Laut

November 20, 2016

Laut


Hari Sabtu yang cerah. Langit berwarna biru di atas Kota Yogyakarta terlihat bersih dari awan. Cuaca hari ini benar-benar pas bagi mereka yang ingin pergi berjalan-jalan. Di depan pagar sebuah rumah bernuansa minimalis, terlihat tiga remaja berdiri di samping sebuah mobil Avanza silver yang akan membawa mereka ke pantai.
Namun wajah ketiga anak itu berbanding terbalik dengan cuaca cerah hari ini.
“Amanda sama Rylan di mana sih? Kok belum ke sini juga?” gerutu Vikanama cewek berambut panjang itu. Ia yang paling kesal karena pergi ke pantai hari ini adalah idenya.
“Sabar…” kata Eliza. Di antara lima sekawan itu, dia yang paling sabar dalam berbagai keadaan. Bahkan selama Vika mengenal Eliza, dia belum pernah melihat Eilza marah.
“Kalau kayak gini caranya, bisa-bisa gagal,” kata Trevor. Dia yang tertua di antara mereka berlima dan merupakan kakak sepupu Vika. Dalam perjalanan nanti, dia yang akan menyetir.
“Enggak! Pokoknya harus jadi!” kata Vika bersikeras.
Baru saja dibicarakan, tiba-tiba terdengar suara motor melaju dari ujung gang yang menuju rumah Vika. Vika langsung menengok ke arah motor yang sedang melaju kencang itu. Dan ia yakin cowok berhelm hitam itu adalah Rylan. Vika langsung bertanya-tanya di mana Amanda? Ternyata cewek itu ada di belakang Rylan.
“Akhirnya… datang juga,” kata Vika sambil tersenyum lega.
Begitu sampai di rumah Vika, Rylan langsung memarkirkan motornya di garasi rumah Vika.
“Tahu enggak? Kita hampir karatan nungguin kalian berdua,” kata Vika pada Amanda yang baru saja turun dari motor. Rylan berjalan di belakangnya.
Amanda hanya nyengir menjawab omelan Vika. Cewek bernama Vika itu memang sangat perfeksionis dan kadang menyebalkan. Namun Amanda, Rylan, Eliza, dan Trevor tahu kalau Vika sebenarnya baik.
Sorry ya. Aku juga capek nungguin Amanda dandan di rumahnya,” kata Rylan.
Amanda langsung meninju lengan Rylan. “Enak aja! Kamu juga ketiduran kan? Makanya telat!” balasnya.

Rylan meringis. Amanda benar-benar meninjunya.
“Jadi berangkat enggak nih?” tanya Trevor menginterupsi obrolan kecil itu. Cowok tinggi itu sudah siap untuk menyetir dari tadi. “Udah jam setengah 9, nih… Sampai sana mau jam berapa?”
“Oke, oke! Ayo berangkat!” kata Amanda sambil berjalan ke mobil. Bahaya kalau Trevor sudah marah.

