BROKEN

Januari 10, 2016



Tittle: Broken
Author: Nandakyu
Genre: Family, Friendship, School-life
NB: Haaai~~~ ^^ Udah lama banget aku enggak main di blogspot xD Dan udah lama banget aku enggak nulis-nulis di blog ini. Kkkk~ Habis selama SMA ini, aku sibuk B G T -_-' Apalagi semester 1 kemarin, aku sibuk sama organisasi, ekskul, les, dan pelajaran. Tapi aku udah mulai terbiasa kok. Btw, hari ini aku lagi pelatihan OSK ^^ Eh tapi banyak nganggurnya, ya udah aku nge-blog deh. Hehehehe... Di sini aku mau share cerita Original alias tokohnya kubuat sendiri xD. Dan kali ini aku bikin cerita yang latarnya di Indonesia. Well, happy reading, guys!




~

~

~




/Mama pergi.
Tinggallah aku dan adik laki-lakikuRayyandan Papa.
Tapi beberapa minggu ini Papa sibuk bekerja.
Aku jarang bertemu Papa.
Dan kecelakaan itu tiba-tiba menimpa kami…
Papa juga pergi meninggalkan kami./

~

~

~

Part 1
Happy Birthday!


Afya POV

Di suatu malam.

Aku memandang lurus langit-langit kamarku. Sudah berulang kali aku pejamkan mata, tapi aku tak juga terlelap. Aku masih memandang lurus ke atas. Bagaimana aku bisa tidur? Suara teriakan… disusul suara piring yang pecah… Kemudian teriakan lagi…

Aku menghela napas panjang. Kulirik jam dinding  yang ada di kamarku. Sudah pukul 11.10. Karena tak bisa tidur juga, akhirnya aku beranjak dari tempat tidurku dan berjalan keluar dari kamarku menuju kamar adikku. Kupikir ia pasti sudah terlelap. Karena ia sangat mudah terlelap.

Aku membuka pintu kamarnya dan memasuki kamarnya. Lampu kamar itu tak menyala. Walau begitu tak begitu gelap, karena jendelanya terbuka lebar. Cahaya lampu remang-remang di pinggir jalan depan rumahku menerangi kamar adikku. Dari sini aku bisa melihat bulan purnama berwarna keperakan menggantung di langit sana.

“Rayyan…? Belum tidur?” panggilku dengan suara pelan ketika melihat adikku sedang duduk di pinggir jendela. Ia duduk membelakangiku sehingga hanya punggungnya yang terlihat.

Anak laki-laki yang lebih muda 2 tahun dariku itu menoleh kepadaku.

Ternyata bukan hanya aku yang tak bisa tidur malam ini. Akhirnya aku memutuskan untuk ikut duduk di samping adikku. Memandang langit malam yang terang karena adanya bulan. Sementara itu, suara pertengkaran Papa dan Mama masih memecah keheningan yang biasa menyelimuti rumah ini.

Aku memandang adikku yang duduk di sampingku. Walau ia terlihat biasa saja, tapi aku tahu ia sedih. Aku mengulurkan kedua tanganku dan menutup kedua telinganya agar tak mendengar suara pertengkaran Papa-Mama.

“Jangan dengerin Papa-Mama,” ucapku.

Suara pertengkaran itu masih terdengar. Kupikir Rayyan yang akan menangis. Tapi malah aku yang menangis.

Aku tak mengerti kenapa Papa dan Mama bertengkar. Bukankah mereka selalu terlihat harmonis? Aku takut dan bingung… Aku ingin mereka tak bertengkar lagi. Kumohon… Papa dan Mama… Berhentilah bertengkar… Apa kalian tak kasihan pada kedua anak kalian?

“Kakak nangis?”

Aku menggeleng dan berusaha keras menahan agar tak ada air mata lagi yang jatuh.

“Kakak, walaupun Papa-Mama mungkin akan bercerai. Tapi Rayyan tetap akan sama Kakak,” ucap Rayyan. Ia menatapku dengan mata bulat cokelatnya yang bahkan terlihat sangat jelas meski hanya di bawah sinar rembulan. Lantas ia tersenyum menguatkan diriku.

Saat itu umurku baru menginjak 14 tahun. Ya. Dan saat itu adalah hari ulang tahunku yang ke-14 dan… Papa-Mama memberikan hadiah yang sangat… menyakitkan. Untukku. Aku makin terluka. Namun Rayyan masih tersenyum padaku.

Ah, apa ini tidak terbalik? Dan kenapa air mataku tetap jatuh? Bahkan semakin deras. Aku sudah berumur 14 tahun.

“Kakak juga akan tetap sama Rayyan,” bisikku.

Saat itu umur Rayyan masih 12 tahun. Dan kami mengalami hal yang menyakitkan.

