In the middle of Nowhere
Juni 12, 2023In the middle of Nowhere
A usual morning in my small town. The sky looks so bright and clear without any clouds. Birds are chirping outside the window. The wind blows the leaves.
I avert my
eyes from the scenery outside my mom’s bakery shop window before I accidentally drop one of
these breads to the floor.
There’s only two bakery shops in this place. One is located by the main road and my mom’s bakery shop is located in residential areas.
I still got one hour left to
prepare and clean the shop. But I
already arrange all the breads on the display. Well, I intend to finish my job earlier so I'll be able to read my book and drink my coffee before the open hours.
But I guess
my plans to read book on the cashier table has to be postponed.
Motor matic itu berhenti di depan toko roti tepat saat aku meletakkan tanda ‘open’ di pintu kaca. Aku mengenali pengendara motornya. Maka, aku melangkah mundur dan pura-pura sibuk menata roti di atas rak roti. Namun, mataku tetap terarah kepadanya.
Dia laki-laki
yang kutemui di padang rumput beberapa hari yang lalu saat hujan turun. Dia yang menunjukanku jalan keluar dari area padang rumput tanpa harus memanjat
pagar.
Selama toko ini berdiri—sejak aku lahir—baru kali ini aku melihatnya ke sini. Kenapa? Apakah dia orang baru di kota yang penduduknya cuma 20.000 orang ini? Kalau dia orang baru, kenapa eksistensinya begitu familiar?
“Kamu? Yang
waktu itu kan?” tanyanya.
Aku pura-pura berpikir padahal aku masih ingat setiap detail pertemuan hari itu. “Yeah, kamu yang waktu itu numpang mobilku kan?” tanyaku sambil memperhatikan penampilannya hari itu.
Hari ini dia memakai hoodie dan celana training. Astaga. Dia sepertinya baru bangun tidur karena rambutnya masih berantakan. Sangat berbeda dengan penampilannya beberapa hari yang lalu. Waktu itu dia kelihatan rebel dengan celana jeans robek-robeknya dan kemeja flannelnya. Tapi, kali ini dia terlihat seperti anak rumahan.
Ia tersenyum ramah. “Sekarang aku bawa motor, jadi
enggak perlu numpang lagi.”
“Waktu itu kenapa enggak?” tanyaku berbasa-basi. Actually there are so many questions that I want to ask you. Firstly, why do you feel so familiar?
“Waktu itu motornya dipakek abangku,” jawabnya sambil lalu. Ia mengalihkan matanya ke rak roti yang ada di sekitar kami—tampak mencari-cari sesuatu. “Aku disuruh beli roti tawar, ada enggak?”
Aku pun
langsung berjalan menunjukkan rak yang berisi berbagai jenis roti tawar. Dia mengambil
dua bungkus lantas membawanya ke kasir. Aku buru-buru kembali ke meja kasir karena pegawai yang lain masih berada di dapur
menyiapkan roti.
Dengan cepat, aku mencatat pembelian dan menyebutkan harga yang harus dibayarnya. Lalu ia memberikanku uang. “Terima
kasih sudah membeli,” jawabku sesuai SOP yang ada di bakery shop punya Mamaku.
Ia tidak
langsung pergi. Ia terdiam selama beberapa saat memperhatikan buku yang tergeletak di atas meja kasir. Buku yang rencananya mau kubaca pagi ini. “Kamu beli buku ini dari toko buku antik?”
Ia mengangguk.
“Berarti toko
buku itu milik keluargamu?”
“Yeah, makanya aku kembali.” Ia mengambil kantong belanjaannya dan pergi. Begitu saja.
Oh aku iri. Dia punya toko buku yang isinya buku-buku terbitan pertama—termasuk novel klasik yang merupakan terbitan pertama dengan kertas menguning. Meskipun itu menjadi sebab beberapa buku di toko itu harganya mahal. Namun, toko buku itu juga terkadang menjual buku terbitar baru yang cukup update.
Buku yang
kubaca kali ini memang salah satu terbitan awal novel klasik dan harganya cukup
menguras tabunganku.
Dari meja kasirku, aku memperhatikannya melaju dengan motor maticnya. Apa maksudnya “kembali”? Atau itu sebabnya dia tidak pernah terlihat selama aku tinggal di sini? Tapi kenapa aku merasa mengenalnya dengan baik?
