Lost [CHAPTER 5]
Februari 26, 2023Chapter 5
Suara pintu yang dibuka dengan keras
mengejutkan orang-orang yang sedang duduk melingkar di meja rapat tersebut.
Pencahayaan ruangan yang remang-remang membuat suasana tegang dan dingin. Sosok
yang baru masuk itu menutup pintu lagi dan langsung mengambil tempat di salah
satu kursi kosong. “Kalian harus hati-hati dengan anak bernama Leonard ini.
Lebih baik jangan punya urusan dengannya,” katanya memecahkan keheningan.
Salah satu yang duduk di deretan
kursi itu adalah Jeffrey. Telinganya langsung tegak begitu nama Leonard
disebut. Rasa penasaran memenuhi benaknya.
“Dan kalian harus hapus videonya
yang ada di HP ataupun grup kelas. Dan kau Victor juga harus menghapusnya dan
minta maaf langsung kepadanya,” kata Bima dengan nada gemetar. Di bawah sinar
lampu temaram, wajahnya terlihat pucat pasi.
Baru sehari menjabat sebagai ketua
OSIS, ia sudah menemukan masalah kecil. “Kenapa harus aku yang datang
kepadanya dan minta maaf?”
“Lakukan aja. Daripada kau yang
didatanginya.”
Hening.
“Kita di sini bukan mau membahas
anak kelas 10 yang namanya Leonard ini kan? Kita di sini rapat untuk menentukan
masing-masing posisi kita,” kata Victor dengan suara tenang. “Baiklah. Rapat
ini aku buka sekarang. Sebelum kita mulai, mari kita berdoa sesuai kepercayaan
dan agama masing-masing.”
Seluruh yang duduk di 15 kursi itu
serempak menundukan kepala dan berdoa. Setelah rapat dibuka dengan doa, Victor
dibantu wakil ketuanya langsung membahas susunan organisasi yang baru, nama
kabinet yang baru, dan program kerja utama yang akan mereka laksanakan selama
setahun ke depan.
Selama rapat berlangsung, Jeff
berulang kali melirik ke arah Bima yang duduk di sebelahnya. Ia sangat ingin
bertanya apa yang telah terjadi antara dirinya dan Leo. Leo, anak yang duduk
di depan kursi gue kalau di kelas. Top-scorer. Pendiam. Selalu engga
mempersalahkan gue yang suka menyalin jawaban PR-nya. Ia menganalisis
karakter Leo yang terlihat di permukaan. Yeah tapi dia pasti engga
se-pendiam kelihatannya.
Jeff mulai tertarik untuk mendekati
Leo. Apa yang ada di balik benaknya? Apa yang membuatnya seperti itu?
--
Café
“Baru pulang sekolah?” sapa seorang
cewek berambut warna gulali ketika seorang anak SMA masuk ke café-nya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Ia heran kenapa adik satu-satunya baru
pulang jam segini. “Kenapa? Kok lesu?” tanyanya lagi ketika memperhatikan
adiknya duduk melengos di salah satu kursi café.
Jeff menyenderkan punggungnya pada
sandaran kursi. Malam itu pengunjung café tinggal sedikit. “Aku
punya feeling kalau Ketua OSIS yang baru agak psycho,” jawabnya
menyesali pilihannya yang memlih Victor sebagai ketua OSIS. Victor memang
terlihat easy-going, bisa membaur dengan semua orang, punya kemampuan public-speaking
yang bagus. Tapi ternyata ia punya sifat bossy dan merasa dirinya
yang paling berkuasa.
Jennifer—nama kakaknya Jeff—tertawa
mendengar keluhan Jeff. “Jadi gimana? Mau berhenti dari OSIS?”
“Enggak lah,” kata Jeff ketus.
Jennifer melayani pelanggan terlebih
dahulu sebelum melanjutkan obrolan kecilnya dengan adiknya. “Mau kubuatkan
makan malam?”
