Uncategorized

For Him

Mei 28, 2023


I could spend my days studying your laugh’s melody.


Untuk dia yang berdiri di antara keramaian dengan senyum lebar di wajahnya meskipun aku tahu dia tidak pernah suka keramaian. Untuk dia yang bercerita padaku tentang rahasianya. Untuk dia yang suka menertawakan hal-hal yang receh. Untuk dia… aku ingin mendengar tawamu lagi. I would kill just to be with you and laugh at stupid thing again.

 

Tapi bodohnya aku. Semuanya tidak mungkin terjadi lagi. Selesai. Titik. Tidak ada koma.

 

Jadi hari ini aku menatapmu dari bangku ini. Melihatmu di atas panggung, bermain gitar, menyanyikan lagu yang kamu tulis untuk seseorang yang lebih pantas untukmu. Mungkin sudah jadi takdirku hanya merasakan perasaan yang tidak terbalas.

 

Tapi sejujurnya. I wish I could spend my days again studying your laugh’s melody.  

 

Alternative OC Universe

Unexpected

Mei 26, 2023


 ☀️

Sometimes, I like when 'things' go unexpectedly.


The sudden change of weather that can’t be figured out by the forecast. Arranged plans that suddenly get cancelled for insignificant reason. Waking up late because the book you’re reading in the midnight is so intriguing. Or anything that all at once happens. 


Just like this morning. Perhaps, I got to skip the first class I should be attended.

 

Bus berhenti di halte sekolah. Aku memasukkan buku yang sedang kubaca ke dalam tas selempangku dan berdiri dari tempatku duduk. Kemudian, kami turun tanpa bicara sepatah kata pun.

 

Entah kenapa aku senang bisa bepergian menggunakan transportasi umum. Aku merasa bebas dan tidak perlu terus-terusan merasa diawasi. 


Tapi sepertinya itu masalah bagi kembaranku yang saat ini berjalan terburu-buru di depanku. Baginya, transportasi umum di kota ini sering tidak tepat waktu dan membuat jadwalnya jadi kacau. 

 

Pagi ini, dia terpaksa setuju berangkat sekolah denganku karena sopir yang biasa mengantar kami ke sekolah sakit. Awalnya, kami pergi tepat waktu seperti biasa. Namun, bus yang mengantar kami ke sekolah tiba-tiba mogok di jalurnya. Para penumpang terpaksa harus berpindah bus yang melewati jalur yang sama. 


Itu sebabnya kami sampai di sekolah saat gerbang sekolah sudah ditutup rapat. 


Selama beberapa saat, aku dan dia bergeming di depan gerbang sekolah. Tidak ada siapapun di depan sekolah, termasuk para security yang (mungkin) bisa menolong kami membukakan gerbang.


Syukurlah aku terlambat. Pelajaran pertama matematika. Diam-diam aku bersorak dalam hati. Walau begitu, aku tetap memasak ekspresi datar seraya bersender pada dinding bata yang mengelilingi sekolah kami. 

 

“Ini semua gara-gara kau,” kata Victor sambil menunjuk diriku.  

 

“Kenapa jadi salahku?"


"Jalanmu lambat." Dia menuduhku lambat waktu kami berjalan kaki dari rumah ke halte dekat rumah kami.  


Aku mengernyitkan dahi. "Ini salahmu yang enggak memperhitungkan ada kemungkinan BRT bakal mogok di tengah jalan,” balasku defensif.

 

Dia memutar bola matanya dan membuang muka. 


Cuaca sangat panas. Aku mengikat rambutku yang panjang. Lalu kulihat jam tanganku. Pukul 9 lebih 10 menit. Kami sudah telat lebih dari satu jam karena bel masuk berdering pada pukul 8. 


Matahari bersinar semakin terik. Kakiku mulai pegal dan aku berulang kali menekuk kakiku dengan gelisah. Victor sudah melepas cardigannya sambil berulang kali menghembuskan napas kasar.

 

Kupikir kami sudah yang paling terlambat sampai aku melihat bayang-bayang sosok familiar berjalan mendekati gerbang sekolah. 


Ya ampun. Kukira dia sudah berada di kelas menyimak pelajaran matematika favoritnya. Ternyata dia baru turun dari bus yang mengantarnya ke sekolah.

 

Ia berjalan santai ke arah kami. Tak lama kemudian, dia sampai. Senyumnya merekah ketika melihatku. Mau tidak mau aku membalas senyumannya. Lalu, senyumnya berubah mengejek ketika ia melihat Victor juga berada bersamaku. “Ketua Student Council bisa telat juga?”

 

Shut your mouth,” balas Victor tanpa menoleh ke arah Aiden yang berdiri di sebelahku.

 

“Van, kenapa kamu terjebak di luar sekolah bersama orang sepertinya?” tanya Aiden.

 

“Kebetulan aja.” Aku mengangkat bahu. Victor tidak tahu kalau aku sudah memberitahu rahasia ini kepada Aiden. Rahasia bahwa aku dan Victor adalah anak kembar. 