*
*
*
*
*

3 years later…

Author POV

Pagi yang mendung. Awan berwarna abu-abu menghiasi langit pagi ini. Udara pagi ini pun terasa lebih dingin dari biasanya. Ternyata musim hujan sudah di mulai hari ini. Rayyan yang sedang memanaskan motornya sebelum berangkat sekolah langsung mencari-cari mantel.

Ia pun berjalan menuju rak kebutuhan yang ada di garasi. Biasanya, mantel disimpan di rak tersebut. Setelah menemukan mantel, ia memasukkan mantel itu ke bawah jok motor.

“Kaaak! Udah belum sarapannya?” panggilnya setelah beberapa lama menunggu.

Semenjak memasuki jenjang SMA, ia selalu berangkat sekolah dengan menaiki motor. Ia bosan selalu di antar-jemput oleh sopir keluarganya. Dan berhubung ia satu sekolah dengan kakaknya, ia pun juga selalu berangkat bersama kakak perempuannya.

Tak lama kemudian, Kakaknya datang. “Oh iya, lupa ambil kaus kaki.”

Rayyan berdecak kesal. “Cepetan! Udah mau telat!” ucapnya sedikit jengkel melihat kecerobohan kakaknya.

“Hehehe… Bentar.” Afya langsung berlari menuju lantai 2tempat kamarnya berada.

Rayyan langsung memasang wajah badmood. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pukul 6.25 a.m. Sedangkan perjalanan menuju sekolah membutuhkan waktu 15 menit. Jarak dari rumah ke sekolahnya memang cukup jauh. Ia menggerutu dalam hati. Lama banget sih, Kakak!

5 menit kemudian, Afya turun dari kamarnya. Ia berlari kecil menuruni tangga menuju garasi.

“Hati-hati, Afya… Ndhak usah lari-lari di dalam rumah,” ucap Bi Sriasisten rumah tangga di keluarga tersebut.

“Iya, Bi,” sahut Afya masih sambil berlari. Ia sudah mengenakan kaus kakinya, tinggal memakai sepatu.

Rayyan sudah mengeluarkan motornya. Ia juga sudah memakai helm. “Cepetan!” ucap Rayyan sambil mengegas motornya.

“Eh tunggu!” Afya beranjak berdiri dan berjalan cepat menuju motor. Adiknya itu benar-benar sangat sangat gampang badmood. “Sabar yaaa!”

Setelah Afya sudah berada di atas motor. Rayyan langsung mengegas motornya menuju sekolah dengan cepat. Ia tak mau telat.

**

Sudah sebulan ini Papa mereka jarang pulang ke rumah dengan alasan sedang banyak pekerjaan di kantornya. Padahal sudah dari bulan yang lalu, Papa berencana akan mengajak Rayyan dan Afya ke Baturraden. Baturraden adalah salah satu tempat wisata alam di kota mereka. Walau mereka sudah sering sekali ke tempat wisata ini, bagi Rayyan tak masalah. Ia hanya ingin bersama Papa-nya. Mengobrol, bercanda, tertawa…

“Ray! Melamun!”

Dioteman sekelas sekaligus teman sebangku Rayyanmenepuk pundak temannya keras-keras. Mungkin lebih tepatnya memukulnya.

“E-enggak,” jawab Rayyan sambil mengerjapkan matanya. Ia seperti baru bangun tidur.

“Pak Rahman udah keluar tuh. Jajan yuk!” ajak Dio.

“Iya.” Rayyan langsung menutup buku matematikanya dan menaruhnya ke dalam loker mejanya.

“Eh Ray! Rayyan!” Suara seorang anak perempuan membuat Rayyan harus menghentikan langkahnya.

“Apa?” tanyanya.

Tiba-tiba anak perempuan itu menunjukan buku catatannya. “Aku belum ngerti soal nomor ini. Ajarin.”

“Eh?” Rayyan melihat soal di hadapannya. Begitu melihat sekilas soal itu, ia langsung mengerti. “Jadi

“Ehem-ehem. Jadi jajan enggak, nih?” kata Dio. “Aku duluan ya sama Adit. Kayaknya kamu lagi asyik sama Nindya.”

Pipi Rayyan langsung memerah. “Awas,” ucap Rayyan diam-diam pada Dio. Sahabatnya yang satu itu memang sangat usil. “Bentar. Nanti kujelasin caranya.” Rayyan mengejar sahabatnya.

“Hahahaha…” Dio tertawa melihat ekspresi Rayyan. Ia sudah berlari keluar dari kelas menuju Koperasi Siswatempat jajan mereka.

Setelah membeli beberapa makanan di Kopsis, mereka kembali lagi ke kelas dan duduk di bangku panjang yang ada di luar kelas. Sambil makan, Rayyan mengeluarkan handphone-nya. Ia langsung mendapat SMS dari Kakaknya.

