Lost [CHAPTER 4]

Januari 14, 2023

Chapter 4 

“Nath, aku engga bilang bakal sepanjang semester ikut ekskul ini,” kata Leo suatu sore di ruang seni yang berada di lantai paling atas gedung utama.

“Kamu bertingkah seolah ekskul ini udah berjalan sebulan lebih,” kata Nathan seraya membuka peralatan melukisnya. Ekskul ini baru dibuat seminggu lalu yang berarti ini kedua kalinya Leo datang ke ruangan ini untuk ikut ekskul—secara terpaksa.

Leo menghela napas. Ia juga tidak tahu apa yang harus ia lakukan di rumah. Sejak dua hari yang lalu, kakaknya sudah berangkat bekerja lagi setelah diizinkan work from home karena jatuh tergelincir dari motor. Jadi, kalau ia pulang sekarang, ia hanya akan sendirian di rumah dan ujung-ujungnya ia bermain game di laptopnya. 

Melihat gelagat Leo yang terlihat terpaksa berada di ruangan itu, Nathan punya ide. “Kamu bisa bersantai sesukamu sambil duduk di sana, kalau engga mau ikut ekskul ini, sampai aku bisa nemu penggantimu,” ucapnya sambil menunjuk kursi yang ada di pinggir jendela. Ia berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah Leo yang sedang mencoret asal di atas kertas kosong. “Mungkin kalau besok calon ketua OSIS yang menang itu Victor, ekskul ini bisa bertahan meski di bawah 5 orang… Tapi kalau ternyata bukan dia ketua OSIS-nya dan ekskul ini kurang dari 6 orang, yah sudahlah, ekskul ini bakal dibubarin ya sudahlah.”

Leo berhenti mencoret asal di atas kertas. Mata cokelatnya terlihat berkilat. “Aku bisa cari pengganti,” ucapnya.

Nathan menatapnya dengan sorot meragukan. “Oh ya? Emang ada teman sekelasmu yang kira-kira suka melukis?” Kalaupun ada, seharusnya Nathan sudah tahu lebih dulu.

“Belum tau. Tapi bakal aku cari penggantinya,” kata Leo seraya bangkit dari kursi yang ada di samping kursi Nathan dan berjalan ke kursi di pojok ruangan itu. Lantas ia bersender pada kursi itu dan bermain game di ponselnya.

Nathan hanya menggelengkan kepalanya. Ia melanjutkan melukis di atas kanvas yang sudah ia kerjakan dari minggu lalu. Lukisan itu belum selesai dan ia ingin menyelesaikannya hari ini. Sayang sekali, ia harus mempertahankan 6 anggota di ruangan ini supaya ekskul melukis tetap diakui sekolah. Di lain sisi, calon ketua OSIS yang satu itu mau memberikan kesempatan untuk ekskul ini meskipun anggotanya kurang dari 6 seperti yang disyaratkan.

Calon ketua OSIS yang satu itu memang terkenal sebagai murid ambisius tapi ia memang cukup bisa membaur dengan siapapun dan mau mendengarkan. Ia menggoreskan kuasnya sambil berpikir. Yeah, mungkin tidak ada salahnya kalau dia yang jadi ketua OSIS di sekolah ini.

--

Keesokan harinya, suasana sekolah terlihat lebih cair karena hari ini ada Pemilihan Ketua OSIS sekaligus penghitungan suara. Jadi, hari ini semua murid dan guru bisa tahu siapa yang akan jadi Ketua OSIS berikutnya.

Pelajaran tetap berlangsung seperti biasa karena setiap kelas melakukan pemilihan secara bergiliran. Kelas X IPA 2 dapat giliran di sesi keempat. Setelah semua murid di kelas itu memilih, mereka kembali lagi ke kelas.

Bagi Leo, hari ini tidak ada bedanya dengan hari lain. Ia tidak begitu terpengaruh dengan kejadian-kejadian yang ada di sekolah karena bukan urusannya.

“Leo, kamu dipanggil ke ruang guru,” kata seorang teman sekelasnya di akhir jam istirahat dengan canggung karena ia jarang berbicara dengan Leo.

“Siapa yang cari aku?” tanya Leo—yang baru saja kembali dari cafetaria sekolah. Walaupun ia masih membawa bekal buatan kakaknya, ia mulai terbiasa makan siang bersama Nathan di cafetaria.

“Guru Matematika,” jawab Emma—nama teman sekelasnya itu. Ia terlihat membenarkan posisi kacamatanya dengan canggung. Entah kenapa berbicara dengan Leo membuatnya merasa tidak tahu harus ngapain. Apa karena ia baru sadar kalau Leo punya sorot mata yang dingin meskipun warna matanya seperti cokelat madu.

“Kenapa?”

“Engga tau. Mending kamu ke sana aja dulu.”

“Tapi sebentar lagi kan masuk.” Jam istirahat memang tinggal 10 menit lagi.

“Kayaknya bukan masalah telat masuk kelas karena dipanggil guru,” jawab Emma seraya pergi meninggalkan meja Leo.

Leo termenung sejenak. Ia memikirkan kesalahan apa yang sudah ia perbuat selama ini. Tapi kalau ia sudah berulah, harusnya guru BK yang memanggilnya. Terakhir kali ada kuis matematika, ia juga bisa mengerjakannya dengan sempurna.

Setelah membuang waktu 5 menit, ia pun mulai berjalan ke ruang guru.

--

Suara gaduh terdengar saat ia berjalan menuju ruang guru. Ia melewati bagian gedung olahraga yang sedang sepi karena hari ini semua jam pelajaran olahraga dicancel. Guru olahraga mereka sakit, sedangkan guru penggantinya cuti.

