Forgive Me [PART 2]

September 04, 2019


Part 2

“Nathan, lo tau sendiri kan gue enggak suka anak itu. Kenapa enggak bilang kalau kempingnya sama anak itu juga?”

Jeff menatap Nathan kesal sambil memakan jagung bakarnya.

“Dia teman baikku selama ekskul. So what?” Nathan masih terlihat ceria meski rencana kempingnya rusak karena tiba-tiba langit mendung dan ternyata Jeff tidak bersikap ramah ke Leo, meskipun memang pada dasarnya Jeff bukan anak yang ramah. Siapa pun yang melihatnya pertama kali akan mengira ia berandalan. Rambut acak-acakan plus plester di pelipisnya membuat orang-orang sering mengiranya sebagai preman.

“Lo tau sendiri kan, dia jadi bahan bully para senior, terutama sejak MOS. Tapi, dia pernah memukul kakak kelasnya sampai berdarah. Ditambah dia kadang pakai alat bantu pendengaran, kadang enggak. Apa jangan-jangan lo kasihan sama dia?”

Nathan berhenti mengunyah. Wajahnya yang biasa ceria tiba-tiba berubah menjadi serius. “Bukan karena itu.”

Jeff tidak mengalihkan topik pembicaraan. Ia menengadah dan melihat ke langit yang mendung. “Seharusnya lo tukeran tempat duduk sama gue.”

Cowok di sampingnya ikut menengadah dan menghela napas. “Ya, kalo bisa sih udah dari awal. Tapi kan beda kelas.”

Air hujan mulai turun dan jatuh di wajah mereka. “Leo kenapa belum balik ya? Apa jangan-jangan dia tersesat?” ucap Nathan sambil menatap ke hutan di sekeliling mereka.

“Paling bentar lagi NATHAN!”

Belum selesai Jeff berbicara, Nathan sudah berlari ke dalam hutan sambil membawa senter di tangannya. Raut wajah cowok itu panik. Ia juga tidak tahu kenapa mau berteman dengan Leo. Tapi ia masih ingat awal pertemanannya dengan Leo.

Jeff mengeluh. Hujan semakin deras. Api unggun buatan Nathan mati. Seharusnya mereka menepi dan mencari hotel terdekat saja, seperti orang-orang lain yang juga sedang kemping di area itu. Bahkan beberapa orang baru saja menawarinya tumpangan untuk pergi ke tempat penginapan terdekat. Tapi ia menggeleng.

Ia bergegas mengambil senter, dan tanpa mempedulikan hujan yang semakin deras, ia berlari menuju hutan.

**

Jeff tidak mengikuti arah lari Nathan. Ia mendengar suara terjatuh di sisi lain yang berada di dekat tenda.

Ia berjalan dengan hati-hati karena khawatir yang baru saja jatuh itu bukan manusia, melainkan hewan atau hanya buah besar yang jatuh atau makhluk lain… Tapi, ia berada di hutan pinus, tidak ada buah besar yang jatuhnya berdebum seperti itu.

Ternyata beneran orang, batin Jeff sambil berjalan mendekati sosok tersebut. Ia menegakkan tubuh sosok itu dan menyingkap tudung hoodie yang menutupi kepalanya.

“Leo? SADAR!” Jeff belum pernah berhadapan dengan orang yang hampir pingsan. Jadi, ia hanya memegang kedua bahu sosok di hadapannya dan berusaha menyadarkannya.

Wajah cowok itu pucat pasi. Tangannya gemetar dan matanya setengah tertutup. Ia menatap wajah di hadapannya yang sepertinya sedang mengatakan sesuatu padanya. Ia tidak bisa mendengar satu patah kata pun. Semuanya sunyi...

“LEO?! Mendingan gue antar loe ke tenda. Gue nyari Nathan dulu!” seru Jeff. Ia memapah tubuh Leo berdiri lalu berjalan menuju tenda mereka yang sudah basah. Kemudian, ia berteriak memanggil Nathan.

