Lost [CHAPTER 2]

Desember 18, 2022

 Chapter 2

Langit terlihat mendung selama perjalanan panjang itu. Terkadang cerah menunjukkan seberkas sinar mmatahari. Namun, lebih sering mendung dan hujan. Aiden memilih tidur di jok belakang bersama barang-barangnya yang menumpuk di segala penjuru mobil.

Kali ini ia terbangun karena mobil berguncang begitu keras sampai punggungnya terasa sakit. Padahal ia sudah merasa pegal dengan seluruh perjalanan panjang ini.

“Ada apa?” tanyanya pada sopir—yang menjadi satu-satunya orang selain dirinya di dalam mobil tua itu—ketika mobil berhenti. Ia beranjak bangun. Rambut curly-nya terlihat acak-acakan setelah tidak disisir selama perjalanan.

Waktu menunjukkan pukul 5 sore dan mereka berhenti di tengah-tengah sawah. Tidak ada rumah dekat situ yang bisa memberi pertolongan. Pak Radi yang menjadi sopir mobil itu kelihatan gugup karena mobilnya sudah berkali-kali distarter tidak menyala juga. “Mogok, Mas.”

“Bukan gara-gara bensin habis kan?” tanya Aiden.

“Bukan. Dua jam yang lalu baru aja isi bensin,” jawab Pak Radi.

Aiden pun turun dari mobil. Ia membuka kap mobil dan memperhatikan mesin mobil tua yang kelak menjadi miliknya sepenuhnya. Ia suka mobil itu sejak pandangan pertama tidak peduli orang-orang bilang kalau mobil itu sudah selayaknya dijual murah saja.

Pak Radi juga turun dan berdiri di sampingnya.

“Tolong ambil perkakas mobil, Pak,” pinta Aiden sambil meraih sebungkus rokok dari saku jaket bomber-nya. Pak Radi melihatnya dengan kaget. Selama perjalanan, Aiden tidak pernah menunjukkan kalau ia perokok. “Tolong ya, Pak.”

Pak Radi seolah tersadar dari lamunannya lantas menuruti perkataan putra majikannya. Beberapa menit kemudian, Aiden sudah berkutat dengan mesin mobil di hadapannya. Pak Radi merasa seharusnya ia lebih berpengalaman dalam hal ini daripada anak usia 16 tahun di hadapannya. Tapi ia belum pernah melihat mesin mobil buatan Amerika seperti ini. Biasanya ia hanya mengendarai atau memperbaiki mobil buatan Jepang yang biasa digunakan orang-orang di sekitarnya.

Aiden menghisap rokoknya dan mengembuskan asapnya dengan santai sambil membetulkan mesin. Setengah jam kemudian, ia meminta tolong Pak Radi untuk menstarter mobilnya lagi dan mobilnya menyala.

“Sudah oke, Mas.”

Aiden mau tak mau tersenyum puas. Ia membereskan perkakas yang ia gunakan, memasukkannya lagi ke bagasi belakang, dan membuang puntung rokoknya. Lalu ia masuk ke dalam mobil. “Engga usah lapor Mama kalau aku merokok,” katanya sambil menatap Pak Radi melalui spion tengah mobil.

“Iya, tenang. Saya engga bilang-bilang.”

Aiden tersenyum sekilas. Lalu merebahkan tubuhnya lagi di atas tumpukan bantal yang ia bawa. Ia menekuk kakinya yang panjang di atas jok tengah mobil. Lalu memejamkan matanya lagi.

--

Sebenarnya bukan keinginannya untuk diantar sopir ke rumah barunya seperti ini. Ia merasa dirinya sanggup menyetir sejauh 1000 km sendirian selama 12 jam. Tapi mama-nya tidak menyetujui keinginannya. Ia tetap harus diantar sopir. Oleh karena itu, ia memilih tidur selama di mobil karena beberapa hari sebelumnya ia sama sekali tidak bisa tidur.

Tangannya masih dingin ketika mengingat kejadian malam itu saat papanya terkena serangan jantung. Ia merasa bodoh karena tidak berdaya untuk membantu papanya. Perasaan bersalah masih menyelimuti dirinya setiap malam hingga ia tak bisa tidur.

Tapi hidup terus berjalan tak peduli sepahit apapun pengalaman yang ia alami. Ia tidak bisa hanya terpuruk dalam jurang perasaan bersalah. Ia masih tetap harus hidup, salah satunya karena mama. 

Rumah itu akan dijual.

Mama dan dirinya akan pindah ke kota baru ini. Kota yang selalu ia kunjungi bersama kedua orangtuanya sewaktu masih kecil untuk berkunjung ke rumah kakek dan nenek dari pihak Mama. Ia akan tinggal sementara bersama sepupunya sementara mama-nya akan mengurus penjualan rumah dan pekerjaannya.

Ini kedua kalinya Aiden pindah rumah setelah 16 tahun hidup di dunia. Ia masih sering memikirkan rumahnya yang lama dengan berbagai kenangan yang terjadi di rumah itu. Kenapa rumah itu harus dijual? Dadanya terasa sesak ketika teringat keputusan bulat mama untuk menjual rumah itu.

Mobil perlahan berhenti. Aiden terbangun dari tidurnya. Badannya terasa kaku. Ia membuka matanya dan melihat ke rumah yang terlihat familiar sekaligus asing bagi dirinya. Lampu teras yang berwarna kuning temaram berpendar di kegelapan malam. Rumah itu terlihat seperti bangunan Belanda. Jendelanya banyak dan besar. Halamannya luas dengan pepohonan kecil menghiasinya.