**

Tujuan kelima anak remaja itu adalah Pantai Kukup. Pantai Kukup adalah salah satu pantai di Jawa Selatan yang berada di daerah Gunung Kidul, Wonosari. Pantai ini punya panorama yang indah dan asri. Jarak tempuh dari Yogyakarta memerlukan waktu 2 jam.
“Trev, kamu tahu jalannya kan?” tanya Amanda. Dia seangkatan dengan Trevor. Di antara mereka berlima, hanya Amanda dan Trevor yang sudah kelas 12. Vika dan Rylan kelas 11. Dan si pendiam Eliza masih kelas 10. Walau mereka berbeda umur dan berbeda kelas, mereka tetap bisa akrab.
“Tahulah,” jawab Trevor.
“Oke. Kalau enggak tahu jalan, tinggal tanya Mbah Google atau tanya orang,” kata Amanda.
Trevor tertawa kecil. “Haha… Aku udah sering ke sana.”
Suasana mobil lumayan heboh. Amanda memutar musik keras-keras, membuat Vika dan Rylan ikut bernyanyi. Sementara itu, Eliza menjadi tukang rekam mereka. Kata Vika, video itu untuk mengisi vlog-nya.
Trevor hanya tersenyum menikmati keramaian ini. Sebenarnya ia bukan tipe orang yang suka berada di antara keramaian, namun kalau sudah bersama mereka baginya bukan masalah.
Baby, baby, baby, oh~ like baby, baby, baby, oh~”
 “Hahahaha! Udah ah, Lan! Suaramu fals banget!” kata Vika sambil tertawa keras. Ia mendorong tubuh Rylan.
“Hahahaha! Sana main gitar aja!” kata Amanda ikut tertawa.
Suara fals-nya Rylan sukses membuat mereka berempat tertawa bareng.
“Oh iya, aku lupa bawa gitar!” kata Rylan setelah berhenti menyanyi.
“Yah… Kok lupa sih?” kata Vika. Ia, Eliza, dan Rylan duduk di jok kedua. Sementara di belakang mereka sebagai tempat menyimpan tas-tas dan perbekalan. Ibu Vika sudah memasakkan banyak makanan untuk mereka semua.
Di sekolah, Rylan mengikuti ekskul band dan ia menjadi gitaris di band tersebut.
“Aku bawa kok,” kata Trevor.
“Nah… Sip!” Vika mengacungkan jempolnya.
Untuk beberapa saat mereka berlima hanya diam menikmati perjalanan. Pemandangan kota sudah berganti dengan pemandangan pepohonan yang rindang. Eliza sudah tertidur, Rylan bermain game di handphone-nya, sementara Vika hanya diam menikmati perjalanan.
Amanda memilih untuk mendengarkan musik slow sambil menikmati perjalanan. Sudah lama sekali ia tidak pergi berjalan-jalan. Selama 6 bulan kemarin, ia sibuk belajar. Ia sudah kelas 12, jadi harus lebih banyak belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi UN alias Ujian Nasional.
Begitu pula Trevor, yah, walau begitu ia masih sering bermain sepak bola. Ia adalah salah satu pemain terbaik di tim sepak bola sekolah. Ia bahkan sering ke rumah Vika untuk minta diajari. Mereka masih saudara sepupu, jadi bukan masalah kalau Trevor sering main ke rumah Vika. Vika pun juga tidak mempermasalahkannya, ia malah senang punya teman di rumah. Baginya Trevor sudah seperti kakak kandungnya.
Vika terdiam dan memikirkan apakah 10 tahun lagi mereka masih bisa seperti ini? Apakah 10 tahun lagi mereka masih saling mengenal? Apakah 10 tahun lagi mereka masih bisa bertemu? Vika sudah merasa nyaman berteman dengan keempat sahabatnya.
“Trev, habis SMA mau masuk ke mana?” tanya Vika tiba-tiba. Anyway, ia sudah terbiasa dari kecil memanggil Trevor tanpa embel-embel ‘Mas’. Trevor lahir di bulan Oktober, sedangkan Vika lahir di bulan Januari tahun berikutnya. Singkatnya mereka hanya berbeda 3 bulan.
“Pengennya sih, lanjut ke UNDIP. Why?” jawab Trevor.
“Enggak apa-apa. Cuma nanya,” balas Vika. “Kalau Amanda?”
“Kedokteran UGM,” jawab Amanda mantap. “Kalau Vika?”
Vika mengangkat bahu sambil meringis. Kedua temannya sudah tahu tujuan mereka selanjutnya. Sementara dirinya belum sama sekali. “Belum tahu.”
“Kalau aku pengennya UI,” celetuk Rylan dari belakang.
“Enggak ada yang nanya, woy!” kata Vika.
