Lost [CHAPTER 1]
Desember 18, 2022Disclaimer:
Tulisan ini sebenernya baru berupa draft dan belum kubaca ulang karena belum selesai. Judulnya juga belum aku tentuin. But I still wanna put it here.
--------------------------------
Chapter 1
Segalanya mulai terasa aneh ketika keheningan muncul di
benaknya. Hening yang membuatnya tidak mendengar lagi suara apapun yang ada di
sekitarnya. Kedua matanya menatap papan tulis yang menampakkan materi hari itu.
Ia memahami setiap angka dan huruf yang tertulis di sana. Tangan kirinya
menopang dagunya. Sementara tangan kanannya sibuk memutar pena yang dari tadi
ia gunakan untuk menulis.
Ia tidak lagi mendengar suara guru yang sedang menjelaskan di depan kelas itu. Bukan. Bukan karena ia tuli. Rasanya seperti tenggelam dalam lamunan. Lamunan yang lebih dalam hingga membuatnya merasa terlepas dari tubuhnya. Hanya tangan kanannya yang terus bergerak memutar pena yang meyakinkannya kalau ia sedang duduk di dalam kelas fisika yang membuat semua orang mengantuk di jam menjelang makan siang.
Tiba-tiba guru itu melangkah menuju mejanya yang ada di depan kelas, mengambil beberapa buku, membicarakan satu-dua hal,
lantas pergi begitu saja. Ia tidak yakin mendengar apa yang dikatakan gurunya.
Dorongan keras di kursinya membuatnya tersadar dan
suara di sekitarnya muncul kembali. Tangannya berhenti memutar pena. Sontak, ia
menoleh ke belakang.
“Ngerti kan tugasnya?” tanya orang itu—yang duduk di
belakangnya persis.
Leo bahkan tidak mendengar menit-menit terakhir ucapan
gurunya di kelas. Tapi sekarang ia mendengar orang-orang lain mengeluh tentang
tugas yang baru saja diberikan. Banyak. Susah. Enggak jelas. Bukan
masalah. Sesusah apapun soal fisika yang ada di buku, sebenarnya ada kunci
jawabannya juga di internet. “Ngerti.”
“Gue nyontek. Boleh?” tanyanya lagi. Nadanya agak
hati-hati.
“Yeah, terserah.” Bukan masalah kalau orang ini mau
menyontek. Bukan pertama kalinya juga orang-orang menyalin tugasnya. (Ia tidak
masalah kalau tugasnya disalin, selama bukan jawaban ujian.)
Belum sempat ucapan mereka bersambung, orang yang
duduk di belakangnya itu sudah ditarik buat bergabung dengan yang lainnya untuk
makan siang bareng. Ia tahu namanya Jeffrey atau biasa dipanggil Jeff—salah
satu murid yang paling sering disebut di sekolah itu sejak masa ospek.
Leo menghadap ke depan lagi dan melihat tulisan di
papan tulis.
Kumpulkan tugas pukul 5 sore ini.
Ia tidak menganggap serius tulisan di depan itu. Tugas
sebanyak itu harus dikumpulkan hari yang sama juga? Ditambah setelah ini masih
ada 2 mata pelajaran lagi? Tidak mungkin. Dan sepertinya semua murid di
kelasnya juga berpikiran hal yang sama. Guru fisika di sekolah mereka memang
terkenal suka memberi tugas dengan tenggat waktu yang tidak masuk akal.
Biasanya saat mendekati tenggat waktu, mereka selalu berhasil menego deadline.
Ruang kelas mulai sepi. Beberapa ada yang tetap di
kelas saja karena membawa bekal. Well, termasuk Leo. Ia menatap bekal
yang teronggok di dalam tasnya lalu menghela napas. Ia tidak mengerti kenapa
kakaknya bersikeras buat menyiapkan bekal makan siang untuknya—mulai hari ini.
Hari-hari sebelumnya ia bisa kok membeli makanan sendiri di kantin.
Atau karena aku engga sengaja bilang engga punya temen
di sini makanya Ryan repot-repot bikin bekal? pikirnya sambil menimbang-nimbang harus diapakan kotak makan itu. Di
kelas itu tersisa dirinya dengan gerombolan anak cewek yang makan bekal bersama
di pojok kelas.