Beruntung Nathan mudah ditemukan. Cowok dengan tinggi 170 cm itu seperti tidak terpengaruh hujan deras yang mengguyur tubuhnya. Ia masih berteriak memanggil nama teman barunya saat Jeff menemukannya.

“Leo udah ketemu. Ayo balik ke tenda!” seru Jeff berusaha mengalahkan suara hujan.

“D-dia gapapa?!” Nathan sempat-sempatnya mengkhawatirkan temannya padahal ia sendiri juga sudah menggigil kedinginan.

Jeff tidak menjawab. Ia menyuruh Nathan agar kembali ke tenda secepatnya. Nathan memasang terpal untuk menutupi tenda agar tenda mereka tidak terlalu basah.

“Leo?!” Nathan membuka tenda dengan tangan gemetar dan tanpa pikir panjang langsung masuk ke dalam. “Untung kamu enggak apa-apa! Hhhh… Gimana kalau kamu sampe tersesat dan enggak kembali?!”

Anak bernama Leo itu tidak merespons ucapan Nathan namun ia tersenyum. Arrrghhh… Kenapa hilangnya harus di sini? Dalam hati ia berjanji tidak akan berbicara sampai pulang dan bertemu Ryan. Karena kalau ia tidak mendengar suaranya sendiri, mungkin ia akan lebih panik dari yang tadi.

Jeff ikut masuk ke dalam tenda dan langsung merebahkan tubuhnya yang basah kuyup.

“Hey! Jangan langsung tiduran! Basah semua!” gerutu Nathan.

“Bodo amat. Emang udah basah kan?” Jeff memejamkan matanya sambil bersedekap.

“Jangan ditambah basah!” Nathan menggeser tubuh Jeff dari bagiannya. Meski sleeping bag mereka belum dikeluarkan, tapi Nathan sudah membagi-bagi bagian mereka. Jeff berada di sisi kiri, ia di tengah, sedangkan Leo di sisi kanan.

Leo terdiam. Ia memeluk kedua lututnya dan menatap kosong ke depan. Berbagai macam pikiran berseliweran di dalam kepalanya. Ia ingin segera bertemu Ryan. Paling tidak, ia merasa aman bersama Ryan…

Sorry ya. Semuanya kacau,” ucap Nathan di tengah keheningan yang menyelimuti mereka bertiga. Ia duduk dengan posisi kaki selonjoran dan bersender di backpack-nya. Ia enggan rebahan seperti Jeff.

Hening lagi. Keheningan itu dipecah oleh tawa Jeff.

Nathan langsung menoleh ke arah Jeff. “Kenapa ketawa?”

“Ya, lawak aja. Lo ngajak gue pergi kemping bersama anak yang gue benci. Terus, hujan turun dan kita bertiga hampir terpisah di tengah hutan.”

Nathan tertawa getir. Ia melirik Leo yang sama sekali tidak terpengaruh ucapan Jeff. Ia merasa tidak enak. Tapi bagaimana ia bisa merespons, kalau sekarang ia sama sekali tidak mendengar apa pun. Ia merogoh saku hoodie-nya. Tidak ada alat bantu pendengarannya. Ia mengeluh dalam hati. Kakaknya akan marah besar. Ini alat bantu ketiga yang sudah ia hilangkan tahun ini. Pasti alat itu terjatuh saat ia tersandung kayu.

“Leo, ucapan Jeff barusan jangan didengerin. Dia sering enggak mikir kalau bicara,” kata Nathan.

Tapi Leo masih termangu.

Nathan mulai merasa ada yang aneh. “Leo? Kamu enggak kesurupan kan?” Ia menyentuh bahu cowok di sampingnya. Leo langsung terkesiap.

Di bawah penerangan senter, Leo agak kesulitan membaca gerak mulut Nathan. Tapi ia yakin, ia baru saja dikira kesurupan. Jadi ia menggeleng.

“Kenapa diam aja? Atau suara kamu ikutan hilang pas kamu hilang di hutan?” tanya Nathan lagi.