Rylan hanya nyengir. Ia mem-pause game-nya. “Hehe… Lagi bicarain Universitas ya?”
“Vika tuh yang mulai,” kata Amanda. “Udah kelas 11 semester 2 harusnya udah tahu dong mau ke mana.”
Untuk saat ini Amanda terlihat dewasa. Karena sifatnya yang childish dan suka bercanda, sering membuat Amanda tak terlihat seperti anak 17 tahun.
“Yah… Aku cuma lagi mikir. Kira-kira 10 tahun ke depan, kita masih bisa kumpul kayak gini lagi atau enggak,” kata Vika.
Sontak ketiga temannya terdiam. Benar juga kata Vika. Apakah persahabatan ini bisa tahan lama? Atau bakal berhenti saat mereka lulus? Tidak ada yang tahu seberapa lama persahabatan mereka bisa bertahan.
“Heh, belum sampai laut udah bikin baper!” kata Amanda.
“Tahu, nih!” sahut Rylan sambil mendorong Vika yang duduk di sebelahnya persis.
“Ada apa sih?” tanya Eliza tiba-tiba. Ia baru bangun. Terkadang, di antara mereka Eliza jadi terlihat seperti anak kecil karena umurnya yang paling muda. Vika dan Eliza sudah berteman sejak SD. Sedangkan Rylan baru sejak SMP, Vika dan Rylan bertemu karena berada di satu ekskul yang sama yaitu ekskul karate. Sejak saat itu Vika berteman dengan Rylan dan Vika pun mengenalkan Rylan pada Eliza.
Nothing,” jawab Vika sambil tersenyum.
Tiba-tiba mobil Avanza silver yang mereka tumpangi berjalan lambat. Jalannya jadi seperti orang bicara gagaptersendat-sendat. Kemudian mesinnya mati di tengah jalan.
“Trev! Mobilnya kenapa?!” tanya Vika panik.
“Mogok hah?” tanya Amanda ikut panik.
Kedua cewek itu memandang Trevor dengan ekspresi panik. Trevor yang sudah sering menyetir mobil tersenyum hanya untuk menenangkan kedua cewek panikan itu. “Tenang…” Cowok tinggi bertubuh atletis itu menekan tombol lampu bahaya. Kemudian mencoba men-starter mobilnya lagi.
“Mobilnya habis bensin?” tanya Eliza dengan polosnya.
Trevor menggeleng sambil terus men-starter mobil. Sebelum pergi, mobil ini sudah diisi bensi penuh.
“Coba cek mesinnya,” usul Rylan.
Trevor pun melepas sabuk pengamannya dan turun dari mobil disusul Rylan. Mobil mereka benar-benar berhenti di tengah jalan. Bahkan beberapa mobil di belakang mereka mulai membunyikan klakson ke arah mereka. Hari ini jalanan cukup padat.
“Aduh… Gimana ini?” keluh Vika.
“Kalau mesinnya enggak nyala-nyala gimana?” kata Amanda.
“Pasti Kak Trev bisa benerin mobil kok,” kata Eliza. Lagi-lagi ia yang paling tenang di antara yang lain.
Sudah hampir 15 menit, ketiga cewek itu berada di mobilmenunggu Trevor dan Rylan memperbaiki mesin mobil. Beruntung ada seseorang yang membantu mereka sehingga tak sampai setengah jam, mobil mereka dapat distarter kembali.
Trevor menghela napas lega. “Matur nuwun, Pak!” ucapnya pada seorang bapak yang sudah membantunya memperbaiki mobil. Ternyata ada masalah dengan aki mobil sehingga mobil tidak bisa distarter.
Trevor dan Rylan pun kembali ke mobil dengan peluh di wajah. Mobil mereka mogok di tengah jalan di siang hari bolong. Matahari bersinar terik saat mobil itu mogok.
“Untung enggak perlu dorong mobil,” kata Rylan sambil mengipas dirinya dengan kertas yang ia temukan sembarang di mobil.
“Padahal kita mau kok dorong mobil,” kata Vika.
“Kalau aku sih, no,” celetuk Amanda. Ia adalah tipe orang yang tidak suka berpanas-panasan di bawah sinar matahari.
“Mobilnya enggak bakal mogok lagi kan?” tanya Eliza.
“Bakal,” jawab Trevor. “Mungkin lebih parah. Soalnya kita mau nanjak.”
WHAT?! Trev, yang bener aja!”
“Kalau dorong mobil nanjak, aku enggak mau!”
Trevor tertawa. “Enggaklah.” Ia tak menyangka bisa berteman dengan orang-orang berisik ini. Sebelum mengenal yang lain, ia hanya mengenal Vika yang dari kecil sudah cerewet dan banyak ulah. Bersama Vika, ia bisa belajar cara berteman dan mempunyai banyak teman.

