Forgive Me [PART 2]
September 04, 2019
Part 2
“Nathan, lo tau sendiri kan gue enggak suka anak itu.
Kenapa enggak bilang kalau kempingnya sama anak itu juga?”
Jeff menatap Nathan kesal sambil memakan jagung
bakarnya.
“Dia teman baikku selama ekskul. So what?” Nathan masih terlihat ceria meski rencana kempingnya
rusak karena tiba-tiba langit mendung dan ternyata Jeff tidak bersikap ramah ke
Leo, meskipun memang pada dasarnya Jeff bukan anak yang ramah. Siapa pun yang
melihatnya pertama kali akan mengira ia berandalan. Rambut acak-acakan plus plester di pelipisnya membuat
orang-orang sering mengiranya sebagai preman.
“Lo tau sendiri kan, dia jadi bahan bully para senior, terutama sejak MOS.
Tapi, dia pernah memukul kakak kelasnya sampai berdarah. Ditambah dia kadang
pakai alat bantu pendengaran, kadang enggak. Apa jangan-jangan lo kasihan sama
dia?”
Nathan berhenti mengunyah. Wajahnya yang biasa ceria
tiba-tiba berubah menjadi serius. “Bukan karena itu.”
Jeff tidak mengalihkan topik pembicaraan. Ia
menengadah dan melihat ke langit yang mendung. “Seharusnya lo tukeran tempat
duduk sama gue.”
Cowok di sampingnya ikut menengadah dan menghela
napas. “Ya, kalo bisa sih udah dari awal. Tapi kan beda kelas.”
Air hujan mulai turun dan jatuh di wajah mereka. “Leo
kenapa belum balik ya? Apa jangan-jangan dia tersesat?” ucap Nathan sambil
menatap ke hutan di sekeliling mereka.
“Paling bentar lagiㅡ NATHAN!”
Belum selesai Jeff berbicara, Nathan sudah berlari ke
dalam hutan sambil membawa senter di tangannya. Raut wajah cowok itu panik. Ia
juga tidak tahu kenapa mau berteman dengan Leo. Tapi ia masih ingat awal
pertemanannya dengan Leo.
Jeff mengeluh. Hujan semakin deras. Api unggun buatan
Nathan mati. Seharusnya mereka menepi dan mencari hotel terdekat saja, seperti
orang-orang lain yang juga sedang kemping di area itu. Bahkan beberapa orang
baru saja menawarinya tumpangan untuk pergi ke tempat penginapan terdekat. Tapi
ia menggeleng.
Ia bergegas mengambil senter, dan tanpa mempedulikan
hujan yang semakin deras, ia berlari menuju hutan.
**
Jeff tidak mengikuti arah lari Nathan. Ia mendengar suara terjatuh di sisi lain yang berada di dekat tenda.
Jeff tidak mengikuti arah lari Nathan. Ia mendengar suara terjatuh di sisi lain yang berada di dekat tenda.
Ia berjalan dengan hati-hati karena khawatir yang
baru saja jatuh itu bukan manusia, melainkan hewan atau hanya buah besar yang
jatuh atau makhluk lain… Tapi, ia berada di hutan pinus, tidak ada buah besar
yang jatuhnya berdebum seperti itu.
Ternyata beneran
orang, batin Jeff sambil berjalan mendekati sosok
tersebut. Ia menegakkan tubuh sosok itu dan menyingkap tudung hoodie yang menutupi kepalanya.
“Leo? SADAR!” Jeff belum pernah berhadapan dengan
orang yang hampir pingsan. Jadi, ia hanya memegang kedua bahu sosok di
hadapannya dan berusaha menyadarkannya.
Wajah cowok itu pucat pasi. Tangannya gemetar dan
matanya setengah tertutup. Ia menatap wajah di hadapannya yang sepertinya
sedang mengatakan sesuatu padanya. Ia tidak bisa mendengar satu patah kata pun.
Semuanya sunyi...
“LEO?! Mendingan gue antar loe ke tenda. Gue nyari
Nathan dulu!” seru Jeff. Ia memapah tubuh Leo berdiri lalu berjalan menuju
tenda mereka yang sudah basah. Kemudian, ia berteriak memanggil Nathan.
