Hujan, Laut, dan Rahasia

Maret 05, 2023

 Hujan, Laut, dan Rahasia


Pagi itu hujan turun dengan deras. Badai berkecamuk di luar sana. Seorang anak kecil terbangun karena suara kilat yang menyambar-nyambar. Begitu terbangun, ia langsung mencari hewan peliharaan barunya yang diberikan kakaknya seminggu yang lalu. Ia sangat menyayangi kucing berbulu pendek itu. Warna badannya putih tapi kaki dan ujung ekornya berwarna cokelat gelap.

Ia turun dari tempat tidurnya dan menundukkan kepala untuk melihat ke kolong tempat tidurnya. Tapi tidak ada apapun di bawah situ kecuali kotak mainan lamanya yang sudah berdebu. Petir menyambar lagi dan kali ini listrik mati. Lampu tidur berwarna kuning temaram di kamarnya mati dan sekarang kamarnya gelap total.

Gadis kecil itu pun membuka gordain jendela kamarnya. Ia memandang laut yang bergemuruh dari kejauhan. Langit terlihat berwarna kelabu dan lebih gelap dari biasanya meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi.

Kemudian, ia berjalan keluar dari kamarnya dengan senter di tangannya. Ia mencari-cari kucing himalayanya yang entah pergi kemana. Padahal semalam ia ingat jelas kucing itu tidur di karpet samping tempat tidurnya.

Rumah terasa sepi. Mama pasti sudah pergi ke pasar tadi pagi sebelum hujan turun. Papa sedang berlayar. Sudah sebulan ia tidak melihat Papanya. Sedangkan kakaknya sudah berangkat merantau untuk kuliah dua hari yang lalu. Kini tinggal ia sendiri di dalam rumah. Namun, ia tidak takut pada hujan deras dan listrik yang mati. Ia hanya takut kucingnya kabur dari rumah dan kedinginan di luar sana.

Kakinya melangkah mengelilingi rumah dari ruang tengah, ruang makan, dapur, kamar tidur orang tuanya, kamar tidur kakaknya, sampai kamar mandi. Ia tidak menemukan si kucing himalaya. Ia mulai cemas. Di luar hujan turun dengan deras dan kilat menyambar berkali-kali. Cahaya kilat membuat suasana menjadi terang selama sekian detik. Petir di pinggir laut memang selalu terlihat lebih terang dan bersuara lebih keras daripada di tengah pulau.

Aduh, apa dia kabur dari rumah ya? pikir gadis kecil itu. Ia menatap hujan deras di luar. Lalu, tanpa gentar ia mengambil payung yang tergantung dekat pintu utama rumah. Ketika membuka pintu utama rumah, ia langsung disambut terpaan hujan.

Ia berjalan menyusuri jalan setapak menuju pantai sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia pikir tidak akan siapapun di pantai pagi itu karena hujan turun dengan deras. Betapa herannya ia ketika melihat sosok lain di salah satu gazebo yang ada di pinggir pantai. Seorang anak kecil. Sepertinya seumuran dengannya.

(Gazebo tempat kedua anak kecil itu bertemu)


Dari kejauhan ia bisa melihat kucing berwarna putih sedang tidur meringkuk di gazebo tersebut. Kucing itu meringkuk di bawah keteduhan gazebo dan ternyata kucingnya berada di gazebo yang sama dengan anak laki-laki itu. Gadis kecil itu pun langsung berlari menuju gazebo itu.

“Comel!” serunya sambil naik ke atas gazebo itu untuk memeluk kucingnya. Kucing himalaya itu terbangun karena terkejut tiba-tiba seorang anak kecil memeluknya. Tapi kucing itu tahu kalau yang memeluknya adalah pemiliknya jadi ia tidak memberontak.

Gadis kecil itu terlalu fokus memeluk kucingnya sampai tidak menyadari ada sosok lain di bawah gazebo itu. Beberapa saat kemudian, ia menoleh ke samping kanannya—memperhatikan anak kecil yang sedang duduk sambil mengusap pipinya.