Leo mengeluh. Kenapa Nathan bicaranya cepat? Ia sudah lama tidak fokus mengartikan gerak mulut seseorang lagi. Jadi, ia menggunakan langkah terakhir yang paling tidak ingin ia gunakan lagi semenjak 10 tahun yang lalu.

Tapi berhubung Nathan belum pernah berkomunikasi dengan bahasa isyarat, ia menatap Leo dengan tatapan clueless.

Jeff bangun dari posisi tidurnya. Dalam keadaan basah kuyup, tegang, dan dingin seperti ini, bagaimana ia bisa tidur?

“Dia… tuli lagi?”

“Apa maksudmu tuli lagI?” tanya Nathan.

“Ia pernah begitu di kelas, waktu alat bantu pendengarannya ditarik paksa oleh senior yang membullynya.”

“Tapi selama ini kupikir dia normal?!” Nathan terlihat agak shock. Ternyata ia belum mengetahui apa pun tentang teman barunya. Ia dan Leo memang hanya bertemu saat ekskul saja, selebihnya mereka bertemu di cafetaria sekolah atau kadang berpapasan di koridor sekolah.

“Kan udah gue bilang. Kadang dia pakai alat bantu pendengaran, kadang enggak.” Jeff duduk sebangku dengan Leo di kelas. Itu sebabnya ia tahu.

Leo mengambil handphone-nya dan mengetikkan sesuatu.

Aku lagi ga bisa denger. Alat bantuku hilang. Tapi ga usah khawatir. Udah biasa ^^

Anak itu menyodorkan layar androidnya pada Nathan. Nathan menatap teman barunya tidak percaya. Meski Jeff selalu bersikap ketus pada Leo, ia ikut membaca notes yang ditulis Leo.

“Kudu pakek emoticon ya,” komentar Jeff.

Nathan langsung membalas tulisan itu di bawah tulisan Leo.

Sakit ngga? ><

Jeff yang melihat emoticon di notes itu merasa... “Kalian cowok, kenapa harus pakek emoticon hah?”

Ngga.

Leo menjawab pendek. Ia rasa ia tidak perlu bilang kalau kadang sakitnya sampe bikin dia sesak napas. Atau perlukah ia bilang kalau ia punya trauma masa kecil yang sering membuatnya kacau?

Jeff meraih ponsel Leo. Ia mengetikkan sesuatu dengan cepat.

Klo sakit, blg aja, bgst.

“Kamu nulis apa, Jeff?!” Nathan tidak sempat membaca apa yang ditulis Jeff. Yang jelas pasti kata-kata kasar.

“Tadi, gue nemuin dia dalam keadaan hampir pingsan. Enggak mungkin enggak sakit kan?” kata Jeff dengan frontal.

Leo membaca tulisan yang ditulis Jeff. Ia menyeringai sambil menunjukkan balasannya.

Diem lo, bjgn.

Nathan ikut membaca obrolan antara Leo dan Jeff. Jeff sudah mengambil ponsel Leo, tapi Nathan lebh dulu mengambilnya. Ia mencegah sebelum mereka saling mencaci lebih lanjut. “Stop! Lama-lama kalian bisa berantem di sini.”

Nathan menulis di ponsel Leo.

Kalo ada yang sakit, jujur aja. Oh iya, kenapa tadi baliknya lama?

Sekarang, ga ada yang sakit. Aku emang punya trauma. Dan kalo kambuh, imbasnya telingaku.

What kind of trauma?

Trs td apaan smp lo jth?

Aku ga bisa jelasin trauma itu di sini.

Why why why ;;

Gw blm dijwb

Tadi gue kesandung kayu!

What? Ada yang berdarah ngga?!

Nathan langsung mengecek tubuh Leo dengan senternya. Ia langsung menemukan luka di lutut kanan Leo. Celana trainingnya sobek di bagian lutut, memperlihatkan luka berdarah di kaki Leo. Nathan juga melihat ada luka gores di wajah Leo.

