Forgive Me [PART 4]

September 06, 2019


Part 4

30 Januari 2018

“Jeff, Leo. Kalian dipanggil ke ruang BK,” kata Cahyonama ketua kelas X IPA 3saat jam istirahat pertama.

“Sekarang, Yo?” tanya Jeff yang sedang berkumpul bersama teman-temannya di belakang kelas, menonton pertandingan NBA.

“Iya. Cepetan sana,” kata Cahyo sambil mendekat ke gerombolan anak laki-laki ituingin ikut menonton pertandingan NBA.

“Loh? Kan sebentar lagi masuk?” kata Jeff dengan wajah innocent sambil melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 9.55.

Cahyo tertawa. “Bukannya kamu seneng bisa bolos pelajaran?”

Jeff mendengus. “Ini kan pelajaran olahraga. Mana bisa gue tinggal.”

“Kata Pak Erik, kamu udah diijinin bakal terlambat ke lapangan. Jadi, sante ae,” kata Cahyo. Ia menatap Leo yang sedang duduk di bangkunya sendirianterlihat sedikit kesal karena Leo seperti tidak bergerak setelah mendengar ucapannya. “Apa anak itu budeg lagi?” ucap Cahyo dengan suara pelan pada Jeff yang berdiri di depannya.

Tiba-tiba timbul perasaan Jeff untuk melindungi Leo. “Kalo ngomong yang keras, Yo. Leo, lo lagi enggak budeg kan?”

Leo langsung menoleh ke arah Jeff dengan sorot what-the-heck-are-you-doing. “Kalo gue nengok, berarti gue normal,” jawabnya datar. 

Cahyo menatap Jeff tak percayasejak kapan berandal ini berteman dengan anak yang sering dibicarakan diam-diam oleh hampir setiap murid di sekolah? Semester yang lalu pun, Jeff termasuk anak yang sering menatap sinis ke arah Leo. 

Jeff meninggalkan Cahyo dan teman-temannya. Ia berjalan bersama Leo menuju ruang BK. Leo bersikap biasa saja karena ia sudah pernah dipanggil BK karena insiden dengan kakak kelas itu. Sedangkan Jeff terlihat tidak peduli, ia malah nyengir dan menyapa teman-teman yang dilewatinya dengan santai.

**

Leo dan Jeff duduk di dalam ruang BK yang dingin karena AC. Mereka duduk di depan meja guru BK mereka yang biasa dipanggil Pak Erik. Guru itu terkenal dengan sifat tegasnya. Biasanya murid yang bermasalah akan langsung kembali ke jalan yang benar setelah ditangani olehnya. Tapi sepertinya hal itu tak berpengaruh pada Leo dan Jeff.

“Jeffry dan Leonard,” kata Pak Erik memandang kedua muridnya yang sudah ia hapal. “Kalian sudah tahu kenapa kalian dipanggil ke sini?”

Jeff tahu ini pertanyaan jebakan. Jawab sudah atau belum, hasilnya tetap akan dimarahi oleh Pak Erik. Jadi, ia memilih jalan teraman, yaitu diam. Leo malah tidak tertarik dengan apa yang akan dibicarakan gurunya.

“Jawab,” perintah Pak Erik yang bersifat absolut.

“Sudah.”

“Belum.”

Jeff dan Leo saling melirik.

“Belum.”

“Sudah.”

Pak Erik menatap tajam kedua anak itu. “Jeffry. Sudah saya peringatkan berapa kali untuk tidak bolos pelajaran terutama saat ulangan harian? Paling tidak, datang dan kerjakan soalnya. Benar atau salah, urusan nanti. Kalau takut dapat nilai jelek, ya belajar. Jangan menghindar. Apa kemarin kamu enggak kapok diberi ulangan susulan yang tingkatan soalnya setara soal Olimpiade Matematika?”

Jeff terkejut saat mendengar fakta barusan. Pantas saja soalnya bikin dia kesusahan setengah mati. Ia memang benci matematika sejak di SMA karena guru matematikanya yang pernah merendahkannya habis-habisan di depan kelas hanya karena ia lupa rumus. Tapi bukannya terfokus pada dirinya, ia malah penasaran apa yang akan dikatakan Pak Erik pada Leo.

