Original Story

Solitude

Desember 11, 2023

 


Ia tersenyum, namun senyumannya hampa. 

Dalam diam, aku memperhatikannya yang tengah tersenyum menikmati pemandangan laut dari atas tebing. Aku mengamati langkah kakinya yang berjalan lincah di atas tebing seolah dia tidak takut jika jatuh ke karang-karang tajam di bawah sana.

Tubuh tinggiku berjalan agak canggung mengikuti langkahnya. Aku berjalan di samping kirinya yang tidak bersisian langsung dengan tebing yang curam.  Meskipun ada pagar pembatas yang terbuat dari kayu di sisi tebing, tetap saja aku merasa harus memperhatikan langkahku karena batu karang yang licin. Hujan baru saja berhenti.

“Jalanmu lambat, Shan,” kata Gianna yang sudah berjalan mendahuluiku. Baru beberapa detik yang lalu ia berada di sampingku. Sekarang ia sudah di depanku.

Gia—nama panggilan Gianna—menoleh ke belakang sembari memegang topi birunya erat-erat agar tidak lepas tertiup angin. Ia tersenyum geli melihat langkahku yang ekstra hati-hati karena takut tergelincir.

“Tebingnya licin tau,” balasku pura-pura kesal. Namun, aku tidak pernah kesal sungguhan kepadanya. Aku kira justru ia yang seringkali kesal denganku karena suka menjahilinya.

Kami terus berjalan menyusuri sisi tebing. Di ujung tebing ini ada area yang cukup lebar dan bisa untuk duduk. Aku tahu karena ini kedua kalinya aku mengunjungi tebing pantai yang terkenal dari daerah ini.

Tanpa terasa, sudah setahun aku tinggal di kota kecil ini. Awalnya, aku merasakan perubahan warna kehidupan yang sungguh kontras karena sebelumnya Mama dan aku tinggal di ibukota yang selalu hiruk-pikuk. Walau begitu, aku dengan mudah beradaptasi di sekolah baruku yang jumlah muridnya lebih sedikit dan pembelajarannya lebih konvensional.

 

Mungkin keputusan Mama untuk rehat dari pekerjaannya dan memboyongku ke sini bukan keputusan yang buruk.

“Shan, sebentar lagi kita sampai!” seru Gia.

“Sebentaaar!”

Waktu pertama kali datang ke kelas baruku, bangku kosong yang tersisa hanya bangku yang ada di sampingnya dan sejak saat itu Gia menjadi temanku. Aku sendiri tidak paham kenapa pada akhirnya kami menjadi teman mengingat karakter kami yang berbeda seratus delapan puluh derajat.

Gia lebih suka menyendiri di kelas meskipun sesekali ia terlihat bergabung dan mengobrol dengan teman-teman sekelas yang lain. Sedangkan, aku dengan mudah membaur di kelas yang sepenuhnya baru bagiku. Mungkin adaptasi memang salah satu keahlianku berhubung aku begitu sering pindah sekolah dan pindah rumah.

Namun, sebenarnya aku dan Gia hanya sebatas teman sebangku yang obrolannya cocok.

“Shan, cepaat!” Ia sudah sampai di ujung tebing yang menjadi tujuan kami.

Aku nyengir lebar seraya mempercepat langkahku.

Kenapa ya kami bisa cocok?

Mungkin karena tanpa disadari kami sebenarnya punya banyak kesamaan.

Angin kencang menerpa helai rambut kami sehingga membuat rambutku berantakan. Aroma laut yang khas memenuhi indra penciumanku. Dari atas tebing, langit tampak dekat. Warna langit terlihat sangat biru karena hujan baru selesai. Awan-awan putih di atas sana bergerak perlahan dan membiarkan sinar matahari menyinari laut yang biru.

Aku takjub pada pemandangan luas yang tak terbatas di hadapanku.

Kemudian, aku menoleh ke gadis gadis yang berada di sampingku. Gia memejamkan matanya. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai di punggungnya. Ia tampak damai saat memejamkan mata. Penampilannya tampak jauh lebih manis saat memakai pakaian bebas (dengan seragam putih abu-abu pun, dia juga manis).

Sial. Aku memperhatikannya terlalu lama.

Ketika ia membuka matanya, aku mengalihkan pandanganku ke garis horizon laut.

“Ada apa tiba-tiba mengajakku ke sini?” tanyaku memecahkan keheningan. Sejak kami bertemu di area parkir, ia belum mengatakan alasannya mengajakku ke sini.

“Hmmm… enggak ada alasan. Aku hanya ingin mengajakmu ke sini,” jawab Gia. “Kamu belum pernah ke sini juga kan?”

“Udah,” balasku. Sebelumnya aku pernah ke tebing pantai ini bersama Mama. 

Diam-diam aku memperhatikan Gia yang sore ini memakai kaus crewneck lengan panjang berwarna biru muda dan celana jeans.

“Ada yang lagi kamu pikirkan?” tanyaku—mencoba menduga alasan sebenarnya ia ingin ke sini. Ia pernah bilang di salah satu obrolan kami saat pelajaran sejarah yang membosankan, kalau ia suka laut.

“Manusia itu kecil banget ya?” ucapnya seraya memandang cakrawala yang tak terbatas. “Tapi kenapa manusia selalu menganggap masalahnya sebesar dunia?”

Lantas, ia menoleh kepadaku seolah menuntut jawaban. Iris matanya yang berwarna hazel tampak semakin nyata di bawah terpaan sinar matahari sore. Lagi-lagi sorot matanya kosong dan senyumannya hampa.

“Mungkin karena manusia melihat masalahnya dari sudut pandangnya yang kecil,” jawabku pelan.