“Dek Aiden, udah sampai,” kata Pak Radi yang mengira Aiden masih tertidur.

Dengan gerakan enggan, ia mengambil ranselnya dan membuka pintu mobil. Ia melirik jam tangan rolex yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Pukul 11.30 malam. Ia berjalan menuju pintu rumah yang terbuat dari kayu jati.

Ia terkejut ketika pintu terbuka dan seorang wanita menyambutnya dengan senyum ramah. “Ya ampun, Aiden. Kamu sudah tinggi sekarang!” serunya.

Aiden tersenyum salah tingkah. Ia selalu tidak tahu harus bereaksi bagaimana di kondisi seperti ini. “Iya, Bude.”

“Ayo masuk, masuk. Kamu sekamar sama Devan untuk sementara ya. Pasti capek toh? Mau langsung tidur atau mau makan dulu?” tawar Bude Tiya sambil menepuk-nepuk lengan Aiden.

“Langsung tidur aja, deh, tadi aku udah makan,” jawabnya seraya masuk ke dalam rumah.

“Beneran? Ya sudah, masuk aja ke kamar Devan. Di situ ada kasurmu.”

 Bude Tiya menunjukkan mana kamar Devan—sepupu Aiden yang sebaya dengannya. Mereka kemungkinan akan masuk sekolah yang sama dan kelas yang sama. Begitu masuk ke dalam kamar Devan yang sejuk karena AC, ia langsung melihat sosok Devan yang tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Wajahnya tidak kelihatan karena tertutup selimut.

Lantas Aiden melihat satu tempat tidur lagi di seberangnya. Kamar itu memang luas—sesuai ingatannya.. Bisa menampung dua tempat tidur dan perabotan dua penghuni. Begitu melihat kasur, ia langsung melepas jaketnya dan menjatuhkan diri di atas kasur yang empuk. Ia memejamkan matanya tapi membukanya lagi karena rumah ini membuatnya teringat papa.

Rumah ini pernah kukunjungi bersama Papa, ucap suara di kepalanya. Papa bahkan menganggap rumah ini juga rumahnya. Ia menatap langit-langit. Kamar itu tidak sepenuhnya gelap karena lampu baca yang ada di meja belajar masih menyala. Ia teringat kejadian seminggu yang lalu. Papa, bisiknya dalam hati. Aku minta maaf.  

Lalu, entah bagaimana ia bisa tertidur.

--

“Oy! Bangun. Di sini engga ada orang yang bangun siang!” seru Devan membangunkan sepupunya. Sudah jadi kebiasaannya dari kecil kalau ada Aiden di rumah itu untuk mengganggu Aiden. 

“Dia siapa?” tanya suara seorang gadis kecil. Umurnya 6 tahun. Ia berdiri di samping kakaknya dengan muka penasaran.

Hari itu Minggu. Matahari bersinar cerah setelah seharian kemarin mendung. Tapi manusia yang teronggok di kasur ini seolah dibius dengan obat tiddur. Aiden tidak bangun meski suara Devan yang keras berseru di samping telinganya.

“Ssssh biarin aja, Van,” kata bundanya dari ambang pintu kamar yang terbuka. “Baru sampai semalam jam 12 loh.”

Devan sebenarnya ingin membangunkan sepupunya karena ingin mengganggunya. Terakhir kali mereka bertemu, umur mereka masih 11 tahun. Ia ternyata rindu juga dengan sepupunya. Banyak hal yang berubah tapi semoga sifat Aiden tidak banyak berubah.

Yah sebenarnya ia ingin membangunkan Aiden untuk mengangkut barang-barangnya yang menumpuk di ruang tamu ke kamar segera karena jam 10 akan ada tamu.

“Dia Aiden, sepupu kita,” kata Devan seraya berjalan keluar kamar—menjawab pertanyaan adeknya.

“Ohhh, kenapa mulai hari ini tinggal di sini?” tanya Ara dengan wajah polosnya.

Devan tahu alasannya tapi ia justru menjawab, “Kira-kira kenapa ya?”

Alhasil Ara langsung meninggalkannya dan berlari ke ruang tengah.

--

Why is it always raining on Monday morning?

Aiden duduk mengamati aspal yang licin oleh hujan melalui jendela mobil. Ia duduk di jok belakang mobil bersama Ara dan Zira—adik kembar Devan yang berumur 6 tahun. Berhubung hari ini hujan, mereka bereempat diantar oleh Bude Tiya dengan mobil. Devan duduk di depan menemani bundanya yang menyetir. Aiden baru tahu kalau Devan ternyata tidak bisa menyetir mobil—entah kenapa fakta itu membuatnya merasa lebih unggul sedikit daripada Devan. Dan pagi itu, ia baru tahu kalau ia tidak akan punya kemungkinan sekelas dengan Devan karena Devan sudah duduk di bangku kelas 11.

Ia agak cemberut memikirkan hal itu karena itu berarti di sekolah Devan adalah senior-nya. Yeah, Aiden sadar kalau ia terlambat masuk SD setahun. Ia memikirkan mobilnya yang terparkir di garasi rumahnya yang sekarang (ia belum terbiasa menyebut rumah itu sebagai rumahnya). Sebenarnya, tadi pagi ia sudah hampir menyalakan mobilnya tapi Bude Tiya langsung menahannya. Ia tidak diizinkan menyetir mobilnya sendiri pagi ini dengan alasan Bude Tiya khawatir Aiden bukan menyetir mobilnya ke sekolah dan malah melipir ke tempat lain.

