Forgive Me [PART 3]
September 06, 2019
Part 3
Pukul 13.10 WIB
“Lagi
berantem sama Ryan?” tanya seorang anak kecil berpenampilan seperti anak
laki-laki di depannya.
“Iya,”
jawab Leo singkat. Ia sibuk memberi susu ke anak-anak kucing milik Ibu Ayu yang
baru saja lahir beberapa hari yang lalu. Ada lima ekor anak kucing yang sedang
mengelilingi mereka dan seekor kucing gemuk yang merupakan induk anak kucing
tersebut.
Baru
saja Ryan mampir ke rumah tetangganya untuk pamit. Namun ia tidak meminta untuk
dipanggilkan Leo meskipun sudah ditawari Ibu Ayu.
“Kayaknya
dia mau pergi jauh,” komentar cewek tomboy itu sambil mengelus seekor kucing
berwarna oranye yang ada di pangkuannya. Umurnya 7 tahun dan ia paling tidak
suka dipanggil anak perempuan. Itu sebabnya, ia memotong pendek rambutnya dan
selalu memakai baju anak laki-laki. Kecuali saat sekolah.
“Iya.”
“Mau
kemana emang?”
“Bandung.”
“Oooh…
Kota yang ada Ciater-nya ya?”
Leo
langsung menoleh ke arah Fioㅡnama gadis kecil ituㅡdengan
sorot bingung. “Hah? Itu apaan?”
“Kayaknya nama kolam renang.” Fio
mengendikkan bahunya.
Leo masih menatapnya tak percaya.
Biasanya orang akan mengingat nama suatu kota dengan makanan khasnya atau
bangunan terkenalnya. Misalnya, Yogyakarta dengan Jalan Malioboro-nya atau
Bandung dengan Gedung Sate-nya. Terus kenapa anak ini nyebutin nama antah
berantah?
“Mas Ryan mau ke Ciater juga?”
“Bukan. Dia mau kerja di Bandung.”
Dengan mudahnya, Leo mengikuti alur obrolannya dengan bocah SD di sampingnya.
“Kamu pernah ke yang namanya Ciater itu?”
“Iya. Buat berenang,” jawab Fio
karena yang ia ingat dari salah satu tempat wisata di Kabupaten Lembang itu
hanya pemandian air panas Ciater. Selain menyediakan pemandian air panas, juga
ada kolam renang. Tempat itu selalu ramai dikunjungi wisatawan saat musim
liburan. Dan liburan bulan Juni lalu, Fio dan keluarganya pergi ke tempat itu
saat di Bandung.
“Enggak ke Gedung Sate?” Cowok itu
bertanya dengan polosnya. Ia belum pernah ke Bandung, tapi ia tahu Gedung Sate.
Fio menggeleng. Ia meletakkan
kucing di pangkuannya, lantas mencoba mengambil si induk kucing yang sedang
bermalas-malasan di dekat mereka. Kucing berwarna putih dengan corak oranye itu
pasrah saja saat gadis kecil itu menggendongnya.
Bagaimana Leo bisa nyasar ke rumah
tetangganya? Sebenarnya Leo cukup sering pergi berkunjung ke rumah tetangganya,
itu karena Bapak Tioㅡnama suami Ibu Ayuㅡselalu memanggilnya dan mengajaknya
ke rumah kalau melihat Leo sedang berjalan keluar atau terlihat sumpek.
Sepasang suami-istri itu justru senang saat Leo berkunjung ke rumah mereka.
“Leo, mau coba kue tape?” ucap Ibu
Ayu tiba-tiba.
Satu hal lagi yang Leo suka dari
rumah ini adalah ia selalu ditawari berbagai macam makanan.
“Punya Mas Leo kuambilin ya,” ucap Fio sambil
beranjak berdiri dan berlari menuju dapur. Ia mengambil beberapa slice kue tape buatan Neneknya.
“Thanks, Fio cantik.”
Fio meletakkan piring berisi 5 slice kue tape untuk dimakan bersama. Ia
juga mengambil kue tape dan mulai memakannya. Ia selalu tersenyum senang kalau
dipuji oleh Leo yang sudah ia anggap sebagai kakaknya. Mereka berdua duduk
sambil menghadap kolam ikan yang ada di halaman belakang. Rumah milik keluarga
Bapak Tio lebih luas dari rumah yang disewa Ryan.
“Mas Leo udah punya pacar?”
Cowok itu langsung tersedak. Ia
terbatuk dan susah payah menahan tawa. “What?”
Pendengarannya sedang tidak error kan?
**
31 Desember 2017
Sudah sejak seminggu hari yang
lalu, Leo selalu pergi ke sebuah café yang
terletak di daerah kampus. Café itu
tidak terlalu besar, namun cukup ramai oleh pengunjung dan terkenal di kalangan
mahasiswa karena harganya yang pas dengan kantong pelajar.
Kakak Jeff adalah pemilik café itu dan sudah sejak sebulan yang
lalu, dua pekerjanya tiba-tiba mengundurkan diri. Ia belum juga menemukan
pengganti pekerjanya, jadi ia memutuskan untuk menyuruh Jeff menjadi pegawainya
selama liburan semester satu. Karena Nathan pergi ke Singapore selama liburan,
jadi ia mengajak Leo.