Leo sengaja melewati jalur terjauh menuju ruang guru. Ia mencoba mengabaikan suara gaduh itu, tapi ia melihat seseorang melangkah mundur di lorong antara gedung olahraga dan gedung kiri sekolah. Begitu keluar dari lorong sempit itu, ia balik badan dan berlari menjauh.

Leo tidak tahu apa yang terjadi, tapi dilihat dari seragam orang itu yang acak-acakan, sepertinya sesuatu yang buruk baru terjadi.

Leo mencoba mendekati lorong itu.

“Tadi benar-benar tidak ada yang lihat kan?”

Nope.”

“Tidak ada siswa lain? Atau guru?”

“Kalau ada, nasibnya akan sama seperti yang sebelumnya.”

Orang-orang itu tiba-tiba keluar dari lorong sempit itu untuk menuju kelas dan mereka berpapasan dengan Leo. Leo bisa melihat sekilas setumpuk lembaran uang berwarna merah di tangan mereka yang mereka coba sembunyikan.

“Ternyata ada yang lihat,” kata orang itu sambil menyeringai.

Tubuh Leo langsung diseret ke dalam lorong sempit itu menuju ke bagian belakang gedung olahraga yang penuh dengan tumpukan meja kayu lama yang sudah rusak dimakan rayap. Tempat itu tersembunyi karena dikelilingi tembok luar sekolah yang tinggi.

Leo didorong dengan keras hingga menabrak tumpukan meja kayu itu. Lima orang, pikirnya. Uang itu sekarang ada di tangannya. Matanya melirik ke seseorang yang berdiri di samping kanan orang yang berdiri di hadapannya saat ini. Sepertinya ia berpura-pura jadi semacam leader di komplotan murahan ini.

“Apa yang tadi kau lihat?”

“Pemalakan maybe? Kenapa ada yang memalak di sekolah elite ini? Engga punya uang yah?” kata Leo sambil tersenyum mengejek.

“Kamu tau apa?”

“Anak macam kalian pantasnya didrop out.”

Satu tinjuan melayang di pipi Leo. Sakit, anjing, umpatnya. Lalu kerahnya dipegang oleh orang itu. Ia menyebutnya si Anjing Bulldog karena ia yang paling banyak menyerang secara verbal maupun fisik barusan.

“Kalau kamu berani ngomong ke siapapun soal barusan, jangan harap bisa hidup tenang selama sekolah di sini.”

“Emang kamu punya kuasa apa? Kita sama-sama murid.”

Satu tinjuan lagi melayang di mulutnya. Lalu Anjing Bulldog itu melepas tangan yang memegang kerahnya.

Leo memanfaatkan kesempatan itu untuk membalas tinjuan tadi. Ia melemparkan satu bogem mentah ke rahang orang itu. Lalu ia meninju lagi ke ulu hatinya. Ia menendang sampai si Anjing Bulldog mundur dan jatuh ke belakang.

Leo menindih orang itu. Tangan kanannya yang terkepal terangkat di udara. Tapi detik berikutnya orang-orang mulai menarik tubuhnya dan mendorongnya juga supaya si Anjing Bulldog bisa berdiri. Leo merasakan orang-orang mulai menghabisinya. Ia memukul satu orang, tapi berikutnya tangan lain mendorongnya. Ia berkelit dan menendang orang yang menghalanginya.

Tapi apa gunanya empat orang lawan satu orang. Leo menabrak tumpukan meja kayu itu. Tangannya tergores beberapa serpihan kayu. Ia mengernyit. Napasnya terengah. Matanya mencoba mencari tumpukan uang itu. Uang itu harus ia ambil dan ia kembalikan ke pemiliknya.

Ia menangkis seseorang dan menghantam wajah seseorang yang menyerangnya. Lalu ia menendang lebih keras orang lain yang mencoba menyerangnya. Seseorang yang lain mencoba menarik tubuhnya ke belakang tapi ia lebih dulu berbalik dan mendorong orang tersebut ke tumpukan meja kayu di belakangnya sampai roboh. Ia mendorong seorang lagi ke tembok di belakangnya dan tanpa ia sadari ia membenturkan kepala orang itu tembok.

BERHENTI, LEO!  Terdengar suara berteriak di kepalanya berulang kali. Tapi ia makin tidak berhenti. Dan kali ini ia kembali ke si Anjing Rottweiler. Ia menerjang dan menindihnya. Menekan kedua tangan orang itu dengan lututnya. Si Anjing Rottweiler tidak berhenti sampai di sana. Kakinya menendang-nendang. Ia berhasil memutarbalik keadaan dan membuat Leo yang sekarang tertindih dan jatuh di atas lantai.

Orang itu mencoba mencekiknya.

Berengsek.

Leo mencakar kedua tangan yang menahan lehernya. Lalu dengan sekuat tenaga ia menggigit tangan orang itu sampai ia bisa merasakan darah asin di mulutnya. Sedetik ia lengah, cukup untuk membuat Leo berdiri dan mendorong orang itu ke tembok.  Tangannya meninju wajah orang itu berulang kali. Orang itu mendorong Leo tapi Leo berkelit sehingga sekarang Leo menindih orang itu lagi dengan kedua lututnya menempel pada tangan orang itu.

“Aaaarghhh,” orang itu mengerang saat ia merasakan tangannya ditekan lebih keras. Leo menutup mulut orang itu.

“Payah. Melawan satu orang dengan lima orang. Memangnya adil?” kata Leo dengan bibir berdarah dan tangan meninju sekali lagi mulut orang itu. “Apa anak tadi juga kalian rundung seperti ini?”

