Found You
Juni 22, 2023Found You
This town small was surrounded by trees.
He ran,
ran, and ran until his lungs screamed to stop him from running. He went deep into
the trees. Nobody would find him. Nobody cared if he was gone or disappear. Then,
he cried softly.
The trees
listened to him. The moonlight embraced him. The wind whispered to him.
He was completely alone and isolated but he kept on running away. Until the trees
told him to stop and he fell to the ground. He laid on the grass, watched the
moon up there, and breathed shakily. His body trembled. He cried until he
did not feel and think anymore.
🌿🌿🌿
Gadis kecil itu mengerjapkan matanya. Ia menatap pepohonan di sekelilingnya. Keluarganya tengah sibuk menyiapkan tenda. Sementara keluarganya lain mendirikan tenda, Mama dan tante-tantenya menyiapkan makan malam.
Ia duduk
sambil memakan es krim di atas batang pohon yang tumbang. Mata bulatnya menatap
ke sekeliling hutan. Hutan itu terasa begitu besar dan luas bagi tubuhnya yang
kecil. Ia takjub.
Seira
merasa asing dengan kota kecil yang dikelilingi hutan itu. Ia rindu dengan kota
besar tempatnya tinggal dulu. Saat ia pindah ke rumah barunya, orang-orang di
sekelilingnya ribut membicarakan anak yang hilang di tengah hutan. Anak itu
seumuran Seira.
Sudah dua
hari tak ada yang menemukan anak itu. Tim Search and Rescue sudah
dikerahkan. Warga kota turun ke dalam hutan untuk mencarinya. Polisi dan anjing
pelacak turut serta. Namun, anak itu tetap tak ditemukan.
Meskipun
umurnya masih 6 tahun, ia mengerti betapa mengerikan topik yang dibicarakan
orang-orang dewasa di sekellilingnya. Anak seumuran dirinya takkan mungkin bisa
bertahan di tengah hutan yang penuh dengan pohon pinus raksasa ini.
Berulang kali Mama menoleh ke arahnya untuk memastikan kalau ia berada di sana. Mama memang tipe yang tidak percaya takhayul dan tidak mudah terpengaruh ucapan orang-orang. Buktinya ia tetap mengajak Seira camping di hutan pada liburan semester kali ini.
Namun, kejadian anak hilang itu tetap membuat cemas Mama jauh di dalam lubuk hatinya—ia juga takut jikalau putri satu-satunya ikut lenyap ditelan hutan.
Seira
belum punya sepupu sebaya. Kebanyakan sepupunya baru lahir atau berusia balita.
Ia kesepian tapi juga menikmati rasa kesendirian itu.
Perlahan
langit mulai gelap. Acara makan malam dimulai. Api unggun kecil dinyalakan oleh
adik laki-laki Mama. Semua menikmati hidangan yang dimasak oleh Mama malam itu.
Seira duduk di samping Mamanya dan memandang api yang berkobar di hadapannya.
Meskipun ia sudah duduk cukup jauh dari api unggun itu, panasnya tetap terasa.
Tak lama
setelah orang-orang menghabiskan hidangan dan bercakap-cakap sambil memainkan
gitar, Seira jatuh tertidur di pangkuan Mamanya. Mamanya pun membawanya masuk
ke dalam tenda.
Lewat
tengah malam, api unggun mulai padam, kesunyian terasa makin mencekam. Seira
terbangun. Ia dipeluk Mamanya. Tapi ia tidak bisa tidur lagi. Di luar tenda, ia
bisa melihat cahaya beterbangan. Cahaya itu seperti keluar dari serangga…
Seingatnya, nama serangga itu adalah kunang-kunang. Fireflies.
Pelan-pelan,
ia melepaskan diri dari tangan Mama yang mendekapnya erat. Ia penasaran pada
kunang-kunang itu.
Tanpa
suara, ia menyelinap keluar dari tenda.
Udara
dingin langsung menyergapnya. Ia memperhatikan ke sekeliling, tidak ada
siapapun. Semuanya tertidur.
Sejak
kecil, Seira selalu dibilang kalau ia anak berani dan tak kenal takut. Ia
percaya itu. Dengan rasa penasaran yang membuncah di dadanya, ia melihat ke
arah mana kunang-kunang itu terbang.
Ke dalam
sana, pikirnya sambil mengenakan sandalnya dan mulai berjalan mengikuti
kunang-kunang itu. Ia tersenyum melihat serangga yang mengeluarkan cahaya itu.