Awalnya Leo tidak menyangka, Jeff
meminta pertolongannya. Waktu meminta pertolongannya, ia diberitahu kalau ia
akan diberi gaji kalau bekerja di café itu
selama sebulan. Jumlah uangnya lumayan untuk tabungan.
Jadi, di sinilah Leo berada
bersama orang yang mengaku pernah membencinya.
Hari ini Jeff bertugas menjadi
pelayan, tapi pelanggan sepertinya langsung menghindar waktu melihat
penampilannya. Jeff memiliki rambut pendek yang berantakan, serta plester yang sepertinya
selalu menghiasi wajahnya setiap hari. Ia memakai kaus t-shirt berwarna abu-abu
dan ripped jeans. Kulitnya berwarna
cokelat matang. Tinggi tubuhnya 188 cm dan ia memiliki tubuh yang atletis
karena sering pergi ke gym.
“Mau pesan apa?”
Ia sedang mengemut permen stick saat sedang mencatat pesanan
pelanggan. Pelanggan cafe yang
merupakan anak-anak perempuan berkerudung itu langsung menatap ketakutan ke
arah Jeff, kemudian mereka lari kabur. Padahal Jeff sudah memakai apron khas café kakaknya sebagai tanda kalau ia
adalah pegawai di situ. Apalagi yang kurang coba?
“Woy, kalau catat pesanan
pelanggan jangan kayak mau malak dong! Niat kerja gak sih?!” seru seorang gadis
berambut aqua pearl yang berdiri di
meja kasirㅡbersiap untuk melemparkan benda apa saja ke arah adiknya. Penampilannya
yang nyentrik akan membuat orang salah fokus. Ialah pemilik café ini.
“Yang butuh pegawai siapa?”
“Katanya kamu pengen beli PS4
kan?! Ah, mending kamu yang kerja di belakang! Jeff, tukaran dengan Leo!”
perintah cewek berusia 27 tahun itu lagi. Meski usianya sudah 27 tahun, ia
tidak terlihat berumur sekian karena penampilannya yang nyentrik.
Ucapan kakaknya Jeff barusan
membuat Leo merasa terpanggil. Ia yang sedang menyapu langsung menoleh.
Dengan bersungut-sungut, Jeff
pergi ke belakang. Membantu Erwinㅡbarista café ituㅡdi dapur.
Begitu waitre-nya ganti, pelanggan mulai berdatangan lagi. Sepertinya ini
hanya kebetulan saja. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Biasanya,
pada jam ini orang-orang suka menghabiskan waktu dengan mengobrol di café atau membeli cemilan untuk mengisi
perut sebelum dinner.
**
“Fiuh… Untung ada kamu. Sorry kalau adikku kasar. Dia emang
begitu. Tapi sebenarnya baik, kok,” kata Jennifer sambil melepas apronnya. Tak
terasa, malam semakin larut dan pelanggan yang tersisa tinggal satu meja diisi
oleh orang yang sedang berpacaran.
Leo tersenyum simpul. “Sante aja,
Kak.”
Jennifer langsung sumringah saat
dipanggil ‘Kakak’. Kadang, beberapa teman Jeff memanggilnya ‘Tante’ saat
pertama kali bertemu dengannya.
“Woy, jangan ngomongin orang
sembarangan,” seru Jeff yang sedang duduk di kursi pelanggan dekat kasirㅡsedang
mengistirahatkan kakinya setelah berdiri seharian mencuci peralatan makan. Ia
masih memakai apronnya.
Tak lama kemudian, pelanggan
terakhir mereka pergi. Café sudah
dibersihkan oleh Jeff dan Leo. Sedangkan Jennifer sudah meninggalkan meja kasir
dari tadi. Ia sudah janji akan pergi menonton kembang api bersama Erwin malam
ini. Yup, Erwinㅡbarista café ituㅡadalah
suami Jennifer. Pria berwajah Chinese dan beraura kalem itu sudah menjadi suami
Jennifer sejak 2 tahun yang lalu. Mereka menjalankan usaha café ini bersama-sama dari nol.
“Lo nyaman kan kerja di sini?”
tanya Jeff memecahkan keheningan di café itu
saat sedang membereskan kursi dan meja.
“Yeah lumayan,” jawab Leo lugas.
Jennifer meskipun punya sifat yang mirip dengan adiknya selalu ramah pada
dirinya.
“Hhhh… Malam tahun baru malah ada
di sini,” keluh Jeff sambil menyenderkan tubuh tingginya ke meja kasir.
Sayup-sayup ia mendengar suara kembang api diluncurkan ke langit. “Padahal gue
udah janjian mau nyalain kembang api juga sama anak tetangga.”
Tiba-tiba Leo teringat Fio. Anak
kecil itu juga mengajaknya bermain kembang api di depan rumah sekaligus bakar
jagung sama sepupu-sepupunya yang mudik saat libur semester. Entah kenapa ia
jadi merasa memiliki kemiripan yang sama dengan Jeff. “Gue juga.”
“Serius? Lo masih main sama anak
tetangga juga?”
Leo mengangguk.
“Kalo gitu, ayo pulang sekarang
keburu lewat jam 12.” Jeff melepas apronnya dan berjalan menuju pintu belakang café diikuti Leo.