Leo memukul sekali lagi. Pukulannya makin keras, meksipun telapak tangannya berdarah karena tadi berulang kali tergores kayu. Ia tidak merasakan sakitnya lagi.

“K-kau gila ya?”

Leo terlihat kehilangan dirinya.

“Aku tau siapa dia. Leonard.” Suara lain muncul. Mungkin kali ini si Anjing Rottweiler. Leo tidak peduli dengan nama asli mereka. Ia akan memilih menggunakan konotasi untuk mereka. “Dia punya banyak riwayat gelap.”

Si Anjing Bulldog menatap mata Leo yang terlihat dingin.

“Kamu belum jawab. Apa semua orang kalian serang seperti ini?” Leo memukul wajah orang itu lagi. Ia bisa melihat gigi orang itu memerah karena darah. Keempat orang lainnya ingin menahan Leo tapi mereka ngeri. Ditambah serangan Leo tadi cukup membuat ngilu. Leo tidak peduli. Ia marah karena orang itu tidak menjawab pertanyaannya. Ia memukul orang itu lagi. Lagi. Lagi. Lagi. Seperti ada hewan liar yang rantainya dilepas dalam dirinya. Ia tidak memikirkan apapun lagi kecuali menyerang.

Sampai akhirnya seorang guru turun tangan memegang kepalan tangan kanannya yang berdarah. Ia terengah. Napasnya terasa sesak. Keringat mengalir di pelipisnya. Ia tersadar. Ia panik. Ia melihat kerumunan orang-orang dari jauh—menatapnya dengan takut. Samar-samar ia bisa melihat Seira di tengah kerumunan itu. Ia melihat si Anjing Bulldog yang wajahnya terluka.

Leo masih merasakan amarah karena ia bisa melihat wajah orang itu mengejek meskipun giginya berdarah.

Tangan Leo sekarang dicengkram. Oleh guru BK.

--

Leo pulang ke rumah dengan sekujur tubuh terasa perih. Ia mendapat biru lebam di mana-mana. Seragamnya kotor terkena debu dan tanah. Rambut cokelatnya berantakan dan kusut. Bekas noda darah tampak di ujung bibirnya. Ia terlihat seperti orang yang baru dihajar—bukan orang yang baru menghajar empat orang sekaligus.

Begitu sampai di ruang tengah, ia langsung menjatuhkan dirinya di atas sofa. Sial. Bukankah tadinya aku cuma mau ke ruang guru? Kenapa jadi begini? Ia menghela napas panjang. Lalu teringat uang yang berhasil ia rebut saat berkelahi tadi. Ia merogoh sakunya dan melihat sejumlah uang berwarna merah. Ada sekitar sepuluh lembar. Ia yakin uang ini milik anak yang sebelumnya keluar dari lorong itu. Sayangnya ia tidak sempat melihat nametag di bajunya. Tapi ia ingat wajah dan ciri-cirinya.

Ia menyimpan uang itu di dalam tas ranselnya. Ia bertekad untuk mencari anak itu besok dan mengembalikan uangnya. Ke sekolah? Ia tidak yakin apakah besok ia diizinkan masuk sekolah. Setelah insiden tadi siang, ia langsung digiring ke ruang BK dan tidak diberi wejangan apapun, melainkan ia langsung disuruh masuk ke salah satu ruangan kedap suara. Ia gemetar membayangkan apa yang telah ia perbuat. Walau begitu, ia merasa dirinya tidak salah. Ia hanya berusaha melindungi dirinya sendiri.

Ruangan tenang itu seharusnya bisa menenangkan dirinya. Namun, ruangan itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap dirinya. Pikirannya begitu kalut hingga ia tidak menyadari kedua telapak tangannya berdarah. Setengah jam kemudian, ia dipanggil keluar dari ruangan itu untuk menghadap Pak Kuncara—guru BK. Ia diinterogasi serta menjawabnya dengan tenang.

“Kamu benar dipukul oleh mereka?”

“Ya.”

“Kamu sendirian?”

“Ya.”

Pak Kuncara menatap Leo dengan sorot tak percaya. Bagaimana bisa Leo melawan empat seniornya sampai babak belur sendirian dan terlihat begitu tenang setelahnya? “Leo, saya tahu kamu hanya bersikap defensif, tapi yang kamu lakukan berlebihan. Salah satu dari mereka hampir tidak bisa menggerakan tangannya lagi.”

Leo tidak ingin meminta maaf. Ia juga terluka. Malah, ia yang lebih dulu menyakitinya.

“Padahal guru matematika-mu baru saja mau memberimu kesempatan untuk ikut kompetensi. Kalau begini, kamu tidak jadi diikutkan,” kata Pak Kuncara sambil membenarkan posisi kacamatanya.

“Kenapa? Hanya karena saya mencoba melindungi diri saya sendiri?” Mereka bahkan melalukan pemerasan di sekolah ini! teriak Leo dalam pikirannya. Tapi ia tetap tenang. Napasnya teratur dengan susah payah.

“Leo, kamu baru saja mencelakai temanmu.”

Leo mendengus tetawa. “Pak, mereka bukan teman. Coba bapak selidiki mereka dan cari tahu apa yang mereka lakukan!”

“Ini bukan pertama kalinya kamu berkelahi di sekolah ini. Yang waktu itu tidak parah. Cobalah belajar kendalikan dirimu.”

Leo semakin ingin tertawa keras. Bahkan saat ini ia sedang susah payah mengendalikan pikirannya.

