahun.
Ia ternyata rindu juga dengan sepupunya. Banyak hal yang berubah tapi semoga
sifat Aiden tidak banyak berubah.
Yah sebenarnya ia ingin membangunkan Aiden untuk
mengangkut barang-barangnya yang menumpuk di ruang tamu ke kamar segera karena
jam 10 akan ada tamu.
“Dia Aiden, sepupu kita,” kata Devan seraya berjalan
keluar kamar—menjawab pertanyaan adeknya.
“Ohhh, kenapa mulai hari ini tinggal di sini?” tanya
Ara dengan wajah polosnya.
Devan tahu alasannya tapi ia justru menjawab,
“Kira-kira kenapa ya?”
Alhasil Ara langsung meninggalkannya dan berlari ke
ruang tengah.
--
Why is it always raining on Monday morning?
Aiden duduk mengamati aspal yang licin oleh hujan
melalui jendela mobil. Ia duduk di jok belakang mobil bersama Ara dan Zira—adik
kembar Devan yang berumur 6 tahun. Berhubung hari ini hujan, mereka bereempat
diantar oleh Bude Tiya dengan mobil. Devan duduk di depan menemani bundanya
yang menyetir. Aiden baru tahu kalau Devan ternyata tidak bisa menyetir
mobil—entah kenapa fakta itu membuatnya merasa lebih unggul sedikit
daripada Devan. Dan pagi itu, ia baru tahu kalau ia tidak akan punya
kemungkinan sekelas dengan Devan karena Devan sudah duduk di bangku kelas 11.
Ia agak cemberut memikirkan hal itu karena itu berarti
di sekolah Devan adalah senior-nya. Yeah, Aiden sadar kalau ia terlambat
masuk SD setahun. Ia memikirkan mobilnya yang terparkir di garasi rumahnya
yang sekarang (ia belum terbiasa menyebut rumah itu sebagai rumahnya).
Sebenarnya, tadi pagi ia sudah hampir menyalakan mobilnya tapi Bude Tiya
langsung menahannya. Ia tidak diizinkan menyetir mobilnya sendiri pagi ini
dengan alasan Bude Tiya khawatir Aiden bukan menyetir mobilnya ke sekolah dan
malah melipir ke tempat lain.
Berhubung Aiden masih baru di rumah itu dan tidak mau
Bude melaporkan yang tidak-tidak ke ibunya, ia menurut saja masuk ke mobil ini.
Tak lama kemudian, gedung sekolah barunya muncul.
Gedung itu terlihat indah karena ada tumbuhan yang merambat di dindingnya.
Dindingnya berwarna merah bata. Bentuknya tidak seperti sekolah di Indonesia
pada umumnya. Gedungnya juga tidak terlalu modern tapi juga tidak terlalu jadul
seperti bangunan Belanda. Ia menduga dulunya mungkin gedung itu adalah
peninggalan Belanda yang dirombak berkali-kali. Di bawah hujan pun, gedung
sekolah itu tetap terlihat mempesona. Aiden tidak menyangka di kota ini ada
sekolah seperti ini.
Bude Tiya menurunkan mereka di lobi supaya mereka
tidak kehujanan. Tiba-tiba kaca mobil turun.
“Jaga adek sepupumu baek-baek di sekolah!” titah Bude
Tiya dari dalam mobil.
“Iya, bunda,” sahut Devan sambil tersenyum bak
malaikat.
Kemudian mobil itu pun melaju meninggalkan halaman
sekolah, menuju sekolah Ara dan Zira.
“Aku enggak bisa mengantarmu ke ruang guru sendirian,”
kata Devan sambil menghadap ke arah Aiden yang ternyata lebih tinggi darinya 5
senti. “Ruang guru ada di sebelah kanan gedung. Ada tulisannya kok.”
“Yeah, aku bisa kok urus urusanku sendiri.”
Devan mengangguk dan tersenyum simpul tapi ia tidak
bergerak juga dari tempatnya berdiri. Aiden menatapnya dengan heran. Ia pun
bergerak duluan masuk ke dalam gedung sekolah tapi Devan tiba-tiba menarik
lengan jaketnya. “Bentar, bentar! Aku akan antar.”
Aiden mengernyitkan dahinya. “Enggak usah, kan tadi
katanya enggak bisa?”
“Aku juga engga mau antar kamu ke ruang guru tapi
kebetulan aku punya tugas yang harus ditaruh di meja guru,” gerutunya sambil
berjalan mendahului Aiden.