**

Pukul 11 siang, mereka sampai di Pantai Kukup. Begitu sampai mereka langsungb bisa mendengar suara gemuruh ombak. Dari tempat parkir, terlihat gulungan ombak pantai Selatan Jawa yang bergerak mendekati garis pantai. Kemudian ombak itu pecah disusul ombak lain di belakangnya. Angin laut bertiup sepoi-sepoi membelai rambut mereka.
“Huwaaa! Lauuut!” Vika langsung berlari ke arah pantai.
“Oy! Barang-barangmu, Vik!” Tapi, Trevor memanggilnya. Vika cemberut ketika berbalik untuk mengambil tas ransel dan tikar untuk digelar di pinggir pantai. Cewek itu terlalu excited untuk melihat pantai. Karena pantai adalah tempat favoritnya dari seluruh tempat yang ada di dunia. Dari kecil ia sangat suka pergi ke pantai atau melihat laut.
Setelah mengambil barang-barang di bagasi, mereka berlima berjalan ke pinggir pantai untuk mencari tempat menggelar tikar. Eliza langsung menemukan tempat yang cocok bagi mereka. Di bawah naungan payung besar, merea menggelar tikar dan menaruh tas-tas berisi jajan dan makanan.
“Makan dulu, yuk!” ajak Amanda.
“Baru aja mau ngajak. Udah laper gara-gara benerin mobil,” kata Rylan.
Amanda membuka tas berisi perbekalan yang sudah disiapkan Ibu Vika. Mereka berempat langsung takjub melihat banyaknya makanan yang dibawakan Ibu Vika. Makan siang mereka, kue brownies, puding, bahkan potongan buah semangka dan nanas ada di situ!
“Gila! Vik, ini banyak banget!” komentar Rylan.
“Iya. Ibuku lagi hobi masak,” kata Vika cuek.
Brownies-nya enak, Vik!” kata Amanda. “Kenapa kamu enggak pernah bawa brownies ke sekolah? Aku rela ke kelasmu tiap hari.”
“Ibuku jualan brownies. Jadi kalau mau makan brownies Ibuku harus bayar,” kata Vika. Ia senang masakan Ibunya dipuji. “Kecuali hari ini.” Vika tersenyum ketika melihat wajah panik teman-temannya.
Trevor tersenyum miring. “Brownies udah biasa. Hampir tiap hari di rumah Vika ada kue. Kalian pasti belum pernah coba rainbow cake buatan Ibunya Vika kan?”
Sontak Trevor langsung ditatap iri oleh Rylan, Amanda, dan Eliza.
“Iya deh yang sering makan kueee!” sorak Amanda.
“Enggak usah pamer!” sorak Rylan ikut-ikutan. Rasanya mereka ingin melempari Trevor dengan pasir. Tapi mereka takut pasirnya mengenai makanan.
Trevor tertawa.
Mereka pun makan bersama sambil menikmati pemandangan laut.

**

Setelah makan, mereka berdiam diri sejenak. Eliza malah hampir tidur lagi. Angin laut yang sejuk dan udara yang hangat membuatnya ingin tidur terus. Rambut pendek Eliza yang dihiasi jepit rambut tertiup angin sepoi-sepoi. Berbanding terbalik dengan Vika yang rasanya sudah ingin berlari menerjang laut. Sejak berangkat, ia sudah memakai celana pendek berwarna biru dan kaus berwarna pink agar ia bisa langsung bebas bermain di laut. Rambut panjangnya ia kuncir kuda.
“Lan, renang yuk!” ajak Vika pada Rylan.
“Hey, kenapa cuma Rylan yang diajak?” sahut Amanda. Hari ini ia memakai dress berpola bunga berwarna oranye dan cardigan berwarna krem. Rambut panjang sebahunya yang berwarna cokelat, ia ikat setengah.
“Kupikir kalian ngantuk,” jawab Vika dengan polosnya.
“Kita juga mau berenang!” kata Amanda mewakili semuanya.
Vika terkekeh. Ia melirik muka Eliza yang sepertinya sudah setengah tertidur. “Eliza, kamu mau tidur atau main di laut?”
“Aku ikut kalian kok,” ucap Eliza. Ia tersenyum. Di antara mereka, dia adalah adik kecil yang harus dijaga.
“Kalau gitu, tunggu apa lagi?” kata Rylan sambil nyengir.
Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang mengarah ke mereka. Tak peduli juga dengan matahari yang bersinar di langit sana, ataupun awan-awan yang berarak di atas mereka. Mereka berlari menuju laut dan hanya kebahagiaan yang menyelimuti mereka.