“Kamu harus minta maaf pada mereka.”

Tanpa sadar Leo mengepalkan tangannya.

“Besok kalian harus bertemu di sini. Kalian harus berterus terang minta maaf. Mereka minta maaf padamu dan kamu meminta maaf pada mereka.”

“Kalau saya menolak?” Suaranya dibuat setenang mungkin.

“Ini demi kebaikan kalian juga.” Pak Kuncara tiba-tiba terlihat terkejut. Ia melihat darah menetes dari telapak tangan Leo. Darah itu menetes ke lantai putih di bawahnya. “Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu juga berdarah, Leo?” Nada beliau terdengar marah tapi juga prihatin. Ia terheran melihat muridnya yang tidak berjengit karena luka di tangannya.

Detik berikutnya, guru kesehatan datang untuk merawat lukanya. Perih sekali saat serpihan kayu yang menusuk telapak tangannya diambil. Namun, ia tidak memasang ekspresi apapun. Ia membungkam mulitnya selama luka di tangannya dirawat. Hanya keringat yang mengalir di pelipisnya dan napasnya yang tertahan yang menandakan kalau ia menahan sakit.

Ia tidak diizinkan keluar dari ruangan itu sampai bel pulang sekolah berbunyi. Begitu bel berbunyi, ia mengambil tas di ruang kelasnya dengan cepat dan berjalan menuju parkiran. Ia tidak tahan merasakan tatapan orang-orang menusuk punggungnya.

Dan sekarang, di sinilah ia berada. Rumah mungil yang membuatnya merasa paling aman.

--

Ryan pulang pukul 6 sore. Ia buru-buru memasuki rumah setelah mendapat telepon dari guru BK sekolah. Ia terheran ketika mendengar suara shower mengucur dari kamar mandi. Awalnya ia mengetuk pintu kamar mandi dan memanggil nama adiknya. Tapi adiknya tidak juga menyahut sampai panggilan ketiga. Ia membuka pintunya lalu  tersadar kalau pintunya tidak terkunci dari tadi.

“Leo!” Ia terkejut ketika melihat Leo terduduk di lantai kamar mandi masih dengan seragam lengkapnya.

Anak laki-laki itu tidak bergerak. Matanya terpejam. Tapi jelas ia masih bernapas.

Ryan mematikan shower. Apa yang terjadi? Ia mengguncang pelan tubuh adiknya. “Hey? Leo? Jangan ngawur duduk di sini!” Ia tidak akan kuat menggendong tubuh adiknya keluar dari kamar mandi. Ia memang selalu memandang Leo seperti anak kecil tapi faktanya Leo lebih tinggi darinya. Ryan takut sesuatu terjadi pada Leo. “Leo, di sini bukan tempat bagus buat tidur,” katanya seolah sedang berbicara dengan anak kecil. 

Di bawah lampu kamar mandi, ia melihat lengan Leo penuh lebam dan luka gores. Ia melihat telapak tangan adiknya yang diperban. Perban itu menunjukkan sedikit warna merah. Ini sungguhan dia yang barusan menghajar empat orang sampai babak belur? Atau kebalikannya?

Leo memang punya reaksi yang keras terhadap segala kekerasan. Ia benci kekerasan. Tapi ia tidak segan menggunakan kekerasan untuk melindungi dirinya. Ia seperti landak berduri. Ia pernah begini sewaktu tidak sengaja mematahkan lengan seseorang waktu SMP. Ia seringkali tidak sadar saat menyakiti orang lain dengan kekerasan sehingga setelah itu ia kalut dan menyesal karena sudah hilang kendali. Leo tidak pernah suka dirinya yang seringkali kehilangan kendali saat sedang mempertahankan diri.

Perlahan Leo bergerak. Ia membuka matanya. “Ryan?” ucapnya lirih.

Rambut adiknya basah kuyup. Begitu pula seragam sekolahnya yang berwarna putih-abu. Tampaknya, ia sudah lama membiarkan air shower mengalir di atas tubuhnya. Mata cokelat Leo yang biasanya berkilat saat ini terlihat redup. “Memangnya aku harus minta maaf karena sudah melakukan hal yang benar?” tanyanya.

“Tentu enggak, Leo.” Ryan terheran mendengar pertanyaan Leo. Apakah itu yang mengganggu pikiran adiknya sampai ia membiarkan dirinya duduk di bawah shower dengan seragam lengkap? “Ayo, jangan di sini terus.”

“Sebentar,” Leo menarik napas. “Aku sudah hilang kendali lagi hari ini. Aku seharusnya minta maaf karena hilang kendali.” Nadanya terdengar panik. “Aku salah.”

“Sssh… Leo… Bukan salahmu.”

“Aku seharusnya enggak hilang kendali sampai seperti itu.”

“Ssssh… Leo… Tenang. Itu bukan salahmu.”

Perlahan tatapan mata Leo tidak lagi nanar. Ia kembali menatap lurus pada mata Ryan. “Tinggalkan aku sebentar.”

“Kamu mau apa? Mau duduk di sini dengan shower nyala lagi? Kalau itu maumu, enggak boleh. Jangan buang-buang air lagi!”

Leo perlahan beranjak berdiri. “Aku mau mandi!”

Ryan ternganga melihat perubahan emosi Leo. Sekali lagi. Leo memang anak yang sulit dihadapi.

--

Malamnya, Leo bergelung di atas sofa. Ia tertidur setelah beberapa luka di tangan dan wajahnya diobati oleh Ryan. Ryan sengaja malam itu membuka laptopnya di ruang tengah sampai adiknya tertidur di ruangan itu. AC yang menyala membuat ruangan itu sejuk dan nyaman. Tak butuh waktu lama, Leo terlelap. Ryan menghela napas panjang setelah napas adiknya terlihat teratur.

