Constellations ─ Late Night Rendezvous
Mei 20, 2025
Chapter 1
Late Night Rendesvouz
This is a slice-of-life story about four teenagers in a small seaside town who aligned at one time and dispersed into remnants of memories.
────────────
September 2017
Malam telah larut. Bintang gemintang menghiasi angkasa. Jalan raya tampak
sepi. Hanya sesekali truk antar provinsi melewati jalur dengan roda besar yang
menggetarkan aspal. Lampu berwarna kuning temaram menjadi sumber penerangan
selain sinar perak rembulan yang menggantung di langit.
Aroma laut yang asin terbawa angin dan menggelayut di udara. Suara ombak
terdengar dari lokasi bangunan tua terbengkalai yang menjadi tempat pertemuan
rahasia mereka malam itu—bersamaan dengan suara cat pilox yang disemprot ke
tembok untuk merangkai grafiti. Bau cat pilox yang menguar di udara bercampur
dengan aroma asin lautan.
“Owen, berhenti. Aku mendengar sesuatu.”
“Polisi?” tanya Owen cuek tanpa menghentikan gerakan tangannya yang sibuk
mencoret dinding dengan cat pilox. Hanya di malam hari ia bisa melampiaskan
hobinya yang terpendam. Di siang hari, ia hanya mampu mencoret kertas dengan
spidol posca.
“Bukan.” Ia bisa yakin itu bukan polisi karena tidak melihat tanda-tanda mobil patroli. “Bentar biar aku cek.” Perempuan dengan rambut biru itu melesat ke balik gedung terbengkalai, mendeteksi arah sumber suara langkah kaki yang mendekat, dan menatap ke kegelapan malam. Ia mendengar suara langkah kaki tapi tidak dengan bayang-bayang. Atau dia salah dengar? Tempat itu terlalu gelap ….
Ia hampir terkena serangan jantung ketika kedua bahunya dipegang oleh
seseorang dari belakang.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
Xeva berbalik dan menghela napas ketika melihat sosok di hadapannya.
Sosok itu mengenakan hoodie berwarna gelap, topi, dan masker berwarna senada.
Mereka teman sekelas.
“Kalian pergi terlalu lama sampai kukira kalian pulang duluan,” gerutu
Xeva sambil bersedekap—berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
“Pesanannya Owen banyak.” Zahira menunjuk sekantong tote bag minimarket
yang berisi pesanan mereka. Tote bag berisi makanan dan minuman itu dibawa oleh
pemuda tinggi menjulang di sampingnya. Pemuda itu mengulum permen stik di
mulutnya.
“Kalian parkir di mana?” tanya Xeva pada Zahira karena tidak melihat
tanda-tanda mobil pick up milik Yegor—nama pemuda yang tinggi menjulang itu.
“Enggak jauh dari sini,” jawab Zahira yang tidak memberikan jawaban. Xeva
sudah terbiasa dengan cara berbicara Zahira.
Lantas mereka kembali ke dinding yang menjadi kanvas Owen malam itu.
Tulisan grafiti yang terpampang di dinding tampak tajam dan mencolok.
Pekerjaannya hampir selesai.
“Boleh coba ngga?” tanya Zahira sambil mengambil salah satu botol cat
pilox. Ia sudah mengarahkan cat tersebut pada dinding dengan percaya diri
berlebihan.
Owen langsung mengibaskan tangannya. “Jangan di mahakarya gue!”
“Why though? Aku cuma mau mempertegas garis yang di sini.” Ia menunjuk ke salah
satu huruf.
Owen hanya mengerang. Ia mengacak rambut buzz cutnya.
Terlanjur. Zahira sudah menyemprot warna itu ke salah satu huruf dan
ternyata perbuatannya justru merusak hasil karya Owen karena ia tidak lihai
membuat garis lurus.
Owen tampak murka. Tapi tidak banyak ucapan yang keluar dari mulutnya. “You ruin my art.” Ia hanya melangkah
penuh ancaman mendekati Zahira, menatap tajam, dan memperbaiki tulisan
grafitinya.
“I just add more taste.” Zahira
menyeringai sambil berniat mencoret dinding lagi.
“Argh, gue jadi harus mengulang lagi di bagian ini.”
“It looks better with my touch.”
“Lo enggak ngerti seni.”
“Hah?!”
Sementara kedua anak itu bertengkar, Xeva dan Yegor duduk bersila di atas
trotoar yang bersih dengan potato chips di antara mereka.