“Leonard. Kamu sudah buat catatan gelap di sekolah dengan memukul kakak kelasmu sampai berdarah dan mengancam wali kelas. Sekarang ikutan bolos bersama Jeff. Saya tidak mengeluarkanmu, karena kamu termasuk anak yang genius. Bahkan semester kemarin, nilaimu selalu yang tertinggi di kelas.”

Tanpa sadar Leo mengeraskan rahangnya. Ia sudah muak mendengar hal itu. Sejak awal masuk, ia sering diminta untuk ikut ekskul Olimpiade, tapi ia selalu menolak.

Jadi, ternyata gosip itu benar, batin Jeff setelah mendengar perkataan Pak Erik. Leo beneran mukul kakak kelas sampe berdarah.

Pak Erik melirik Jeff lagi. Ia terlihat menulis sesuatu di jurnalnya. “Kalian berdua akan saya beri hukuman diskors 3 hari.”

“A-APA?”Jeff berseru tak percaya. “Pak, saya cuma bolos pelajaran. Itu pun baru sekali, semester ini! Semester yang lalu, saya memang dispen berkali-kali Pak, karena saya anak OSIS!” protesnya tak terima.

“Saya tidak mendengar alasan. Kalian tetap akan didiskors mulai besok.”

 Jeff mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia terlihat sangat marah. “Pak, saya tidak terima

Leo membuat isyarat agar Jeff tidak berbuat yang berlebihan. “Pak, kami tahu aturannya. Bolos pelajaran sekali, pengurangan poin sebanyak 25 dan wali murid dipanggil. Kenapa kami harus dapat hukuman diskors? Kapan peraturannya diganti?” tanyanya dengan suara tenang tanpa riak namun penuh intimidasi.

Jeff menahan napas.

Pak Erik terlihat panik namun berusaha keras menyembunyikannya. “Apakah kamu sedang mencoba mengancam saya? Mengancam siswa, guru, atau karyawan dapat mengurangi poin 30.”

“Saya hanya bertanya. Murid berhak bertanya bukan?” Leo memasang ekspresi wajah sedatar mungkin.

Pak Erik berdeham. “Kalian dapat diskors karena sudah poin kalian yang sudah berkurang banyak.”

“Kalau poinnya mencapai 100, kami baru akan mendapat hukuman diskors. Tapi poin saya baru berkurang 25, yeah 55 kalau yang barusan termasuk mengancam guru. Begitu juga Jeff yang baru bolos sekali semester ini.”

Semua yang dikatakan Leo benar. Entah bagaimana anak itu bisa hapal tata tertib sekolah. Ini pertama kalinya ia berhadapan dengan murid seperti Leonard. “Baiklah. Kalian tidak jadi saya diskors. Tapi pemanggilan wali murid.”

Leo terlihat puas. Diam-diam Jeff mengembuskan napas lega. Rasanya ia ingin berteriak ‘YESS’ keras-keras karena tidak jadi didiskors. Ia tidak ingin didiskors karena diskors berarti ia harus stay di rumah yang membosankan dan akan dimarahi habis-habisan oleh Ayahnya yang merupakan seorang dokter.

“Tapi, ini peringatan keras bagi kalian berdua. Jangan bolos lagi karena kalau poin kalian sampai 100seperti yang tadi dibilang Leonardkalian benar-benar akan saya diskors.”

Jeff dan Leo kompak mengangguk.

**

Kedua anak itu berlari menuju lapangan basketkarena tanpa sadar mereka sudah melewatkan satu jam pelajaran di ruang BK.

Jeff tersenyum lega. “Eh sumpah, tadi keren banget,” puji Jeff.

“Apanya yang keren?” tanya Leotak bisa menyembunyikan ekspresi leganya.