“Kenapa kamu di sini?” tanya gadis kecil itu dengan nada penasaran.

Anak laki-laki itu kelihatannya baru menangis. Ia mengelap air matanya dengan lengan jaketnya.

Baru kali itu, ia melihat anak laki-laki menangis karena ia tidak punya saudara laki-laki. Teman laki-laki di sekolahnya juga tidak pernah kelihatan menangis. Ia jadi menduga kalau anak laki-laki itu menangis karena tidak bisa pulang ke penginapan akibat hujan. Hujan memang masih turun dengan deras. “Kamu nangis gara-gara ga bisa pulang? Sini, aku anter.”

“Bukan!” tukas anak laki-laki itu.

Petir menyambar dan anak laki-laki itu langsung menutup telinganya dan  menutup matanya.

“Kamu takut petir ya?” tanya gadis kecil itu dengan santai. Ia tidak pernah takut hujan ataupun petir karena sudah terbiasa melihat petir yang menyambar-nyambar seperti saat ini.

“Enggak.” Tapi ia tetap menutup telinganya saat petir menyambar lagi.

“Bohong.” Tuduh gadis kecil itu.

Akhirnya anak laki-laki itu menoleh. “Namamu siapa?”

“Seira.”

“Dengar ya Seira, aku enggak takut petir dan hujan. Aku tutup telinga karena suaranya terlalu berisik.”

Seira manggut-manggut. Masuk akal juga jawaban anak laki-laki itu. “Kalau kamu? Siapa?”

“Leonard, panggil aja Leo.”

Seira belum beranjak dari tempat duduknya. Ia memandangi ombak yang memecah bibir pantai dan kapal-kapal yang berada di tengah laut. Kapal-kapal itu terlihat bergoyang di tengah laut yang berombak. Meskipun Papa-nya bukan berada di antara salah satu kapal-kapal itu karena Papa-nya berlayar ke tempat yang sangat jauh, ia berdoa semoga Papa-nya selalu aman di manapun berada.

Keluarganya memang memiliki penginapan jenis cottage di pinggir pantai. Oleh karena itu, mereka juga punya di rumah yang berada di dekat lokasi penginapan. Keluarganya selalu tinggal di rumah itu terutama kalau Seira sedang liburan seperti saat ini. Kalau sedang tidak liburan, ia dan Mama tinggal di kota. Hanya beberapa pegawai yang selalu tinggal di daerah pantai ini untuk mengelola dan menjaga penginapan.

Kota tempat tinggalnya juga bukan kota besar. Kota itu kecil dan berada di pinggir pantai. Suasana kota itu selalu ramai dan terlihat sibuk karena penduduk pulau itu menumpuk di kota itu. Dari kecil, ia selalu tinggal di kota itu dan belum pernah meninggalkan pulau. Kata Mama, ia baru boleh meninggalkan pulau kalau sudah kuliah seperti kakaknya. Sayangnya, momen itu bertahun-tahun lagi datangnya. Terkadang ia ingin bisa segera meninggalkan pulau itu dan melihat kota lain yang lebih besar. Namun, apalah daya anak kecil berusia 8 tahun seperti dirinya?

“Kamu sedang liburan?” tanya Seira pada Leo yang sedang duduk melamun memandang laut. Ia menatap Leo yang punya rambut berwarna cokelat muda. Matanya juga berwarna senada dengan warna rambutnya. Pipinya memerah. Kulitnya seputih susu. Sangat berbeda dengan Seira yang berkulit sawo matang karena sering bermain di pinggir pantai. Ia penasaran dari mana asalnya Leo karena jarang ada anak kecil yang mau duduk di gazebo sepagi ini.

“Iya,” jawab Leo singkat.

“Kenapa sedih kalau lagi liburan?” Seira juga penasaran kenapa Leo terlihat sangat sedih. Bukankah anak seumurannya harusnya hanya mengenal bahagia?

