Unexpected
Mei 26, 2023Sometimes, I like when 'things' go unexpectedly.
The sudden change of weather that can’t be figured out by the forecast. Arranged plans that suddenly get cancelled for insignificant reason. Waking up late because the book you’re reading in the midnight is so intriguing. Or anything that all at once happens.
Just like this morning. Perhaps, I got to skip the first class I should be attended.
Bus berhenti di
halte sekolah. Aku memasukkan buku yang sedang kubaca ke dalam tas selempangku dan berdiri dari tempatku duduk.
Kemudian, kami turun tanpa bicara sepatah kata pun.
Entah kenapa aku senang bisa bepergian menggunakan transportasi umum. Aku merasa bebas dan tidak perlu terus-terusan merasa diawasi.
Tapi sepertinya itu masalah bagi kembaranku yang saat
ini berjalan terburu-buru di depanku. Baginya, transportasi umum di kota ini sering tidak tepat waktu dan membuat jadwalnya jadi kacau.
Selama beberapa saat, aku dan dia bergeming di depan gerbang sekolah. Tidak ada siapapun di depan sekolah, termasuk para security yang (mungkin) bisa menolong kami membukakan gerbang.
Syukurlah aku terlambat. Pelajaran pertama matematika. Diam-diam aku bersorak dalam hati. Walau begitu, aku tetap memasang ekspresi datar seraya bersender pada dinding bata yang mengelilingi sekolah kami.
“Ini semua
gara-gara kau,” kata Victor sambil menunjuk diriku.
“Kenapa jadi salahku?"
"Jalanmu lambat." Dia menuduhku lambat waktu kami berjalan kaki dari rumah ke halte dekat rumah kami.
Aku mengernyitkan dahi. "Ini salahmu yang enggak memperhitungkan ada kemungkinan BRT bakal mogok di tengah jalan,” balasku defensif.
Cuaca sangat panas. Aku mengikat rambutku yang panjang. Lalu kulihat jam tanganku. Pukul 9 lebih 10 menit. Kami sudah telat lebih dari satu jam karena bel masuk berdering pada pukul 8.
Matahari bersinar
semakin terik. Kakiku mulai pegal dan aku berulang kali menekuk kakiku dengan
gelisah. Victor sudah melepas cardigannya sambil berulang kali
menghembuskan napas kasar.
Kupikir kami sudah yang paling terlambat sampai aku melihat bayang-bayang sosok familiar berjalan mendekati gerbang sekolah.
Ya ampun. Kukira dia sudah berada di kelas menyimak
pelajaran matematika favoritnya. Ternyata dia baru turun dari bus yang mengantarnya ke sekolah.
Ia berjalan
santai ke arah kami. Tak lama kemudian, dia sampai. Senyumnya merekah ketika melihatku. Mau tidak mau aku membalas senyumannya. Lalu, senyumnya berubah mengejek ketika ia melihat Victor juga berada bersamaku. “Ketua Student Council bisa telat juga?”
“Shut your
mouth,” balas Victor tanpa menoleh ke arah Aiden yang berdiri di sebelahku.
“Van, kenapa
kamu terjebak di luar sekolah bersama orang sepertinya?” tanya Aiden.
“Kebetulan aja.” Aku mengangkat bahu. Victor tidak tahu kalau aku sudah memberitahu rahasia ini kepada Aiden. Rahasia bahwa aku dan Victor adalah anak kembar.
“Kalian mau sampai kapan di sini? Ayo pergi sebelum Pak Satpam datang,” kata Aiden sambil mulai berjalan menjauhi gerbang sekolah
“Maksudmu
bolos?” Belum apa-apa, Victor sudah menolak mentah-mentah ide dari Aiden.
Aiden mendengus
tertawa. “Justru karena aku mau masuk kelas jadi aku lebih memilih masuk lewat pintu
belakang.”
Betul juga. Daripada masuk lewat pintu depan yang berisiko ketahuan guru, aku lebih memilih masuk lewat pintu belakang. Tapi, setahu aku pintu belakang juga dijaga oleh security. "Bukannya pintu belakang juga dijaga ketat?"
"Aku tahu pintu yang lain," jawab Aiden.
Aku pun mempercepat langkahku menyusul Aiden. Ketika menoleh ke belakang, kulihat kembaranku juga berjalan mengikuti kami. Dia berjalan dengan wajah kesal. Lalu, aku tersadar kalau warna rambutnya benar-benar cerminan warna rambutku. Warna merah tembaga itu tampak makin jelas di bawah sinar matahari.