“Enggak jelas jadi orang.”
“Apa tadi kamu bilang?”
Aiden menjulurkan lidahnya.
Devan mengangkat tangannya tapi tiba-tiba ada beberapa
adik kelas perempuan lewat di depannya. Ia langsung mengubah ekspresinya
menjadi semanis mungkin. Tapi ternyata pandangan mata mereka bukan ke arah
Devan—melainkan ke arah Aiden yang berjalan di belakangnya sambil membereskan
rambut curly-nya yang selalu berantakan.
“Sial. Harusnya tadi aku merapihkan rambutku sedikit,”
keluhnya.
Devan memutar bola matanya. “Makanya bangun lebih
pagi, dumbass.”
Mereka sampai di depan pintu masuk ruang guru sehingga
Aiden tidak bisa membalas ucapan Devan barusan dengan kata-kata yang lebih
tajam. Devan mengetuk pintu tiga kali lalu membukanya. Ia langsung menuju ke
bagian administrasi.
“Permisi Bu, saya mau mengantarkan anak baru yang
pindah dari Denpasar,” kata Devan pada penjaga meja administrasi.
Wanita paruh baya yang menjaga ruang administrasi itu
pun langsung mengambil berkas yang berisi data milik Aiden. Surat pindah,
raport dari sekolah sebelumnya, profil siswa, dan entah apa lagi. Aiden tidak
bisa menebak. Ia menduga ia akan masuk ke kelas IPA seperti di sekolahnya yang
lama tapi ternyata ia harus melakukan tes lagi untuk menentukan jurusan.
“Aiden Van Hendriks?” Wanita itu membaca namanya
dengan heran, tapi segera ia tutupi keheranannya. “Setelah ini kamu mengerjakan
soal penjurusan selama dua jam. Lalu akan ada wawancara dengan guru konseling
selama setengah jam. Dilanjutkan dengan menghadap ke Kepala Sekolah. Baru
setelah itu, kamu bisa masuk ke ke kelas. Bisa dipahami?”
Aiden mengangguk.
“Menghadap ke Pak Kepsek juga?” tanya Devan.
“Iya, Devan. Tiap anak baru harus melapor,” jelas Bu
Irna—nama wanita penjaga bagian administrasi itu. Ternyata ia sudah hapal
dengan wajah Devan.
“Oh begitu.”
“Devan, sudah jam 7.00. Tidak dengar bel sudah
berbunyi? Ada upacara di aula karena hari ini hujan.”
Devan menpuk jidatnya. Ia sampai lupa kalau tadi
mereka sampai sekolah mendekati waktu upacara bendera hari Senin. Ia pun
bergegas meninggalkan ruang guru—langsung menuju aula.
Kini Aiden tinggal sendirian bersama Bu Irna. Pantas
saja ruang guru sepi karena para guru tentunya sudah di aula untuk mengikuti
upacara. Beberapa saat kemudian, Aiden diarahkan ke sebuah ruangan yang sunyi
dan diberikan sebundel soal untuk dikerjakan.
Ia mulai mengerjakan soal-soal itu dalam diam. Tapi
fokusnya tidak bertahan lama. Di tengah-tengah mengerjakan soal, ia mulai
mencoret-coret soalnya dengan gambar acak. Ia merasa tidak tahan kalau
harus diam lagi untuk satu jam lagi.
Awalnya ia mencoret-coret kertas soal di hadapannya.
Lalu ia mulai memejamkan matanya dan detik berikutnya ia terlelap begitu saja
di atas meja.
Ia terbangun karena mendengar samar-samar langkah kaki
para guru memasuki ruangan mereka. Ruangannya memang berada persis di samping
ruang guru. Ia menduga ruangan ini adalah ruangan konseling. Ia melirik jam
tangannya. Pukul 8.50.
Aiden melihat lembar jawabannya yang sudah terisi
penuh—meski ada beberapa yang jawabannya asal. Ia pura-pura sibuk menghitung
jawaban soal matematika ketika dua guru konseling memasuki ruangan itu. Mereka
membicarakan sesuatu dengan nada serius.
“Sudah 7 hari sejak satu murid hilang dari
kelas 10 IPA 1.” Suara seorang guru pria.
“Anda sudah coba hubungi orang tuanya? Kenapa tidak
masuk selama 7 hari berturut-turut.”