“Kalian mau sampai kapan di sini? Ayo pergi sebelum Pak Satpam datang,” kata Aiden sambil mulai berjalan menjauhi gerbang sekolahmenyusuri trotoar yang mengelilingi gedung sekolah. 

 

“Maksudmu bolos?” Belum apa-apa, Victor sudah menolak mentah-mentah ide dari Aiden.

 

Aiden mendengus tertawa. “Justru karena aku mau masuk kelas jadi aku lebih memilih masuk lewat pintu belakang.”

 

Betul juga. Daripada masuk lewat pintu depan yang berisiko ketahuan guru, aku lebih memilih masuk lewat pintu belakang. Tapi, setahu aku pintu belakang juga dijaga oleh security. "Bukannya pintu belakang juga dijaga ketat?" 


"Aku tahu pintu yang lain," jawab Aiden.


Aku pun mempercepat langkahku menyusul Aiden. Ketika menoleh ke belakang, kulihat kembaranku juga berjalan mengikuti kami. Dia berjalan dengan wajah kesal. Lalu, aku tersadar kalau warna rambutnya benar-benar cerminan warna rambutku. Warna merah tembaga itu tampak makin jelas di bawah sinar matahari.

 

Bagaimana orang tidak sadar kalau kami ini kembar?

 

Atau karena warna mata kami yang berbeda maka orang-orang tidak menyadarinya?

 

Aku kembali menatap ke depan. Tak lama kemudian, kami berbelok dari pinggir jalan raya ke jalan perumahan yang sepi. Di sekitar sekolah memang ada perumahan yang selalu terlihat sepi. 


Mungkin kebanyakan rumah itu sudah banyak dijual atau ditinggalkan penghuninya. Beberapa rumah tampak tidak terawat. Pohon-pohon tumbuh subur di depan pekarangannya. 


Selain tumbuh di halaman rumah terbengkalai itu, pepohonan besar juga menghiasi pinggir jalan. Kami pun terus berjalan di bawah teduhnya pohon.



Lalu kami berbelok lagi ke jalan yang lebih sempit. Sepanjang jalan sempit ini, terdapat semak belukar. Jalan ini terlihat tidak meyakinkan tapi dinding di samping jalan itu jelas bagian dari tembok sekolah. Beberapa saat kemudian, Aiden berhenti melangkah lalu menunjuk ke sebuah pintu yang bersender pada tembok. Pintu yang terbuat dari kayu itu seolah hanya ditaruh sembarang untuk menutupi sesuatu.


Baru kali ini aku melihat ada pintu itu di belakang sekolah. 


(Celah yang jadi pintu belakang sekolah illustrated by me)
 

Aku menduga pintu itu menutupi jalan masuk ke area sekolah. Dugaanku tepat. 


Aiden menggeser pintu kayu itu ke samping. Di baliknya, ada celah yang bisa dilewati satu orang dewasa dengan membungkuk atau merangkak. Tinggi celah itu tidak sampai satu meter dan bentuknya seperti retakan, seolah-olah ada yang menghancurkan batu bata yang menyusunnya. Atau mungkin ada seseorang yang sengaja menghancurkan bagian tembok itu dan mencuri batu bata tersebut… tapi kenapa cuma sedikit yang diambil?

 

“Nah, ayo masuk," kata Aiden dengan gerakan tangan mempersilakan kami untuk masuk ke celah itu.

 

"Dari mana kamu tau pintu ini?" tanyaku penasaran. 


Ia menyeringai lebar.


Aku hanya menggelengkan kepalaku sambil tersenyum kepadanya. “Kalau aku tahu pintu yang ini, aku enggak perlu khawatir telat lagi.”


Lalu, kuperhatikan celah itu. Aku harus merangkak masuk untuk melewatinya seperti Coraline yang merangkak masuk ke terowongan menuju dunia kancing. Bedanya, kalau kami masuk ke situ, kami akan sampai di kebun belakang sekolah. 

 

Aku pun berjongkok dan mulai merangkak memasuki celah itu. Begitu melewati celah itu, aku langsung disambut rerumputan dan tanaman hortikultura. Kebun belakang sekolah memang menjadi tempat murid-murid belajar biologi ataupun belajar menanam. 


Sepertinya tidak ada kelas yang punya jadwal belajar biologi di kebun itu. 

 

Lalu, aku beranjak berdiri seraya menepuk-nepuk lututku dari noda tanah dan rumput.

 

Kemudian, Aiden masuk melewati celah itu. Ia segera berdiri dan membersihkan rumput yang menempel di celana seragamnya.

 

“Kenapa enggak bawa motor hari ini?” tanyaku.

 

“Devan kan udah berangkat duluan.”

 

“Oh iya. Aku lupa sepupumu juga sekolah di sini,” kataku. Aku tahu Aiden tinggal di rumah keluarga besarnya dan biasanya berangkat sekolah bersama sepupunya. 

 

Berikutnya, Victor merangkak melalui celah itu. Begitu melewati celah itu, tiba-tiba ia jatuh terduduk di atas rerumputan yang ada di kebun belakang sekolah. Ia berteriak karena ada belalang sembah hinggap di tangannya. Ia langsung mengibaskan tangannya dengan panik. Namun, belalang itu menempel erat di jarinya. 


