Idle Town
Mei 15, 2023🌿
This is just
small town in the middle of somewhere. Almost everyone knows each other or
related to someone that I know. Despite being the small town, this town got
everything the people need. Everything is well-arranged. The people play their
own role.
I spend most
of my life time here. I ever dream of escaping this town to bigger cities or
other countries. But thinking about it alawys makes my heart feel heavier. It
feels like a huge stone drop on my chest. The other side seems so scary and I
don’t want to leave Gramma and my mom alone.
Siang itu, aku
bersama kedua orang terdekatku. Pintu kamar dibuka lebar-lebar karena ada satu
teman laki-lakiku di sini. Meskipun dia sudah sering main ke rumahku sejak aku
menginjakkan kaki di rumah ini waktu berumur 6 tahun, Ibu tetap memberlakukan
peraturan itu padanya.
“Jadi, kamu mau
gap year?” tanya Vanya saat kami mulai bosan bermain uno stacko berdua.
Tumpukan stacko itu kami biarkan tersusun sampai tinggi.
“Aku masih
menunggu pengumuman universitas yang itu,” jawabku sambil duduk bertopang dagu.
Sebentar lagi kami bertiga akan berpisah—memulai kehidupan kuliah masing-masing.
Vanya sudah diterima di fakultas ilmus sosial dan ilmu politik universitas
ternama. Ia diterima di jurusan Hubungan Internasional. Sedangkan Ansel—teman
masa kecilku yang sekarang sedang membaca bukunya Carl Sagan—masuk fakultas
MIPA jurusan Fisika Murni.
Tersisa aku
yang masih menunggu universitas tujuanku menyeleksi portofolio seni yang sudah
kubuat.
“Aku yakin kamu
bakal keterima. Kalau universitas itu enggak menerimamu, universitas itu yang
berarti enggak pantas buatmu,” kata Vanya.
Aku tersenyum
kecil. Kamarku luas tapi terasa penuh karena berbagai alat lukis ada di sini.
Berbagai canvas bersandar pada dinding. Postcard, art prints, dan
berbagai pernak-pernik lainnya tertata di depan meja belajarku. Kami duduk di
salah satu pojokannya dekat dengan jendela—tempatku menaruh pot-pot kecilku.
“Kamu masih
kepikiran cowok waktu itu?” tanya Vanya dengan nada penuh selidik.
Spontan aku
menggelengkan kepalaku. “Nope.”
Vanya memutar
bola matanya. Lalu tertawa usil. “Jangan bohong, Seira, aku kenal kamu dari
kamu masih bayi.”
Baiklah. Kuakui
Vanya setengah benar karena aku penasaran kenapa aku merasa familiar dengan
sosok yang kutemui beberapa hari yang lalu. Ini kota kecil jadi perasaan itu
mungkin wajar. Tapi kenapa aku tidak pernah menemuinya saat aku pergi ke toko
buku antik itu?
Vanya setengah
salah karena aku sedang memikirkan kue wedding yang dibuat Ibuku tapi
pemesannya tiba-tiba membatalkan rencana pernikahannya.
“Aku heran
kenapa aku enggak pernah bertemu dengannya di toko buku itu,” ucapku pada
akhirnya.
“Mungkin kamu
terlalu fokus lihat-lihat buku,” kata Vanya.
Sefokus-fokusnya
aku pada buku, harusnya aku sadar keberadaannya juga, bantahku dalam hati. Dia
terlalu mencolok untuk diabaikan. Terutama matanya, rambutnya, entahlah…
sedikit aroma cologne mahal yang tercium darinya waktu aku berjalan di
belakangnya…
“Bisa jadi,”
ucapku dengan nada melamun. “Ansel, kamu serius enggak pernah ketemu dia juga?”
Ansel
mengangkat wajahnya dari buku yang ia baca. “Enggak. Aku enggak pernah lihat
orang yang kamu deskripsikan.”
“Namanya Leo
kan? Ada banyak Leo di kota kecil ini… Paman pemilik toko kelontong seberang
rumahku namanya Leo, adik kelas kita ada juga yang namanya Leo,” Vanya mulai
menyebutkan berbagai nama Leo di kota itu.
“Bukan itu!”
timpalku. Aku juga tahu adik kelas yang disebut oleh Vanya barusan. “Ah
sudahlah, yang jelas dia bukan murid sekolah kita.”
“Atau dia
berasal dari angkatan di atas kita?”
Aku
mengendikkan bahu. Aku sedang malas berpikir. Kurebahkan tubuhku di atas
tumpukan bantal dan plushie yang kupunya. Langit berwarna biru cerah
terlihat jelas di luar jendela sana.
Vanya ikut
merebahkan tubuhnya di sampingku. Beberapa helai rambut panjangnya terkena
wajahku. “Vanyaa!” Aku menggerutu sambil menyingkirkan helaiannya dari wajahku.
Rambutnya yang berwarna merah tembaga selalu terlihat mencolok di antara kami
bertiga sejak dulu.
“Ansel? Kamu
enggak capek baca terus?” kata Vanya pada Ansel yang masih punya hubungan
sepupu dengannya. Begitulah. Orang-orang di kota kecil ini seolah saling bertaut.
“Enggak, aku
mau selesaikan buku ini hari ini,” balas Ansel.
Angin
sepoi-sepoi bertiup masuk—membelai kepala kami. Tanpa kami sadari, kelopak
mataku mulai terasa berat. Sementara Vanya masih memainkan ponselnya di
sebelahku, aku jatuh terlelap. Waktu-waktu di kota kecil ini mungkin akan
segera berakhir.
🌿
0 comments