The Casket of Unforgiven Pieces
Chapter 5
────────────
Vengeance
Vengeance: the act of punishing or harming somebody in
return for what they have done to you, your family or friends
────────────
Mei 2023
Berulang kali Kalev tergoda untuk kembali ke lokasi kejadian. Setiap kali ia berpapasan dengan Bari dan kroninya di koridor atau kantin sekolah, ia selalu ingin menguntit Bari dan mencari tahu apakah Bari masih pergi ke gudang itu. Ia ingin memastikan garis kuning polisi masih mengelilingi lokasi tersebut… Ia ingin melihat garis kapur yang menandai posisi tubuh yang terbaring tanpa nyawa akibat perbuatannya.
Ia mempertimbangkan untuk sekadar melewati jalan yang ada di depan gudang lokasi kejadian. Akan tetapi, ia selalu menahan diri karena kembali ke tempat kejadian perkara berarti memberikan jejak bahwa ia pernah melakukannya. Ia membayangkan Ayah Riga yang seorang Kasat Reskrim akan menemukannya sedang mengendarai motor lewat jalan itu dan menangkapnya di tempat.
“Ahh berisik!!” seru Riga dengan pipi bersemu merah. Suaranya membuyarkan semua lamunan Kalev saat mereka makan siang di kantin sekolah.
Kalev baru menyadari kalau Riga sedang menjadi pusat perhatian seantero sekolah karena cowok tenar baru saja mendapat hadiah berpita di meja sebelum jam pelajaran mulai. Seharusnya hal yang biasa bagi siapapun yang mendapat hadiah dari seorang pengagum rahasia, tapi masalahnya Riga termasuk murid social butterfly sehingga ia terus-menerus menjadi target oleh teman-teman sekelasnya hingga jam istirahat. Ditambah perempuan yang memberikannya hadiah juga ada di kantin.
Kalev terkadang lupa Riga mempunyai kehidupan remaja yang sangat normal di sekolah. Sayangnya Kalev selalu sulit membaur entah karena auranya yang tidak bersahabat atau orang-orang menandainya sebagai murid yang pernah dibully Bari dan kroninya sejak pertama masuk sekolah. Semua yang pernah berhubungan dengan Bari akan dihindari karena Bari termasuk murid pembuat onar dan isu kalau dia hidup di lingkungan kriminal sudah tersebar luas.
Kalev ingin tertawa jika mendengar kata kriminal dari mulut salah satu teman sekelasnya. Ia yang seharusnya ditandai sebagai kriminal.
“Aku harus balik ke kelas duluan,” kata Kalev seraya beranjak berdiri dari meja kantin. Tanpa sadar ia memberi isyarat pada gadis yang menyukai Riga untuk mendekati Riga.
Tapi Riga ikut beranjak berdiri dan melangkah mengikuti Kalev. “Tungguin!”
“Kau mau ikut ke kelasku?”
“Ayo ke atap,” ucap Riga pelan supaya siapapun yang lewat di dekatnya tak mendengarnya.
Kalev mengangguk. Mereka pun berjalan menaiki tangga yang menuju atap sekolah. Siang itu cuaca panas tapi cukup berangin sehingga mereka buru-buru berteduh di bawah kanopi.
“Arrrghhhhh! Memalukan!!” seru Riga dengan wajah memerah. Rambut hijaunya tampak berantakan dan mulai pudar. Sebentar lagi ia mungkin akan mewarnainya lagi.
Kalev tanpa sadar tertawa melihat Riga. “Dia cantik dan kurasa dia cocok denganmu,” kata Kalev sambil bersandar pada tembok pembatas yang tingginya hanya sepinggangnya.
Sementara itu Riga berdiri sambil menatap ke pemandangan kota. “Entahlah, aku tak mau menjalin hubungan dengan siapapun saat ini. Tapi teman-temanku benar-benar rese. Aku tak suka digoda seperti itu.”
“Kau enggak mau coba dulu?” kata Kalev. Permasalahan ini ternyata membuatnya tergelitik juga dan berhasil mengalihkan pikirannya dengan lokasi kejadian empat bulan yang lalu. Padahal ia sendiri belum pernah menjalin hubungan dengan siapapun.
“Enggak,” jawab Riga ketus. Ia khawatir hanya berakhir melukai perasaan seorang perempuan karena ia tahu hadiah yang diberikan gadis itu dibuat dengan penuh effort. Gadis itu memberikannya cardigan yang dirajut sendiri tapi sayangnya Riga tak yakin bisa membalas perasaan setulus itu.
Selang beberapa menit kemudian, bel masuk berbunyi lagi. Tapi seperti biasa jika mereka nongkrong di atap, mereka tak akan langsung turun. Berada di atap sangat menenangkan dan jauh dari hiruk-pikuk. Mereka selalu menikmati waktu mereka di atas atap—tempat persembunyian mereka.