“Ada menu apa?” tanya Jeff bercanda.
Ia sebenarnya sudah hapal menu yang ada di café milik kakaknya itu.
Selain itu, ia juga suka membantu kakaknya jadi pelayan café di waktu weekend
atau liburan. Ia seringkali jadi daya tarik café itu bagi anak-anak
SMA yang ada di wilayah itu meskipun sikapnya ketus dan cuek.
“Kamu maunya apa?”
“Nasi goreng deh kalau gitu.”
“Oke.” Jen menyampaikan pesanan
adiknya ke chef yang bekerja di dapur. “Jadi ada masalah apa lagi selain
Ketua OSIS psychopath?”
Jeff terlihat menimbang-nimbang.
“Ada teman yang ingin aku dekati. Tapi aku engga tau caranya.”
Jen bersiul. “Siapa nih? Cewek?”
“Bukan!” sanggah Jeff dengan nada
seolah-olah tersinggung. Kalau soal cewek sih dia tidak akan minta pendapat
dari kakak perempuannya. “Dia duduk di depanku. Aku sering nyontek ke dia
karena dia memang pintar. Otaknya encer. Dia pendiam, engga punya teman di
kelas, ataupun di luar kelas. Tapi dia bikin aku penasaran karena kemarin dia
baru aja menghajar anak pembully di sekolah. Kata senior, udah
bertahun-tahun engga ada yang pernah berani melawan anak pembully itu.
Tapi… anak yang duduk di depanku ini berani menghajarnya sampai engga berkutik.”
“Jadi kamu merasa tersaingi karena
ada yang lebih jago berantem darimu?” Jen menggoda adiknya karena Jeff waktu
kecil suka mengajak berkelahi anak tetangga atau anak kompleks sebelah. Tapi
semenjak SMP dan ikut ekskul taekwondo, Jeff lebih terkendali dan tidak pernah
berkelahi lagi.
“Kak, kalau kakak liat tampangnya
dia, dia sama sekali engga keliatan kalau dia bisa berantem. Tapi mukanya emang
agak nyebelin sih.”
Jen tertawa kecil mendengar cerita
adiknya. “Hmmm mungkin bisa ajak dia makan siang bareng.”
“Akhir-akhir ini dia selalu
menghilang di jam makan siang.”
“Yah kalau gitu, ajak dia ngobrol
saat pelajaran?” kata Jen memberi saran.
Jeff sudah sering mengajaknya
ngobrol tapi jawabannya selalu singkat, padat, dan jelas. Lagipula ia juga cuma
mengajaknya bicara kalau meminta contekan. Entah kenapa ia marasa agak
bersalah. “Besok akan kucoba.”
Pesanan Jeff sudah siap. Jeff
mengambil pesanannya sendiri dari dapur. Chef andalan café itu
menyapanya dengan riang ketika ia memasuki dapur. “Halo Mas! Kapan Mas Jeff
bisa kerja lagi? Udah lama engga ada keluhan pelayanan buruk di sini.
Hahahahaha.”
“Weekend ini aku bakal jadi
pelayan yang ‘baik’,” kata Jeff sambil menyuap satu slice tomat dari
piringnya.
“Hahaha. Ditunggu loh Mas.”
Begitu kembali ke ruang depan, ia
duduk di mejanya tadi lalu mulai memakan nasi gorengnya. Rapat tadi ternyata
benar-benar menguras energinya.
“Tuh lihat siapa yang datang,” kata
Jen tiba-tiba.
Jeff menoleh ke belakang—ke arah
pintu keluar—dan langsung mendapati Nathan berjalan memasuki café dengan
tas sekolah di punggungnya. Ia memakai kaus polos, cardigan, dan celana
pendek. Kelihatannya ia ke sini naik motor sport milik Ayahnya. Tidak
akan ada yang menyangka, tampangnya yang kelihatan biasa-biasa aja itu
sebenarnya berasal dari keluarga kaya raya.