Mereka pun menaiki motor
masing-masing. Jeff dengan canggung berkata, “Duluan!” Kemudian, ia melaju
meninggalkan gang kecil yang ada di belakang café.
Leo baru menstarter motor matic-nya. Sekilas ia iri dengan motor sport milik Jeff. Arrrghhh… Harusnya Ryan beli motor ninja juga.
**
28 Januari 2018
Ryan pulang saat Leo sedang
bermain game di ruang tengah. Pintu
rumah diketuk beberapa kali. Leo langsung bangun dan berjalan ke pintu utama
rumah. Ia langsung melihat kakaknya yang masih sama seperti biasanya. Berwajah
menyebalkanㅡmenurut Leoㅡdan berkacamata, as usual.
Ryan tersenyum. “Hey, my cute little brother~ Want a hug?” Ia meregangkan tangannya,
bersiap untuk merengkuh tubuh adiknya.
Tapi Leo langsung menghindar. Ia
mengambil koper milik Ryan. Saat berdiri di teras, tiba-tiba matanya menangkap…
sosok asing yang sedang berjalan ke arah mereka. Dan itu adalah sosok seorang
gadis.
“The fuck?” gumam Leo tanpa sadar saat gadis itu berbalik dan tak
sengaja mengibaskan rambut pirangnya.
“Heh, begitu caramu menyambut
kakakmu yang habis pergi jauh?”
“Bukan! Itu siapa?” ucap Leo tanpa
mengecilkan suaranya. “Pacar? Pulang-pulang dari Bandung, langsung bawa cewek! WHAT THE HELL?”
Ryan berusaha menutup mulut
adiknya. “Ssshhhh… I am sorry, Olive.
He’s kinda noisy when meeting someone
new.”
“Oh, it’s okay.”
“Dia bule?! CK!” Leo berdecak
kesal. Ia langsung menjatuhkan koper kakaknya dan berlari masuk ke dalam rumah.
Rasa kangen pada kakaknya langsung sirna begitu ia melihat kakaknya pulang bersama
cewek.
Ryan mengusap wajahnya. “Gosh… Last time we met, we quarelled. Now,
we quarel again. Sorry, this is not the right situation but I invite you here.”
“Hahaha… Don’t worry. I already miss you. How can I let this chance to stay with
you while I’m in Indonesia?”
Meski Olive telah berkata begitu,
Ryan tetap merasa tak enak. Ia membawakan tas milik Olive dan menyeret kopernya
ke dalam rumah. Oliveㅡnama gadis berambut pirangㅡitu terlihat antusias saat memasuki
rumah kecil Ryan.
“My house is just a small place. This is where I live with my brother.”
“It’s small but comfortable.” Olive melepas syal yang ia kenakan dan
menatap ke sekelilingnya. Ruang tamu bergabung dengan ruang tengah. Ada TV LCD,
sofa panjang yang terlihat cozy,
karpet, meja, dan console game di
ruang tengah. Ruangan itu bersambung ke ruang makan dan dapur di sisi bagian
kiri. Dari ruang tengah, ia bisa melihat meja makan kecil dengan empat kursi
mengelilinginya dan dapur sederhana yang bersih. Di bagian belakang ada tempat
untuk menjemur baju yang tanahnya dilapisi rumput. Mesin cuci diletakkan di
samping kamar mandi.
“You can rest in my room,” kata Ryan sambil menunjukkan kamarnya. Di
samping kamarnya persis, terdapat kamar adiknya yang tertutup rapat. “That’s my brother’s room.”
“RYAN! JANGAN BERANI MASUK KE
KAMARKU!” Terdengar Leo berteriak dari dalam kamarnya.
“He seems still mad at you,” komentar Olive.
Ryan meringis. Ia menunjukkan
kamarnya yang rapih karena tak disentuh selama sebulan lebih. Sebenarnya ia
sudah khawatir Leo mengacak kamar tidurnya. Tapi beruntung, kamar ini rapih. “I’ll leave you here, okay?” kata Leo
sambil berjalan ke ruang tengah untuk mengambil tas milik Olive.
“You have to talk with your brother,” kata Olive dengan raut wajah
khawatir. Ia berjalan keluar kamar untuk mengambil tasnya. “I can take care of myself. Don’t worry about
me.”
Ryan mengangkat bahu. “I’m pretty sure he won’t listen to me this
time. He is stubborn boy.”
Olive terlihat bersimpati pada
Ryan. “Drink water and sit for a while.
You just have a tiresome day. I’ll change my clothes then I’ll talk to you.”
“Thanks, Olive.” Ryan tersenyum penuh terima kasih. Saat ini yang ia
butuhkan hanya istirahat sejenak.
**
29 Januari 2018
Seperti biasa murid-murid selalu
memenuhi kantin pada jam istirahat kedua. Termasuk Leo, Jeff, dan Nathan.
Mereka menjauhi kerumunan kelas mereka dan mencari tempat dimana mereka bisa
berbicara dengan bebas. Ini adalah ide Jeff.
“Kabur yuk,” ucap Jeff setelah
mereka bertiga sudah berada di meja yang sama.
“Apa? Kamu pengen dapat poin?”
Nathan langsung menentang jelas-jelas ide Jeff.
“Kemana?” tanya Leo datar.