“Kau pernah diganggu Bari lagi?” tanya Riga—mengalihkan topik pembicaraan
Kalev tertegun. Ia penasaran kenapa Riga tiba-tiba memulai topik ini. Lantas ia menoleh pada cowok yang lebih pendek itu. “Kadang, tapi mereka hanya menggertak.” Ia teringat saat Bari mencoba menjadikannya anjing lagi dengan menyuruh-nyuruhnya.
Riga mengerutkan keningnya. “Ayahku sedang menyelidiki suatu kasus pembunuhan. Dari yang kudengar, Bari mengenali korban dan tampaknya dia pernah terlibat manuver bersama korban. Ayahku mencoba mengintrogasinya untuk tahu apa keterlibatannya.”
“Lalu?”
“Entahlah. Interogasinya sudah lama, mungkin karena itu ia mengusik kehidupanku juga,” ucap Riga sambil menghela napas. “Dan termasuk mengusik kehidupanmu. Sori.”
Dia sejak awal sudah mengusik kehidupanku, ucap Kalev dalam hati. “Kau enggak ada salah apapun soal ini. Mereka saja yang keparat.”
“Kau tahu… kasus ini cukup rumit karena pelaku tak meninggalkan jejak sedikitpun. Walaupun korbannya memang buronan polisi, tapi pelakunya sama sekali tidak bisa dilacak,” kata Riga dengan nada setengah melamun.
Cowok di sebelahnya memasang wajah tanpa ekspresi meskipun jantungnya berdebar keras. Bagus, aku tidak meninggalkan jejak, gumam Kalev dalam hati. Demi Tuhan, dia sangat ingin memastikan segalanya berjalan sesuai rencana—perbuatannya harus tidak tercium oleh siapapun.
“Shit. Ayahku bicara terlalu banyak soal pekerjaannya saat sedang mabuk.”
Kalev menatap Riga dengan kening berkerut. Ia khawatir kejadian seperti malam itu terjadi lagi. “Dia memukulmu lagi?” tanyanya hati-hati.
Riga tertawa getir seraya menggeleng. “Hanya menempeleng kepalaku sekali-kali. Huffft… Semua yang kulakukan salah di depannya. Tapi sisi lainnya, aku jadi dapat informasi karena ia mencerocos di depan mukaku. Padahal bukankah itu harusnya rahasia negara?”
Yang lebih tinggi mengangkat bahu. “Kalau dia mengatakannya padamu berarti bukan rahasia lagi.”
Senyap. Hanya terdengar suara kendaraan samar-samar dari jalan raya yang ada di bawah sana. “Hanya kepadamu aku mengatakan soal ini karena semua informasi sampah itu bikin pening kepalaku.”
“Enggak apa-apa. Aku enggak akan cerita ke siapapun,” kata Kalev. Kalau kau dapat informasi lagi, tolong beberkan padaku. Aku harus yakin kalau polisi tidak akan mengungkap pelakunya.
**
“Mau camping setelah ujian kenaikan kelas?” tanya Riga suatu pagi mendatangi kelasnya sebelum jam pelajaran dimulai.
Beberapa murid yang lain langsung memperhatikan Riga—terutama murid perempuan—karena rambut Riga kembali berwarna cokelat.
Saat itu, Kalev sedang mengerjakan tugas tambahan dari guru yang menghukumnya karena sering terlambat masuk ke kelas fisika. Ia berpikir sejenak. “Hm…” Apapun jawabannya, Riga tampaknya akan memaksanya untuk ikut. Ia pernah camping sewaktu SMP—karena acara sekolah sih.
“Riga! Kau pindah ke kelas ini?” sapa seorang murid perempuan yang duduk di depan Kalev.
“Entar semester depan kan kelas bakal dirolling lagi,” jawab Riga sambil tersenyum ramah.
“Semoga kita sekelas lagi yaaak kayak waktu kelas 10,” seru murid yang lain.
“Masih sering main basket di situ?”
“Masih! Mau coba ikutan?”
Kemudian percakapan itu berlanjut pada hal lain hingga keberadaan Kalev terlupakan. Ia lega karena perhatian Riga teralihkan dan ia bisa lanjut mengerjakan tugas tambahan sialan ini. Soal advance ini cukup menguras otaknya dan ia tidak bisa menemukan jawabannya di internet. Terpaksa ia harus membaca ulang buku paket—
“Heyyy? Ikut enggaa?” kata Riga menyikut lengan Kalev.
“Siapa aja yang ikut?” Tanpa sadar ia mengetuk-ngetuk pulpennya pada meja.
“Temen dari klub basket yang waktu itu ke Pantai Turki,” jawab Riga dengan bersemangat. “Ayolaaah, kau juga harus explore!” Ia membujuk Kalev.
Cuma tiga orang asing, Riga, dan aku, pikir Kalev. “Oke.”
“Yess! Aku akan bilang detailnya nanti. Daah!” Riga bergegas berdiri dan keluar dari kelas Kalev karena bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi.
Murid-murid yang lain langsung mengalihkan pandangan dari Kalev setelah Riga pergi. Ekspresi mereka tak terbaca. Kalev bisa merasakan tatapan penasaran menusuk dirinya. Ia menatap mereka yang balas menatapnya dengan maksud untuk mencoba berinteraksi. Tapi mereka langsung berhenti menatap.