Entah kenapa ia merasa tidak nyaman kalau harus makan
di ruangan itu juga. Jadi ia mengambil tas bekalnya dan berjalan menuju…
perpustakaan. Ia tidak tahu apakah boleh makan di situ, tapi tidak ada salahnya
mencoba. Siapa tahu penjaganya juga pergi kalau jam istirahat.
Perpustakaan berada tidak jauh dari ruang kelasnya. 10
IPA 2. Gedung itu berada di bagian depan sekolah dan menjadi daya tarik sekolah
karena merupakan gedung yang fasilitasnya paling nyaman. Punya pendingin
ruangan. Ada tempat lesehan. Dan sangat tenang.
Dugaannya tepat. Tidak ada penjaga di jam istirahat.
Ia kurang yakin apakah memang seharusnya perpustakaan ditinggalkan begitu saja
tanpa penjaga di jam istirahat? Bukan urusannya. Yang penting ia bisa makan
tanpa diganggu orang lain.
Wangi buku langsung tercium semerbak ketika ia masuk
ke dalam perpustakaan. Ia melangkah menuju salah satu meja di balik rak-rak
buku yang jauh dari meja penjaga. Betapa herannya ia ketika melihat sudah ada
seseorang yang duduk di situ dengan kotak bekal yang terbuka di atas meja
dengan buku di depannya.
Leo berdiri mematung. Begitu pula orang itu yang
menghentikan sendoknya di udara.
Leo spontan menoleh ke sekelilingnya—mencari meja
lain.
“Kamu bisa duduk di sini,” ucap cewek itu—yang
kelihatan langsung menyesal setelah mengucapkannya. Ia belum tahu siapa cowok
di hadapannya. Kalau ternyata kakak kelas? Ia juga tidak mau dianggap sok
kenal sok dekat.
“Aku bisa cari kursi lain,” kata Leo buru-buru.
“Kata penjaga cuma kursi ini yang boleh jadi tempat
makan.”
Leo menatap orang di hadapannya dengan sangsi.
“Aku serius.”
Dengan enggan, Leo duduk di samping perempuan itu. Ia
berusaha bersikap biasa saja. Lalu ia teringat tadi pagi lupa mengecek
apa yang sudah Ryan masukkan ke dalam kotak sialan ini. Bagaimana kalau dia
buat aneh-aneh? Atau paling buruk gosong? Perlahan ia membuka kotak
bekalnya dan akhirnya ia bisa bernapas lega karena tidak ada hal yang tidak
wajar di dalamnya kecuali tulisan post it yang langsung ia cabut dan
remuk.
Dammit, Ryan. Emangnya aku anak kecil? Ia tadi melihat sekilas tulisan di post it tadi
dan tidak mau mengingatnya. Ia pun makan dengan tenang sambil mengamati
sekelilingnya. Sejujurnya, ini pertama kalinya dia masuk ke perpustakaan
sekolah. Dia bukan tipe orang yang suka baca buku. Walau begitu, ia suka
ruangan ini karena tenang dan sunyi. Mungkin lain kali ia bisa kabur ke sini.
“Siapa namamu?”
Suara perempuan yang duduk di sampingnya membuatnya
tersadar dari lamunannya.
“Leo.” Leo terdiam sejenak. “Kamu?”
“Seira.”
Mereka melanjutkan makan dalam diam. Tapi akhirnya
Seira memecahkan keheningan. “Kamu kelas . . .?”
“10 IPA 2, dan kamu?”
“Oh ternyata kita seangkatan. Aku kelas 10 IPA 1,”
jawab Seira dengan nada lebih riang.
Tak lama kemudian bekal di kotak makanan mereka habis.
Jam makan siang juga sebentar lagi berakhir. Ia membereskan kotak bekalnya. Ia
merasa aneh karena ada seseorang yang menemukan tempat persembunyiannya
saat jam istirahat. Pertama kalinya ada yang makan di sini selain dirinya.
Awalnya tempat ini memang tidak boleh jadi tempat makan tapi semenjak ia
berteman dengan penjaga perpustakaan, ia dapat privilege untuk makan di
sini.
Seharusnya cowok bernama Leo ini tidak berada di sini
untuk makan siang bersamanya kalau penjaga perpustakaan bertengger di kursinya.