“Hmm, your answer makes sense.

Kami pun mendudukan diri di pinggir tebing. Aku mengawasinya karena khawatir gadis itu duduk terlalu ke pinggir. Aku duduk bersila sementara ia duduk dengan menjulurkan kakinya sampai kakinya tergantung di atas tebing.

God, why are you not afraid? This cliffside is probably 100 metres high.

Tanpa sadar, naluri protektifku membuatku meraih tangannya. “Kamu enggak takut jatuh?”

“Kalau aku jatuh. kamu bakal gimana?” tanyanya tanpa aba-aba.

Aku memandang sekilas ke karang-karang di bawah sana yang terlihat mengancam—ditambah ombak besar yang tanpa henti memecah bebatuan. Lalu, aku menatapnya dengan sorot serius. “Aku akan raih tanganmu supaya kamu enggak jatuh.” Tanpa sadar genggaman tanganku semakin erat.

Gia menatap tangan kami yang saling bertaut. Pipiku langsung memerah. Sial. Aku kelepasan menggenggam tangannya. Spontan, aku melepas tangannya dan mengacak rambutku yang sudah berantakan—salah tingkah.

Kali ini ia menatapku dengan sorot bertanya. Sorot matanya seolah berkata kenapa-kamu-salah-tingkah? Aaaah, apa dia tidak sadar kalau dirinya  sangat lucu?

Kami terdiam selama beberapa saat—hanya terdengar suara ombak yang memecah karang di bawah sana dan suara burung camar yang terbang berputar-putar di langit. Saat itu, suasana tebing pantai cukup sepi mungkin karena para wisatawan enggan mengunjungi tebing yang berbahaya saat matahari akan tenggelam.

Sorry aku nanya aneh-aneh,” kata Gia memecahkan kesunyian di antara kami.

“Kadang aku juga suka punya pertanyaan seperti itu kok.”

Ia melihatku dengan heran. “Oh ya?”

“Yeah, pertanyaan seperti kalau aku jatuh, apakah akan ada yang menyelamatkanku? Atau kalau aku lenyap, apakah akan ada yang mencariku?” kataku ringan sambil mengangkat bahu.

“Aku enggak percaya seorang Shankara pernah berpikiran seperti itu,” ucapnya dengan penuh sangsi.

Aku menekuk lututku dan mendekap kedua kakiku di depan dada. Lantas aku memiringkan kepalaku agar aku bisa menatap Gia yang tidak pernah menyadari kalau dirinya memenuhi pikiranku akhir-akhir ini.

You have no idea about me, right? I can relate with you.”

“Soal?”

“Banyak hal,” jawabku. Perlahan senyumku pudar. “Sorry, Gia, but I saw the reason why you always wear a long-sleeve sweater or cardigan.

Mata Gia tampak melebar. Refleks ia memegang pergelangan tangan kanannya yang tertutupi lengan panjang kausnya. Sorot matanya tampak meredup. “Can you pretend you haven’t seen my scars?”

Aku mengangguk samar. “Sure.”

“And what about you? Kamu jelas enggak seperti diriku. Sometimes I feel like I don’t deserve any happiness. I don’t I deserve life. You definitely deserve—

I like you.”

Sial. Sial. Sial. Wajahku terasa panas. Did I just accidentally confess to her? “Gia, you deserve happiness. You deserve anything you want in your life. You’re never aware of yourself but you’re like the brightest person in my eyes.”

Gia menatap mata hitamku. Ia masih terdiam.

I love you, Gia… You’re the first person that made me feel this way.”

Aku menggigit lidahku karena enggan mengatakan hal ini. “Soal bekas luka di tanganmu dan kenapa aku bisa memahami perasaanmu… mungkin kamu enggak percaya kalau aku juga pernah menyakiti diriku sendiri sebelum aku datang ke sini. Aku pernah sengaja menabrakkan mobilku sendiri ke pembatas jalan. I regret it afterward.”

“Kamu… serius?”

Aku mengangguk seraya menunjukkan bekas luka di sepanjang tangan kiriku yang sudah semakin pudar.

Angin kencang bertiup di antara kami. Meskipun ombak jauh di bawah kami, tapi entah kenapa aku bisa merasakan cipratan air asin di bibirku.

You make me realize that I want to give you happiness.

Ia menatapku lalu menatap ke laut yang luas. “Kehadiranmu sangat berarti untukku,” ucapnya pelan. “But, can you give me time to process this?” Pipinya tampak merona. Ia tak tersenyum, namun kedua manik mata hazelnya tampak berpendar.

Aku mengangguk. “Take your time. I’ll wait.” Aku akan menunggu apapun jawabannya.

Anyway thank you… for coming here with me.” Kali ini ia tersenyum kecil.

Dan untuk pertama kalinya, ia yang menggenggam tanganku. Kami menghabiskan sore itu di atas tebing dalam obrolan kecil kami yang tidak penting. Semburat cahaya oranye dan warna biru laut menjadi saksi kami saling berbagi waktu. 


——

 

Namun, bangku sebelahku selalu kosong setelah hari itu.  

 

——

 

Pada hari Jumathari kelima ia absent—seorang guru menyampaikan berita kalau Gianna harus pindah sekolah tanpa mengucapkan perpisahan pada teman-teman sekelasnya. Kejadian pindahnya sangat cepat dan ia tidak bisa menyempatkan waktu untuk berpamitan dengan teman sekelasnya.

Aneh.

