Alternative OC Universe

Found You [Part 2]

Juni 28, 2023

Found You [Part 2] 

 


Siang itu, Leo menghabiskan waktunya membantu Max mendata dan menata buku sesuai genrenya pada rak masing-masing. Beberapa buku banyak yang tidak berada pada tempatnya karena dipindah oleh pengunjung. 


Setelah beres, ia bersender pada kursi yang ada di sudut toko buku dan membuka laptopnya. Di depan kursi itu ada sebuah meja bundar yang disediakan untuk pengunjung yang mau membaca buku di situ. Meja bundar itu tidak terlalu luas tapi cukup untuk menaruh laptopnya. Di sekeliling meja bundar itu, terdapat tiga kursi empuk.

 

“Hari ini enggak mau pergi-pergi, Kak?” tanya Max yang duduk tak jauh dari tempat Leo berada. Ia duduk di lantai sambil bersender pada rak buku. Lantas, ia mengambil salah satu buku yang ada di rak paling bawah. Tak ada salahnya kan? Membaca buku yang plastiknya sudah dibuka selagi toko sedang sepi pengunjung.

 

“Hujan,” jawab Leo cuek. Matanya tetap terarah pada layar laptop di hadapannya. Ia sedang mencoba mendaftar beasiswa. Dengan GPA sempurnya selama dua semester berturut-turut, seharusnya tidak sulit untuk mendaftar beasiswa.

 

“Kalau enggak hujan, mau ke mana?” tanya Max lagi sambil membuka-buka buku yang ia pegang.

 

Umur mereka hanya terpaut dua tahun tapi rasanya Max jauh lebih muda daripada Leo yang berumur 18 tahun.

 

“Mungkin ke padang rumput lagi,” jawab Leo tanpa berpikir. Ia ingin memainkan gitarnya lagi meskipun Ryan membencinya karena itu.

 

Max sudah tahu kalau tuan pemilik toko buku antik itu sering ke area padang rumput untuk bermain gitar. Ia menyebut Leo sebagai tuan pemilik toko buku, meskipun umur mereka hanya berbeda dua tahun.

 

“Sampai kapan libur semester?” Max bertanya lagi tanpa menyadari kalau tuan pemilik toko buku itu sedang tidak ingin diajak berbicara.

 

“Dua minggu lagi.”

 

“Lama juga liburnya! Liburku cuma tiga minggu!” keluh Max membandingkan nasibnya dengan nasib Leo. Sepanjang pengamatannya, Leo sudah berada di rumah selama dua minggu. Jadi ia bisa membandingkan kalau waktu liburan Leo lebih lama darinya. 


“Oh iya, sudah lama aku enggak lihat Ryan. Biasanya dia ikut membantu mendata buku di sini.”

 

Ucapan Max membuat Leo teringat kalau rumah ini akan dijual dan itu berarti toko buku ini juga. Dia geram pada kakaknya yang membuat keputusan seenaknya. Tapi ia akan pastikan kalau rumah dan toko buku ini tidak akan jual.

 

Tiba-tiba terdengar suara bel pintu yang menandakan seorang pengunjung baru masuk. Max langsung menoleh ke arah keluar jendela. “Jarang sekali ada pengunjung datang saat hujan badai seperti ini,” gumamnya seraya beranjak berdiri.

 

“Maaaax???” Lalu terdengar suara gadis yang familiar. “Toko ini ditinggalkan ya?” gumam gadis itu dengan nada concern.

 

“Di sini, Kak!” seru Max sambil melambaikan tangannya.

 

Siang itu Seira memakai sweatshirt berwarna biru muda, celana jeans, topi, dan ia membawa tas kankennya yang berisi laptop. Ia langsung berlari menghampiri Max. “Aku enggak sanggup buka pengumuman kuliah di rumah.”

 

“Bukannya ada rumah… Kak Vanya?”

 

“Vanya dan Ansel sudah pergi ke universitas mereka.” Seira menghela napas. Lalu ia menoleh ke arah meja yang ada di sudut toko buku dan matanya menemukan Leo sedang duduk di situ. Entah mengapa, ia langsung merasa canggung. Padahal kemarin mereka duduk bersama di tengah padang rumput dan berlari bersama dari polisi yang sebenarnya tidak mengejar mereka.

 

Leo mengangkat wajahnya dari laptop ketika menyadari kehadiran Seira di toko buku itu. Wajahnya tanpa ekspresi. “Duduklah di sini.” Ia menunjuk kursi yang ada di hadapannya.