Aku lanjut membaca selama tidak ada pembeli yang datang. Tetapi baru mencapai halaman ke-20, seorang pelanggan datang. Pelanggan yang baru saja masuk adalah tetangga baik kami yang setiap tiga hari sekali membeli stok roti gandum. Ia seorang wanita berusia 40 tahunan yang sudah kenal keluargaku sejak aku belum lahir.
Tak lama kemudian, ia menghampiri meja kasir dengan roti gandum di tangannya. “Seira, ada kartu yang jatuh nih,” kata Tante Via—nama tetangga kami itu—seraya membungkuk dan menyodorkan sebuah kartu pelajar kepadaku.
"Eh? Kartunya siapa?" tanyaku seraya menerima kartu itu.
Kartu itu jelas bukan punyaku karena foto ID-nya laki-laki. Kartu itu menunjukkan nama pemiliknya, nomor induk mahasiswa, tahun angkatan, dan tanggal lahir. Kartu itu milik Leo… dan dia ternyata seumuran denganku, tapi dia sudah satu tahun berada di universitas. Wow... universitas ini termasuk sulit ditembus.
Kartunya pasti tak sengaja jatuh waktu ia membuka dompetmya.
“Halooo? Tante
mau bayar, Ra.” Suara Tante membuatku tersadar dari lamunanku.
Aku langsung
mencatat pembelian dan menyebutkan harganya.
“Kartu
pelajarnya siapa itu?” tanya Tante sambil mengamati kartu pelajar yang
kuletakkan di atas meja kasir itu. Kartu pelajar punya Leo.
“Punya
pelanggan, Tan,” jawabku.
Tante membaca
nama di kartu pelajar itu. “Namanya kayak kenal. Bukannya dia anak yang pernah
hilang waktu kecil ya?”
Aku
mengerjapkan mataku. “Masa', Tan?”
“Tante ingat
soalnya kamu yang menemukan anak itu.”
“Eh? Yang
benar? Aku enggak ingat.” Aku tertawa kecil.
“Iya, waktu itu
semua orang heboh. Semua orang di kota udah mencari anak itu, tapi enggak ada yang
bisa menemukannya.” Tante Via mengambil kantong belanjaannya. “Udah ya, Tante
udah ditungguin sama anak tante.”
Aku mengangguk
sambil tersenyum. “Terima kasih, Tante.”
Lalu senyumku hilang. Aku baru tahu soal fakta itu? Apa maksudnya? Kenapa aku enggak ingat sama sekali??? Aku menatap nama di kartu pelajar itu. Leonard? Anak hilang? Aku yang menemukannya? It doesn’t make sense at all!
Suara bel yang menandakan pintu terbuka membuat perhatianku terfokuskan lagi ke pekerjaanku hari ini. Aku menyimpan kartu pelajar
itu kantong celana jeansku. Tidak ada waktu untuk melamun. Semakin siang, semakin banyak pembeli berdatangan
sampai aku tidak sempat memikirkan kejadian yang tidak bisa kuingat.
Menjelang sore, Mama akhirnya tiba dari kota lain. Hari ini jadwalnya untuk membeli stok bahan-bahan kue. Ketika ia tiba, aku sedang merapihkan sisa roti yang terpajang di rak. Aku tersenyum cerah menyambut Mama yang sedang memasuki bakery shop.
“Bagaimana hari
ini?” tanya Mama seraya duduk di depan meja
kasir untuk beristirahat. Bahan-bahan kue itu sudah dibawa ke dapur oleh salah satu pegawai Mama.
“Ramai dan sibuk,” balasku.
“Syukurlah,”
kata Mama seraya mengecek data penjualan hari ini di PC yang ada di meja kasir.
“Ma, memangnya
aku pernah menemukan anak hilang?” tanyaku tiba-tiba. Bahkan aku tak sadar melontarkan pertanyaan itu.
Mama yang tadinya sedang menatap layar langsung mengangkat wajahnya. “Mama pikir kamu masih ingat,” kata Mama.
Aku pun mendekati meja kasir dan mengambil tempat duduk di depannya. “Enggak. Aku sama sekali enggak ingat.”
“Waktu itu
umurmu masih 6 tahun.”
“Berarti itu terjadi waktu kita mulai tinggal di sini?”
“Iya. Kamu yang tanpa sengaja menemukan anak hilang itu karena kebetulan waktu itu
keluarga kita sedang camping. Siapa ya namanya? Mama bahkan tidak ingat nama anak hilang itu.”
“Leonard,”
gumamku. “Kenapa aku bisa sampai enggak ingat kejadiannya ya, Ma?” Aku menghela
napas.
“Memang kenapa
tiba-tiba nanyain soal itu?” tanya Mama sambil mengelus kepalaku.