“VANYAA!!” teriaknya refleks seperti yang biasa sudah sering ia lakukan sejak kami kecil. (Dia sangat membenci serangga dan selalu meminta tolong kepadaku untuk menyingkirkan serangga).

 

Aku menghela napas. Lalu kuambil belalang mungil itu dari tangannya dan kubebaskan belalang itu di dedaunan pohon jeruk yang berada di dekatku.

 

“Kenapa kamu enggak bilang ada belalang di situ?” gerutunya seraya beranjak berdiri. Ia menyingkirkan daun yang jatuh di rambutnya. Rambutnya jadi terlihat berantakan. 

 

“Ya, aku kan enggak lihat!” balasku.


"Lain kali kita enggak perlu berangkat bareng lagi naik bus."


"Huh! Siapa juga yang mau berangkat bareng?"

 

Samar-samar aku mendengar Aiden menahan tawa dengan susah payah.

 

OH. Aku sampai lupa kalau dia ada di antara kami.

 

“Pffftt. Kalian memang betulan anak kembar ya?” kata Aiden sambil tertawa renyah.

 

Victor langsung menatapku garang dengan arti tatapan kenapa-kamu-bilang-soal-itu?! Tapi detik berikutnya ia menatap Aiden kalem. “Sekarang udah tahu kan? Bisa tutup mulut soal ini?” ucapnya dengan tenang tapi penuh penekanan pada setiap kata. 

 

Aiden menghentikan tawanya. “Aku enggak tertarik buat membeberkan rahasia kalian berdua.”

 

Aku tersadar kalau tinggi mereka hampir sama. Aiden lebih tinggi sedikit. 


“Udah hey. Sebentar lagi jam istirahat. Mending kita langsung ke kelas selagi guru enggak ada di kelas,” kataku menyela pembicaraan mereka. Lalu aku merasa Victor menatapku dengan maksud tertentu. “Iya, Vic. Aku tau peraturannya. Selama berada di wilayah sekolah, kita orang asing.”  

 

Bel istirahat berbunyi dengan nyaring.

 

Kami bertiga pun berjalan menyusuri jalan setapak yang menghubungkan kebun sekolah dengan gedung sekolah. Setelah sampai di koridor—tanpa bicara apapun lagi—kami berjalan berlawanan arah.


Dia menuju ruang kelasnya yang berada di lantai dua—tempat ruang kelas 11 berada. Sementara, aku dan Aiden berjalan menyusuri koridor lantai satu—menuju ruang kelas kami di deretan ruang kelas 10.

 

Dengan mudah, kami membaur di antara murid-murid yang berjalan menuju cafetaria sekolah. Pagi yang aneh. Begitu masuk ke dalam kelas, aku langsung menduduki bangku kosong yang tersisa di belakang. 


Lantas aku meluruskan kakiku yang pegal. Jam istirahat masih ada 15 menit lagi, aku masih bisa lanjut membaca bukuku. Aku mengambil buku yang sedang kubaca dari dalam tas selempangku (buku ‘Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda’ yang waktu itu ketumpahan air oleh Aiden).

 

Aku mencoba membaca. 


Tapi—anehnya—tidak ada satu katapun yang masuk ke dalam benakku.  

 

Setelah sekian lama, baru kali ini aku bisa menghabiskan waktu selama itu dengan saudara kembarku hanya karena kami terlambat masuk sekolah. Selama ini, kami selalu berusaha menghindar meskipun tinggal di rumah yang sama. Kami hanya bersama kalau ada event keluarga yang membuat kami sekeluarga harus datang. 


Dari kecil, dia selalu tepat waktu. This might be his first time to come this late to school.

 

Aku mengenyahkan pikiranku tentang Victor. Aku mengamati ruang kelasku yang cukup sepi. Hanya ada beberapa murid yang tetap di kelas selama jam istirahat—termasuk Aiden yang kali ini dapat undian nomor kursi di depanku. “Van, mau temenin aku ke cafetaria?”

 

Aku pura-pura membaca bukuku.

 

“Aku traktir tuna sandwich,” katanya.

 

Aku langsung menutup bukuku dan berjalan di sampingnya menuju cafetaria sekolah. 


Suasana cafetaria saat itu sangat ramai dan entah kenapa aku melihatnya lagi. Tas ranselnya masih ia bawa. Apa dia sedang pamer kalau dia datang terlambat?


Hah, kalaupun dia ketahuan terlambat, dia bisa membuat alasan hari ini dia dapat dispensasi mengikuti lomba atau apalah. 


Teman-temannya sibuk mengobrol dengannya. Ia kelihatan sangat ramah—sangat berbeda dengan beberapa menit yang lalu saat belalang menempel di jarinya. Aku memperhatikannya dari kejauhan sementara Aiden membeli sandwich yang ia janjikan buatku.

 

Sial. Kenapa tadi sempat terlintas rasa khawatir di kepalaku?

 

Aku membuang mukaku saat kurasa dia menyadari kalau tatapanku dari tadi terarah kepadanya.