“Jeff, I need help,” kata
Nathan begitu membuka pintu café. Suara kerincing terdengar ketika pintu
dibuka ataupun ditutup.
“Kan bisa lewat telepon, Nat.”
“Besok ada tugas kimia yang aku
belum paham sama sekali gara-gara aku engga dengerin. Please ajarin aku.
Kelasmu kan jadwal kimia-nya lebih duluan daripada kelasku,” kata Nathan sambil
duduk di depan Jeff dan segera mengambil buku kimianya dari dalam tas kanken-nya.
Lalu ia menyadari Jeff yang masih memakai seragam identitas sekolah dan hoodie
hitam andalannya. “Kamu baru pulang sekolah?”
“Setengah jam yang lalu,” jawab Jeff
sambil mengunyah.
“Rapat OSIS?”
Jeff hanya bisa mengangguk karena
mulutnya penuh.
Nathan membuka buku paket kimia-nya
dan menunjukkan soal yang jadi tugasnya untuk besok hari. “Kelasmu yang ini
udah kan?”
Soal yang ditunjuk oleh Nathan sudah
ia kerjakan dengan cara menyontek jawaban Leo. Ia sendiri juga belum paham
persamaan kimia. Yang penting ia sudah mengerjakan tugasnya kalau guru kimia
bertanya. “Udah. Kenapa kamu engga chat aja? Aku kan bisa kirim foto
jawabannya.”
“Aku kan mau dijelasin juga.”
“Aku juga belum paham.” Jeff membuka
tasnya lalu memberikan buku tulisnya pada Nathan. “Tapi udah kujawab semuanya.”
Nathan membuka buku tulis punya Jeff
dan mulai sakit mata karena membaca tulisan cakar ayam-nya Jeff. Tapi ia
tertegun ketika melihat jawaban lengkap di halaman buku tulis itu. “Dari mana
jawaban ini? Aku udah cari di internet engga nemu.”
“Dari Leo.”
Nathan terheran. Ia menatap mata
hitam Jeff dengan tak percaya. Ia juga mengenal cowok yang namanya Leo. “Leo
yang itu?”
“Yeah,” jawab Jeff sambil menyuap
nasi gorengnya lagi.
“Emangnya dia pinter?”
Jeff tersedak mendengar reaksi
Nathan yang begitu polosnya meremehkan kepintaran Leo. Buru-buru ia
mengambil gelas air di hadapannya. “Kamu pasti engga mengenalnya,” kata Jeff
setelah berhenti tersedak. Ia heran kenapa temannya ini suka sekali muncul saat
ia makan—bahkan sejak mereka masih kecil. Itu sebabnya Nathan lumayan sering
makan di rumahnya dari dulu.
“Aku kenal Leo. Dia ikut ekskul
melukis denganku.”
Jeff hampir tersedak lagi. Ia
terbatuk-batuk. Antara ingin tertawa atau mempertanyakan pendengarannya. Apa
dia barusan salah dengar? Leo yang duduk di depannya di kelas? Kenal Nathan
yang selalu menghindari masalah? Dan ikut ekskul melukis?
Damn. Anak yang bernama Leo itu penuh kejutan juga
ternyata.
“Makanlah dulu, aku mau menyalin
tulisanmu yang acak-acakan ini dulu,” kata Nathan sambil membuka kotak
pensilnya dan mulai menyalin dalam diam.
Setelah Jeff menghabiskan makan
malamnya dan meminum segelas air, ia kembali pada topik yang tadi dibahas
dengan Nathan. Banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya saat ini. “Kamu kenal
dia dari mana?”
“Kami sekelompok waktu ospek,” jawab
Nathan.
“Apa maksudmu dia ikut ekskul
melukis? Dia kelihatan bodo amat soal kegiatan ekskul atau apapun.”