Berhubung Aiden masih baru di rumah itu dan tidak mau Bude melaporkan yang tidak-tidak ke ibunya, ia menurut saja masuk ke mobil ini.

Tak lama kemudian, gedung sekolah barunya muncul. Gedung itu terlihat indah karena ada tumbuhan yang merambat di dindingnya. Dindingnya berwarna merah bata. Bentuknya tidak seperti sekolah di Indonesia pada umumnya. Gedungnya juga tidak terlalu modern tapi juga tidak terlalu jadul seperti bangunan Belanda. Ia menduga dulunya mungkin gedung itu adalah peninggalan Belanda yang dirombak berkali-kali. Di bawah hujan pun, gedung sekolah itu tetap terlihat mempesona. Aiden tidak menyangka di kota ini ada sekolah seperti ini.

Bude Tiya menurunkan mereka di lobi supaya mereka tidak kehujanan. Tiba-tiba kaca mobil turun.

“Jaga adek sepupumu baek-baek di sekolah!” titah Bude Tiya dari dalam mobil.

“Iya, bunda,” sahut Devan sambil tersenyum bak malaikat.

Kemudian mobil itu pun melaju meninggalkan halaman sekolah, menuju sekolah Ara dan Zira.

“Aku enggak bisa mengantarmu ke ruang guru sendirian,” kata Devan sambil menghadap ke arah Aiden yang ternyata lebih tinggi darinya 5 senti. “Ruang guru ada di sebelah kanan gedung. Ada tulisannya kok.”

“Yeah, aku bisa kok urus urusanku sendiri.”

Devan mengangguk dan tersenyum simpul tapi ia tidak bergerak juga dari tempatnya berdiri. Aiden menatapnya dengan heran. Ia pun bergerak duluan masuk ke dalam gedung sekolah tapi Devan tiba-tiba menarik lengan jaketnya. “Bentar, bentar! Aku akan antar.”

Aiden mengernyitkan dahinya. “Enggak usah, kan tadi katanya enggak bisa?”

“Aku juga engga mau antar kamu ke ruang guru tapi kebetulan aku punya tugas yang harus ditaruh di meja guru,” gerutunya sambil berjalan mendahului Aiden.

“Enggak jelas jadi orang.”

“Apa tadi kamu bilang?”

Aiden menjulurkan lidahnya.

Devan mengangkat tangannya tapi tiba-tiba ada beberapa adik kelas perempuan lewat di depannya. Ia langsung mengubah ekspresinya menjadi semanis mungkin. Tapi ternyata pandangan mata mereka bukan ke arah Devan—melainkan ke arah Aiden yang berjalan di belakangnya sambil membereskan rambut curly-nya yang selalu berantakan.

“Sial. Harusnya tadi aku merapihkan rambutku sedikit,” keluhnya.

Devan memutar bola matanya. “Makanya bangun lebih pagi, dumbass.”

Mereka sampai di depan pintu masuk ruang guru sehingga Aiden tidak bisa membalas ucapan Devan barusan dengan kata-kata yang lebih tajam. Devan mengetuk pintu tiga kali lalu membukanya. Ia langsung menuju ke bagian administrasi.

“Permisi Bu, saya mau mengantarkan anak baru yang pindah dari Denpasar,” kata Devan pada penjaga meja administrasi.

Wanita paruh baya yang menjaga ruang administrasi itu pun langsung mengambil berkas yang berisi data milik Aiden. Surat pindah, raport dari sekolah sebelumnya, profil siswa, dan entah apa lagi. Aiden tidak bisa menebak. Ia menduga ia akan masuk ke kelas IPA seperti di sekolahnya yang lama tapi ternyata ia harus melakukan tes lagi untuk menentukan jurusan.

“Aiden Van Hendriks?” Wanita itu membaca namanya dengan heran, tapi segera ia tutupi keheranannya. “Setelah ini kamu mengerjakan soal penjurusan selama dua jam. Lalu akan ada wawancara dengan guru konseling selama setengah jam. Dilanjutkan dengan menghadap ke Kepala Sekolah. Baru setelah itu, kamu bisa masuk ke ke kelas. Bisa dipahami?”

Aiden mengangguk.

“Menghadap ke Pak Kepsek juga?” tanya Devan.

“Iya, Devan. Tiap anak baru harus melapor,” jelas Bu Irna—nama wanita penjaga bagian administrasi itu. Ternyata ia sudah hapal dengan wajah Devan.

“Oh begitu.”

“Devan, sudah jam 7.00. Tidak dengar bel sudah berbunyi? Ada upacara di aula karena hari ini hujan.”

Devan menpuk jidatnya. Ia sampai lupa kalau tadi mereka sampai sekolah mendekati waktu upacara bendera hari Senin. Ia pun bergegas meninggalkan ruang guru—langsung menuju aula.

Kini Aiden tinggal sendirian bersama Bu Irna. Pantas saja ruang guru sepi karena para guru tentunya sudah di aula untuk mengikuti upacara. Beberapa saat kemudian, Aiden diarahkan ke sebuah ruangan yang sunyi dan diberikan sebundel soal untuk dikerjakan.

