BROKEN Part 2

Januari 17, 2016



Tittle: Broken
Author: Nandakyu
Genre: Family, Friendship, School-life
NB: Haaai! ^^ Ini lanjutan dari cerita Broken buatanku. Idenya tiba-tiba aja dateng di kepalaku xD Kkkk... Selamat membaca kalau mau membaca... ^^ 





Part 2
Go Out With Friends, Why Not?
                                                                                                                                                                    
Sosok itu mendongakkan kepalanya. Tadinya ia sedang memainkan handphone-nya. “Adik Rayyan ya?” sahut orang itu dengan menekankan kata ‘Adik’ pada Rayyan.  Ia tersenyum pada Rayyan.

Ups… Rayyan sampai lupa memanggil orang itu dengan kata ‘Mas’. Walaupun mereka sama-sama kelas 12, tapi umur mereka berbeda jauh. Yudha sudah berumur 17 tahun sedangkan Rayyan masih berumur 15 tahun. Tentu saja Rayyan seangkatan dengan mereka karena Rayyan selalu masuk kelas Akselerasi sejak SMP. Ia hanya menempuh SMP selama 2 tahun dan SMA juga selama 2 tahun. Walau begitu, Rayyan tetap terlihat seumuran dengan Yudha karena tubuhnya yang bongsor. Bahkan Rayyan mungkin lebih tinggi dari sosok bernama Yudha itu. Rayyan memiliki tinggi 175 cm. Ia cukup tinggi untuk anak seumurannya, karena mengikuti Papa-nya yang juga tinggi.

“Cari Kak Afya?” tanya Rayyan.

“Iya.”

“Mau berangkat bareng?” tanya Rayyan lagi dengan nada menyelidik.

“Iyalah,” jawab Yudha.

“Kak Afya berangkat sama aku,” jawab Rayyan.

“Eh? Tadi malam dia udah janjian sama aku buat berangkat bareng.”

Tiba-tiba Afya muncul dari dalam rumah. Ia sudah siap berangkat sekolah. “Ray, hari ini Kakak enggak berangkat sama kamu ya?” ucapnya pada adiknya. “Bye adik kecil Kakak~”

Yudha diam-diam tersenyum geli mendengar perkataan Afya barusan. Ia tersenyum puas melihat Rayyan yang memasang wajah kesal. Ia tahu kalau Rayyan tak rela kakaknya berangkat bersama pacarnya. Sebelum-sebelumnya ia juga sudah sering mengajak Afya berangkat sekolah bersama, tapi keesokan harinya Rayyan langsung memberinya ‘pesan peringatan’. Namun itu sudah terjadi berbulan-bulan yang lalu. Jadi, mungkin saja Rayyan lupa.

Rayyan mengabaikan kakaknya dan mendorong motornya ke halaman rumah. 

“Kakak duluan ya! Assalamualaikum!” kata Afya sebelum berlalu.

“Waalaikumsalam…

“Cih… Mau-maunya dia jadi tukang ojek-nya Kakak,” gumam Rayyan sambil mendengus. Anak itu melirik jam tangannya. Ternyata sudah jam 6.30. Ia segera memakai helm-nya dengan benar dan menaiki motornya. Kemudian melaju dengan cepat menuju sekolahnya.

**

Afya POV

Hari yang cukup melelahkan karena hari ini ada banyak ulangan harian. Selain itu, aku juga harus les sepulang sekolah. Itulah deritaku sebagai anak kelas 12. Ada banyak les yang harus kuikuti. Aku berjalan memasuki rumah dan mendapati rumahku terasa sangat hening.

Pukul 8.45 p.m. Pantas saja sepi. Pasti Rayyan sudah tidur.

Aku masuk ke dalam rumah lewat garasi. Aku sedang malas lewat pintu utama. Pak Herusopir keluarga kamimenyapaku dengan ramah. Sepertinya beliau sedang memperbaiki sesuatu di mobil.