Hah sudahlah. Berhenti mencoba. Selama mereka tidak menggangguku, aku tidak akan mengganggu mereka. Kalev menunduk lagi dan kembali membolak-balik halaman buku paketnya sambil duduk bertopang dagu.
**
Alasan sebenarnya teman sekelas Kalev tidak ada yang tidak bisa mendekatinya sebenarnya sederhana. Kalev selalu tampak kaku dan tak pernah tersenyum ramah—kecuali jika ada Riga. Itu sebabnya, mereka seringkali menatap Kalev saat ada Riga karena hanya di saat itu, mata Kalev tampak berbinar dan ia tersenyum hangat.
Namun begitu Riga pergi dari radarnya, Kalev kembali serius menatap bukunya. Atmosfer di sekitarnya selalu berubah menjadi dingin saat ia sedang sendirian. Tapi beberapa yang pernah tugas sekelompok dengan Kalev tahu kalau Kalev sebenarnya memang hanya awkward. Dia anak baik tapi kurang ramah dan kurang bersahabat.
Tak sedikit murid perempuan yang kagum padanya karena ia tinggi, rambutnya tampak halus dan terawat, kulitnya putih, sorot matanya teduh (kalau bukan dingin), dan otaknya encer. Tutur katanya juga lembut dan suaranya yang dalam terdengar menenangkan. Tapi lagi-lagi fakta kalau ia menjadi bulan-bulanan Bari dan kroninya membuatnya dijauhi… Semua murid lebih takut pada Bari dan kroninya. Aturan tidak tertulis yang dipedomani semua murid: Siapapun yang pernah berhubungan dengan geng pembully itu harus dijauhi atau murid tersebut harus pindah sekolah
**
Juni 2023
Mereka berkemah di daerah yang bernama Loksado. Langit tampak bersih tanpa awan malam itu. Hanya ada taburan bintang dan rembulan yang menghiasi kanvas berwarna hitam.
Bintang jatuh.
Mata Riga langsung melebar saat ia melihat bintang jatuh. Keinginannya terwujud. Ia ingin melihat bintang jatuh bersama Kalev—sahabat yang baru dikenalnya selama setahun belakangan ini.
“Lihat enggak tadi?”
“Apa?” Kalev mengerjapkan matanya.
Sementara tiga teman dari klub basket yang sudah kuliah itu mengobrol seru dan mendengarkan musik dari speaker bluetootj, Riga merebahkan tubuhnya di atas terpal dan menatap langit bersama Kalev. “Bintang jatuh,” kata Riga. “Kau enggak lihat??”
“Mana?” Kalev mendongak dan mencari bintang yang terlihat jatuh. Dalam benaknya bintang jatuh akan tampak seperti meteor jatuh berukuran besar yang akan mendekati bumi.
“Entar ada lagi,” Riga menahan tawa melihat Kalev yang mendongak untuk mencari-cari bintang jatuh. Terkadang Kalev tampak sangat polos—tapi di lain waktu cowok itu bisa kelihatan seperti menimbun sesuatu di dalam kepalanya.
Musik terdengar mengalun dari speaker portable yang dibawa salah satu dari tiga anak kuliahan itu. Riga ikut mengobrol bersama mereka dan bertingkah seolah mereka seumuran. Sementara itu, Kalev lebih banyak mendengarkan. Tiga anak kuliahan itu sudah hapal kalau Kalev memang kalem. Anak itu hanya sesekali nimbrung dan ikut tertawa.
Malam itu mereka berniat tidak akan tertidur. Hanya satu orang yang kelihatannya tak mampu membuka mata lagi. Setelah lewat tengah malam, Kalev masuk ke dalam tenda dan langsung memejamkan matanya. Sedangkan empat yang lainnya masih mendengarkan musik, tertawa, dan memandang langit yang penuh bintang.
Riga tak menyangka ternyata Kalev gampang mengantuk. Namun, ketika waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi, Riga masuk ke dalam tenda karena udara yang dingin dan tidak lama kemudian ia juga terlelap di samping Kalev yang meringkuk karena tubuhnya yang terlalu tinggi. Sementara itu, tiga anak kuliahan itu pun juga tertidur di dalam tenda yang lain dan membiarkan musik dari speaker masih mengalun pelan sehingga suasana tidak terlalu senyap.
Pagi hampir menjelang saat Riga terbangun karena mendengar suara teriakan. Ia terkesiap dan spontan terjaga. Ia menoleh ke belakang dan menemukan Kalev masih tertidur dalam posisi fetal. Anak itu menggeram dalam tidur dan menutup kedua telinganya. Giginya terkatup.
“Lev???” Riga menyentuh pundaknya. Ia menyadari suara teriakan tadi berasal dari Kalev.
Kemudian Kalev membuka matanya dan langsung mendudukan dirinya. Ia meraih senter dan menyalakannya. Napasnya tersengal seperti baru berlari. Saat ia hanya melihat Riga di depannya, ia langsung menurunkan senternya lagi dan mengusap wajahnya. “Mimpi buruk,” gumam Kalev. Ia mengatur napasnya seraya mengusap keningnya yang berkeringat meskipun cuaca dingin.
