The Unwanted

Juni 02, 2023

 


🌙

The heath was not the decent place to be a shelter. But here I am in the midnight, when the moonlight illuminates the forbidden woods. 


Somebody said only the outcasts who are able to get through the forbidden woods safely. Probably I am one of them because I can be here after walking through that woods.

 

Hanya terdengar suara rumput bergemerisik malam itu. Angin yang berembus seolah berbisik kepadaku mengatakan aku tidak berhak berada di sini. Lalu di mana seharusnya aku berada? Padang rumput itu luas dan aku tidak melihat cahaya satupun sepanjang mata memandang.

 

Sepenuhnya aku sendirian—menjadi tak terlihat. Meskipun aku tak terlihat di mata siapapun, aku tetap mempunyai keinginan. Keinginanku hanya sederhana. Aku ingin dipeluk. Aku ingin dipeluk dan disayang...

 

Kakiku mulai terasa berat seolah gaya gravitasi bumi semakin membesar. Entah sudah sejauh apa aku melangkah di tengah padang rumput tanpa batas ini. Gelap. Hening. Kosong. Hanya cahaya rembulan yang menjadi satu-satunya alasan aku bisa melihat di tengah kegelapan total ini.

 

Barisan pohon hutan terlarang tampak semakin jauh di belakangku. Aku ingin kembali ke dalam hutan itu tapi hutan pun juga menolakku. Seolah aku ini barang tak berguna yang harus dibuang dan dijauhi.

 

Gravitasi bumi memperlambat langkah kakiku. Sampai akhirnya aku membiarkan gaya gravitasi itu menarikku dan rumput-rumput itu mengekang kaki telanjangku. Rumput itu tumbuh cepat dan bergerak seperti sulur, menarik kakiku, menarik tanganku, menyelubungi tubuhku yang jatuh telungkup di atas tanah.

 

Tanpa sadar air mataku meleleh. Apakah semua anak yang tak diinginkan akan berakhir seperti ini? Apakah aku tak boleh punya keinginan sedikitpun? Untuk merasakan dipeluk dan disayang?


Kupikir aku satu-satunya makhluk yang ada di tengah padang rumput itu. Tapi, samar-samar aku mendengar suara langkah kaki kian mendekat. 


Ada kunang-kunang mengikuti setiap langkahnya. Ketika ia sampai di hadapanku yang sudah dibelenggu oleh rerumputan jahat, ia berjongkok dan menatapku.

 

“Kamu juga dibuang?” tanyanya. Suaranya seperti danau yang tenang. Dalam.

 

Aku tak bisa melihat wajahnya. Tapi aku yakin dia laki-laki dari suaranya. Ia tampak seperti siluet. Aku hanya bisa melihat kalung berkilat di lehernya yang menunjukkan inisial huruf L.

 

“Ya,” jawabku lemah.

 

“Kamu bisa keluar dari belenggu itu, kalau kamu berhenti membohongi dirimu.”

 

Aku tak sanggup mengartikan ucapannya. Tak bisakah dia menarik rerumputan yang membebat tubuhku ini?

 

“Enggak. Aku enggak bisa menolong,” ucapnya dingin seolah dia mampu menebak isi pikiranku.

 

Sulur rerumputan itu mulai menutup mataku dan mulutku. Aku tak bisa bertanya lagi. Berhenti berbohong? Apa aku selama ini membohongi diriku?

 

Baiklah. Aku menarik napas sebelum rumput itu juga menutup jalur napasku. Pikiranku berpacu—mencari secercah prasangka baik yang pernah kubuat untuk diriku… yang kupikir itu satu kejujuran, bukan kebohongan. 


Mungkin masih ada orang yang menginginkan diriku ada di atas muka bumi ini—meskipun aku tidak tahu siapa. Mungkin aku tak seburuk yang pikiranku kira… Mungkin—

 

Rumput itu berhenti membebatku dan menyingkir dari wajahku. 

 

Aku bisa melihat dengan jelas sekarang. Mulutku bisa terbuka dan aku bisa bernapas. 

 

Aku terus mengulang pikiran itu berkali-kali hingga akhirnya sulur-sulur itu masuk kembali ke dalam tanah. Gravitasi bumi perlahan terasa seperti 9,8 m/s2 lagi sehingga aku bisa bangkit untuk duduk berhadapan dengan laki-laki itu.

 

Aku menatapnya dengan sorot tak percaya. Di bawah cahaya remulan, ia terlihat seperti patung. Kupikir warna abu-bau cocok untuk matanyam Namun, matanya berwarna cokelat madu. Manis. 

