Original Story

Dissolve [2/2]

November 26, 2023

 Part 2

2015

Suasana stasiun commuter line kala itu sedang tidak terlalu ramai. Mungkin karena belum memasuki rush hour. Atau mungkin karena orang-orang masih berada di ruang kerja mereka.

Azel dan Kara berniat untuk pergi berkeliling kota dengan kereta di waktu senggang mereka. Hari itu kebetulan mereka tak ada kelas. Sebenarnya tujuan mereka sederhana saja. Mereka hanya ingin melepas diri dari rutinitas mereka.

Meskipun suasana sedang terlalu ramai, Azel yang berjalan sambil membuka-buka tas selempangnya untuk mencari sesuatu membuatnya menabrak punggung seseorang. Aroma parfum yang lembut dan pelembut pakaian langsung memenuhi indra penciumannya.

Ia langsung buru-buru meminta maaf. “Sorry—”

Saat ia melihat sekilas siapa yang ditabraknya, ia menyadari kalau wajahnya sangat familiar. Kedua manik mata berwarna hitam itu menatapnya datar. Helaian rambutnya yang berwarna hitam selalu tampak hampir menutupi matanya. Seperti biasa, ia selalu memakai pakaian serba hitam. Ia memakai jaket, kemeja, dan jeans berwarna senada. Kulitnya putih pucat dan ia selalu terlihat dingin.

Azel selalu melihatnya di perpustakaan di pagi hari. “Kau yang selalu ada di perpustakaan kampus kan?” tanya Azel. Ia tak tahu siapa namanya. Dari jurusan apa? Dari fakultas apa?

“Iya.” Ternyata pemuda itu juga mengingat Azel. Azel memang cukup mudah diingat. Wajahnya mungil. Rambutnya yang sebahu dicat warna ginger. Matanya menatapnya hangat.

“Lagi kelas kosong juga?” Azel mencoba berbasa-basi.

Namun Kara memanggilnya dan menarik tangannya. “Azel, ayo cepat kereta kita tiba!”

Terdengar suara kereta yang akan mereka naiki telah tiba di peron. Kara menggenggam tangannya supaya Azel tidak hilang. “Kenapa tadi belinya lama sekali? Kupikir kau hilang!”

Azel mengikuti langkah Kara yang cepat sementara dirinya menoleh sekali lagi ke belakang.

Cowok itu balas menatapnya.

Keesokan paginya saat Azel pergi ke perpustakaan untuk memulai hari dengan mengerjakan tugas, ia tersadar kalau ID cardnya hilang dari tas selempangnya. Ia baru menyadari saat melihat slot yang kosong dari dompet kartunya. Slot itu seharusnya diisi dengan kartu identitasnya.

Ia panik karena kartu itu penting.

“Mencari ini?”

Seseorang menyodorkan kartu identitasnya di atas mejanya. Azel langsung mendongak untuk melihat siapa yang menyelamatkan harinya. “Syukurlah, terima kasih banyak. Dari mana kau temukan ini?”

“Kemarin kau menjatuhkannya tanpa sadar.”

Lagi-lagi cowok itu. Pagi ini ia memakai outfit yang berbeda dari yang kemarin namun tetap berwarna hitam. Ia memakai t-shirt dengan kemeja sebagai luarannya.

Setelah mengembalikan kartu itu, cowok itu langsung berbalik.

Wait, siapa namamu?”

Cowok itu menghentikan langkahnya. “Hugo.”

Saat itu di ruang baca perpustakaan hanya ada mereka berdua karena Azel suka menjadi pengunjung perpustakaan yang pertama. “Kau pasti sudah tahu namaku dari kartuku. Terima kasih, Hugo… Oh iya, kau dari jurusan mana?” tanyanya lagi karena pemuda itu seringkali membaca buku materi yang sama dengannya.

Namun Hugo hanya tersenyum samar. “Aku pergi dulu,” katanya seraya berlalu begitu saja tanpa menjawab pertanyaan Azel. Ia pergi keluar dari ruang baca itu. 

Komunikasi mereka terbatas pada anotasi di buku yang mereka baca. Beberapa kali Azel menemukan catatan yang diselipkannya pada buku pinjamannya dibalas oleh seseorang.  Azel memang sering menempelkan post-it kecil di buku yang dipinjamnya. Kadang ia menuliskan catatan dari dosen yang membahas buku itu atau pertanyaan tentang teori yang beli ia mengerti.

Namun, betapa aneh ketika ia melihat post-it berisi pertanyaan itu, dijawab oleh seseorang dengan tulisan yang miring ke kanan. Tulisan itu selalu menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang lugas. Ia berdiri dari kursinya lantas berlari ke rak buku untuk mencari buku berbeda yang pernah dipinjamnya. Ia langsung membuka halaman yang terselip catatan kecilnya yang berisi pertanyaan. Lagi-lagi pertanyaannya sudah terjawab.

Pikirannya entah mengapa langsung tertuju pada pemuda bernama Hugo karena ia pernah melihat sekilas Hugo yang membaca buku yang sama dengannya. Lalu suatu pagi, ia mendekati Hugo untuk memastikan kalau ia yang menulis catatan-catatan kecil itu juga dan Hugo mengangguk. “Ya, itu tulisanku.” Tapi percakapan mereka selalu berlangsung sebentar karena setelah itu Hugo akan pergi terburu-buru meninggalkan Azel yang masih berdiri di antara deretan rak-rak buku tinggi.