“Nomor ibunya tidak aktif. Nomor ayahnya tidak pernah
menjawab. Saya bahkan mendatangi rumahnya tapi rumahnya ternyata sudah pindah.”
“Apa ada masalah di kelasnya?” Suara seorang guru
wanita. Suaranya memelan ketika menyadari Aiden juga berada di ruangan itu.
“Saya tidak tahu harus bagaimana. Kalau begini berturut-turut
selama 10 hari, bisa-bisa dia dikeluarkan dari sekolah.” Suara guru pria itu
terdengar prihatin pada nasib murid yang sedang dibicarakan ini. “Padahal ia
termasuk murid yang cemerlang… Nilainya selalu yang terbaik di kelas. Bukankah
ini aneh? Anak yang cemerlang malah dikucilkan di kelasnya?”
“Kalau begitu apa ada catatan dari SMP-nya?” Guru
wanita itu terdengar tak nyaman membicarakan hal ini. “Maksud saya, seperti…
Leo dari kelas 10 IPA 4.”
“Ah, saya rasa tidak ada. Saya pikir hanya ada masalah
kehidupan sedikit saja pada anak itu. Semoga saja dia tidak sampai menghilang
selama 10 hari. Nomornya saya cek sudah aktif lagi.”
Guru wanita itu pun tidak melanjutkan pembicaraan. Ia
mengecek jam dan ternyata sudah pukul 9 tepat. Ia pun beranjak menuju meja
tempat Aiden sedang sibuk mencoret-coret lembar soal.
“Aiden, anak pindahan dari Denpasar? Benar kan?” sapa
guru wanita itu seraya duduk di kursi yang ada di depan meja Aiden.
“Benar, Bu. Panggil saja Aiden. Saya lebih nyaman
dipanggil Aiden,” jelas Aiden sambil tersenyum sopan.
“Baik, Aiden. Perkenalkan saya Bu Hani Winata, guru
konseling di sekolah ini, bersama Pak Kuncara dan Bu Eliani yang sedang izin
hari ini,” kata Bu Hani memperkenalkan diri. Ia kelihatannya termasuk guru muda
di sekolah ini. Umurnya mungkin sekitar 30 tahunan. “Sudah selesai mengerjakan
soalnya?”
Aiden mengangguk. Lembar jawabannya pun diambil dan
diserahkan pada guru yang akan menilai jawaban Aiden. Setelah Bu Hani kembali
dari ruang guru, mereka pun melanjutkan obrolan ringan mereka yang sebenarnya
merupakan wawancara untuk mengenal kepribadian Aiden sekilas.
Aiden merasa wawancara selalu lebih berat daripada tes
tertulis karena energinya terasa disedot habis setiap ia harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat personal. Ditambah ia harus berhadapan
dengan Kepala Sekolah. Ditambah lagi, ia harus berkenalan diri di depan
orang-orang sesampainya di kelas nanti. Belum apa-apa, ia sudah merasa sangat
lelah dan sangat ingin menyetir mobilnya—pergi yang jauh, entah kemana.
--
Malam itu, Aiden ditelepon mamanya saat sedang
diam-diam merokok di balkon yang menghadap ke halaman belakang rumah. Bude Tiya
belum tahu kalau ia perokok—tapi tak lama lagi mungkin akan tahu. Devan juga
belum tahu soal ini. Ia sengaja merokok di sini agar asapnya tidak sampai terhirup
penghuni rumah. Ia masih punya hati untuk mereka.
“Jadi, dapat kelas apa?”
“Kelas IPS,” jawab Aiden di tengah obrolan ringan
bersama Mama.
“Bukannya kemarin di Denpasar, kamu masuk kelas IPA?”
“Setelah ditest ulang, aku lebih cocok masuk kelas
IPS.” Aiden menjauhkan telepon agar mamanya tidak dengar dia menghisap rokoknya
lagi. Mama belum tahu kalau dia merokok—ia mati-matian menyembunyikan fakta
ini.
“Oh ya sudah. Tidak ada masalah kan?”
Aiden menggeleng. “Enggak.” Belum.
“Setelah ini Mama harus ke Jakarta untuk mengurus satu
urusan lagi. Kamu jaga diri baik-baik di sana.”
“Mhm, yeah. Mama juga. Take care.”