“Baru pulang Afya?” sapa Pak Heru padaku. Beliau sudah sangat dekat dengan aku dan Rayyan.  

“Iya, Pak… Habis les,” jawabku sambil melepas sepatuku dan menaruhnya dengan rapih di rak sepatu.

Aku berjalan memasuki rumah dan langsung menuju lantai 2. “Fiuuuh…” gumamku ketika memasuki kamar tidurku. Aku melihat beberapa post-it yang kutempel di meja belajar sebagai pengingat. “Ya ampun, ternyata tugas itu buat besok,” keluhku ketika membaca post-it-post-it di mejaku.

Aku mengambil buku paket Fisika-ku dari rak buku pelajaran. Begitu kubuka halaman yang dibuat untuk PR, aku langsung mengeluh. “Banyak bangeeet…” gumamku tanpa sadar ketika melihat barisan 20 soal yang masih bersih.

Aku langsung mengambil pensil dan mengerjakan soal-soal yang tak butuh hitungan. Saat beralih ke soal-soal hitungan, aku sedikit bingung. Atau lebih tepatnya, sangat bingung. Akhirnya aku memutuskan untuk bertanya pada adikku. Yeah, aku dan Rayyan seangkatan kan? Dan jujur saja, dia lebih pintar dan cerdas dariku. Itu sebabnya ia masuk kelas Akselerasi.

Aku beranjak berdiri dan berjalan menuju kamar adikku. Lampunya masih menyala. Begitu kubuka kamarnya, ia sudah tidur. Dasar tukang tidur. Padahal belum jam 9!

Tiba-tiba handphone-nya berbunyi. Iseng, aku mengambil handphone-nya. Walaupun ia mem-password hanphone-nya, aku tetap bisa membukanya karena aku tahu password-nya. Ia pernah tak sengaja membuka handphone-nya di depanku. Jadi aku bisa tahu.  

Aku membuka SMS yang baru masuk ke handphone-nya. Mungkin SMS dari teman ceweknya. Adikku ini memang cukup famous di antara cewek-cewek di sekolah. Bahkan ia juga terkenal di antara kelas 12 reguler dan adik-adik kelas. Kuakui saja, adikku memang sangat manis.

Eh tunggu… SMS ini bukan dari teman ceweknya. Melainkan dari Mama.

What? Mama? Sudah lama aku tak mendengar kabar Mama…

Apa kabar, Rayyan? Gimana sekolahmu? Afya gimana? Kalian baik-baik aja, kan?

Aku juga membaca pesan-pesan sebelumnya. Ternyata ada cukup banyak. Tapi… aku tak melihat pesan balasan dari Rayyan.

Rayyan, kenapa enggak diangkat telefon dari Mama? Kamu masih marah sama Mama? Ma’afin Mama ya, Nak… Mama sayang Rayyan.

Aku membaca terus SMS-SMS itu dan tanpa sadar mataku terasa panas.

Hari ini kalian UAS ya? Mama selalu mendo’akan kalian… Hati-hati ngerjain soalnya. Mama sayang Rayyan dan Afya selalu.

“Mama…” gumamku lirih. Tanpa kusadari, mataku sudah basah. Kupikir Mama sudah benar-benar melupakan aku dan Rayyan. Jujur saja, sudah 3 tahun ini aku tak bertemu dengan Mama. Dan setiap kali aku meminta ingin bertemu dengan Mama, Papa hanya diam. Papa tak mengizinkanku bertemu dengan Mama yang sekarang tinggal di Kalimantan bersama suami barunya. Sekeras apa pun aku meminta, Papa tetap menolak. Aku pun menyerah… karena Papa sangat keras kepala. Aku sangat marah. Itu sebabnya aku memutus hubunganku dengan Mama. Aku tak mau meng-SMS Mama, bahkan aku tak ingin menerima SMS dari Mama karena Papa. Akhirnya aku memutuskan untuk mengganti nomor handphone-ku. Aku tak ingin selalu ingat Mama karena jika aku mengingat Mama, aku selalu menangis seperti ini.

