Found You [Part 2]

Juni 28, 2023

Found You [Part 2] 

 


Siang itu, Leo menghabiskan waktunya membantu Max mendata dan menata buku sesuai genrenya pada rak masing-masing. Beberapa buku banyak yang tidak berada pada tempatnya karena dipindah oleh pengunjung. 


Setelah beres, ia bersender pada kursi yang ada di sudut toko buku dan membuka laptopnya. Di depan kursi itu ada sebuah meja bundar yang disediakan untuk pengunjung yang mau membaca buku di situ. Meja bundar itu tidak terlalu luas tapi cukup untuk menaruh laptopnya. Di sekeliling meja bundar itu, terdapat tiga kursi empuk.

 

“Hari ini enggak mau pergi-pergi, Kak?” tanya Max yang duduk tak jauh dari tempat Leo berada. Ia duduk di lantai sambil bersender pada rak buku. Lantas, ia mengambil salah satu buku yang ada di rak paling bawah. Tak ada salahnya kan? Membaca buku yang plastiknya sudah dibuka selagi toko sedang sepi pengunjung.

 

“Hujan,” jawab Leo cuek. Matanya tetap terarah pada layar laptop di hadapannya. Ia sedang mencoba mendaftar beasiswa. Dengan GPA sempurnya selama dua semester berturut-turut, seharusnya tidak sulit untuk mendaftar beasiswa.

 

“Kalau enggak hujan, mau ke mana?” tanya Max lagi sambil membuka-buka buku yang ia pegang.

 

Umur mereka hanya terpaut dua tahun tapi rasanya Max jauh lebih muda daripada Leo yang berumur 18 tahun.

 

“Mungkin ke padang rumput lagi,” jawab Leo tanpa berpikir. Ia ingin memainkan gitarnya lagi meskipun Ryan membencinya karena itu.

 

Max sudah tahu kalau tuan pemilik toko buku antik itu sering ke area padang rumput untuk bermain gitar. Ia menyebut Leo sebagai tuan pemilik toko buku, meskipun umur mereka hanya berbeda dua tahun.

 

“Sampai kapan libur semester?” Max bertanya lagi tanpa menyadari kalau tuan pemilik toko buku itu sedang tidak ingin diajak berbicara.

 

“Dua minggu lagi.”

 

“Lama juga liburnya! Liburku cuma tiga minggu!” keluh Max membandingkan nasibnya dengan nasib Leo. Sepanjang pengamatannya, Leo sudah berada di rumah selama dua minggu. Jadi ia bisa membandingkan kalau waktu liburan Leo lebih lama darinya. 


“Oh iya, sudah lama aku enggak lihat Ryan. Biasanya dia ikut membantu mendata buku di sini.”

 

Ucapan Max membuat Leo teringat kalau rumah ini akan dijual dan itu berarti toko buku ini juga. Dia geram pada kakaknya yang membuat keputusan seenaknya. Tapi ia akan pastikan kalau rumah dan toko buku ini tidak akan jual.

 

Tiba-tiba terdengar suara bel pintu yang menandakan seorang pengunjung baru masuk. Max langsung menoleh ke arah keluar jendela. “Jarang sekali ada pengunjung datang saat hujan badai seperti ini,” gumamnya seraya beranjak berdiri.

 

“Maaaax???” Lalu terdengar suara gadis yang familiar. “Toko ini ditinggalkan ya?” gumam gadis itu dengan nada concern.

 

“Di sini, Kak!” seru Max sambil melambaikan tangannya.

 

Siang itu Seira memakai sweatshirt berwarna biru muda, celana jeans, topi, dan ia membawa tas kankennya yang berisi laptop. Ia langsung berlari menghampiri Max. “Aku enggak sanggup buka pengumuman kuliah di rumah.”

 

“Bukannya ada rumah… Kak Vanya?”

 

“Vanya dan Ansel sudah pergi ke universitas mereka.” Seira menghela napas. Lalu ia menoleh ke arah meja yang ada di sudut toko buku dan matanya menemukan Leo sedang duduk di situ. Entah mengapa, ia langsung merasa canggung. Padahal kemarin mereka duduk bersama di tengah padang rumput dan berlari bersama dari polisi yang sebenarnya tidak mengejar mereka.

 

Leo mengangkat wajahnya dari laptop ketika menyadari kehadiran Seira di toko buku itu. Wajahnya tanpa ekspresi. “Duduklah di sini.” Ia menunjuk kursi yang ada di hadapannya.

 

Lantas Seira kembali menatap Max dengan sorot kenapa-dia-ada-di-sini???