Ia langsung mengambil kotak P3K dari dalam backpack-nya. Leo mengernyit saat cairan antiseptik menyentuh lukanya. Tapi ia diam saja, membiarkan Nathan membebat lukanya. Ia memasang sendiri plester di dagunya yang tergores tanah saat tersandung tadi.

“Mana handphone-mu?” tanya Nathan pada Leo. Ia langsung menutup mulut saat lupa kalau saat ini Leo sedang tidak bisa mendengar apa pun. Tapi Leo cukup tanggap sehingga ia memberikan handphone-nya.

Kayaknya besok kita enggak jadi ke air terjun. Kita langsung pulang aja, gimana?

Leo mulai merasa bersalah. Ia menggigit bibirnya lantas mengetik.

JANGAN! Kita tetap ke air terjun besok!

Kamu gapapa Leo? :(

Aku gapapa. Sante aja kali xD

Gw ngikut.

Tanpa mereka sadari, mereka mengobrol sampai lewat tengah malam. Hujan mulai mereda di luar, meski masih turun rintik-rintik. Mereka masuk ke dalam sleeping bag masing-masing dan tak perlu waktu lama, mereka tertidur karena kelelahan.

**

18 Desember 2017

BRUAAKK!!! 

Ryan baru akan menutup pintu utama rumah saat ia mendengar suara pintu lagi yang dibanting dengan keras. Rumah belum lunas, tapi pintunya udah dibanting-banting.

Begitu masuk ke dalam rumahtanpa mengucapkan salamadiknya langsung melempar backpack-nya sembarangan dan membanting pintu kamarnya. Padahal ia pikir mood adiknya sedang bagus karena saat Nathan mengantarnya pulang, ia sempat tersenyum ramah.

“Kenapa lagi anak itu?” gumam Ryan. Padahal sebelum adiknya datang, rumahnya aman sentosa.

Ia mengetuk pintu kamar adiknya sebelum membuka pintu. Karena pada saat-saat seperti ini, adiknya jadi lebih mudah irritated. “Aku masuk ya?”

Leo tidak menyahut. Jadi dengan seenaknya Ryan masuk dan menemukan adiknya sedang guling-guling di kasur.

“AARGHHH!!! AKU GAK BISA DENGER, RYAN! AKU TULI LAGI! ALAT BANTU PENDENGARANKU HILANG! AKU PANIK LAGI WAKTU ADA PETIR SAMPE JATUH DI HUTAN! AKU JADI GAK BISA DENGEEER!”

Ryan mengernyit saat Leo melapor alat bantu pendengarannya hilang ‘lagi’ untuk kesekian kalinya. “Apa? Itu kan harganya mahal!”

“KAMU GAK DENGER? AKU GAK BISA DENGEER!!! JANGAN NGOMONG! AKU ENGGAK BISA DENGEER!!!”

Ryan duduk di pinggir tempat tidur. Kenapa di saat seperti ini ia malah gemas dengan adiknya? Leo memang selalu cute bahkan saat sedang merajuk enggak jelas seperti ini. Ia tidak begitu panik saat Leo melapor ia kehilangan pendengarannya, karena kejadian ini sudah terjadi berulang kali dan ujung-ujungnya pendengaran Leo akan kembali lagi.

“Mau ke dokter nanti?”

“NGOMONG APA?!!!”

“Ssshhh… Kalo kamu terus berteriak, nanti pendengaranmu bisa rusak permanen.”

Leo masih berteriak tidak jelas sambil berguling-guling di atas kasur.

Ryan terpaksa menggunakan cara lama yang paling ampuh menenangkan Leo kalau sedang tantrum. Ia menarik tubuh Leo dan memaksa Leo untuk menatap matanya lantas berkata menggunakan bahasa isyarat, ‘Kalo kamu terus berteriak, nanti pendengaranmu bisa rusak permanen.’

Leo langsung terdiam. Ia jelas-jelas tidak suka terpaksa harus menggunakan bahasa isyarat karena hanya akan membuatnya ingat masa-masa kelamnya. Walau begitu ia tetap membalas menggunakan bahasa isyarat, ‘Alat bantu pendengaranku mana?’

