Fireworks and You
Mei 18, 2023🎆
They said ohana means family and family means no one gets left behind. That’s freaking bullshit. Perhaps it is the reason why I always hated ‘Lilo and Stitch’ when I was a little. It doesn’t have connection but right now, my mind is a bit intricated.
Keramaian ini
mulai terasa memuakkan. Aku berdiri dari kursi tempatku duduk dan melangkah
menuju pintu keluar aula.
“Vanya! Mau ke mana?” seru seseorang memanggilku sambil memandangku dengan sorot kesal di balik kacamatanya.
Tanpa menjawab, aku terus melangkah menjauhi barisan stan kelas-kelas
yang menampilkan berbagai macam barang dan makanan untuk dijual. Selain menjual
barang kerajinan dan makanan homemade, ada juga yang menawarkan jasa menggambar dan ramalan tarot.
Aku bisa
melihat saudara kembarku menghampiri stan kelasnya. Tanpa sadar aku
memutar bola mataku. Aku tahu dia hanya mampir sebentar di situ karena dia
adalah Ketua Student Council (OSIS) alias manusia paling sibuk yang juga
menjadi Ketua Panitia Event ini. Kalung co-card dengan tulisan Leader
terpampang jelas di depan kemejanya. Teman-temannya menepuk bahunya sambil
tertawa-tawa.
Malam itu, sekolah terlihat meriah dan penuh sesak dengan manusia karena event ulang tahun sekolah terbuka untuk umum. Waktu sudah
menunjukkan pukul 7 malam, stan-stan itu akan bubar begitu panggung di
lapangan menampilkan bintang tamu yang akan meramaikan event.
Aku mau pulang tapi aku tidak mau pulang ke rumah karena aku yakin orang tuaku hanya akan menanyakan ‘Bagaimana acaranya Victor? Bagaimana Victor jadi ketua event?’ seolah aku tidak ada di dunia ini.
Mungkin lebih baik aku menghilang
aja dari muka bumi ini?
Koridor sekolah penuh dengan hiasan lampu berwarna warm white karena koridor itu menjadi jalur menuju
lapangan yang ada di tengah area sekolah. Orang-orang dari luar sekolah datang
berpasangan atau bergerombol dengan teman-teman mereka.
Sementara aku berjalan melawan arus, aku terpikirkan sesuatu. Di kontakku hanya ada dua orang yang kuanggap sebagai teman. Seira dan Aiden. Seandainya Seira tidak pergi keluar kota, mungkin dia akan bersamaku di sini.
Kalau Aiden… argh entahlah. Dia teman sekelasku. Terakhir kali kami bertemu (yang artinya kemarin sore), kami bertengkar soal sepele. Kadang kami memang duduk sebangku kalau mendapat undian kursi yang bersebelahan.
Kebetulan kemarin kami dapat nomor undian
bersebelahan. Everything was fine. Dia tidak menggangguku dan aku pun
demikian. Sampai dia menumpahkan minumannya di atas buku sejarahku.
Buku sejarah
ini bukan textbook sekolah. Kalau textbook dari sekolah yang basah,
aku tidak peduli! Tapi buku sejarah ini adalah buku yang baru kubeli hari
Minggu lalu dan judulnya menarik perhatianku.
Tiba-tiba
langkahku terhenti. Sial. Harusnya aku maafkan saja dia. Tapi dia malah
bercanda soal bukuku. Dia bahkan sama sekali tidak minta maaf.
Lupakan. Aku
malas memikirkannya. Lagipula sebenarnya buku itu masih bisa dibaca setelah kukeringkan (tapi
kertasnya jadi keriting).
Aku berbelok ke arah gedung sekolah yang lain. Gedung sekolahku terdiri dari empat gedung utama yang mengelilingi lapangan di tengahnya. Gedung yang ini berada di sisi kanan dan terdiri dari ruangan-ruangan ekskul, termasuk ruangan seni untuk ekskul melukis.
Ruang seni ada di lantai empat. Seira pernah menunjukkan ruangannya padaku. Ruangan itu sangat jarang kukunjungi. Tujuanku bukan ruangan itu, tapi balkonnya. Aku ingat ada sofa tua yang ditaruh di depan balkon itu untuk menikmati sunset karena gedungnya menghadap ke Barat.
Tepat saat aku
mendudukan diriku di sofa tua itu, aku tertegun melihat pemandangan kembang api
di atas langit sana… Kembang api satu per satu meluncur ke langit dan meledak
menjadi percikan api berwarna-warni. Meskipun kembang api itu berada jauh dari
wilayah sekolah, suara ledakannya tetap memekakkan telinga. Sorak sorai
terdengar riuh dari lapangan sekolah. Murid-murid yang tadinya berada di dalam
aula berjalan keluar untuk melihat kembang api itu.
Kembang api itu
bukan bagian dari rangkaian acara ulang tahun sekolahku karena guru-guru melarang
kami memakai kembang api. Entah siapa yang menyalakan kembang api itu, mereka
pasti mengeluarkan banyak uang untuk menyalakan kembang api sebanyak itu.
Aku berdiri di
depan pembatas balkon—menatap kembang api itu seperti baru pertama kali
melihatnya. Indah…
“Hai Vanya?”
Aku hampir
melompat kaget. Aku menoleh ke arah siapa yang baru saja mengagetkanku. Cowok itu tersenyum canggung sambil merapihkan rambut curlynya yang menutupi dahi.
Sementara tangan kirinya memegang kantong plastik yang entah apa isinya.
“Sejak kapan
kamu di sini hah?!” semburku.
Ia nyengir.
“Aku mengikutimu dari tadi.”