Namun, keesokan paginya, Leo terbangun dengan sekujur tubuh nyeri. Lampu utama dimatikan. Tapi ia bisa melihat secercah cahaya dari gordain yang menghadap halaman belakang rumah. Cowok itu terbangun karena mimpi buruk. Ia menatap langit-langit ruang tengah—masih terbayang dengan mimpi buruk barusan. Ia sudah berteman dengan mimpi buruk. Baginya, mimpi buruk bukan suatu hal yang perlu ditakuti.

“Kamu yakin mau sekolah?” tanya Ryan saat mereka sedang sarapan. Ia memandang Leo yang sudah memakai seragam lengkapnya.

Leo mengangguk.

“Jangan berulah lagi, oke?”

Leo menatap mata Ryan dengan tatapan emangnya-aku-berulah-karena-keinginanku? Walau begitu, ia tetap mengangguk. Ia berjanji akan lebih mengendalikan dirinya lagi. Ia tidak akan membiarkan dirinya lepas kendali lagi.

--

Sekolah

Tidak biasanya, susasana sekolah sangat ramai hari itu. Lapangan sekolah terlihat dipenuhi oleh murid-murid. Ternyata mereka sengaja dikumpulkan di lapangan pagi itu karena ada pengumuman hasil pemilihan ketua OSIS yang baru. Murid-murid di lapangan itu tampak ceria karena bisa terbebas dari ruang kelas selama paling tidak setengah jam.

Leo yang berangkat selalu mendekati bel masuk terheran ketika melihat kerumunan di tengah lapangan. Ia masih memakai tas ranselnya. Ia tak sendirian. Beberapa murid yang juga berangkat hampir terlambat berjalan menuju lapangan.

Meskipun Leo tidak peduli pada pandangan orang-orang tentang dirinya, ia bisa merasakan kalau dirinya ditatap oleh kerumunan murid itu. Entah kenapa, tatapan mereka membuatnya merasa seperti outcast—orang buangan. Ia bisa mendengar mereka berbisik-bisik, menatapnya dengan tatapan penasaran, membicarakan insidennya kemarin.

Suara microphone menarik perhatian murid-murid itu darinya. Leo menghela napas lega. Ia tidak tahan menjadi pusat perhatian.

“Leo!” panggil seseorang sambil berjalan ke arahnya. Ia juga masih menggendong tas ranselnya. “Apa yang terjadi kemarin?” tanyanya tanpa basa-basi.

Nothing,” jawab Leo dengan suara kecil karena suasana mulai hening saat pembicara di depan mereka mulai mengumumkan Ketua OSIS yang baru.

“Serius? Lalu ini apa?” Nathan membuka ponselnya dan menunjukkan video dirinya yang sedang berkelahi.

Leo langsung menyambar ponsel milik Nathan dan menghapus video itu. Matanya melebar saat menatap Nathan. “Who the fuck is recording this?” tanyanya dengan emosi tertahan. Ia susah payah mengendalikan emosinya. Video berdurasi singkat itu membuatnya seolah-olah jadi pencetus perkelahian. Padahal ia hanya membela dirinya. Ia hanya berusaha melindungi dirinya. Kemarin ia hanya kelewatan sedikit.

“Aku dapat dari grup kelas. Di grup angkatan tidak ada yang membicarakan sih.”

“Siapa yang share video itu?”

Nathan tidak menjawab. Ia terbawa euphoria murid-murid yang bisa terbebas dari jam pelajaran pertama di hari Kamis. Pengumuman sudah dibacakan dan sekarang si Ketua OSIS yang baru sedang berorasi tentang kemenangannya. Nama ketua OSIS yang baru itu adalah Victor Hardianta. Ternyata banyak yang senang cowok bernama Victor itu jadi ketua OSIS.

Tapi Leo tidak peduli.

“Nathan, jawab aku,” kata Leo sambil menarik bahu Nathan agar anak itu kembali menghadapnya.

Nathan merasa terusik. “Ohhh Leo, ayolah, rileks sedikit.”

Saat itu juga Leo ingin memukul Nathan. Bagaimana ia bisa rileks kalau reputasinya bisa hancur seketika gara-gara satu video berdurasi 10 detik? Ia tahu reputasinya sudah buruk sebelumnya. Tapi ia tidak mau reputasinya semakin hancur.

Leo berusaha tenang. “Boleh pinjam handphone-mu lagi, Nath? Cuma buat lihat siapa yang kirim video itu. Please.”

“Baiklah. Tapi jangan buka yang lain. Nathan membuka kunci ponselnya dan meminjamkan ponselnya. Leo nyengir tapi langsung meringis karena luka di ujung bibirnya belum sembuh.

Begitu ponsel milik Nathan di tangannya, Leo langsung membuka aplikasi chat dan membaca grup kelas 10 IPA 2—kelasnya Nathan. Ia mencari video itu dan melihat pengirimnya. Bima. Tapi sialnya video itu forwarded yang artinya bukan Bima yang merekam dirinya.

Ia membaca sekilas isi grup chat itu terkait reaksi video itu.

Gila.

Parah sih

Ada pembully di sekolah kita

@Nathan, jangan temenan sama dia lagi wkwkwk

Emangnya Nathan kenal itu orang? Wkwkwkw

Leo mengembalikan ponsel itu ke Nathan. Ia tidak berniat membaca keseluruhan isi group chat itu. Tapi ia tahu siapa yang akan ia datangi setelah ini. Bima.