Aku mencoba mengirimkan pesan singkat dan menghubungi nomornya. Hasilnya nihil. Pesannya tidak pernah terbaca. Teleponnya tidak pernah diangkat. Ia seolah menghilang ditelan bumi. Aku berusaha mencari tahu pada guru-guru tapi mereka tidak memberitahu kemana pindahnya gadis itu ataupun alasan kepindahannya. Semuanya serba dirahasiakan.

Apa yang terjadi?

What the fuck just happened?

Tapihari Minggu—tepat seminggu setelah pengakuanku, aku menemukannya berdiri di pantai saat hujan. Aku sendiri tidak tahu apa yang membawaku ke pantai di saat hujan. Yang kuingat dari sore itu hanyalah pikiranku sangat penat.

Aku menemukannya berdiri menatap ke laut dengan payung berwarna hitam di genggamannya. Ketika aku memanggil namanya, ia menoleh ke arahku dengan canggung dan tampak tak menduga aku akan menemukannya di sana. Ia seolah tak ingin ditemukan.

“Gia?”

Aku berlari menghampirinya. Sinar matanya jauh lebih redup daripada pertama kali aku bertemu dengannya.

“Maaf, Shan. You must be waiting for my answer, right?” tanyanya to the point.

“Bukan itu. Kenapa kamu tiba-tiba pindah di penghujung SMA? We’re in our senior year right?

“Papaku menyuruhku pindah ke kotanya dalam waktu singkat and I’m forced to leave my mom here,” ucapnya dengan nada datar. Ia terlihat jelas sedang susah payah menutupi emosinya dan menahannya agar tak keluar. Tetapi air mata di matanya tak bisa berbohong. Ia menggigit bibirnya. “Sorry, my situation is kinda hard to explain.”

Lalu ia menghela napas panjang dan berdiri menghadap penuh ke arahku. “Shankara, I have the same feelings for you. I like you. I fell for you since you came last year. But I can’t stay… I have to leave.”

“Aku paham, aku hanya mau mengutarakan perasaanku saja waktu itu,” ujarku.

Aku mulai memahami sesuatu.

Kami berdiri cukup lama. Atmosfer eheningan yang pekat menyelimuti kami. Kalimat-kalimat yang tak bisa kami ucapkan seolah membuat waktu berhenti.

Aku mau waktu berhenti.

Aku ingin kami punya waktu untuk menjadi teman sebangku lagi bahkan meskipun itu berarti kami jadi teman sebangku untuk lima bulan lagi karena kami sudah berada di penghujung masa SMA.

Maybe… we could be lovers but not at this time.” 

Perlahan aku tersenyum. “It’s totally fine." Apakah aku berbohong? "Someday, I’ll found you again.”

Meskipun terdengar suara ombak yang bergemuruh dan hujan yang mengguyur payung kami, kami seolah tenggelam dalam kesunyian dan kesendirian kami. Pada momen itu, aku tahu bahwa aku harus kehilangan dirinya untuk jangka waktu yang tak ditentukan. It was early December dan sebentar lagi hari ulang tahunku. Dia tiak tahu kalau dia sudah memberikan hadiah bittersweet yang akan kuingat di tahun-tahun mendatang. 

Apakah aku akan menemukannya lagi?

Good bye, Shan.” Ia tersenyum lembut kala mengucapkan kata itu karena hari itu merupakan hari terakhirnya berada di tempat yang sama denganku.

Aku membalas senyumannya. Is this the curse of confessing my feelings? But the good bye doesn’t mean my feelings toward her are over.

 

finn


p.s.

The character "Shankara" is inspired by Soobin txt.
The cliffside is inspired by Apparalang beach, South Sulawesi, and the small town they lived were inspired by Bulukumba regency. 


Original Story

Dissolve [2/2]

November 26, 2023

 Part 2

2015

Suasana stasiun commuter line kala itu sedang tidak terlalu ramai. Mungkin karena belum memasuki rush hour. Atau mungkin karena orang-orang masih berada di ruang kerja mereka.

Azel dan Kara berniat untuk pergi berkeliling kota dengan kereta di waktu senggang mereka. Hari itu kebetulan mereka tak ada kelas. Sebenarnya tujuan mereka sederhana saja. Mereka hanya ingin melepas diri dari rutinitas mereka.

Meskipun suasana sedang terlalu ramai, Azel yang berjalan sambil membuka-buka tas selempangnya untuk mencari sesuatu membuatnya menabrak punggung seseorang. Aroma parfum yang lembut dan pelembut pakaian langsung memenuhi indra penciumannya.

Ia langsung buru-buru meminta maaf. “Sorry—”

Saat ia melihat sekilas siapa yang ditabraknya, ia menyadari kalau wajahnya sangat familiar. Kedua manik mata berwarna hitam itu menatapnya datar. Helaian rambutnya yang berwarna hitam selalu tampak hampir menutupi matanya. Seperti biasa, ia selalu memakai pakaian serba hitam. Ia memakai jaket, kemeja, dan jeans berwarna senada. Kulitnya putih pucat dan ia selalu terlihat dingin.

Azel selalu melihatnya di perpustakaan di pagi hari. “Kau yang selalu ada di perpustakaan kampus kan?” tanya Azel. Ia tak tahu siapa namanya. Dari jurusan apa? Dari fakultas apa?

“Iya.” Ternyata pemuda itu juga mengingat Azel. Azel memang cukup mudah diingat. Wajahnya mungil. Rambutnya yang sebahu dicat warna ginger. Matanya menatapnya hangat.

“Lagi kelas kosong juga?” Azel mencoba berbasa-basi.

Namun Kara memanggilnya dan menarik tangannya. “Azel, ayo cepat kereta kita tiba!”