Meskipun begitu… Aku selalu merindukan Mama dan menyayangi Mama.

**

Hari Sabtu tiba. Sekolah kami sudah melaksanakan program sekolah 5 hari. Jadi, aku memanfaatkan hari Sabtu-ku untuk bersantai. Aku membuka handphone-ku dan langsung mendapat SMS dari Yudha.

Morning, sweety ;) Nanti malam Gina ulang tahun. Mau ke partynya?

Aku langsung bangun dan tersenyum sendiri. Gina juga temanku waktu SMP. Namun sekarang, ia tak satu sekolah lagi denganku.

Morning too, honey. Of course I want to join!

Sent. Ah, dia benar-benar moodboster-ku pagi ini. Aku dan Yudha sudah berpacaran hampir 1 tahun. Bulan Desember besok, kami akan merayakan anniv yang ke-1. Kami pertama kali bertemu di tempat les dan sejak itu kami jadi sangat dekat. Tak lama kemudian, kami pun berpacaran. Walaupun kami berbeda sekolah, kami tetap dekat.

Aku jemput jam 5, okay? Sekalian jalan-jalan dulu…

Aku cepat-cepat membalas SMS itu.

Okei. I’ll wait ya :*

Sent.

Aku merebahkan diriku lagi di atas tempat tidur. Masih pukul 7 a.m. Aku memutuskan untuk bergelung lagi di bawah selimut.

Tiba-tiba pintu kamarku diketuk beberapa kali. Dengan malas aku membuka kunci kamarku dan membuka pintu.

“Apa…?” ucapku.

“Temenin Ray beli kue yuk.” Oh, ternyata adikku. Sepertinya ia juga baru bangun tidur, ia masih memakai celana pendek dan kaos tidurnya. Rambutnya berantakan. Beberapa kali ia mengucek matanya. Ah, dasar kakak-beradik yang malas.

“Buat apa?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Setahuku, hari ini tak ada yang berulang tahun.

“Papa.”

“Papa kan ulang tahunnya hari Selasa kemarin.”

“Ya nanti kan Papa pulang. Kita bikin surprise,” jelas Rayyan.

“Paling Papa pulangnya malam.” Aku hapal benar dengan Papa. Biasanya Papa pulang ke rumah jam 10 ke atas…

“Bisa buat besoknya kan? Yuk, temenin,” ajak Rayyan bersikeras.

“Mager (Malas bergerak),” jawabku asal. “Beli aja sendiri.”

“Hmmm ya udah,” ucapnya sambil berlalu. Kupikir ia akan tetap bersikeras mengajakku. Jarang sekali ia mudah menyerah seperti ini. Ah, biarlah…

**

Beberapa saat kemudian…

Rayyan berdiri di pintu utama rumah. Ia memandang ‘pemandangan’ di depannya. “Perasaan gue cuma ngajak lo,” ucapnya sambil melipat tangan di depan dada. Ia menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu. “Kenapa ada mereka?”

“Biar jadi double date,” jawab Dio dengan suara kecil. Ia nyengir lebar.

“Eh apa?!”

“Enggak… Abaikan,” ucap Dio, masih dengan cengiran lebarnya.

“Ray, kamu mau cari kue? Kenapa enggak bilang dari kemarin?” kata Nindya nimbrung. Ia baru saja turun dari motor Scoopy-nya lantas ikut bergabung dengan 2 teman laki-lakinya.

“Pesan ke Ibuku juga bisa. Ibuku kan bikin usaha jual kue,” kata Taniateman sekelas mereka juga. Cewek berambut ikal panjang itu adalah teman dekat Nindya. Mereka berdua selalu kompak kemana-mana.

“Aku enggak tahu,” jawab Rayyan. “Ya udah, sekarang mau cari di mana?”

“Gimana kalau ke Moro?”  usul Nindyamenyebut salah satu pusat perbelanjaan terkenal di Kota Purwokerto, kota tempat mereka tinggal.