Yegor yang memperhatikan dua bocah yang hampir saling lempar kaleng cat
pilox. Tanpa perlu mendengar apa yang didebatkan Owen dan Zahira, ia bisa
mengerti masalahnya. Mereka berdua memang selalu seperti kucing dan anjing.
Herannya mereka sangat sulit dipisahkan.
Xeva sudah kebal dengan keributan dua anak itu. Jadi ia hanya membiarkan
mereka bertengkar soal siapa yang punya jiwa seni dan tidak.
“Tumben kamu bisa keluar malam,” ucap Xeva pada Yegor menggunakan
bisindo. Yegor adalah teman tulinya dan mereka teman masa kecil yang saling
menyaksikan satu sama lain tumbuh. Xeva masih teringat tinggi badan mereka yang
pernah sejajar sewaktu masih SD sampai tiba-tiba Yegor menyalip tingginya di
SMP.
“Keluargaku keluar kota,” jawab Yegor verbal. Meskipun tuli kongenital,
ia bisa berbicara dengan jelas layaknya orang dengar pada umumnya berkat terapi
wicara yang dilakukannya sejak ia bisa mengingat. Ia sangat mahir membaca
gerakan mulut seseorang sehingga orang-orang di sekitarnya seringkali lupa dia tuli.
“Oh ya? Kok kamu enggak diajak?” tanya Xeva lagi.
“Aku disuruh jaga rumah.” Yegor mengangkat bahu—setengah berbohong.
“Biasanya kan kamu yang jadi sopir.” Xeva sudah sangat kenal dengan keluarga Yegor.
Tiba-tiba arah pandang Xeva tertuju pada
sebuah objek yang melaju di jalan raya. Lampu rotator berwarna merah dan biru
berpendar di atas kendaraan itu. Mobil patroli itu semakin mendekat. “Ada polisi!” serunya seraya bergegas membereskan makanan mereka ke dalam tote bag tanpa peduli isinya yang bertumpahan.
Yegor menoleh ke belakang dan melihat hal yang sama dengan yang dilihat
Xeva. Mereka berdua bergegas membantu Owen memasukan kaleng-kaleng cat pilox ke
dalam ransel.
“Belum kelar!” keluh Owen sementara tangannya masih bergerak
menyelesaikan sentuhan terakhir di grafitinya. Perhatiannya terfokus pada
karya di hadapannya.
“CEPAT!” bentak Zahira memarahi Owen dan merebut paksa cat pilox yang
dipegang sepupunya.
“Mereka mendekat!” seru Xeva seraya memasukkan cat pilox terakhir ke
dalam tas ransel Owen lantas mereka berlari menjauh dari dinding gedung
terbengkalai itu. Keempatnya berlari di atas jalan raya
“Yegor, di mana mobil lo?!” tanya Owen dengan napas tersengal tanpa menoleh ke arah Yegor. Tentu saja Yegor tidak menanggapi.
“Ikut aku!” seru Zahira berlari paling depan menuju ke sebuah gang karena
dia yang pergi mencari makanan bersama Yegor beberapa menit yang lalu.
Keempatnya berlari di bawah cahaya kuning temaram lampu jalanan,
sementara mobil patroli mendekati tempat mereka berada tadi. Mereka terus berlari di bawah bayangan pohon sambil sesekali menoleh ke belakang. Strada dua kabin
milik Yegor terparkir di depan halaman rumah kosong yang gelap. Mereka
terburu-buru masuk ke dalam mobil. Yegor dan Xeva duduk di jok depan, sementara
Owen dan Zahira duduk di belakang sesuai tempat duduk mereka yang biasanya.
Xeva menatap keluar dan mendengar mobil patroli itu berhenti di lokasi
Owen berbuat vandalisme karena suara sirinenya yang dekat. Para polisi itu turun dari kendaraan mereka. Ia memegang bahu
Yegor dan memberi isyarat untuk tidak menstarter mobil. “Jangan sekarang,” bisiknya.
Yegor mengangguk. Meskipun di bawah cahaya lampu jalan raya yang
remang-remang, ia bisa membaca gerakan bibir Xeva. Tapi kemudian dia mendorong
kepala Yegor ke bawah untuk menundukkan kepalanya karena Yegor tentu tidak mendengar suara
langkah kaki polisi yang mendekat di luar.
“Ouch!” Kepala Yegor terbentur pendingin mobil. Ia mengusap keningnya.