Nada suara Hugo yang datar dan tanpa ekspresi itu membuatnya merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakannya. Tanpa ia sadari, pipinya bersemu merah.

Beberapa waktu kemudian, Azel mengetahui kalau cowok itu bukan mahasiswa. Ia hanya pekerja part-time yang bekerja membersihkan area gedung perpustakaan. Ia tahu dari penjaga perpustakaan ketika ia berusaha mencari nama Hugo di daftar peminjam buku karena ia penasaran setengah mati apa jurusannya? Kelas apa yang ia ambil? Tapi tak ada nama Hugo di buku registrasi peminjam.

Lalu penjaga perpustakaan itu justru berkata kalau Hugo sebenarnya drop out dari SMA karena suatu kejadian. Sekarang usianya masih 17 tahun yang berarti setahun lebih muda dari Azel. Ibu penjaga perpustakaan itu mengatakan kalau ia mengenal keluarga Hugo dan meminta pengelola perpustakaan agar mau menerimanya bekerja part-time.

Azel terperangah. Ia tak menyangka Hugo seorang anak yang putus sekolah. He is so smart and he easily understand the hard topics in law related books. Azel memang mahasisiwi jurusan hukum dan ia seringkali membaca buku terkait hukum untuk referensi. Buku-buku itu juga yang dibaca oleh Hugo.

Percakapan singkat itu berkembang menjadi pertemuan yang lebih panjang sampai Azel mengetahui jadwal Hugo selesai bekerja part-time di perpustakaan.

“Azel, you like him right?” tanya Kara suatu waktu saat mereka makan malam bersama setelah kelas yang panjang. Tiga bulan terakhir ini, Azel sering menyebut nama Hugo meskipun ia terlihat berusaha keras menyembunyikan perasaannya. Ia tak mau terlihat sedang intoxicated by love di depan Kara.

Pipi Azel memerah. Waktu yang dihabiskan bersama Hugo selalu terasa sangat nyaman. Ia mengaguminya. Dan ia ingin melindunginya setelah tahu apa yang membuatnya drop out dari sekolah. Ia dijebak oleh seseorang yang membuatnya dituduh melakukan perbuatan kriminal. Ia terjerat hukum dan harus bertahan di penjara selama dua tahun.

“Dia sepertinya anak baik-baik. Dua hari yang lalu aku melihat kalian berdua di taman kampus. Lalu tadi pagi kalian mengobrol di perpustakaan sepanjang pagi,” kata Kara seraya menyuap sushi yang menjadi menu mereka malam itu.

Azel tersenyum misterius. Ia belum bisa menjelaskan secara gamblang bagaimana sosok Hugo pada Kara. Mungkin bukan saat ini. “Ah sudahlah, jangan bahas dia terus. Dia memang sesama avid reader like me.”

“Tunggu. Jangan-jangan kalian sudah… official?

Azel memandang keluar jendela yang ada di sampingnya. Ia melihat pohon-pohon yang mulai berwarna kecoklatan di luar sana seolah pemandangan itu lebih menarik. Ia duduk bertopang dagu dan tangannya menutup bibirnya. Terlihat jelas ia tengah menyembunyikan perasaanya.We actually had our first kiss last night and he confessed…

Kara meletakkan sumpitnya di atas piring kecilnya. “Whaat?

Suara Kara yang keras membuat orang-orang menoleh ke meja mereka.

“Sssshh…” Azel meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya. “Please don’t tell anyone, okay?” Itu pertama kalinya Azel menerima confess dari seseorang selama 18 tahun ia hidup di dunia. Ia tampak berseri-seri.

Kara hanya tersenyum seraya mengangguk.

2017

Sebentar lagi, matahari akan terbenam. Hugo menatap pemandangan langit sore di hadapannya dalam diam. Ia selalu menyukai langit di saat pergantian hari menjadi gelap. Tetapi entah kapan terakhir kali ia bisa menikmati sorenya tanpa harus bersepeda terburu-buru dari satu tempat ke tempat lainnya untuk bekerja part-time.

Dari tempat ini, ia bisa puas melihat warna-warna yang tergores di atas langit. Tempat ini merupakan pojok perpustakaan yang menjadi tempat favoritnya bersama Azel karena mempunyai jendela besar yang menghadap langsung ke area taman kampus.

Ia selalu menyukai momen-momen seperti ini. Saat ia tidak diburu-buru waktu dan bisa menghabiskan waktu bersama Azel. Mereka akan membicarakan banyak hal. Tentang hari-hari kuliah Azel. Tentang Azel yang selama ini hanya tinggal berdua dengan Mamanya. Tentang buku yang mereka baca. Tentang kekhawatiran mereka. Tentang segala hal.

Azel juga tahu soal Hugo dan kakak laki-lakinya yang ditinggalkan kedua orangtua mereka di rumah paman semenjak mereka kecil. Tentang ia dan kakaknya yang lebih sering harus bertahan hidup sendirian. Tentang kakaknya yang sejak tahun lalu masuk ruang rehabilitasi karena obat-obatan terlarang. Tentang hari–harinya yang biasa-biasa saja.

They share everything with each other.

Except one thing.

Hugo meletakkan buku yang sedang dipegangnya, lantas ia menyandarkan kepala di atas tangannya yang terlipat di meja. Ia memandangi Azel yang sedang mengerjakan tugasnya dan tanpa sadar tersenyum lembut karena gadis itu selalu terlihat cantik saat sedang serius mengerjakan sesuatu.