 

“Duh. Aku lupa kalau ada tugas liburan,” kata Max sambil beranjak pergi.

 

“Eh Max, aku ke sini mencarimu loh!” seru Seira berusaha menahan Max yang mulai melangkah ke meja kasir.

 

“Buka pengumuman kan bisa sendiri, Kak,” balas Max dengan polos. “Tugasku urgent banget.”

 

“Kan bisa kerjakan di meja itu.”

 

Max langsung menggeleng sambil tersenyum. “Aku lebih nyaman di meja kasir.” Meskipun sedari tadi ia mengobrol santai dengan Tuan Pemilik Toko Buku, sebenarnya (kalau bisa memilih) ia lebih memilih menghindar daripada harus duduk berdekatan dengan orang itu. Tuan Pemilik Toko Buku itu selalu membuat atmosfir di sekitarnya jadi dingin—sedingin cuaca pada hari ini.

 

Seira menghela napas panjang sambil berjalan menuju kursi yang ada di hadapan Leo. Entah kenapa, rasanya hari ini tidak sama seperti kemarin.

 

“Aku enggak mengganggumu kan?” tanya Seira pada Leo.

 

Leo menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Kelihatannya kamu deket sama Max?”

 

Seira mengambil laptop dari dalam tas dan meletakannya di meja. “Yeah, kurasa begitu. Dia anak yang baik.” Ia melihat jam dinding yang ada di toko buku itu. Pukul 2 lebih 45 menit. Masih ada waktu setengah jam lagi untuk menyiapkan mentalnya melihat hasil seleksi universitas.

 

Leo menatap Seira yang duduk di hadapannya. Perempuan yang duduk di hadapannya juga perempuan yang sama yang pernah menemukannya bertahun-tahun lalu saat ia melarikan diri dari rumah. Ia tahu kejadian itu hanya bagian dari kenangan masa kecilnya, tapi kenangan itu terus melekat di dirinya.

 

“Kenapa aku enggak pernah melihatmu di sini?” tanya Seira tiba-tiba—tak mampu menahan rasa penasarannya.

 

“Aku tinggal di sini sampai umur 10 tahun. Lalu setelah Kakek dan Nenekku meninggal, aku pindah,” ucap Leo. Mata cokelatnya terlihat sedih sekilas, namun detik berikutnya sorotnya kembali dingin. “Aku tinggal di rumah Ayahku sampai aku kuliah.”

 

“Oh pantas kamu seperti orang baru di sini,” kata Seira.

 

Leo mengangkat bahu.

 

“Jadi yang tinggal di sini semenjak Kakek-Nenekmu meninggal siapa?”

 

“Beberapa anggota keluarga. Tapi dua tahun terakhir, kakakku yang menjaga rumah ini.” Ia terlihat sangat enggan menyebut kakaknya.

 

“Kamu punya kakak?”

 

Leo mengangguk.

 

Seira tidak bertanya lebih lanjut tentang kakak Leo karena sepertinya cowok itu tidak ingin membahasnya. Mereka pun lanjut melihat ke arah laptop masing-masing. Seira membuka website seleksi universitas yang ditujunya. Sementara Leo baru saja selesai mengisi form pengajuan beasiswa.

 

Di luar, petir terdengar menyambar-nyambar. Hujan turun semakin deras. Lalu, listrik padam dan entah bagaimana sinyal di handphone Seira yang menjadi sumber hotspot juga menghilang. Ia gelisah karena 5 menit lagi pengumumannya muncul.

 

“Tenang semuanya! Aku ada stok lilin,” seru Max dari meja kasir.


Tak lama kemudian Max menyalakan dua lilin dan meletakkan salah satunya di meja Tuan Pemilik Toko Buku. Lantas ia kembali ke meja kasirnya untuk mengerjakan ‘tugas’ yang ia kerjakan di iPad miliknya.

 

Angin terdengar ribut di luar sana. Pohon-pohon yang ada di pinggir jalan bergerak-gerak seperti mengamuk. Hujan turun semakin deras. Suara petir membuat yang mendengarnya menutup telinga.

 

“Aku khawatir tidak bisa kuliah tahun ini,” gumam Seira dengan kepala terkulai di atas meja.

 

Leo memperhatikan rambut hitam Seira yang menutupi wajah cewek itu. Betapa ia ingin menyingkirkan helai rambut dari wajahnya untuk melihat mata hitamnya berbinar lagi. “Aku juga,” bisik Leo.

 

Seira langsung menegakkan kepalanya dan menatap Leo tak percaya. “Kamu kan udah kuliah dua semester.”