“Boleh juga, tuh,” kata Dio sumringah. “Sekalian main juga. Belajar terus kan bosan.”

“Bener!” sahut Nindya, terlihat puas usulnya disetujui teman-temannya.

“Aku sih ngikut kalian aja,” kata Tania.

Rayyan masih belum menerima ‘keramaian dadakan’ ini. Tapi akhirnya ia setuju saja dengan teman-temannya. Ia memang sudah bersiap-siap pergi. Tak lagi seperti orang bangun tidur. “Ya udah, ayo.”

“Oh iya, kayaknya kalau bawa 3 motor agak ribet deh. Gimana kalau motornya Nindya dititipin di sini aja,” kata Dio tiba-tiba saat Rayyan hendak mengeluarkan motornya.

What?!” Rayyan langsung tidak setuju. Tapi sepertinya Dio tak begitu mendengarkannya.

“Tania, kamu sama aku,” kata Dio enteng.

“Oke,” jawab Tania menurut saja dengan ide ‘bodoh’ Dio. Paling tidak begitu menurut Rayyan.

“Jadi… Aku sama Rayyan?” ucap Nindya hati-hati. Gadis berkerudung pink itu terlihat ragu-ragu ketika melihat Rayyan yang sepertinya tak menerima keadaan ini.

“Hahaha… Tenang aja, Nin… Dia enggak bakal gigit kamu kok,” celetuk Dio sambil memakai helm-nya lagi. Ia berkata begitu karena Rayyan terkenal galak di kelas mereka. Sementara itu, Tania sudah duduk di belakang Dio. Dio terkekeh melihat wajah badmood sahabatnya. “Hahahaha… Aku duluan ya, Ray!” kata Dio sambil mengegas motornya keluar dari halaman rumah Rayyan.

Rayyan mengumpat diam-diam tanpa terdengar oleh Nindya.

Nindya mendadak gugup di hadapan cowok itu. “Eh, kalau kamu enggak enak sama aku… A-aku bisa naik motor sendiri,” ucapnya tanpa menatap Rayyan. Tiba-tiba ia merasa salah tingkah tanpa sebab dan diam-diam ia mengutuki dirinya sendiri karena hal ini. Dan masalah lainnya… perasaan ini pernah datang sebelumnya…

“Eh, bukan gitu! Kamu tetap sama aku,” jawab Rayyan. “Motormu diparkirin di garasi aja. Sini, biar kubawain ke dalam.”

Setelah memasukkan motor Nindya ke garasi, Rayyan kembali lagi ke halaman rumah. Lantas menaiki motornya disusul Nindya yang mengambil posisi duduk di belakang Rayyan. Mereka pun melaju di jalan raya menyusul Dio dan Tania yang sudah jauh di depan.

**

20 menit kemudian. Mereka sampai di pusat perbelanjaan. Tapi mereka tak langsung menemukan Dio dan Tania. Mereka lupa memutuskan mau bertemu di mana kalau sudah sampai di sini. Rayyan mendesah pelan. “Ah elah, di mana mereka?” gumamnya sambil merogoh saku jaket yang ia pakai untuk mengambil ponselnya.

“Paling mereka udah jalan dulu. Mending kita ke tempat kue dulu,” kata Nindya menyarankan.

Rayyan pun urung meng-SMS Dio. Rasanya ia ingin sekali meninju wajah Dio yang sudah membuatnya seperti ini. Tadinya ia hanya mengajak Dio untuk menemaninya membeli kue. Tapi Dio malah mengajak Nindya juga dan sepertinya Nindya mengajak Tania untuk ikut bersamanya. Tania dan Nindya memang selalu pergi bersama-sama.

Akhirnya mereka berjalan menuju tempat yang menjual kue di bagian dalam pusat perbelanjaan. Rayyan mulai memilih-milih kue yang mungkin disukai Papa-nya. Ia tahu Papa-nya tak begitu menyukai krim. Jadi ia berusaha memilih kue yang tak begitu banyak krim-nya.