Riga penasaran apa yang menghantui Kalev sampai membuatnya terlihat diteror seperti itu. “Enggak kesurupan kan?” Ia mencoba mencairkan suasana.
“Kalo aku bisa jawab, berarti enggak,” jawab Kalev sambil mendengus tertawa. Perlahan ekspresinya mulai lebih rileks. Kalev membuka sedikit pintu tenda untuk melihat situasi di luar. Pagi menjelang dan warna langit perlahan berubah menjadi ungu gelap.
“Kau enggak apa-apa kan? Bukan sakit?” tanya Riga memastikan sambil menatap Kalev. Ia berusaha bersikap biasa saja tapi suaranya tetap terdengar cemas. Kalev pasti melalui sesuatu sampai mimpi buruk membuatnya berteriak dalam tidur. Ia menyentuh lengan Kalev sekilas untuk memastikan anak itu tidak demam atau sakit.
Kalev menggeleng. “Enggak apa-apa.” Bukan sekali dua kali mimpi itu datang, ucapnya dalam hati. Ia menoleh ke luar tenda dan beranjak keluar. “Aku mau lihat matahari terbit.
Wajah Riga langsung sumringah. “Aku tahu tempat yang bagus buat melihat sunrise,” ucapnya dengan mata berbinar.
Lantas mereka keluar dari tenda. Kalev menuju sungai yang ada di dekat tenda mereka dan mencuci mukanya. Ia masih terbayang mimpinya barusan. Oleh karena itu, ia harus mengalihkan perhatiannya.
“Perlu ajak mereka?” tanya Kalev seraya menghampiri Riga yang juga baru saja mencuci muka dan membasahi rambutnya sedikit.
“Mereka paling juga bangun sebentar lagi. Biarin aja. Mereka juga tahu tempat yang mau kita tuju.”
Maka, kedua anak itu berjalan menyebrangi sungai untuk menuju ke jalan kampung. Mereka berjalan sambil menikmati udara pagi yang tanpa polusi dan mendengarkan suara riak sungai yang mengalir deras. Setelah beberapa ratus meter, mereka mulai menanjak menaiki bukit. Jalan menanjak itu hanya sepanjang 500 meter. Mereka pun sampai di tanah lapang yang ada di atas bukit. tanah lapang itu berada di depan sebuah kantor kecamatan.
Riga meregangkan tangannya seraya memandang pemandangan luar biasa indah di hadapannya. Ia menikmati angin yang berhembus pelan. Mereka duduk di atas sebuah bongkahan kayu yang ada di pinggir lahan kosong itu. Riga menoleh pada cowok yang duduk di sampingnya. Kalev masih tampak pucat. Sorot matanya tampak menerawang jauh. “Kau enggak suka berada di alam ya?”
Kalev mengerjapkan matanya. “Bukan itu, aku suka kau mengajakku camping. Mimpi burukku tadi pasti membangunkanmu.”
“Bbeberapa orang emang kadang dapat mimpi buruk.” Tapi tak sampai membuat menggeram di dalam tidur.
“Riga, apa kau masih mau berteman denganku kalau aku ternyata orang jahat?” tanya Kalev tiba-tiba yang membuat Riga terheran.
Saat itu, matahari baru saja menampakkan dirinya di balik tirai kegelapan. Cahayanya yang berwarna emas mengenai mata Kalev. Saat itu, Kalev tampak sangat polos seperti anak kecil. Namun, sorot matanya terlihat sedih, takut, dan kesepian. Ia menekuk kedua lututnya dan memeluknya.
“Eh?”
“Jawab,” titah Kalev menuntut jawaban.
“Yeah, tergantung kejahatan yang kau buat. Kalau kejahatan yang ringan, bukan masalah,” jawab Riga. Lalu ia tertawa kecil. “Memangnya kau mau berbuat jahat apa?”
Kalev menggelengkan kepala. “Lupakan yang tadi.”
“Jangan berpikir yang aneh-aneh. Kau akan selalu jadi temanku, tak peduli kau jahat, baik, atau abu-abu.”
Kalev menatap Riga yang tersenyum lebar dengan wajah menatap matahari. Matanya yang cokelat selalu tampak berbinar. Saat itu, Kalev hanya ingin melindungi temannya. Ia akan melakukan apapun untuk melindungi senyuman itu. Pagi itu, mereka menatap matahari yang perlahan bergerak ke atas langit. Warna langit yang semula berwarna ungu gelap perlahan menjadi biru. Senyap. Saat itu, dunia terasa sangat damai.
**
Kalev menunduk dan melihat kedua tangannya yang berlumuran darah. Ia berdiri di tengah sebuah gudang. Seseorang muncul di hadapannya memakai jaket yang serupa dengan jaket miliknya dan punya gaya rambut yang sama persis dengan dirinya.