Jeff menyeringai. Ia sudah selesai
memakan baksonya. Nathan baru memakan setengah nasi gorengnya. Sementara, Leo
hanya bermain dengan makan siangnya. Ia sudah uring-uringan sejak tadi pagi dan
berimbas ke segala hal.
“Ayolah… Bosen tauk di kelas.”
“Buat apa bolos pelajaran?” omel
Nathan. Ia masih teguh menolak ide teman masa kecilnya. “Kamu pikir bakal jadi
keren kalau bolos pelajaran?”
“Kemana?” ulang Leo tidak sabaran.
“Kemana aja kek. Biasanya sih, aku
pergi ke atap sekolah.” Jeff memang sudah sering bolos, terutama kalau ada
ulangan harian matematika. Biasanya ia menggunakan alasan dispensasi atau
pura-pura memiliki urusan OSIS. Ia memang anggota OSIS dan punya posisi penting
di organisasi tersebut, yaitu sebagai Ketua II Seksi Olahragaㅡbidang
yang mengurusi acara seluruh ekskul olahraga di sekolahnya.
“Emang di sekolah kita ada tempat
seperti itu?” Berlawanan dengan Jeff, Nathan lebih suka cari aman daripada
bolos dan membuat onar di sekolah. Ia bukan anak OSIS. Ia ikut ekskul Pecinta
Alam dan Melukis. Meski begitu, ia memiliki jabatan penting di kedua ekskul
tersebut.
“Ada, serius. Kayak di anime
Jepang,” jawab Jeff dengan wajah meyakinkan. Ia nyengir lebar lagi, terlihat
jelas sedang berusaha memprovokasi kedua kroninya.
Nathan tetap sangsi. Ia menatap
Jeff dengan wajah tak percaya. “Enggak. Aku tetap enggak ikutan. Tahu begitu,
aku makan sama anak kelasku.”
“Lo gimana, Leo?”
Leo masih memasang ekspresi wajah
datar. “Gue ikut.” Ia tidak pernah mendapat surat dispen karena ia memang tidak
tertarik ikut organisasi apa pun. Ia juga ikut ekskul Melukis hanya karena ada
peraturan bahwa setiap anak kelas 10 paling tidak harus mengikuti satu ekskul.
Karena ia tidak tertarik dengan olahraga permainan beregu atau ekskul lainnya
yang promosinya heboh-hebohan saat MOS, jadilah ia memilih ekskul Melukis.
“Nah, sip. Untung hari ini lo
enggak duduk sama gue. Bisa-bisa guru curiga kalau kita kabur bareng.” Jeff
meminum habis es tehnya. “Habis ini lo pelajaran apa sih, Nat? Guru killer ya?”
Nathan menjadi ragu sejenak. Hmmm…
Sehabis ini adalah pelajaran PPKn, yang gurunya super membosankan. Tapi ia
langsung menggelengkan kepalanya. No, aku
harus tetap hadir di kelas, ucapnya dalam hati. “Iya,” jawab Nathan pendek.
“Kamu sendiri mau menghindar ulangan matematika ya?” Cowok itu sudah hapal
tabiat Jeff.
“Bukan. Pelajaran Seni Budaya yang
gurunya kayak enggak semangat hidupnya kalau ngajar,” ucapnya blak-blakan.
“Pelajaran trakhirnya… Fisika… Tapi kan cuma sejam. No problem lah.”
“Oh.” Nathan sudah selesai memakan
makan siangnya. Ia sudah dipanggil teman-teman sekelasnya untuk kembali ke
kelas bareng. “Aku duluan.”
“Oke. Jangan berkhianat! Awas
kalau lapor-lapor guru. Gue pastikan, besok lo enggak selamat.”
Nathan nyengir. “Kalo gue inget!”
Jeff mengumpatㅡmengeluarkan
kata-kata kebun binatang. Lantas ia duduk kembali. Kantin mulai sepi karena jam
istirahat sudah akan berakhir. Ia menoleh ke arah cowok yang duduk di
sebelahnya. Ia sudah tidak sabar ingin pergi dari situ. “Ayo cabut.”
Leo menurut. Ini akan jadi pertama
kalinya ia bolos pelajaran.
**
Gedung sekolah mereka terdiri dari
tiga lantai. Lantai yang paling atas tediri dari tiga ruangan yang tidak
digunakan sebagai kelas, tetapi untuk ekskul Menari, Melukis, dan sebuah ruang
terkunci yang tidak ada namanya. Ruang itu sering digosipkan sebagai ruang
musik yang isinya ada piano tua, gudang, serta ada pula yang bilang ruang itu
adalah ruang kelas yang berhantu sehingga tidak pernah digunakan lagi.
Leo baru saja diceritakan Jeff
tentang ruang itu, membuat ia jadi terus-trusan memandangi ruang misterius yang
ada di pojok kanan itu. Di depan ruangannya, terdapat tong sampah kosong dan
sapu yang tergeletak begitu saja. Kelihatannya ruangan itu memang horror.
Tetapi Jeff dengan cuek berbelok
ke arah kanan dan pergi ke belakang ruangan itu. Ternyata ada ruangan lain di
belakang ruang misterius itu. Jeff membuka pintu tua itu yang sebenarnya
menyembunyikan tangga menuju ke atap sekolah.