Ray, nanti Kakak pulang sama Yudha, okei? ;)

Rayyan merasa tak perlu membalas pesan itu. Ia pun memasukkan handphone-nya lagi ke dalam saku celananya.

“Rayyan! Udah jajannya? Ajariiin!”

Tiba-tiba gadis bernama Nindya itu muncul lagi sambil membawa buku catatan dan pensilnya. Ia langsung mengambil posisi duduk di samping Rayyan.

Dio terbatuk. “Aduh aku bakal jadi obat nyamuk nih,” celetuk Dio. Ia ingin kabur ke kelas, tapi tangan Rayyan sudah lebih dulu menarik bajunyamembuatnya tak bisa berkutik.

“Awas kalau sampai lari,” ucap Rayyan pada Dio dengan nada mengancam.

“Dasar…”

“Dio kenapa?” tanya Nindya tiba-tiba.

“Enggak. Enggak kenapa-napa,” jawab Rayyan sebelum Dio berbicara. “Mau nanya soal apa?”

Nindya menunjukkan buku catatannya pada Rayyan. Kemudian Rayyan mengambil pensil milik Nindya. “Aku boleh coret di sini?”

“Ya, terserah.”

“Ray! Aku mau ke toilet nih!” kata Dio yang masih mencoba kabur.

Rayyan menoleh dengan senyuman mengancamnya. Mungkin lebih mirip senyum jahat. Tapi Dio langsung mengerti maksudnya. Setelah Dio benar-benar terpengaruh dengan senyuman berbahaya itu, Rayyan kembali menghadap Nindya. “Jadi gini caranya…..” Rayyan mulai menjelaskan penyelesaian soal itu. Walaupun tadi ia tidak benar-benar memperhatikan gurunya, ia tetap mengerti penyelesaian soal itu. Padahal soal itu berasal dari pembelajaran bab yang baru.

“Oh ya ya… Aku ngerti,” ucap Nindya. Gadis itu memang cukup berteman dekat dengan Rayyan dan Dio. “Thanks.”

“Ya.” Rayyan melepas pegangan tangannya dari baju Dio. Bisa dibayangkan? Ia menjelaskan sambil menulis dengan tangan kanan sementara tangan lainnya memegangi baju Dio agar Dio tak mencoba kabur darinya.

“Bajuku jadi lecek,” keluh Dio.

Rayyan tertawa kecil. “Terima balasanku,” ucapnya.

Tiba-tiba guru mereka datang. Mereka berdua langsung terburu-buru memasuki kelas mereka. Karena keasyikan di luar, mereka sampai tak sadar kalau bel tanda istirahat selesai sudah berbunyi.

**

Sepulang sekolah, Rayyan langsung merebahkan dirinya di atas sofa ruang tengah. Ia melempar tas sekolahnya sembarang di atas karpet ruang tengah. Tanpa mengganti seragam sekolahnya, ia mengambil posisi yang nyaman di atas sofa. Kemudian ia mengambil handphone-nya dan membuka aplikasi game.

“Udah pulang, Dek?” Suara Bi Sri menyapanya.

“Iya,” jawab Rayyan masih terfokus pada game-nya.

“Makan, Dek. Tuh ada ikan goreng sama sayur lodeh,” kata Bi Sri lagi.

“Ya nanti,” jawab Rayyan masih nyaman dengan posisinya.

Wanita itu sudah terbiasa dengan tingkah anak majikannya. Rayyan memang sedikit susah diajak rapih. Sepatu ditaruh sembarangan, tas dilempar seenaknya. Terkadang sehabis bermain PS pun, ia sering lupa membereskan DVD-DVD game-nya dan membiarkannya tergelatk di atas karpet. Wanita itu sudah bekerja di rumah ini sejak 5 tahun yang lalu. Jadi ia sudah hapal dengan karakter tiap anggota keluarga ini.

“Papa udah pulang belum?” tanya Rayyan tiba-tiba pada Bi Sri yang sedang menyapu ruang tengah.

“Belum. Katanya besok kan?”

“Besok?” Rayyan langsung menegakkan posisi duduknya. Ia sudah sangat kangen pada Papa-nya.

“Iya. Tadi Papa-mu telefon. Katanya besok pulang sebentar terus pergi lagi…”

Rayyan tak mendengarkan kalimat terakhir dari Bi Sri. Ia hanya fokus pada kalimat ‘Besok Papa pulang’. Ia langsung berlari menuju kamarnya. Besok adalah ulang tahun Papa-nya! Ia teringat sesuatu kalau hari Minggu yang lalu, ia pernah membelikan Papa-nya hadiah. Tapi hadiah itu masih ada di dalam kantong plastiknya. Ia sudah menyiapkan sesuatu untuk Papa tercinta-nya, karena besok adalah ulang tahun Papa-nya.