Seira memperhatikan Leo sekilas dan ia merasa pernah
berpapasan dengan cowok ini sebelumnya. Yeah, mereka kan memang sejurusan dan ruang
kelas mereka berada di koridor yang sama.
“Tadinya kupikir engga akan ada orang di sini,” ujar
Leo tiba-tiba.
“Biasanya memang begitu.” Lalu ia menambahkan, “Ini
juga pertama kalinya ada orang selain aku yang makan di sini.”
“Harusnya dilarang kan?” Tadi ia melihat sekilas tanda
no foods here di dinding dekat rak buku. “Atau kamu pengecualian?”
Seira menoleh dan menatap Leo. Ia menyadari Leo punya
mata cokelat muda dan warna rambut yang senada. Di bawah cahaya matahari yang
menerangi ruangan, warna matanya terlihat makin terang. Lagi-lagi déjà vu. “Yup,”
tukasnya.
“Kenapa?”
Belum sempat
Seira menjawab, bel masuk berbunyi. “Long story,” jawabnya singkat
seraya berdiri.
Leo mendengus tertawa. “Bilang aja, kamu udah terlalu
sering kabur ke sini sampai akhirnya penjaga perpus menyerah melarang kamu
makan di sini.”
Mata Seira melebar karena tebakan Leo sangat menusuk.
Tebakannya benar hanya saja belum lengkap. “Ya sudah, kamu boleh makan di sini
lagi besok.”
Yeah, kalau Ryan belum menyerah membuatkanku bekal.
Mereka berjalan menyusuri rak-rak buku. Perpustakaan
sekolah memang lumayan luas dan buku-bukunya banyak. Aroma kertas terasa
memabukkan. Seira tiba-tiba tersentak di depan Leo. “Bersikap biasa aja kalau lewat meja itu,”
ucapnya serius.
Leo hampir bertanya kenapa tapi ia bisa melihat
penjaga perpustakaan sudah kembali ke singgasananya di depan pintu masuk
perpustakaan. Tidak ada salahnya mengikuti saran orang yang berjalan di
depannya ini karena lebih baik menghindari masalah dari penjaga perpustakaan.
--
Leo kembali ke kelasnya saat guru sastra Indonesia
sudah duduk di kursinya. Ia tenggelam lagi dalam pikirannya sementara guru di
depan kelas menjelaskan. Posisi bangku dan meja yang sendiri-sendiri membuatnya
tidak punya teman sebangku. Walau begitu, beberapa orang ada yang sengaja
mendekatkan meja mereka dengan teman mereka.
Diam-diam Leo mengecek ponselnya. Ia melihat pesan
masuk. Dari nomor yang belum ia simpan dan juga tidak ada display name-nya.
Unknown Number
Bisa tolong aku?
Pulang sekolah d depan
10 IPA 4
Leo
Siapa?
Unknown Number
Nathan
Leo tahu siapa itu. Teman sekelompok waktu ospek.
Hanya sebatas itu dan semenjak ospek tiga bulan yang lalu, mereka belum pernah
bertukar sapa lagi. Leo menatap ke papan tulis lagi. Ia menguap. Begitu mudah
terjaga semalaman buat main game tapi kenapa susah sekali terjaga di
siang hari buat mendengarkan pelajaran membosankan ini?
Beruntung mejanya berada di urutan dua dari belakang.
Ia bisa pura-pura membaca textbook padahal matanya terpejam. Tiba-tiba
seseorang mendorong kursinya lagi. Ia mengabaikannya. Tapi kali ini orang itu
menusuk punggungnya dengan pulpen.
Terpaksa ia menoleh.
“Tugasnya diundur besok pagi,” bisik Jeff.
“Terus?”
“Besok pagi aku nyontek.”
Bukan kejutan. Ia sudah menduganya. Leo pun hanya
mengangguk samar seraya kembali menghadap ke depan. Ia mencoba untuk membaca
halaman buku yang terbuka di depannya sambil memutar pulpen di tangan kanannya.
Detik berikutnya, namanya dipanggil untuk menjawab pertanyaan. Leo heran kenapa
hari ini ia merasa banyak yang memanggil namanya.