--

Jam pelajaran dimulai lagi. Leo mengikuti pelajaran seperti biasa. Ia lumayan suka dengan pelajaran kimia dan dengan senang hati mengerjakan soal persamaan reaksi. At least, suara di kepalanya jauh lebih tenang saat tangannya sibuk menulis rumus kimia.

Tiba-tiba seseorang mendorong kursinya lagi dari belakang. Ia menoleh dengan kesal pada Jeff yang duduk di belakangnya. Tapi ia menutupi ekspresi kesalnya.

“Boleh lihat jawaban nomor 7?” tanyanya dengan memohon. “Sama jawaban nomor 6? Eh kalau boleh nomor 5 juga?”

“Bilang aja kalau mau nyontek semuanya,” kata Leo sambil menyerahkan buku tulisnya.

Diam-diam Jeff terkagum melihat buku tulis Leo yang sudah menjawab semua pertanyaan di buku paket. Tanpa mereka sadari, seseorang yang duduk di sebelah Jeff tertarik dengan apa yang sedang dipegang Jeff. Buku tulis Leo.

“Jeff, boleh liat juga engga?”

“Liat apa?”

“Jawabanmu,” jawabnya.

“Aku juga liat punya Leo. Bilangnya ke dia dong.”

Leo menatap perempuan yang duduk di sebelah Jeff dengan tatapan datar. Ia tidak masalah kalau ada yang menyontek jawabannya. Ia tidak merasa dirugikan kalau jawabannya disalin orang lain.

Nama cewek itu adalah Arumi. Ia terlihat enggan harus berbicara langsung dengan Leo. Ditambah, tatapan Leo seperti menusuknya. “Uhm Leo, boleh kan?”

“Ya.”

Leo pun kembali menghadap ke depan dan duduk bertopang dagu. Buku tulisnya dipinjam jadi tidak ada yang bisa ia lakukan. Guru kimia mereka juga sedang menulis sesuatu di papan tulis. Meskipun ada proyektor, Bu Virda—nama guru kimia mereka—lebih memilih untuk menulis materi di papan tulis dan menjelaskan langsung ke murid-muridnya.

Diam-diam Leo mengecek ponselnya. Ia mendapat pesan dari nomor tak dikenal.

+62813-7999-5649

Leonard, nanti siang setelah jam istirahat kedua, ke ruangan BK. Izin saja ke gurumu.

Kalau ada yang memanggil nama lengkapnya itu berarti ada masalah. Ia memutar bola matanya. Ia tidak mau minta maaf atas perbuatannya kemarin. Ia tidak melakukan hal yang salah. Ia hanya bersikap defensif. Pendiriannya tidak akan berubah.

Tiba-tiba Jeff menyodok punggungnya dengan buku tulis. Leo mengambil bukunya tanpa menoleh ke belakang karena Bu Virda sudah mulai menjelaskan materi lagi. Saat ia membuka bukunya, ia menemukan sticky note tertempel di halaman jawaban yang barusan dicontek Jeff. Tulisan di atas sticky note itu seperti cakar ayam.

gw denger lo berurusan sm komplotannya dito?

hati2. dia punya banyak backing-an di sklh ini.

Leo mengernyitkan dahinya saat membaca tulisan itu—antara sulit dibaca dan informasi yang ada di situ membuatnya heran. Ia tidak peduli jika orang yang kemarin ia hadapi punya banyak supporter atau apapun. Ia tetap akan tetap pada pendiriannya kalau ia tidak salah.

--

“Lo baca pesan gue kan?” tanya Jeff saat jam pelajaran olahraga. Hari ini mereka menggunakan lapangan outdoor. Cuaca sangat panas dan tidak ada angin yang bertiup.

Leo memilih berteduh di bawah pohon sementara menunggu murid yang lain mengambil bola sepak di ruang penyimpanan. Ia tidak suka jenis olahraga semacam ini. Tepatnya, dia tidak suka segala hal yang mengharuskannya kerjasama dengan orang lain atau mengandalkan orang lain.

“Ya,” jawab Leo sambil melipat kedua tangan di depan dadanya.

Jeff menatap Leo yang tidak bereaksi apa-apa. “Apa urusanmu dengan anak itu?” tanyanya sambil bersender ke pohon.

“Bukan apa-apa. Dia yang mulai duluan.”

Jeff mendengus. “Tapi kelihatannya engga seperti itu di video.”

Sekarang Leo menoleh sepenuhnya ke arah Jeff. That fucking video is really spreading out like virus, ucapnya dalam hati dengan geram.

“Lo engga kaget?”

Leo menggeleng. Ekspresinya masih setenang air sungai yang dalam. “Tau siapa yang merekam?” tanyanya dengan suara rendah.

“Kalau gue kasih tau, lo bakal ngapain? Lagian videonya sudah tersebar.”

Beri dia pelajaran supaya mengerti yang namanya privacy, jawab Leo dalam pikirannya. Ia membayangkan memukul seseorang yang sudah merekam insiden kemarin. Tapi buru-buru ia memadamkan emosinya. Tidak ada gunanya memukul orang itu. Jejak digital sangat sulit dihapus. “Hanya bicara baik-baik.”

Jeff mendengus tertawa. Ia tidak yakin Leo bisa diajak bicara ‘baik-baik’. “Gue kasih tau deh biar lo engga penasaran. Namanya Victor.”

Leo merasa pernah mendengar nama itu. Lalu ia teringat. “Ketua OSIS yang baru?”

“Yeah. Tadinya video itu cuma dishare di grup internal kami di OSIS. Tapi ada satu yang culas menyebar ke grup kelasnya. Payah sih emang.”