Aiden menyenderkan punggungnya pada kursi malas itu untuk
menatap bintang, tapi tiba-tiba seseorang menghalangi pandangannya. Ia langsung
terduduk karena kaget tiba-tiba melihat wajah orang di atasnya persis. “What
the fuck?!” gerutunya. Ia melihat siapa sosok itu dan ternyata hanya Devan.
“Sejak kapan kamu di sini hah?” tanya Devan dengan bass
di tangannya. Ia berdiri tak jauh dari kursi yang diduduki Aiden sedang
menyalakan lampu teras satu lagi agar lebih terang. Ia mau latihan bass di
sini. “Ternyata kamu perokok juga ya?”
“Jangan bilang siapa-siapa,” kata Aiden tanpa berusaha
menyembunyikan batang rokok di antara jarinya. Ia menyenderkan punggungnya lagi
pada senderan kursi. Matanya terpejam dan ia mengembuskan asap dari mulutnya.
“Yeah, dan jangan pernah merokok di dalam rumah
apalagi kamarku,” ujar Devan tanpa acuh sambil melatih jari-jarinya di
atas senar bass. Ia tidak menyambungkan bass-nya ke amplifier karena
ia tidak sedang berada di ruang kedap suara. Sebenarnya ia punya amplifier di
kamarnya tapi pasti akan berisik.
“Mau coba?” tawar Aiden sambil menyodorkan bungkus
rokok marlboro-nya. Sedari tadi ternyata ia memperhatikan Devan yang sibuk
dengan bass-nya.
Devan menoleh ke arah Aiden. “No fucking way.”
--
Hari-hari berlanjut tanpa kejadian aneh. Aiden mulai
merasa nyaman di rumah itu meskipun ia masih masih belum bisa akrab dengan si
kembar—adik-adiknya Devan. Pikirannya disibukkan oleh PR dan tugas sampai ia
tidak sempat mengecek mobilnya. Mobil peninggalan Papanya. Entah kenapa hatinya
masih berdenyut sakit tiap kali mengingat fakta itu.
Ia merasa hari-harinya berjalan normal tapi ada
sesuatu yang membuatnya merasa bukan seperti dirinya lagi.
“Argh, aku benci matematika,” keluh seseorang yang
duduk di sampingnya hari itu.
Aiden bukan tipe orang yang mudah berteman. Ia tidak
mahir membuka pembicaraan atau mencari topik pembicaraan. Orang-orang sering
mengatakan kalau ia terlalu kaku. Padahal kalau ia sudah benar-benar berteman
dengan seseorang, ia bisa jadi orang yang sangat suka bercanda. Hanya beberapa
temannya di Denpasar yang tahu soal ini.
Sudah dua kali Aiden dapat kursi di samping gadis ini.
Anak kelas mereka sepakat untuk menentukan tempat duduk dengan undian setiap
pagi dengan tujuan semuanya bisa dekat satu sama lain. Dan ini kedua kalinya
mereka duduk di meja yang sama dalam kurun waktu 5 hari.
“Ini materi yang mudah kok,” kata Aiden dengan suara
pelan.
Vanya—nama gadis itu—menoleh ke arah Aiden sambil
menyipitkan matanya. “Mudah dari mana?" gerutunya lalu ia kembali
melanjutkan mencatat di buku tulisnya.
Berdasarkan pengamatannya, Vanya selalu pergi di
tengah-tengah pelajaran ini. Ia selalu bilang izin ke toilet tapi tidak kembali
sampai setengah jam kemudian. Ia memang murid baru di sini jadi ia tidak bisa
menyimpulkan apakah Vanya memang selalu begitu sebelumnya.
Dugaan Aiden benar lagi. Gadis berambut merah tembaga
itu beranjak berdiri setelah 45 menit pelajaran berlangsung. Aiden menatap ke
meja kosong di sampingnya. Buku tulis cewek itu terbuka dan memperlihatkan
tulisan yang berantakan.
Saat guru mereka pergi meninggalkan mereka dengan
seabrek tugas karena ada kepentingan, Aiden memanfaatkannya untuk menyelinap
keluar kelas. Ia pura-pura pergi ke arah toilet meskipun sebenarnya bukan itu
tujuannya.
“Mencari aku?”
Aiden terkesiap dan langsung berbalik. Vanya sudah
berdiri di belakangnya entah sejak kapan.
“Jangan terlalu percaya diri.”
Vanya mengangkat bahu. “Aku cuma menebak—OH SHIT.
