Lost [CHAPTER 3]
Desember 18, 2022Chapter 3
“Sekolah yang sama dengannya?” gadis itu langsung kehilangan selera makannya ketika kedua orangtuanya menyampaikan berita itu padanya suatu pagi saat mereka sarapan bersama. Ia menatap serealnya dengan enggan. Kenangan tidak menyenangkan semenjak TK sampai SMP memenuhi pikirannya. Ia selalu dibandingkan dengan saudara kembarnya oleh siapapun yang ada di sekolah. Victor yang begini. Victor yang begitu. Victor yang bisa menang semua kompetisi.
“Iya, Mama rasa akan lebih baik
kalau kalian satu sekolah. Kalian bisa saling jaga dan mengajari,” kata wanita
yang duduk di depan gadis itu.
Mereka tak tahu realitanya. Atau
mereka tahu tapi menutup mata dan telinga? Atau mereka tahu dan sengaja
membuatku merasa seperti ini? batin gadis berambut merah tembaga itu—Vanya. Ia tersenyum manis. “Oke,
Ma. Aku mau satu sekolahan dengan dia.”
“Sayangnya kalian tidak bisa sekelas
karena Victor sudah kelas 11.”
“Ma, tiap anak punya jalannya
masing-masing,” kata Papa yang membuat hati Vanya terasa sedikit hangat.
Vanya melirik ke sampingnya—tempat
Victor duduk makan dengan tenang. Ia tahu Victor selalu menyimak pembicaraannya
dengan orang tuanya tapi ia tidak pernah sekalipun membelanya. Sejak kecil
Victor seolah hidup di dunia yang berbeda dari Vanya.
Kali ini Vanya bertekad tidak akan
mengulangi kenangan masa sekolah sebelumnya.
--
Jam istirahat. Meskipun sudah lima
bulan bersekolah di sekolah itu, Vanya belum menemukan teman dekat. Sudah
berkali-kali ia mencoba berbaur dengan teman-teman sekelasnya tapi ia justru
mengubah suasana menjadi canggung.
Seperti biasa ia menuju cafetaria
sekolah sendirian. Ia selalu menghindar jauh-jauh ketika tak sengaja
melihat Victor di koridor sekolah atau di cafetaria bersama gerombolan
teman-temannya. Ia selalu mengalihkan pandangan matanya dari
kembarannya—berusaha sebisa mungkin terlihat tidak mengenal anak laki-laki itu.
Vanya terheran ketika melihat ada
objek baru di kebun sekolah saat ia berjalan menuju cafetaria. Tanpa mempedulikan
yang lain, ia berjalan menuju kebun sekolah yang dipenuhi pepohonan rindang dan
tanaman anggrek. Ia melihat chameleon bertengger di salah satu dahan
pohon yang rendah dan tanpa pikir panjang, ia langsung mengambilnya.
Senyuman tersungging di bibirnya. Ia
mengelus kepala chameleon berwarna hijau itu seolah hewan itu adalah
anabul.
“Kamu berani pegang hewan itu?”
tanya seseorang dengan suara lirih.
Vanya sampai tak sadar ada orang
lain selain dirinya di tempat itu. “Eh kenapa engga?”
Cewek itu terlihat jauh lebih kecil
daripada Vanya yang tingginya 171 cm.
“Mau coba pegang chameleon?”
tanya Vanya sambil menyodorkan hewan reptil tersebut.
“Engga, engga,” jawab cewek itu
sambil memberi isyarat tidak dengan tangannya. Walau begitu, ia tetap memperhatikan
hewan reptil itu yang sekarang digendong oleh Vanya.
“Kukira kamu suka chameleon juga
karena dari tadi ada di sini?”
“Aku baru selesai kelas biologi.”
Vanya menoleh ke cewek itu.
Rambutnya pendek. Matanya berwarna senada dengan rambutnya—hitam. Di
belakangnya terdapat sketchbook yang terbuka. Tanpa sengaja Vanya
melihat isinya. “Kamu suka gambar?”
“Lumayan,” jawab cewek itu dengan
suara pelan.