Terdengar suara kereta yang akan mereka naiki telah tiba di peron. Kara menggenggam tangannya supaya Azel tidak hilang. “Kenapa tadi belinya lama sekali? Kupikir kau hilang!”

Azel mengikuti langkah Kara yang cepat sementara dirinya menoleh sekali lagi ke belakang.

Cowok itu balas menatapnya.

Keesokan paginya saat Azel pergi ke perpustakaan untuk memulai hari dengan mengerjakan tugas, ia tersadar kalau ID cardnya hilang dari tas selempangnya. Ia baru menyadari saat melihat slot yang kosong dari dompet kartunya. Slot itu seharusnya diisi dengan kartu identitasnya.

Ia panik karena kartu itu penting.

“Mencari ini?”

Seseorang menyodorkan kartu identitasnya di atas mejanya. Azel langsung mendongak untuk melihat siapa yang menyelamatkan harinya. “Syukurlah, terima kasih banyak. Dari mana kau temukan ini?”

“Kemarin kau menjatuhkannya tanpa sadar.”

Lagi-lagi cowok itu. Pagi ini ia memakai outfit yang berbeda dari yang kemarin namun tetap berwarna hitam. Ia memakai t-shirt dengan kemeja sebagai luarannya.

Setelah mengembalikan kartu itu, cowok itu langsung berbalik.

Wait, siapa namamu?”

Cowok itu menghentikan langkahnya. “Hugo.”

Saat itu di ruang baca perpustakaan hanya ada mereka berdua karena Azel suka menjadi pengunjung perpustakaan yang pertama. “Kau pasti sudah tahu namaku dari kartuku. Terima kasih, Hugo… Oh iya, kau dari jurusan mana?” tanyanya lagi karena pemuda itu seringkali membaca buku materi yang sama dengannya.

Namun Hugo hanya tersenyum samar. “Aku pergi dulu,” katanya seraya berlalu begitu saja tanpa menjawab pertanyaan Azel. Ia pergi keluar dari ruang baca itu. 

Komunikasi mereka terbatas pada anotasi di buku yang mereka baca. Beberapa kali Azel menemukan catatan yang diselipkannya pada buku pinjamannya dibalas oleh seseorang.  Azel memang sering menempelkan post-it kecil di buku yang dipinjamnya. Kadang ia menuliskan catatan dari dosen yang membahas buku itu atau pertanyaan tentang teori yang beli ia mengerti.

Namun, betapa aneh ketika ia melihat post-it berisi pertanyaan itu, dijawab oleh seseorang dengan tulisan yang miring ke kanan. Tulisan itu selalu menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang lugas. Ia berdiri dari kursinya lantas berlari ke rak buku untuk mencari buku berbeda yang pernah dipinjamnya. Ia langsung membuka halaman yang terselip catatan kecilnya yang berisi pertanyaan. Lagi-lagi pertanyaannya sudah terjawab.

Pikirannya entah mengapa langsung tertuju pada pemuda bernama Hugo karena ia pernah melihat sekilas Hugo yang membaca buku yang sama dengannya. Lalu suatu pagi, ia mendekati Hugo untuk memastikan kalau ia yang menulis catatan-catatan kecil itu juga dan Hugo mengangguk. “Ya, itu tulisanku.” Tapi percakapan mereka selalu berlangsung sebentar karena setelah itu Hugo akan pergi terburu-buru meninggalkan Azel yang masih berdiri di antara deretan rak-rak buku tinggi.

Nada suara Hugo yang datar dan tanpa ekspresi itu membuatnya merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakannya. Tanpa ia sadari, pipinya bersemu merah.

Beberapa waktu kemudian, Azel mengetahui kalau cowok itu bukan mahasiswa. Ia hanya pekerja part-time yang bekerja membersihkan area gedung perpustakaan. Ia tahu dari penjaga perpustakaan ketika ia berusaha mencari nama Hugo di daftar peminjam buku karena ia penasaran setengah mati apa jurusannya? Kelas apa yang ia ambil? Tapi tak ada nama Hugo di buku registrasi peminjam.

Lalu penjaga perpustakaan itu justru berkata kalau Hugo sebenarnya drop out dari SMA karena suatu kejadian. Sekarang usianya masih 17 tahun yang berarti setahun lebih muda dari Azel. Ibu penjaga perpustakaan itu mengatakan kalau ia mengenal keluarga Hugo dan meminta pengelola perpustakaan agar mau menerimanya bekerja part-time.

Azel terperangah. Ia tak menyangka Hugo seorang anak yang putus sekolah. He is so smart and he easily understand the hard topics in law related books. Azel memang mahasisiwi jurusan hukum dan ia seringkali membaca buku terkait hukum untuk referensi. Buku-buku itu juga yang dibaca oleh Hugo.

Percakapan singkat itu berkembang menjadi pertemuan yang lebih panjang sampai Azel mengetahui jadwal Hugo selesai bekerja part-time di perpustakaan.

“Azel, you like him right?” tanya Kara suatu waktu saat mereka makan malam bersama setelah kelas yang panjang. Tiga bulan terakhir ini, Azel sering menyebut nama Hugo meskipun ia terlihat berusaha keras menyembunyikan perasaannya. Ia tak mau terlihat sedang intoxicated by love di depan Kara.

Pipi Azel memerah. Waktu yang dihabiskan bersama Hugo selalu terasa sangat nyaman. Ia mengaguminya. Dan ia ingin melindunginya setelah tahu apa yang membuatnya drop out dari sekolah. Ia dijebak oleh seseorang yang membuatnya dituduh melakukan perbuatan kriminal. Ia terjerat hukum dan harus bertahan di penjara selama dua tahun.