 

I am aware we are never born for each other. And, I always think ‘he’ and ‘I’ are like opposite compass needle. He is the North. I am the South.

 

--

 

But after all, there’s blood running between us.

 

 

--

 

Fin

 



Alternative OC Universe

Fireworks and You

Mei 18, 2023

🎆

They said ohana means family and family means no one gets left behind. That’s freaking bullshit. Perhaps it is the reason why I always hated ‘Lilo and Stitch’ when I was a little. It doesn’t have connection but right now, my mind is a bit intricated.

 

Keramaian ini mulai terasa memuakkan. Aku berdiri dari kursi tempatku duduk dan melangkah menuju pintu keluar aula.

 

“Vanya! Mau ke mana?” seru seseorang memanggilku sambil memandangku dengan sorot kesal di balik kacamatanya. 


Tanpa menjawab, aku terus melangkah menjauhi barisan stan kelas-kelas yang menampilkan berbagai macam barang dan makanan untuk dijual. Selain menjual barang kerajinan dan makanan homemade, ada juga yang menawarkan jasa menggambar dan ramalan tarot.

 

Aku bisa melihat saudara kembarku menghampiri stan kelasnya. Tanpa sadar aku memutar bola mataku. Aku tahu dia hanya mampir sebentar di situ karena dia adalah Ketua Student Council (OSIS) alias manusia paling sibuk yang juga menjadi Ketua Panitia Event ini. Kalung co-card dengan tulisan Leader terpampang jelas di depan kemejanya. Teman-temannya menepuk bahunya sambil tertawa-tawa. 

 

Malam itu, sekolah terlihat meriah dan penuh sesak dengan manusia karena event ulang tahun sekolah terbuka untuk umum. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, stan-stan itu akan bubar begitu panggung di lapangan menampilkan bintang tamu yang akan meramaikan event.

 

Aku mau pulang tapi aku tidak mau pulang ke rumah karena aku yakin orang tuaku hanya akan menanyakan ‘Bagaimana acaranya Victor? Bagaimana Victor jadi ketua event?’ seolah aku tidak ada di dunia ini. 


Mungkin lebih baik aku menghilang aja dari muka bumi ini?

 

Koridor sekolah penuh dengan hiasan lampu berwarna warm white karena koridor itu menjadi jalur menuju lapangan yang ada di tengah area sekolah. Orang-orang dari luar sekolah datang berpasangan atau bergerombol dengan teman-teman mereka.

 

Sementara aku berjalan melawan arus, aku terpikirkan sesuatu. Di kontakku hanya ada dua orang yang kuanggap sebagai teman. Seira dan Aiden. Seandainya Seira tidak pergi keluar kota, mungkin dia akan bersamaku di sini. 


Kalau Aiden… argh entahlah. Dia teman sekelasku. Terakhir kali kami bertemu (yang artinya kemarin sore), kami bertengkar soal sepele. Kadang kami memang duduk sebangku kalau mendapat undian kursi yang bersebelahan. 


Kebetulan kemarin kami dapat nomor undian bersebelahan. Everything was fine. Dia tidak menggangguku dan aku pun demikian. Sampai dia menumpahkan minumannya di atas buku sejarahku.

 

Buku sejarah ini bukan textbook sekolah. Kalau textbook dari sekolah yang basah, aku tidak peduli! Tapi buku sejarah ini adalah buku yang baru kubeli hari Minggu lalu dan judulnya menarik perhatianku.

 

Tiba-tiba langkahku terhenti. Sial. Harusnya aku maafkan saja dia. Tapi dia malah bercanda soal bukuku. Dia bahkan sama sekali tidak minta maaf.

 

Lupakan. Aku malas memikirkannya. Lagipula sebenarnya buku itu masih bisa dibaca setelah kukeringkan (tapi kertasnya jadi keriting).

 

Aku berbelok ke arah gedung sekolah yang lain. Gedung sekolahku terdiri dari empat gedung utama yang mengelilingi lapangan di tengahnya. Gedung yang ini berada di sisi kanan dan terdiri dari ruangan-ruangan ekskul, termasuk ruangan seni untuk ekskul melukis. 


Ruang seni ada di lantai empat. Seira pernah menunjukkan ruangannya padaku. Ruangan itu sangat jarang kukunjungi. Tujuanku bukan ruangan itu, tapi balkonnya. Aku ingat ada sofa tua yang ditaruh di depan balkon itu untuk menikmati sunset karena gedungnya menghadap ke Barat.

 

Tepat saat aku mendudukan diriku di sofa tua itu, aku tertegun melihat pemandangan kembang api di atas langit sana… Kembang api satu per satu meluncur ke langit dan meledak menjadi percikan api berwarna-warni. Meskipun kembang api itu berada jauh dari wilayah sekolah, suara ledakannya tetap memekakkan telinga. Sorak sorai terdengar riuh dari lapangan sekolah. Murid-murid yang tadinya berada di dalam aula berjalan keluar untuk melihat kembang api itu.

 

Kembang api itu bukan bagian dari rangkaian acara ulang tahun sekolahku karena guru-guru melarang kami memakai kembang api. Entah siapa yang menyalakan kembang api itu, mereka pasti mengeluarkan banyak uang untuk menyalakan kembang api sebanyak itu.