Angin kencang langsung meniup
mereka ketika mereka sampai di atap sekolah. Ternyata sekolah ini benar-benar
memiliki atap yang mirip dengan sekolah-sekolah di Jepang.
“Mantap kan?” Jeff tersenyum bangga
dengan hasil temuannya yang selalu ia rahasiakan dari siapa pun karena tak
ingin bagian ini dikuasai oleh orang lain.
Dari atas sini, pemandangan Kota
Yogyakarta terlihat jelas. Langit berwarna biru cerah langsung menyapa mereka.
Matahari tertutupi awan tebal sehingga suasana udara siang ini tidak terlalu
panas. Leo berjalan ke pinggir atap yang dipagari cukup tinggi. Ia melihat ke
bawah dan langsung bisa melihat lapangan sekolahnya yang luas serta murid-murid
yang sedang pelajaran olahraga di lapangan basket…
“Lo ngapain?!” Jeff menarik tubuh
Leo dari pinggir pagar dengan kasar. Raut wajahnya serius.
Leo mengerjapkan matanya. “Aku
cuma lihat ke bawah,” jawabnya dengan polos.
“Jangan berdiri di situ! Bahaya!
Mending duduk di situ,” kata Jeff sambil menunjuk ke tempat yang adem dan
terlindungi dari panas matahari. Leo mengekorinya dari belakang.
“Ah… Tempat kayak gini tuh emang
enak. Tenang, adem, dan jauh dari guru,” kata Jeff sambil bersandar pada tembok
di belakangnya. Ia tersenyum samar dan menghirup udara dalam-dalam.
“Dari mana kamu tahu tempat kayak
gini?” tanya Leoㅡmelupakan logat lo-guenya tanpa sadar.
“Aku cari sendiri.” Dan tanpa
sadar Jeff mengikutinya. “Sialan. Kenapa gue jadi ikutan gaya ngomong lo?”
Leo tertawa. Ternyata bolos asik
juga. Ia tidak perlu terjebak di ruangan yang penuh dengan murid-murid yang
hanya menghapal rumus yang terkadang ia sendiri tidak tahu untuk apa.
Jeff mengambil bungkus rokok dari
saku seragam OSIS-nya. Ia menyalakan satu batang rokok, menghirupnya, dan
melepas asapnya ke udara. Ia memejamkan matanya sejenak, terlihat lebih tenang.
Kemudian seperti tersadar sesuatu, ia menawarkan satu batang rokok pada Leo.
“Lo mau?”
“Aku enggak merokok.”
“Coba aja satu.”
Leo terlihat bimbang sejenak,
lantas menerima batang rokok itu dan menyalakannya. Ia mencoba menghisap rokok
seperti yang dilakukan Jeff, tapi ia berakhir dengan batuk keras. Matanya
berair dan ia langsung menarik batang rokok itu dari mulutnya.
Jeff tertawa melihat Leo yang
kepayahan setelah menghisap satu batang rokok. “Payah banget.”
Leo masih terbatuk. Asapnya seolah
masuk ke seluruh paru-parunya sehingga dadanya terasa sakit. Tenggorokannya seperti
terbakar. Ia tidak mengerti kenapa perokok-perokok itu bisa tahan merokok
berjam-jam. “Are you trying to kill me?”
ucap Leo di sela-sela batuknya.
“Efek awalnya emang gitu. Entar lama-lama
lo bakal terbiasa dan ketagihan. Bahkan enggak bisa lepas dari rokok,” kata
Jeff sambil menghisap rokoknyaㅡmemberi contoh. “See?”
“No, thanks. Gue mending minum bir.” Leo langsung membuang rokoknya
jauh-jauh, tak peduli seberapa keras Jeff berusaha mempengaruhi pikirannya.
Jeff terlihat surprises dengan ucapan Leo barusan. “Lo minum bir juga? Kalo gitu,
kapan-kapan kita harus ngebir di sini.”
“Kadang-kadang. Tapi sekarang agak
susah buat ngebir, karena kakak gue selalu mengawasi gue seperti mengawasi anak
kecil,” kata Leo dengan enggan.
“Kalo gue, emang kakak gue sering
minum bir di rumah sampai mabuk terutama kalau dia lagi punya masalah. Ya,
otomatis gue meniru. Dia udah merokok, konsumsi shisa, minum bir… ya, semoga aja dia enggak terjerat narkoba. Tapi
dia udah berkurang begitu karena pengaruh Erwinㅡsuaminya.”
Leo jadi teringat Ryan. Ryan kalau
mau minum bir atau waine sampai teler
pasti di langsung di bar, tidak pernah di rumah.
“Waktu lo berdiri di pagar tadi,
gue takut lo loncat gitu aja,” kata Jeff.
“Emang gue kelihatan kayak mau
bunuh diri?” tanya Leo.
“Enggak juga.”
Selama beberapa saat, mereka hanya
terdiam menatap awan yang berarak di langit dan mendengarkan sayup suara
kendaraan di jalan raya. Jeff menghabiskan dua batang rokok. Sementara Leo
memejamkan matanya, sambil mendengarkan lagu lewat earphone yang hanya ia pasang di telinga kirinya.