--
Hujan deras turun sore itu. Banyak murid yang tidak
langsung pulang karena menunggu hujan mereda. Aroma petrikor menghiasi suasana
sore itu. Leo suka aroma itu karena mengingatkannya pada masa kecilnya tapi ia
benci suara petir yang kadang mengikuti hujan.
Sesuai janji, Leo duduk di bangku panjang yang berada
di luar kelas 10 IPA 4. Ia memakai cardigan birunya seperti biasa.
Rambutnya terlihat berantakan. Ia mencoba menduga apa yang perlu ia bantu untuk
Nathan. Sulit menduganya karena mereka tidak pernah bertemu (kecuali waktu
ospek). Tugas? Guru 10 IPA 2 dan IPA 4 berbeda. Pinjam barang? Tidak
mungkin.
“Leo!” sapa Nathan. Ia tersenyum lebar. “Pa kabar?”
“To the point,” kata Leo dengan senyum simpul
di wajahnya.
Nathan menghela napas. Ia sudah duduk di sebelah Leo. Orang-orang
berlalulalang di depan mereka. Nathan menatap hujan di depannya sambil menyusun
kata. Ia membenarkan posisi kacamatanya lalu menoleh ke arah Leo, “Tolong join
klub melukis.”
Leo menatap Nathan dengan tatapan tidak percaya. “Hah?
Aku engga salah dengar?” Seumur hidup bahkan ia belum pernah memegang kuas
apalagi melukis. “Aku bahkan engga pernah kepikiran buat pegang kuas.”
“Join dulu, datang 2 kali, setelah itu kamu
boleh pergi.” Nathan terlihat hampir putus asa. “Jadi, aku dan empat orang
lainnya berniat buat nambahin satu ekskul lagi. Tapi syaratnya ternyata harus
ada enam anggota. Aku kekurangan satu dan tenggat waktunya hari ini buat
mengajukan syarat ekskul.”
“Emang engga ada yang lain? Pasti banyak kan yang mau join?”
“Engga ada waktu buat koar-koar lagi.”
“Kakak kelas pasti ada yang beneran suka—”
“Semuanya lebih milih ekskul menggambar daripada
melukis.”
“Apa bedanya—”
“Join aja oke? Cuma buat persyaratan
administrasi.”
Leo akhirnya menyerah. Ia belum pernah melihat Nathan
se-excited ini. Jadi lebih baik turuti saja, lagipula ia memang belum
mengikuti ekskul apapun. “Oke.”
“NICE!” Nathan langsung mengambil ponselnya dan
mengetikkan sesuatu di aplikasi chat. Ia terlihat sangat senang. Leo
belum terbiasa melihat Nathan seperti ini karena first impression Nathan
adalah orang yang serius. Waktu perkenalan dulu, Nathan juga sama sekali tidak
bilang hobinya melukis. “Makasih banyak, Leo!” serunya—beberapa saat kemudian.
Leo mengangguk kalem. “Aku pulang dulu kalo gitu.”
“Hujan-hujan begini?”
“Bawa mantel, kok.” Leo beranjak berdiri dan berjalan
menuju parkiran motor. Nathan ternyata sama sekali tidak dapat diduga. Siapa
yang menyangka kalau ternyata permintaan tolongnya cuma buat minta join ekskul?
--
Hujan belum mereda ketika Leo memarkirkan motornya di
garasi rumah. Seperti biasa, rumah selalu terasa sunyi senyap. Biasanya Ryan
pulang setelah pukul tujuh malam. Kadang ia menunggu Ryan untuk makan malam
bersama. Kadang ia membeli makan sendiri di luar. Yeah, ia sudah biasa dengan
keseharian ini.
Rumah itu selalu terlihat rapih karena kedua
penghuninya tidak menghabiskan banyak waktu di rumah. Leo pernah berharap punya
hewan peliharaan kucing tapi sayangnya ia punya alergi pada makhluk berbulu
itu. Ruang tengah di rumah itu menampilkan rak buku milik Ryan dan sofa panjang
yang dihiasi bantal. Hanya ada dua kamar tidur di rumah itu yang berada di sisi
sebelah kanan rumah. Lalu ada dapur dan ruang makan di sisi sebelah kiri rumah.
Di bagian belakangnya, terdapat halaman kecil dan berbatasan langsung dengan
ruang tengah.