“Bima.”

Jeff menoleh ke arah Leo dengan terkejut. Seringai hilang di wajahnya. “Dari mana lo tahu?”

Leo tidak menjawab. Ternyata ada gunanya juga tadi pagi ia melihat isi grup kelas X IPA 4. Ia jadi teringat kalau Seira juga bagian dari kelas itu.

Bima engga akan suka kalau tau ini, pikir Jeff. “Yah pada akhirnya lo juga akan tau. Mau sampai kapan di sini?”

Leo menghela napas. Ia tidak ingin ke tengah lapangan di siang hari seperti ini. Tapi ia menemukan orang yang mau ia cari. Orang yang kemarin jadi korban perundungan komplotannya Dito. Hari ini kelas mereka ternyata bertepatan dengan jadwal kelas kelas X IPA 3 dan ternyata kedua guru olahraga yang mengajar di dua kelas itu memutuskan murid-murid dari dua kelas itu akan bertanding.

Leo sama sekali tidak berminat pada permainan macam ini dan untungnya dia hanya disuruh menjaga gawang. Tidak perlu berlari. Hanya perlu diam dan menunggu bola datang. Ia bisa mengawasi orang-orang dari sini, termasuk anak itu.

              --

Saat jam olahraga selesai dan murid-murid bubar dari lapangan, Leo berjalan mendekati anak itu. Ia masih belum tahu namanya. “Hey, namamu siapa?” tanya Leo.

Anak itu terkesiap dan berjalan lebih cepat.

“Eh tunggu!” seru Leo sambil mempercepat langkahnya.

“Jangan ganggu aku!”

Leo mengernyitkan dahinya. “Dengar dulu.” Karena tidak sabar lagi, ia menarik bahu cowok itu. Leo pun tersadar kalau ia jauh lebih tinggi dari cowok di hadapannya. “Kemarin kamu yang dihajar mereka?” Melihat luka lebam di wajahnya, pertanyaannya sudah terjawab.

“Urusan kemarin sudah selesai,” katanya dengan nada defensif—seolah-olah Leo mau menuduhnya.

“Aku mau mengembalikan uangmu. Sehabis ini di perpustakaan karena sekarang uangmu di dalam tasku. Namamu siapa sih?” tanya Leo agak memaksa.

“Edgar,” jawab cowok itu pada akhirnya. Ia terlihat lega ketika mendengar informasi itu tapi ekspresinya berubah menjadi takut. “T-thank you. Tapi bisa tolong jangan biarkan siapapun tau soal ini? Soal aku yang diperas oleh mereka?”

Leo mengangguk. “Kenapa kamu engga pernah lapor siapapun soal ini?”

“Buat apa? Enggak ada gunanya,” jawab Edgar dengan nada dingin.

--

Setelah mengganti baju olahraganya dengan seragam identitas sekolahnya, ia berjalan menuju perpustakaan. Begitu sampai di balik rak-rak buku yang hening, ia langsung menemukan Edgar sedang melihat-lihat judul buku yang ada di perpustakaan.

Leo memastikan kalau perpustakaan memang kosong. Bel istirahat belum berbunyi jadi aman. Ia berdiri di hadapan Edgar.

“Ini uangmu,” kata Leo tanpa basa-basi.

“Bagaimana kamu bisa ambil ini?” tanya Edgar setelah menerima uang itu.

“Bukan masalah,” jawab Leo.

“Mereka masalah. Aku tahu rasanya.”

Leo meringis. Luka lebam di tubuhnya memang tidak bisa bohong. Luka gores di telapak tangannya juga belum sepenuhnya kering. “Mereka sering berbuat ini? Pemerasan di sekolah kita?”

Edgar mengangguk. “Mereka tak akan menyerang selama kau memberi mereka uang.”

Leo terdiam. Ia tidak tahu kalau di sekolahnya pun pembullyan masih kerap terjadi. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan.

“Aku mau balik lagi ke kelas. Thank you.”

“Jangan sampai bertemu mereka lagi.”

Edgar setuju. Ia jelas tidak mau berurusan dengan mereka lagi.

Begitu Edgar hilang dari pandangannya. Leo mengambil tempat duduk di bawah AC yang sejuk. Ia membiarkan kepalanya terkulai di atas meja. Ia menyukai keheningan seperti ini. Ditambah semalam ia tidak bisa tidur nyenyak walaupun kelihatannya ia bisa tidur. Ia bolak-balik terbangun di tengah malam. Ia memejamkan matanya sebentar.

Lalu detik berikutnya, ia tidak ingat apapun lagi.

--

Seperti biasa, Seira masuk ke dalam perpustakaan untuk numpang makan siang di salah satu pojoknya. Ia sudah diizinkan oleh penjaga perpustakaan untuk makan di sini selama ia tidak makan sambil membaca buku (tapi itu pun sering ia langgar).

Tidak biasanya meja tempat biasanya ia duduk sudah ditempati oleh orang lain. Ia pun duduk di meja yang ada di samping meja itu. Ia mengamati rambut coklat cowok itu yang berantakan. Wajahnya tak terlihat karena ia kedua lengannya menutupinya. Tapi Seira tahu siapa cowok itu. Leo.

Sudah dua minggu mereka tidak bertemu. Terakhir kali mereka beertemu, Leo membawa bekal buatan abangnya. Namun kali ini tidak terlihat kotak bekal. Kelihatannya cowok itu datang ke sini hanya untuk numpang tidur karena yeah AC perpustakaan memang yang paling dingin.

