Honey Brown Eyes
Mei 12, 2023
Nothing ever
really happens in my life. I have a normal life or like everyone thinks about
me. But one thing I never share to anyone is I am so easy to fall in love with
everything around me. The chilly wind blowing this morning. The raindrops
falling to flowers petals. The gray gloomy sky this afternoon. The bitter taste
of americano. The smell of the book in my hand.
I fall
easily for every details in my life, eventho not everday is beautiful days to
notice small details around me. Sometimes I do feel grunge and too tired to listen.
But I always try to be that girl my mom taught me to be.
Sore itu, aku
menghabiskan kopiku di bawah sebuah pohon yang menghadap ke padang rumput luas.
Kopi itu masih panas di dalam termosku. Aku baru mendongak ke atas ketika
titik-titik air jatuh di lembar buku yang sedang kubaca. Ternyata gerimis mulai
turun.
Hari ini memang
bukan hari yang bagus untuk piknik, tapi itu kan menurut ramalan cuaca. Aku
memandangi langit yang tampak kelabu. Aku pun mulai membereskan kain bermotif
kotak-kotak yang kugunakan untuk duduk. Kumasukkan ke dalam tas beserta termos
kopi dan bukuku. Aku pun tersadar kalau aku meninggalkan payungku di tasku yang
lain.
Aroma petrikor
merebak. Aku menarik napas dalam-dalam. Lalu, aku mulai berjalan di bawah
gerimis.
Rambut pendekku
yang bergelombang makin tidak karuan terkena terpaan angin. Aku mempercepat
langkahku menuju mobil. Tiba-tiba entah kenapa aku jatuh terjerembab di atas
rumput. Aku mengaduh pelan dan langsung berdiri. Ketika aku menoleh ke belakang,
ternyata ada batu tersembunyi yang membuat kakiku tersandung.
Gerimis berubah
menjadi hujan. Aku mengusap lututku yang tak terlindungi apapun. Aku memang
memakai overall pendek. Perih. Iya, aku tahu lututku pasti lecet.
Tanganku juga kotor oleh tanah dan warna klorofil. Aku menepuk-nepukkan
tanganku agar tanah itu hilang.
Dengan langkah
pincang, aku berjalan menuju mobilku yang jaraknya tinggal sedikit lagi.
“Hey? Kamu
enggak apa-apa?”
Aku terkesiap.
Mataku menatap sosok di hadapanku dengan tatapan tak percaya. Dari mana manusia
ini muncul? Bukankah padang rumput ini lumayan terpencil dan bahkan aku harus
memanjat pagar untuk masuk ke area ini.
Oh, aku sampai
lupa. Pagar yang menghalangiku dengan jalan beraspal di depan. Aku harus
memanjatnya dengan lutut nyeri seperti ini.
“Aku enggak
apa-apa,” jawabku seadanya.
Sosok
itu—bukan—laki-laki itu menatapku dengan prihatin. Ia membawa tas gitar di
punggungnya. Ia memakai kemeja sebagai outer. Kaos print-an
bertuliskan nama band entah apa tampak di balik kemeja itu. Celana
jeansnya robek-robek. Aku mendongak menatap wajahnya sekilas.
Matanya.
Meskipun di bawah cuaca mendung sekalipun warna matanya tetap cokelat. Like
a honey drop in his eyes. Tidak seperti mataku yang hitam
membosankan.
Aku buru-buru
lanjut berjalan sebelum aku menemukan lebih banyak detail tentang sosok asing
ini. Aku merutuki kebiasaanku melihat detail. Lagipula hujan tambah deras. Aku
masih harus memanjat pagar setinggi dua meter itu.
“Kamu yakin
bisa melewati pagar itu?” tanyanya dengan suaranya yang dalam.
“Ya, tentu,”
jawabku dengan percaya diri. Tadi aku bisa memanjat pagar itu. Apa bedanya
dengan sekarang?
“Hati-hati,
pagarnya licin,” kata sosok itu.