Sosok itu adalah dirinya yang sedang kalut. Tangannya menjatuhkan sebuah pisau. Suara yang berkelontangan bergema di ruangan yang luas tersebut. Lalu ia jatuh berlutut.
“Aku hanya ingin melindungi orang yang kusayangi,” ucap sosok itu sambil menunduk dengan tangan menutup wajah.
Tanpa Kalev sadari, kakinya sudah melangkah mendekati sosok itu.
Sosok itu mendongak dengan mata terbelalak lebar. “Kau… Kau yang melukai semua orang.” Tiba-tiba sosok itu meraih pisaunya lagi. “BANGSAT KAU!” teriak sosok itu dan kemudian menghujamkan pisau ke dada Kalev.
Kalev tersedak darah. Ia menatap matanya sendiri. Sosok itu adalah dirinya yang sedang murka. Sosok itu mengangkat pisaunya lagi dan menghujamkannya lagi ke tubuhnya. Tubuh Kalev melenting kesakitan. “Hentikan,” Kalev mengerang lirih.
“KAU YANG BERHENTI!” teriak sosok itu. “Lihat mayat yang di sebelah sana?” Sosok itu menunjuk ke tumpukan mayat yang ada di pojok ruangan. Baunya yang menyengat membuat Kalev mengernyit. “Kau PELAKUNYA, BANGSAT!”
“Mereka pantas mati,” ucap Kalev dengan air mata terurai. Pisau itu masih menancap di dadanya. Ia seperti zombie—tidak mati meskipun sudah ditusuk berkali-kali. “Aku hanya tak mau orang yang kusayangi terluka. Tolong, hentikan. Kau adalah aku.”
“Kau adalah monster. Lihat tanganmu. Kau ini sudah melukai diriku. Jadi rasakan ini. RASAKAN, KEPARAT!!! KAU INI TIDAK PANTAS HIDUP!!!”
Kalev mengerang saat pisau itu ditarik dan menancap lagi di dadanya.
Kemudian, ia bangun dengan tangan menutup telinga dan posisi tubuh fetal. Ia menatap ke sekelilingnya dan tersadar kalau ia berada di kamarnya. Tapi tubuhnya berada di atas lantai. Ia jatuh dari ranjang saat ia tertidur. Napasnya terengah. Ia membuka matanya dan bayang-bayang dirinya membunuh dirinya sendiri masih terbayang jelas. Teror. Hanya itu yang ia rasakan.
Mimpi yang sama seperti saat ia camping dengan Riga. Tangannya gemetar dan ia merasa harus pergi ke tempat lokasi kejadian saat itu juga. Ia sedang meraih celana jeans yang tergantung di belakang pintu, jaket hitam, dan topi hitam. Gerakannya tergesa-gesar. Panik. Ia begitu takut mayat-mayat itu masih berada di gudang. Ia takut jika ada jejak kakinya yang belum terhapus.
Ia hampir mengambil kunci motornya ketika terdengar suara ketukan pintu lembut.
“Kalev?” Suara Mama. “Ada apa?”
Kalev menghentikan gerakannya. Untungnya pintu kamarnya terkunci jadi Mama tak akan kebingungan melihatnya berpakaian seperti mau keluar.
“Mama tadi dengar teriak.” Suara Mama terdengar khawatir.
Tapi Kalev tak menjawab. Ia menahan napas dan terdiam cukup lama.
“Ya sudah, kayaknya Kalev udah tidur lagi ya,” gumam Mama pada dirinya sendiri.
Kalev mendengar langkah kaki Mama yang menjauh. Ia pun tersadar oleh sesuatu. Kejadian itu sudah berlalu. Tidak seharusnya ia masih dihantui oleh hal itu. Perlahan ia melepas jaketnya kembali dan mengganti jeansnya dengan celana piyama.
Sejauh ini, hanya dirinya seorang yang tahu kejadian malam itu, bukan?
Sehari sebelum kejadian
Matahari bersinar sendu dan awan kelabu menghiasi langit siang itu. Riga sudah menduga Bari akan datang menghampirinya duluan di atas atap sekolah siang itu. Riga tersenyum miring dan menatap Bari yang lebih besar daripada dirinya. Padahal ia sudah menunggu Kalev untuk menghabiskan makan siang di tempat itu.
Baru saja memikirkan Kalev, anak itu muncul di balik komplotan Bari.
“Sori Lev, ada hama pengganggu siang ini,” kata Riga yang menyulut amarah sosok di hadapannya.
Bari mendengus dan mengabaikan keberadaan Kalev karena menurutnya Kalev tidak ada sangkut pautnya dengan urusannya. “Kau pikir bisa aman cuma gara-gara kau anak polisi hah?”
“Hah???”
“Kau tahu kasus yang diselidiki Bapakmu?”
“Bukan urusanku. Apa kepentinganku buat mengurusi pekerjaan Ayahku hah?”
Bari menarik kerah kemeja Riga.
Tanpa sadar Kalev menggertakan giginya. Ia sangat ingin menerjang Bari dan membuatnya lumpuh. Tapi ia menahan diri dan memasang ekspresi wajah datar.