Lalu, ia memperhatikan pemandangan di sekitarnya. Suara jangkrik terdengar
jelas dari berbagai arah. Bulan bersinar cerah. Di balik dahan-dahan pohon,
langit terlihat luas dan penuh dengan bintang-bintang.
Tanpa ia
sadari, ia sudah berada di tengah hutan. Ia terus berjalan mengikuti
kunang-kunang itu sampai tak melihat akar pohon yang ada di bawah kakinya. Ia
terjatuh dan betapa terkejutnya ia melihat kaki seseorang di balik pohon.
Jantungnya berdegup kencang. Walau begitu, rasa takut tidak menyelinap di hatinya. Ia merangkak perlahan ke balik pohon itu dan terkesiap. Seorang anak laki-laki tersembunyi di bawah dahan-dahan pohon.
Tubuhnya lebih kecil dari Seira… Anak laki-laki itu
memakai celana pendek dan kaos sweater warna merah yang tampak sudah kotor. Kakinya
penuh luka gores dan memar… Salah satu
pergelangan kakinya kelihatan bengkak.
Seira tak
bisa melihat wajah anak laki-laki itu karena ia meringkuk membelakanginya.
“Kamu
masih hidup?” gumam Seira pelan sambil berjalan mendekati anak itu untuk
melihat wajahnya.
Di bawah cahaya remang-remang dari bulan dan kunang-kunang, Seira bisa melihat wajah anak laki-laki itu.
Seira
menyentuh bahunya dan merasakan tulang di balik sweater itu. Tubuh itu
sangat kurus dan ringkih, tapi juga hangat. Masih ada sisa-sisa aliran kehidupan
di dalam tubuh kecil itu.
“Jangan mati,” bisik Seira di telinga anak laki-laki itu. Lantas, Seira membangunkan anak laki-laki itu dengan pelan. Tapi anak laki-laki itu tidak juga membuka matanya. Tanpa sadar air mata Seira mengalir. Ia menangis.
Untuk
pertama kalinya ia merasa takut.
Ia
menggenggam tangan anak laki-laki itu yang dingin.
Seira
mulai terisak. “Mama… Mama…” Ia memanggil Mamanya. Namun suaranya hampir tak
terdengar seakan pita suaranya dicabut.
Usianya
baru 6 tahun, tapi Seira tahu seorang anak kecil tidak sewajarnya ditemukan di
tengah hutan di malam hari—di tengah kunang-kunang yang berkerumun—dengan baju
yang kotor dan tangan sedingin es.
Seira
mencoba memapah tubuh anak laki-laki itu. Tak disangka tubuh anak laki-laki itu
ringan. Ia berjalan menyeretnya dengan hati-hati… Cahaya bulan menolongnya
dengan menyinari jalannya.
“Mamaaaa!”
teriaknya. Air mata masih mengalir di pipinya. Ia takut. Sungguh takut kalau anak
kecil di sampingnya mati.
Sayup-sayup
terdengar namanya dipanggil. “Seiraaaaa!” Suara Mama. Disambung suara Omnya.
Disambung suara Tantenya. “Seiraaaa! Di mana kamuuu?”
Seira
terus berjalan. Ia melirik ke sampingnya. Kepala anak laki-laki itu terkulai lemah di
bahunya. Tapi anak laki-laki itu masih bernapas pelan… Semakin lama tubuh anak laki-laki itu
semakin berat membebani tubuh keci Seira.
“Mamaaaa!”
teriaknya lagi.
Air mata
membasahi pipinya. Ia tak sanggup lagi melihat ke depan karena air mata yang
berlinang di mata bulatnya. Hatinya entah kenapa terasa hancur. Ia juga tak
mengerti perasaan yang membuncah ini.
Tak lama
kemudian senter menyinari wajahnya.
“Oh
astaga… Seira… Mama bersyukur menemukanmu,” bisik Mama sambil jatuh berlutut di
depannya. “Anak ini? Bukankah dia anak yang hilang?”
“Mama, aku
takut. Aku takut dia mati,” isak Seira.
Tak lama
kemudian keluarga yang lain muncul di hadapannya. Mereka terkesiap dengan siapa
yang berada di samping keponakan mereka. “Ya Tuhan…”
Begitu
tangan lain menggendong tubuh anak laki-laki itu menjauhinya, Seira langsung
jatuh ke pelukan Mamanya. Ia menangis. Menangis keras. Sementara sanak keluarga
yang lain menelepon emergency call dan membawa anak laki-laki itu ke
tempat yang aman.