“Dia sepertinya anak baik-baik. Dua hari yang lalu aku melihat kalian berdua di taman kampus. Lalu tadi pagi kalian mengobrol di perpustakaan sepanjang pagi,” kata Kara seraya menyuap sushi yang menjadi menu mereka malam itu.

Azel tersenyum misterius. Ia belum bisa menjelaskan secara gamblang bagaimana sosok Hugo pada Kara. Mungkin bukan saat ini. “Ah sudahlah, jangan bahas dia terus. Dia memang sesama avid reader like me.”

“Tunggu. Jangan-jangan kalian sudah… official?

Azel memandang keluar jendela yang ada di sampingnya. Ia melihat pohon-pohon yang mulai berwarna kecoklatan di luar sana seolah pemandangan itu lebih menarik. Ia duduk bertopang dagu dan tangannya menutup bibirnya. Terlihat jelas ia tengah menyembunyikan perasaanya.We actually had our first kiss last night and he confessed…

Kara meletakkan sumpitnya di atas piring kecilnya. “Whaat?

Suara Kara yang keras membuat orang-orang menoleh ke meja mereka.

“Sssshh…” Azel meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya. “Please don’t tell anyone, okay?” Itu pertama kalinya Azel menerima confess dari seseorang selama 18 tahun ia hidup di dunia. Ia tampak berseri-seri.

Kara hanya tersenyum seraya mengangguk.

2017

Sebentar lagi, matahari akan terbenam. Hugo menatap pemandangan langit sore di hadapannya dalam diam. Ia selalu menyukai langit di saat pergantian hari menjadi gelap. Tetapi entah kapan terakhir kali ia bisa menikmati sorenya tanpa harus bersepeda terburu-buru dari satu tempat ke tempat lainnya untuk bekerja part-time.

Dari tempat ini, ia bisa puas melihat warna-warna yang tergores di atas langit. Tempat ini merupakan pojok perpustakaan yang menjadi tempat favoritnya bersama Azel karena mempunyai jendela besar yang menghadap langsung ke area taman kampus.

Ia selalu menyukai momen-momen seperti ini. Saat ia tidak diburu-buru waktu dan bisa menghabiskan waktu bersama Azel. Mereka akan membicarakan banyak hal. Tentang hari-hari kuliah Azel. Tentang Azel yang selama ini hanya tinggal berdua dengan Mamanya. Tentang buku yang mereka baca. Tentang kekhawatiran mereka. Tentang segala hal.

Azel juga tahu soal Hugo dan kakak laki-lakinya yang ditinggalkan kedua orangtua mereka di rumah paman semenjak mereka kecil. Tentang ia dan kakaknya yang lebih sering harus bertahan hidup sendirian. Tentang kakaknya yang sejak tahun lalu masuk ruang rehabilitasi karena obat-obatan terlarang. Tentang hari–harinya yang biasa-biasa saja.

They share everything with each other.

Except one thing.

Hugo meletakkan buku yang sedang dipegangnya, lantas ia menyandarkan kepala di atas tangannya yang terlipat di meja. Ia memandangi Azel yang sedang mengerjakan tugasnya dan tanpa sadar tersenyum lembut karena gadis itu selalu terlihat cantik saat sedang serius mengerjakan sesuatu.

Lalu ia memejamkan matanya. Akhir-akhir ini ia sering kewalahan karena orang-orang asing sering muncul di depan rumah paman. Ia seringkali menyalahkan kakaknya yang terlibat dengan geng tidak jelas dan terjerumus obat-obatan terlarang. Sementara ia susah payah menjaga pikirannya tetap waras dan bekerja dari pekerjaan yang satu ke yang lain karena dana bantuan untuk dirinya dan kakaknya lebih banyak digunakan kakaknya untuk hal lain. Contohnya obat-obatan terlarang.

Azel mengalihkan perhatiannya dari laptopnya. Lantas ia melihat Hugo yang tengah memejamkan matanya. Hari itu Hugo lebih banyak diam. Seperti sesuatu yang membuat anak itu terus-terusan hilang dalam pikirannya. Namun saat memejamkan matanya, Hugo tampak tenang. Helai rambut menutupi dahinya. Azel pun mengacak-acak rambut hitam Hugo karena cowok itu tak pernah menyadari kalau dirinya sangat menggemaskan.

“Hey? Ada masalah?”

Hugo membuka matanya. Semburat cahaya sore menimpa matanya yang berwarna hitam. Walaupun berbagai warna menyinari iris matanya, sorotnya tetap terlihat gelap dan kosong. “Tidak ada,” jawabnya.

“Ada orang menyebalkan lagi di tempat kerjamu? Atau orang asing datang ke rumahmu?” tanya Azel. Seminggu yang lalu, wajah Hugo tampak penuh lebam karena ada seseorang dari geng kakaknya mendatangi rumahnya untuk meminta uang entah untuk apa. Waktu itu, Azel langsung mengantar Hugo ke sanatorium kampus untuk mengobati lukanya.

Hugo menggelengkan kepalanya. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Setelah lulus ujian persamaan SMA tahun lalu, ia ingin melanjutkan kuliah. Tapi biaya kuliah membuatnya mundur. Walau begitu, ia beruntung tetap bisa bekerja part-time di perpustakaan kampus ini dan ia bisa membaca diam-diam buku-buku yang ada di perpustakaan.

Hening.

Sore itu, tak ada pengunjung lain di perpustakaan karena hari itu adalah Sabtu. Hanya ada mereka berdua. Dalam keheningan, Azel menatap langit sore yang tampak berwarna merah muda, jingga, ungu, dan biru… Lalu ia bergumam pelan, “Every sunset always has different colours.”