Lalu ia memejamkan matanya. Akhir-akhir ini ia sering kewalahan karena orang-orang asing sering muncul di depan rumah paman. Ia seringkali menyalahkan kakaknya yang terlibat dengan geng tidak jelas dan terjerumus obat-obatan terlarang. Sementara ia susah payah menjaga pikirannya tetap waras dan bekerja dari pekerjaan yang satu ke yang lain karena dana bantuan untuk dirinya dan kakaknya lebih banyak digunakan kakaknya untuk hal lain. Contohnya obat-obatan terlarang.

Azel mengalihkan perhatiannya dari laptopnya. Lantas ia melihat Hugo yang tengah memejamkan matanya. Hari itu Hugo lebih banyak diam. Seperti sesuatu yang membuat anak itu terus-terusan hilang dalam pikirannya. Namun saat memejamkan matanya, Hugo tampak tenang. Helai rambut menutupi dahinya. Azel pun mengacak-acak rambut hitam Hugo karena cowok itu tak pernah menyadari kalau dirinya sangat menggemaskan.

“Hey? Ada masalah?”

Hugo membuka matanya. Semburat cahaya sore menimpa matanya yang berwarna hitam. Walaupun berbagai warna menyinari iris matanya, sorotnya tetap terlihat gelap dan kosong. “Tidak ada,” jawabnya.

“Ada orang menyebalkan lagi di tempat kerjamu? Atau orang asing datang ke rumahmu?” tanya Azel. Seminggu yang lalu, wajah Hugo tampak penuh lebam karena ada seseorang dari geng kakaknya mendatangi rumahnya untuk meminta uang entah untuk apa. Waktu itu, Azel langsung mengantar Hugo ke sanatorium kampus untuk mengobati lukanya.

Hugo menggelengkan kepalanya. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Setelah lulus ujian persamaan SMA tahun lalu, ia ingin melanjutkan kuliah. Tapi biaya kuliah membuatnya mundur. Walau begitu, ia beruntung tetap bisa bekerja part-time di perpustakaan kampus ini dan ia bisa membaca diam-diam buku-buku yang ada di perpustakaan.

Hening.

Sore itu, tak ada pengunjung lain di perpustakaan karena hari itu adalah Sabtu. Hanya ada mereka berdua. Dalam keheningan, Azel menatap langit sore yang tampak berwarna merah muda, jingga, ungu, dan biru… Lalu ia bergumam pelan, “Every sunset always has different colours.”

Hugo setuju dengan kalimatnya. Setiap kali ia menatap langit sore saat sedang bersepeda untuk berangkat ke shift kerjanya, ia menyadari warna langit yang selalu berbeda setiap harinya. Meskipun sekilas warna langit sore tampak identik, detailnya tetap berbeda. Seperti sidik jari manusia di muka bumi ini. “And everyone has different nature,” lanjutnya mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.

You’re right.

Hugo ingin waktu bisa berhenti pada saat-saat seperti ini. Hanya ada mereka berdua. Langit sore yang membuatnya takjub. Keheningan yang membuat dirinya tenang. Tapi suatu pikiran impulsif timbul-tenggelam dalam benaknya. Ia merasa hubungan ini harus berakhir karena pada akhirnya tidak ada gunanya.

Ia tak punya masa depan. Ia tak punya apa pun. Semakin dipikirkan, semakin gamblang perbedaan di antara mereka dari segi materi, masa lalu, dan pandangan. Ia tidak tahu apakah ia punya kemampuan untuk mewujudkan mimpinya. Sementara, Azel sudah di tahun ketiga kuliah dan setahun lalu ia akan lulus dari kampus ini.

Walaupun Azel pernah mengatakan hidupnya tidak sempurna dan berantakan semenjak Papanya pergi meninggalkan keluarga kecilnya, Hugo merasa hidupnya jauh lebih kacau lagi. Dirinya tidak mungkin bisa diperbaiki. 

Sore itu, ia menggenggam tangan Azel yang hangat. “I am sorry, but getting to know you was pointless.

Kalimat itu seperti dentuman bom di telinga Azel. Ia langsung menatap Hugo dengan nanar. “What do you mean?” Ia berusaha mencari maksud perkataan cowok itu di balik manik matanya yang sewarna langit malam. Namun, Hugo balas menatapnya dengan getir, dingin, dan lelah.

Bukankah tadinya mereka baik-baik saja?

Forgive me. Tapi sejak awal, seharusnya kita tak pernah memulai.”

“Apa? Kenapa? Karena masa lalumu itu, Hugo? I don’t fucking care.”

Hugo tersenyum. “You can find someone better than me.” Lalu ia melepas genggamannya dari tangan Azel. “We can’t continue this game. It’s already over.

Padahal, sore itu Azel baru saja akan menyampaikan kabar kalau dirinya diterima untuk melakukan pertukaran pelajar dan mungkin akan membuat mereka tak bisa bertemu langsung selama setahun.

Namun ternyata belum sempat ia memberikan kabar itu, benang merah di antara mereka sudah terputus secara paksa.

Walau begitu, diam-diam ia terus menggenggam benang itu dan tidak berniat akan melepaskannya. 

2019

Ia yakin tidak ada usaha yang sia-sia dan tidak ada pertemuan yang tanpa makna. Setiap pertemuan selalu memberikan makna yang mungkin tak pernah kau sadari.