“Abangku meninggal di kasus pembunuhan itu!” geram Bari.
“Jadi secara tidak langsung kau mengakui keluargamu buronan polisi, gitu?”
Satu bogem mentah menghantam wajah Riga.
“Selama ini kehidupan kita damai karena Bapak kau tidak mengusik kehidupan kami, sampai kasus itu terjadi. Buat apa seorang Boss membunuh anak buahnya sendiri lalu bunuh diri? Gudang itu sekarang lumpuh dan pekerjaan berhenti total.”
“Bukannya itu bagus?”
BUGGGH.
Riga meludahkan darah. “Kau tahu terlalu banyak untuk anak seusiamu. Buat apa tahu begitu banyak? Mau jadi calon kriminal?!!” Ia nyengir sambil menunjukkan giginya yang berlumuran darah.
“Kalau aku membuat kau terancam, mungkin polisi itu akan mendengarkan kelompok kami lagi supaya berhenti mengusik kehidupan kami.”
“Bicara apa sih? Percuma. Kau mendatangi orang yang salah. Ayahku hanya akan menari gembira melihatku babak belur seperti ini. Menurutnya aku pantas dihajar sekali-kali.”
Kalev mengernyitkan dahinya. Apa yang membuat Riga sampai mengatakan hal semacam itu? Lalu ia teringat malam ketika Riga kabur dari rumah karena diusir oleh Ayahnya yang mabuk.
Kali ini Riga tidak tinggal diam. Ia menangkis pukulan bari dan menghindar dari pukulan berikutnya. Namun Bari mendorongnya hingga ke pinggiran atap gedung sekolah.
Kalev mencoba untuk menerjang tapi komplotan Bari menahan dan justru ikut menghajarnya.
“Huft, anak penipu sama anak polisi kenapa bisa berteman?” cemooh Bari.
“Dan kau anak kriminal? Jadi paket lengkap kaan? HAHAHAHAHAHA!!!” Riga tertawa terbahak-bahak seperti hilang kewarasan meskipun sebagian tubuhnya bisa saja hampir jatuh ke lapangan di bawahnya.
Sementara itu di lapangan, murid dan guru bergerombol melihat ke atas. Tak lama kemudian seorang guru datang menghentikan kekacauan itu tepat saat kaki Riga hampir tak menapak pinggiran atap gedung dan Kalev dihantam bertubi-tubi oleh gerombolan Bari.
I am drowning in
the current and nobody can save me.
Hari kejadian
Pagi itu matahari bersinar cerah. Langit tampak berwarna biru cerah tanpa awan. Kalev berjalan tenang menuju ruang kelas yang berada di pojokan. Kedua tangan berada di kantong celana seragamnya. Ia mengabaikan murid-murid yang menatapnya dengan sorot penuh tanda tanya di koridor sekolah. Kelas ini tidak pernah ia datangi sebelumnya, namun ia tahu Bari seharusnya berada di kelas ini.
Jam pelajaran hampir dimulai, tapi ia tidak peduli. Ia juga sudah mempertimbangkan segala konsekuensi yang mungkin akan didapatnya. Ia akan mengecewakan Mama. Ia tahu ini gila. Tapi ia sudah sangat lelah dan segala di benaknya sangat gelap saat ini.
Berhenti bertindak bodoh. Sebuah suara berulang kali mengucapkan kalimat itu di telinganya.
Namun, ia sudah memasuki ruangan kelas itu dan melihat targetnya sedang duduk di pojok ruangan dengan gaya duduknya yang serampangan.
“Mau apa k—?” Bari mengangkat wajahnya ketika sosok itu berdiri di hadapannya.
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Kalev sudah mengeluarkan sebilah pisau lipat tajam dan menikamkan pisau tersebut di lengan, perut, dan tungkai sosok tersebut. Tangan Kalev tak bisa berhenti. Ia mengeraskan rahangnya. Genggaman tangannya sama sekali tak gentar. Dia sudah pernah mengarahkan pisaunya ke organ yang lebih vital daripada hanya sekedar menusuk di lengan, perut, atau tungkai. Adrenalin mengalir deras di darahnya. Matanya membelalak lebar ketika darah terciprat di kerah bajunya. Ia ingin tertawa histeris.
Bari tak sempat melawan karena tidak sanggup menahan rasa sakit tusukan dan syok melihat darahnya yang sudah berceceran di atas lantai.
Terdengar jeritan murid perempuan, bisikan kengerian di antara para murid, suara guru meneriakinya—
Semua suara itu perlahan menjadi sayup-sayup. Telinganya berdenging.
Pandangan mata Kalev hanya terfokus pada darah yang berlumuran di depannya. Kedua alisnya bertaut. Sorot matanya tampak gelap. Ia berhenti menikam ketika mual menghantam dirinya hingga membuat perutnya bergejolak. Ternyata ia masih belum terbiasa dengan aroma anyir darah. Payah.
Napasnya terengah. Keringat mengalir di pelipisnya. Entah sejak kapan ada banyak orang di depan kelas yang tak dikenalnya. Sejak kapan Bari berhenti bergerak? Apa dia masih bernapas?