Jeff menoleh ke arah Leo. Ia bisa
melihat Leo memakai alat bantu pendengarannya lagi di telinga kanannya. “Leo,
lo… sakit telinga lagi? Sebenarnya lo kenapa telinganya sering gitu? Apakah
bawaan dari lahir atau kecelakaan?” tanya Jeff tak bisa membendung rasa
penasarannya.
Leo membuka matanya. Ia tahu ia
tak boleh pakai earphone, tapi ia tak
tahan ingin mendengar musik rock favoritnya.
“Gue pernah kena kecelakaan.”
“Kecelakaan mobil?”
“Bom.”
“A-apa? Lo pernah ke negara
konflik?”
“Rumah gue pernah dibom sampe
bikin telinga gue tuli selama dua tahun. Bukan sama teroris. Gue sendirian
waktu bom itu, makanya cuma gue yang terluka parah. Gue diselamatin kakak gue
dalam keadaan luka dimana-mana. Untung guenya bukan di titik pusat bom itu
jatuh, kalo gue di situ… gue udah jadi abu kali.”
Jeff bergidik mendengar cerita
Leo. “Lo serius?” Ini pertama kalinya Leo bercerita panjang lebar.
“Rumah itu sebenernya enggak bisa
dibilang rumah. Lebih mirip neraka. Gue lebih mirip dipenjara. Waktu kejadian
itu terjadi, gue lagi berusaha kabur. Makanya gue bisa masih hidup. Tapi habis
itu gue trauma. Denger suara apa pun yang mirip bom, gue bisa panik. Gue enggak
bisa ngendaliin rasa takut sama suara-suara itu meski udah berusaha melupakan
semua itu. Sampe sekarang masih kebayang. Gueㅡ”
“Leo, udah!” Jeff memegang pundak
Leo. “Sorry, gue udah mengorek masa
lalu lo.”
Leo tersengal. Ia tidak menyadari
kalau ia sudah berkeringat dingin setelah mengingat kejadian buruk itu lagi dan
lagi. Ia menekuk lututnya dan membenamkan wajahnya pada kedua tangannya. “Waktu
gue bangun setelah kejadian bom ituㅡ”
“Woy, udah!” seru Jeff. “Jangan
cerita lagi! Gue bener-bener minta maaf udah bikin lo keinget kejadian buruk.”
Leo mengangkat wajahnya lagi dan
menyenderkan kepalanya pada tembok di belakangnya. “Gapapa. Gue juga udah seharusnya
bersikap biasa aja sama kejadian itu.” Ia tersenyum tapi senyuman itu
benar-benar terlihat dipaksakan, membuat Jeff jadi takut sendiri.
“Gimana kalau kita turun? Pergi ke
game centre sama Nathan juga? Bentar
lagi kan pulang sekolah.”
Leo terlihat agak keberatan. Ia
tidak suka pergi ke keramaian. Tapi daripada ingatan itu terus berdatangan,
lebih baik ia mengalihkan perhatiannya. “Oke.”
“Sip.” Jeff nyengir lebar, namun
masih bersalah ketika melihat wajah Leo lagi yang masih shocked. “Sebagai permintaan maaf, gue bakal traktir lo deh.”
“Traktir apa?”
“Bir. Lo mau?”
“Kita mau ke game centre atau mau ngebir hah?”
Jeff dan Leo berjalan menuruni
tangga. Jeff meloncati tangga sembarangan. Kadang ia meluncur lewat pegangan
tangga. Ia benar-benar bebas. Sangat kontras dengan Leo yang masih pucat pasi
setelah menceritakan masa lalunya.
“Besok aja. Kita ngebir di atap sekolah,”
kata Jeffㅡnyengir lebar ketika mendengar idenya sendiri.
“Kenapa enggak nanti, sama
Nathan?”
“What? Lo mengharapkan Nathan ikut ngebir juga? Dia toleransinya
rendah banget. Pernah sekali, kupaksa dia buat minum. Baru minum beberapa
teguk, langsung mabuk. Payah.”
Leo nyengir mendengar betapa
sering Jeff mengucapkan kata ‘payah’.
“Nathan emang terlalu innocent buat dunia yang keras ini.
Kadang gue bingung sendiri sama itu anak. Hobinya memasak, melukis, belajar,
jadi ketua kelas… Ck!”
“Terus kenapa kamu masih berteman
sama Nathan?” tanya Leoㅡkembali dengan wajah datarnya.
Jeff berpikir sejenak. Ia dan
Nathan punya kepribadian yang sangat bertolak belakang. Mungkin karena mereka
sudah berteman sejak SD. Tapi ia tak yakin itu jawaban yang benar. Beberapa
teman sekelasnya juga sudah ada yang berteman dengannya sejak SD. “Karena gue
butuh orang yang nampar gue,” jawab Jeff sambil melompati tangga terakhir.
“Kalo lo mengerti apa yang gue maksud.”
“Jawaban yang masuk akal.” Leo
nyengir iseng.
**
Cowok dengan senyum ramah itu
terlihat berjalan cepat menyusuri koridor yang penuh dengan murid-murid. Ia terlihat
tak sabaran ketika beberapa orang menyapanya dan iseng menahannya untuk
bertanya satu-dua hal yang tidak penting.