Dua tahun sudah berlalu. Setahun yang lalu ia kembali dari pertukaran pelajar dan tak pernah melihat Hugo lagi di perpustakaan. Ibu penjaga perpustakaan mengatakan kalau Hugo berhenti bekerja part-time.

Lalu ia pergi ke tempat yang dirahasiakan oleh Hugo selama mereka saling mengenal. Taman hiburan terbengkalai. Tiga tahun yang lalu ia pernah tak sengaja melewati taman hiburan yang sudah menjadi sarang hantu itu dan ia melihat Hugo berjalan ke arahnya.

Di kota mereka memang ada sebuah taman hiburan yang dulunya sangat ramai dan terkenal, namun bertahun-tahun yang lalu taman hiburan itu berhenti beroperasi selamanya dan menjadi terbengkalai.

Ketika ia berjalan menuju area restricted tersebut, ia hanya mendapati lahan kosong. Taman hiburan itu sudah dihancurkan sampai rata dengan tanah. Tak ada lagi roller coasternya yang berkarat. Tak ada lagi komedi putar yang kuda-kudanya terlepas dari tiangnya. Tak ada lagi sisa-sisa taman hiburan terbengkalai yang menjadi urban legend di kotanya.

Setelah wisuda tanpa kehadiran Hugo, ia kembali pergi karena ia diterima magang di perusahaan yang berada di state yang lain. Setahun berlalu dan ia kembali karena ia ditempatkan di cabang perusahaannya yang berada di state asalnya.

Memori dua tahun yang lalu masih sering terputar di kepalanya seperti kaset rusak. Ia mengingat dengan jelas bagaimana akhir pertemuan mereka. Bagaimana ia berjalan mengikuti Hugo keluar dari perpustakaan untuk menuntut penjelasan atau apapun. Tapi Hugo pergi menuruni tangga perpustakaan tanpa menoleh lagi ke arahnya. Seolah-olah mereka tak pernah saling mengenal.

She knew she could find someone else that could make perfect relationship. But there is no such thing as perfect relationship.

Pagi itu, Azel berdiri termenung di tempatnya berdiri saat ia menyadari siapa barista di cafe yang ia datangi. Pemuda itu masih tetap sama seperti dua tahun yang lalu, kecuali garis wajahnya yang tampak semakin tegas. Rambut hitamnya yang pendek tampak berantakan. Pakaiannya berwarna gelap, kecuali apron baristanya yang berwarna marun.

Hugo berdiri di balik meja kasir ketika menyadari kasir yang seharusnya ada di situ menghilang.

Mau pesan apa—” Ucapan Hugo terhenti di tengah jalan saat ia menunduk dan menyadari siapa yang sedang memesan kopi.

Setelah dua tahun tak bertemu, Azel menyadari kalau ia terlihat lebih tinggi dan lebih dewasa di usianya yang ke-21. Namun, sorot matanya masih sama—kosong dan kelam.

Tapi kemudian perhatiannya teralihkan karena mendengar rekan kerjanya berkata. “Jadwal shiftmu sudah selesai. Bukankah sebentar lagi kelasmu akan dimulai?”

“Aku tahu, tapi kau meninggalkan meja kasir!”

Azel mendengarkan percakapan Hugo dengan rekan kerjanya yang merupakan kasir cafe sederhana itu. Azel menyimpulkan kalau Hugo pada akhirnya bisa melanjutkan kuliah.

“Aku pesan satu latte panas,” ucap Azel tanpa menatap ke mata Hugo ketika perhatian Hugo kembali terarah kepadanya.

The same feeling is never gone.

Azel harus menyadari kalau saat itu mereka adalah dua orang asing yang seharusnya tak pernah bertemu sebelumnya. But how? How could I forget you?

Atas nama?” Hugo bertanya seraya memegang cup dan spidol di tangan kirinya. Ia memang bisa menulis dengan tangan kiri ataupun kanan.

Azalea,” jawab Azel.

Sebenarnya tanpa bertanya, Hugo masih mengingat dengan jelas nama perempuan di hadapan. Hatinya berdesir ketika melihat Azel yang masih tetap sama seperti dulu kecuali rambutnya yang kini sudah lebih panjang. The same feeling never left him.

“Kau kembali ke kota ini lagi, Azel,” ucap Hugo yang membuat Azel terhenyak dari lamunannya. 

Hugo tersenyum kecil. Senyum yang sama seperti yang ia sering ia lontarkan dua tahun yang lalu. Senyuman manis yang membuat aura dinginnya perlahan lumer.

Mungkin mereka memang ditakdirkan untuk tidak pernah menjadi orang asing. Azel merasa sedikit lega ketika Hugo ternyata tak bersikap getir kepadanya. Namun, ia teringat momen terakhir mereka saat matahari terbenam. Ia teringat perasaan kehilangan yang berlarut dalam dirinya setelah kejadian itu.

Tentu ia kembali. Ia selalu menepati janjinya.

Saat mereka berbicara satu sama lain lagi, perasaan itu muncul berulang. Everything seems like it begins again. But this time, they hold a small hope in their hearts. They hope they will not dissolve in the end.

finn

drop your comment below
https://curiouscat.live/revveries

Original Story

Dissolve [1/2]

November 26, 2023

Part 1

 

2017

Ia yakin tak mungkin ada seseorang yang akan menemukannya di taman hiburan yang ditinggalkan ini. Taman hiburan ini sebenarnya restricted area, tapi ia menemukan celah untuk masuk ke dalam areanya dan semenjak saat itu, ia selalu pergi ke tempat ini saat ia ingin menyingkir dari hiruk pikuk dunia.