“Itu benar sih. Dia kupaksa ikut
ekskul melukis supaya ekskulnya bisa berdiri. Syaratnya anggotanya harus ada
enam dan waktu itu aku kekurangan satu orang.”
“Terus kamu ajak si Leo ini?”
“Iya. Tapi sebenarnya di ruang
ekskul pun dia cuma numpang main game,” jelas Nathan.
Jeff mendengus tertawa. Ia pasti
sudah salah dengar. Ia baru tahu sisi lain Leo yang ini. “Dia anak yang aneh.”
“Aku juga engga nyangka dia pintar.
Soalnya dia kelihatannya cuma suka main game.”
“Kamu juga tahu kejadian kemarin kan?”
Nathan membenarkan posisi
kacamatanya. Ia menatap Jeff lantas mengangguk. “Ya. Dia mengerikan. Semua yang
ada di kelasku membicarakannya.”
Termasuk di rapat OSIS tadi, kata Jeff dalam hatinya. Ia teringat
reaksi Bima yang pucat pasi ketika memasuki ruang kesekretariatan OSIS. Apa
yang Leo sudah perbuat padanya sampai reaksinya seperti itu? Dan cowok itu juga
berani menyuruh ketua OSIS psychopath ini untuk minta maaf. “Jadi kamu
engga mau berteman lagi dengannya?”
“Hah? Kenapa gitu? Aku justu mau
mengajaknya camping hari Sabtu ini,” kata Nathan. Ia memang sudah
berencana untuk camping ke daerah hutan yang dekat untuk melukis. Sudah
lama ia ingin mencoba melukis langsung di tengah alam. “Kamu mau ikut?”
Tanpa pikir panjang, Jeff menjawab, “Yeah.”
“Oke. Hari Sabtu sore ya. Ada air
terjun juga dekat camping site,” kata Nathan.
Ia nyengir ke arah kakaknya yang
masih duduk di depan meja kasir. Meskipun terlihat tidak peduli, sebenarnya
perempuan berusia 25 tahun itu menyimak pembicaraan adiknya dari tadi. Jen
menatap ke arah Jeff dengan sorot sudah-kuduga-kan. Untuk ke sekian kalinya,
weekend ini Jeff masih belum bisa jadi pelayan ‘baik’ di café ini.
--
Sekolah
Seperti biasa Jeff duduk di bangku
paling belakang. Ia menunggu Leo datang karena Leo selalu datang lima menit
sebelum bel masuk berbunyi. Ia sebenarnya tergoda untuk duduk di bangku kosong
yang ada di samping kanan Leo. Jumlah murid di kelas X IPA 2 ganjil. Itu
sebabnya Leo duduk sendirian dan tak punya teman sebangku.
Selain itu, memang tidak ada yang
mau menjadi teman sebangkunya. Kecuali Jeff, mungkin.
Gara-gara undian yang dibuat oleh
wali kelasnya, ia dapat teman sebangku bernama Arumi. Sudah empat bulan mereka
duduk bersama, ia jadi terbiasa duduk dengan cewek berkerudung itu. Lagi pula
Arumi bukan tipikal cewek yang terlalu banyak omong dan bukan juga yang terlalu
diam. Mereka kadang mengobrol tentang hal-hal random. Jadi Jeff dengan
mudah merasa nyaman duduk di samping Arumi.
Waktu masih menunjukkan pukul
setengah delapan. Sekolah biasanya mulai pukul delapan tepat. Ia berangkat
terlalu pagi. Tepat saat ia mulai bermain game di ponselnya, tiba-tiba
seseorang berdiri di hadapannya.
Jeff mengangkat wajahnya untuk
melihat siapa yang datang. “Mas Devan? Ada apa?” sapanya pada senior yang beda
setahun dengannya itu.