**

“Eh, bagaimana kalau kita main gamei?” usul Vika tiba-tiba ketika mereka sedang asyik bermain air.
Game apa?” tanya Rylan sambil mendekat.
“Kita duduk melingkar terus masing-masing dari kita harus memberi tahu kesan pertamanya ketika bertemu seseorang di samping kanannya. Kalau enggak memberi tahu, kita lemparin bola pasir.”
“Eh?” Amanda terlihat akan menolak. Karena yang berada di sampingnya adalah Trevor.
Tapi Trevor, Rylan, dan Eliza langsung setuju. “Kayaknya lucu, nih! Setuju!” kata Rylan mewakili ketiga pihak yang setuju. Ia terlihat sangat bersemangat.
“Uhm… Oke… Aku setuju,” kata Amanda pada akhirnya.
Vika tersenyum lebar. “Dimulai dari Eliza!” katanya tiba-tiba sambil menunjuk Eliza yang duduk di samping Rylan.
Ia langsung menoleh ke arah Rylan. “Waktu pertama kali lihat Rylan… Kesannya playboy…”
“EH? Kok bisa? Aku aja enggak punya pacar!” bantah Rylan.
“Habis kamu ramah ke setiap orang terutama cewek. Jadi kesannya playboy,” jelas Eliza dengan polosnya.
“Haha… Kamu bener, El! Waktu SMP, Rylan emang playboy kok. Dia pernah punya 3 pacar sekaligus,” kata Vika terlalu jujur sambil nyengir lebar. Dia kan sudah mengenal Rylan dari SMP, jadi tahu bagaimana Rylan yang sebenarnya sebelum ia berubah menjadi sedikit lebih alim di SMA.
“Terserah deh,” kata Rylan. Ia melirik ke samping kanannya yaitu Vika. “Vika itu anak yang aktif, cerewet, cuek, dan… aneh.”
“Setuju! Dulu aku juga kesannya begitu,” kata Amanda.  
“Aneh… Ya, boleh juga,” kata Vika. Ia sama sekali tak merasa tersinggung. Ia sudah biasa dibilang ‘aneh’. Tapi baginya ‘aneh’ adalah sebutan lain dari kata ‘unik’. Sekarang Vika melirik Amanda yang berdiri di sampingnya. “Kalau Amanda… cantik, pintar, dan keren.”
Wajah Amanda langsung bersemu merah. Ia merasa berbunga-bunga seperti pola dress-nya.
“Eh-eh! Kok positif semua sih? Negatifnya dong!” protes Rylan.
“Padahal kesan pertamaku tentang Amanda itu… galak, judes, dan pemarah,” celetuk Trevor.
“Kalau itu aku lebih setuju,” kata Eliza nimbrung.
Wajah berbunga-bunga Amanda langsung hilang. Wajahnya langsung berubah galak seperti biasanya. Ia meninju lengan Trevor. Walau begitu ia hanya berpura-pura galak. Bagaimana mungkin ia bisa marah di saat seperti ini? “Oke… Sekarang aku ya? Tentang Trevor… Trevor itu…”
Amanda menggantung kata-katanya membuat suasana menjadi hening. Hanya suara deburan ombak yang terdengar. Tanpa Amanda sadari, pipinya bersemu merah. “Trevor itu… ganteng…” ucapnya yang seperti anak cewek yang sedang memberi cokelat ke cowok yang disukai.
Hening. Eliza, Rylan, dan Vika memandang Amanda yang membuat Amanda salah tingkah. Cewek feminin itu berusaha mengalihkan wajahnya dari perhatian sahabat-sahabatnya, namun gagal. Rylan dan Vika langsung berdeham penuh maksud. Mereka berdua tersenyum usil.
Tiba-tiba Eliza mengangkat tangan. “Tunggu! Kesan pertamaku waktu ketemu Kak Trevor juga ganteng!” ucapnya ketus yang membuat keempatnya terkejut.