Aku bisa
melihat mobilku terparkir di balik jeruji pagar ini. Jantungku berdegup
kencang—bukan karena cowok itu. Dia benar. Pagarnya licin. Aku tetap memaksa
untuk memanjat pagar yang berbentuk seperti kawat saling bertaut itu. Tenang
saja, di atasnya tidak ada kawat berduri. Aku menarik diriku ke atas lalu
mengangkat kaki kananku, tapi tanganku terlepas dan aku terhuyung ke belakang.
Aku menoleh ke
belakang. Sial. Ternyata dia memperhatikanku dari tadi. Sekarang aku bisa
melihat rambutnya yang berwarna cokelat brunette yang mulai terguyur air
hujan.
“Memangnya kau
tahu jalan yang lain?”
Dia mengangguk.
“Tapi aku boleh minta tolong menumpang dengan mobilmu sampai ke Jalan XXXX?”
Aku menatapnya
dengan curiga. Rambut kami berdua mulai basah. Ayahku berkata untuk tidak mudah
percaya pada orang asing yang mau menumpang mobil—bisa jadi mereka perampok.
Tapi aku tidak menemukan celah melewati pagar kawat ini. Aku berdoa dalam
hatiku. Semoga dia bukan orang jahat.
“Ya,” jawabku
setelah berpikir sesaat.
Ia pun mulai
berjalan di depanku. Kakiku terasa sakit dibuat berjalan. Aku berusaha tetap
tegar. Aku menatap sosok di hadapanku. Ia berjalan cepat—entah karena kakiknya
yang panjang atau ia tidak ingin terlalu lama kebasahan.
Petir
menyambar. Aku berjengit, tapi dia tidak. Dia berjalan lurus menyusuri pagar
ini sampai akhirnya kami sampai di pagar yang sama. Mungkin jaraknya 500 meter
dari tempat mobilku terparkir. Ia berjongkok dan menarik pagar kawat yang sudah
robek. Lalu ia melewati pagar itu sambil berjongkok.
Aku mengikuti
gerakannya sambil meringis. Lututku…
Lalu, kami
berjalan menuju mobil sedan tuaku. Kali ini aku agak berlari. Hujan semakin
deras. Begitu sampai di mobilku, aku membuka pintu pertama kali berikutnya dia.
Napasku tersengal karena baru saja berlari.
Ia duduk di
sampingku. “Maaf, jok mobilmu jadi basah.”
“Enggak
apa-apa, nanti bisa dilap,” jawabku seraya menstarter mobilku.
Aku
memperhatikan dirinya sedikit dari ujung mataku—saat menoleh ke kaca spion
kiri. Ia menyibakkan rambutnya yang tidak terlalu pendek dan tidak terlalu
panjang. Aku memastikan tujuannya untuk berhenti di lokasi yang berada di depan
sebuah toko buku antik di kotaku. Aku sering ke situ untuk cuci mata.
“Siapa namamu?”
tanyanya setelah beberapa saat hanya terdengar suara wiper mobilku
menyapu air dari kaca mobilku.
“Seira,”
jawabku. “Dan kamu?”
“Leo,”
balasnya. “Apa yang kamu lakukan di padang rumput sana?”
“Baca buku,”
ucapku seadanya. “Kamu sendiri di sana ngapain?”
“Main gitar,”
jawabnya straight-forward seolah aku tadi tidak melihatnya membawa
gitar. Nada suaranya datar.
Aku penasaran
kenapa dia bermain gitar sangat jauh di tengah padang rumput itu. Biasanya
orang bermain gitar di atas balkon atau di dalam ruang kedap suara.
Tak lama
kemudian plang toko buku itu tampak jelas. Aku memarkirkan mobilku di depan
toko buku itu. “Kamu tinggal di sini?” tanyaku sebelum ia keluar.
“Kurang lebih
begitu,” balasnya. “Thanks, Seira. Lain kali akan kubalas kebaikanmu.”
Ia tersenyum simpul saat turun dari mobil. Ia membuka pintu belakang untuk
mengambil tas gitarnya. Lalu ia berlari menuju toko buku itu. Aku baru menyetir
mobilku menjauh dari toko buku itu setelah ia masuk ke dalam.
Kalau dia
tinggal di toko buku itu, kenapa aku tidak pernah melihatnya sama sekali saat
berkunjung ke toko buku itu?
🌿
0 comments