“Kamu dapat posisi Bidang Seni ya di
OSIS? Ada beberapa yang harus kukasih tahu ke kamu,” kata Devan seraya menarik
kursi dan duduk di bangkunya Leo. Ia pun mulai menjelaskan panjang-lebar
tentang tupoksi yang akan dilakukan Jeff selama setahun ke depan. Devan dulunya
juga bagian dari OSIS tapi dia memilih keluar begitu naik ke kelas 11 dengan
alasan ingin fokus nge-band.
Jeff manggut-manggut selama Devan
menjelaskan. Ia sudah pernah jadi anggota OSIS waktu SMP. Jadi pikirnya tidak
banyak yang terlalu berbeda. Tapi ternyata cukup banyak juga yang harus ia urus
selama memegang jabatannya.
“Mengerti kan?” tanya Devan setelah
menjelaskan panjang-lebar.
“Hmmm yeah,” Jeff menganggukkan
kepalanya—meskipun ia masih mencerna penjelasan Devan barusan.
Devan nyengir dan menepuk bahu Jeff.
“Santai aja… Anyway, gimana ketua OSIS yang baru?”
Jeff hanya tersenyum simpul. “It’s
going to be a hard year.”
“Good luck, then.”
Begitu Devan pergi, Jeff terkejut
ketika melihat Leo muncul semenit kemudian. Rambut cokelatnya kelihatan kusut.
Ia memakai jaket denim. Tidak biasanya Leo hadir di kelas 15 menit sebelum bel
masuk berbunyi.
Setelah menaruh tas jansport di
bangkunya, ia pergi meninggalkan kelas dengan langkah terburu-buru. Jeff
mencoba untuk tidak peduli dan stay unbothered. Tapi dia penasaran
kemana perginya Leo. Ia pun beranjak berdiri, lantas berjalan mengikuti Leo
dengan jarak aman.
Keningnya berkerut ketika mendapati
Leo melangkahkan kakinya ke ruang sekretariat OSIS. Ia mengamati Leo membuka
pintu sekretariat lalu melenggang masuk ke ruang OSIS dengan santai. Siapa
yang juga sudah berada di sana sepagi ini? pikir Jeff bertanya-tanya.
Jeff bersandar pada tembok pura-pura
mengecek notification di ponselnya ketika ada orang lain yang lewat di
koridor sekolah. Ia sedang menjaga jarak dan waktu agar Leo tidak merasa kalau
ia dibuntuti olehnya.
Lima menit kemudian, Jeff memutuskan
untuk masuk ke ruang sekretariat OSIS karena ia sudah tidak tahan lagi. Ia
sudah menyiapkan alasan kalau ada barangnya yang ketinggalan kemarin saat rapat
pertama. Ia menggumamkan lagu yang ia suka seraya membuka pintu. Ia langsung
berhenti bersenandung ketika merasakan suasana gelap di ruangan itu. Lampu di
ruanagn itu memang menyala, tapi atmosfir-nya entah kenapa membuatnya
merinding.
“Atau perlu kusebar juga rahasiamu?
Soal kembaranmu di sekolah ini? Kan itu bukan hal yang memalukan—”
“Diam bisa enggak?!”
Nada suara Leo terdengar santai tapi
penuh intimidasi. Tapi sebaliknya, Victor—sosok lain yang berada di ruangan
itu—terdengar defensif dan marah. Baru kali itu, Jeff mendengar Victor sangat
defensif dan terdengar agak malu seolah-olah ada yang harus ia tutupi.
“Memangnya kenapa?” tanya Leo. “Kamu
udah buat video itu dan menyebarkannya.”
“Bukan aku yang sebar, Leonard.”
“Kamu yang buat dan sekarang hapus
video itu dan minta maaf.”
Jeff merasa mereka tidak menyadari
kehadirannya di ruangan yang luas itu. Jadi dia diam mematung sambil
mendengarkan di dekat rak byku yang ada di ruang Sekretariat OSIS.
“Sudah kuhapus.”
“
0 comments