“Tuh… Bukan cuma aku!” kata Amanda dengan wajah lega karena tadi sempat terjadi suasana canggung.
Vika pun langsung memperhatikan wajah kakak sepupunya itu. Memang benar apa perkataan Amanda dan Eliza tadi. Itu pula yang menyebabkan Trevor terkenal di sekolah. Siapa yang tak kenal Trevor? Cowok bertubuh tinggi, berwajah oriental, atlet sepak bola, dan pintar di akademik. Namun Vika sudah mengenal Trevor dari kecil. Ia masih ingat bagaimana waktu kecil, Trevor sering bersembunyi dan menangis karena tidak punya teman. Dulu temannya hanya kelinci hewan peliharaannya sebelum bertemu Vika.
“Kalau kalian pertama lihat aku, aku ganteng enggak?” kata Rylan tiba-tiba.
Sontak Eliza, Vika, dan Amanda langsung mencipratkan air ke wajah Rylan sambil menyorakinya. “WOOOO! ENGGAK! PD BANGEEET!” teriak ketiga cewek itu.
Sangat heboh dan itu membuat Trevor tertawa. “Oke, oke. Sekarang gantian aku kan? Tentang Eliza…”
Eliza menatap Trevor yang jauh lebih tinggi darinya. Selain paling muda, Eliza juga yang paling pendek di antara mereka berlima. Peringkat kedua terpendek diraih oleh Vika.
“Eliza itu mirip anak kecil karena muka polosnya dan pendekeh, aku enggak bermaksud ngejek. Lagian cewek pendek itu manis kok! Orang pendek juga punya harapan hidup lebih panjang,” kata Trevor. Ia salah tingkah begitu melihat Eliza cemberut waktu dibilang pendek. Namun Eliza langsung tersenyum ketika dipuji manis.
“Kalian lebih mirip adegan anak dan bapak,” komentar Rylan setelah melihat adegan antara Eliza dan Trevor.
“Haha… Setuju,” kata Vika sambil nyengir.
Amanda terkekeh. “Oke… Jadi, di antara kita udah ngungkapin semua kesan pertamanya kan?”
“Yup! Nah, sekarang adalah pengumuman pemenang!” kata Vika tiba-tiba. Cewek yang satu ini memang selalu penuh dengan ide. Tapi kadang omongannya sering terlalu berkhayal, itu sebabnya ia sering dibilang aneh.
“Ada pemenangnya?” tanya Trevor.
“Iya dong! Peraturan berubah… yang menang akan diciprat air habis-habisan. Yaitu…” Vika menatap keempat sahabatnya. “AMANDAAA!”
“WOOOOOOOO!” Mereka berempat langsung bersorak dan menciprati Amanda dengan air laut. Mereka berkejaran di atas pasir basah sambil saling menciprati air. Kadang melempar pasir. Kadang melompati ombak yang datang dan tertawa bersama.
Mereka bahagia. Untuk sesaat segala masalah yang menimpa mereka lepas. Segala beban, segala keluh-kesah, segala rasa sakit hilang. Mereka bebas. Untuk sesaat mereka seperti terbang di atas awan bersama burung-burung yang bermigrasi tiap tahun. Tak peduli apa yang dikatakan orang atau tatapan heran orang lain… mereka berlari menyusuri garis pantai. Rylan, Trevor, dan Vika berlomba lari. Sementara Eliza dan Amanda berteriak menyemangati.
Kemudian setelah puas berlari, berenang, dan membebaskan diri, mereka mendudukan diri di atas pasir sambil memandang langit yang begitu luas.
“Gimana kalau 10 tahun lagi kita ketemu di sini?” kata Vika tiba-tiba. Lagi-lagi ide baru terbersit di pikirannya.