Begitu memasuki rumah, Leo langsung menyalakan
laptopnya di ruang tengah. Game. Ia hanya ingin bermain game dari
tadi. Tapi sebelumnya ia mampir ke dapur untuk membuka kulkas dan mengambil minuman
kaleng milik Ryan dan jajan yang terbuka di kulkas. Ia membuka minuman kaleng
itu lalu kembali duduk di depan laptopnya. Di ruang tengah memang ada meja
kecil dan karpet—tempat ia biasa duduk lesehan bermain game hingga larut
malam dan ketiduran di sofa. Di ruangan itu, juga ada TV yang entah kapan
terakhir kali dinyalakan.
--
Suara petir menyambar membangunkan Leo dari tidurnya.
Lehernya terasa sangat pegal. Lalu ia tersadar kalau ia baru saja ketiduran
dengan posisi kepala terkulai di atas meja itu. Kakinya kesemutan karena duduk
bersila terlalu lama. Ia mengecek ponselnya dan mendapati 19 missed call dari
kakaknya.
Matanya langsung terbuka lebar. Ada apa??? Shit.
Kenapa aku menonaktifkan nada dering di hpku?!! keluhnya sambil mengecek
aplikasi chat dan membaca pesan teratas.
RYAN
Leo
Bisa jemput aku di RS XXXX sekarang?
Jantung Leo langsung berdebar keras. Ia menekan ikon
telepon untuk menghubungi Ryan. Berkali-kali. Tapi tidak diangkat. Ia melihat
jam. Pukul 20.15. Ia mendesah frustasi ketika Ryan tidak juga mengangkat
teleponnya. APA YANG TERJADI???
Tanpa pikir panjang Leo langsung menyambar jaketnya
yang tersampir di atas sofa. Pesan itu muncul sejak setengah jam yang lalu. Ia
susah payah menyingkirkan pikiran buruk di kepalanya.
Suara petir menyambar lagi.
Ia benci suara itu. Rasanya ia ingin menutup
telinganya rapat-rapat untuk mengenyahkan suara yang membuatnya mengingat hal
yang tidak pernah ingin ia ingat.
Ryan selalu mengejeknya seperti anak kecil hanya
karena takut petir. Tapi sekuat apapun Leo berusaha mencoba untuk menghilangkan
rasa takutnya pada suara petir, kenangan itu tetap muncul. Lagi dan lagi.
Menyerangnya dari dalam.
Leo menyalakan motornya. Hujan mulai mereda—menyisakan
gerimis kecil dan suara petir yang masih menyambar-nyambar. Tanpa memakai
mantel hujannya, ia langsung mengegas motornya menuju jalanan.
--
Sesampainya di Rumah Sakit yang tadi disebutkan oleh
Ryan, Leo langsung menuju resepsionis. Ia mengecek ponselnya dan mencoba
menelepon Ryan lagi. Tapi hasilnya nihil. Leo ingin mengumpat dan melempar
ponselnya ke muka Ryan sekarang juga karena membuatnya khawatir.
Pegawai resepsionis itu menunjukkan arah ke ruang IGD
setelah Leo menyebut nama kakaknya. Ia berusaha terlihat tenang meskipun
langkah kakinya berkata sebaliknya. Leo berhenti berjalan ketika mendengar dua
orang bercakap-cakap dari salah satu bilik yang tertutup tirai.
“Aduh. Kenapa kamu menghubungi Leo sampai 19 kali?”
kata suara yang begitu dikenal oleh Leo.
Terdengar helaan napas panjang. “Kamu habis jatuh
dari motor, Ryan,” sahut seorang perempuan. Nadanya terdengar diseret tapi jelas
ia juga khawatir karena cowok di hadapannya.
“Tapi kan engga parah. Aku masih bisa jalan habis ini.”
Ryan berhenti sejenak, sebelum melanjutkan dengan suara lebih pelan. “Anak itu
bakal panik, tau engga?”
“Dia tetap harus tahu karena dia satu-satunya keluargamu
di sini, oke?”
Leo menyibak tirai. Ia menghentikan percakapan itu dan
menatap Ryan yang berbaring di atas tempat tidur rumah sakit.
“Leo?? Ya ampun… sejak kapan kamu sampai?” kata Ryan
sambil mendudukan dirinya. Tapi ia langsung mengernyit sambil memegang
pinggangnya.