Beruntung Nathan mudah ditemukan. Cowok dengan tinggi
170 cm itu seperti tidak terpengaruh hujan deras yang mengguyur tubuhnya. Ia
masih berteriak memanggil nama teman barunya saat Jeff menemukannya.
“Leo udah ketemu. Ayo balik ke tenda!” seru Jeff
berusaha mengalahkan suara hujan.
“D-dia gapapa?!” Nathan sempat-sempatnya
mengkhawatirkan temannya padahal ia sendiri juga sudah menggigil kedinginan.
Jeff tidak menjawab. Ia menyuruh Nathan agar kembali
ke tenda secepatnya. Nathan memasang terpal untuk menutupi tenda agar tenda
mereka tidak terlalu basah.
“Leo?!” Nathan membuka tenda dengan tangan gemetar
dan tanpa pikir panjang langsung masuk ke dalam. “Untung kamu enggak apa-apa!
Hhhh… Gimana kalau kamu sampe tersesat dan enggak kembali?!”
Anak bernama Leo itu tidak merespons ucapan Nathan
namun ia tersenyum. Arrrghhh… Kenapa
hilangnya harus di sini? Dalam hati ia berjanji tidak akan berbicara sampai
pulang dan bertemu Ryan. Karena kalau ia tidak mendengar suaranya sendiri,
mungkin ia akan lebih panik dari yang tadi.
Jeff ikut masuk ke dalam tenda dan langsung merebahkan
tubuhnya yang basah kuyup.
“Hey! Jangan langsung tiduran! Basah semua!” gerutu
Nathan.
“Bodo amat. Emang udah basah kan?” Jeff memejamkan
matanya sambil bersedekap.
“Jangan ditambah basah!” Nathan menggeser tubuh Jeff
dari bagiannya. Meski sleeping bag mereka
belum dikeluarkan, tapi Nathan sudah membagi-bagi bagian mereka. Jeff berada di
sisi kiri, ia di tengah, sedangkan Leo di sisi kanan.
Leo terdiam. Ia memeluk kedua lututnya dan menatap
kosong ke depan. Berbagai macam pikiran berseliweran di dalam kepalanya. Ia
ingin segera bertemu Ryan. Paling tidak, ia merasa aman bersama Ryan…
“Sorry ya.
Semuanya kacau,” ucap Nathan di tengah keheningan yang menyelimuti mereka
bertiga. Ia duduk dengan posisi kaki selonjoran dan bersender di backpack-nya. Ia enggan rebahan seperti
Jeff.
Hening lagi. Keheningan itu dipecah oleh tawa Jeff.
Nathan langsung menoleh ke arah Jeff. “Kenapa
ketawa?”
“Ya, lawak aja. Lo ngajak gue pergi kemping bersama
anak yang gue benci. Terus, hujan turun dan kita bertiga hampir terpisah di
tengah hutan.”
Nathan tertawa getir. Ia melirik Leo yang sama sekali
tidak terpengaruh ucapan Jeff. Ia merasa tidak enak. Tapi bagaimana ia bisa
merespons, kalau sekarang ia sama sekali tidak mendengar apa pun. Ia merogoh
saku hoodie-nya. Tidak ada alat bantu
pendengarannya. Ia mengeluh dalam hati. Kakaknya akan marah besar. Ini alat
bantu ketiga yang sudah ia hilangkan tahun ini. Pasti alat itu terjatuh saat ia
tersandung kayu.
“Leo, ucapan Jeff barusan jangan didengerin. Dia
sering enggak mikir kalau bicara,” kata Nathan.
Tapi Leo masih termangu.
Nathan mulai merasa ada yang aneh. “Leo? Kamu enggak
kesurupan kan?” Ia menyentuh bahu cowok di sampingnya. Leo langsung terkesiap.
Di bawah penerangan senter, Leo agak kesulitan
membaca gerak mulut Nathan. Tapi ia yakin, ia baru saja dikira kesurupan. Jadi
ia menggeleng.
“Kenapa diam aja? Atau suara kamu ikutan hilang pas kamu
hilang di hutan?” tanya Nathan lagi.