Vanya memperhatikan objek yang
digambar cewek itu. “Ternyata kamu lagi gambar chameleon ini ya?”
Cewek itu bersemu merah. Ia langsung
mengambil sketchbook tersebut dan menutupnya. “Gambarku masih perlu
banyak improve.”
Vanya tersenyum pada cewek itu.
Senyumnya terlihat hangat. “Namamu siapa?”
“Seira.”
“Aku Vanya, dari kelas 10 IPS 1.”
“Ah aku dari kelas 10 IPA 4.”
Vanya menurunkan chameleon itu
ke sebuah bangku taman. Ia menepuk kepala hewan reptil itu sekali lagi sebelum
akhirnya mengajak Seira—teman pertamanya—makan siang bersama. “Mau ke cafetaria
bareng?”
Seira terlihat ragu-ragu sejenak.
Sebelumnya belum pernah ada yang mengajaknya ke cafetaria bersama.
Bahkan setelah ia menghilang selama 9 hari dari sekolah, tak seorang pun
menyambutnya kembali. Ia pun mengangguk.
--
Jam pelajaran berikutnya, Vanya melihat bangku
Aiden kosong. Ia berpikir cowok itu pasti kabur buat tidur siang. Pelajaran
berikutnya bimbingan dan konseling. Nama Aiden pasti dicatat kalau ia tidak
hadir di kelas ini. Biarlah, bukan urusanku juga, ucapnya dalam hati
ketika teringat percakapannya dengan Aiden sebelumnya.
Bagi Vanya, pelajaran ini
menjemukan. Ia merasa tak ada perlunya belajar tentang pengembangan diri,
psikologi remaja, dan sebagainya. Seandainya bisa, ia lebih memilih
menghabiskan waktunya membaca buku sejarah di ruang kedap suara daripada
menghadiri kelas ini.
Nama mereka diabsen satu persatu.
Ketika nama Aiden Van Hendriks tidak juga mendapat respons, Vanya mulai merasa
gelisah. Nama itu masih berada di absen paling bawah karena anak baru. Bu Hani
Winata terus-menerus memanggil nama lengkap Aiden, membuat 25 murid yang ada di
kelas itu saling menoleh—mencari sosok Aiden.
“Risa, kemana teman sebangkumu?”
tanya Bu Hani pada Risa yang hari ini dapat undian duduk di samping Aiden.
“Saya tidak tahu, Bu.”
“Jadi sekelas tidak ada yang tahu
kemana perginya Aiden?”
Kelas hening. Vanya menggigit
bibirnya.
“Ibu sangat concern karena
akhir-akhir ini—”
“Dia izin ke UKS, Bu,” sahut Vanya
tiba-tiba sambil mengangkat tangannya.
Bu Hani menatap Vanya yang duduk di
bangku paling depan sebelah kiri. “Sakit apa dia?”
Vanya terpaksa berbohong. “Dia
bilang sakit kepala, jadi dia izin ke UKS.”
“Baiklah,” kata Bu Hani. “Kalau
begitu, Ibu lanjutkan materi kita hari ini.”
Vanya menghela napas. Ia merasa
kesal karena entah kenapa ia merasa bersimpati pada Aiden. Ia merasa
aneh karena dirinya tiba-tiba membela Aiden supaya tidak dicap buruk oleh guru
BK. Di mana kau, Aiden???
--
“Sorry.”
Aiden muncul tiba-tiba setelah bel
pulang berbunyi. Murid-murid yang lain sudah pulang, kecuali beberapa yang
masih memiliki kegiatan ekskul sepulang sekolah, termasuk Vanya. Hari Kamis
adalah jadwalnya mengikuti ekskul bela diri. Ia baru akan keluar dari kelas
untuk mengganti seragamnya ketika tiba-tiba Aiden muncul di ambang pintu dan
hampir menabraknya.
Vanya menatap Aiden. Sudah 15
menit sejak bel pulang dan dia baru muncul sekarang, pikir Vanya dengan
wajah judesnya. “Minggir.”
“Ada yang mau kubilang,” kata Aiden
berdiri di depan Vanya persis sehingga Vanya tidak bisa jalan melewatinya.