Ryan masih terlihat sama seperti yang tadi pagi ia
lihat. Hanya kaki kanannya yang diperban. Tapi sepertinya bukan luka dalam. Dan
juga tidak ada infus yang mengalir ke pergelangan tangan Ryan—seperti di
bayangan terburuknya. Leo akhirnya bisa bernapas lega. Namun, di lain sisi ia
sangat ingin mencakar muka Ryan.
Leo menutup tirai lalu berjalan menjauh menuju kursi
yang berada di luar IGD. Langit masih terlihat gelap dan hujan berhenti. Begitu
pula petir yang menyambar-nyambar sepanjang perjalanannya ke Rumah Sakit.
--
“Tadi itu adekmu? Kenapa dia diam aja?” kata Kina—teman kantor Ryan.
Ryan bisa membaca reaksi Leo barusan. Anak itu sebenarnya
lega melihat kakaknya ternyata selamat, hanya saja ia tidak bisa
mengekspresikannya. Ditambah 19 panggilan barusan yang Kina lakukan demi
menelepon Leo. Ia bisa membayangkan paniknya Leo ketika melihat notifikasi
ponselnya. Kina sialan. Seharusnya cukup satu kali chat saja dan
jelaskan kalau ia baik-baik saja di IGD, maka Leo tidak akan sepanik itu. “Aku
tadi udah bilang. Dia pasti habis panik, jadi engga bisa ngomong.” Ryan
menurunkan kakinya dan berusaha meraih sepatunya. “Harusnya kamu jangan telepon
dia sebanyak itu, Kina,” kata Ryan dengan nada yang tidak menuduh. Ia selalu
seperti itu. Selalu menghindari agar orang yang ia ajak bicara tidak merasa
bersalah atau tersinggung.
“Jangan turun dulu!”
“Aku harus bicara ke Leo,” kata Ryan bersikeras.
“Biar aku aja karena aku yang barusan bikin adekmu
panik, oke?”
Ryan terlihat berpikir. Apakah Kina bisa dipercaya
soal ini? Kina—anak magang di kantornya, mereka baru berkenalan 7 bulan ini,
usianya 5 tahun lebih mudah darinya.
“Sori, aku harusnya engga selancang itu pakai handphone-mu
buat menelepon adekmu berkali-kali,” kata Kina dengan suara pelan. “Aku juga
punya adek seumuran Leo.”
“Hmmm ya sudah. Tolong bilang ke Leo kalau dia engga
perlu khawatir, oke?”
Kina mengangguk, lantas meninggalkan bilik itu. Ryan
langsung merebahkan tubuhnya lagi di atas tempat tidur. Tiba-tiba ia merasa
sangat capek. Ia terlalu sering kewalahan menghadapi Leo. Leo dan segala perasaan
yang terpendam di dalam kepalanya yang tak pernah ia tahu.
--
Kina berjalan mengelilingi IGD—mencari sosok Leo.
Beberapa perawat menanyakan apa yang ia cari dan ternyata salah satu perawat
melihat remaja yang baru saja keluar dari bilik itu. Kina berjalan keluar IGD.
Ia menemukan Leo sedang duduk bersender pada dinding. Bagian luar itu menghadap
ke halaman depan Rumah Sakit.
“Leo kan?” Kina mencoba mendekati anak itu dengan
duduk di sampingnya.
Leo tidak merespon. Butuh beberapa detik bagi Kina
untuk menyadari kalau anak itu sebenarnya menangis. “Jangan khawatir, Ryan
engga kenapa-napa kok.” Ia duduk di samping Leo sambil memandang langit yang
kelam tanpa bintang.
Leo mengusap pipinya dengan buru-buru. “Berengsek.
Bikin khawatir setengah mati,” gumamnya dengan suara lirih tapi Kina masih bisa
mendengarnya.
“Maaf. Aku yang meneleponmu berkali-kali.”
“Bukan salahmu,” tukas Leo.
Kina memperhatikan sekilas Leo. Anak itu jauh lebih
tinggi darinya. Ia masih mengenakan seragam SMA-nya. SMA swasta elite di kota
ini. Ia merasa agak canggung berada bersama anak yang lebih muda di sampingnya.