“Leo?” Seira menyebut nama cowok itu dengan suara pelan. Tapi Leo tetap tidak bergerak. Ia teringat insiden kemarin. Ia melihat bagaimana Leo dengan brutal memukul laki-laki bernama Dito berkali-kali. Entah apa yang terjadi. Itu pertama kalinya ia melihat sisi Leo yang lain. Yang brutal, tanpa ampun, dan keras. Mungkin Leo tidak sekalem kelihatannya.

Tapi saat ini, cowok yang ia sebut tanpa ampun itu tertidur dengan tenang di bawah AC perpustakaan. Seira memperhatikan sekilas lengan Leo yang memar, lalu telapak tangannya yang diperban. Luka itu pasti perih.

Seira menghela napas panjang lalu ia membuka kotak bekalnya dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara dan makan dengan tenang sambil membaca buku miliknya.

Setelah makan, ia terheran melihat Leo yang tak kunjung bangun. Apa dia sakit? Itu pikiran Seira pertama kali. Ia pun menyentuh bahu Leo pelan-pelan. “Leo bentar lagi masuk kelas,” ucapnya pelan.

“Hah?” Leo menegakkan kepalanya dan membuka matanya. Iris matanya yang berwarna cokelat muda makin terlihat cokelat di bawah sinar matahari. Ia kelihatan panik. Lalu ia mengusap wajahnya. “Ugh mimpi buruk,” gumamnya.

“Kamu engga apa-apa?” tanya Seira.

Leo menoleh ke samping kanannya. Tanpa sadar, ia tersenyum. Senyum yang sudah lama tak terlihat di wajahnya. “Seira? Kupikir kamu pindah sekolah.”

Seira belum pernah melihat sisi Leo yang seperti ini. Ramah. Hangat. Seperti sinar matahari yang bersinar terik di luar sana. Iris matanya yang berwarna cokelat semakin terlihat di bawah cahaya matahari. Meskipun ada plester di pipinya dan ada bekas luka di ujung bibirnya, ia tetap terlihat manis.

Mungkin manis adalah kata yang underrated untuk Leo.

Seira buru-buru menggelengkan kepalanya—mengenyahkan pikirannya barusan tentang Leo. Ia langsung mengingatkan dirinya kalau Leo mungkin menyimpan bahaya dan banyak emosi terpendam yang bisa meledak suatu waktu. Leo bisa berkelahi hingga lawannya tak berkutik. Gambaran Leo di insiden kemarin memenuhi benak Seira hingga Seira tak mampu membalas senyuman Leo.

“Apa yang terjadi kemarin?” Seira menyesal telah mempertanyakan hal itu karena sekarang senyuman Leo hilang.

Leo teringat. Seira ada di tengah kerumunan itu. Tak ada gunanya berbohong dengan berkata it was nothing. “Insiden kecil,” jawab Leo.

“Aku melihatnya, Leo.”

“Ceritanya tidak penting. Aku diserang tiba-tiba oleh empat orang karena aku melihat perbuatan mereka memeras seseorang. Lalu apa aku harus hanya diam sementara mereka menyerang? Aku hanya mempertahankan diriku. Tapi aku—,” Leo terlihat ragu untuk mengatakan hal yang tepat. “—lepas kendali.”

Seira perlahan-lahan mulai memahami sesuatu. “Aku hampir berpikir yang tidak-tidak tentang teman pertamaku di sini.”

“Apa?”

“Bahaya. Kamu penuh bahaya,” kata Seira lugas. Belum sempat Leo membantah, ia melanjutkan. “Maksudku, aku melihat video itu di group chat kelasku dan aku melihat langsung saat kamu menonjok orang tanpa henti, Leo. Kamu jelas penuh bahaya tapi sayangnya kamu juga kelihatan baik, ramah, dan hangat seperti saat ini.”

Leo mengedipkan matanya berkali-kali. Tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Baru pertama kali ada yang berkata jujur soal dirinya—selain Ryan tentunya yang suka mengkritik kepribadiannya. “Eh iya kah?” Senyum tipis menghiasi bibirnya.

Seira bersemu merah. “Jangan GR!” katanya dengan jari telunjuk menunjuk Leo.

“Jadi kamu anggap aku teman?” Leo tersenyum lagi—menatap mata Seira yang berwarna hitam senada dengan warna rambutnya yang pendek.

“Ya.”

“Tapi kamu tiba-tiba menghilang.” Leo tidak bilang soal ia yang tiap jam istirahat ke perpustakaan selama dua minggu terakhir untuk mencari Seira.

Seira memejamkan matanya. “Sorry, aku belum bisa bilang soal itu.”

Leo membaca ekspresi Seira—mencoba memahami sesuatu—lantas ia mengangguk. “It’s okay.

“Kita belum punya nomor masing-masing,” kata Seira sambil membuka ponselnya.

Leo mengambil ponsel milik Seira dan menulis nomor handphone-nya di situ. Lalu ia mengklik dial. Ponsel miliknya pun bergetar. Ia mengambilnya dari saku celananya dan menyimpan nomor Seira. “Udah,” katanya sambil menunjukkan nama kontak Seira yang sudah tersimpan di layar sentuh ponselnya.

Seira menatap Leo. “Oke, aku juga udah simpan namamu.” Ia menunjukkan layar ponselnya.

Selama beberapa saat mereka saling tersenyum.

“Jangan hilang lagi,” kata Leo seraya beranjak berdiri dari kursinya.

“Mau kemana? Bel masuk kan masih 15 menit lagi.”

“Ada urusan,” jawab Leo sambil lalu dengan nada ringan.

--

You Might Also Like

0 comments