Tubuhnya yang tinggi membuat Vanya mendongak untuk menatapnya. “Sorry.
Aku tadi bikin suasana kelompok kita jadi engga enak,” katanya. Ia teringat
percakapan mereka saat pelajaran sosiologi tadi. Ia bukan bermaksud kasar pada
Vanya hanya saja tadi pagi mood-nya sangat buruk akibat kurang tidur.
Vanya menghela napas. “Kamu tadi
dicariin guru BK.”
“Hah?”
“Lagian kamu kemana tadi pas
pelajaran BK?”
“Ruang UKS.”
Vanya menatap Aiden dengan heran.
Padahal tadi ia hanya mengarang saat mencari alasan perginya Aiden dari kelas. Ternyata
betulan? “Ngapain?”
“Tidur siang,” jawab Aiden dengan
ringan.
“Lain kali aku engga bakal mau
ngebela kamu lagi kalau kamu tiba-tiba menghilang di kelas,” kata Vanya sambil
memberi gestur agar Aiden menyingkir dari ambang pintu kelas. 15 menit lagi ia
harus ada di lapangan untuk ikut ekskul bela diri.
“Kenapa?”
“Bu Hani itu suka mencatat nama
anak-anak yang diduga bermasalah,” jelas Vanya dengan suara
pelan—meskipun suasana kelas sudah sepi, ia tetap tidak ingin percakapannya
didengar anak lain yang lewat. “Mendingan kamu hati-hati karena kamu anak
baru.”
Vanya pun melenggang pergi
meninggalkan Aiden yang berdiri di depan kelas yang sudah kosong. Murid-murid
yang lain sudah pulang dan beberapa ada yang sudah mengikuti ekskul. Aiden
terhenyak. Lalu, ia berjalan mengambil tas jansport-nya yang berwarna cokelat. Yah,
siapa juga yang mau berulah di sekolah ini? pikirnya.
--
Vanya paling benci acara
makan malam keluarga besar. Ia memakai pakaian casual malam ini. Blouse
berwarna cokelat muda dan celana highwaist yang berwarna khaki.
Rambutnya yang berwarna merah tembaga terurai sampai ke lengannya. Ia mencoba
memasang senyum ceria di depan kedua orang tuanya dan sanak keluarganya yang
lain.
Ia heran kenapa mereka mengambil
malam hari kerja untuk melakukan pertemuan. Ia bergerak gelisah di tempat
duduknya sementara Victor sudah membaur dengan paman dan tante. Berulang kali
pundaknya ditepuk oleh paman mereka.
Sementara yang lain sibuk mengobrol,
diam-diam Vanya mengecek handphone-nya. Jarinya mengetik sesuatu di
layar sentuh ponselnya. Ia mencoba mengetik nama kontak yang kiranya bisa ia
kirim chat. Yang terlintas di kepalanya hanya dau orang. Aiden atau
Seira.
Payah.
“Vanya, ayo jangan diam saja di
situ,” kata Mama kepadanya.
“Iya, Ma.”
Vanya pun beranjak berdiri untuk
mengambil main menu yang dihidangkan secara prasmanan.
“Ini kembarannya Victor ya?” sapa
seorang tante yang jarang bertemu dengan Vanya.
“Iya, Tante.”
“Pasti juga engga kalah jago dengan
kembarannya ya?”
Vanya mengulum senyum. Ia bisa
merasakan pandangan tante-tantenya yang lain yang tahu tentang fakta bahwa ia
selalu kurang dari kembarannya. “Begitulah,” jawabnya sambil mengambil
menu utama.
“Tahun depan mau lanjut kuliah di
mana, Vanya?” tanya tante itu lagi.
Vanya menggigit bibir. Ia bahkan
baru lima bulan bersekolah di SMA. Pikiran tentang universitas masih jauh dari
benaknya.
“Ssssh, Vanya masih kelas 1 SMA,”
kata tantenya yang lain, kali ini adik kandungnya Mama.
“Loh? Bukannya Victor udah kelas 2
SMA?”
“Kembarannya kan ikut kelas
akselerasi.”