“Aku bertemu
lagi dengannya,” jawabku.
“Eh bagus dong?
Dia ingat kejadian itu?”
Aku menggeleng. Tiba-tiba aku teringat kalau aku harus mengembalikan kartu pelajar itu ke pemiliknya. Dan sebenarnya waktu shiftku sudah selesai. Bakery shop milik Mama memang buka sampai malam. “Ma, boleh aku pinjam mobil sebentar? Aku mau antar barang customer yang tadi ketinggalan.”
Toko buku antik. Setahuku, toko itu sudah berdiri puluhan tahun sebelum aku menginjakkan kakiku di kota ini. Biasanya aku datang ke toko buku ini dengan hati riang, namun kali ini hatiku merasa nervous parah.
Baru kali ini
aku nervous hanya karena datang ke toko buku.
Perlahan aku turun dari mobilku dan berjalan masuk ke dalam toko buku itu. Suara bel seperti biasa menyambutku. Aku melihat ke sekeliling—mencarinya. Bodoh. Dia tidak mungkin dengan mudah ditemukan di dalam toko buku ini. Sore itu hanya ada beberapa pengunjung dan seorang penjaga toko buku.
Leo mungkin berada di dalam rumahnya. Tapi, mustahil juga aku langsung masuk ke pintu yang menuju rumahnya… Memangnya aku siapa?
“Halo Kak Seira!” sapa anak SMA yang menjadi penjaga toko buku itu. Kami sudah saling mengenal. Namanya Maxillien tapi biasa kupanggil Max. Aku langsung menghampirinya.
“Kamu tahu Leo ada di rumah atau enggak?” tanyaku dengan suara pelan—khawatir ada
pengunjung yang mendengarnya.
Max yang
berkacamata menatapku dengan tatapan penuh selidik. “Kenapa?”
“Please, ada
atau enggak?” tanyaku.
“Kapan kalian
berkenalan? Bagaimana bisa kenal Kak Leo?”
Aku menahan
kesabaranku. Aku tahu dia mengikuti ekskul KIR (Karya Ilmiah Remaja) di
sekolahku tapi anak ini kadang terlalu kritis di saat yang tidak tepat. “Itu
enggak penting. Dia ada di rumah atau enggak?”
“Kalau ada gimana?
Kalau enggak ada, gimana?”
Aku mundur dari
mejanya. Sudahlah. Tidak ada gunanya berbicara dengan Max.
“Dia pergi bawa
gitar lagi,” kata Max sambil berdiri sebelum aku mencapai pintu. “Padahal udah enggak dibolehin.”
Aku berhenti melangkah. “Thanks, Max!”
“Emang Kakak
tahu kemana Kak Leo pergi?” tanya Max dengan polosnya.
Aku hanya tersenyum simpul seraya pergi meninggalkan toko buku antik tersebut. Lalu aku masuk ke dalam mobil dan mengemudikan mobilku ke tempat itu lagi—area padang rumput. Seperempat jam kemudian, aku memarkirkan mobilku di dekat celah pagar yang waktu itu ditunjukkan oleh Leo. Dugaanku tepat karena motor maticnya juga diparkir di dekat situ.
Kuharap itu benar motor maticnya karena aku tidak ingat plat nomornya.
Aku turun dari mobil. Lantas aku melewati
celah pagar itu dan berjalan menembus padang rumput. Sore itu, padang rumput itu terlihat sangat luas dan indah. Sejauh mata memandang,
tidak ada siapapun di tengah area luas itu.
Kenapa aku
sampai rela berjalan di padang rumput ini cuma buat mengembalikan kartu
pelajarnya? Seharusnya aku titipkan saja ke Max. Atau aku bisa ke toko bukunya
lagi besok.
Bodoh. Silly girl. Ini bukan hanya sekedar mengembalikan kartu pelajarnya kan? Aku merasa seeprti orang bodoh, sampai mataku menemukan sepasang sepatu converse hitam tergeletak begitu saja.
Aku memperhatikan arah sepatu itu seperti melihat kompas. Firasatku mengatakan kalau aku harus berjalan ke ujung padang rumput itu dan sampai ke sebuah pohon raksasa yang terlihat kecil dari tempatku berdiri.
Pohon itu jelas bukan pohon yang biasa kukunjungi. Pohon itu jauh lebih besar dan rindang. Maka aku berjalan hingga sampai di bawah kerindangan pohon raksasa itu. Cukup melelahkan... Aku mengatur napasku setelah berjalan jauh.