Ada Pak Kepala Sekolah. Jangan kelihatan kalau kita keluyuran di tengah jam
pelajaran.” Ia memberi isyarat pada Aiden untuk mengikutinya.
Aiden mengikuti Vanya berlari menuju sebuah ruangan
yang ada di dekat mereka. Tanpa pikir panjang, Vanya membuka pintu ruangan itu
dan menarik kemeja Aiden agar segera masuk ke dalam ruangan itu.
“Kepala Sekolah paling tidak suka lihat muridnya
keluyuran,” kata Vanya sambil bersender pada pintu.
“Wow wow apa ini?”
Vanya langsung menoleh ke sumber suara lain. Ia
langsung mengerutkan dahinya ketika melihatnya.
Ternyata bukan hanya mereka yang tidak berada di kelas
saat ini, pikir Aiden sambil
melihat ke sosok yang baru dilihatnya di dalam ruangan besar itu. Ruangan itu
kelihatan sepeerti ruang rapat dengan meja melingkar dan kursi-kursi
mengelilinginya. Tapi bedanya ada banyak barang di atas meja itu dan di rak
buku yang menempel dinding.
“Calon Ketua School Council ngapain di sini?”
“Bukan urusanmu.”
Vanya tersenyum mengejek ketika melihat laptop dan
buku yang terbuka di atas meja. “Belum ngerjain tugas? Emang calon ketua doang
boleh pakai ruang sekretaris OSIS buat kabur ngerjain tugas?”
“Siapa yang belum ngerjain tugas? Aku ke sini juga
udah dapat izin.” Cowok itu masih duduk di kursinya. Awalnya ia duduk menghadap
meja, tapi kali ini ia mengubah posisi duduknya sehingga arahnya langsung
menghadap ke Vanya. “Kamu kabur lagi kan? Mau kulaporin ke Ayah?”
Raut muka Vanya langsung berubah. Senyum mengejeknya
hilang. Ia berjalan mendekat ke arah cowok itu dan terlihat seperti akan
mencekiknya. “You better shut your tongue.” Vanya bisa melihat apa yang
dikerjakan cowok itu dari dekat. Yeah, seperti biasa ia sedang mempersiapkan
diri untuk ikut kompetisi mewakili sekolah—bukan, kali ini tingkatnya lebih
tinggi lagi. “I can put my snakes on your bed tonight if you tell father
about my behavior at school.”
Vanya berkata penuh penekanan dan kelihatan
sungguh-sungguh. Cowok itu pun diam dan menelan apapun yang ingin ia lontarkan.
Aiden merasa seperti seharusnya ia tidak berada di
situ. Ia merasa seperti melihat percakapan yang sangat personal, tapi
apa hubungannya Vanya dengan cowok itu? Aiden memperhatikan mereka dari
tempatnya berdiri. Warna rambut mereka memang mirip—merah tembaga. Tapi wajah
mereka kalau dilihat sekilas tidak mirip sama sekali dan warna mata mereka
berbeda.
“Ayo pergi dari sini,” kata Vanya seraya membuka
pintu. Ia yakin Pak Kepala Sekolah pasti sudah menghilang lorong itu.
Aiden membungkam mulut dan menyimpan pertanyaannya.
--
“Jangan bilang-bilang soal tadi,” kata Vanya saat jam
pelajaran olahraga sore itu. Ia dan Aiden bertugas mengambil bola basket dari
ruang penyimpanan.
“Memang dia siapa?”
“Namanya Victor dan aku sebenarnya tidak mau mengakui
ini.” Vanya menghela napas. “He is my twin.”
Aiden mengangguk-angguk. Percakapan tadi mulai makes
sense di ingatannya.
“Kumohon rahasiakan ini dari siapapun. Di sekolah ini,
tidak boleh ada yang tahu kalau kami kembar.”
“Kenapa?”
Vanya terlihat sangat enggan menjawab pertanyaan itu.
Ia pura-pura sibuk mendorong box beroda yang berisi bola-bola basket. Sekilas,
raut wajahnya yang biasanya kelihatan galak dan mengintimidasi, kali ini
terlihat khawatir. “Aku tidak mau dibanding-bandingkan terus dengannya,”
jawabnya dengan suara kecil.
Vanya berhenti mendorong box beroda itu dan berdiri di
hadapan Aiden. Saat itu, mereka hanya berdua di ruang penyimpanan. Mata hijau
cemerlang milik Vanya menatap mata Aiden yang berwarna abu-abu pucat.