“Mari, tante.” Vanya buru-buru
menjauh dari meja prasmanan. Ia tidak suka pembicaraan seperti itu. Bukannya
wajar umur 15 tahun masih kelas 1 SMA? Ia mendekati meja yang berisi
sepupu-sepupunya dari berbagai umur. Beberapa ada yang lebih tua darinya dan
ada juga yang masih anak-anak.
“Vanya, sini, sini,” sapa salah satu
sepupunya.
Vanya pun duduk di sampingnya. Di
meja persegi itu, ada tiga sepupunya yang umurnya tidak jauh berbeda darinya.
Ada yang sudah 19 tahun, 17 tahun, dan seumuran dengannya. Ia ingat semua nama
sepupunya karena mereka sering bertemu setiap liburan. Sedangkan
sepupu-sepupunya yang masih kecil duduk di meja lain bersama nanny mereka.
“Hampir aja kamu terjebak sama
tante-tante,” kata Adelia—sepupu Vanya yang berumur 17 tahun. Ia bersekolah di
sekolah internasional.
“Huft, aku aja selalu ditanyain
‘mana pacarmu’ ‘kapan lulus kuliah’, padahal aku kan baru semester 3,” keluh
sepupunya yang berumur 19 tahun—Sylvie. Ia mamakai kacamata dan terlihat kalem.
Berbeda dengan Adelia yang kelihatan mencolok dengan make up dan dress
yang ia pakai hari ini.
“Anyway, mana Victor?” tanya
Adelia.
“Di sana,” jawab Vanya sambil
menunjuk kembarannya yang masih mengobrol dengan om mereka.
“Apa benar dia kakak kelasmu di
sekolah?” tanya Adelia penasaran. Entah kenapa Vanya merasa anak ini terlalu
kepo dengan kehidupannya.
“Ya begitulah.”
“Pasti banyak yang suka padanya di
sekolah?”
Mana kutahu, jawab Vanya dalam hati. Siapa
yang mau menyukai cowok egois dan self-centered kayak dia? Diam-diam ia
memikirkan hewan-hewan peliharaannya di rumah dan merindukan mereka semua.
“Dia benar-benar selalu jadi pusat
perhatian tiap acara keluarga sejak kita masih kecil,” kata Sylvie sambil
mengamati Victor dari jauh. “Aku dengar dia jadi Ketua OSIS juga?”
Vanya menahan diri supaya tidak
memutar bola matanya. “Masih calon, kok.” Banyak sekali yang dia ceritakan
pada semua orang, pikirnya.
“Apa kalian di sekolah juga sering
diomongin karena kembar yang berbeda? Di sekolahku juga ada kembar laki-laki
dan perempuan dan mereka sering bahan pembicaraan.”
Vanya menggeleng. Justru ia
mati-matian agar tidak ada yang tahu soal ini. Suasana makan malam semakin
meriah karena seluruh anggota keluarga hadir. Vanya mencoba fokus menikmati
makan malamnya yang lezat. Tapi setelah makanannya habis, ia pura-pura izin ke
toilet. Padahal ia mencari jalan keluar untuk mencari udara segar.
Ia menemukan jalan keluar tempat
pertemuan dan menuju lobi. Lalu ia berdiri di depan restoran mewah tersebut.
Restoran tersebut memang sering menjadi tempat acara nikahan dan acara pertemuan
keluarga besar seperti ini. Ia sudah berkali-kali mengunjungi restoran ini
sejak masih kecil. Tapi dulu ia lebih bisa bertahan lama di ruangan besar itu.
Sekarang ia memilih untuk menyelinap keluar dan berdiri di pinggir trotoar.
Vanya mendesah pelan—memperhatikan
jalan raya yang ramai. Ia menemukan bangku di pinggir jalan dan duduk di situ.
Ia memperhatikan orang-orang yang hilir mudik di trotoar.
Lalu ia mengecek ponselnya. Ia
mencari nama seseorang.
Entah apa yang merasukinya, ia
mengetik pesan dan pesan itu terkirim tanpa sengaja.
Vanya
Hey
Vanya langsung menutuup ponselnya
dan menatap keramaian jalan itu dengan perasaan sepi. Ia ingin mencoba
berteman. Engga ada salahnya kan?