 

“Iya kalau beasiswa di universitasku mau membiayai kuliahku,” ucap Leo dengan suara pelan. “Kalau tidak, aku harus cari part-time job.”

 

“Kamu khawatir soal itu?” tanya Seira sambil menatap dalam-dalam mata Leo yang berwarna cokelat meskipun di bawah cahaya lilin. Mata itu seolah selalu berwarna cerah meskipun jauh dari cahaya terang. 

 

Leo mengangguk.

 

Seira tersadar kalau cowok di hadapannya ternyata juga menyimpan banyak kekhawatiran. “I know you can do it,” ujar Seira dengan senyum tulus di bibirnya. Senyum yang entah kenapa membuat Leo bisa bernapas lebih tenang.

 

Leo memperhatikan tangan Seira yang ada di hadapannya. Hatinya ragu. Namun, ia ingin memegang tangan Seira. “Is it okay to hold your hand?” bisiknya pelan agar Max tidak bisa mendengar.

 

Pipi Seira terasa panas. Ia mengangguk dan sekarang tangan mereka saling bertaut. Seira merasakan tangan Leo yang dingin. “Tanganmu sedingin es,” kata Seira yang membuatnya terpikir apakah Leo kedinginan?

 

Leo tersenyum seraya mempererat genggaman tangannya. Tangan Seira hangat—sangat kontras dengan suhu di sekitar mereka saat ini.

 

“Soal kejadian waktu kita masih kecil, bagaimana aku bisa menemukanmu?” tanya Seira. Pertanyaan itu masih sering muncul di benaknya. Pertanyaan soal kejadian yang ia bahkan tidak bisa mengingatnya.

 

You were crying,” jawab Leo. “The doctor said if you didn’t found me that night too late, you would only found a corpse.”

 

Seira terkesiap. “Kenapa aku nangis ya waktu itu?”

 

Leo mengangkat bahu.

 

It was just our childhood. Tapi aku selalu ingat kamu nangis waktu aku dibawa ambulance dari tempat perkara itu. Aku kadang heran kenapa aku masih ingat detail kejadian itu padahal aku setengah sadar," jelas Leo.

 

“Aku enggak paham kenapa aku enggak bisa mengingatnya sama sekali.” Seira menghela napas. “Kenapa kamu ada di tengah antah berantah waktu itu?”

 

Leo mengalihkan matanya dari mata Seira. Rasanya sangat tidak nyaman harus mengingat kejadian itu lagi. “I ran away that time but the reason is not important anymore.”

 

I am… thankful.. I found you that night before your breath was taken…” Seira mengatakan setiap kata-katanya dengan hati-hati.

 

“But my parents were not. They didn’t come to visit me at hospital later. They visit me when I come to my grandparent’s house.” Leo memandang ke arah jendela toko yang menampakkan hujan badai. “Aku mengamuk waktu melihat justru kakakku yang datang dan aku melempar gelas kaca ke arahnya. Untungnya lemparanku meleset dan hanya mengenai lantai.”

 

“Kalau kamu enggak nyaman bicarain soal itu, enggak apa-apa,” kata Seira.

 

Leo menghela napas panjang. “Tapi rasanya lega membicarakannya sekarang.” Ia teringat bahwa dulu dia tidak bisa setenang sekarang saat membicarakan kejadian itu. Ia sering tantrum dan menyulitkan Kakek-Nenek yang merawatnya. Ia bukan anak yang mudah dihadapi.

 

“Semoga aku bisa tinggal sekota denganmu, we can talk more and more,” kata Seira.

 

“Universitasmu berada di dekat kampusku. Yeah, mungkin kita bisa bertemu lagi.”

 

“Argh tapi aku takut kalau aku tidak diterima!”

 

Tiba-tiba lampu menyala lagi dan sinyal pun perlahan kembali muncul menampilkan tanda 4G. Seira langsung gelisah karena itu artinya sekarang ia bisa membuka pengumuman universitasnya.

 

Tanpa mereka sadari, tangan mereka masih saling bertaut. Pipi Seira terasa panas saat melihat tangan Leo masih menggenggamnya erat dan memberinya kenyamanan. Sungguh aneh, pikir Seira. His cold hand can give me warmth.

 

“Mau lihat bareng-bareng?” tanya Leo.

 

Seira tinggal menekan enter pada nomor ujiannya. “Sebentar! Aku belum siap, Leo!” serunya sambil mengatur napas. Setelah beberapa saat ia pun memberanikan diri menekan tombol enter sambil memejamkan mata.