“Emangnya engga boleh?”

Seira mengangkat bahu. “Kamu ke sini sama siapa?”

“Abang.”

“Ayah sama Ibumu?”

Leo tampak tidak nyaman mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan itu seperti membuka luka lama yang juga jadi penyebab ia menangis pagi ini. Tapi ia tetap manjawab. “Pergi.”

“Ke mana? Papaku juga.”

“Pergi yang jauh. Aku juga enggak tau, mereka tinggalin aku sama abangku.”

“Kenapa?”

“Kamu banyak tanya!” sergah Leo.

“Emangnya enggak boleh?”

Leo menghela napas. “Aku enggak mau ngomongin itu, Sera.”

“Sei-ra,” kata Seira mengoreksi pengucapan namanya.

Leo menoleh ke arah Seira. Ia menatap mata hitam Seira yang juga sedang menatap dirinya. Mata Seira berkilat-kilat penasaran. Lalu Leo memperhatikan kucing berwarna putih yang sedang tidur di pangkuan Seira. “Itu kucingmu?”

“Iya. Mau coba membelainya?” tanya Seira.

“Aku enggak suka kucing.”

Seira terdengar tersinggung. “Kenapa?”

“Bikin aku bersin,” jawab Leo.

“Oh ya?” Seira langsung menggendong si Comel dan mengarahkannya pada Leo dekat sekali dengan wajahnya. Leo pun langsung bersin berkali-kali. Ia terlihat kepayahan karena reaksi alerginya.

Seira merasa bersalah. Ia tidak tahu ada orang yang alergi kucing. Ia merasa iba melihat Leo yang bersin seperti orang pilek. “Maaf, Leo!”

Akhirnya bersin Leo berhenti. Hidungnya memerah. Ia kelihatan capek setelah bersin berulang kali. Ia pun menjauhkan posisi duduknya dari Seira.

“Leo, kamu enggak marah kan? Maaf!”

“Enggak. Tapi jangan lagi, please,” kata Leo.

Seira pun meletakkan Comel di samping kirinya—tidak di pangkuannya lagi—karena ia khawatir posisinya yang dekat kucing bisa membuat Leo bersin-bersin lagi. Ia pun menoleh ke arah Leo lagi. “Asalmu dari mana?” tanya Seira.

“Jakarta,” jawab Leo.

Seira tahu nama kota itu dari kakaknya karena kakaknya kuliah di sana. Tempat itu jauh karena harus dua kali naik pesawat. Pesawat dari pulau kecil itu menuju kota besar di daratan pulau. Lalu baru terbang lagi ke Jakarta dengan pesawat besar.

Hujan masih turun dengan deras. Kilat masih sering menyambar. Leo berjengit ketika mendengar suara petir yang keras. Ia berusaha tidak kelihatan takut pada petir itu.

“Kamu sekolah di sana?”

“Iya, homeschooling.”

“Apa itu?”

“Sekolah di rumah,” jawab Leo.

Seira baru kali ini mendengar istilah itu. Ia tidak bisa membayangkan sekolah sendirian di dalam rumahnya sendiri tanpa teman satupun. “Enggak ada teman sekolah?”

“Enggak.”

“Jadi kamu enggak punya teman?”

Leo terlihat berpikir. Ia memang punya teman di komunitas homeschooling tapi ia selalu tidak akur dengan mereka karena ia tidak tahu cara berteman meskipun sudah diajari caranya. Ia justru sering diajak berkelahi oleh 'teman' seumurannya. “Enggak,” jawabnya ketus.

“Kalau begitu aku jadi teman pertamamu?”

Leo menoleh ke arah Seira. Ia baru bertemu Seira beberapa menit yang lalu. Tapi entah kenapa rasanya seperti sudah kenal lama sekali. “Kamu mau?”

Seira mengangguk dengan semangat. Ia tersenyum hangat seperti sinar matahari di tengah hujan. “Mau,” jawabnya riang.