Lalu, aku mengelilingi batang pohon itu dan menemukannya tertidur dengan lengan menutupi matanya.
Ia tidak memakai
sepatunya dan hanya memakai kaus kakinya. Gitar tergeletak di sampingnya. Buku
catatan terbuka—kertasnya berkibar tertiup angin. Ia tampak sangat tenang berbaring di atas rumput. Perlahan ia membuka mata ketika
mendengar suara langkah kakiku mendekat.
Entah kenapa
rasa lelahku hilang saat matanya menemukannya.
Aneh.
Kenapa?
“Kartu
pelajarmu ketinggalan di tokoku,” ucapku sambil menyodorkan kartu itu
kepadanya.
Ia mendudukan
dirinya. Sorot matanya tanpa ekspresi. “Kamu bisa
balikin besok kalau aku ke tokomu lagi,” ujarnya seraya mengambil kartu itu.
“Ada yang mau
kutanyakan," ucapku spontan
Ia mengernyitkan dahinya—tampak bertanya-tanya. Aku pun duduk bersila di hadapannya sementara ia membenarkan posisi duduknya.
“Apa kita
pernah bertemu sebelumnya? Sebelum lima hari yang lalu di sini?” tanyaku
langsung to the point.
Kami terdiam
selama beberapa saat. Hanya terdengar suara angin bertiup dan rumput berdesir. “Ya,” jawabnya singkat. “You were the one who found me
12 years ago.”
Aku menarik napas. “Kamu ingat?” Jawabannya sangat lugas, seolah ia masih mengingatnya persis. Tapi kenapa aku tidak?
“Aku baru
teringat tadi pagi, rumahmu membuatku ingat,” jawabnya dengan suaranya yang tenang dan sedalam air danau yang tak beriak.
“Lalu kenapa
aku enggak ingat? Why am I the only clueless one?”
“Bless you
to forget that moment,” kata Leo sambil merebahkan dirinya lagi di bawah
pohon. Ia memejamkan matanya lagi.
Baiklah, kalau
itu kesimpulannya. Mungkin memang takdirku untuk tidak mengingat kejadian dari
12 tahun yang lalu. Lagi pula itu tidak relevan lagi. Aku beranjak
berdiri—hendak pulang—karena urusanku sudah selesai. Tujuanku menemuinya hanya
untuk mengembalikan kartu pelajarnya. Dan yeah bertanya. Jawabannya sudah kudapat.
“Jangan pergi,”
pintanya.
Aku yang sudah
berdiri menoleh ke arahnya dengan heran. Matanya masih terpejam. Aku tak mengerti
kenapa dia memintaku tetap di sini? Kami bahkan tidak saling mengenal. “Aku
harus pulang.”
“Sepatuku
hilang,” ucapnya pelan. “Tolong bantu aku mencari sepatuku, setelah itu kamu
boleh pulang. Tapi sebentar, aku mau di sini sebentar.”
Bagaimana bisa sepatunya hilang? Oh ya ampun. Padahal tadi aku menemukannya tergeletak di tengah rumput. Aku menghela napas. Matanya terpejam, aku bisa saja kabur...
"Jangan kabur," pintanya. "Aku bisa dengar suara langkah kakimu."
"Terus kalau aku kabur?"
Hening. Tangannya menutup kedua matanya. Ia mulai bernapas teratur.
Mau tidak mau aku
duduk kembali di sebelahnya sementara dia tertidur. Astaga. Apa yang kulakukan di sini? Kenapa aku menurut saja pada ucapannya yang persuasif?
Tanpa sengaja aku melihat halaman journalnya yang terbuka. Aku membacanya sekilas sebelum angin menutup halamannya. Tulisannya sangat berantakan dan buku journal itu penuh tulisan yang tak terbaca.
Aku menghela napas panjang. Pemandangan di sekelilingku sangat indah. Sudah berapa kali aku ke sini tapi masih terpesona dengan luasnya padang rumput yang luas dan seolah tanpa batas.
Aku suka melihat pemandangan yang luas karena itu membuatku seolah-olah bisa membayangkan berbagai kesempatan baik yang mungkin akan datang dalam hidupku... Aku teringat pengumuman kuliah yang akan muncul besok hari. Aku menggelengkan kepalaku—tak ada gunanya khawatir.
Seandainya aku membawa
bukuku. Today is sucah a perfect day to read a book in nature. Tapi—hari
ini—perjalananku ke sini adalah sebuah kecelakaan.