Ia mulai mengerjakan soal-soal itu dalam diam. Tapi fokusnya tidak bertahan lama. Di tengah-tengah mengerjakan soal, ia mulai mencoret-coret soalnya dengan gambar acak. Ia merasa tidak tahan kalau harus diam lagi untuk satu jam lagi.

Awalnya ia mencoret-coret kertas soal di hadapannya. Lalu ia mulai memejamkan matanya dan detik berikutnya ia terlelap begitu saja di atas meja.

Ia terbangun karena mendengar samar-samar langkah kaki para guru memasuki ruangan mereka. Ruangannya memang berada persis di samping ruang guru. Ia menduga ruangan ini adalah ruangan konseling. Ia melirik jam tangannya. Pukul 8.50.

Aiden melihat lembar jawabannya yang sudah terisi penuh—meski ada beberapa yang jawabannya asal. Ia pura-pura sibuk menghitung jawaban soal matematika ketika dua guru konseling memasuki ruangan itu. Mereka membicarakan sesuatu dengan nada serius.

“Sudah 7 hari sejak satu murid hilang dari kelas 10 IPA 1.” Suara seorang guru pria.

“Anda sudah coba hubungi orang tuanya? Kenapa tidak masuk selama 7 hari berturut-turut.”

“Nomor ibunya tidak aktif. Nomor ayahnya tidak pernah menjawab. Saya bahkan mendatangi rumahnya tapi rumahnya ternyata sudah pindah.”

“Apa ada masalah di kelasnya?” Suara seorang guru wanita. Suaranya memelan ketika menyadari Aiden juga berada di ruangan itu.

“Saya tidak tahu harus bagaimana. Kalau begini berturut-turut selama 10 hari, bisa-bisa dia dikeluarkan dari sekolah.” Suara guru pria itu terdengar prihatin pada nasib murid yang sedang dibicarakan ini. “Padahal ia termasuk murid yang cemerlang… Nilainya selalu yang terbaik di kelas. Bukankah ini aneh? Anak yang cemerlang malah dikucilkan di kelasnya?”

“Kalau begitu apa ada catatan dari SMP-nya?” Guru wanita itu terdengar tak nyaman membicarakan hal ini. “Maksud saya, seperti… Leo dari kelas 10 IPA 4.”

“Ah, saya rasa tidak ada. Saya pikir hanya ada masalah kehidupan sedikit saja pada anak itu. Semoga saja dia tidak sampai menghilang selama 10 hari. Nomornya saya cek sudah aktif lagi.”

Guru wanita itu pun tidak melanjutkan pembicaraan. Ia mengecek jam dan ternyata sudah pukul 9 tepat. Ia pun beranjak menuju meja tempat Aiden sedang sibuk mencoret-coret lembar soal.

“Aiden, anak pindahan dari Denpasar? Benar kan?” sapa guru wanita itu seraya duduk di kursi yang ada di depan meja Aiden.

“Benar, Bu. Panggil saja Aiden. Saya lebih nyaman dipanggil Aiden,” jelas Aiden sambil tersenyum sopan.

“Baik, Aiden. Perkenalkan saya Bu Hani Winata, guru konseling di sekolah ini, bersama Pak Kuncara dan Bu Eliani yang sedang izin hari ini,” kata Bu Hani memperkenalkan diri. Ia kelihatannya termasuk guru muda di sekolah ini. Umurnya mungkin sekitar 30 tahunan. “Sudah selesai mengerjakan soalnya?”

Aiden mengangguk. Lembar jawabannya pun diambil dan diserahkan pada guru yang akan menilai jawaban Aiden. Setelah Bu Hani kembali dari ruang guru, mereka pun melanjutkan obrolan ringan mereka yang sebenarnya merupakan wawancara untuk mengenal kepribadian Aiden sekilas.

Aiden merasa wawancara selalu lebih berat daripada tes tertulis karena energinya terasa disedot habis setiap ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat personal. Ditambah ia harus berhadapan dengan Kepala Sekolah. Ditambah lagi, ia harus berkenalan diri di depan orang-orang sesampainya di kelas nanti. Belum apa-apa, ia sudah merasa sangat lelah dan sangat ingin menyetir mobilnya—pergi yang jauh, entah kemana.

--

Malam itu, Aiden ditelepon mamanya saat sedang diam-diam merokok di balkon yang menghadap ke halaman belakang rumah. Bude Tiya belum tahu kalau ia perokok—tapi tak lama lagi mungkin akan tahu. Devan juga belum tahu soal ini. Ia sengaja merokok di sini agar asapnya tidak sampai terhirup penghuni rumah. Ia masih punya hati untuk mereka.   

“Jadi, dapat kelas apa?”

“Kelas IPS,” jawab Aiden di tengah obrolan ringan bersama Mama.

“Bukannya kemarin di Denpasar, kamu masuk kelas IPA?”

“Setelah ditest ulang, aku lebih cocok masuk kelas IPS.” Aiden menjauhkan telepon agar mamanya tidak dengar dia menghisap rokoknya lagi. Mama belum tahu kalau dia merokok—ia mati-matian menyembunyikan fakta ini.

Oh ya sudah. Tidak ada masalah kan?”

Aiden menggeleng. “Enggak.” Belum.

“Setelah ini Mama harus ke Jakarta untuk mengurus satu urusan lagi. Kamu jaga diri baik-baik di sana.”