Urban legend mengatakan kalau taman hiburan ini berhantu. Konon, pernah terjadi kecelakaan akibat kerusakan roller coaster yang menjadi daya tarik taman hiburan tersebut. Seseorang terluka parah waktu itu. Sering terdengar desas-desus kalau kerusakannya bukan karena masalah teknis seperti yang diberitakan dalam breaking news.

Pemuda itu tidak peduli. Ia tetap datang ke lokasi taman hiburan yang sudah berkarat itu. Ia menyukai keheningan aneh yang menyelubungi lokasi itu. Suasananya yang suram seperti mewakili perasaan hatinya. Ia menemukan tempat ini setelah ia dikeluarkan dari penjara di bawah umur dua tahun yang lalu.

Semenjak saat itu, setiap kali pikirannya kalut, ia selalu pergi ke tempat ini.

Sudah dua tahun ya, pikirnya seraya berjalan menyusuri area yang dulunya penuh warna dan keramaian manusia. Sekarang taman hiburan itu lebih mirip dengan sarang hantu. Dengar-dengar, tempat itu memang berhantu.

Persetan dengan hantu.

Sejatinya, ia memang tidak pernah merasa takut. Bukan karena ia pemberani, tapi karena ia sudah melewati berbagai macam ketakutan. Ia tahu bagaimana caranya bertahan melewati perasaan mencekam itu.

Dalam hening, ia berbaring di atas satu-satunya bangku panjang yang belum lapuk. Bangku tersebut berada di dekat wahana komedi putar yang warnanya sudah pudar dan kuda-kudanya sudah lepas dari tiangnya.

Lintingan rokok terselip di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Perlahan ia menghisap rokoknya dan membiarkan efek nikotin menenangkan pikirannya. Kedua manik matanya yang berwarna hitam menatap langit kelabu di atas sana. Hujan badai sepertinya akan turun.

Suara langkah kaki seseorang tiba-tiba mengusik ketenangannya. Namun, ia bergeming di posisinya. Ia menghela napas panjang. Asap menyeruak keluar dari paru-parunya.

Tak mungkin ada seseorang menemukanku di tempat terbengkalai ini.

Tapi seseorang berdiri di sana.

“Dia sudah pergi. Kau benar-benar tidak ada hati untuk mengantar kepergiannya,” ucap suara seorang gadis dengan nada dingin.

Hugo, nama pemuda berusia 19 tahun itu, perlahan bangun dan duduk menghadap penyusup yang sudah berani mengusik ketenangannya. Ternyata temannya yang datang.

“Dia tahu kau sering ke sini, Hugo,” kata Kara, nama si penyusup, dengan nada getir. “Jangan kira dia tidak mengamatimu pergi ke sini setiap kali kau selesai mengacau.” Aliran udara dingin berembus meniup rambut panjangnya yang digerai.

Hugo menatapnya dengan sorot mata kosong. Ekspresinya tampak datar meskipun badai berkecamuk dalam benaknya. Perasaan bersalah menggelayuti dirinya. Tapi tidak ada lagi yang bisa diubah. Semuanya sudah berakhir.

My connection with her is already over.”

I know. But she doesn’t think the same way because you left her without words. Honestly, kau tidak pantas mendapat perhatiannya dan aku tak sudi datang ke sini. Tapi dia menitipkan pesan.”

Kara menyodorkan sebuah amplop putih ke wajahnya. Dengan enggan, Hugo menjulurkan tangan untuk menerima surat itu. Entah kenapa lembaran kertas itu terasa berat di tangannya.

“Sudah? Itu saja?” tanyanya ketika menyadari sosok di hadapannya tak juga pergi.

I have to witness you reading her letter.” Kara menatapnya dengan sorot menuntut. Ia terlihat sangat galak.

You can tell her, kau sudah melihatku membaca suratnya.”

Kara menggeram. Kali ini ia menumpahkan kalimat yang sejak semalam tertahan dalam dirinya. Ia tak rela melihat sahabat satu-satunya patah. Azel is her only best friend and she would fuck anyone who dare to mess up Azel’s feelings.

 “Aku benci bertanya soal ini. But why did you left her? She fucking adores you and loves you. If you know the end is gonna be like this, you shouldn’t have come to her life at all. And the way you end your relationship is shit. You are such a fucking asshole.” Manik mata Kara tampak berapi-api ketika ia menumpahkan kemarahannya.

Sementara itu, Hugo tampak setenang air. “Kau pikir aku mau meninggalkannya begitu saja? I am so fucking aware I am an asshole and she deserves someone better who is not a fucking ex-criminal,” ucapnya dengan nada dingin yang mengancam. Tak ada riak emosi dalam suaranya. Namun, setiap kalimatnya menyimpan penyesalan dan rasa bersalah yang berlarut dalam dirinya.

Tiba-tiba hujan turun dengan deras dan membasahi amplop berwarna putih yang belum sempat dibuka itu.

Kara menggertakkan giginya. Ia teringat pada sahabat satu-satunya yang jatuh cinta pada laki-laki yang berada di hadapannya. Azel, kenapa kau jatuh cinta pada manusia urakan yang satu ini?