Aiden
Hei
Pesannya terbalas. Ia memikirkan apa
yang harus ia bicarakan selanjutnya.
Vanya
Aku bosan
Bodoh. Bodoh. Bodoh. Kenapa aku jadi
cerita padanya?? keluhnya
dalam hati sambil menutup ponselnya lagi. Buat apa ia mencurahkan isi
pikirannya pada Aiden? Cowok yang jelas-jelas membuatnya jengkel karena
membuatnya bersimpati. Mereka bahkan baru berkenalan akhir-akhir ini.
Aiden
Terus aku harus ngapain?
Vanya mendengus tertawa.
Vanya
Dengerin aja, bisa nggak?!
I am in a family event right now and
the event is so lame
Aiden
Di mana?
Vanya menutup ponselnya dan berdiri
bersanda pada tembok gedung. Ia yakin orang-orang di ruangan itu tidak akan ada
yang menyadari kalau ia menghilang. Mungkin sebaiknya ia pesan grab car dan
pulang ke rumah.
Tapi sebelumnya, ia ingin
jalan-jalan di sepanjang trotoar ini. Ia menikmati waktu sendirinya di tengah
orang-orang yang tidak tahu namanya. Suara deru mobil di jalan raya. Suara
pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan. Ia membeli gulali yang
dijual di pinggir jalan dan memakannya sendirian. Rasanya jauh lebih baik
daripada berada di dalam restoran mewah itu.
Setelah puas berkeliling, ia pun
memesan grab car untuk pulang. Ia mengecek pesan yang masuk.
Aiden
Lebih baik kamu kabur
Vanya
Memang itu yang selalu kulakukan selama ini
--
Vanya lupa kalau ia tidak memegang
kunci rumah.
Bodoh. Aku mikir apa sih? keluhnya dalam hati ketika sampai di
depan pintu rumahnya yang terkunci. Ia tidak kepikiran untuk membawa kunci
cadangan rumah yang dimiliki masing-masing anggota keluarga. Untungnya, pagar
tidak dikunci, jadi ia bisa duduk di lantai teras rumah seperti orang yang
terusir dari rumah.
Biasanya, acara keluarga akan
berlangsung sampai jam 10. Sekarang baru jam setengah sembilan. Ia memang bisa
menunggu satu jam, tapi pasti sangat membosankan. Ia juga tidak membawa novel
atau kindle yang bisa ia gunakan untuk mengusir jenuh.
Vanya menatap layar ponselnya. Entah
apa yang merasuki pikirannya, ia sudah mendial nomor itu.
“Ada apa meneleponku?” tanya
suara di seberang sana. Padahal Vanya tahu, ia belum mengenal laki-laki ini.
Mereka masih sebatas acquintance, belum sampai tahap friend.
“I just did something stupid.”
“Apa?”
“Aku pulang ke rumah tanpa membawa
kunci. Ugh benar-benar sial.”
Terdengar tawa renyah dari ujung
sana.
“Jangan tertawa!” kata Vanya dengan
pipi bersemu merah. Ia tidak biasa membicarakan hal remeh seperti dengan
seseorang. Ia tipe orang yang paling anti dengan basa-basi. Tapi malam ini, ia
ingin membicarakan hal yang remeh-temeh.
“Jadi kamu berhasil kabur dari
acara keluargamu?”
“Yah begitulah.”
“Dan kamu sekarang di depan pintu
rumah?”
“Shut up!”
Tawa renyah itu terdengar lagi. “Mau
kujemput?”
“Naik apa? Memangnya kamu punya
kendaraan?” Vanya merasa bodoh sekali lagi karena murid-murid di sekolah mereka
kebanyakan berasal dari kalangan berada yang mempunyai motor sendiri ataupun
mobil.
“Just share your location.”
Vanya pun mengirim alamat rumahnya
lewat chat.
“Rumahmu ternyata dekat dengan
rumahku.”
“Serius?”
“Ya, tunggu aku.”