Bagaimana orang
tidak sadar kalau kami ini kembar?
Atau karena warna
mata kami yang berbeda maka orang-orang tidak menyadarinya?
Aku kembali menatap ke depan. Tak lama kemudian, kami berbelok dari pinggir jalan raya ke jalan perumahan yang sepi. Di sekitar sekolah memang ada perumahan yang selalu terlihat sepi.
Mungkin kebanyakan rumah itu sudah banyak dijual atau ditinggalkan penghuninya. Beberapa rumah tampak tidak terawat. Pohon-pohon tumbuh subur di depan pekarangannya.
Selain tumbuh di halaman rumah terbengkalai itu, pepohonan besar juga menghiasi pinggir jalan. Kami pun terus
berjalan di bawah teduhnya pohon.
Lalu kami berbelok lagi ke jalan yang lebih sempit. Sepanjang jalan sempit ini, terdapat semak belukar. Jalan ini terlihat tidak meyakinkan tapi dinding di samping jalan itu jelas bagian dari tembok sekolah. Beberapa saat kemudian, Aiden berhenti melangkah lalu menunjuk ke sebuah pintu yang bersender pada tembok. Pintu yang terbuat dari kayu itu seolah hanya ditaruh sembarang untuk menutupi sesuatu.
Baru kali ini aku melihat ada pintu itu di belakang sekolah.
Aku menduga pintu itu menutupi jalan masuk ke area sekolah. Dugaanku tepat.
Aiden menggeser pintu kayu itu ke samping. Di baliknya, ada celah yang bisa
dilewati satu orang dewasa dengan membungkuk atau merangkak. Tinggi celah itu tidak sampai satu meter dan
bentuknya seperti retakan, seolah-olah ada yang menghancurkan batu bata yang menyusunnya. Atau mungkin ada seseorang yang sengaja menghancurkan bagian tembok itu dan mencuri batu bata tersebut…
tapi kenapa cuma sedikit yang diambil?
“Nah, ayo
masuk," kata Aiden dengan gerakan tangan mempersilakan kami untuk masuk ke celah itu.
"Dari mana kamu tau pintu ini?" tanyaku penasaran.
Ia menyeringai lebar.
Aku hanya menggelengkan kepalaku sambil tersenyum kepadanya. “Kalau aku tahu pintu yang ini, aku enggak perlu khawatir telat lagi.”
Lalu, kuperhatikan celah itu. Aku harus merangkak masuk untuk melewatinya seperti Coraline yang merangkak masuk ke terowongan menuju dunia kancing. Bedanya, kalau kami masuk ke situ, kami akan sampai di kebun belakang sekolah.
Aku pun berjongkok dan mulai merangkak memasuki celah itu. Begitu melewati celah itu, aku langsung disambut rerumputan dan tanaman hortikultura. Kebun belakang sekolah memang menjadi tempat murid-murid belajar biologi ataupun belajar menanam.
Sepertinya tidak ada kelas yang punya jadwal belajar biologi di kebun itu.
Lalu, aku beranjak
berdiri seraya menepuk-nepuk lututku dari noda tanah dan rumput.
Kemudian, Aiden
masuk melewati celah itu. Ia segera berdiri dan membersihkan rumput yang
menempel di celana seragamnya.
“Kenapa enggak
bawa motor hari ini?” tanyaku.
“Devan kan udah
berangkat duluan.”
“Oh iya. Aku lupa sepupumu
juga sekolah di sini,” kataku. Aku tahu Aiden tinggal di rumah keluarga besarnya dan biasanya berangkat sekolah bersama sepupunya.
Berikutnya, Victor merangkak melalui celah itu. Begitu melewati celah itu, tiba-tiba ia jatuh terduduk di atas rerumputan yang ada di kebun belakang sekolah. Ia berteriak karena ada belalang sembah hinggap di tangannya. Ia langsung mengibaskan tangannya dengan panik. Namun, belalang itu menempel erat di jarinya.
“VANYAA!!” teriaknya refleks seperti yang biasa sudah sering ia lakukan sejak kami kecil. (Dia sangat membenci serangga dan selalu meminta tolong kepadaku untuk menyingkirkan serangga).
Aku menghela napas. Lalu kuambil belalang mungil itu dari tangannya dan kubebaskan belalang itu di dedaunan pohon jeruk yang berada di dekatku.
“Kenapa kamu
enggak bilang ada belalang di situ?” gerutunya seraya beranjak berdiri. Ia menyingkirkan daun yang jatuh di rambutnya. Rambutnya jadi terlihat berantakan.