 

Lantas Seira kembali menatap Max dengan sorot kenapa-dia-ada-di-sini???

 

“Duh. Aku lupa kalau ada tugas liburan,” kata Max sambil beranjak pergi.

 

“Eh Max, aku ke sini mencarimu loh!” seru Seira berusaha menahan Max yang mulai melangkah ke meja kasir.

 

“Buka pengumuman kan bisa sendiri, Kak,” balas Max dengan polos. “Tugasku urgent banget.”

 

“Kan bisa kerjakan di meja itu.”

 

Max langsung menggeleng sambil tersenyum. “Aku lebih nyaman di meja kasir.” Meskipun sedari tadi ia mengobrol santai dengan Tuan Pemilik Toko Buku, sebenarnya (kalau bisa memilih) ia lebih memilih menghindar daripada harus duduk berdekatan dengan orang itu. Tuan Pemilik Toko Buku itu selalu membuat atmosfir di sekitarnya jadi dingin—sedingin cuaca pada hari ini.

 

Seira menghela napas panjang sambil berjalan menuju kursi yang ada di hadapan Leo. Entah kenapa, rasanya hari ini tidak sama seperti kemarin.

 

“Aku enggak mengganggumu kan?” tanya Seira pada Leo.

 

Leo menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Kelihatannya kamu deket sama Max?”

 

Seira mengambil laptop dari dalam tas dan meletakannya di meja. “Yeah, kurasa begitu. Dia anak yang baik.” Ia melihat jam dinding yang ada di toko buku itu. Pukul 2 lebih 45 menit. Masih ada waktu setengah jam lagi untuk menyiapkan mentalnya melihat hasil seleksi universitas.

 

Leo menatap Seira yang duduk di hadapannya. Perempuan yang duduk di hadapannya juga perempuan yang sama yang pernah menemukannya bertahun-tahun lalu saat ia melarikan diri dari rumah. Ia tahu kejadian itu hanya bagian dari kenangan masa kecilnya, tapi kenangan itu terus melekat di dirinya.

 

“Kenapa aku enggak pernah melihatmu di sini?” tanya Seira tiba-tiba—tak mampu menahan rasa penasarannya.

 

“Aku tinggal di sini sampai umur 10 tahun. Lalu setelah Kakek dan Nenekku meninggal, aku pindah,” ucap Leo. Mata cokelatnya terlihat sedih sekilas, namun detik berikutnya sorotnya kembali dingin. “Aku tinggal di rumah Ayahku sampai aku kuliah.”

 

“Oh pantas kamu seperti orang baru di sini,” kata Seira.

 

Leo mengangkat bahu.

 

“Jadi yang tinggal di sini semenjak Kakek-Nenekmu meninggal siapa?”

 

“Beberapa anggota keluarga. Tapi dua tahun terakhir, kakakku yang menjaga rumah ini.” Ia terlihat sangat enggan menyebut kakaknya.

 

“Kamu punya kakak?”

 

Leo mengangguk.

 

Seira tidak bertanya lebih lanjut tentang kakak Leo karena sepertinya cowok itu tidak ingin membahasnya. Mereka pun lanjut melihat ke arah laptop masing-masing. Seira membuka website seleksi universitas yang ditujunya. Sementara Leo baru saja selesai mengisi form pengajuan beasiswa.

 

Di luar, petir terdengar menyambar-nyambar. Hujan turun semakin deras. Lalu, listrik padam dan entah bagaimana sinyal di handphone Seira yang menjadi sumber hotspot juga menghilang. Ia gelisah karena 5 menit lagi pengumumannya muncul.

 

“Tenang semuanya! Aku ada stok lilin,” seru Max dari meja kasir.


Tak lama kemudian Max menyalakan dua lilin dan meletakkan salah satunya di meja Tuan Pemilik Toko Buku. Lantas ia kembali ke meja kasirnya untuk mengerjakan ‘tugas’ yang ia kerjakan di iPad miliknya.

 

Angin terdengar ribut di luar sana. Pohon-pohon yang ada di pinggir jalan bergerak-gerak seperti mengamuk. Hujan turun semakin deras. Suara petir membuat yang mendengarnya menutup telinga.

 

“Aku khawatir tidak bisa kuliah tahun ini,” gumam Seira dengan kepala terkulai di atas meja.

 

Leo memperhatikan rambut hitam Seira yang menutupi wajah cewek itu. Betapa ia ingin menyingkirkan helai rambut dari wajahnya untuk melihat mata hitamnya berbinar lagi. “Aku juga,” bisik Leo.