 

Aku berdiri di depan pembatas balkon—menatap kembang api itu seperti baru pertama kali melihatnya. Indah…

 

“Hai Vanya?”

 

Aku hampir melompat kaget. Aku menoleh ke arah siapa yang baru saja mengagetkanku. Cowok itu tersenyum canggung sambil merapihkan rambut curlynya yang menutupi dahi. Sementara tangan kirinya memegang kantong plastik yang entah apa isinya.

 

“Sejak kapan kamu di sini hah?!” semburku.

 

Ia nyengir. “Aku mengikutimu dari tadi.”

 

Kembang api itu masih meletup-letup. Cahayanya terpantul di matanya yang berwarna abu-abu. Berbagai warna dari kembang api tampak sekilas di matanya. Oranye, merah, kuning, hijau, biru. Dia seperti perwujudan semua warna itu.

 

Aku membuang muka—berusaha mengenyahkan pikiran tadi. Saat aku menatap langit, kembang api itu sudah selesai. Tepuk tangan riuh rendah terdengar dari kerumunan di lapangan.

 

Sorry. Aku minta maaf soal bukumu yang kemarin. Tadi aku mampir ke gramedia buat beli buku yang kemarin basah itu, tapi aku enggak ingat judulnya. Jadi aku belikan pizza,” ucapnya sambil menyentuh tengkuknya.

 

Aku baru saja mau mengejeknya stalker karena sudah mengikutiku diam-diam sampai ke balkon ini. Tapi mendengar ucapan maafnya, mau tidak mau aku mengurungkan niatku.

 

“Judulnya ‘Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda’,” balasku dengan cepat. “Tapi engga perlu beliin aku lagi. Bukunya masih bisa dibaca.” Entah kenapa aku merasa pipiku memerah. Udah lama aku tidak pernah menerima permintaan maaf sedramatis ini.

 

“SERIUS??!! Syukurlah, aku bahkan enggak ingat judul yang kamu bilang barusan,” kata Aiden dengan lega.

 


Berhubung kembang api-nya sudah selesai, aku duduk lagi di atas sofa reyot itu. Ia mengikuti gerakanku dan membuka pizza box dari kantong plastik yang ia bawa. Ia tersenyum lebar ketika membuka kotak pizza itu. Kelihatannya dia lagi pengen makan pizza. Melihatnya seperti ini mengingatkanku pada anjing shiba inu.

 

“Kupikir jadwalmu jaga stan kelas belum selesai,” ujar Aiden seraya mengambil satu slice pizza. Kami sekelas jadi tentu dia tahu jadwal jaga stan itu. Dia curang tidak kebagian jaga stan—dia kebagian tugas membuat kerajinan tangan untuk dijual di stan, jadi dia tidak perlu bertemu banyak orang seperti tugas penjaga stan.

 

“Di aula terlalu penuh sesak,” jawabku seadanya. Pizza itu ternyata mulai dingin tapi rasanya tetap enak.

 

“Jadi kamu kabur?”

 

“Ya, mau bagaimana lagi.”

 

Luckily, I found you.”

 

Mataku melebar. Aku berhenti mengunyah pizzaku. Hening sesaat di antara kami. Hanya terdengar samar lagunya Bruno Major yang berjudul Easily yang dicover salah satu murid cowok di panggung. Musiknya terdengar jelas sampai balkon lantai empat ini.

 

Dia mengerjapkan matanya seolah tersadar dari sesuatu. “Shit. Maksudku, untungnya aku nemu kamu jalan sendirian di tengah koridor kayak anak ilang.”

 

Aku tertawa kecil untuk mengalihkan suasana. Damn. Aku hampir menduga hal lain. “Bukannya tadi koridor rame banget ya?”

 

“Rambutmu yang warna merah mana mungkin bisa enggak kelihatan.” Ia mengambil satu lagi slice pizza yang mulai dingin itu.

 

Kami duduk diam sejenak mendengarkan musik yang mengalun dari lapangan. Malam itu terasa lebih dingin daripada malam lainnya. Aku memang hanya memakai kemeja lengan pendek dan rok selutut. Aku tidak kepikiran untuk membawa cardiganku. Malam itu langit tampak cerah tanpa awan. Taburan bintang terlihat jelas di langit yang berwarna hitam.

 

Tiba-tiba Aiden menyodorkan jaket hoodienya ke kepalaku. “Pakek. Lagian udah tau acaranya malam, malah pakek baju pendek.”

 

Dresscode-nya pakai kemeja lengan pendek,” balasku sambil menyampirkan hoodie itu di bahuku. Aroma perfumenya tercium jelas di hidungku. Aromanya lembut seperti vanilla dan juga ada aroma pelembut pakaian. Sepertinya dia memakai hoodie yang baru diambil di lemari. Aku tahu dia merokok, seharusnya ada bau rokok di jaketnya, tapi kali ini sama sekali tidak ada.

 

“Aku boleh merokok di sini?” tanyanya kemudian.