Papa besok jadi pulang? Kalau Papa pulang, bawa oleh-oleh ya, Pa? Ray kangen nih.

Rayyan menulis pesan kepada Papa-nya. Ia sedang iseng meminta oleh-oleh dari Papa-nya. Sent.

1 menit… 2 menit… 3 menit… 10 menit… 15 menit… 30 menit…

Semangat Rayyan turun. Ia baru saja selesai mandi. Setelah berpakaian ia langsung membuka handphone-nya.

Papa, Rayyan nunggu Papa pulang. Tadi Bi Sri yang bilang Papa besok pulang.

Rayyan tak jadi mengirim pesan itu. Ia urung mengirim pesan itu karena tak mau mengganggu Papa-nya. Siapa tahu saat ini Papa-nya sedang berada di meeting. Ia tak mau konsentrasi Papa-nya terganggu kalau ia kirim pesan. Papa-nya adalah seorang pengusaha Interior yang sukses. Usaha Papa semakin hari semakin besar dan itu membuatnya semakin sibuk…

Hingga lupa kalau punya anak, gumam Rayyan dalam hati. Ia menghela napas. Kemudian mengambil buku pelajarannya dari tas sekolahnya.

**

Rayyan terbangun ketika cahaya matahari menyentuh pipinya. Ia memulai harinya seperti biasa. Saat turun ke lantai bawah, ia bisa melihat sosok Papa-nya di ruang makan. Tangga menuju ruang makan memang dekat dengan ruang makan.

“Papa?” Rayyan terlalu senang. Anak itu langsung berjalan cepat menuju ruang makan lalu duduk di kursi depan Papa-nya.

“Halo anak Papa,” sapa Papa sambil tersenyum hangat.

“Papa kapan pulang?”

“Tadi malam jam 11.”

“Kok Rayyan enggak dengar ya?” jawab Rayyan sambil mengingat-ingat tadi malam.

“Kamu udah tidur,” jawab Papa.

“Terus… Papa mau pergi lagi?” tanya Rayyan setelah melihat pakaian resmi yang dikenakan Papa-nya sekarang.

“Iya… Papa pulang lagi hari Sabtu. Oke?”

“Papa mau kemana?” tanya Rayyan dengan nada kecewa. Padahal ia ingin merayakan ulang tahun Papa-nya di rumah. Ia bahkan sudah membelikan Papa-nya sebuah hadiah.

“Ke Bandung. Tapi enggak sama Pak Heru. Pak Heru biar jagain kalian di rumah,” jelas Papa-nya lagi. “Papa pergi sendiri.”

“Oh…” gumam Rayyan. Ia mulai mengambil sarapannya, tapi terlihat tak berselera.

“Ini Papa udah mau berangkat. Hari Sabtu Papa pulang. Oke?” ucap Papanya sambil mengacak-acak rambut hitam anaknya.

Rayyan ingin mengucapkan ‘Selamat Ulang Tahun’ pada Papa-nya. Tapi ia heran, kenapa kata itu tak keluar dari tenggorokannya.

“Hari Minggu kita bertiga jalan-jalan,” kata Papa lagi untuk menyemangati Rayyan. Ia sangat tahu Rayyan pasti kecewa karena tak bisa bertemu Papa-nya untuk 4 hari ke depan. “Ke Baturraden. Gimana?”

“Iya boleh…” jawab Rayyan yang lebih mirip gumaman. Papa jangan cuma janji doang.

Tiba-tiba Papa-nya beranjak berdiri.

“Eh tunggu Pa!” ucap Rayyan sambil menahan tangan Papa-nya. Ia sudah dari tadi ingin mengatakan hal ini, tapi ia malu entah kenapa. Papa-nya terlihat menunggu, menatap kedua bola mata cokelat milik anak bungsunya. “Selamat ulang tahun yang ke-43, Pa…” katanya. Tanpa sadar pipinya bersemu merah. Tak tahu kenapa, ia merasa malu mengucapkan hal ini.

“Oh iya! Ini hari ulang tahun Papa, ya? Papa sampai enggak ingat,” jawab Papa tak diduga-duga yang membuat Rayyan tersenyum lebar. Papa pun menepuk pundak Rayyan pelan dengan tatapan penuh terima kasih. “Makasih ya, Nak… Papa berangkat dulu ya. Belajar yang rajin di sekolah!”

“Ya, Pa…” jawab Rayyan masih dengan senyum di wajahnya. Ia merasa lega sekaligus senang.

**

Saat hendak mengeluarkan motornya, seorang laki-laki terlihat sedang menunggu di depan pagar dengan motor Ninja-nya. Rayyan mengernyit melihat orang itu. Ia sepertinya pernah melihat orang ini sebelumnya… Wajahnya familiar di matanya.

“Yudha ya?” celetuk Rayyan pada seseorang itu.


TBC

You Might Also Like

0 comments