 

Seira langsung menegakkan kepalanya dan menatap Leo tak percaya. “Kamu kan udah kuliah dua semester.”

 

“Iya kalau beasiswa di universitasku mau membiayai kuliahku,” ucap Leo dengan suara pelan. “Kalau tidak, aku harus cari part-time job.”

 

“Kamu khawatir soal itu?” tanya Seira sambil menatap dalam-dalam mata Leo yang berwarna cokelat meskipun di bawah cahaya lilin. Mata itu seolah selalu berwarna cerah meskipun jauh dari cahaya terang. 

 

Leo mengangguk.

 

Seira tersadar kalau cowok di hadapannya ternyata juga menyimpan banyak kekhawatiran. “I know you can do it,” ujar Seira dengan senyum tulus di bibirnya. Senyum yang entah kenapa membuat Leo bisa bernapas lebih tenang.

 

Leo memperhatikan tangan Seira yang ada di hadapannya. Hatinya ragu. Namun, ia ingin memegang tangan Seira. “Is it okay to hold your hand?” bisiknya pelan agar Max tidak bisa mendengar.

 

Pipi Seira terasa panas. Ia mengangguk dan sekarang tangan mereka saling bertaut. Seira merasakan tangan Leo yang dingin. “Tanganmu sedingin es,” kata Seira yang membuatnya terpikir apakah Leo kedinginan?

 

Leo tersenyum seraya mempererat genggaman tangannya. Tangan Seira hangat—sangat kontras dengan suhu di sekitar mereka saat ini.

 

“Soal kejadian waktu kita masih kecil, bagaimana aku bisa menemukanmu?” tanya Seira. Pertanyaan itu masih sering muncul di benaknya. Pertanyaan soal kejadian yang ia bahkan tidak bisa mengingatnya.

 

You were crying,” jawab Leo. “The doctor said if you didn’t found me that night too late, you would only found a corpse.”

 

Seira terkesiap. “Kenapa aku nangis ya waktu itu?”

 

Leo mengangkat bahu.

 

It was just our childhood. Tapi aku selalu ingat kamu nangis waktu aku dibawa ambulance dari tempat perkara itu. Aku kadang heran kenapa aku masih ingat detail kejadian itu padahal aku setengah sadar," jelas Leo.

 

“Aku enggak paham kenapa aku enggak bisa mengingatnya sama sekali.” Seira menghela napas. “Kenapa kamu ada di tengah antah berantah waktu itu?”

 

Leo mengalihkan matanya dari mata Seira. Rasanya sangat tidak nyaman harus mengingat kejadian itu lagi. “I ran away that time but the reason is not important anymore.”

 

I am… thankful.. I found you that night before your breath was taken…” Seira mengatakan setiap kata-katanya dengan hati-hati.

 

“But my parents were not. They didn’t come to visit me at hospital later. They visit me when I come to my grandparent’s house.” Leo memandang ke arah jendela toko yang menampakkan hujan badai. “Aku mengamuk waktu melihat justru kakakku yang datang dan aku melempar gelas kaca ke arahnya. Untungnya lemparanku meleset dan hanya mengenai lantai.”

 

“Kalau kamu enggak nyaman bicarain soal itu, enggak apa-apa,” kata Seira.

 

Leo menghela napas panjang. “Tapi rasanya lega membicarakannya sekarang.” Ia teringat bahwa dulu dia tidak bisa setenang sekarang saat membicarakan kejadian itu. Ia sering tantrum dan menyulitkan Kakek-Nenek yang merawatnya. Ia bukan anak yang mudah dihadapi.

 

“Semoga aku bisa tinggal sekota denganmu, we can talk more and more,” kata Seira.

 

“Universitasmu berada di dekat kampusku. Yeah, mungkin kita bisa bertemu lagi.”

 

“Argh tapi aku takut kalau aku tidak diterima!”

 

Tiba-tiba lampu menyala lagi dan sinyal pun perlahan kembali muncul menampilkan tanda 4G. Seira langsung gelisah karena itu artinya sekarang ia bisa membuka pengumuman universitasnya.

 

Tanpa mereka sadari, tangan mereka masih saling bertaut. Pipi Seira terasa panas saat melihat tangan Leo masih menggenggamnya erat dan memberinya kenyamanan. Sungguh aneh, pikir Seira. His cold hand can give me warmth.

 

“Mau lihat bareng-bareng?” tanya Leo.