“Nathan! Tugas PPKn udah
dikumpulin belum?” tanya Deviㅡnama teman sekelasnyaㅡyang
tak sengaja berpapasan dengan Nathan di koridor sekolah.
“Udah.”
“Aku belum kumpulin di tumpukan
buku kelas kita!” seru Devi.
“Huh… Ya udah, kamu tinggal
kumpulin ke meja guru sendirian,” jawab Nathan cepat. Ia sudah ditunggu oleh
dua temannya di pintu belakang sekolah.
“Tapi aku enggak tahu mejanya Bu
Irna yang mana.”
Nathan benar-benar kesal kali ini.
Ia memang ketua kelas di kelasnya. Jadi, tugas mengumpulkan buku sudah jadi
kewajibannya. Tapi ia tidak berkewajiban mengumpulkan tugas teman yang telat.
Itu kan salahnya sendiri. “Cari sendiri! Aku udah ditunggu teman.”
Kemudian cowok berwajah manis itu
melesat pergi begitu saja. Ketika sampai di pintu gerbang belakang sekolah, ia
langsung mencari dua temannya yang sudah duduk di motor masing-masing.
“Lama banget,” keluh Jeff sambil
mengulurkan helm cadangannya pada Nathan. Nathan memang tidak pergi ke sekolah
dengan menaiki motor seperti dua temannya itu.
“Sori. Aku sibuk enggak kayak
kalian.”
“Lo lagi banding-bandingin? Gue
juga anak OSIS yang super sibuk kalo ada kegiatan. Dia tuh yang enggak punya
kegiatan apa pun.” Jeff menunjuk Leo yang berdiri di depannya.
“What?” Leo menoleh karena merasa terpanggil.
Nathan tertawa.
“Cepet naik. Lo kapan sih bawa
motor sendiri. Ribet banget pakek antar-jemput segala,” komentar Jeff pada
Nathan yang ternyata memutuskan untuk duduk di belakang Leo.
“Besok aku bawa ninja juga!” seru
Nathan.
“Serius?”
“Iya. Udah, ayo berangkat!”
**
Begitu sampai di rumah, Leo
langsung mengempaskan tubuhnya di atas karpet di ruang tengahㅡtempat
kakaknya sedang bekerja dengan laptopnya. Ryan tidak bingung dengan sikap
adiknya yang seperti ini. Hanya saja, tadi pagi mereka masih bertengkar,
sekarang Leo sudah senderan lagi padanya.
“Ryan,” panggil Leo.
“Iya. Ada apa?”
“Olive enggak ada kan?”
“Enggak. Dia udah pergi lagi.”
Leo tidak peduli. Ia merasa lega,
bule cewek itu sudah pergi dan tidak menguasai kakaknya lagiㅡmeski
ia tidak tahu sebenarnya cewek itu siapanya Ryan. “Aku cerita kejadian bom itu
lagi.”
“Apa?!” Ryan berhenti mengetikkan
sesuatu di laptopnya.
“Aku enggak bisa lupa, Ryan. Aku
terus-terusan ingat. Waktu bomnya meledak sampai kupingku rasanya mau pecah,
rumah yang kayak neraka, Papaㅡ” Leo tersedak. Ini poin yang paling
tidak ingin ia singgung.
“Leo. Berhenti.”
“Papa yang suka menyiksa orang
lain, bahkan aku… Lukanya masih sakit, Ryan. Aku masih ingat, habis bomnya
meledak. Aku bangun di rumah sakit dan histeris karena enggak bisa dengar
apa-apa. Sepi yang ganjil. Aku masih ingat aku bangun tapi enggak ada siapa
pun. Cuma ada alat rumah sakit dan selang di hidungkuㅡ”
“Udah, Leo.”
Anak itu terisak dalam kekalutan
pikiran yang ada di kepalanya. Ia tidak bisa mengendalikan dirinya, padahal
baru beberapa menit yang lalu ia bermain game
bersama kedua temannya. Tapi sekarang, ia kembali ke ingatan itu lagi.
Otaknya seperti memaksanya untuk terus memikirkan kejadian itu berulang-ulang,
secara mendetail.
Heish, kenapa ada yang pakek tanya-tanya masa lalunya segala sih? ucap Ryan dalam hati. Ia merangkul adiknya yang masih memakai hoodie dan seragam putih abu-abunya.
Seharusnya orang yang memiliki trauma menjauhi pembicaraan apa pun yang
berkaitan dengan masa lalunya, tapi Leo tidak. Ia malah membicarakannya
terus-menerus kalau ada yang memicunya untuk mengingat kejadian mengerikan itu
lagi. Yeah, adiknya itu tipe keras kepala yang suka bertingkah sok kuat.
Leo mengusap air mata di pipinya,
seolah ia malu telah menangis di depan kakaknya. Meski selama ini, ia selalu menangis
di depan Ryan.
“Jangan diingat lagi oke? Kamu harus
nolak siapapun kalau ada yang tanya soal itu,” kata Ryanㅡmerasa
gemas dengan kepolosan adiknya. Ia tidak tahu saja kalau tadi siang adiknya
sudah membolos kelas dan mencoba merokok.
Tiba-tiba pintu rumah mereka
diketuk beberapa kali. Ryan sampai tak sadar kalau ia kedatangan tamu karena
menenangkan Leo. Yang datang pasti
pemilik rumah ini, batin Ryan.