Kemudian ia melihat berkas cahaya senter memasuki mobil. Semoga mereka tidak menengok ke dalam, ucapnya dalam hati.
“Maaf,” bisik Xeva sambil
mengatupkan tangan karena sama sekali tak berniat membuat kepala Yegor
terbentur.
Mereka berempat diam menunduk hingga berkas cahaya senter itu lenyap.
Kemudian, mereka baru menegakkan kepala setelah mobil patroli itu meninggalkan
lokasi vandalisme karya Owen.
“Baru kali ini ada polisi sampai turun mengecek,” ucap Owen sambil
meregangkan tangannya yang pegal setelah sejam penuh mengerjakan grafiti. Ia
melepas masker dan topi hitam yang dikenakannya.
“Bukannya kamu pernah kepergok polisi sebelumnya?” Zahira menatap
sepupunya yang selalu berbuat nekat. Mereka menjaga rahasia itu dari
para orang tua mereka yang bersaudara. Hanya barisan sepupu yang mengetahui
fakta soal Owen pelaku vandalisme di bangunan publik dan properti terbengkalai
yang ditinggalkan pemiliknya. Ia memang tergabung dalam komunitas rahasia pelaku vandalisme. Kenakalan terparahnya adalah mencoret
dinding taman kota.
“Yeah tapi enggak sampai dikejar kayak tadi,” jawab Owen tanpa beban.
“Kita ke mana sekarang?” tanya Yegor seraya menstarter mobilnya.
“Tempat biasa,” jawab Zahira spontan.
Xeva meneruskan jawaban Zahira pada Yegor dan mobil pun melaju ke tempat
biasa mereka menghabiskan waktu bersama—melarikan diri dari tugas, pekerjaan rumah,
membicarakan rahasia, dan menonton kapal-kapal ferry bersandar di area lepas
pantai. Lokasi "tempat biasa" berada di pinggir pantai persis dan berhadapan dengan
bangunan masjid terapung yang terkenal di kota kecil itu.
Ketika sampai di lokasi tujuan, mereka berempat keluar dari mobil dan
menggelar tikar di atas area kargo terbuka yang ada di belakang kabin. Xeva
membawa keluar tote bag berisi
makanan ringan yang tumpah akibat dikemas terburu-buru saat mobil patroli
mendekat. Tak lupa mereka menyalakan lampu emergency
untuk sumber penerangan yang dipasang di atas kabin karena area tersebut
jauh dari jangkauan lampu jalanan.
Tanpa bicara, mereka berempat setuju kejadian barusan menegangkan. Belum pernah mereka menjadi target pengejaran polisi. Itu pertama kalinya mereka melakukan hal nekat bersama. Apa jadinya kalau polisi memergoki mereka berbuat vandalisme tengah malam? Mereka hanya anak SMA kelas 12 yang beberapa bulan lagi menghadapi Ujian Nasional dan SBMPTN. Seharusnya kelas 12 jadi momen pencerahan karena lengah sedikit bisa jadi berpengaruh pada masa depan mereka.
Salah satu dari mereka terlihat senewen.
“Sorry,” ucap Owen yang duduk
paling pinggir area kargo mobil pick up.
Suaranya terdengar penuh penyesalan. “Gue hampir membuat kalian celaka. Tadi
itu bahaya. Untung aja polisi enggak sampai menangkap kita. Kalian enggak perlu
ikut gue bikin grafiti lagi.”
“Bukan salahmu, kita juga yang mau ikut kamu coret-coret dinding,” balas
Xeva yang seperti biasa duduk di sisi Yegor.
“Tadi kamu enggak nulis nama kan?” tanya Zahira dengan raut curiga pada
sepupu yang tanggal lahirnya sama dengannya.
“Enggak sempat.”
“Haa? Memang kamu biasa nulis nama?”
“Cuma nulis inisial R.” R adalah inisial nama belakang Owen. Ravenio. “Kalian mau maafin gue kan?”
Matanya mengerling pada laut di belakang mereka—pertanda ia sangat canggung
mengatakan itu. Meskipun sudah menetap di kota itu selama tiga tahun, Owen
masih tidak bisa menghilangkan logat Jakartanya.
“Yaaa, kita maafin selama kamu traktir makan siang kita di sekolah selama seminggu ke depan.” Xeva terkekeh yang disambut dukungan dari Zahira dan Yegor.