 

Aku menoleh ke arahnya. Di balik hoodie, ternyata dia hanya memakai t-shirt polos warna putih. Ada kalung yang baru kulihat tergantung di lehernya. “Enggak masalah.”

 

Dia merogoh sakunya dan menyalakan sebatang rokok.

 

Pizza itu tersisa satu slice. Aku mengambil sisanya.

 

Kami berdua tenggelam ke dalam pikiran masing-masing. Malam itu kusangka akan jadi malam yang memuakkan. Tapi, begitu dia datang, malam itu terasa tidak buruk juga. Bersama cowok ini, aku merasa tidak canggung sama sekali menjadi diriku sendiri dan aku tidak perlu khawatir dia akan membenciku.

 

Entahlah. Selama aku hidup 15 tahun di muka bumi ini, aku seringkali merasa doesn’t belong anywhere. Aku tidak cocok dimanapun aku berada—berbanding terbalik dengan saudara kembarku. Terus-terusan melihat kembaranku yang berlari jauh di depanku, tanpa sadar membuatku kehilangan arah.

 

Lalu aku bertemu dengan anak baru di sekolahku yang kebetulan masuk kelas yang sama denganku. Dia membuatku memikirkan hal lain selain rasa putus asaku yang selalu tertinggal dari kembaranku.

 

Fireworks, cold pizza, and two lost souls who met together. I don’t know how he did that but he could took me away from my self-loathing thoughts.


Fin 

 

Alternative OC Universe

Idle Town

Mei 15, 2023



🌿

This is just small town in the middle of somewhere. Almost everyone knows each other or related to someone that I know. Despite being the small town, this town got everything the people need. Everything is well-arranged. The people play their own role. 

 

I spend most of my life time here. I ever dream of escaping this town to bigger cities or other countries. But thinking about it alawys makes my heart feel heavier. It feels like a huge stone drop on my chest. The other side seems so scary and I don’t want to leave Gramma and my mom alone.

 

Siang itu, aku bersama kedua orang terdekatku. Pintu kamar dibuka lebar-lebar karena ada satu teman laki-lakiku di sini. Meskipun dia sudah sering main ke rumahku sejak aku menginjakkan kaki di rumah ini waktu berumur 6 tahun, Ibu tetap memberlakukan peraturan itu padanya.

 

“Jadi, kamu mau gap year?” tanya Vanya saat kami mulai bosan bermain uno stacko berdua. Tumpukan stacko itu kami biarkan tersusun sampai tinggi.

 

“Aku masih menunggu pengumuman universitas yang itu,” jawabku sambil duduk bertopang dagu. Sebentar lagi kami bertiga akan berpisah—memulai kehidupan kuliah masing-masing. Vanya sudah diterima di fakultas ilmus sosial dan ilmu politik universitas ternama. Ia diterima di jurusan Hubungan Internasional. Sedangkan Ansel—teman masa kecilku yang sekarang sedang membaca bukunya Carl Sagan—masuk fakultas MIPA jurusan Fisika Murni.

 

Tersisa aku yang masih menunggu universitas tujuanku menyeleksi portofolio seni yang sudah kubuat.

 

“Aku yakin kamu bakal keterima. Kalau universitas itu enggak menerimamu, universitas itu yang berarti enggak pantas buatmu,” kata Vanya.

 

Aku tersenyum kecil. Kamarku luas tapi terasa penuh karena berbagai alat lukis ada di sini. Berbagai canvas bersandar pada dinding. Postcard, art prints, dan berbagai pernak-pernik lainnya tertata di depan meja belajarku. Kami duduk di salah satu pojokannya dekat dengan jendela—tempatku menaruh pot-pot kecilku.

 

“Kamu masih kepikiran cowok waktu itu?” tanya Vanya dengan nada penuh selidik.

 

Spontan aku menggelengkan kepalaku. “Nope.”

 

Vanya memutar bola matanya. Lalu tertawa usil. “Jangan bohong, Seira, aku kenal kamu dari kamu masih bayi.”

 

Baiklah. Kuakui Vanya setengah benar karena aku penasaran kenapa aku merasa familiar dengan sosok yang kutemui beberapa hari yang lalu. Ini kota kecil jadi perasaan itu mungkin wajar. Tapi kenapa aku tidak pernah menemuinya saat aku pergi ke toko buku antik itu?

 

Vanya setengah salah karena aku sedang memikirkan kue wedding yang dibuat Ibuku tapi pemesannya tiba-tiba membatalkan rencana pernikahannya.

 

“Aku heran kenapa aku enggak pernah bertemu dengannya di toko buku itu,” ucapku pada akhirnya.

 

“Mungkin kamu terlalu fokus lihat-lihat buku,” kata Vanya.

 

Sefokus-fokusnya aku pada buku, harusnya aku sadar keberadaannya juga, bantahku dalam hati. Dia terlalu mencolok untuk diabaikan. Terutama matanya, rambutnya, entahlah… sedikit aroma cologne mahal yang tercium darinya waktu aku berjalan di belakangnya…

 

“Bisa jadi,” ucapku dengan nada melamun. “Ansel, kamu serius enggak pernah ketemu dia juga?”