“Sssh…
Seira… Kamu aman sekarang,” bisik Mamanya sambil memeluk tubuh putrinya.
Seira
tetap menangis kencang. Ia tidak tahu kenapa menangis. Ia hanya anak umur 6
tahun. Ia belum mengerti banyak hal. Termasuk perasaan ini yang tiba-tiba
muncul di hati kecilnya.
🌿🌿🌿
Suara
pintu diketuk berkali-kali membangunkannya. Leo mengerjapkan matanya, lantas
beranjak berdiri dari sofa ruang tengah—tempatnya tertidur. Ia bermimpi tentang
malam itu lagi. Anak perempuan yang menangis. Dirinya yang tersesat di tengah
hutan. Penuh luka—baik secara fisik maupun hatinya. Dan perasaan marah
berkecamuk. Anak kecil yang tersesat di tengah hutan itu sering kali muncul
lagi di mimpinya dan membuatnya sesak.
Leo menyentuh
kepalanya yang masih pening meskipun ia sudah menenggak dua tablet obat sakit
kepala kemarin sore.
Ia
membukakan pintu untuk abangnya yang baru pulang. Di luar hujan turun dengan
deras. Tidak biasanya malam ini udara dingin terasa menusuk tulang.
“Kenapa
lama sekali?” keluh Ryan seraya masuk ke dalam rumah dan melepas sepatu boots
dan mantel hujannya.
“Sorry,”
kata Leo dengan suara parau. Ia melihat jam dinding di rumahnya—pukul 1 dini
hari. Ryan baru pulang dari pekerjaannya yang kadang menuntutnya pulang
sampai tengah malam.
Rumah
keluarga Leo berada persis di belakang toko buku antik. Dari luar, toko buku itu
mungkin terlihat kecil. Namun, di belakangnya terdapat halaman dan rumah yang
cukup besar. Rumah itu dulu hangat dan memberikan rasa aman. Namun, semenjak
kakek dan nenek meninggal, rumah itu dingin dan seolah tak bernyawa.
Sementara
Ryan pergi membersihkan diri dan ganti baju, Leo kembali ke atas sofa dan
menyelimuti dirinya dengan bed cover. Ia ingin kembali tidur, namun
otaknya tak bisa berhenti bekerja. Mimpi itu terlalu realistis dan membuatnya
teringat kejadian bertahun-tahun yang lalu. Ia masih ingat setiap detailnya dan
tak akan mampu melupakannya.
Ia
mengecek ponselnya untuk mengalihkan pikiran. Lalu ia teringat, tanggal kemarin
adalah hari pengumuman nilai akhir semester. Ia membuka website kampus
dan mengecek namanya. Seperti biasa, rantai nilai A memenuhi tabel nilai
akhirnya. Ia mendapat perfect GPA lagi.
“Leo, mau
susu cokelat?” tanya Ryan tiba-tiba. “Aku tahu kamu masih bangun.”
Leo pun
menarik selimutnya dan mendudukan dirinya di atas sofa. Ryan membawa dua mug
berisi susu cokelat panas. Sangat cocok diminum saat hujan turun deras dan
suara petir menyambar-nyambar di luar sana.
Ia
mengambilnya.
“Ada yang
harus kubicarakan,” kata Ryan dengan nada serius.
Leo
memperhatikan kakaknya dengan was-was. Walau begitu, ia tetap meminum susu
cokelat yang masih beruap-uap itu.
“Rumah ini
akan aku jual.”
Tanpa sadar Leo mempererat genggamannya pada mug panas itu. Meskipun ia sudah berhenti menyukai rumah ini, rumah ini tetap satu-satunya tempatnya pulang dari dormitory dan menyimpan kenangannya dengan kakek-nenek.
Jika rumah ini dijual, maka
toko buku itu juga pasti akan dijual… “Enggak,” kata Leo dengan suara ketus.
“Dengar
dulu penjelasannya—”
“Aku
enggak setuju.”
“Leo, kita
butuh uang, apalagi kuliahmu itu enggak gratis.”
Leo
meletakkan mug di atas meja. “Jadi karena aku?”
“Bukan
cuma itu. Omzet toko buku itu juga menurun. Mungkin selanjutnya, aku
tidak bisa membayar pegawainya lagi.”