Hugo setuju dengan kalimatnya. Setiap kali ia menatap langit sore saat sedang bersepeda untuk berangkat ke shift kerjanya, ia menyadari warna langit yang selalu berbeda setiap harinya. Meskipun sekilas warna langit sore tampak identik, detailnya tetap berbeda. Seperti sidik jari manusia di muka bumi ini. “And everyone has different nature,” lanjutnya mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.

You’re right.

Hugo ingin waktu bisa berhenti pada saat-saat seperti ini. Hanya ada mereka berdua. Langit sore yang membuatnya takjub. Keheningan yang membuat dirinya tenang. Tapi suatu pikiran impulsif timbul-tenggelam dalam benaknya. Ia merasa hubungan ini harus berakhir karena pada akhirnya tidak ada gunanya.

Ia tak punya masa depan. Ia tak punya apa pun. Semakin dipikirkan, semakin gamblang perbedaan di antara mereka dari segi materi, masa lalu, dan pandangan. Ia tidak tahu apakah ia punya kemampuan untuk mewujudkan mimpinya. Sementara, Azel sudah di tahun ketiga kuliah dan setahun lalu ia akan lulus dari kampus ini.

Walaupun Azel pernah mengatakan hidupnya tidak sempurna dan berantakan semenjak Papanya pergi meninggalkan keluarga kecilnya, Hugo merasa hidupnya jauh lebih kacau lagi. Dirinya tidak mungkin bisa diperbaiki. 

Sore itu, ia menggenggam tangan Azel yang hangat. “I am sorry, but getting to know you was pointless.

Kalimat itu seperti dentuman bom di telinga Azel. Ia langsung menatap Hugo dengan nanar. “What do you mean?” Ia berusaha mencari maksud perkataan cowok itu di balik manik matanya yang sewarna langit malam. Namun, Hugo balas menatapnya dengan getir, dingin, dan lelah.

Bukankah tadinya mereka baik-baik saja?

Forgive me. Tapi sejak awal, seharusnya kita tak pernah memulai.”

“Apa? Kenapa? Karena masa lalumu itu, Hugo? I don’t fucking care.”

Hugo tersenyum. “You can find someone better than me.” Lalu ia melepas genggamannya dari tangan Azel. “We can’t continue this game. It’s already over.

Padahal, sore itu Azel baru saja akan menyampaikan kabar kalau dirinya diterima untuk melakukan pertukaran pelajar dan mungkin akan membuat mereka tak bisa bertemu langsung selama setahun.

Namun ternyata belum sempat ia memberikan kabar itu, benang merah di antara mereka sudah terputus secara paksa.

Walau begitu, diam-diam ia terus menggenggam benang itu dan tidak berniat akan melepaskannya. 

2019

Ia yakin tidak ada usaha yang sia-sia dan tidak ada pertemuan yang tanpa makna. Setiap pertemuan selalu memberikan makna yang mungkin tak pernah kau sadari.

Dua tahun sudah berlalu. Setahun yang lalu ia kembali dari pertukaran pelajar dan tak pernah melihat Hugo lagi di perpustakaan. Ibu penjaga perpustakaan mengatakan kalau Hugo berhenti bekerja part-time.

Lalu ia pergi ke tempat yang dirahasiakan oleh Hugo selama mereka saling mengenal. Taman hiburan terbengkalai. Tiga tahun yang lalu ia pernah tak sengaja melewati taman hiburan yang sudah menjadi sarang hantu itu dan ia melihat Hugo berjalan ke arahnya.

Di kota mereka memang ada sebuah taman hiburan yang dulunya sangat ramai dan terkenal, namun bertahun-tahun yang lalu taman hiburan itu berhenti beroperasi selamanya dan menjadi terbengkalai.

Ketika ia berjalan menuju area restricted tersebut, ia hanya mendapati lahan kosong. Taman hiburan itu sudah dihancurkan sampai rata dengan tanah. Tak ada lagi roller coasternya yang berkarat. Tak ada lagi komedi putar yang kuda-kudanya terlepas dari tiangnya. Tak ada lagi sisa-sisa taman hiburan terbengkalai yang menjadi urban legend di kotanya.

Setelah wisuda tanpa kehadiran Hugo, ia kembali pergi karena ia diterima magang di perusahaan yang berada di state yang lain. Setahun berlalu dan ia kembali karena ia ditempatkan di cabang perusahaannya yang berada di state asalnya.

Memori dua tahun yang lalu masih sering terputar di kepalanya seperti kaset rusak. Ia mengingat dengan jelas bagaimana akhir pertemuan mereka. Bagaimana ia berjalan mengikuti Hugo keluar dari perpustakaan untuk menuntut penjelasan atau apapun. Tapi Hugo pergi menuruni tangga perpustakaan tanpa menoleh lagi ke arahnya. Seolah-olah mereka tak pernah saling mengenal.

She knew she could find someone else that could make perfect relationship. But there is no such thing as perfect relationship.

Pagi itu, Azel berdiri termenung di tempatnya berdiri saat ia menyadari siapa barista di cafe yang ia datangi. Pemuda itu masih tetap sama seperti dua tahun yang lalu, kecuali garis wajahnya yang tampak semakin tegas. Rambut hitamnya yang pendek tampak berantakan. Pakaiannya berwarna gelap, kecuali apron baristanya yang berwarna marun.

Hugo berdiri di balik meja kasir ketika menyadari kasir yang seharusnya ada di situ menghilang.

Mau pesan apa—” Ucapan Hugo terhenti di tengah jalan saat ia menunduk dan menyadari siapa yang sedang memesan kopi.