“Kalau pantai ini udah tenggelam gimana?” jawab Trevor.
“Sssh…! Jangan berdoa begitu!” kata Amanda. Ia paling takut membayangkan pulau-pulau di masa depan akan tenggelam.
“Gimana kalau di Jogja aja?” usul Rylan.
“Hmmm…” Vika terlihat menimbang-nimbang. “Oke… 10 tahun lagi, kita ketemuan di Jogja! Janji?”
Rylan, Amanda, Eliza, dan Trevor menatap Vika. Mereka takjub pada Vika yang terlihat sangat percaya kalau persahabatan mereka akan tahan lama. Dalam hati Vika, ia sangat yakin kalau sampai 10 atau mungkin 20 tahun kemudian, persahabatan mereka masih bisa terjalin.
“Kamu sungguh-sungguh, Vik?” tanya Amanda. Ada keraguan di wajahnya.
“Iya. Karena aku ingin kita tetap bersahabat walau udah lulus, kuliah, kerja, ataupun menikah. Aku ingin kita selalu tetap bersahabat!” kata Vika dengan keyakinan seratus persen di wajahnya.
“Kenapa kamu sangat yakin, Vik?” tanya Eliza tiba-tiba.
“Karena di antara kita ada sebuah rantai. Rantai tak terlihat yang menghubungkan kita berlima,” Vika mulai dengan khayalannya, namun keempat temannya mendengarkan dengan seksama, “Seperti aku dan Rylan yang dulu bisa berteman karena karate dan Rylan mau dengan rela mendengar ocehanku karena dia yang terlalu kesepian,” Vika melirik Rylan. “Atau seperti Amanda dan Trevor yang dulu bertemu ketika Trevor kehilangan buku filsafatnya di perpustakaan dan malah bertemu Amanda. Atau seperti Eliza dan Amanda yang sama-sama suka pergi shopping. Atau seperti aku dan Trevor yang tahu bagaimana masa kecil masing-masing.”
“Atau aku dan Vika yang bertemu ketika Vika menangis di perpustakaan,” sambung Amanda.
“Atau aku dan Rylan yang sering bermain game DOTA bareng,” sambung Trevor dengan wajah yakin.
“Atau aku dan Eliza yang ternyata teman masa kecil,” sambung Rylan.
“Atau aku dan Kak Trevor yang dulu bertemu karena tak sengaja bolanya tertendang ke perutku,” sambung Eliza.
Vika tersenyum lebar. Tanpa ia sadari, air matanya mengalir. Dari dulu ia mendambakan jalinan persahabatan yang kuat seperti ini. Bukan hanya jalinan persahabatan yang baru sebentar saja sudah hancur terpisah-pisah. Ia mengusap air matanya dan tersenyum lebih lebar. Ia bahagia. Akhirnya ia menemukan kebahagiaan dan kumpulan orang yang bisa ia sebut sebagai rumahnya.
“Janji,” kata Rylan pertama kali.
“Janji!” kata Eliza bersemangat.
“Janji,” Amanda tersenyum yakin kali ini.
“JANJI!” ucap Trevor keras agar langit bisa mendengar.
Vika terharu. Dulu ia sering dikucilkan, tapi sekarang ia memiliki empat sahabat. “Kita janji akan bertemu di Jogja 10 tahun lagi! Laut dan langit menjadi saksinya! Persahabatan ini akan bertahan lama! Selama-lamanya!” ucap Vika kuat-kuat agar langit bisa mendengar.
Dan setelah itu mereka terdiam cukup lamaterlalu menghayati. Hingga akhirnya Rylan memecah suasana dengan suara keroncongan perutnya. Mereka pun tertawa lagi.
Sekali lagi, mereka merasakan apa itu ‘bahagia’.

THE END


You Might Also Like

0 comments