Kalev melepaskan pisau lipatnya. Ia sudah meyakinkan dirinya jenis, merek, dan ukuran pisau ini sangat berbeda dari pisau yang digunakannya untuk membunuh empat buronan polisi malam itu.
Ia berbakik badan dan berlari menerobos murid-murid yang berkerumun di ruangan kelas yang sumpek. Ia harus melarikan diri. Ia harus kabur. Ia harus lenyap dari muka bumi ini.
“Kalev?” Ia melihat Riga di koridor. Beberapa hansaplast menghiasi wajahnya akibat perkelahian kemarin. Lalu mata Riga terarah pada tangan Kalev yang penuh darah dan seragam putihnya yang berbercak merah darah. “Apa yang terja—?”
Tapi Kalev terus berlari menuju area belakang sekolah. Ia ingin bersembunyi. Terdengar suara sirine mobil polisi samar-samar. Semua murid keluar dari kelas untuk melihat ada kejadian apa. Kemudian—entah dari mana—seseorang berseragam polisi muncul di belakangnya dan mencengkram tangannya. Ingatan Kalev setelah itu kabur.
**
Siang itu, Bari dilarikan ke IGD Rumah Sakit Umum Daerah Ulin. Ia masih bernapas dan harus menerima tindakan operasi untuk menyelamatkan organ tubuhnya yang robek akibat luka tusukan.
Sementara itu, Kalev duduk di ruang interogasi polisi yang kedap suara. Ia duduk dengan sangat tenang. Napasnya stabil. Ia tidak lagi tersengal-sengal seperti tadi pagi dan sama sekali tidak bicara sepatah kata pun. Ekspresi wajahnya setenang danau yang dalam. Sorot matanya tampak gelap, dingin, dan suram.
Ia sudah membersihkan jari-jarinya dari darah, tapi ia masih mengenakan jaket dan seragam yang sama. Kalev tampak tidak peduli dengan polisi yang berjalan mondar-mandir di depan pintu. Kaca yang ada di pintu membuatnya bisa melihat siapa yang sedang mengamatinya seperti satwa langka.
Hening. Hanya terdengar suara detak jarum jam yang ada di dinding. Pikirannya tetap awas. Ia yakin ruangan ini dikunci karena sempat mendengar suara kunci diputar oleh petugas yang mengantarnya ke ruangan ini. Ia hanya diberi instruksi untuk menunggu Kasat Reskrim datang menginterogasinya.
Ruangan itu dingin dan suram. Lampunya seperti sudah bertahun-tahun tidak pernah diganti. Catnya berwarna abu-abu. Tidak banyak yang bisa dilihat di dalam ruangan itu. Hanya ada dua kursi—satu kursi didudukinya dan satu kursi berada di hadapannya. Kemudian, ada meja kayu di antara kedua kursi tersebut. Tidak ada benda apapun di atas meja itu. Lalu, ada sebuah CCTV di sudut langit-langit ruangan.
Kalev menunggu dengan sabar. Ia ingin memejamkan mata tapi ia memaksa otaknya untuk terus waspada pada suara sekecil apapun. Tas dan smartphonenya disita di ruangan lain sehingga ia tidak bisa menghubungi siapapun. Menghubungi siapa memangnya? Waktu berjalan lambat di ruangan berukuran tiga kali tiga meter itu yang pengap itu.
Tiba-tiba terdengar suara anak kunci diputar. Kalev melirik jam dinding. Pukul 3 sore. Kemudian, seorang pria berusia 40-an akhir melangkah masuk ke dalam. Rambut hitamnya tampak lebat. Sorot matanya tajam. Raut wajahnya tegas. Ia mengenakan seragam polisi dengan berbagai atribut di saku depannya.
Kalev menyadari kalau pria di hadapannya sangat mirip Riga hingga membuatnya seperti berhadapan dengan Riga versi yang lebih dewasa. Ia membaca nama yang terpampang di seragamnya. Nama pria itu Darius.
“Selamat siang, Kalev.” Ia tersenyum, namun senyumnya tidak sampai ke mata.
Kalev memasang wajah senetral mungkin. Ia menatap mata Darius tanpa gentar.
“Saya dengar kamu berteman baik dengan putra saya. Dia sampai kabur dari jam pelajaran demi mendatangimu di sini. Tapi saya sudah meminta Riga untuk kembali ke sekolah.”
Sekarang, Darius memperhatikan kemeja dan ujung lengan jaket Kalev yang masih bernoda darah.
“Korban tadi pagi sedang menjalani operasi saat ini. Kenapa kamu membawa pisau ke sekolah, Kalev? Kenapa sampai menusukkan pisau ke temanmu sendiri?”
Kalev tidak menjawab. Ia bersikap seolah pertanyaan tersebut tidak membuatnya ingin mengamuk. Ia ingin meludah. Keparat itu bukan temanku.