Setelah dua tahun tak bertemu, Azel menyadari kalau ia terlihat lebih tinggi dan lebih dewasa di usianya yang ke-21. Namun, sorot matanya masih sama—kosong dan kelam.

Tapi kemudian perhatiannya teralihkan karena mendengar rekan kerjanya berkata. “Jadwal shiftmu sudah selesai. Bukankah sebentar lagi kelasmu akan dimulai?”

“Aku tahu, tapi kau meninggalkan meja kasir!”

Azel mendengarkan percakapan Hugo dengan rekan kerjanya yang merupakan kasir cafe sederhana itu. Azel menyimpulkan kalau Hugo pada akhirnya bisa melanjutkan kuliah.

“Aku pesan satu latte panas,” ucap Azel tanpa menatap ke mata Hugo ketika perhatian Hugo kembali terarah kepadanya.

The same feeling is never gone.

Azel harus menyadari kalau saat itu mereka adalah dua orang asing yang seharusnya tak pernah bertemu sebelumnya. But how? How could I forget you?

Atas nama?” Hugo bertanya seraya memegang cup dan spidol di tangan kirinya. Ia memang bisa menulis dengan tangan kiri ataupun kanan.

Azalea,” jawab Azel.

Sebenarnya tanpa bertanya, Hugo masih mengingat dengan jelas nama perempuan di hadapan. Hatinya berdesir ketika melihat Azel yang masih tetap sama seperti dulu kecuali rambutnya yang kini sudah lebih panjang. The same feeling never left him.

“Kau kembali ke kota ini lagi, Azel,” ucap Hugo yang membuat Azel terhenyak dari lamunannya. 

Hugo tersenyum kecil. Senyum yang sama seperti yang ia sering ia lontarkan dua tahun yang lalu. Senyuman manis yang membuat aura dinginnya perlahan lumer.

Mungkin mereka memang ditakdirkan untuk tidak pernah menjadi orang asing. Azel merasa sedikit lega ketika Hugo ternyata tak bersikap getir kepadanya. Namun, ia teringat momen terakhir mereka saat matahari terbenam. Ia teringat perasaan kehilangan yang berlarut dalam dirinya setelah kejadian itu.

Tentu ia kembali. Ia selalu menepati janjinya.

Saat mereka berbicara satu sama lain lagi, perasaan itu muncul berulang. Everything seems like it begins again. But this time, they hold a small hope in their hearts. They hope they will not dissolve in the end.

finn

drop your comment below
https://curiouscat.live/revveries

Original Story

Dissolve [1/2]

November 26, 2023

Part 1

 

2017

Ia yakin tak mungkin ada seseorang yang akan menemukannya di taman hiburan yang ditinggalkan ini. Taman hiburan ini sebenarnya restricted area, tapi ia menemukan celah untuk masuk ke dalam areanya dan semenjak saat itu, ia selalu pergi ke tempat ini saat ia ingin menyingkir dari hiruk pikuk dunia.

Urban legend mengatakan kalau taman hiburan ini berhantu. Konon, pernah terjadi kecelakaan akibat kerusakan roller coaster yang menjadi daya tarik taman hiburan tersebut. Seseorang terluka parah waktu itu. Sering terdengar desas-desus kalau kerusakannya bukan karena masalah teknis seperti yang diberitakan dalam breaking news.

Pemuda itu tidak peduli. Ia tetap datang ke lokasi taman hiburan yang sudah berkarat itu. Ia menyukai keheningan aneh yang menyelubungi lokasi itu. Suasananya yang suram seperti mewakili perasaan hatinya. Ia menemukan tempat ini setelah ia dikeluarkan dari penjara di bawah umur dua tahun yang lalu.

Semenjak saat itu, setiap kali pikirannya kalut, ia selalu pergi ke tempat ini.

Sudah dua tahun ya, pikirnya seraya berjalan menyusuri area yang dulunya penuh warna dan keramaian manusia. Sekarang taman hiburan itu lebih mirip dengan sarang hantu. Dengar-dengar, tempat itu memang berhantu.

Persetan dengan hantu.

Sejatinya, ia memang tidak pernah merasa takut. Bukan karena ia pemberani, tapi karena ia sudah melewati berbagai macam ketakutan. Ia tahu bagaimana caranya bertahan melewati perasaan mencekam itu.

Dalam hening, ia berbaring di atas satu-satunya bangku panjang yang belum lapuk. Bangku tersebut berada di dekat wahana komedi putar yang warnanya sudah pudar dan kuda-kudanya sudah lepas dari tiangnya.

Lintingan rokok terselip di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Perlahan ia menghisap rokoknya dan membiarkan efek nikotin menenangkan pikirannya. Kedua manik matanya yang berwarna hitam menatap langit kelabu di atas sana. Hujan badai sepertinya akan turun.

Suara langkah kaki seseorang tiba-tiba mengusik ketenangannya. Namun, ia bergeming di posisinya. Ia menghela napas panjang. Asap menyeruak keluar dari paru-parunya.

Tak mungkin ada seseorang menemukanku di tempat terbengkalai ini.

Tapi seseorang berdiri di sana.

“Dia sudah pergi. Kau benar-benar tidak ada hati untuk mengantar kepergiannya,” ucap suara seorang gadis dengan nada dingin.

Hugo, nama pemuda berusia 19 tahun itu, perlahan bangun dan duduk menghadap penyusup yang sudah berani mengusik ketenangannya. Ternyata temannya yang datang.

“Dia tahu kau sering ke sini, Hugo,” kata Kara, nama si penyusup, dengan nada getir. “Jangan kira dia tidak mengamatimu pergi ke sini setiap kali kau selesai mengacau.” Aliran udara dingin berembus meniup rambut panjangnya yang digerai.