“Mhm, yeah. Mama juga. Take care.

Aiden menyenderkan punggungnya pada kursi malas itu untuk menatap bintang, tapi tiba-tiba seseorang menghalangi pandangannya. Ia langsung terduduk karena kaget tiba-tiba melihat wajah orang di atasnya persis. “What the fuck?!” gerutunya. Ia melihat siapa sosok itu dan ternyata hanya Devan.

“Sejak kapan kamu di sini hah?” tanya Devan dengan bass di tangannya. Ia berdiri tak jauh dari kursi yang diduduki Aiden sedang menyalakan lampu teras satu lagi agar lebih terang. Ia mau latihan bass di sini. “Ternyata kamu perokok juga ya?”

“Jangan bilang siapa-siapa,” kata Aiden tanpa berusaha menyembunyikan batang rokok di antara jarinya. Ia menyenderkan punggungnya lagi pada senderan kursi. Matanya terpejam dan ia mengembuskan asap dari mulutnya.

“Yeah, dan jangan pernah merokok di dalam rumah apalagi kamarku,” ujar Devan tanpa acuh sambil melatih jari-jarinya di atas senar bass. Ia tidak menyambungkan bass-nya ke amplifier karena ia tidak sedang berada di ruang kedap suara. Sebenarnya ia punya amplifier di kamarnya tapi pasti akan berisik.

“Mau coba?” tawar Aiden sambil menyodorkan bungkus rokok marlboro-nya. Sedari tadi ternyata ia memperhatikan Devan yang sibuk dengan bass-nya.

Devan menoleh ke arah Aiden. “No fucking way.

--

Hari-hari berlanjut tanpa kejadian aneh. Aiden mulai merasa nyaman di rumah itu meskipun ia masih masih belum bisa akrab dengan si kembar—adik-adiknya Devan. Pikirannya disibukkan oleh PR dan tugas sampai ia tidak sempat mengecek mobilnya. Mobil peninggalan Papanya. Entah kenapa hatinya masih berdenyut sakit tiap kali mengingat fakta itu.

Ia merasa hari-harinya berjalan normal tapi ada sesuatu yang membuatnya merasa bukan seperti dirinya lagi.

“Argh, aku benci matematika,” keluh seseorang yang duduk di sampingnya hari itu.

Aiden bukan tipe orang yang mudah berteman. Ia tidak mahir membuka pembicaraan atau mencari topik pembicaraan. Orang-orang sering mengatakan kalau ia terlalu kaku. Padahal kalau ia sudah benar-benar berteman dengan seseorang, ia bisa jadi orang yang sangat suka bercanda. Hanya beberapa temannya di Denpasar yang tahu soal ini.

Sudah dua kali Aiden dapat kursi di samping gadis ini. Anak kelas mereka sepakat untuk menentukan tempat duduk dengan undian setiap pagi dengan tujuan semuanya bisa dekat satu sama lain. Dan ini kedua kalinya mereka duduk di meja yang sama dalam kurun waktu 5 hari.

“Ini materi yang mudah kok,” kata Aiden dengan suara pelan.

Vanya—nama gadis itu—menoleh ke arah Aiden sambil menyipitkan matanya. “Mudah dari mana?" gerutunya lalu ia kembali melanjutkan mencatat di buku tulisnya.

Berdasarkan pengamatannya, Vanya selalu pergi di tengah-tengah pelajaran ini. Ia selalu bilang izin ke toilet tapi tidak kembali sampai setengah jam kemudian. Ia memang murid baru di sini jadi ia tidak bisa menyimpulkan apakah Vanya memang selalu begitu sebelumnya.

Dugaan Aiden benar lagi. Gadis berambut merah tembaga itu beranjak berdiri setelah 45 menit pelajaran berlangsung. Aiden menatap ke meja kosong di sampingnya. Buku tulis cewek itu terbuka dan memperlihatkan tulisan yang berantakan.

Saat guru mereka pergi meninggalkan mereka dengan seabrek tugas karena ada kepentingan, Aiden memanfaatkannya untuk menyelinap keluar kelas. Ia pura-pura pergi ke arah toilet meskipun sebenarnya bukan itu tujuannya.

“Mencari aku?”

Aiden terkesiap dan langsung berbalik. Vanya sudah berdiri di belakangnya entah sejak kapan.

“Jangan terlalu percaya diri.”

Vanya mengangkat bahu. “Aku cuma menebak—OH SHIT. Ada Pak Kepala Sekolah. Jangan kelihatan kalau kita keluyuran di tengah jam pelajaran.” Ia memberi isyarat pada Aiden untuk mengikutinya.

Aiden mengikuti Vanya berlari menuju sebuah ruangan yang ada di dekat mereka. Tanpa pikir panjang, Vanya membuka pintu ruangan itu dan menarik kemeja Aiden agar segera masuk ke dalam ruangan itu.

“Kepala Sekolah paling tidak suka lihat muridnya keluyuran,” kata Vanya sambil bersender pada pintu.

“Wow wow apa ini?”

Vanya langsung menoleh ke sumber suara lain. Ia langsung mengerutkan dahinya ketika melihatnya.

Ternyata bukan hanya mereka yang tidak berada di kelas saat ini, pikir Aiden sambil melihat ke sosok yang baru dilihatnya di dalam ruangan besar itu. Ruangan itu kelihatan sepeerti ruang rapat dengan meja melingkar dan kursi-kursi mengelilinginya. Tapi bedanya ada banyak barang di atas meja itu dan di rak buku yang menempel dinding.