 

Seira tinggal menekan enter pada nomor ujiannya. “Sebentar! Aku belum siap, Leo!” serunya sambil mengatur napas. Setelah beberapa saat ia pun memberanikan diri menekan tombol enter sambil memejamkan mata.

 

Klik.

 

“Seira…” Suara kalem Leo membuat Seira tidak bisa menebak apakah itu nada untuk kabar baik atau buruk. “Kamu diterima di jurusan Seni Rupa Murni.”

 

“Heeee? Serius?” Seira pun membuka matanya dan melihat tulisan di layar laptopnya. Ia langsung tersenyum sumringah dan refleks ingin memeluk Leo. Ia sudah berdiri dan tangannya terentang. Tapi ia langsung duduk lagi dengan muka merah padam. “Oh aku harus segera bilang Mama dan temanku Vanya!”

 

“Selamat, Kak Seira!” seru Max yang tiba-tiba sudah berdiri di depan salah satu rak buku—tak jauh dari pojok membaca itu. Ia bertepuk tangan.

 

Thank you, Max,” kata Seira.

 

“Yah sedih sekarang aku enggak bisa sering-sering lihat Kak Seira di sini,” kata Max dengan nada sedih.

 

“Aku kan masih bisa kembali saat libur semester,” balas Seira.

 

Sementara di luar hujan mulai mereda, Leo memutuskan untuk membuatkan minum untuk dua orang itu. Ia beranjak berdiri.

 

“Mau kemana?”

 

“Mau kubuatkan teh. Anyone?”

 

Seira mengangguk, sementara Max berseru senang karena akan dibuatkan teh oleh Tuan Pemilik Toko Buku.

 

Leo sudah menuju pintu belakang menuju rumahnya. Seira berjalan mengikutinya. “Boleh kubantu?” tanyanya yang disambut dengan kata iya dari Leo.

 

Hari itu dingin namun juga hangat. Entah kenapa untuk pertama kalinya setelah sekian lama, rumah itu terasa lebih hangat saat ada Seira membantu di sampingnya. Ia bersyukur bisa bertemuSeira di kota kecil ini. Ia bersyukur mereka akan pergi ke kota yang sama setelah kuliah dimulai lagi.

 

Memang masih banyak masalah yang belum terselesaikan. Tapi momen sederhana seperti ini ternyata membuat perasaannya lebih baik. Jauh lebih baik.

 

Tak lama kemudian mereka kembali ke toko buku antik dengan nampan berisi tiga mug berwarna hijau berisi teh dan toples berisi biskuit spekulas. Lalu, mereka bertiga duduk melingkari meja itu—termasuk Max meskipun dia agak enggan berada dekat dengan Tuan Pemilik Toko Buku.

 

Leo memperhatikan Seira yang mengobrol dengan Max tentang hal-hal random. Ia memperhatikan mata hitam Seira yang berbinar saat tertawa. Ia ikut tersenyum melihatnya tersenyum. Rambut pendeknya yang acak-acakan membuat Leo ingin menepuk-nepuk kepala Seira.

 

Kota kecil itu menyimpan masa lalu mereka. Masa lalu yang mereka bagi bersama meskipun salah satunya tidak ingat. Kota kecil itu juga menyimpan momen sederhana seperti ini.

 

Selanjutnya, mereka akan meninggalkan kota kecil ini. Mungkin di kota yang baru itu, mereka akan sering bertemu. Dan saat itu, mungkin hanya ada mereka berdua.


End
Cerita ini sebenarnya adalah small town AU dari OC-ku.
I had fun times while writing this story, so I hope you also enjoy reading my stories!

 

 

Questions and Answes:

1.    Apakah rumah keluarga Leo bakal dijual?

Enggak. Leo bakal berusaha keras menentang kakaknya menjual rumah itu. Setelah kejadian malam itu, dia udah menyembunyikan sertifikat rumah itu di tempat yang cuma dia yang tahu.

2.    Orang tuanya Leo mana?

Orang tuanya tinggal di negara yang berbeda. Setelah Kakek-Neneknya Leo meninggal, Leo sempat tinggal bersama keluarga baru Papanya. Sementara Kakaknya tinggal bersama keluarga baru Ibunya.

3.    Papanya Seira mana?

:’) Kurang lebih sama ya kayak Leo. Ortunya dah pisah. Jadi Seira ikut Mama.

4.    Kenapa nama mereka enggak ada nama panjangnya atau surname?

Author masih bingung nentuin nama panjang mereka.

5.    Apakah bakal ada kelanjutannya?

Untuk Small Town AU ini cukup berakhir di sini. Selanjutnya author mau pikirin plot utama mereka. Atau mereka bakal ketemu lagi di Alternative Universe yang lain. See you around!