‘Jangan. Yang ada kamu hilangin lagi. Nanti kita ke dokter, oke?’ Ryan berjalan mengambil handphone-nya di luar, hendak menghubungi salah satu dokter THT yang ia kenal di Yogyakarta.

Leo tidak menanggapi lagi. Tiba-tiba ia merasa lelah setelah berteriak mengeluarkan unek-unek yang sudah ia tahan sejak semalam. Ditambah ia baru saja berjalan kaki menuju lokasi air terjun, berenang sepuasanya, lalu lompat dari ketinggian bersama Jeff dan Nathan. Nathan walaupun tubuhnya kecil, ia berani juga melompat dari tebing.

Leo merasa dunianya sangat sepi. Rasa takut itu datang lagi. Ia takut kalau ia akan menjadi tuli selamanya. Ia takut dokter akan mengatakan kalau ia kehilangan pendengarannya secara permanen.

Ia memejamkan matanya karena penat. Tak butuh waktu lama, ia terlelap dan bermimpi buruk.

**

“Hmmm… Kalau begitu nanti pukul 8 malam dokternya baru bisa periksa ya? Ya… Oke, terima kasih.”

Ryan mengakhiri panggilan itu dan langsung pergi ke kamar Leo lagi. Adiknya sudah tertidur nyenyak, tanpa mengganti celana jeans dan kemejanya.

Masih ada waktu enam jam sebelum ia harus pergi ke dokter. Jadi, ia biarkan saja adiknya tidur. Kemudian, ia kembali ke meja makan, tempat pekerjaannya menunggu.

Tiba-tiba handphone-nya berbunyi. Ia membaca ID Caller yang tertera di layar sentuh ponselnya.

‘Ibu Angkat’

Ryan menelan ludah. Ia sudah lama tidak berkomunikasi dengan ibu angkatnya. Bahkan terakhir kali mereka bertemu adalah dua tahun yang lalu. Walau begitu, ia mengangkat telepon itu segera.

Assalamualaikum,” suara lembut khas seorang ibu menyapanya di seberang.

“Waalaikumsalam.”

Apa kabar, Ryan?”

“Baik, Bu,” sahut Ryan.

Leo bagaimana?

Pertanyaan wajib yang selalu ditanyakan ibu angkatnya kalau menelepon dirinya.

“Baik juga kok, Bu… Dia baru aja pergi kemping sama teman-temannya. Jadi, sekarang lagi tidur.”

Oh… Enggak sakit kan? Pendengarannya gimana?”

Ryan berpikir sejenak. “Agak hilang karena traumanya muncul lagi tadi malam.”  Ryan selalu merasa bersyukur memiliki orang tua angkat yang berbeda dengan orang tua lain yang mengadopsinya saat di panti asuhan. Biasanya orang tua lain akan berhenti di depan Leo hanya karena gemas dengan wajah chubbynya dan rambut cokelatnya yang sangat halus. Tapi begitu tahu Leo adalah anak difabel, para orang tua itu akan pergi melewatinya begitu saja, mereka mencari anak yang tidak kekurangan sedikit pun.

“Sudah kamu bawa ke psikiater lagi?”

“Belum, Bu… Nanti malam saya baru akan ke dokter THT.”

“Kalau kekurangan uang untuk biaya berobat Leo, bilang saja ya. Tidak usah sungkan.”

Ryan tersenyum penuh terima kasihseandainya ibu angkatnya bisa melihatnya sekarang. “Terima kasih, Bu.”

Leo pasti bisa sembuh kok. Sudah ya, Ryan. Wassalamulaikum.

“Waalaikumsalam.”

Ryan meletakkan ponselnya ke atas meja. Kemudian ia menatap layar laptopnya lagi yang menampakkan coding untuk design blog terbarunya.

Handphone-nya berbunyi lagi. Kali ini menampilkan SMS pemberitahuan kalau rekeningnya baru saja diberi tambahan uang.