By the way, kue-nya buat siapa? Kakakmu?” tanya Nindya tiba-tiba untuk menghilangkan suasana canggung di antara mereka berdua.

“Papa-ku. Kemarin Papa-ku ulang tahun, jadi aku mau buat surprise buat Papa,” jelas Rayyan.

“Oooh…” Nindya diam-diam memandang cowok di sampingnya. Ternyata hanya tampangnya saja yang cuek, tapi aslinya ia sangat perhatian. Ia sangat suka cowok yang perhatian pada keluarganya. Hal itu membuat jantung gadis itu berdetak lebih kencang dari biasanya. Pipi Nindya terasa panas. Tapi ia berusaha mengalihkan perhatiannya dari cowok tinggi di sampingnya.

“Mahal-mahal semua ya?” komentar Rayyan.

“Namanya juga di mall. Pasti mahal,” jawab Nindya. Aishhh… Tadi lagi mikir apa sih…? “Papa-mu suka kue yang kayak gimana?”

“Papa-ku enggak suka yang banyak krimnya. Kalau cokelat-nya banyak, Papa-ku masih suka,” jawab Rayyan lagi.

Mereka berdua memperhatikan etalase yang memajang berbagai macam kue ulang tahun. Mulai dari kue ulang tahun anak-anak sampai kue ulang tahun yang terlihat simpel.

“Eh, ini!”

Tiba-tiba mereka berdua menunjuk ke satu kue yang sama. Padahal mereka sama sekali tak sengaja.

Rayyan berdeham, berusaha agar tidak terlihat salah tingkah. Ia berjongkok karena kue itu terletak di etalase bagian bawah. Ia membaca harga kue itu.

“Enggak terlalu mahal kan?” kata Nindya, ikut berjongkok di samping Rayyan.

“Enggak.”

“Ya udah, langsung pesan aja sama Mbak-Mbaknya,” kata Nindya.

Rayyan spontan tersenyum geli mendengar istilah itu. “Maksud kamu pegawainya?”

“Uhm, ya, itu maksudku,” jawab Nindya tergagap ketika melihat senyum sekilas dari Rayyan barusan.

“DOOORRR!!!” Dio tiba-tiba muncul di belakang mereka entah dari mana. Ia dan Tania berbarengan berteriak DOR dan membuat beberapa pengunjung lain menatap heran ke arah mereka.

“Upsi. Kekerasan suaranya,” ucap Tania sambil terkekeh.

“Kalian kemana aja?!” tanya Rayyan langsung.

Dio dan Tania hanya nyengir seolah tanpa dosa pada kedua orang di depannya.

“Kalian nyebelin banget, sumpah! Ninggalin orang sembarangan!” omel Nindya pada Dio dan Tania.

Sorry… Dari tadi kita sebenernya ada di dekat kalian. Tapi kalian aja yang enggak peka,” jawab Dio dengan wajah tak bersalah. Ia nyengir lebar pada Rayyan.

Sekarang Rayyan rasanya ingin mencekik leher cowok di depannya sampai cowok di depannya tak bisa bernapas. Tapi Rayyan segera menarik napasnya. Sahabatnya ini benar-benar kelewat iseng. “Awas kamu, Dio…”

“Udah dapat kue-nya kan?” tanya Tania.

“Udahlah! Enggak perlu bantuan kalian!” jawab Nindya.

Rayyan pun memesan kue itu dan langsung membayarnya. Tapi ia mengambil kuenya nanti saat mau pulang. Ia menduga sehabis ini pasti mereka tak akan langsung pulang.

Setelah Rayyan selesai membayar, tiba-tiba Dio merangkul Rayyan, membuat Rayyan langsung berusaha menjauh. Tapi tak bisa. “Harusnya kamu berterima kasih, dong…” ucap Dio pelan-pelan agar kedua cewek di belakangnya tak mendengar.

“Terima kasih buat apa coba?”

“Jadi bisa dating sama Nindya, kan…? Mendingan kamu tembak dia hari ini… Jangan PHP-in dia… Kamu itu kayak PHP-in dia tahu.”