“Oh iya, Yegor. Terima kasih—”
Owen berterima kasih dalam bisindo—ujung tangan kanan mendekat ke dagu lalu
bergerak menjauh dari wajahnya. Kemampuan berbahasa isyaratnya masih terbatas
untuk kata-kata sederhana jadi ia melanjutkan dengan berkata, “Kalau enggak ada
mobil lo, mungkin kita udah ketangkep polisi.”
Di antara mereka berempat, memang hanya Yegor yang bisa mengendarai mobil.
“Bukan masalah. Yang tadi lumayan seru kok,” balas Yegor secara verbal dan
bisindo. Tanpa mereka menggunakan bahasa isyarat, Yegor sudah sangat terbiasa
membaca gerakan bibir.
“Seruuu kamu bilang?! Aku hampir kesandung batu pas lari! Lagian kenapa
parkir mobilnya jauh sih?!” Kedua manik mata Xeva tampak berapi-api di bawah
sinar rembulan. Rambut birunya tertiup angin.
“Biar aman dan enggak kelihatan
dari jalan raya,” jawab Yegor santai. Tadi ia memang memarkirkan mobil agak
jauh dari lokasi bangunan terbengkalai.
“Tadi seru kayak di film-film.” Zahira nyengir lebar. “Kapan coret-coret dinding lagi, Wen?”
Owen balas menyeringai penuh rencana. “Yakin mau ikut lagi?”
“Jangan ngadi-ngadi. Kalian mau kejadian kayak tadi?” Xeva berusaha menyadarkan partner in crime yang lupa diri itu.
“Aku enggak yakin bisa ikut lagi. Ada jam malam di rumah,” jelas Yegor
sambil duduk bersila dan bertopang dagu. Ia menatap teman-temannya yang selalu
ribut. Meskipun tidak bisa mendengar keributan mereka, Yegor selalu menikmati
momen itu dan membaca perdebatan mereka yang tidak bisa didengarnya.
“Cuma malam ini enggak ada jam malam?” tanya Zahira penasaran. Mereka
sebenarnya tahu alasan Yegor memiliki jam malam. Yegor tinggal di rumah
keluarga besarnya yang terdiri dari nenek, dua tante, mamanya, dan empat adik
perempuannya. Dia satu-satunya laki-laki di rumah itu.
“Keluargaku lagi liburan keluar kota,” jelas Yegor singkat.
“I see,” kata Zahira sambil
melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 00.15 dini hari.
“Pantes bisa keluar lewat tengah malam,” kata Owen sambil merogoh saku
lantas mengeluarkan sebungkus sampoerna dan pemantiknya. Tetapi, Zahira sudah
merebut bungkus itu lebih dahulu sebelum Owen sempat mengambil sebatang rokok.
Zahira terlihat sangat berang. “Mama kamu lagi sakit batuk dan kamu malah
merokok?!” Ia teringat dua hari yang lalu melihat Tante Laras yang batuk-batuk
saat berkunjung ke rumah. Tante Laras adalah adik ayahnya sekaligus mamanya
Owen.
“Merokoknya kan di luar!” balas Owen berusaha menggapai kembali sumber
nikotinnya dari tangan Zahira yang terangkat tinggi.
“Asapnya bisa nempel di baju.”
“Sekali ini aja. Gue udah enggak merokok seminggu.”
“ENGGAK!” Lantas Zahira melompat turun dari bak pick up dan bergegas ke tong sampah hijau terdekat yang ada di
pinggir jalan.
Owen mengejar sepupunya. “Zaah, jangan dibuang! Plastiknya masih belum
terbuka!”
Xeva membiarkan kedua anak itu saling berkejaran layaknya anak kecil,
lalu menatap ke arah lepas pantai tempat kapal-kapal ferry sedang bersandar.
Dari kejauhan juga tampak para nelayan
yang sedang menangkap ikan untuk dijual di pelelangan keesokan paginya.
Bayang rembulan terpantul di atas permukaan laut yang hitam. Dagu gadis
itu menempel pada pinggir bak kargo. Ia menikmati alunan lembut ombak yang
menghempas pembatas beton yang membatasi jalan dan laut.
Sementara itu Yegor menyenderkan punggungnya pada pinggiran bak mobil pick upnya. Ia menatap langit tanpa awan yang bertabur bintang. Ia mengenali banyak rasi bintang dan favoritnya adalah rasi bintoeng pajekko dalam bahasa Bugis. Nama lainnya adalah rasi bintang orion. Rasi yang menandakan arah Barat.