You fuck with her feelings. She always tells me, she loves and wants to accept you as you are, Hugo, but would you have been willing to listen to her?”

Hanya terdengar suara hujan dan gemuruh petir di atas sana.

Your answer is no, right? You never listened to her.

Gadis itu menatap Hugo dengan penuh kebencian.  Kau lebih baik enyah,” ucapnya dengan nada final. Lalu ia berbalik arah dan berjalan menjauhi Hugo yang termenung di tengah-tengah tempat terbengkalai itu.

Terbengkalai. Kata itu entah kenapa cocok dengan dirinya. Ia hidup terbengkalai sama seperti taman hiburan ini. Namun sekarang justru dirinya menyia-nyiakan perasaan seseorang yang ditujukan kepadanya.

Hugo memandangi Kara sampai hilang dari pandangannya sementara pikirannya berkelana. Ia seharusnya menemui Azel sekali lagi. He wanted to fix everything. He fell too hard for her.

Di lain sisi, ia ingin Azel membencinya setengah mati. Ia ingin Azel melupakannya dan menganggap pertemuan mereka tak pernah terjadi di masa lalu. Ia ingin mereka kembali menjadi dua orang asing yang tak pernah bertaut.

Namun, Hugo memandang amplop putih yang sudah basah itu. Lalu ia merobek ujungnya untuk membaca kertas yang ada di dalamnya. Ia menarik kertas yang dilipat tersebut. Tulisan tangan yang kecil dan rapih itu langsung terlihat. Meskipun air hujan mulai mengaburkan tintanya, Hugo tetap mampu membaca tulisan Azel.

 

Dear Hugo,

I know I can text you and I know this letter sounds so cheesy.

But I want to tell you through my writing (because I know you’ve been avoiding me these past two weeks). You are not defined by your past. You have the most intelligent mind… I know you can do something great for yourself and for people around you.

I adore you.

I admire you, Hugo, that it hurts.

Please survive ‘till we could meet again.

I hope our last conversation doesn’t mean we’re getting over.

 

X

Azalea 

 

Hugo meremukkan kertas itu. Ia ingin Azel membencinya bukan mengharapkannya hubungan mereka tetap terjalin. Ia berharap yang tertulis dalam surat itu adalah Azel yang membenci dirinya. She deserves someone else better. She has future and everything, but he couldn’t give back something to her.

Dalam diam, ia duduk di bangku panjang itu tanpa mempedulikan air hujan yang mengguyur tubuhnya. He messed up a girl she loved so much. At the same time, he realized he couldn’t imagine falling for someone else.

Ia memandang surat yang sudah menjadi buntalan kertas remuk itu. Ia ingin mendengar Azel berkata bahwa ia menerima dirinya yang penuh cela. Ia ingin mendengarkan suara Azel yang menenangkannya. Ia ingin mendengar tawanya lagi. Ia ingin mendengarnya membicarakan hal-hal yang membuat mata indahnya berbinar-binar.

Tiba-tiba pertanyaan Kara terngiang dalam kepalanya. “Would you have been willing to listen to her?” Jawaban yang benar adalah ya. Ia selalu mendengarkan Azel.

Namun ia selalu tak pernah mendengarkan dirinya sendiri.

to be continue

next part

drop your comment below
https://curiouscat.live/revveries


Original Story

Monster

November 21, 2023

      


Dingin

Gelap. 

Sunyi.

Hampa.

Ia terus melangkah meskipun tungkainya menjerit ingin berhenti. Kedua kakinya terus melangkah di atas jalan setapak yang diselimuti salju tipis. Uap putih menyeruak keluar dari mulutnya. Udara dingin menusuk paru-parunya. 

Berulang kali ia menoleh ke belakang. Khawatir akan ada sosok atau makhluk lain yang mengikuti atau mengejarnya. Jika ada yang mengejar, ia tak mungkin bisa lari cepat dengan beban berat di punggungnya. 

Archie, nama pemuda itu, kembali menatap jalan setapak di depannya setelah memastikan tak ada siapapun yang mengikutinya. Ia harus segera menemukan desa, perkampungan, atau tempat apapun yang berpenghuni untuk mencari pertolongan—tak peduli apakah desa itu akan menerimanya atau tidak.

Seandainya kemampuanku adalah healing dan bukan teleportasi yang tak berguna, ucapnya dalam hati. Sudah berkali-kali ia menggunakan kemampuan teleportasinya semenjak mereka berhasil melarikan diri dari kastil terkutuk. Namun, ternyata kemampuannya punya batas. Semakin sering digunakan dalam jangka waktu singkat, semakin pendek jarak yang bisa ditempuhnya dengan teleportasi. 

Mungkin sudah dua puluh kilometer yang ditempuhnya berkat bantuan kemampuan ganjilnya. Pemuda itu tak juga menemukan tanda-tanda kehidupan. Hanya ada pohon-pohon beranting tanpa daun dan padang salju sejauh mata memandang.

Ia memejamkan matanya sekali lagi sambil membayangkan wilayah pedesaan atau perkampungan—berharap saat ia membuka mata, ia akan menemukannya. Dalam waktu sekejap, tubuhnya menghilang dan muncul di tempat yang berbeda.

Namun, langkahnya goyah saat kakinya berpijak di tempat yang baru itu. Perlahan ia merasakan cairan hangat mengalir dari hidungnya. Kepalanya sakit luar biasa. Sekujur tubuhnya lelah terus-menerus berjalan di atas lapisan salju. Tanpa disadarinya, ia jatuh berlutut di atas tumpukan salju yang semakin tebal.