“Jadi, kumohon jaga rahasia ini.”
“Baiklah.”
Vanya tersenyum simpul dan terlihat lega. Ia lanjut
mendorong box beroda itu ke tengah lapangan basket—diikuti Aiden di
belakangnya. Aiden menatap Vanya dari belakang. Tak akan ada yang menyangka di
balik keteguhan Vanya ternyata tersimpan kerapuhan.
--
Malam itu, semua orang rumah pergi kecuali dirinya dan
Devan. Bude dan Pakde—alias orang tuanya Devan—akan pergi selama seminggu ke
Melbourne. Mereka punya urusan yang penting di kota besar itu. Devan awalnya
mendesak ingin ikut bersama mereka tapi ia teringat ada hal penting yang harus
ia lakukan. Band. Lagipula Ara dan Zira ikut mereka. Ia paham tiket ke
luar negeri tidak semurah itu.
“Kamu beruntung pernah ke Eropa,” kata Devan suatu
malam saat mereka duduk di ruang tengah. Selama seminggu, di rumah itu hanya
ada mereka berdua.
“Cuma sekali,” jawab Aiden. Ia jadi teringat Papanya
yang mengajarkannya banyak hal tentang mesin mobil. “Kalo gitu aku boleh
merokok di sini?”
Devan berhenti memetik bass-nya. “Sekali lagi
kamu nanya gitu, aku pukul kepalamu pakek bass.”
Aiden tertawa. “Aku cuma bercanda.” Ia juga tahu kalau
bekas rokok yang menempel di sofa pun bisa berakibat buruk. Lantas, Aiden
meletakkan laptopnya di atas sofa dan beranjak berdiri.
Devan memperhatikan sepupunya yang keluar dari kamar
dengan celana jeans, t-shirt hitam, dan jaket bombernya sambil
memegang kunci mobil. Ia pikir sepupunya hanya akan mengambil bungkus rokok dan
merokok di belakang. “Mau kemana?”
“Cari angin,” jawab Aiden.
“Sekarang udah jam 11.”
“So what?” Aiden berdiri di ruang tengah.
Devan menghela napas. Meskipun ia hanya lebih tua lima
bulan dari Aiden, tetap saja ia merasa bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu
pada Aiden. Atau Aiden mencoba untuk kabur? Tapi sepertinya kemungkinan itu
kecil. Kadang Devan tidak bisa menebak pikiran saudara sepupunya itu. “Yang
penting jangan lupa pulang lagi ke sini.”
Aiden mengangguk sambil lalu. Memangnya aku mau
pulang ke mana lagi?
--
Mobil SUV itu melaju di jalan kota yang mulai lengang.
Aiden sudah lama tidak menyetir karena berbagai kesibukan yang menyita
pikirannya. Bahkan saat di Denpasar, ia tidak sempat mengucapkan selamat
tinggal yang lebih layak untuk kota dan teman-temannya yang ada di tempat itu.
Ia yakin terakhir kali menyetir adalah saat ia… mengantar Papa ke Rumah Sakit.
Aiden menarik napas ketika rasa itu berdenyut di
dadanya. Tanpa sadar ia mencengkram setir mobil lebih erat.
Ia belum hapal kota ini. Ia tidak tahu tempat yang
enak untuk menyendiri di kota ini. Kota ini asing baginya. Yang ia tahu
hanyalah Mama berasal dari kota ini. Sedangkan, Papa berasal dari kota yang
jauh dari sini tapi sudah menganggap kota ini rumahnya juga. Aiden tidak yakin
ia juga bisa menganggap kota ini rumahnya juga.
Entah sudah berapa jauh ia melajukan mobilnya. Daerah
sekitarnya mulai asing. Mulai banyak pohon muncul di sekeliling jalan raya itu
dan suasananya jauh lebih sunyi daripada jalan yang tadi ia lewati. Apa tadi
aku salah belok? pikirnya. Ia memutuskan untuk putar balik. Ketika jalan
dan pertokoan di pinggir jalan itu mulai familiar, ia berhenti di depan sebuah
minimarket 24 jam dan turun dari mobilnya.
Ia membeli air mineral lalu meminumnya di kursi yang
ada di depan minimarket itu. Kemudian, ia menyalakan rokoknya. Aiden bersender
pada senderan kursi.
“Mobil itu punyamu?” tanya seseorang yang membuat
Aiden menoleh. Sosok itu kelihatannya juga masih remaja tapi lebih tua darinya.