Syukurlah. Paling enggak, aku enggak perlu terlalu memikirkan biaya berobatnya Leo.

**

Wake up, Leo,” ucap Ryan sambil mengguncang tubuh adiknya pelan.

No. I’m too tired,” keluh Leo.

Ryan menatap adiknya. “Kamu udah bisa dengar lagi?”

Leo mengerjapkan matanya beberapa kali. Begitu ia membuka matanya, ia langsung menatap wajah kakaknya. “Lumayan.”

Ryan bernapas lega. Ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi lega di wajahnya. “Fiiiuuuh…” Ia mengempaskan tubuhnya di pinggir tempat tidur Leo. “Aku udah takut harus beli alat bantu pendengaran lagi dan harus bicara pakai bahasa isyarat terus sama kamu!”

“Kenapa bangunin?” tanya Leo kesal. Tubuhnya baru terasa remuk sekarang.

“Kita harus ke dokter.”

“Dokter kan? Bukan psikiater?”

“Iyaaa… Siap-siap, gih.”

Leo pergi mencuci muka. Kepalanya masih berdenyut sakit. Ia hanya ingin cepat menyelesaikan pertemuannya dengan dokter dan kembali ke tempat tidur.

**

20 Desember 2017

Liburan semester satu selalu menjadi momen yang dimanfaatkan Leo untuk bermain game dari seharian. Ia tidak pernah mempermasalahkan liburannya yang selalu stay at home.

Pagi ini, Leo langsung menghubungkan modem ke laptopnya lalu langsung bermain game.

Ryan yang baru selesai mandi, tidak heran melihat Leo pagi-pagi sudah duduk anteng di meja makan yang lebih sering digunakan sebagai meja laptop karena posisinya yang nyaman, dekat jendela sehingga udara bisa masuk dengan leluasa.

Pukul 8 pagi.

Ryan menyiapkan sarapan untuknya dan Leo. Cowok jangkung bertubuh tinggi 188 cm itu  membuka topik pembicaraan dengan enggan. “Leo?”

“Hm.”

Ryan hanya memastikan telinga adiknya berfungsi dengan benar. “Hari ini aku mau pergi ke Bandung selama 3 minggu ke depan buat kerja di perusahaan yang ada di sana,” ucapnya sambil mengoleskan selai cokelat ke roti gandum yang menjadi sarapan mereka.

“Loh? Cuma 3 minggu?” Leo mempause game-nya, lantas menatap kakaknya heran.

“Aku melamar pekerjaan di sana dan aku akan diinterview serta ikut internship.

“Berarti sebentar lagi kita bakal pindah ke Bandung?”

“Yeah, begitulah.”

“Rumah ini aja belum lunas kan? Mau kabur dari bayar biaya sewa rumah?” sahut Leo tajam.

“Bukan begitu, Leo. Rumah ini masih bisa dilunasin sampai akhir bulan depan. Lagian perusahaan itu punya cabang di Yogyakarta. Jadi kemungkinan besar kita engga akan pindah ke Bandung.”

“Kalau ternyata kamu ditempatkannya di Bandung?”

“Ya mau gimana lagi. Kamu enggak pengen kakakmu sibuk ngantor lagi?”

Leo berdecak kesal. Aku bakal terlantar lagi. Ya, tapi masa selamanya kakakku harus ada di sampingku? “Oke. Boleh deh. Sukses interview-nya.”

“Kamu enggak pengen ke Jakarta selama aku interneship? Ke rumah ibu angkat?”

Leo menatap Ryan tajam. “Jadi kamu pengen aku mengungsi di sana lagi dan menghancurkan perabotan rumah?!”

“Enggak. Bukan gitu.” Aduh, kadang capek ngomong sama Leo. Ryan menarik napas perlahan. “Hmmm… Kalo gitu, aku minta tolong Nathan buat jagain kamu ya? Sama satu lagi temanmu siapa?”

“Jeff.”

“Kamu ada nomor mereka kan? Aku mau telepon.”