Darius menghela napas panjang. “Dengar, Kalev. Kamu bisa dijatuhi hukuman sesuai Pasal 351 KUHP. Tapi saya ingin mendengar alasanmu sampai menusuk Bari.”
“Dia hampir membunuh teman saya sehari sebelumnya,” jawab Kalev dengan nada datar. Matanya menatap Darius dengan sorot menantang. Rahangnya mengeras.
“Baik, saya memang mendengar informasi kalau Bari seorang perundung di sekolah. Tapi apa benar sampai mencoba membunuh? Apa ada buktinya? Lalu apa bedanya dengan yang kamu lakukan hari ini, Kalev?”
Darius menatap Kalev selama beberapa saat. “Apakah kamu juga pernah menjadi korban perundungan dari Bari?”
Ingatan Kalev saat ia menjadi budak suruhan, dipukul berkali-kali, dan kepalanya dimasukkan ke dalam air. Memori itu masih terlihat jelas di benaknya. Semuanya bukan masalah lagi. Ia bisa menghadapi perundungan sendirian. Namun, perasaan ingin membunuh itu membuncah saat orang brengsek itu hampir mendorong Riga di atas atap sekolah.
“Ya,” jawab Kalev singkat.
“Saya sudah menduganya. Percobaan Pasal 351 KUHP pagi ini karena balas dendam. Benar?”
Kalev tidak menjawab. Apalagi jawabannya kalau bukan ya? Ia harus hati-hati berbicara di depan orang ini.
“Apakah ada orang lain yang terlibat?”
“Tidak ada,” jawab Kalev spontan. Ia sama sekali tidak bekerja sama dengan siapapun. Ia merencanakan semuanya di dalam kepalanya. Ia juga sudah memikirkan setiap konsekuensi yang akan diterimanya. Ia juga sudah tahu soal Pasal KUHP yang akan dilanggarnya.
“Jadi kamu bertindak atas dirimu sendiri?”
Kalev mengangguk dalam diam.
Darius menghela napas panjang. Anehnya, dia terlihat lega. Apakah dia lega karena putranya sama sekali tidak terlibat perbuatan temannya yang brutal dan biadab?
“Baik. Berikutnya saya akan coba bertanya pada saksi guru, orang tuamu, dan orang tua korban. Baru setelah diskusi antar orang tua, sidang Peradilan Anak akan memutuskan apakah kamu bisa dijatuhi hukuman Pasal 351 KUHP atau tidak. Syukur-syukur kalau kamu hanya dijatuhi hukuman diskors dari sekolah. Sekarang kamu bisa keluar dari ruangan ini. Petugas saya akan mengantarkanmu langsung ke rumah.”
Kalev mengangguk.
“Oh. Satu permintaan saya. Jangan berteman lagi dengan Riga. Kamu sepertinya mentrigger jiwa liarnya yang suka berkelahi. Kamu pengaruh buruk bagi putra saya.”
Apa? Namun Kalev tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia mengangguk sekali lagi dengan wajah serius, lantas melangkah keluar dari ruang interogasi yang lembap. Seorang petugas berseragam abu-abu menyambutnya di luar dan menyodorkan tas ranselnya kembali. Ia langsung mencari smartphonenya dan melihat password smartphonenya sudah dibobol. Para polisi itu pasti sudah menggeledah setiap histori percakapan dan catatannya, tapi penyelidikan mereka pasti berakhir sia-sia karena dia tidak pernah berinteraksi dengan korban dan lagi isi catatan di ponselnya kosong. Ia tidak pernah menuliskan rencana detailnya dimanapun—cukup di kepalanya saja.
“Boleh saya ambil motor di sekolah, Pak?” tanya Kalev pada petugas yang mendampinginya.
“Ya, tapi setelah itu kami tetap akan mengawasi dari belakang.”
Terserah, ucap Kalev dalam hati seraya mengikuti petugas itu menaiki mobil polisi. Ia melirik sekilas pada parkiran dan menemukan mobil Mama. Itu artinya Mama juga berada di tempat itu.
“Kalev, kau sudah keluar.” Tiba-tiba terdengar suara yang familiar. Riga ternyata tidak kembali ke sekolah. Ia berdiri bersender pada dinding—melindungi diri dari terik matahari sore. Ia mengenakan hoodie berwarna biru menutupi seragam putihnya. “Kau baik-baik saja???” desaknya dengan wajah khawatir yang tulus.
Kalev menghentikan langkahnya, tapi ia tidak menoleh ke belakang maupun memberikan respons apapun. Ia pura-pura tidak mendengar lantas mengikuti langkah petugas masuk ke dalam mobil polisi. Mungkin perkataan Darius ada benarnya juga, tidak seharusnya Riga berteman dengan seorang pembunuh seperti dirinya.
Sementara itu, Riga menatap mobil polisi itu pergi menjauh. Ia teringat raut wajah Kalev yang dingin dan penuh kebencian. Wajah itu seolah tidak mengenalnya—ekspresi wajah yang pernah ditunjukkan Kalev setahun yang lalu sebelum mereka mulai berteman.
Riga menunduk. Ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya.
I thought we
needed each other?