“Yeah,” jawab Aiden dengan lugas. Mobil itu resmi jadi
miliknya sejak Papanya bilang kalau ia boleh memiliki mobil itu kalau sudah
masuk SMA.
“Mau coba balapan?” kata orang asing itu.
Aiden mendengus tertawa. “SUV bukan buat balapan.”
“Mobilku juga jenis SUV. Ada lintasan sepi di sekitar
sini.”
Aiden menghisap rokoknya—terlihat menimbang-nimbang.
Ia tersadar kalau sosok asing itu tidak sendirian. Ia bersama teman-temannya
juga yang kelihatannya memperhatikan Aiden dari tadi. Mobil-mobil mereka
terparkir di sepanjang lahan parkir itu. Ia melihat mobil milik orang asing itu
yang ia tidak ketahui namanya. Mobilnya terlihat mulus dan sudah dimodifikasi.
Ia tersadar kalau ia akan memasuki area berbahaya kalau ia mengiyakan tawaran
tersebut.
“Apa taruhannya?”
Sosok asing itu menyeringai. “Here’s the deal.
Berhubung ini baru pertama kali kau muncul di sini, kalau kau menang, kau boleh
ikut lagi dan mungkin bisa dapat taruhan yang lebih besar. Tapi kalau
kau kalah, lebih baik jangan pernah menunjukkan muka di sini lagi.”
“Kalau aku menolak?” Aiden menatap sosok itu tanpa
gentar. Ia menduga lawan bicaranya umurnya tidak jauh berbeda dengannya.
Reaksi orang itu terlihat santai tapi berbahaya. Aiden
bisa melihat orang-orang tiba-tiba muncul di beberapa titik. Padahal Aiden
yakin tadi hanya ada tiga orang yang sedang duduk di kuris-kursi depan
minimarket. Aiden bisa merasakan aura berbahaya dari mereka.
“Ada yang harus dibayar,” jawab sosok itu sambil
tersenyum. “Kelihatannya kau orang berada, jadi bukan masalah kan? Kalau aku sebut
harga yang harus kau bayar supaya bisa pergi.”
Aiden merasa dirinya dikepung. Ia terlihat rileks
meskipun kepalanya penuh dengan susunan rencana. Sayangnya ia tidak menemukan
celah agar bisa kabur begitu saja. Sial. Harusnya aku engga berhenti di
sini. Ia sebenarnya tidak suka terlibat masalah seperti ini. Ia
menghisap rokoknya lagi.
“Bagaimana? Jadi balapan atau tidak?”
Aiden membuang puntung rokoknya lalu menatap sosok
asing itu dengan sorot dingin. “Deal.”
--
Keesokan paginya, Devan terbangun karena suara
alarmnya. Pukul 5 pagi. Ia tersadar kalau semalam ia ketiduran saat menunggu
Aiden pulang. Ia sudah memaksa matanya terbuka sampai jam 2 pagi dengan membaca
buku sambil mendengarkan musik tapi payahnya ia tetap ketiduran. Bahkan buku
yang ia baca semalam tergeletak di samping bantalnya. Cover-nya terlipat
sedikit akibat tertindih badannya sewaktu tidur.
Lalu ia menoleh ke tempat tidur di sampingnya dan
mendapati Aiden tertidur dengan posisi telungkup. Ia masih berpakaian lengkap
seperti saat semalam pergi meninggalkan rumah. Bahkan ia tidak melepas jaketnya
dan kelihatannya langsung tidur begitu saja.
Devan melihat ke jendela yang terbuka sedikit. Ternyata
dia masuk lewat jendela, pikirnya sambil menggelengkan kepalanya. Ia ingat
semalam ia sudah mengunci semua pintu depan dan belakang, tapi sepertinya ia
lupa mengunci jendela kamarnya sendiri.
Hari ini masih weekdays. Devan segera
membereskan tempat tidurnya dan bersiap-siap sekolah. Ia juga menyiapkan
sarapan simple untuk mereka berdua. Dengan cekatan, ia membuat roti
bakar untuk mereka berdua.
Sekitar pukul setengah tujuh, ia masuk lagi ke kamar
dan mendapati Aiden tidak bergerak dari posisi tidurnya. “Aiden! Bangun!” seru
Devan sambil mengguncang bahu sepupunya. “Bangun! Hey??” Aiden seperti tidak
terpengaruh dengan suara keras Devan.