Telepon dimatikan. Vanya pun
menunggu dengan resah. Ia merasa seperti bukan dirinya. Ia pun berusaha mengalihkan
pikirannya dengan mengingat-ingat Winnie—ular albino peliharaannya. Lalu ia
juga memiliki iguana yang ia beri nama Guava. Dan diam-diam ia memelihara
laba-laba di sebuah kotak kecil yang belum sempat ia beri nama.
Sejak kecil ia memang sangat
menyukai hewan. Ia menyukai hewan berbulu, reptile, serangga, burung, ikan, dan
hewan-hewan liar yang suka ia lihat di national geographic. Waktu masih
kecil, ia tidak pernah ketakutan saat melihat serangga di semak-semak ataupun
melihat ulat bulu yang hinggap di dedaunan. Sangat berbeda dengan Victor yang
biasanya langsung berteriak jijik atau lari menjauh.
Ia memang sangat berbeda dengan
suadara kembarnya. Mereka bagaikan dua mata angin yang berlawanan arah. Ia
mencoba mengingat kapan terakhir kali mereka memiliki pandangan yang searah… Nihil.
Ia lupa. Atau mungkin tertimbun dalam pikirannya yang terdalam.
Dulu ia pernah berharap Victor bisa
menjadi semacam kakak dalam hidupnya, bukan semaca rival. Tapi ia
sendiri tidak yakin apakah ia dianggap sebagai sibling rivalry oleh
Victor. Ia bahkan merasa lebih sering dianggap tidak ada.
Suara klakson mobil membuatnya
terkesiap. Ia pikir mobil sedan milik orangtuanya yang sudah tiba di depan
rumah. Tapi itu mobil SUV. Vanya berdiri dan mendekati mobil itu. Salah satu
jendelanya turun dan menunjukkan wajah Aiden yang tersenyum lebar. Seperti
biasa, rambut curly-nya berantakan. Ia memakai hoodie berwarna biru
gelap dan celana training.
“Ayo naik,” kata Aiden ketika
melihat Vanya yang bergeming di depan pagar rumahnya.
Mau tak mau Vanya tersenyum simpul.
Ia pun masuk ke dalam mobil.
“Jadi, mau kemana kita?”
“Anywhere but here. Tapi
jangan terlalu lama, aku cuma punya waktu sampai jam 10,” jawab Vanya ketus.
Aiden mendengus tertawa. “Sama
dong.”
Mobil pun menjauhi jalan perumahan
yang tenang. Aiden memutar playlist-nya. Lagu pertama yang terdengar
adalah It’s Not Living (If It’s Not With You) oleh band The 1975.
“Orang tuamu engga apa-apa kalau
kamu pergi malam-malam?” tanya Vanya setelah mereka terdiam cukup lama.
“Aku engga tinggal bersama mereka.”
“Oh, sorry,” kata Vanya
dengan canggung.
“Bukan masalah. Aku tinggal di rumah
keluarga besarku untuk sementara.”
Mereka terdiam selama beberapa saat
lagi. Rasanya aneh karena tadi di sekolah, mereka sempat berdebat tentang hal
yang remeh. Bahkan Vanya sempat merasa kesal pada Aiden yang meninggalkan kelas
begitu saja. (Padahal dia juga suka seperti itu)
“Kamu punya saudara kandung?” tanya
Vanya tiba-tiba.
“Enggak. Aku anak tunggal dari
lahir,” jawab Aiden. “Anyway, mau mampir ke café?”
“Sure.” Vanya juga tidak
punya ide kemana sebaiknya mereka pergi.
Mobil berhenti di depan sebuah café
yang sepi. Saat memasuki café itu, mereka langsung disambut dengan
kucing yang sangat menggemaskan. Vanya langsung mengelus anabul itu dengan
senyum sumringah. Dulu keluarganya pernah memelihara kucing. Tapi karena Victor
alergi hewan berbulu, kucing itu pun diberikan pada sepupunya.
Selain kucing, café itu juga
punya rak buku. Mereka pun duduk di kursi yang dekat dengan rak buku itu dan
memesan dua minuman. Vanya memesan latte dan Aiden memesan cokelat.
“Kamu engga suka kopi?” tanya Vanya.
Aiden menggeleng. “By the way,
kamu kenal dengan anak bernama Leo di sekolah?”