Ketika ia mendongak, ia menyadari bahwa tak banyak perbedaan dari tempat sebelumnya. Padang salju tak terbatas. Langit tak terbatas. Bulan purnama yang bulat sempurna. Dan... Aurora borealis. Yang berbeda hanyalah pemandangan cahaya berwarna tanqueray di atas sana. Ia memandang pemandangan menakjubkan itu selama beberapa saat.

Pancaran cahaya aurora tampak seperti tabir yang dibentangkan di angkasa. Pendaran cahayanya bergerak secara perlahan dan tenang. Warna tanqueray tampak sangat kontras dengan langit malam yang sewarna tinta. 

“Alta, you got to see this,” bisik Archie pada gadis albino di punggungnya. Tetapi mata gadis itu tertutup. Pipinya tampak memerah karena kedinginan. Terdengar napasnya yang pelan di tengah kesunyian itu. 

Archie memejamkan matanya lagi dan memproyeksikan dirinya berpindah lokasi ke tempat yang berpenghuni. Detik berikutnya ia terlempar ke tempat yang tidak jauh dari titik sebelumnya. Bahkan ia masih bisa melihat samar jejak jatuhnya. 

Darah mengalir deras dari hidungnya. Ia sudah mencapai limitnya. Ia mendongak menatap pendar cahaya kehijauan yang terlihat sangat mudah tergapai itu. Lalu, ia melihat seekor gagak terbang berputar-putar di atasnya. Wajahnya langsung pucat pasi.

Burung gagak itu mendarat di atas tanah bersalju. Menit berikutnya, Archie melihat burung gagak itu bertransformasi menjadi sosok pria dewasa bermantel hitam. Sosok itu bergerak mendekati mereka. Tak lama kemudian, kawanan gagak yang lain menyusul gagak pertama. Suaranya yang ribut memecahkan kesunyian malam.

Detik berikutnya, seseorang meniupkan serbuk berkelap-kelip yang membuat Archie langsung tenggelam dalam lubang gelap dalam pikirannya. 


Ketika membuka matanya, pemuda itu melihat dirinya terbangun di atas lantai batu pualam. Sinar bulan yang pucat menyelinap masuk melalui kaca mozaik yang menghiasi dinding ruangan itu. Sinar beraneka warna akibat dispersi cahaya pada mozaik kaca menyirami dirinya.

Ia langsung bangkit berdiri dan melihat perkumpulan orang-orang berjubah hitam melingkari sebuah altar. Meskipun pandangan matanya masih buram akibat serbuk misterius, kedua manik matanya yang berbeda warna mampu melihat seorang gadis albino telentang di tengah lingkaran itu.  Teror langsung menyerangnya.

“HENTIKAN!!!!” teriak Archie seraya menerjang lingkaran tersebut dan berusaha melindungi Altaluna.

“Kau akan jadi selanjutnya,” kata salah seorang dari kumpulan orang-orang bertudung itu yang bertubuh paling besar, lantas ia menarik tangan Archie dengan kasar untuk menyeretnya pergi dari lingkaran tersebut. 

Tubuh Archie diseret kasar agar menjauh lalu dilempar ke antara barisan bangku-bangku panjang di ruangan tersebut. Kepalanya membentur ujung bangku. Namun, ia melihat Altaluna—nama gadis albino tersebut—disentuh oleh mereka. Kemudian, tubuh gadis itu melayang dan berpendar-pendar. Mereka mengucapkan mantra. Entah mantra apa yang mereka ucapkan. 

Archie sudah akan menerjang lingkaran kultus gila itu namun tangan seseorang membekap mulutnya dan menahan tubuhnya dari belakang.

“Gadis itu akan bebas dan tak ada lagi darah monster seperti kalian di muka bumi ini,” ucap orang yang membekapnya. Suara seorang laki-laki. Nada suaranya penuh intimidasi dan kebencian. 

Archie menggigit keras tangan sosok misterius itu hingga sosok itu mengaduh dan  melepas tangan kirinya yang membekap mulut Archie. “Kalian yang monster pembunuh,” geram Archie. 

Lalu, ia berlari di antara deretan bangku. 

Altaluna sudah melayang setinggi dua meter dari atas lantai. 

Entah kenapa tiba-tiba tubuh Archie tak bisa digerakkan sama sekali. Ia berusaha menggerakan tangan dan kakinya, namun sekujur tubuhnya kaku. Darah dalam dirinya seperti dikendalikan oleh seseorang. Orang itu. 

You’ll watch carefully how your kind will perish.” 

“Kalian juga sama denganku,” kata Archie—teringat pada burung gagak yang mampu berubah menjadi manusia. Mereka juga memiliki kemampuan supernatural. 

“Kita mungkin mirip.” Sosok itu berkata sinis. “Tapi kami bukan monster abadi seperti kalian. Kalian adalah hama dan sudah sepantasnya dibasmi.”

Archie menggigit bibirnya saat sosok itu berkata seperti itu. Monster. Mereka memang monster yang tidak bisa mati seberapa keras di berusaha mencelakai dirinya. Dulu legenda mengatakan kalau kaum pemilik kemampuan supernatural seperti mereka adalah penghancur. Namun, hanya pemilik kemampuan destruktif yang menjadi penghancur. Selebihnya bukan penghancur.