“Calon Ketua School Council ngapain di sini?”

“Bukan urusanmu.”

Vanya tersenyum mengejek ketika melihat laptop dan buku yang terbuka di atas meja. “Belum ngerjain tugas? Emang calon ketua doang boleh pakai ruang sekretaris OSIS buat kabur ngerjain tugas?”

“Siapa yang belum ngerjain tugas? Aku ke sini juga udah dapat izin.” Cowok itu masih duduk di kursinya. Awalnya ia duduk menghadap meja, tapi kali ini ia mengubah posisi duduknya sehingga arahnya langsung menghadap ke Vanya. “Kamu kabur lagi kan? Mau kulaporin ke Ayah?”

Raut muka Vanya langsung berubah. Senyum mengejeknya hilang. Ia berjalan mendekat ke arah cowok itu dan terlihat seperti akan mencekiknya. “You better shut your tongue.” Vanya bisa melihat apa yang dikerjakan cowok itu dari dekat. Yeah, seperti biasa ia sedang mempersiapkan diri untuk ikut kompetisi mewakili sekolah—bukan, kali ini tingkatnya lebih tinggi lagi. “I can put my snakes on your bed tonight if you tell father about my behavior at school.”

Vanya berkata penuh penekanan dan kelihatan sungguh-sungguh. Cowok itu pun diam dan menelan apapun yang ingin ia lontarkan.

Aiden merasa seperti seharusnya ia tidak berada di situ. Ia merasa seperti melihat percakapan yang sangat personal, tapi apa hubungannya Vanya dengan cowok itu? Aiden memperhatikan mereka dari tempatnya berdiri. Warna rambut mereka memang mirip—merah tembaga. Tapi wajah mereka kalau dilihat sekilas tidak mirip sama sekali dan warna mata mereka berbeda.

“Ayo pergi dari sini,” kata Vanya seraya membuka pintu. Ia yakin Pak Kepala Sekolah pasti sudah menghilang lorong itu.

Aiden membungkam mulut dan menyimpan pertanyaannya.

--

“Jangan bilang-bilang soal tadi,” kata Vanya saat jam pelajaran olahraga sore itu. Ia dan Aiden bertugas mengambil bola basket dari ruang penyimpanan.

“Memang dia siapa?”

“Namanya Victor dan aku sebenarnya tidak mau mengakui ini.” Vanya menghela napas. “He is my twin.

Aiden mengangguk-angguk. Percakapan tadi mulai makes sense di ingatannya.

“Kumohon rahasiakan ini dari siapapun. Di sekolah ini, tidak boleh ada yang tahu kalau kami kembar.”

“Kenapa?”

Vanya terlihat sangat enggan menjawab pertanyaan itu. Ia pura-pura sibuk mendorong box beroda yang berisi bola-bola basket. Sekilas, raut wajahnya yang biasanya kelihatan galak dan mengintimidasi, kali ini terlihat khawatir. “Aku tidak mau dibanding-bandingkan terus dengannya,” jawabnya dengan suara kecil.

Vanya berhenti mendorong box beroda itu dan berdiri di hadapan Aiden. Saat itu, mereka hanya berdua di ruang penyimpanan. Mata hijau cemerlang milik Vanya menatap mata Aiden yang berwarna abu-abu pucat.

“Jadi, kumohon jaga rahasia ini.”

“Baiklah.”

Vanya tersenyum simpul dan terlihat lega. Ia lanjut mendorong box beroda itu ke tengah lapangan basket—diikuti Aiden di belakangnya. Aiden menatap Vanya dari belakang. Tak akan ada yang menyangka di balik keteguhan Vanya ternyata tersimpan kerapuhan.  

--

Malam itu, semua orang rumah pergi kecuali dirinya dan Devan. Bude dan Pakde—alias orang tuanya Devan—akan pergi selama seminggu ke Melbourne. Mereka punya urusan yang penting di kota besar itu. Devan awalnya mendesak ingin ikut bersama mereka tapi ia teringat ada hal penting yang harus ia lakukan. Band. Lagipula Ara dan Zira ikut mereka. Ia paham tiket ke luar negeri tidak semurah itu.

“Kamu beruntung pernah ke Eropa,” kata Devan suatu malam saat mereka duduk di ruang tengah. Selama seminggu, di rumah itu hanya ada mereka berdua.  

“Cuma sekali,” jawab Aiden. Ia jadi teringat Papanya yang mengajarkannya banyak hal tentang mesin mobil. “Kalo gitu aku boleh merokok di sini?”

Devan berhenti memetik bass-nya. “Sekali lagi kamu nanya gitu, aku pukul kepalamu pakek bass.”

Aiden tertawa. “Aku cuma bercanda.” Ia juga tahu kalau bekas rokok yang menempel di sofa pun bisa berakibat buruk. Lantas, Aiden meletakkan laptopnya di atas sofa dan beranjak berdiri.

Devan memperhatikan sepupunya yang keluar dari kamar dengan celana jeans, t-shirt hitam, dan jaket bombernya sambil memegang kunci mobil. Ia pikir sepupunya hanya akan mengambil bungkus rokok dan merokok di belakang. “Mau kemana?”

“Cari angin,” jawab Aiden.

“Sekarang udah jam 11.”

So what?” Aiden berdiri di ruang tengah.