Leo mengeluh. Kenapa Nathan bicaranya cepat? Ia sudah
lama tidak fokus mengartikan gerak mulut seseorang lagi. Jadi, ia menggunakan
langkah terakhir yang paling tidak ingin ia gunakan lagi semenjak 10 tahun yang
lalu.
Tapi berhubung Nathan belum pernah berkomunikasi
dengan bahasa isyarat, ia menatap Leo dengan tatapan clueless.
Jeff bangun dari posisi tidurnya. Dalam keadaan basah
kuyup, tegang, dan dingin seperti ini, bagaimana ia bisa tidur?
“Dia… tuli lagi?”
“Apa maksudmu tuli lagI?” tanya Nathan.
“Ia pernah begitu di kelas, waktu alat bantu
pendengarannya ditarik paksa oleh senior yang membullynya.”
“Tapi selama ini kupikir dia normal?!” Nathan
terlihat agak shock. Ternyata ia
belum mengetahui apa pun tentang teman barunya. Ia dan Leo memang hanya bertemu
saat ekskul saja, selebihnya mereka bertemu di cafetaria sekolah atau kadang berpapasan di koridor sekolah.
“Kan udah gue bilang. Kadang dia pakai alat bantu
pendengaran, kadang enggak.” Jeff duduk sebangku dengan Leo di kelas. Itu
sebabnya ia tahu.
Leo mengambil handphone-nya
dan mengetikkan sesuatu.
Aku lagi ga bisa
denger. Alat bantuku hilang. Tapi ga usah khawatir. Udah biasa ^^
Anak itu
menyodorkan layar androidnya pada Nathan. Nathan menatap teman barunya tidak
percaya. Meski Jeff selalu bersikap ketus pada Leo, ia ikut membaca notes yang ditulis Leo.
“Kudu
pakek emoticon ya,” komentar Jeff.
Nathan
langsung membalas tulisan itu di bawah tulisan Leo.
Sakit ngga?
><
Jeff yang
melihat emoticon di notes itu merasa... “Kalian cowok,
kenapa harus pakek emoticon hah?”
Ngga.
Leo
menjawab pendek. Ia rasa ia tidak perlu bilang kalau kadang sakitnya sampe
bikin dia sesak napas. Atau perlukah ia bilang kalau ia punya trauma masa kecil
yang sering membuatnya kacau?
Jeff
meraih ponsel Leo. Ia mengetikkan sesuatu dengan cepat.
Klo sakit, blg aja,
bgst.
“Kamu
nulis apa, Jeff?!” Nathan tidak sempat membaca apa yang ditulis Jeff. Yang
jelas pasti kata-kata kasar.
“Tadi, gue
nemuin dia dalam keadaan hampir pingsan. Enggak mungkin enggak sakit kan?” kata
Jeff dengan frontal.
Leo membaca
tulisan yang ditulis Jeff. Ia menyeringai sambil menunjukkan balasannya.
Diem lo, bjgn.
Nathan
ikut membaca obrolan antara Leo dan Jeff. Jeff sudah mengambil ponsel Leo, tapi
Nathan lebh dulu mengambilnya. Ia mencegah sebelum mereka saling mencaci lebih
lanjut. “Stop! Lama-lama kalian bisa
berantem di sini.”
Nathan
menulis di ponsel Leo.
Kalo ada yang
sakit, jujur aja. Oh iya, kenapa tadi baliknya lama?
Sekarang, ga ada
yang sakit. Aku emang punya trauma. Dan kalo kambuh, imbasnya telingaku.
What kind of trauma?
Trs td apaan smp lo
jth?
Aku ga bisa jelasin
trauma itu di sini.
Why why why ;;
Gw blm dijwb
Tadi gue kesandung
kayu!
What? Ada yang berdarah ngga?!
Nathan
langsung mengecek tubuh Leo dengan senternya. Ia langsung menemukan luka di
lutut kanan Leo. Celana trainingnya sobek
di bagian lutut, memperlihatkan luka berdarah di kaki Leo. Nathan juga melihat
ada luka gores di wajah Leo.
Ia
langsung mengambil kotak P3K dari dalam backpack-nya.