Aku duduk
menekuk lututku dan mendekap kedua lututku. Aku bahkan sampai lupa membawa handphoneku ke sini.
Aku memejamkan mataku dan berusaha mengingat kejadian 12 tahun yang lalu. Bagaimana
caraku menemukannya? Apa yang terjadi? Kenapa dia menghilang?
Saat aku menbuka mataku lagi, samar-samar aku
melihat dua orang berseragam polisi berjalan di kejauhan. Mereka berjalan ke arah kami... Aku tidak tahu apakah
seharusnya kami boleh berada di sini atau tidak. Satu hal yang pasti, kami harus segera pergi.
“Leo,”
panggilku sambil menoleh ke arahnya yang masih tertidur. “Leo! Bangun!”
Aku mengulurkan
tanganku pada bahunya dan mengguncangnya. “Hey! Leo!” Something is not
right.
Akhirnya ia
membuka matanya. Ia mendudukan dirinya dan mengernyitkan dahinya. “Kenapa, Seira”
“Polisi,”
jawabku.
Aku menunjuk dua polisi yang sedang berjalan menyusuri padang rumput. Ia pun seera membereskan gitar dan buku journalnya ke dalam tas gitar. Lantas berdiri. “Ayo. Mereka tidak akan
suka kita di sini.”
“Yeah, aku
tahu. Aku pernah lihat tanda no tresspasing di depan pagar.”
Kami pun berlari menjauhi pohon raksasa itu. Ia berlari cepat di depanku tanpa alas kaki. (Entah sejak kapan ia melepas kaus kakinya). Kenapa dia sampai melepas sepatunya? He is so clumsy. Padang rumput ini tidak semuanya dipenuhi rumput tebal, terkadang ada bagian yang berkerikil dan kasar.
Aku masih ingat di mana aku
menemukan sepatu converse yang mungkin miliknya. “Leo, aku tahu di mana
sepatumu.”
Aku berbelok sebentar dan mengambil sepatu itu untuknya. Ia menerima dengan senyum di wajahnya.
“Kupikir aku enggak akan nemu sepatuku lagi," kata Leo.
Ia tidak sempat memakai sepatunya dan terus berlari tanpa alas kaki. Larinya cepat... Sementara lariku begitu lambat karena aku gampang capek. Ia pun menarik lenganku dengan tangannya yang bebas. Tangannya terasa panas di lenganku. Tapi ia sama sekali tidak menunjukkan ada yang salah dengan suhu tubuhnya. Ia tetap berlari di depanku dan aku hanya mampu melihat punggungnya.
“Leo, kamu
enggak apa-apa?” tanyaku.
Ia mengabaikan
pertanyaanku sampai kami sampai di depan pagar dan melewati celah. Napas
kami berdua sama-sama terengah. Sudah lama aku tidak berlari. Aku menoleh ke arah padang rumput itu dan
mendapati kedua polisi itu masih jauh di sana. Mereka sepertinya tidak berniat untuk
mengejar kami sampai ke luar area padang rumput.
Tanpa kami
sadari, tangan kami masih berpegangan. Begitu kami sadar, aku langsung
menjauhkan tanganku.
“Thank you,” ucapnya sambil tersenyum. Yang seperti matahari.
Saat kami
berpegangan tangan seperti tadi, aku merasa aku sudah pernah
melakukannya sebelumnya. Tapi aku tak bisa mengingatnya.
“You are not
okay," ucapku.
Leo
tertawa. “Kenapa bilang begitu?”
“Kamu demam,
Leo. You should go home.”
“Aku memang mau
pulang. Thank you for bringing back my Student Card,” ucapnya seraya berjalan menuju motornya. Lantas ia memakai helmnya dan menyalakan motornya. “Cepat naik ke mobilmu," suruhnya.
Aku pun masuk ke dalam mobil dan menstarter mobil sedan milik Mamaku. Ia putar balik lebih dulu di depanku. Lalu, mobilku melaju di belakangnya. Ketika kami sampai di persimpangan, ia melambaikan tangan kanannya sebelum kami berbelok ke arah yang berbeda.
Aku tersenyum melihat gestur itu darinya. Banyak yang ingin kutanyakan. Banyak yang ingin kubicarakan dengannya. Aku—memikirkannya terlalu banyak hari ini.
Kejadian barusan... aneh. In the middle of nowhere—however—it reminds me of something that I couldn’t remember. That warm hands, that honey brown eyes, that rare smile… somehow are like parts of my memory.
It feels like
I just had a déjà vu.
🌿🌿🌿
0 comments