Hugo menatapnya dengan sorot mata kosong. Ekspresinya tampak datar meskipun badai berkecamuk dalam benaknya. Perasaan bersalah menggelayuti dirinya. Tapi tidak ada lagi yang bisa diubah. Semuanya sudah berakhir.

My connection with her is already over.”

I know. But she doesn’t think the same way because you left her without words. Honestly, kau tidak pantas mendapat perhatiannya dan aku tak sudi datang ke sini. Tapi dia menitipkan pesan.”

Kara menyodorkan sebuah amplop putih ke wajahnya. Dengan enggan, Hugo menjulurkan tangan untuk menerima surat itu. Entah kenapa lembaran kertas itu terasa berat di tangannya.

“Sudah? Itu saja?” tanyanya ketika menyadari sosok di hadapannya tak juga pergi.

I have to witness you reading her letter.” Kara menatapnya dengan sorot menuntut. Ia terlihat sangat galak.

You can tell her, kau sudah melihatku membaca suratnya.”

Kara menggeram. Kali ini ia menumpahkan kalimat yang sejak semalam tertahan dalam dirinya. Ia tak rela melihat sahabat satu-satunya patah. Azel is her only best friend and she would fuck anyone who dare to mess up Azel’s feelings.

 “Aku benci bertanya soal ini. But why did you left her? She fucking adores you and loves you. If you know the end is gonna be like this, you shouldn’t have come to her life at all. And the way you end your relationship is shit. You are such a fucking asshole.” Manik mata Kara tampak berapi-api ketika ia menumpahkan kemarahannya.

Sementara itu, Hugo tampak setenang air. “Kau pikir aku mau meninggalkannya begitu saja? I am so fucking aware I am an asshole and she deserves someone better who is not a fucking ex-criminal,” ucapnya dengan nada dingin yang mengancam. Tak ada riak emosi dalam suaranya. Namun, setiap kalimatnya menyimpan penyesalan dan rasa bersalah yang berlarut dalam dirinya.

Tiba-tiba hujan turun dengan deras dan membasahi amplop berwarna putih yang belum sempat dibuka itu.

Kara menggertakkan giginya. Ia teringat pada sahabat satu-satunya yang jatuh cinta pada laki-laki yang berada di hadapannya. Azel, kenapa kau jatuh cinta pada manusia urakan yang satu ini?

You fuck with her feelings. She always tells me, she loves and wants to accept you as you are, Hugo, but would you have been willing to listen to her?”

Hanya terdengar suara hujan dan gemuruh petir di atas sana.

Your answer is no, right? You never listened to her.

Gadis itu menatap Hugo dengan penuh kebencian.  Kau lebih baik enyah,” ucapnya dengan nada final. Lalu ia berbalik arah dan berjalan menjauhi Hugo yang termenung di tengah-tengah tempat terbengkalai itu.

Terbengkalai. Kata itu entah kenapa cocok dengan dirinya. Ia hidup terbengkalai sama seperti taman hiburan ini. Namun sekarang justru dirinya menyia-nyiakan perasaan seseorang yang ditujukan kepadanya.

Hugo memandangi Kara sampai hilang dari pandangannya sementara pikirannya berkelana. Ia seharusnya menemui Azel sekali lagi. He wanted to fix everything. He fell too hard for her.

Di lain sisi, ia ingin Azel membencinya setengah mati. Ia ingin Azel melupakannya dan menganggap pertemuan mereka tak pernah terjadi di masa lalu. Ia ingin mereka kembali menjadi dua orang asing yang tak pernah bertaut.

Namun, Hugo memandang amplop putih yang sudah basah itu. Lalu ia merobek ujungnya untuk membaca kertas yang ada di dalamnya. Ia menarik kertas yang dilipat tersebut. Tulisan tangan yang kecil dan rapih itu langsung terlihat. Meskipun air hujan mulai mengaburkan tintanya, Hugo tetap mampu membaca tulisan Azel.

 

Dear Hugo,

I know I can text you and I know this letter sounds so cheesy.

But I want to tell you through my writing (because I know you’ve been avoiding me these past two weeks). You are not defined by your past. You have the most intelligent mind… I know you can do something great for yourself and for people around you.

I adore you.

I admire you, Hugo, that it hurts.

Please survive ‘till we could meet again.

I hope our last conversation doesn’t mean we’re getting over.

 

X

Azalea 

 

Hugo meremukkan kertas itu. Ia ingin Azel membencinya bukan mengharapkannya hubungan mereka tetap terjalin. Ia berharap yang tertulis dalam surat itu adalah Azel yang membenci dirinya. She deserves someone else better. She has future and everything, but he couldn’t give back something to her.

Dalam diam, ia duduk di bangku panjang itu tanpa mempedulikan air hujan yang mengguyur tubuhnya. He messed up a girl she loved so much. At the same time, he realized he couldn’t imagine falling for someone else.

Ia memandang surat yang sudah menjadi buntalan kertas remuk itu. Ia ingin mendengar Azel berkata bahwa ia menerima dirinya yang penuh cela. Ia ingin mendengarkan suara Azel yang menenangkannya. Ia ingin mendengar tawanya lagi. Ia ingin mendengarnya membicarakan hal-hal yang membuat mata indahnya berbinar-binar.

Tiba-tiba pertanyaan Kara terngiang dalam kepalanya. “Would you have been willing to listen to her?” Jawaban yang benar adalah ya. Ia selalu mendengarkan Azel.

Namun ia selalu tak pernah mendengarkan dirinya sendiri.

to be continue

next part

drop your comment below
https://curiouscat.live/revveries