Leo mengernyit saat cairan antiseptik menyentuh lukanya. Tapi ia diam saja,
membiarkan Nathan membebat lukanya. Ia memasang sendiri plester di dagunya yang
tergores tanah saat tersandung tadi.
“Mana handphone-mu?” tanya Nathan pada Leo. Ia
langsung menutup mulut saat lupa kalau saat ini Leo sedang tidak bisa mendengar
apa pun. Tapi Leo cukup tanggap sehingga ia memberikan handphone-nya.
Kayaknya besok kita
enggak jadi ke air terjun. Kita langsung pulang aja, gimana?
Leo mulai
merasa bersalah. Ia menggigit bibirnya lantas mengetik.
JANGAN! Kita tetap
ke air terjun besok!
Kamu gapapa Leo? :(
Aku gapapa. Sante
aja kali xD
Gw ngikut.
Tanpa
mereka sadari, mereka mengobrol sampai lewat tengah malam. Hujan mulai mereda
di luar, meski masih turun rintik-rintik. Mereka masuk ke dalam sleeping bag masing-masing dan tak perlu
waktu lama, mereka tertidur karena kelelahan.
**
18 Desember 2017
BRUAAKK!!!
Ryan baru
akan menutup pintu utama rumah saat ia mendengar suara pintu lagi yang dibanting
dengan keras. Rumah belum lunas, tapi
pintunya udah dibanting-banting.
Begitu
masuk ke dalam rumahㅡtanpa mengucapkan salamㅡadiknya
langsung melempar backpack-nya
sembarangan dan membanting pintu kamarnya. Padahal ia pikir mood adiknya sedang bagus karena saat
Nathan mengantarnya pulang, ia sempat tersenyum ramah.
“Kenapa
lagi anak itu?” gumam Ryan. Padahal sebelum adiknya datang, rumahnya aman
sentosa.
Ia
mengetuk pintu kamar adiknya sebelum membuka pintu. Karena pada saat-saat
seperti ini, adiknya jadi lebih mudah irritated.
“Aku masuk ya?”
Leo tidak
menyahut. Jadi dengan seenaknya Ryan masuk dan menemukan adiknya sedang guling-guling
di kasur.
“AARGHHH!!!
AKU GAK BISA DENGER, RYAN! AKU TULI LAGI! ALAT BANTU PENDENGARANKU HILANG! AKU
PANIK LAGI WAKTU ADA PETIR SAMPE JATUH DI HUTAN! AKU JADI GAK BISA DENGEEER!”
Ryan
mengernyit saat Leo melapor alat bantu pendengarannya hilang ‘lagi’ untuk
kesekian kalinya. “Apa? Itu kan harganya mahal!”
“KAMU GAK
DENGER? AKU GAK BISA DENGEER!!! JANGAN NGOMONG! AKU ENGGAK BISA DENGEER!!!”
Ryan duduk
di pinggir tempat tidur. Kenapa di saat seperti ini ia malah gemas dengan
adiknya? Leo memang selalu cute bahkan
saat sedang merajuk enggak jelas seperti ini. Ia tidak begitu panik saat Leo
melapor ia kehilangan pendengarannya, karena kejadian ini sudah terjadi
berulang kali dan ujung-ujungnya pendengaran Leo akan kembali lagi.
“Mau ke
dokter nanti?”
“NGOMONG
APA?!!!”
“Ssshhh…
Kalo kamu terus berteriak, nanti pendengaranmu bisa rusak permanen.”
Leo masih berteriak
tidak jelas sambil berguling-guling di atas kasur.
Ryan
terpaksa menggunakan cara lama yang paling ampuh menenangkan Leo kalau sedang tantrum.
Ia menarik tubuh Leo dan memaksa Leo untuk menatap matanya lantas berkata
menggunakan bahasa isyarat, ‘Kalo kamu terus berteriak, nanti pendengaranmu
bisa rusak permanen.’
Leo
langsung terdiam. Ia jelas-jelas tidak suka terpaksa harus menggunakan bahasa
isyarat karena hanya akan membuatnya ingat masa-masa kelamnya. Walau begitu ia
tetap membalas menggunakan bahasa isyarat, ‘Alat bantu pendengaranku mana?’