Leo memberi ponselnya begitu saja ke Ryan. Ternyata dugaannya benar. Kakaknya mulai kehabisan uang dan sebentar lagi mereka akan ditagih untuk melunasi biaya sewa rumah.

Leo menyibukkan diri dengan bermain game sambil mengunyah sarapannya. Ia tidak mengacuhkan Ryan yang sibuk menelepon dua teman baiknya yang pasti akan bersikap menjadi bodyguard jadi-jadian kepadanya selama 3 minggu ke depan.

“Naik apa ke Bandung?” tanya Leo pada Ryan yang tengah kembali ke ruang makan.

“Kereta api. Nanti jam 1 siang.”

“Udah packing?”

“Udah,” jawab Ryan sambil mulai mengunyah sarapannya juga. “Aku juga udah pesen taksi buat anter aku nanti.”

Leo manggut-manggut. Mereka memang tidak punya mobil untuk membawa koper. Mereka hanya memiliki satu motor matic yang sering diprotes Leo karena motor itu hampir selalu dikuasai Ryan.

“Kamu gapapa kan, Leo? Cuma tiga minggu… Kalau ada apa-apa, ke tetangga sebelah aja. Ini uang buat beli makan. Tadi malam, aku udah belanja bahan makanan. Jangan lupa makan. Tiap hari bakal kuingetin. Kalau kamu panik, telepon aku.”

“Iya iya, kakak,” gerutu Leo. 

Namun Ryan seperti tidak terpengaruh, ia melanjutkan, “Jangan pergi sampai larut malam. Sekarang lagi musim hujan, kalau keluar rumah, bawa payung atau pakai jaket. Jangan telat makan. Hey, kamu masih dengerin kan?”

Leo melepas earphone yang ia pakai. “Apa?”

Ryan langsung mengambil earphone itu secara paksa. “Kemarin udah dibilang jangan pakai earphone dulu kan kalau enggak mau tuli beneran?!”

“A-ah, iya iya, aku tahu.” Leo hanya nyengir lebar. Ia membiarkan Ryan yang melepas earphone dari telinganya. “Aku bisa jaga diri kok. Tenang aja.”

Ryan menghela napas. “Buktinya apa? Kemarin kamu kulepas kemping semalem

“Aku enggak akan lagi kayak gitu beneran,” ucap Leo sambil membuat tanda V dengan tangannya.

“Terus yang di sekolah? Kata gurumu, kamu pernah hampir bikin celaka temanmu. Tapi kamu enggak pernah bilang?” Entah apa yang membuatnya tiba-tiba mengungkit masalah itu. Apakah ia ketularan anxiety-nya Leo? Atau hanya karena beberapa hari ini ia kurang bisa tidur sehingga berimbas ke mood-nya yang buruk di siang hari?

Leo langsung menatap Ryan dengan sorot serius. “Sejauh mana kamu tahu itu?”

“Aku enggak tahu apa-apa. Makanya aku bertanya. Kamu punya masalah di sekolah?”

“Arrrgh… Pasti guru sialan itu yang bilang.”

“Apa? Sejak kapan kamu sebut gurumu begitu?”

“Aku udah suruh biar guru itu diam, enggak bilang apa pun soal kejadian itu. Karena kalo kamu sampai tahu, kamu bakal bawa aku ke psikiater dan aku bakal divonis macem-macem lagi. Disuruh minum obat atau disuruh stay di sana. AKU ENGGAK MAU!”

Telinga kanan Leo berdenging. Tapi ia mengabaikan hal itu. Mood-nya pagi itu sudah hancur. Ia berlari mengambil hoodie-nya dan berjalan keluar rumah.

Ryan memandang pintu utama rumah yang masih terbuka. Ia kehilangan seleranya untuk melanjutkan sarapan. Jadi, itu sebabnya ia jadi tertutup selama ini? Tiba-tiba ia merasa menyesal karena harus meninggalkan Leo selama 3 minggu ke depan. Tapi keputusan telah dibuat, ia tidak mungkin mengabaikan kesempatan ini.

To be continue...

You Might Also Like

0 comments