 

 

Alternative OC Universe

Found You

Juni 22, 2023

Found You 


🌿🌿🌿

This town small was surrounded by trees.

 

He ran, ran, and ran until his lungs screamed to stop him from running. He went deep into the trees. Nobody would find him. Nobody cared if he was gone or disappear. Then, he cried softly.

 

The trees listened to him. The moonlight embraced him. The wind whispered to him.

 

He was completely alone and isolated but he kept on running away. Until the trees told him to stop and he fell to the ground. He laid on the grass, watched the moon up there, and breathed shakily. His body trembled. He cried until he did not feel and think anymore.

 

🌿🌿🌿

 

Gadis kecil itu mengerjapkan matanya. Ia menatap pepohonan di sekelilingnya. Keluarganya tengah sibuk menyiapkan tenda. Sementara keluarganya lain mendirikan tenda, Mama dan tante-tantenya menyiapkan makan malam.

 

Ia duduk sambil memakan es krim di atas batang pohon yang tumbang. Mata bulatnya menatap ke sekeliling hutan. Hutan itu terasa begitu besar dan luas bagi tubuhnya yang kecil. Ia takjub.

 

Seira merasa asing dengan kota kecil yang dikelilingi hutan itu. Ia rindu dengan kota besar tempatnya tinggal dulu. Saat ia pindah ke rumah barunya, orang-orang di sekelilingnya ribut membicarakan anak yang hilang di tengah hutan. Anak itu seumuran Seira.

 

Sudah dua hari tak ada yang menemukan anak itu. Tim Search and Rescue sudah dikerahkan. Warga kota turun ke dalam hutan untuk mencarinya. Polisi dan anjing pelacak turut serta. Namun, anak itu tetap tak ditemukan.

 

Meskipun umurnya masih 6 tahun, ia mengerti betapa mengerikan topik yang dibicarakan orang-orang dewasa di sekellilingnya. Anak seumuran dirinya takkan mungkin bisa bertahan di tengah hutan yang penuh dengan pohon pinus raksasa ini.

 

Berulang kali Mama menoleh ke arahnya untuk memastikan kalau ia berada di sana. Mama memang tipe yang tidak percaya takhayul dan tidak mudah terpengaruh ucapan orang-orang. Buktinya ia tetap mengajak Seira camping di hutan pada liburan semester kali ini. 


Namun, kejadian anak hilang itu tetap membuat cemas Mama jauh di dalam lubuk hatinya—ia juga takut jikalau putri satu-satunya ikut lenyap ditelan hutan. 

 

Seira belum punya sepupu sebaya. Kebanyakan sepupunya baru lahir atau berusia balita. Ia kesepian tapi juga menikmati rasa kesendirian itu.

 

Perlahan langit mulai gelap. Acara makan malam dimulai. Api unggun kecil dinyalakan oleh adik laki-laki Mama. Semua menikmati hidangan yang dimasak oleh Mama malam itu. Seira duduk di samping Mamanya dan memandang api yang berkobar di hadapannya. Meskipun ia sudah duduk cukup jauh dari api unggun itu, panasnya tetap terasa.

 

Tak lama setelah orang-orang menghabiskan hidangan dan bercakap-cakap sambil memainkan gitar, Seira jatuh tertidur di pangkuan Mamanya. Mamanya pun membawanya masuk ke dalam tenda.

 

Lewat tengah malam, api unggun mulai padam, kesunyian terasa makin mencekam. Seira terbangun. Ia dipeluk Mamanya. Tapi ia tidak bisa tidur lagi. Di luar tenda, ia bisa melihat cahaya beterbangan. Cahaya itu seperti keluar dari serangga… Seingatnya, nama serangga itu adalah kunang-kunang. Fireflies.

 

Pelan-pelan, ia melepaskan diri dari tangan Mama yang mendekapnya erat. Ia penasaran pada kunang-kunang itu.

 

Tanpa suara, ia menyelinap keluar dari tenda.

 



Udara dingin langsung menyergapnya. Ia memperhatikan ke sekeliling, tidak ada siapapun. Semuanya tertidur.

 

Sejak kecil, Seira selalu dibilang kalau ia anak berani dan tak kenal takut. Ia percaya itu. Dengan rasa penasaran yang membuncah di dadanya, ia melihat ke arah mana kunang-kunang itu terbang.