Kembang api itu
masih meletup-letup. Cahayanya terpantul di matanya yang berwarna abu-abu. Berbagai
warna dari kembang api tampak sekilas di matanya. Oranye, merah, kuning, hijau,
biru. Dia seperti perwujudan semua warna itu.
Aku membuang
muka—berusaha mengenyahkan pikiran tadi. Saat aku menatap langit, kembang api
itu sudah selesai. Tepuk tangan riuh rendah terdengar dari kerumunan di
lapangan.
“Sorry. Aku
minta maaf soal bukumu yang kemarin. Tadi aku mampir ke gramedia buat beli buku
yang kemarin basah itu, tapi aku enggak ingat judulnya. Jadi aku belikan
pizza,” ucapnya sambil menyentuh tengkuknya.
Aku baru saja
mau mengejeknya stalker karena sudah mengikutiku diam-diam sampai ke
balkon ini. Tapi mendengar ucapan maafnya, mau tidak mau aku mengurungkan
niatku.
“Judulnya ‘Ras,
Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda’,” balasku dengan cepat. “Tapi
engga perlu beliin aku lagi. Bukunya masih bisa dibaca.” Entah kenapa aku
merasa pipiku memerah. Udah lama aku tidak pernah menerima permintaan maaf
sedramatis ini.
“SERIUS??!!
Syukurlah, aku bahkan enggak ingat judul yang kamu bilang barusan,” kata Aiden
dengan lega.
Berhubung kembang api-nya sudah selesai, aku duduk lagi di atas sofa reyot itu. Ia mengikuti gerakanku dan membuka pizza box dari kantong plastik yang ia bawa. Ia tersenyum lebar ketika membuka kotak pizza itu. Kelihatannya dia lagi pengen makan pizza. Melihatnya seperti ini mengingatkanku pada anjing shiba inu.
“Kupikir
jadwalmu jaga stan kelas belum selesai,” ujar Aiden seraya mengambil
satu slice pizza. Kami sekelas jadi tentu dia tahu jadwal jaga stan
itu. Dia curang tidak kebagian jaga stan—dia kebagian tugas membuat kerajinan tangan untuk dijual di stan, jadi dia tidak perlu bertemu banyak orang seperti tugas penjaga stan.
“Di aula
terlalu penuh sesak,” jawabku seadanya. Pizza itu ternyata mulai dingin tapi rasanya
tetap enak.
“Jadi kamu
kabur?”
“Ya, mau
bagaimana lagi.”
“Luckily, I
found you.”
Mataku melebar.
Aku berhenti mengunyah pizzaku. Hening sesaat di antara kami. Hanya terdengar
samar lagunya Bruno Major yang berjudul Easily yang dicover salah satu
murid cowok di panggung. Musiknya terdengar jelas sampai balkon lantai empat ini.
Dia
mengerjapkan matanya seolah tersadar dari sesuatu. “Shit. Maksudku,
untungnya aku nemu kamu jalan sendirian di tengah koridor kayak anak ilang.”
Aku tertawa
kecil untuk mengalihkan suasana. Damn. Aku hampir menduga hal lain. “Bukannya
tadi koridor rame banget ya?”
“Rambutmu yang
warna merah mana mungkin bisa enggak kelihatan.” Ia mengambil satu lagi slice
pizza yang mulai dingin itu.
Kami duduk diam
sejenak mendengarkan musik yang mengalun dari lapangan. Malam itu terasa lebih
dingin daripada malam lainnya. Aku memang hanya memakai kemeja lengan pendek
dan rok selutut. Aku tidak kepikiran untuk membawa cardiganku. Malam itu langit tampak cerah tanpa awan. Taburan bintang terlihat jelas di
langit yang berwarna hitam.
Tiba-tiba Aiden
menyodorkan jaket hoodienya ke kepalaku. “Pakek. Lagian udah tau
acaranya malam, malah pakek baju pendek.”
“Dresscode-nya
pakai kemeja lengan pendek,” balasku sambil menyampirkan hoodie itu di
bahuku. Aroma perfumenya tercium jelas di hidungku. Aromanya lembut
seperti vanilla dan juga ada aroma pelembut pakaian. Sepertinya dia memakai hoodie
yang baru diambil di lemari. Aku tahu dia merokok, seharusnya ada bau rokok
di jaketnya, tapi kali ini sama sekali tidak ada.
“Aku boleh
merokok di sini?” tanyanya kemudian.
Aku menoleh ke
arahnya. Di balik hoodie, ternyata dia hanya memakai t-shirt polos
warna putih. Ada kalung yang baru kulihat tergantung di lehernya. “Enggak
masalah.”
Dia merogoh
sakunya dan menyalakan sebatang rokok.
Pizza itu
tersisa satu slice. Aku mengambil sisanya.
Kami berdua tenggelam
ke dalam pikiran masing-masing. Malam itu kusangka akan jadi malam yang memuakkan.
Tapi, begitu dia datang, malam itu terasa tidak buruk juga. Bersama cowok ini,
aku merasa tidak canggung sama sekali menjadi diriku sendiri dan aku tidak
perlu khawatir dia akan membenciku.
Entahlah. Selama aku hidup 15 tahun di muka bumi ini, aku seringkali merasa doesn’t
belong anywhere. Aku tidak cocok dimanapun aku berada—berbanding terbalik
dengan saudara kembarku. Terus-terusan melihat kembaranku yang berlari jauh di
depanku, tanpa sadar membuatku kehilangan arah.
Lalu aku bertemu
dengan anak baru di sekolahku yang kebetulan masuk kelas yang sama denganku.
Dia membuatku memikirkan hal lain selain rasa putus asaku yang selalu
tertinggal dari kembaranku.
Fireworks,
cold pizza, and two lost souls who met together. I don’t know how he did that but
he could took me away from my self-loathing thoughts.
Fin
0 comments