‘Jangan.
Yang ada kamu hilangin lagi. Nanti kita ke dokter, oke?’ Ryan berjalan
mengambil handphone-nya di luar, hendak
menghubungi salah satu dokter THT yang ia kenal di Yogyakarta.
Leo tidak
menanggapi lagi. Tiba-tiba ia merasa lelah setelah berteriak mengeluarkan
unek-unek yang sudah ia tahan sejak semalam. Ditambah ia baru saja berjalan
kaki menuju lokasi air terjun, berenang sepuasanya, lalu lompat dari ketinggian
bersama Jeff dan Nathan. Nathan walaupun tubuhnya kecil, ia berani juga
melompat dari tebing.
Leo merasa
dunianya sangat sepi. Rasa takut itu datang lagi. Ia takut kalau ia akan
menjadi tuli selamanya. Ia takut dokter akan mengatakan kalau ia kehilangan
pendengarannya secara permanen.
Ia
memejamkan matanya karena penat. Tak butuh waktu lama, ia terlelap dan bermimpi
buruk.
**
“Hmmm… Kalau
begitu nanti pukul 8 malam dokternya baru bisa periksa ya? Ya… Oke, terima
kasih.”
Ryan
mengakhiri panggilan itu dan langsung pergi ke kamar Leo lagi. Adiknya sudah
tertidur nyenyak, tanpa mengganti celana jeans dan kemejanya.
Masih ada
waktu enam jam sebelum ia harus pergi ke dokter. Jadi, ia biarkan saja adiknya
tidur. Kemudian, ia kembali ke meja makan, tempat pekerjaannya menunggu.
Tiba-tiba handphone-nya berbunyi. Ia membaca ID Caller yang tertera di layar sentuh
ponselnya.
‘Ibu
Angkat’
Ryan
menelan ludah. Ia sudah lama tidak berkomunikasi dengan ibu angkatnya. Bahkan
terakhir kali mereka bertemu adalah dua tahun yang lalu. Walau begitu, ia
mengangkat telepon itu segera.
“Assalamualaikum,” suara lembut khas
seorang ibu menyapanya di seberang.
“Waalaikumsalam.”
“Apa kabar, Ryan?”
“Baik,
Bu,” sahut Ryan.
“Leo bagaimana?”
Pertanyaan
wajib yang selalu ditanyakan ibu angkatnya kalau menelepon dirinya.
“Baik juga
kok, Bu… Dia baru aja pergi kemping sama teman-temannya. Jadi, sekarang lagi
tidur.”
“Oh… Enggak sakit kan? Pendengarannya
gimana?”
Ryan
berpikir sejenak. “Agak hilang karena traumanya muncul lagi tadi malam.” Ryan selalu merasa bersyukur memiliki orang
tua angkat yang berbeda dengan orang tua lain yang mengadopsinya saat di panti
asuhan. Biasanya orang tua lain akan berhenti di depan Leo hanya karena gemas
dengan wajah chubbynya dan rambut
cokelatnya yang sangat halus. Tapi begitu tahu Leo adalah anak difabel, para
orang tua itu akan pergi melewatinya begitu saja, mereka mencari anak yang
tidak kekurangan sedikit pun.
“Sudah kamu bawa ke psikiater lagi?”
“Belum,
Bu… Nanti malam saya baru akan ke dokter THT.”
“Kalau kekurangan uang untuk biaya
berobat Leo, bilang saja ya. Tidak usah sungkan.”
Ryan
tersenyum penuh terima kasihㅡseandainya ibu angkatnya bisa
melihatnya sekarang. “Terima kasih, Bu.”
“Leo pasti bisa
sembuh kok. Sudah ya, Ryan. Wassalamulaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Ryan
meletakkan ponselnya ke atas meja. Kemudian ia menatap layar laptopnya lagi
yang menampakkan coding untuk design blog terbarunya.
Handphone-nya berbunyi lagi. Kali
ini menampilkan SMS pemberitahuan kalau rekeningnya baru saja diberi tambahan
uang.