Ia menatap jalan raya yang ramai oleh lampu-lampu kendaraan. Jalan raya
telrihat basah oleh bekas hujan. Mereka terdiam selama beberapa saat sebelum
akhirnya ia menjelaskan apa yang baru saja terjadi pada Ryan. “Kakakmu tadi
terpeleset jatuh di pinggir jalan. Untungnya motorku lewat jalan itu setelahnya
karena jalan itu cukup sepi. Ia jatuh terjerembab di atas rerumputan. Motornya
miring dan kakinya berdarah. Itu saja. Jadi jangan khawatir oke?”
Leo entah kenapa mengangguk. Ia bahkan tidak kenal
sosok di sampingnya, tapi entah kenapa perasaannya kini lebih tenang daripada
sebelumnya. Ia tahu Ryan tidak terluka parah. Hanya saja ia sempat membayangkan
yang sebaliknya dan itu membuatnya takut. Ia takut. Karena hanya Ryan yang ada.
Hanya Ryan yang akan pulang ke rumah selain dirinya.
“Jangan bilang padanya kalau aku menangis,” ucap Leo
tiba-tiba.
Kina menoleh ke sampingnya. Ia tadinya menahan senyum,
tapi melihat ekspresi serius dari Leo, ia menuruti permintaan anak itu.
--
Keesokan paginya, Leo bangun dengan kepala pening. Ia baru
bisa tidur setelah jam 1 malam karena mengerjakan PR fisika yang baru ingat
setelah ia sampai rumah semalam. Ditambah tadi malam ia kehujanan. Ia berbaring
sejenak menghapus suara petir tadi malam yang masih menggema di kepalanya. Ia
benci suara petir. Entah kenapa petir selalu membuatnya ingin bersembunyi di
tempat paling sunyi yang pernah ada—dimana suara tidak bisa merambat
sedikitpun.
Ia melirik ke jendela yang tersibak sedikit. Langit
kelihatan mendung. Di luar terdengar suara Ryan yang sedang menggoreng sesuatu
di dapur. Ia pun teringat kalau ia lupa makan malam. Semalam ia terlalu fokus
membantu Ryan. Ia bahkan masih teirngat perasaannya ketika ia mengendarai
motornya ke Rumah Sakit karena panik.
Leo beranjak bangun dan berjalan keluar kamar. Ia
terkejut ketika melihat kotak bekalnya sudah siap di atas meja makan. “Engga
perlu buat aku bekal,” kata Leo sambil mengerutkan dahinya. Ia masih belum
nyaman makan di ruang kelas.
“Kenapa emang? Hari ini aku dibolehkan work from
home, jadi aku punya banyak waktu buat masak.”
Kemarin juga tetap masak walaupun harus pergi kerja, gumam Leo dalam hati. Ia memperhatikan luka di kaki
kanan Ryan. “Kakimu bagaimana?” tanyanya.
“Engga sakit sama sekali,” jawab Ryan sambil menuang
masakannya ke piring.
“Jangan banyak berdiri dulu, nanti jahitannya lepas.”
Leo mengambil piring itu dan menaruh di atas meja makan. Ia dibilang oleh
perawat semalam kalau Ryan tetap dapat empat jahitan di kakinya. “Biar aku yang
cuci piring.”
Ryan mau tidak mau tersenyum melihat adiknya. Lantas
mendudukan dirinya di kursi makan karena masakan buatannya sudah siap. Ia
mengernyitkan dahinya karena rasa nyeri yang menusuk kaki kananya ketika
bergerak. Tubuhnya juga masih pegal karena jatuh tadi malam. Ceroboh. Tadi
malam ia benar-benar ceroboh karena bisa-bisanya jatuh terjerembab di pinggir
jalan. Tapi untungnya tidak ada luka parah.
Tak lama kemudian, Leo bergabung dengannya di meja
makan. Ia memperhatikan adiknya yang ia rasa semakin tinggi setiap harinya.
“Kalau ada apa-apa langsung telepon aku,” kata Leo sebelum
mereka mulai makan.
Ryan menahan senyum. “Leo, aku engga sakit dan bukan
terluka parah.”
“Tetap aja. Pokoknya harus telepon aku.”
Kali ini Ryan tersenyum melihat ekspresi serius
adiknya. Justru seharusnya aku yang berkata begitu sebagai kakak. “Iya,”
ucapnya pada akhirnya.