Rayyan langsung melepas rangkulan Dio. “Ngomong apa sih? Aku enggak suka dia!”

“Mulut bisa bohong, tapi hati enggak. Dia udah suka kamu dari dulu. Kalian juga deket jadi kenapa kalian enggak jadian aja?” Dio masih memprovokasi Rayyan.

“Enggak. It’s pointless,” jawab Rayyan.

Sementara itu Nindya dan Tania yang melihat adegan kedua cowok di depannya hanya memandang tak mengerti. “Mereka kenapa sih?” tanya Tania.

“Enggak tahu,” jawab Nindya sambil mengangkat bahu.

Tak lama kemudian, Rayyan dan Dio kembali. “Sekarang mau ke mana, guys?” tanya Dio sambil tersenyum dengan maksud ‘berusaha-terlihat-mempesona’ pada Tania dan Nindya. Tapi sepertinya Tania dan Nindya tak menyadari maksud senyuman itu. Dio memang agak play boy, atau kenarsisan kali ya? Tapi semua cewek yang melihatnya pertama kali, pasti langsung berpikir kalau cowok ini manis banget. Dio memang punya senyum lebar yang membuatnya menarik. Selain itu ia juga cukup tinggi.

“Main ke Game Centre di atas, yuk,” kata Tania.

“Yuuk,” sahut Nindya dengan semangat. Sudah lama juga ia tidak ke Game Centre.

Rayyan berjalan di belakang mereka. Ia sengaja melambatkan jalannya.

“Ayo, Ray!” kata Dio.

“Enggak ah… Males banget ke Game Centre…” kata Rayyan dengan nada malasnya. Ia memutuskan untuk berjalan lambat-lambat di belakang ketiga temannya.

Namun, ucapan Rayyan barusan berbanding terbalik dengan apa yang terjadi beberapa saat kemudian di Game Centre. Begitu mereka memasuki Game Centre, Rayyan langsung berjalan di depan. Sayangnya ia tak membawa kartu Game Centre-nya. Beruntung,  Tania bawa kartu Game Centre. Mereka berempat patungan untuk membeli pulsa kartu agar bisa digunakan untuk bermain di Game Centre. Game Centre itu memang tak menggunakan koin lagi untuk menjalankan permainan, tapi menggunakan kartu.

“Main balapan, yuk?” ajak Rayyan sambil menunjuk salah satu racing game yang ada di Game Centre itu. Ia juga sudah lama ke tempat ini semenjak kelas 12. Ia terlalu sibuk belajar dan bermain PS di rumah.

“Haha… Ayo!”

Rayyan dan Dio langsung mencoba game balapan itu. Rayyan terlihat sangat senang, sangat berbeda dengan ekspresinya beberapa saat yang lalu. Sayangnya sudah 2 babak, Dio tetap kalah. Dio salah memilih game. Aslinya Rayyan bisa menyetir mobil, pastilah Rayyan lebih ahli dalam soal ini.

Yeah! Gue menang lagi!” seru Rayyan setelah memenangkan babak ke-3.

“Sial. Lo curang, Ray! Lo kan bisa nyetir mobil!” keluh Dio.

Nindya tiba-tiba tertawa. “Dio, kayaknya kamu enggak pantas ngomong lo-gue,” komentarnya. Dio adalah orang Purwokerto asli. Cara bicaranya pun Jawa, karena ia terbiasa bicara dengan Bahasa Jawa. Berbeda dengan Rayyan yang sehari-harinya menggunakan Bahasa Indonesia biasa.

“Suka-suka gue, dong!” jawab Dio berusaha menghilangkan suara medhok-nya. Tapi tetap saja gagal dan membuat Nindya terkekeh.

“Sekarang mau main apa?”

“Jangan yang kalian berdua terus dong… Kita juga mau main,” kata Tania. “Itu juga kartu-ku kan?”