Ia tak mengingat bagaimana dirinya lahir di dunia. Yang ia ingat hanyalah dirinya sudah berada di dunia sejak ratusan tahun yang lalu. Ia melihat bagaimana para pemilik kemampuan destruktif menghancurkan desa dan keluarganya. 

Mata Archie terarah pada pemandangan di depannya.

Tubuh Altalune melayang semakin tinggi dan tubuhnya semakin transparan. 

Archie tak mau kehilangan lagi. Terlalu banyak kehilangan. Manusia yang ia pikir bisa menjadi teman pada akhirnya hilang. Kaumnya mulai pudar dari dunia ini. Saat ini, ia hanya punya Altaluna yang ia anggap seperti adik sendiri dan ia rela mati untuknya.

“Tidak semua kaum kami memiliki kemampuan destruktif,” ucap Archie. Lehernya terasa tercekik. Meskipun ia kehabisan napas pun, ia tak akan bisa mati. Jenis monster sepertinya hanya bisa mati dengan syarat-syarat tertentu. 

“Monster tetaplah monster," balas sosok misterius yang berpakaian serba hitam tersebut.

Have you ever seen a monster begging for its life?  Pleaseset me free,” ucap Archie susah payah. Suaranya tercekat karena cengkraman tak kasat mata di lehernya terasa semakin kencang. “We’renotdestroyers.”


Alta. 

ALTAAAAA!!!!


Archie berteriak memanggil nama Alta dalam pikirannya sementara gadis yang aslinya berusia ratusan tahun itu melayang semakin tinggi hingga mencapai langit-langit yang tinggi. 

Lalu, tiba-tiba bangunan itu bergetar hebat seolah ada gempa. Langit-langitnya retak. Terdengar gemuruh memekakan telinga. Lingkaran itu pun putus karena para penyihir bertudung itu spontan memegang kepala untuk melindungi diri. Beberapa bahkan ada yang bertransformasi menjadi gagak.

Ritual berhenti.

Pendaran cahaya di sekitar tubuh Altaluna menghilang dan gadis itu langsung jatuh bebas dari ketinggian lima meter. Archie muncul di bawahnya tepat waktu dan menangkap tubuh gadis itu. Tubuh Altaluna hangat—pertanda masih ada kehidupan di dalamnya. 

Gemuruh semakin terdengar. Retakan muncul saling silang di langit-langit bangunan. Lalu, langit-langit itu runtuh. Runtuh begitu saja. Begitu pula dindingnya. Batu-batu yang menjadi bahan pembangun kastil berjatuhan dan menimpa sekumpulan orang-orang bertudung itu. 

Semua bagian dari kastil itu hancur, kecuali altar tempat Archie mendekap tubuh Altaluna. 

Beberapa menit kemudian, getaran hebat berhenti. Debu-debu berterbangan. Kastil terpencil dan tersembunyi itu pun hancur dan rata dengan tanah. 

Hancur lebur.

Tak ada yang tersisa.

Kini Archie berdiri di tengah puing-puing reruntuhan kastil. Ia tak berani membuka mata. Tetapi ia yakin langit, bulan purnama, dan aurora borealis menjadi saksi dirinya menghancurkan kastil itu.

Senyap. 

Tak ada lagi suara mantra-mantra dibacakan. 

Tak ada lagi kastil misterius yang menjadi tempat kaumnya dieksekusi mati. 

Archie menghela napas. Darah bercampur air mata menetes dari hidungnya ke pakaian putih yang dikenakan Altaluna. 

Entah sejak kapan ia terisak karena menyadari sesuatu yang baru dalam dirinya sejak ia lahir ke dunia. 

Altaluna mengerjapkan matanya perlahan menampakkan manik matanya yang berwarna merah karena tidak ada melanin di iris matanya. Ia tampak sepucat bulan purnama di atas langit. “Archie?”

Mata Archie yang tertutup selama proses penghancuran itu terjadi kini terbuka. Iris matanya yang berwarna biru laut dan kuning amber berbinar di bawah pendar cahaya aurora. “Akhirnya kau sadar, Alta,” bisik Archie. 

“Tapi kakiku mati rasa,” balas Altaluna. 

Archie mendudukan Altaluna di atas puing-puing. Mereka duduk di tengah reruntuhan yang luas. Sungguh aneh. Altaluna tak mengerti bagaimana mereka bisa berada di tengah kastil yang hancur. “What just happened?

“Kita bebas,” jawab Archie. 

Altaluna tersenyum hangat. Meskipun usia mereka tak berbeda jauh dan sama-sama sudah melewati angka seratus, Altaluna selalu menganggap Archie sebagai kakaknya. “Kita bisa hidup tenang setelah ini.”

Archie mengangguk. Tersenyum. Senyum yang jarang ia tunjukkan pada siapapun.

Tetapi semenjak hari kebebasan mereka, ada sesuatu yang disembunyikan dalam hati Archie yang tak terbaca oleh siapapun dan selalu berusaha ia tolak mentah-mentah. Ia denial terhadap dirinya snediri.

Ternyata ia sudah berbohong pada sosok penyihir misterius itu. 

Penyihir itu benar. 

Sesungguhnya dia adalah monster dan di hari itu ia tersadar bahwa kemampuannya bukan hanya teleportasi. 

Dia adalah bagian dari kaumnya yang memiliki kemampuan destroyer. 


finn