Syukurlah. Paling enggak, aku enggak
perlu terlalu memikirkan biaya berobatnya Leo.
**
“Wake up, Leo,” ucap Ryan sambil
mengguncang tubuh adiknya pelan.
“No. I’m too tired,” keluh Leo.
Ryan
menatap adiknya. “Kamu udah bisa dengar lagi?”
Leo mengerjapkan
matanya beberapa kali. Begitu ia membuka matanya, ia langsung menatap wajah
kakaknya. “Lumayan.”
Ryan
bernapas lega. Ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi lega di wajahnya.
“Fiiiuuuh…” Ia mengempaskan tubuhnya di pinggir tempat tidur Leo. “Aku udah
takut harus beli alat bantu pendengaran lagi dan harus bicara pakai bahasa isyarat
terus sama kamu!”
“Kenapa
bangunin?” tanya Leo kesal. Tubuhnya baru terasa remuk sekarang.
“Kita
harus ke dokter.”
“Dokter
kan? Bukan psikiater?”
“Iyaaa…
Siap-siap, gih.”
Leo pergi
mencuci muka. Kepalanya masih berdenyut sakit. Ia hanya ingin cepat menyelesaikan
pertemuannya dengan dokter dan kembali ke tempat tidur.
**
20 Desember 2017
Liburan
semester satu selalu menjadi momen yang dimanfaatkan Leo untuk bermain game dari seharian. Ia tidak pernah
mempermasalahkan liburannya yang selalu stay
at home.
Pagi ini,
Leo langsung menghubungkan modem ke laptopnya lalu langsung bermain game.
Ryan yang
baru selesai mandi, tidak heran melihat Leo pagi-pagi sudah duduk anteng di
meja makan yang lebih sering digunakan sebagai meja laptop karena posisinya
yang nyaman, dekat jendela sehingga udara bisa masuk dengan leluasa.
Pukul 8
pagi.
Ryan
menyiapkan sarapan untuknya dan Leo. Cowok jangkung bertubuh tinggi 188 cm itu membuka topik pembicaraan dengan enggan.
“Leo?”
“Hm.”
Ryan hanya
memastikan telinga adiknya berfungsi dengan benar. “Hari ini aku mau pergi ke
Bandung selama 3 minggu ke depan buat kerja di perusahaan yang ada di sana,”
ucapnya sambil mengoleskan selai cokelat ke roti gandum yang menjadi sarapan
mereka.
“Loh? Cuma
3 minggu?” Leo mempause game-nya,
lantas menatap kakaknya heran.
“Aku
melamar pekerjaan di sana dan aku akan diinterview
serta ikut internship.”
“Berarti
sebentar lagi kita bakal pindah ke Bandung?”
“Yeah,
begitulah.”
“Rumah ini
aja belum lunas kan? Mau kabur dari bayar biaya sewa rumah?” sahut Leo tajam.
“Bukan
begitu, Leo. Rumah ini masih bisa dilunasin sampai akhir bulan depan. Lagian
perusahaan itu punya cabang di Yogyakarta. Jadi kemungkinan besar kita engga
akan pindah ke Bandung.”
“Kalau
ternyata kamu ditempatkannya di Bandung?”
“Ya mau
gimana lagi. Kamu enggak pengen kakakmu sibuk ngantor lagi?”
Leo
berdecak kesal. Aku bakal terlantar lagi.
Ya, tapi masa selamanya kakakku harus ada di sampingku? “Oke. Boleh deh.
Sukses interview-nya.”
“Kamu
enggak pengen ke Jakarta selama aku interneship?
Ke rumah ibu angkat?”
Leo
menatap Ryan tajam. “Jadi kamu pengen aku mengungsi di sana lagi dan
menghancurkan perabotan rumah?!”
“Enggak.
Bukan gitu.” Aduh, kadang capek ngomong
sama Leo. Ryan menarik napas perlahan. “Hmmm… Kalo gitu, aku minta tolong
Nathan buat jagain kamu ya? Sama satu lagi temanmu siapa?”
“Jeff.”
“Kamu ada
nomor mereka kan? Aku mau telepon.”