Jam berapa anak ini pulang tadi malam? pikir Devan sambil terus mengguncang bahu Aiden. “AIDEN!
Sekarang masih hari sekolah, bodoh!!!”
Perlahan Aiden membuka matanya. Ia mengernyitkan
dahinya dan mengusap wajahnya. Rambutnya yang berantakan terlihat kusut.
“Tadi malam pulang jam berapa?”
“Jam setengah empat,” jawab Aiden dengan suara parau.
Devan memejamkan matanya sekejap—berusaha menahan
kesal. Baru sehari mereka ditinggal berdua di rumah, Aiden sudah berani
berulah. “Ngapain?”
Aiden mendudukan dirinya di atas tempat tidur.
Ingatannya flashback ke kejadian semalam. Ia dipaksa mengikuti balapan
dan bodohnya ia menyetujui tawaran itu, bahkan sampai bertaruh. Uang taruhan
itu tersimpan di kantong jeansnya. Ia memenangkan balapan pertama tapi orang
tanpa nama itu tidak terima sampai mereka harus balapan berkali-kali dan
membuat Aiden hampir kehilangan semua uang yang ia bawa tadi malam. “Aku
nyasar.”
Devan menatap Aiden tidak percaya. “Kamu kan bisa liat
google maps.”
“Aku engga bawa handphone.” Aiden membuktikannya
dengan membuka laci di nakas samping tempat tidurnya dan mengambil handphone-nya
dari situ.
“Ck.” Devan terpaksa percaya dengan alibi Aiden. “Kamu
pergi sekolah kan hari ini?”
“Sekarang hari apa?”
“Kamis, bodoh!”
Aiden sebenarnya ingin bolos tapi ia ingat ada mata
pelajaran yang memberinya tugas kelompok hanya berdua dengan Vanya. Well, setiap
kelompok memang hanya terdiri dari dua orang karena jumlah murid di kelas
mereka yang sedikit—26 orang. Ia sudah janji bakal membantunya hari ini di
tugas kelompok berpasangan ini. “Ya, aku berangkat.” Setelah itu ia berencana
akan tidur di ruang UKS.
--
Pagi ini, Aiden tidak mendapat tempat duduk di samping
Vanya lagi. Ia duduk di samping anak perempuan lain. Tapi saat jam pelajaran
sosiologi tiba, mereka pasti akan duduk dengan kelompok yang kemarin sudah
ditentukan untuk tugas kelompok.
Aiden berulang kali hampir ketiduran. Untungnya
pelajaran sosiologi tepat setelah mata pelajaran ini berakhir. Jadi ia bisa
segera meninggalkan kelas dan menuju ruang UKS diam-diam.
“Begadang ngapain semalam?” tanya Vanya ketika mereka
duduk bersebelahan sementara di kelas sosiologi. Ia heran dengan teman
sebangkunya yang bolak-balik menguap saat mendengarkan penjelasan guru mereka. “Maybe
you need a coffee with lots of caffeine.”
“Bukan kopi, tapi tidur yang aku butuhkan saat ini,”
jawab Aiden sambil memegang pulpennya dan mencatat tugas mereka di atas buku
tulisnya. Interaksi sosial antarindividu. Selain mempelajari hal itu, mereka
juga mempelajari tentang komunikasi. Itu sebabnya mereka ditugaskan
berpasangan—untuk belajar berkomunikasi dua arah dengan baik.
“Apa yang kamu lakukan semalam?” tanya Vanya sambil
menoleh ke arah Aiden yang duduk di samping kanannya. Seingatnya tidak ada PR
berat yang harus mereka kerjakan. Vanya juga merasa Aiden bukan tipe orang yang
suka belajar semalaman.
“Not your business,” jawab Aiden.
Vanya memutar bola matanya. Yeah terserah.
“By the way, kamu benar punya ular?” tanya
Aiden di sela-sela penjelasan guru—teringat ucapan Vanya pada saudara kembarnya
beberapa hari yang lalu atau kemarin?
“Why should I answer you?” Vanya jadi enggan
menjawab karena reaksi Aiden tadi, padahal ia dengan senang hati menceritakan
hewan peliharaan melatanya, hewan reptilenya, dan hewna arthropoda favorinya.
Tanpa mereka sadari, percakapan mereka sama sekali bukan contoh komunikasi yang
baik.
--
0 comments