Leo tiba-tiba teringat sesuatu dan
mengeluarkan sesuatu dari tas sekolahnya sebelum Ryan beranjak berdiri untuk
membukakan pintu. Ia memberikan sebuah amplop berwarna cokelat yang cukup
tebal. Saat Ryan, memegang amplop itu ia langsung tahu apa isinya… “Leo?!”
Leo mengangkat bahu dan berjalan
menuju kamarnya. “Sana bukain pintu.”
Ryan ingin memborbardir Leo saat
itu juga dengan pertanyaan-pertanyaan. Dari mana ia dapat uang itu? Sejak kapan
ia ikut mencari uang? Ia bekerja di mana? Tapi tamu ini… argh benar-benar…
**
Beberapa saat yang lalu, Ryan
masih tersenyum pada seorang pria yang baru saja datang bertamu ke rumahnya.
Ya, pemilik rumah ini datang dan dengan sangat halus meminta Ryan untuk segera
melunasi cicilan sewa rumahnya. Tapi, begitu pintu pagar tertutup dan mobil
pemilik rumah itu pergi, Ryan langsung kembali ke wajah seriusnya.
Ia membuka pintu kamar adiknyaㅡtempat
Leo sedang santai bermain game DOTA
di laptopnya.
“Dari mana kamu dapat uang ini,
Leo?” tanya Ryan dengan nada datar, tapi mengancam bagi Leo.
“Kerja,” jawab Leo sambil terus
memainkan game-nyaㅡtidak
mengindagkan kakaknya. Lagi-lagi ia bermain game
sambil memakai earphone di
telinga kirinya. Melihat hal itu, Ryan mendekat dan melepas earphone di telinga Leo.
“Udah berapa kali kubilang jangan
pakai earphone?” tanya Ryan out of topic yang menurut Leo merupakan
pembuka dari inti pembicaraan yang sebetulnya.
“Cuma sebentar.”
“Kamu kerja di mana? Ngapain?”
Tuh kan. Dugaanku benar, batin Leo. “Di café punya kakaknya Jeff. Jadi waitre. Jeff juga ikutan soalnya
kakaknya kekurangan pegawai.”
“Oh.” Ryan mengibaskan amplop
cokelat itu. “Kalo gitu aku enggak menerimanya.”
“Apa?! Kenapa?!”
“Aku enggak pernah minta kamu buat
kerja atau apa pun.” Ryan mengibaskan amplop itu dengan keras hingga tak
sengaja amplop itu jatuh ke tong sampah yang ada di sampingnya.
Leo yang tidak tahu kalau Ryan tak
sengaja menjatuhkan uang hasil kerja kerasnya, merasa terluka. Ia bangkit dari
kasurnya dan memungut amplop itu. “Kalau enggak terima, enggak usah dibuang
juga!”
“Aku enggak seㅡ”
“APA SUSAHNYA BUAT NERIMA DAN
MENGHARGAI SIH?! KAMU BERHARAP AKU CUMA DIAM DOANG NGELIHAT KAMU KESUSAHAN?!
KALAU ENGGAK MAU NERIMA, YA UDAH, GUNAKAN BUAT YANG LAIN KEK. ENGGAK USAH
DIBUANG!” Kali ini Leo benar-benar tersinggung. Sebelumnya ia tidak pernah
tersinggung oleh apa pun yang dikatakan kakaknya.
“Bukan gitu, Leo. Aku enggak
sengaja jatuhin.”
“GET THE FUCK OUT OF MY ROOM!”
“Leo!”
Ryan berusaha bertahan di kamar
adiknya, tapi Leo mendorongnya dengan keras.
Cowok berkacamata itu mendudukan
dirinya di sofa ruang tengah. Baru dua hari ia sampai di rumah, dan ia sudah
dua kali bertengkar dengan Leo. Padahal saat ini, mereka hanya memiliki satu
sama lain. Ryan sudah berjanji akan menjaga Leo dan tidak akan membiarkan Leo
menderita seperti dulu. Ia berjanji akan membawa keluar Leo dari keluarga setan
itu. Papa yang seorang mafia sekaligus psikopat yang selalu menghukum Leo tanpa
ampun hanya karena kesalahan sekecil apa pun. Mama yang tidak pernah merawat
mereka. Dan dirinya… yang pengecut dan berengsek… yang kabur dari rumah
meninggalkan Leo sendirian.
Ryan memegang kepalanya. Ia meraih
sebatang rokok rokok, menyalakannya, dan menghisapnya. Ia sudah cukup lama
tidak merokok karena Leo punya asma. Ia tak ingin anak itu asmanya kambuh
karena menghirup asap rokok yang dihasilkannya.
Cowok itu melepas kacamatanya dan
mengacak rambut hitamnya. Ia hanya ingin Leo bahagia dan tersenyum seperti saat
mereka masih kecil. Hidupnya ia dedikasikan untuk adiknya. Ia bahkan tidak
masalah jika Leo ingin mengikuti dirinya sampai kapanpun.
Malam itu, ia menghabiskan
sebungkus rokokㅡefek karena ia sedang tertekan dan sudah lama tak merokok. Karena
hanya itu yang membuatnya bisa membuatnya tenang selain senyum manis adiknya.
To be continue...
0 comments