 

“Baru kali ini ada orang lain di sini,” ucapnya seraya duduk bersila di depanku. Kuperhatikan ia memakai kaos t-shirt, kemeja berwarna abu-abu, dan celana jeans. Wajahnya yang tanpa ekspresi terlihat seperti patung yang dipahat pemahat Yunani kuno. Tapi, mata, hidung, pipi, mulut, telinga, tangan, kaki, dan tubuhnya hidup.


 Dia jelas-jelas hidup.



“K-kenapa kamu bisa ada di sini?” tanyaku. Aku tersadar kalau aku memakai pakaian terakhirku dari dunia di balik hutan terlarang. Sweater berwarna pink lembut dipadu dengan pakaian overall pendek.

 

“Harusnya aku yang bertanya begitu.”

 

“Ini tempat apa?” tanyaku lagi.

 

Sekarang kunang-kunang mengelilingi kami berdua dan menjadi sumber cahaya selain rembulan. Cahaya kuning temaram berpendar dari para kunang-kunang itu.

 

Dia tak menjawab pertanyaanku.

 

Aku jadi takut. Apakah aku sudah tidak ada? Aku menekuk kedua lututku dan mendekap kedua lututku. Aku tak tahu tempat apa ini. Tenggorokanku tercekat. Lalu, air mataku tumpah. Pandanganku buram. Aku tak bisa menilai wajahnya dengan jelas lagi. Apakah dia baik? Atau jahat?

 

“Berhenti menangis,” ucapnya datar.

 

“Bagaimana bisa? Aku enggak tahu ini tempat apa," aku terisak. Lalu kutatap dirinya, "Dan kenapa kamu bisa melihatku?” tanyaku sambil menghapus air mataku meskipun air mataku belum bisa berhenti mengalir. 

 

Saat pandanganku mulai jernih, aku bisa melihat rerumputan di sekelilingku bergerak seperti ingin membelengguku lagi. Tapi para kunang-kunang itu menahannya.

 

“Kamu manusia, sama seperti diriku, tentu aku bisa melihatmu,” jawabnya datar.

 

“K-kamu menahan rerumputan itu?” tanyaku seraya menunjuk sulur-sulur rerumputan yang berusaha menjamah kaki dan tanganku lagi.

 

“Selama kamu belum bisa melepaskan perasaan burukmu, mereka akan menguburmu lagi.”

 

Aku menarik napas. Jadi karena aku? Aku menangkupkan tangan di depan wajahku dan aku berusaha menghilangkan perasaan negatif itu. Perlahan perasaan itu hilang digantikan dengan kehampaan dan keinginan yang semu...

 

Saat aku menurunkan tanganku, rumput-rumput itu normal kembali seperti rumput pada umumnya.

 

Aku menatapnya. “Bagaimana bisa?” tanyaku.

 

Ia mengangkat bahu. Aku yakin dia sebenarnya tahu jawabannya, tapi ia malas menjawab.

 

“Kamu masih mau hidup?” tanyanya dengan wajah penasaran.

 

“Mungkin.”

 

“Enggak boleh ada kata mungkin. Harus ya atau tidak.” Wajahnya serius. Alisnya hampir bertemu.

 

“Ya…” ucapku dengan suara lirih.

 

“Tapi mereka menganggapmu enggak ada. Masih mau ke sana?” tanyanya tanpa tedeng aling-aling sambil menunjuk hutan terlarang yang tampak berkilo-kilometer jauhnya. 


Aku mengerti yang dimaksud olehnya bukan hutan terlarang itu, tapi dunia yang ada di balik hutan tersebut.

 

“Kamu sendiri? Gimana?!” seruku.

 

“Aku tidak mau.”

 

Aku memperhatikan ekspresi wajahnya yang keras. Entah kenapa aku merasa di balik ucapan ketusnya, ia terlihat kesepian. Sangat kesepian. “Kenapa?” tanyaku.

 

“Karena mereka berharap aku pergi.”

 

“Kenapa?”

 

“Karena mereka beranggapan aku ini cuma beban. Karena kondisiku yang membuat mereka harus mengeluarkan banyak uang. Karena aku tidak bisa seperti anak lainnya!” Rerumputan itu tiba-tiba muncul begitu tinggi seperti ombak berwarna hijau gelap yang ingin memakannya hidup-hidup. 


Sulur-sulur itu seperti mau menarik tangan dan kakinya lalu membenamkan tubuhnya ke dalam tanah. Jika tidak ada para kunang-kunang kecil itu, rumput-rumput itu mungkin sudah menutup mata, hidung, dan mulutnya sampai ia berhenti bernapas.

 

Aku ngeri melihat rerumputan yang mengamuk ganas itu.

 

Detik berikutnya rumput itu normal kembali meskipun setelahnya cowok itu tampak semakin pucat dan bernapas lebih  cepat. 