 

Ke dalam sana, pikirnya sambil mengenakan sandalnya dan mulai berjalan mengikuti kunang-kunang itu. Ia tersenyum melihat serangga yang mengeluarkan cahaya itu. Lalu, ia memperhatikan pemandangan di sekitarnya. Suara jangkrik terdengar jelas dari berbagai arah. Bulan bersinar cerah. Di balik dahan-dahan pohon, langit terlihat luas dan penuh dengan bintang-bintang.

 

Tanpa ia sadari, ia sudah berada di tengah hutan. Ia terus berjalan mengikuti kunang-kunang itu sampai tak melihat akar pohon yang ada di bawah kakinya. Ia terjatuh dan betapa terkejutnya ia melihat kaki seseorang di balik pohon.

 

Jantungnya berdegup kencang. Walau begitu, rasa takut tidak menyelinap di hatinya. Ia merangkak perlahan ke balik pohon itu dan terkesiap. Seorang anak laki-laki tersembunyi di bawah dahan-dahan pohon. 


Tubuhnya lebih kecil dari Seira… Anak laki-laki itu memakai celana pendek dan kaos sweater warna merah yang tampak sudah kotor. Kakinya penuh luka gores dan memar…  Salah satu pergelangan kakinya kelihatan bengkak.

 

Seira tak bisa melihat wajah anak laki-laki itu karena ia meringkuk membelakanginya.

 

“Kamu masih hidup?” gumam Seira pelan sambil berjalan mendekati anak itu untuk melihat wajahnya.

 

Di bawah cahaya remang-remang dari bulan dan kunang-kunang, Seira bisa melihat wajah anak laki-laki itu.



Mata anak laki-laki itu terpejam. Bibirnya terbuka. Napas pelan keluar dari mulutnya. Suara napasnya terdengar dangkal dan lambat. Wajahnya pucat, seolah tak ada darah mengalir ke wajahnya.
 

Seira menyentuh bahunya dan merasakan tulang di balik sweater itu. Tubuh itu sangat kurus dan ringkih, tapi juga hangat. Masih ada sisa-sisa aliran kehidupan di dalam tubuh kecil itu.

 

Jangan mati,” bisik Seira di telinga anak laki-laki itu. Lantas, Seira membangunkan anak laki-laki itu dengan pelan. Tapi anak laki-laki itu tidak juga membuka matanya. Tanpa sadar air mata Seira mengalir. Ia menangis. 


Untuk pertama kalinya ia merasa takut.

 

Ia menggenggam tangan anak laki-laki itu yang dingin.

 

Seira mulai terisak. “Mama… Mama…” Ia memanggil Mamanya. Namun suaranya hampir tak terdengar seakan pita suaranya dicabut.

 

Usianya baru 6 tahun, tapi Seira tahu seorang anak kecil tidak sewajarnya ditemukan di tengah hutan di malam hari—di tengah kunang-kunang yang berkerumun—dengan baju yang kotor dan tangan sedingin es.

 

Seira mencoba memapah tubuh anak laki-laki itu. Tak disangka tubuh anak laki-laki itu ringan. Ia berjalan menyeretnya dengan hati-hati… Cahaya bulan menolongnya dengan menyinari jalannya.

 

“Mamaaaa!” teriaknya. Air mata masih mengalir di pipinya. Ia takut. Sungguh takut kalau anak kecil di sampingnya mati.

 

Sayup-sayup terdengar namanya dipanggil. “Seiraaaaa!” Suara Mama. Disambung suara Omnya. Disambung suara Tantenya. “Seiraaaa! Di mana kamuuu?”

 

Seira terus berjalan. Ia melirik ke sampingnya. Kepala anak laki-laki itu terkulai lemah di bahunya. Tapi anak laki-laki itu masih bernapas pelan… Semakin lama tubuh anak laki-laki itu semakin berat membebani tubuh keci Seira. 

 

“Mamaaaa!” teriaknya lagi.

 

Air mata membasahi pipinya. Ia tak sanggup lagi melihat ke depan karena air mata yang berlinang di mata bulatnya. Hatinya entah kenapa terasa hancur. Ia juga tak mengerti perasaan yang membuncah ini.

 

Tak lama kemudian senter menyinari wajahnya.

 

“Oh astaga… Seira… Mama bersyukur menemukanmu,” bisik Mama sambil jatuh berlutut di depannya. “Anak ini? Bukankah dia anak yang hilang?”

 

“Mama, aku takut. Aku takut dia mati,” isak Seira.