 

Klik.

 

“Seira…” Suara kalem Leo membuat Seira tidak bisa menebak apakah itu nada untuk kabar baik atau buruk. “Kamu diterima di jurusan Seni Rupa Murni.”

 

“Heeee? Serius?” Seira pun membuka matanya dan melihat tulisan di layar laptopnya. Ia langsung tersenyum sumringah dan refleks ingin memeluk Leo. Ia sudah berdiri dan tangannya terentang. Tapi ia langsung duduk lagi dengan muka merah padam. “Oh aku harus segera bilang Mama dan temanku Vanya!”

 

“Selamat, Kak Seira!” seru Max yang tiba-tiba sudah berdiri di depan salah satu rak buku—tak jauh dari pojok membaca itu. Ia bertepuk tangan.

 

Thank you, Max,” kata Seira.

 

“Yah sedih sekarang aku enggak bisa sering-sering lihat Kak Seira di sini,” kata Max dengan nada sedih.

 

“Aku kan masih bisa kembali saat libur semester,” balas Seira.

 

Sementara di luar hujan mulai mereda, Leo memutuskan untuk membuatkan minum untuk dua orang itu. Ia beranjak berdiri.

 

“Mau kemana?”

 

“Mau kubuatkan teh. Anyone?”

 

Seira mengangguk, sementara Max berseru senang karena akan dibuatkan teh oleh Tuan Pemilik Toko Buku.

 

Leo sudah menuju pintu belakang menuju rumahnya. Seira berjalan mengikutinya. “Boleh kubantu?” tanyanya yang disambut dengan kata iya dari Leo.

 

Hari itu dingin namun juga hangat. Entah kenapa untuk pertama kalinya setelah sekian lama, rumah itu terasa lebih hangat saat ada Seira membantu di sampingnya. Ia bersyukur bisa bertemuSeira di kota kecil ini. Ia bersyukur mereka akan pergi ke kota yang sama setelah kuliah dimulai lagi.

 

Memang masih banyak masalah yang belum terselesaikan. Tapi momen sederhana seperti ini ternyata membuat perasaannya lebih baik. Jauh lebih baik.

 

Tak lama kemudian mereka kembali ke toko buku antik dengan nampan berisi tiga mug berwarna hijau berisi teh dan toples berisi biskuit spekulas. Lalu, mereka bertiga duduk melingkari meja itu—termasuk Max meskipun dia agak enggan berada dekat dengan Tuan Pemilik Toko Buku.

 

Leo memperhatikan Seira yang mengobrol dengan Max tentang hal-hal random. Ia memperhatikan mata hitam Seira yang berbinar saat tertawa. Ia ikut tersenyum melihatnya tersenyum. Rambut pendeknya yang acak-acakan membuat Leo ingin menepuk-nepuk kepala Seira.

 

Kota kecil itu menyimpan masa lalu mereka. Masa lalu yang mereka bagi bersama meskipun salah satunya tidak ingat. Kota kecil itu juga menyimpan momen sederhana seperti ini.

 

Selanjutnya, mereka akan meninggalkan kota kecil ini. Mungkin di kota yang baru itu, mereka akan sering bertemu. Dan saat itu, mungkin hanya ada mereka berdua.


End
Cerita ini sebenarnya adalah small town AU dari OC-ku.
I had fun times while writing this story, so I hope you also enjoy reading my stories!

 

 

Questions and Answes:

1.    Apakah rumah keluarga Leo bakal dijual?

Enggak. Leo bakal berusaha keras menentang kakaknya menjual rumah itu. Setelah kejadian malam itu, dia udah menyembunyikan sertifikat rumah itu di tempat yang cuma dia yang tahu.

2.    Orang tuanya Leo mana?

Orang tuanya tinggal di negara yang berbeda. Setelah Kakek-Neneknya Leo meninggal, Leo sempat tinggal bersama keluarga baru Papanya. Sementara Kakaknya tinggal bersama keluarga baru Ibunya.

3.    Papanya Seira mana?

:’) Kurang lebih sama ya kayak Leo. Ortunya dah pisah. Jadi Seira ikut Mama.

4.    Kenapa nama mereka enggak ada nama panjangnya atau surname?

Author masih bingung nentuin nama panjang mereka.

5.    Apakah bakal ada kelanjutannya?

Untuk Small Town AU ini cukup berakhir di sini. Selanjutnya author mau pikirin plot utama mereka. Atau mereka bakal ketemu lagi di Alternative Universe yang lain. See you around!

 

 

You Might Also Like

0 comments