 

Sorot matanya yang tadinya membara sekarang menatapku sedingin es. Aku melihatnya seperti landak. Berduri tajam tapi aslinya halus.

 

“Tapi kondisi itu bukan salahmu,” ucapku lirih.

 

Cahaya rembulan masih menyinari kami. Angin berembus perlahan membisikan suara-suara yang tak bisa diartikan dengan bahasa manusia. 


Padahal tadi aku sempat mendengar angin itu berbicara padaku dengan bahasa manusia.


“Mereka ingin aku enyah dari muka bumi ini,” ucapnya dengan nada datar—tanpa emosi apapun. Tapi mata cokelatnya tak bisa berbohong. “Jadi enggak ada gunanya kembali.”

 

“Lalu kenapa kamu enggak membiarkan rumput-rumput itu melahapmu?” Itu artinya kamu masih mau hidup. Kamu masih berkata ‘ya’ untuk hidup.

 

“Sebentar lagi aku akan membiarkan mereka untuk memakanku,” katanya. Lalu kusadari beberapa cahaya para kunang-kunang mulai redup.

 

“Terus aku sendirian di sini?” seruku panik.

 

“Bukan urusanku.”

 

“Jangan pergi sebelum katakan bagaimana caranya keluar dari sini!” 

 

Ia tertawa meremehkanku. Baru kali itu aku melihat ekspresi itu di wajahnya selain ekspresi datar. “Enggak ada yang bisa keluar dari sini.”

 

Aku merasa darah menghilang dari wajahku. “Benarkah?”

 

“Aku sudah melihat berbagai macam orang datang dan rumput-rumput itu memakan mereka. Aku melihat mereka perlahan ditelan bumi.”

 

“Tapi kamu masih ada di sini dengan kunang-kunang.”

 

“Ya…” jawabnya lirih. Sebagian besar kunang-kunang itu mulai redup dan berguguran. “Mereka temanku dan mereka bilang kalau mau keluar dari sini, aku harus bilang bersedia pada Kehidupan… dan aku harus siap pada konsekuensi menghadapi dunia lagi.”

 

Aku terdiam. Selama ini aku dianggap seolah tak pernah ada… Apakah aku mau merasakan perasaan itu lagi? Perasaan seolah-olah aku ini hanya hantu tak bernama di antara orang-orang yang kupikir seharusnya menyayangiku? 


“Y-ya, aku bersedia untuk hidup,” ucapku dengan ragu-ragu. Lantas aku menatap kalung huruf L di lehernya. “Boleh aku tahu namamu supaya aku ingat pernah bertemu seseorang di sini?”

 

“Leo.”

 

“Jadi itu arti huruf L di kalungmu. Leo.” Lalu aku menunjukan gelang bertuliskan namaku. Gelang itu terbuat dari manik-manik yang kurangkai sendiri. Lima di antara manik-manik itu adalah huruf yang membentuk namaku. “Seira,” ucapku—menyebutkan namaku.

 

Ia mengernyitkan dahi—tak mengerti. Atau tidak peduli? Atau tidak tertarik?

 

“Maksudku, namaku Seira.”

 

“Seira,” ucapnya menyebut setiap silabel namaku.  

 

Tiba-tiba bumi terasa bergoncang. Aku terkesiap. Lalu aku mendengar suara yang begitu memekakan telinga hingga aku harus menutup telingaku. Suara itu berkata dengan perkataan yang hanya bisa didengar di dalam kepalaku.

 

Kalian sudah bersedia untuk hidup meskipun diucapkan dalam hati bukan dengan mulut.

Kalian juga sudah siap menghadapi konsekuensi kehidupan.

Kalian juga sudah menyebut nama satu sama lain.

Jadi kalian bisa kembali ke dunia normal kalian.

 

Suara itu hilang. Aku melepas tangan dari kedua telingaku dan membuka mataku yang terpejam. Leo juga menurunkan tangan dari telinganya. Ia menatapku dengan mulut terbuka. Sepertinya suara tadi tidak hanya bisa didengar olehku, tetapi juga bisa didengar olehnya…

 

Air mata meleleh di pipinya. Ekspresinya yang sedingin patung seolah mulai mencair.

 

Apakah suara yang ia dengar mengatakan hal yang sama seperti yang kudengar? Karena reaksi kami berbeda. Aku tidak sampai menangis.

 

Tapi satu hal yang pasti, hutan terlarang itu tiba-tiba menjadi dekat seperti hanya sejengkal jaraknya dan ada jalan setapak di tengahnya yang diterangi kunang-kunang.

 


--

 

 

This is the place where all the unwanted beings meet. When one meet each other, they realize they do not feel unwanted anymore.

 

--

 

Fin.

You Might Also Like

0 comments