“You don’t have to pay my fucking college tuition,” kata Leo. Jauh di lubuk hatinya, ia tahu apa penyebab Ryan tiba-tiba butuh banyak uang.
“Orangtua kita bahkan enggak mau bayarin kamu kuliah, jadi siapa lagi kalau bukan aku yang bayarin hah?” kata Ryan dengan nada marah. Suasana malam itu berubah.
Leo
menggertakan giginya. “Aku bisa kerja sambil kuliah.”
“Enggak.
Rumah ini tetap harus dijual dan aku akan pindah ke kota tempatmu kuliah.”
“Bukannya
pekerjaanmu bisa memberikan gaji yang layak sekarang tanpa harus pindah ke
kotaku? Kalau uangmu tidak digunakan untuk biaya kuliahku, bukannya masih sisa
banyak? Atau uangmu habis untuk beli beer? Untuk memanggil perem—”
Ryan
menampar pipi Leo dengan keras.
“Keparat," umpat Ryan.
Pipi Leo
terasa panas. Samar-samar rasa anyir darah terasa di lidahnya. Namun ia menatap Ryan dan menyadari
sesuatu. “Kamu enggak bisa memutuskan sesuatu saat mabuk. You’re
fucking drunk.”
“Siapa
yang mabuk, Leo? Hah?”
“You
play nice in the morning than you become an asshole in the midnight. If you are
not my brother, I would screw you right now.”
“Kalau
begitu, pukul aja, Leo. Just like how you did when you were kid.”
Napas Leo
memburu. Kejadian bertahun-tahun yang laly masih jelas di benaknya. Kejadian saat ia melempar gelas kaca kepada kakaknya di ruang rawat inap rumah sakit. Saat
kakaknya datang menjenguknya—dan bukannya papa atau mamanya yang datang.
Lalu ia
menatap mata kakaknya dengan nanar yang saat ini berdiri di hadapannya. Betapa
ia ingin mengamuk, memukul, atau melempar sesuatu ke arah Ryan saat ini, tapi
yang ada justru ia menelan mentah-mentah emosinya karena ia sadar malam itu
bukan Ryan yang pulang ke rumah.
“Kenapa
Leo? Enggak berani buat mukul kakak sendiri?”
Leo beranjak
berdiri dengan kalem—meskipun itu dilakukannya dengan susah payah. “Jangan
jual rumah ini. Dan jangan bayar uang kuliahku lagi,” ucapnya penuh penekanan.
Lalu ia beranjak masuk ke kamarnya dan menutup pintunya.
Ia
mengunci pintu kamarnya. Tanpa menyalakan lampu kamarnya, ia bersender pada
pintu. Napasnya terengah. Tangannya gemetar. Pipinya masih terasa panas karena
tamparan kakaknya. Apa susahnya menjadi waras sedikit? ucapnya dalam
hati.
Kepalanya
sakit. Ia berjalan menuju meja belajarnya yang berantakan dan mengambil obat
sakit kepala yang ada di meja itu. Ia menenggak tiga pil tanpa air minum.
Berengsek.
Leo
mengumpat keras dalam hati.
Seandainya
keadaannya normal, ia hanya ingin bilang kalau semester ini ia dapat GPA
sempurna lagi. Ia sudah berusaha keras demi GPA sempurna itu. Ia melewati malam tanpa tidur
hanya untuk belajar.
Entah
sejak kapan ia membenci Ryan—kakaknya yang usianya 10 tahun di atasnya. Entah
sejak kapan ia membenci Papanya yang tidak pernah betul-betul menyayanginya.
Entah sejak kapan ia membenci Mamanya yang pergi meninggalkannya bersama keluarga barunya.
Tapi ia tetap harus bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa. Ia tetap berpura-pura seolah ia punya kehidupan yang normal. Ia tetap berusaha dengan baik di sekolahnya. Tapi tidak ada yang tahu usahanya.
Leo menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Ia menutup mata dengan lengannya. Ia ingin dirinya menghilang sejenak saja. Ia ingin tidak berpikir apapun lagi. Ia ingin melupakan segalanya.
Perlahan, napasnya mulai teratur. Efek obat sakit
kepala itu perlahan membuatnya jatuh ke lubang gelap di dalam pikirannya.
🌿🌿🌿
Next part:
https://bittersweetjourneyy.blogspot.com/2023/06/found-you-part-2.html?m=1
0 comments