Devan menghela napas. Meskipun ia hanya lebih tua lima bulan dari Aiden, tetap saja ia merasa bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu pada Aiden. Atau Aiden mencoba untuk kabur? Tapi sepertinya kemungkinan itu kecil. Kadang Devan tidak bisa menebak pikiran saudara sepupunya itu. “Yang penting jangan lupa pulang lagi ke sini.”

Aiden mengangguk sambil lalu. Memangnya aku mau pulang ke mana lagi?

--

Mobil SUV itu melaju di jalan kota yang mulai lengang. Aiden sudah lama tidak menyetir karena berbagai kesibukan yang menyita pikirannya. Bahkan saat di Denpasar, ia tidak sempat mengucapkan selamat tinggal yang lebih layak untuk kota dan teman-temannya yang ada di tempat itu. Ia yakin terakhir kali menyetir adalah saat ia… mengantar Papa ke Rumah Sakit.

Aiden menarik napas ketika rasa itu berdenyut di dadanya. Tanpa sadar ia mencengkram setir mobil lebih erat.

Ia belum hapal kota ini. Ia tidak tahu tempat yang enak untuk menyendiri di kota ini. Kota ini asing baginya. Yang ia tahu hanyalah Mama berasal dari kota ini. Sedangkan, Papa berasal dari kota yang jauh dari sini tapi sudah menganggap kota ini rumahnya juga. Aiden tidak yakin ia juga bisa menganggap kota ini rumahnya juga.

Entah sudah berapa jauh ia melajukan mobilnya. Daerah sekitarnya mulai asing. Mulai banyak pohon muncul di sekeliling jalan raya itu dan suasananya jauh lebih sunyi daripada jalan yang tadi ia lewati. Apa tadi aku salah belok? pikirnya. Ia memutuskan untuk putar balik. Ketika jalan dan pertokoan di pinggir jalan itu mulai familiar, ia berhenti di depan sebuah minimarket 24 jam dan turun dari mobilnya.

Ia membeli air mineral lalu meminumnya di kursi yang ada di depan minimarket itu. Kemudian, ia menyalakan rokoknya. Aiden bersender pada senderan kursi.

“Mobil itu punyamu?” tanya seseorang yang membuat Aiden menoleh. Sosok itu kelihatannya juga masih remaja tapi lebih tua darinya.

“Yeah,” jawab Aiden dengan lugas. Mobil itu resmi jadi miliknya sejak Papanya bilang kalau ia boleh memiliki mobil itu kalau sudah masuk SMA.

“Mau coba balapan?” kata orang asing itu.

Aiden mendengus tertawa. “SUV bukan buat balapan.”

“Mobilku juga jenis SUV. Ada lintasan sepi di sekitar sini.”

Aiden menghisap rokoknya—terlihat menimbang-nimbang. Ia tersadar kalau sosok asing itu tidak sendirian. Ia bersama teman-temannya juga yang kelihatannya memperhatikan Aiden dari tadi. Mobil-mobil mereka terparkir di sepanjang lahan parkir itu. Ia melihat mobil milik orang asing itu yang ia tidak ketahui namanya. Mobilnya terlihat mulus dan sudah dimodifikasi. Ia tersadar kalau ia akan memasuki area berbahaya kalau ia mengiyakan tawaran tersebut.

“Apa taruhannya?”

Sosok asing itu menyeringai. “Here’s the deal. Berhubung ini baru pertama kali kau muncul di sini, kalau kau menang, kau boleh ikut lagi dan mungkin bisa dapat taruhan yang lebih besar. Tapi kalau kau kalah, lebih baik jangan pernah menunjukkan muka di sini lagi.”

“Kalau aku menolak?” Aiden menatap sosok itu tanpa gentar. Ia menduga lawan bicaranya umurnya tidak jauh berbeda dengannya.

Reaksi orang itu terlihat santai tapi berbahaya. Aiden bisa melihat orang-orang tiba-tiba muncul di beberapa titik. Padahal Aiden yakin tadi hanya ada tiga orang yang sedang duduk di kuris-kursi depan minimarket. Aiden bisa merasakan aura berbahaya dari mereka.

“Ada yang harus dibayar,” jawab sosok itu sambil tersenyum. “Kelihatannya kau orang berada, jadi bukan masalah kan? Kalau aku sebut harga yang harus kau bayar supaya bisa pergi.”

Aiden merasa dirinya dikepung. Ia terlihat rileks meskipun kepalanya penuh dengan susunan rencana. Sayangnya ia tidak menemukan celah agar bisa kabur begitu saja. Sial. Harusnya aku engga berhenti di sini. Ia sebenarnya tidak suka terlibat masalah seperti ini. Ia menghisap rokoknya lagi.

“Bagaimana? Jadi balapan atau tidak?”

Aiden membuang puntung rokoknya lalu menatap sosok asing itu dengan sorot dingin. “Deal.

--

Keesokan paginya, Devan terbangun karena suara alarmnya. Pukul 5 pagi. Ia tersadar kalau semalam ia ketiduran saat menunggu Aiden pulang. Ia sudah memaksa matanya terbuka sampai jam 2 pagi dengan membaca buku sambil mendengarkan musik tapi payahnya ia tetap ketiduran. Bahkan buku yang ia baca semalam tergeletak di samping bantalnya. Cover-nya terlipat sedikit akibat tertindih badannya sewaktu tidur.