Rayyan dan Dio tersenyum meremehkan bersamaan. “Emang kalian mau main apa?” tanya Dio.

“Kita mau main tembak-tembakkan,” jawab Nindya sambil menunjuk game yang ia sebut barusan.

“Pft… Emang kalian bisa?” kata Rayyan masih dengan ekspresi mengejek. Untuk saat ini, ia dan Dio benar-benar kompak.

“Bisa dong, ya!” jawab Tania.

Mereka berempat pun berjalan menuju game yang ditunjuk oleh Nindya. Setelah menggesek kartu, Nindya dan Tania mengambil senjata masing-masing. Sementara Rayyan dan Dio menonton mereka dengan sorot ‘menilai’.

Baru beberapa babak, mereka bolak-balik kehabisan peluru. Tania dan Nindya tak mengerti apa yang terjadi, mereka tetap saja menembak tanpa peluru. Jadilah musuh menembak mereka terus. Dari belakang, Dio dan Rayyan tertawa melihat kemampuan bermain game kedua cewek itu.  

Baru 5 menit bermain game itu, Tania menyerah. Disusul Nindya yang menaruh kembali pistolnya ke tempat semula.

“Sebel banget. Game apa sih itu?” gerutu Tania.

“Susah…” ucap Nindya.

“Makanya jangan sok-sokan bisa main game tembak-tembakan. Mending main basket aja, yuk,” ajak Dio, lebih kepada Rayyan. Ia menantang Rayyan, karena ia merasa yakin permainan basketnya lebih bagus dari Rayyan. Ia kan anak basket…

“AYO!” sahut Tania dan Nindya berbarengan.

“E-eh bentar, aku mau nantang Rayyan dulu,” kata Dio menahan kedua cewek itu.

Rayyan nyengir. “Haha… Beneran mau nantang aku?”

Keempat anak remaja itu berjalan menuju tempat permainan basket. Rayyan dan Dio mengambil posisi masing-masing. Sebelum memulai, Rayyan melepas jaket hoodie-nya. “Eh, tolong pegangin dong,” kata Rayyan sambil mengulurkan jaketnya pada Nindya. Karena Nindya yang berdiri di dekatnya.

“Udah siap, Ray?”

Rayyan mengangguk.

“Haha… Pasti aku yang menang,” ucap Dio.

Rayyan dan Dio berlomba-lomba siapa yang mendapat score lebih banyak. Keduanya bermain dengan semangat. Dan lagi-lagi, Tania dan Nindya hanya menjadi penonton mereka. “Dasar tuh 2 anak,” komentar Tania setelah beberapa lama hanya menonton Rayyan dan Dio berlomba-lomba memasukkan bola basket.

“Emang mereka itu kayak gitu…” jawab Nindya sambil diam-diam memperhatikan Rayyan lagi. Bahkan hanya dengan memakai T-Shirt berwarna putih dan celana jeans, ia tetap terlihat keren. Aish… Aku mikir apa sih? ucap Nindya dalam pikirannya. Matanya tak bisa lepas dari cowok itu.

“Merhatiin dia terus,” ucap Tania tiba-tiba sambil terkekeh.

“Apaan sih?”

Tania hanya nyengir lebar. Ia tahu sahabatnya itu suka Rayyan sejak lama. Ia tahu karena ia terlalu sering melihat Nindya memperhatikan Rayyan diam-diam. “Kamu suka dia kan…?” bisik Tania pada Nindya yang berdiri di sampingnya.

“E-enggak,” jawab Nindya. “Udah ah! Aku enggak suka dia!”

“Uhm, emang kamu tahu ‘dia’ siapa yang kumaksud?”


Eh… I-iya ya… ‘Dia’ s-siapa…? ‘Dia’ yang dimaksud, Rayyan apa Dio?  Nindya langsung merasa pipinya memanas. Ia langsung menunduk dan memandang jaket yang sedang ia peluk. S-sialll… K-kenapa jaket Rayyan ada di tanganku yah…?

TBC

You Might Also Like

0 comments