 

Ansel mengangkat wajahnya dari buku yang ia baca. “Enggak. Aku enggak pernah lihat orang yang kamu deskripsikan.”

 

“Namanya Leo kan? Ada banyak Leo di kota kecil ini… Paman pemilik toko kelontong seberang rumahku namanya Leo, adik kelas kita ada juga yang namanya Leo,” Vanya mulai menyebutkan berbagai nama Leo di kota itu. 

 

“Bukan itu!” timpalku. Aku juga tahu adik kelas yang disebut oleh Vanya barusan. “Ah sudahlah, yang jelas dia bukan murid sekolah kita.”

 

“Atau dia berasal dari angkatan di atas kita?”

 

Aku mengendikkan bahu. Aku sedang malas berpikir. Kurebahkan tubuhku di atas tumpukan bantal dan plushie yang kupunya. Langit berwarna biru cerah terlihat jelas di luar jendela sana.

 

Vanya ikut merebahkan tubuhnya di sampingku. Beberapa helai rambut panjangnya terkena wajahku. “Vanyaa!” Aku menggerutu sambil menyingkirkan helaiannya dari wajahku. Rambutnya yang berwarna merah tembaga selalu terlihat mencolok di antara kami bertiga sejak dulu.

 

“Ansel? Kamu enggak capek baca terus?” kata Vanya pada Ansel yang masih punya hubungan sepupu dengannya. Begitulah. Orang-orang di kota kecil ini seolah saling bertaut.

 

“Enggak, aku mau selesaikan buku ini hari ini,” balas Ansel.

 

Angin sepoi-sepoi bertiup masuk—membelai kepala kami. Tanpa kami sadari, kelopak mataku mulai terasa berat. Sementara Vanya masih memainkan ponselnya di sebelahku, aku jatuh terlelap. Waktu-waktu di kota kecil ini mungkin akan segera berakhir.


🌿


Alternative OC Universe

Honey Brown Eyes

Mei 12, 2023

 


🌿

Nothing ever really happens in my life. I have a normal life or like everyone thinks about me. But one thing I never share to anyone is I am so easy to fall in love with everything around me. The chilly wind blowing this morning. The raindrops falling to flowers petals. The gray gloomy sky this afternoon. The bitter taste of americano. The smell of the book in my hand.

 

I fall easily for every details in my life, eventho not everday is beautiful days to notice small details around me. Sometimes I do feel grunge and too tired to listen. But I always try to be that girl my mom taught me to be.

 

Pohon tempat aku duduk membaca buku

Sore itu, aku menghabiskan kopiku di bawah sebuah pohon yang menghadap ke padang rumput luas. Kopi itu masih panas di dalam termosku. Aku baru mendongak ke atas ketika titik-titik air jatuh di lembar buku yang sedang kubaca. Ternyata gerimis mulai turun.

 

Hari ini memang bukan hari yang bagus untuk piknik, tapi itu kan menurut ramalan cuaca. Aku memandangi langit yang tampak kelabu. Aku pun mulai membereskan kain bermotif kotak-kotak yang kugunakan untuk duduk. Kumasukkan ke dalam tas beserta termos kopi dan bukuku. Aku pun tersadar kalau aku meninggalkan payungku di tasku yang lain.

 

Aroma petrikor merebak. Aku menarik napas dalam-dalam. Lalu, aku mulai berjalan di bawah gerimis.

 

Rambut pendekku yang bergelombang makin tidak karuan terkena terpaan angin. Aku mempercepat langkahku menuju mobil. Tiba-tiba entah kenapa aku jatuh terjerembab di atas rumput. Aku mengaduh pelan dan langsung berdiri. Ketika aku menoleh ke belakang, ternyata ada batu tersembunyi yang membuat kakiku tersandung.

 

Gerimis berubah menjadi hujan. Aku mengusap lututku yang tak terlindungi apapun. Aku memang memakai overall pendek. Perih. Iya, aku tahu lututku pasti lecet. Tanganku juga kotor oleh tanah dan warna klorofil. Aku menepuk-nepukkan tanganku agar tanah itu hilang.

 

Dengan langkah pincang, aku berjalan menuju mobilku yang jaraknya tinggal sedikit lagi.

 

“Hey? Kamu enggak apa-apa?”

 

Aku terkesiap. Mataku menatap sosok di hadapanku dengan tatapan tak percaya. Dari mana manusia ini muncul? Bukankah padang rumput ini lumayan terpencil dan bahkan aku harus memanjat pagar untuk masuk ke area ini.

 

Oh, aku sampai lupa. Pagar yang menghalangiku dengan jalan beraspal di depan. Aku harus memanjatnya dengan lutut nyeri seperti ini.

 

“Aku enggak apa-apa,” jawabku seadanya.

 

Sosok itu—bukan—laki-laki itu menatapku dengan prihatin. Ia membawa tas gitar di punggungnya. Ia memakai kemeja sebagai outer. Kaos print-an bertuliskan nama band entah apa tampak di balik kemeja itu. Celana jeansnya robek-robek. Aku mendongak menatap wajahnya sekilas.