 

Tak lama kemudian keluarga yang lain muncul di hadapannya. Mereka terkesiap dengan siapa yang berada di samping keponakan mereka. “Ya Tuhan…”

 

Begitu tangan lain menggendong tubuh anak laki-laki itu menjauhinya, Seira langsung jatuh ke pelukan Mamanya. Ia menangis. Menangis keras. Sementara sanak keluarga yang lain menelepon emergency call dan membawa anak laki-laki itu ke tempat yang aman.

 

“Sssh… Seira… Kamu aman sekarang,” bisik Mamanya sambil memeluk tubuh putrinya.

 

Seira tetap menangis kencang. Ia tidak tahu kenapa menangis. Ia hanya anak umur 6 tahun. Ia belum mengerti banyak hal. Termasuk perasaan ini yang tiba-tiba muncul di hati kecilnya.

 

🌿🌿🌿

 



Suara pintu diketuk berkali-kali membangunkannya. Leo mengerjapkan matanya, lantas beranjak berdiri dari sofa ruang tengah—tempatnya tertidur. Ia bermimpi tentang malam itu lagi. Anak perempuan yang menangis. Dirinya yang tersesat di tengah hutan. Penuh luka—baik secara fisik maupun hatinya. Dan perasaan marah berkecamuk. Anak kecil yang tersesat di tengah hutan itu sering kali muncul lagi di mimpinya dan membuatnya sesak.

 

Leo menyentuh kepalanya yang masih pening meskipun ia sudah menenggak dua tablet obat sakit kepala kemarin sore.

 

Ia membukakan pintu untuk abangnya yang baru pulang. Di luar hujan turun dengan deras. Tidak biasanya malam ini udara dingin terasa menusuk tulang.

 

“Kenapa lama sekali?” keluh Ryan seraya masuk ke dalam rumah dan melepas sepatu boots dan mantel hujannya.

 

Sorry,” kata Leo dengan suara parau. Ia melihat jam dinding di rumahnya—pukul 1 dini hari. Ryan baru pulang dari pekerjaannya yang kadang menuntutnya pulang sampai tengah malam.

 

Rumah keluarga Leo berada persis di belakang toko buku antik. Dari luar, toko buku itu mungkin terlihat kecil. Namun, di belakangnya terdapat halaman dan rumah yang cukup besar. Rumah itu dulu hangat dan memberikan rasa aman. Namun, semenjak kakek dan nenek meninggal, rumah itu dingin dan seolah tak bernyawa.

 

Sementara Ryan pergi membersihkan diri dan ganti baju, Leo kembali ke atas sofa dan menyelimuti dirinya dengan bed cover. Ia ingin kembali tidur, namun otaknya tak bisa berhenti bekerja. Mimpi itu terlalu realistis dan membuatnya teringat kejadian bertahun-tahun yang lalu. Ia masih ingat setiap detailnya dan tak akan mampu melupakannya.

 

Ia mengecek ponselnya untuk mengalihkan pikiran. Lalu ia teringat, tanggal kemarin adalah hari pengumuman nilai akhir semester. Ia membuka website kampus dan mengecek namanya. Seperti biasa, rantai nilai A memenuhi tabel nilai akhirnya. Ia mendapat perfect GPA lagi.

 

“Leo, mau susu cokelat?” tanya Ryan tiba-tiba. “Aku tahu kamu masih bangun.”

 

Leo pun menarik selimutnya dan mendudukan dirinya di atas sofa. Ryan membawa dua mug berisi susu cokelat panas. Sangat cocok diminum saat hujan turun deras dan suara petir menyambar-nyambar di luar sana.

 

Ia mengambilnya.

 

“Ada yang harus kubicarakan,” kata Ryan dengan nada serius.

 

Leo memperhatikan kakaknya dengan was-was. Walau begitu, ia tetap meminum susu cokelat yang masih beruap-uap itu.

 

“Rumah ini akan aku jual.”

 

Tanpa sadar Leo mempererat genggamannya pada mug panas itu. Meskipun ia sudah berhenti menyukai rumah ini, rumah ini tetap satu-satunya tempatnya pulang dari dormitory dan menyimpan kenangannya dengan kakek-nenek. 


Jika rumah ini dijual, maka toko buku itu juga pasti akan dijual… “Enggak,” kata Leo dengan suara ketus.

 

“Dengar dulu penjelasannya—”

 

“Aku enggak setuju.”

 

“Leo, kita butuh uang, apalagi kuliahmu itu enggak gratis.”

 

Leo meletakkan mug di atas meja. “Jadi karena aku?”