“Kenapa?”

Seira bingung. Ia juga tidak tahu alasannya. Padahal ia ke sini hanya untuk menjemput si Comel. Meskipun Leo terlihat seperti seumuran dengannya, bahkan kelihatan lebih muda sedikit darinya, Seira merasa Leo lebih dewasa daripada dirinya. Ia tidak mengerti kenapa. “Karena aku mau.”

Baru kali itu Leo mendengar ada anak lain yang mau berteman dengannya. Ia tidak tahu bagaimana meresponnya. Tapi entah kenapa ia merasa hatinya hangat saat melihat senyum Seira.

Tiba-tiba hujan mereda. Perginya hujan secepat datangnya. Tidak terduga dan tanpa tanda-tanda. Laut terlihat lebih tenang. Suara ombak di pinggir pantai tidak sekeras tadi. Laut yang tadinya berwarna kelabu perlahan-lahan berubah menjadi biru.

Sayup-sayup terdengar seseorang memanggil nama Leo. Leo langsung menoleh ke belakang—ke arah cottage penginapan berada. “Itu abangku,” kata Leo dengan suara pelan.

Seira ikut menoleh ke belakang. Ia melihat sosok yang disebut Leo sebagai kakaknya. Ia kelihatan jauh lebih besar dari Leo. Lalu Seira tersadar kalau namanya juga dipanggil oleh Mama.

“Aku juga dipanggil Mama.”

Leo beranjak turun dari gazebo. Seira mengikutinya. Sebenarnya masih banyak yang ingin ia tanyakan pada Leo. Tapi sepertinya obrolan mereka berhenti sampai sini. “Dah Seira.” Leo tersenyum.

Untuk pertama kalinya Seira melihat Leo tersenyum. Sejak awal mereka bertemu tadi, anak laki-laki itu sama sekali tidak pernah tersenyum. Ia merasa asing melihat senyuman itu di wajahnya. Tapi Seira membalas senyuman itu dengan senyum yang lebih lebar.

Seira pun menggendong kucingnya lantas mengambil payungnya yang tadi ia taruh sembarang di atas tanah. Kemudian, ia berjalan menuju rumah sambil memandang ke arah lokasi penginapan. Perasaannya aneh karena ia belum pernah bertemu anak sebaya dengannya selain di sekolah karena ia tidak diperbolehkan pergi ke tempat bermain. Jadi, teman yang selama ini ia kenal hanya berasal dari sekolah. 

Seira berharap bisa bertemu Leo lagi. Sayangnya keesokan paginya ketika ia berjalan menuju gazebo yang sama, ia tidak menemukan Leo lagi. Besoknya, ia tahu kalau Leo dan abangnya sudah meninggalkan penginapan. Ia jua harus kembali ke kota untuk sekolah.

Gadis kecil itu tidak bisa melupakan pertemuannya dengan Leo. Seringkali ia merasa bersalah karena sudah menyodorkan si Comel ke depan muka anak laki-laki itu. Tapi ia lebih sering merasa ingin mengobrol dengan Leo lagi dan mendengar jawaban ketusnya.

Bahkan bertahun-tahun setelahnya, setiap kali melihat gazebo itu diguyur hujan deras di pagi hari, Seira selalu teringat kejadian itu. Dua anak kecil duduk di bawah gazebo, di tengah hujan, menatap lautan yang luas. Ia tidak pernah menceritakan soal Leo pada siapapun. Tidak ada yang tahu pertemuannya dengan Leo di hari yang hujan itu. Entah kenapa, ia merahasiakan pertemuan kecil itu dan menjadikannya kenangan masa kecil favoritnya. Mungkin, suatu saat mereka bisa bertemu lagi. 

  

End.


5 Maret 2023

Inspired by: Hujan deras di malam hari, waktu aku pergi ke Pulau Laut (Kalimantan Selatan). 

You Might Also Like

0 comments