 

Matanya. Meskipun di bawah cuaca mendung sekalipun warna matanya tetap cokelat. Like a honey drop in his eyes. Tidak seperti mataku yang hitam membosankan.

 

Aku buru-buru lanjut berjalan sebelum aku menemukan lebih banyak detail tentang sosok asing ini. Aku merutuki kebiasaanku melihat detail. Lagipula hujan tambah deras. Aku masih harus memanjat pagar setinggi dua meter itu.

 

“Kamu yakin bisa melewati pagar itu?” tanyanya dengan suaranya yang dalam.

 

“Ya, tentu,” jawabku dengan percaya diri. Tadi aku bisa memanjat pagar itu. Apa bedanya dengan sekarang?

 

“Hati-hati, pagarnya licin,” kata sosok itu.

 

Aku bisa melihat mobilku terparkir di balik jeruji pagar ini. Jantungku berdegup kencang—bukan karena cowok itu. Dia benar. Pagarnya licin. Aku tetap memaksa untuk memanjat pagar yang berbentuk seperti kawat saling bertaut itu. Tenang saja, di atasnya tidak ada kawat berduri. Aku menarik diriku ke atas lalu mengangkat kaki kananku, tapi tanganku terlepas dan aku terhuyung ke belakang.

 

Aku menoleh ke belakang. Sial. Ternyata dia memperhatikanku dari tadi. Sekarang aku bisa melihat rambutnya yang berwarna cokelat brunette yang mulai terguyur air hujan.

 

“Memangnya kau tahu jalan yang lain?”

 

Dia mengangguk. “Tapi aku boleh minta tolong menumpang dengan mobilmu sampai ke Jalan XXXX?”

 

Aku menatapnya dengan curiga. Rambut kami berdua mulai basah. Ayahku berkata untuk tidak mudah percaya pada orang asing yang mau menumpang mobil—bisa jadi mereka perampok. Tapi aku tidak menemukan celah melewati pagar kawat ini. Aku berdoa dalam hatiku. Semoga dia bukan orang jahat.

 

“Ya,” jawabku setelah berpikir sesaat.

 

Ia pun mulai berjalan di depanku. Kakiku terasa sakit dibuat berjalan. Aku berusaha tetap tegar. Aku menatap sosok di hadapanku. Ia berjalan cepat—entah karena kakiknya yang panjang atau ia tidak ingin terlalu lama kebasahan.

 

Petir menyambar. Aku berjengit, tapi dia tidak. Dia berjalan lurus menyusuri pagar ini sampai akhirnya kami sampai di pagar yang sama. Mungkin jaraknya 500 meter dari tempat mobilku terparkir. Ia berjongkok dan menarik pagar kawat yang sudah robek. Lalu ia melewati pagar itu sambil berjongkok.

 

Aku mengikuti gerakannya sambil meringis. Lututku…

 

Lalu, kami berjalan menuju mobil sedan tuaku. Kali ini aku agak berlari. Hujan semakin deras. Begitu sampai di mobilku, aku membuka pintu pertama kali berikutnya dia. Napasku tersengal karena baru saja berlari.

 

Ia duduk di sampingku. “Maaf, jok mobilmu jadi basah.”

 

“Enggak apa-apa, nanti bisa dilap,” jawabku seraya menstarter mobilku.

 

Aku memperhatikan dirinya sedikit dari ujung mataku—saat menoleh ke kaca spion kiri. Ia menyibakkan rambutnya yang tidak terlalu pendek dan tidak terlalu panjang. Aku memastikan tujuannya untuk berhenti di lokasi yang berada di depan sebuah toko buku antik di kotaku. Aku sering ke situ untuk cuci mata.

 

“Siapa namamu?” tanyanya setelah beberapa saat hanya terdengar suara wiper mobilku menyapu air dari kaca mobilku.

 

“Seira,” jawabku. “Dan kamu?”

 

“Leo,” balasnya. “Apa yang kamu lakukan di padang rumput sana?”

 

“Baca buku,” ucapku seadanya. “Kamu sendiri di sana ngapain?”

 

“Main gitar,” jawabnya straight-forward seolah aku tadi tidak melihatnya membawa gitar. Nada suaranya datar.

 

Aku penasaran kenapa dia bermain gitar sangat jauh di tengah padang rumput itu. Biasanya orang bermain gitar di atas balkon atau di dalam ruang kedap suara.

 

Tak lama kemudian plang toko buku itu tampak jelas. Aku memarkirkan mobilku di depan toko buku itu. “Kamu tinggal di sini?” tanyaku sebelum ia keluar.

 

“Kurang lebih begitu,” balasnya. “Thanks, Seira. Lain kali akan kubalas kebaikanmu.” Ia tersenyum simpul saat turun dari mobil. Ia membuka pintu belakang untuk mengambil tas gitarnya. Lalu ia berlari menuju toko buku itu. Aku baru menyetir mobilku menjauh dari toko buku itu setelah ia masuk ke dalam.

 

Kalau dia tinggal di toko buku itu, kenapa aku tidak pernah melihatnya sama sekali saat berkunjung ke toko buku itu?

 

🌿