--
Pagi itu, suasana sekolah lebih ramai daripada
biasanya. Murid-murid berkerumun di salah satu koridor. Leo menatap kerumunan
itu sebelum masuk ke dalam ruang kelasnya untuk mendapati ruangan itu kosong.
Ia memang sering datang mepet waktu bel jam pelajaran pertama berbunyi.
Tapi baru kali ini ia ketinggalan banyak hal sampai melihat ruang kelasnya
sekosong ini.
Dengan enggan, ia berjalan keluar kelas setelah
meletakkan tas ranselnya. Kerumunan itu berada di ujung koridor. Ia sedang
berjalan mendekati kerumunan itu ketika tak sengaja menabrak seseorang yang
berjalan mundur karena terdorong seseorang di depannya. Ia hampir jatuh kalau
Leo tidak memegang bahunya.
“Argh! Jangan dorong-dorong dong!” gerutu cewek itu
pada orang-orang di hadapannya. Tapi ucapannya terbaikan. Ia belum menyadari
siapa yang menolongnya barusan.
Leo menatapnya. Ia merasa mengenal perempuan ini tapi
lupa namanya. Sweater UCLA kebesaran yang dikenakan cewek ini seperti
pernah ia lihat sebelumnya.
“Leo kan?”
“Kamu?”
“Aku Seira!”
Leo membuka mulutnya. Oh. Pantas saja familiar.
Mereka baru bertemu kemarin di perpustakaan. Hanya saja rambut Seira yang
sekarang membuat Leo tidak ingat wajahnya. Rambutnya dipotong habis hingga
se-telinga dan modelnya seperti anak cowok kebanyakan di sekolah itu.
Seandainya ia tidak memakai rok, ia bisa dikira cowok juga.
“Oh, aku ingat. Kamu cuma keliatan beda.”
Seira mengalihkan pandangannya dan tersenyum tipis.
Komentar dari Leo adalah komentar kedua yang ia dengar dari orang lain hari
ini. Pikirannya teralihkan ketika suara terdengar dari pusat kerumunan itu.
Seseorang membacakan sebuah orasi. Ternyata sebentar lagi akan ada pemilihan
ketua OSIS yang baru dan setiap calon ketua OSIS dibolehkan mengambil 15 menit
hari ini buat mempromosikan diri.
“Keliatan aneh banget ya?” gumam Seira di
tengah-tengah keramaian.
“Nope. Cakep kok.” Leo tersenyum.
Tanpa sadar Seira membuang mukanya lagi. Ia merasa
pipinya bersemu merah karena itu pujian pertama yang ia dengar pagi itu.
“Kenapa orasinya bukan pas upacara aja sih?” keluhnya.
Leo juga
berpikiran demikian. Sebenarnya ia tidak suka berada di kemaraian seperti ini. Terakhir
kali ia berada di sebuah keramaian yang berdesak-desakan seperti ini, ia berada
di tengah-tengahnya dan rasanya cukup memuakkan.
Ia menoleh ke sampingnya lalu tersadar kalau Seira
sudah menghilang dari pandangannya. Ia menoleh ke belakang. Sekelebat bayangan
cewek itu masih terlihat ketika berbelok ke koridor sekolah yang lain. Ia tidak
melihat saat Seira lari dari sampingnya. Ia terheran. Bertanya-tanya.
Lalu ia melihat ke lantai. Ada sobekan kertas yang
jatuh. Ia memungutnya lantas berjalan menjauhi kumpulan orang-orang yang sedang
mendengar orasi setiap calon Ketua OSIS. Kertas itu sudah remuk. Ia membukanya
dan terkejut ketika membacanya.
Fuck off. From this school.
Better stay out of sight.
Leo mengernyitkan dahinya. Jaman sekarang masih ada
yang menggunakan pesan macam ini? pikirnya. Ia menoleh ke arah belokan
tempat Seira menghilang. Lalu ia menoleh ke arah kerumunan orang itu.
Seharusnya ia tidak memungut kertas ini. Masalah Seira juga bukan urusannya,
ditambah mereka baru kenal sehari.
Kerumunan perlahan bubar.
Ia berharap Seira tidak benar-benar menghilang.
--
0 comments