Leo
memberi ponselnya begitu saja ke Ryan. Ternyata dugaannya benar. Kakaknya mulai
kehabisan uang dan sebentar lagi mereka akan ditagih untuk melunasi biaya sewa
rumah.
Leo
menyibukkan diri dengan bermain game sambil
mengunyah sarapannya. Ia tidak
mengacuhkan Ryan yang sibuk menelepon dua teman baiknya yang pasti akan
bersikap menjadi bodyguard jadi-jadian
kepadanya selama 3 minggu ke depan.
“Naik apa
ke Bandung?” tanya Leo pada Ryan yang tengah kembali ke ruang makan.
“Kereta
api. Nanti jam 1 siang.”
“Udah packing?”
“Udah,”
jawab Ryan sambil mulai mengunyah sarapannya juga. “Aku juga udah pesen taksi
buat anter aku nanti.”
Leo
manggut-manggut. Mereka memang tidak punya mobil untuk membawa koper. Mereka
hanya memiliki satu motor matic yang
sering diprotes Leo karena motor itu hampir selalu dikuasai Ryan.
“Kamu
gapapa kan, Leo? Cuma tiga minggu… Kalau ada apa-apa, ke tetangga sebelah aja. Ini
uang buat beli makan. Tadi malam, aku udah belanja bahan makanan. Jangan lupa
makan. Tiap hari bakal kuingetin. Kalau kamu panik, telepon aku.”
“Iya iya,
kakak,” gerutu Leo.
Namun Ryan
seperti tidak terpengaruh, ia melanjutkan, “Jangan pergi sampai larut malam.
Sekarang lagi musim hujan, kalau keluar rumah, bawa payung atau pakai jaket.
Jangan telat makan. Hey, kamu masih dengerin kan?”
Leo
melepas earphone yang ia pakai.
“Apa?”
Ryan
langsung mengambil earphone itu
secara paksa. “Kemarin udah dibilang jangan pakai earphone dulu kan kalau enggak mau tuli beneran?!”
“A-ah, iya
iya, aku tahu.” Leo hanya nyengir lebar. Ia membiarkan Ryan yang melepas earphone dari telinganya. “Aku bisa jaga
diri kok. Tenang aja.”
Ryan
menghela napas. “Buktinya apa? Kemarin kamu kulepas kemping semalemㅡ”
“Aku enggak akan lagi kayak gitu beneran,” ucap Leo
sambil membuat tanda V dengan tangannya.
“Terus yang di sekolah? Kata gurumu, kamu pernah
hampir bikin celaka temanmu. Tapi kamu enggak pernah bilang?” Entah apa yang
membuatnya tiba-tiba mengungkit masalah itu. Apakah ia ketularan anxiety-nya Leo? Atau hanya karena
beberapa hari ini ia kurang bisa tidur sehingga berimbas ke mood-nya yang buruk di siang hari?
Leo langsung menatap Ryan dengan sorot serius. “Sejauh
mana kamu tahu itu?”
“Aku enggak tahu apa-apa. Makanya aku bertanya. Kamu
punya masalah di sekolah?”
“Arrrgh…
Pasti guru sialan itu yang bilang.”
“Apa?
Sejak kapan kamu sebut gurumu begitu?”
“Aku udah
suruh biar guru itu diam, enggak bilang apa pun soal kejadian itu. Karena kalo
kamu sampai tahu, kamu bakal bawa aku ke psikiater dan aku bakal divonis
macem-macem lagi. Disuruh minum obat atau disuruh stay di sana. AKU ENGGAK MAU!”
Telinga
kanan Leo berdenging. Tapi ia mengabaikan hal itu. Mood-nya pagi itu sudah hancur. Ia berlari mengambil hoodie-nya dan berjalan keluar rumah.
Ryan
memandang pintu utama rumah yang masih terbuka. Ia kehilangan seleranya untuk
melanjutkan sarapan. Jadi, itu sebabnya
ia jadi tertutup selama ini? Tiba-tiba ia merasa menyesal karena harus
meninggalkan Leo selama 3 minggu ke depan. Tapi keputusan telah dibuat, ia
tidak mungkin mengabaikan kesempatan ini.
To be continue...
0 comments