Lalu ia menoleh ke tempat tidur di sampingnya dan mendapati Aiden tertidur dengan posisi telungkup. Ia masih berpakaian lengkap seperti saat semalam pergi meninggalkan rumah. Bahkan ia tidak melepas jaketnya dan kelihatannya langsung tidur begitu saja.

Devan melihat ke jendela yang terbuka sedikit. Ternyata dia masuk lewat jendela, pikirnya sambil menggelengkan kepalanya. Ia ingat semalam ia sudah mengunci semua pintu depan dan belakang, tapi sepertinya ia lupa mengunci jendela kamarnya sendiri.

Hari ini masih weekdays. Devan segera membereskan tempat tidurnya dan bersiap-siap sekolah. Ia juga menyiapkan sarapan simple untuk mereka berdua. Dengan cekatan, ia membuat roti bakar untuk mereka berdua.

Sekitar pukul setengah tujuh, ia masuk lagi ke kamar dan mendapati Aiden tidak bergerak dari posisi tidurnya. “Aiden! Bangun!” seru Devan sambil mengguncang bahu sepupunya. “Bangun! Hey??” Aiden seperti tidak terpengaruh dengan suara keras Devan.

Jam berapa anak ini pulang tadi malam? pikir Devan sambil terus mengguncang bahu Aiden. “AIDEN! Sekarang masih hari sekolah, bodoh!!!”

Perlahan Aiden membuka matanya. Ia mengernyitkan dahinya dan mengusap wajahnya. Rambutnya yang berantakan terlihat kusut.

“Tadi malam pulang jam berapa?”

“Jam setengah empat,” jawab Aiden dengan suara parau.

Devan memejamkan matanya sekejap—berusaha menahan kesal. Baru sehari mereka ditinggal berdua di rumah, Aiden sudah berani berulah. “Ngapain?”

Aiden mendudukan dirinya di atas tempat tidur. Ingatannya flashback ke kejadian semalam. Ia dipaksa mengikuti balapan dan bodohnya ia menyetujui tawaran itu, bahkan sampai bertaruh. Uang taruhan itu tersimpan di kantong jeansnya. Ia memenangkan balapan pertama tapi orang tanpa nama itu tidak terima sampai mereka harus balapan berkali-kali dan membuat Aiden hampir kehilangan semua uang yang ia bawa tadi malam. “Aku nyasar.”

Devan menatap Aiden tidak percaya. “Kamu kan bisa liat google maps.”

“Aku engga bawa handphone.” Aiden membuktikannya dengan membuka laci di nakas samping tempat tidurnya dan mengambil handphone-nya dari situ.

“Ck.” Devan terpaksa percaya dengan alibi Aiden. “Kamu pergi sekolah kan hari ini?”

“Sekarang hari apa?”

“Kamis, bodoh!”

Aiden sebenarnya ingin bolos tapi ia ingat ada mata pelajaran yang memberinya tugas kelompok hanya berdua dengan Vanya. Well, setiap kelompok memang hanya terdiri dari dua orang karena jumlah murid di kelas mereka yang sedikit—26 orang. Ia sudah janji bakal membantunya hari ini di tugas kelompok berpasangan ini. “Ya, aku berangkat.” Setelah itu ia berencana akan tidur di ruang UKS.

--

Pagi ini, Aiden tidak mendapat tempat duduk di samping Vanya lagi. Ia duduk di samping anak perempuan lain. Tapi saat jam pelajaran sosiologi tiba, mereka pasti akan duduk dengan kelompok yang kemarin sudah ditentukan untuk tugas kelompok.

Aiden berulang kali hampir ketiduran. Untungnya pelajaran sosiologi tepat setelah mata pelajaran ini berakhir. Jadi ia bisa segera meninggalkan kelas dan menuju ruang UKS diam-diam.

“Begadang ngapain semalam?” tanya Vanya ketika mereka duduk bersebelahan sementara di kelas sosiologi. Ia heran dengan teman sebangkunya yang bolak-balik menguap saat mendengarkan penjelasan guru mereka. “Maybe you need a coffee with lots of caffeine.

“Bukan kopi, tapi tidur yang aku butuhkan saat ini,” jawab Aiden sambil memegang pulpennya dan mencatat tugas mereka di atas buku tulisnya. Interaksi sosial antarindividu. Selain mempelajari hal itu, mereka juga mempelajari tentang komunikasi. Itu sebabnya mereka ditugaskan berpasangan—untuk belajar berkomunikasi dua arah dengan baik.

“Apa yang kamu lakukan semalam?” tanya Vanya sambil menoleh ke arah Aiden yang duduk di samping kanannya. Seingatnya tidak ada PR berat yang harus mereka kerjakan. Vanya juga merasa Aiden bukan tipe orang yang suka belajar semalaman.

Not your business,” jawab Aiden.

Vanya memutar bola matanya. Yeah terserah.

By the way, kamu benar punya ular?” tanya Aiden di sela-sela penjelasan guru—teringat ucapan Vanya pada saudara kembarnya beberapa hari yang lalu atau kemarin?

Why should I answer you?” Vanya jadi enggan menjawab karena reaksi Aiden tadi, padahal ia dengan senang hati menceritakan hewan peliharaan melatanya, hewan reptilenya, dan hewna arthropoda favorinya. Tanpa mereka sadari, percakapan mereka sama sekali bukan contoh komunikasi yang baik.

--

You Might Also Like

0 comments