Papa yang mengajarkannya cara membaca rasi bintang dan memaknai setiap gugus bintang di cakrawala. Ia merindukan Papa yang sudah bertahun-tahun berlayar di antah berantah. Does my existence ever pass in your mind, Dad?
Dalam hening, Xeva menoleh pada Yegor. Ia memandang rambut pirang Yegor
dan irisnya yang berwarna hijau. Laki-laki itu sudah dikenalnya sejak ia mulai
menginjak sekolah dasar. Mereka berbagi masa lalu dan sudah saling mengenal
terlalu dalam.
“Malam ini apakah akan
jadi abadi?” bisiknya.
Yegor yang merasa ditatap dan dibicarakan sesuatu mengerling ke
sampingnya. “Apa?” tanya Yegor dengan suaranya yang dalam. Kenihilan satu indra
bukan berarti ia kesulitan menyadari keberadaan sekelilingnya, justru keempat
indranya yang lain menjadi sangat tajam terutama penglihatannya.
Xeva menggelengkan kepalanya.
“Kamu habis bilang sesuatu?” tanya Yegor mendekatkan kepalanya pada wajah
Xeva yang membuat Xeva spontan mundur hingga ia bisa menghirup aroma mint dan karamel dari bibir Yegor. Mata hijau yang teduh itu mengerjap penasaran.
Helai-helai rambut pirangnya jatuh di keningnya. Yegor tampak berpendar seperti
bulan perak yang bersinar malam itu.
Pipi Xeva tampak bersemu. Kedua netranya mencari objek lain yang bisa
mengalihkan perhatiannya. Permen yupi. Biskuit genji. Chitato. Astor. Ia
mengabsen makanan ringan yang dibeli. “Aku diam dari tadi!” serunya.
Yegor menyeringai. “Aku memang tuli tapi bukan berarti aku tidak bisa
melihat kamu bilang sesuatu.”
Pada akhirnya Xeva menghela napas. Dia kalah. “Kamu bakal cringe kalau dengar aku kepikiran buat
puisi dari kejadian malam ini.”
Yegor menggelengkan kepalanya. Ia tidak pernah menganggap ide apapun dari
Xeva sebagai sesuatu yang ganjil. “Aku akan dengar.”
“Sebentar, aku masih memikirkannya.” Xeva mengetukan jari telunjuk pada
dagunya. Mata hitamnya yang selalu berbinar melihat ke taburan bintang di
atasnya. Taburan bintang itu terefleksi di matanya. Terkadang ia suka menulis
puisi meskipun tidak mahir. Seperti biasa ia membawa buku catatan kecil dan
pulpen mini di saku.
Jari tangannya yang mungil sibuk menuliskan bisikan suara di benaknya
yang menyeruak tumpah.
Sambil menahan tawa karena merasa idenya menggelikan, ia menatap Yegor
yang mengamatinya sedari tadi. “Janji jangan menganggapku aneh!”
“Yaaa, aku bakal memasang wajah tanpa ekspresi.” Yegor ikut menahan
senyum.
Xeva menghela napas kemudian kalimatnya mengalir di udara sementara Yegor
membaca setiap gerak bibir Xeva agar ia mengerti.
“Hamparan cakrawala semakin redup.
Rembulan dan bintang saling berselaras.
Samudra mereguk binar perak.
Senyap mengalun lirih.
Malam ini apakah akan jadi abadi?"
────────────
Tentu. Aku akan
mengingat malam ini, tapi apakah kamu akan mengenangnya juga?
────────────
To be continued
About their profiles
Full name: Xevara Ellena Stefany
Nickname: Xeva
D. O. B.: 3 April 2001
Birth Place: Makassar
Blood Type: B+
Pronoun: she/her
Height: 172 cm
Full name: Yegor Dionysius Tjakra
Nickname: Yegor
D. O. B.: 29 Juli 2000
Birth Place: Novosibirsk (he is half
Indo/half Russian)
Blood Type: AB-
Pronoun: he/him
Height: 189 cm
Full name: Zahira S. L. Ghassan
Nickname: Zahira
D. O. B.: 13 November 2000
Birth Place: Jayapura
Blood Type: O+
Pronoun: she/her
Height: 163 cm
Full name: Owen Ravenio
Nickname: Owen
D. O. B.: 13 November 2000
Birth Place: Balikpapan
Blood Type: B+
Pronoun: he/him
Height: 180 cm
0 comments