Vanya mengerutkan dahinya. Ia merasa
pernah mendengar nama itu dari obrolan anak-anak di kelas. “Nope.
Kenapa?”
“Bukan apa-apa. Aku hanya dengar dia
sering bermasalah dengan senior.”
“Kamu baru satu minggu di sekolah tapi
tahu banyak.”
“I am just a very good observer.”
“Sometimes you need to stay
unbothered,” kata Vanya sembari menyesap latte panasnya. Ia menatap
mata milik Aiden yang berwarna unik. Abu-abu. “Apa kamu selalu pakai softlens?”
Aiden sudah sering mendengar
pertanyaan itu selama hidupnya. Ia tertawa kecil. “Aku bahkan belum pernah
pakai softlens.”
“Dari mana kamu dapat warna abu-abu
itu?”
“Ayahku,” jawab Aiden dengan nada dingin.
Ia merasa belum siap menceritakan apapun soal keluarganya.
“Kenapa kamu pindah ke kota ini?”
Ekspresi riang di wajah Aiden
langsung hilang. Ia tidak siap membicarakan hal ini karena jawabannya selalu
membuat dadanya terasa sakit. Tanpa sadar ia menggigit bibirnya. “Bisa kita
bicarakan hal lain?”
Vanya pun menutup mulutnya. Ia
menyesap latte-nya lagi. Sementara, Aiden menyesap minuman cokelatnya.
Mereka duduk diam selama beberapa saat. Tanpa mereka sadari, hujan deras turun
di luar sana.
Vanya mengecek ponselnya. Tidak ada
satupun pesan dari Papa, Mama, ataupun Victor. Apa mereka sudah menyadari
kehilangannya? Atau mereka sudah terbiasa kehilangan dirinya?
Sejak kecil Vanya memang sudah sering menyelinap pergi tanpa bilang siapapun.
Tapi waktu itu, Papa masih mencarinya. Bahkan pernah suatu waktu Victor yang
menemukannya hilang di tengah keramaian. Hanya sekali itu.
Setelah itu, ia merasa seperti hidup
sendirian. “Menurutmu kalau aku menghilang, apakah seseorang akan mencariku?”
Aiden menoleh ke arah Vanya yang
duduk di sebelahnya. Rambut merah tembaganya diikat setengah. Beberapa helai
poninya jatuh ke sisi wajahnya. Matanya yang berwarna amber terlihat
redup. Sekilas, eskpresinya yang selalu keras, kali ini terlihat lembut.
Ekspresinya mengingatkkanya pada saat gadis itu memintanya untuk merahasiakan
fakta kalau ia punya kembaran di sekolah.
“Kenapa tanya begitu?” balas Aiden.
Ia tipe orang yang tidak memikirkan hal terlalu berat.
Vanya menggeleng kepalanya. “Lupakan
yang tadi.” Kenapa aku mengucapkan hal itu di depan orang yang beum
kukenal?! Memang jawaban apa yang aku harapkan? Ada yang mencariku? Ada yang
peduli pada eksistensiku?
“Pertanyaan itu juga pernah
terlintas di benakku akhir-akhir ini,” kata Aiden sambil menopang dagunya
dengan tangan kanannya. “Tapi aku tidak pernah yakin akan ada orang yang
mau mencariku saat aku menghilang.”
Vanya langsung menoleh pada Aiden.
Ia memperhatikan mata abu-abu milik Aiden. Selama di sekolah, Aiden tidak
pernah menunjukkan emosinya. Ia terkesan kaku. Tapi malam ini, ia melihat Aiden
tersenyum lebar, lalu diam, lalu merenung. Matanya yang berwarna abu-abu itu
ternyata sangat ekspresif.
“Mungkin kita bisa saling mencari
kalau tidak akan ada yang mau mencari kita saat kita menghilang,” ucap Aiden
dengan nada yang menenangkan. Kali ini ekspresi wajahnya berbeda dari yang
tadi. Ekspresi yang juga baru dilihat Vanya pertama kali.
“Ya.” Vanya berpikir sejenak lalu
tersenyum kecil. “Mungkin.”
--
0 comments