 

“Bukan cuma itu. Omzet toko buku itu juga  menurun. Mungkin selanjutnya, aku tidak bisa membayar pegawainya lagi.”

 

You don’t have to pay my fucking college tuition,” kata Leo. Jauh di lubuk hatinya, ia tahu apa penyebab Ryan tiba-tiba butuh banyak uang.

 

“Orangtua kita bahkan enggak mau bayarin kamu kuliah, jadi siapa lagi kalau bukan aku yang bayarin hah?” kata Ryan dengan nada marah. Suasana malam itu berubah. 

 

Leo menggertakan giginya. “Aku bisa kerja sambil kuliah.”

 

“Enggak. Rumah ini tetap harus dijual dan aku akan pindah ke kota tempatmu kuliah.”

 

“Bukannya pekerjaanmu bisa memberikan gaji yang layak sekarang tanpa harus pindah ke kotaku? Kalau uangmu tidak digunakan untuk biaya kuliahku, bukannya masih sisa banyak? Atau uangmu habis untuk beli beer? Untuk memanggil perem—”

 

Ryan menampar pipi Leo dengan keras.

 

Keparat," umpat Ryan.

 

Pipi Leo terasa panas. Samar-samar rasa anyir darah terasa di lidahnya. Namun ia menatap Ryan dan menyadari sesuatu. Kamu enggak bisa memutuskan sesuatu saat mabuk. You’re fucking drunk.”

 

“Siapa yang mabuk, Leo? Hah?”

 

You play nice in the morning than you become an asshole in the midnight. If you are not my brother, I would screw you right now.”

 

“Kalau begitu, pukul aja, Leo. Just like how you did when you were kid.

 

Napas Leo memburu. Kejadian bertahun-tahun yang laly  masih jelas di benaknya. Kejadian saat ia melempar gelas kaca kepada kakaknya di ruang rawat inap rumah sakit. Saat kakaknya datang menjenguknya—dan bukannya papa atau mamanya yang datang.

 

Lalu ia menatap mata kakaknya dengan nanar yang saat ini berdiri di hadapannya. Betapa ia ingin mengamuk, memukul, atau melempar sesuatu ke arah Ryan saat ini, tapi yang ada justru ia menelan mentah-mentah emosinya karena ia sadar malam itu bukan Ryan yang pulang ke rumah.

 

“Kenapa Leo? Enggak berani buat mukul kakak sendiri?”

 

Leo beranjak berdiri dengan kalem—meskipun itu dilakukannya dengan susah payah. “Jangan jual rumah ini. Dan jangan bayar uang kuliahku lagi,” ucapnya penuh penekanan. Lalu ia beranjak masuk ke kamarnya dan menutup pintunya.

 

Ia mengunci pintu kamarnya. Tanpa menyalakan lampu kamarnya, ia bersender pada pintu. Napasnya terengah. Tangannya gemetar. Pipinya masih terasa panas karena tamparan kakaknya. Apa susahnya menjadi waras sedikit? ucapnya dalam hati.

 

Kepalanya sakit. Ia berjalan menuju meja belajarnya yang berantakan dan mengambil obat sakit kepala yang ada di meja itu. Ia menenggak tiga pil tanpa air minum.

 

Berengsek. Leo mengumpat keras dalam hati.

 

Seandainya keadaannya normal, ia hanya ingin bilang kalau semester ini ia dapat GPA sempurna lagi. Ia sudah berusaha keras demi GPA sempurna itu. Ia melewati malam tanpa tidur hanya untuk belajar. 

 

Entah sejak kapan ia membenci Ryan—kakaknya yang usianya 10 tahun di atasnya. Entah sejak kapan ia membenci Papanya yang tidak pernah betul-betul menyayanginya. Entah sejak kapan ia membenci Mamanya yang pergi meninggalkannya bersama keluarga barunya.

 

Tapi ia tetap harus bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa. Ia tetap berpura-pura seolah ia punya kehidupan yang normal. Ia tetap berusaha dengan baik di sekolahnya. Tapi tidak ada yang tahu usahanya. 


Leo menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Ia menutup mata dengan lengannya. Ia ingin dirinya menghilang sejenak saja. Ia ingin tidak berpikir apapun lagi. Ia ingin melupakan segalanya.


Perlahan, napasnya mulai teratur. Efek obat sakit kepala itu perlahan membuatnya jatuh ke lubang gelap di dalam pikirannya.

 

🌿🌿🌿


Next part: 

https://bittersweetjourneyy.blogspot.com/2023/06/found-you-part-2.html?m=1