“Ya, aku kan
enggak lihat!” balasku.
"Lain kali kita enggak perlu berangkat bareng lagi naik bus."
"Huh! Siapa juga yang mau berangkat bareng?"
Samar-samar aku
mendengar Aiden menahan tawa dengan susah payah.
OH. Aku
sampai lupa kalau dia ada di antara kami.
“Pffftt. Kalian
memang betulan anak kembar ya?” kata Aiden sambil tertawa renyah.
Victor langsung
menatapku garang dengan arti tatapan kenapa-kamu-bilang-soal-itu?! Tapi
detik berikutnya ia menatap Aiden kalem. “Sekarang udah tahu
kan? Bisa tutup mulut soal ini?” ucapnya dengan tenang tapi penuh penekanan pada setiap kata.
Aiden
menghentikan tawanya. “Aku enggak tertarik buat membeberkan rahasia
kalian berdua.”
“Udah hey. Sebentar lagi
jam istirahat. Mending kita langsung ke kelas selagi guru enggak ada di kelas,”
kataku menyela pembicaraan mereka. Lalu aku merasa Victor menatapku dengan maksud tertentu. “Iya,
Vic. Aku tau peraturannya. Selama berada di wilayah sekolah, kita orang
asing.”
Bel
istirahat berbunyi dengan nyaring.
Kami bertiga pun berjalan menyusuri jalan setapak yang menghubungkan kebun sekolah dengan gedung sekolah. Setelah sampai di koridor—tanpa bicara apapun lagi—kami berjalan berlawanan arah.
Dia menuju ruang kelasnya yang berada di lantai dua—tempat ruang kelas 11 berada. Sementara, aku dan Aiden berjalan menyusuri koridor lantai satu—menuju ruang kelas kami di deretan ruang kelas 10.
Dengan mudah, kami membaur di antara murid-murid yang berjalan menuju cafetaria sekolah. Pagi yang aneh. Begitu masuk ke dalam kelas, aku langsung menduduki bangku kosong yang tersisa di belakang.
Lantas aku meluruskan kakiku yang pegal. Jam istirahat masih ada 15 menit lagi, aku masih bisa lanjut membaca bukuku. Aku mengambil buku yang sedang kubaca dari dalam tas selempangku (buku ‘Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda’ yang waktu itu ketumpahan air oleh Aiden).
Aku mencoba membaca.
Tapi—anehnya—tidak ada satu katapun yang masuk ke dalam benakku.
Setelah sekian lama, baru kali ini aku bisa menghabiskan waktu selama itu dengan saudara kembarku hanya karena kami terlambat masuk sekolah. Selama ini, kami selalu berusaha menghindar meskipun tinggal di rumah yang sama. Kami hanya bersama kalau ada event keluarga yang membuat kami sekeluarga harus datang.
Dari kecil, dia selalu tepat waktu. This might be his first time to come this late to school.
Aku mengenyahkan pikiranku tentang Victor. Aku mengamati ruang kelasku yang cukup sepi. Hanya ada beberapa murid yang tetap di kelas selama jam istirahat—termasuk Aiden yang kali ini dapat undian nomor kursi di depanku. “Van, mau temenin aku ke cafetaria?”
Aku pura-pura membaca bukuku.
“Aku traktir tuna
sandwich,” katanya.
Aku langsung menutup bukuku dan berjalan di sampingnya menuju cafetaria sekolah.
Suasana cafetaria saat itu sangat ramai dan entah kenapa aku melihatnya lagi. Tas ranselnya masih ia bawa. Apa dia sedang pamer kalau dia datang terlambat?
Hah, kalaupun dia ketahuan terlambat, dia bisa membuat alasan hari ini dia dapat dispensasi mengikuti lomba atau apalah.
Teman-temannya sibuk mengobrol dengannya. Ia kelihatan sangat ramah—sangat berbeda dengan beberapa menit yang lalu saat belalang menempel di jarinya. Aku memperhatikannya dari kejauhan sementara Aiden membeli sandwich yang ia janjikan buatku.
Sial. Kenapa
tadi sempat terlintas rasa khawatir di kepalaku?
Aku membuang
mukaku saat kurasa dia menyadari kalau tatapanku dari tadi terarah kepadanya.
I am aware we
are never born for each other. And, I always think ‘he’ and ‘I’ are like
opposite compass needle. He is the North. I am the South.
--
But after
all, there’s blood running between us.
--
Fin
0 comments