“Keren aja, lo bisa mempengaruhi guru sampe sebegitunya. Kalo enggak ada lo, gue udah pasti bakal didiskors.” Jeff sudah lupa fakta kalau saat di ruang BK tadi, ia sempat merasa takut pada Leo. Leo ternyata bisa terlihat horror kalau sudah serius seperti tadi.

Leo nyengir lebar.

Kemudian mereka bergabung bersama teman sekelas mereka, mengikuti pelajaran bola basket hari itu. Tapi Leo tidak sepenuhnya merasa lega. Perbuatannya tadi membuatnya teringat pada Papanya…

**

“Leo!”

Seseorang memanggil namanya membuatnya refleks menoleh.

DUGGG!!!

Bola basket yang dioper dengan overhead pass yang sangat cepat itu menghantam wajahnya. Tangannya tak cukup cepat untuk menangkap bola itu. Operan itu langsung membuatnya terhuyung ke belakang.

“Leo, payah banget lo nangkap operan gitu aja enggak bisa!” kata Jeff yang berdiri di dekatnya.

Leo memungut bola basket yang tadi mengenai wajahnya dengan telak. “Gue lagi enggak fokus,” jawabnya sambil melempar bola itu ke anak lain. 

“Kayak cewek,” ejek Jeff enteng. Tapi Leo seperti tidak terpengaruh dengan ejekan bertubi-tubi yang datang dari Jeff. “Leo… Lo mimisan?”

“Hah?” Cowok itu menyentuh hidungnya dan langsung mendapati darah di tangannya. “Shit.”

Jeff tiba-tiba menoleh ke teman-teman sekelasnya yang menyebar di lapangan basket. Sepertinya, anak tadi sengaja melempar bola basket keras-keras ke wajah Leo. Siapa pun bisa terluka dihantam bola basket sekeras itu. (Jeff jadi menyesal sudah mengejek Leo). Tapi Jeff tak bisa menduga siapa yang sudah melempar bola itu karena semua murid yang ada di kelasnya terlihat sibuk berlatih passing dan dribble sebelum penilaian.

Leo sudah mendongakkan wajahnya, tapi darah segar terus mengalir dari hidungnya. Sekarang darah menetes di seragam olahraganya yang berwarna putih.

“Leo, kamu mimisan?” tanya seorang anak perempuan yang sedang latihan passing di dekatnya, membuat seorang anak perempuan lain mendekatinya.

“Ya ampun. Banyak banget. Aku lapor Bu Endang dulu!” seru Kintannama anak perempuan yang baru mendekat itu.

“Leo, kayaknya lo harus ke UKS. Muka lo pucat banget,” kata Jeff khawatir.

“Cuma mimisan. Gue ke keran dulu,” kata Leo sambil berlari ke keran dan membersihkan darah dari hidungnya. Tapi sepertinya darah itu tak mau berhenti keluar dari hidungnya, padahal hidungnya sama sekali tak terasa sakit.

“Leo, mau ke UKS aja?” tanya Bu Endangnama guru olahraga di sekolahnya. Rautnya khawatir. Menjadi seorang guru olahraga memang memiliki banyak resiko seperti bertanggungjawab atas keselamatan murid-muridnya selama di lapangan.

Leo menggeleng. “Enggak apa-apa, Bu,” ucapnya. Butuh waktu beberapa menit sampai darah dari hidungnya berhenti mengalir. Setelah itu, ia berlari kembali ke lapangan basket.

**

Siang itu, Olive kembali ke rumah Ryan. Selama dua hari yang lalu, ia mengikuti tour keliling objek wisata yang ada di Provinsi Yogyakarta bersama teman-temannya. Mereka memang sengaja datang ke Indonesia untuk berlibur dan menikmati cuaca tropis Indonesia.

Ryan tidak kaget saat Olive datang. Ia malah terlihat menunggu kedatangan perempuan berusia 25 tahun itu yang merupakan teman dekatnya waktu ia dan Leo masih tinggal di Seattle. Mereka sama sekali tidak menjalani hubungan romantis apa pun, mereka hanya teman yang saling ada saat salah satu dari mereka sedang kesulitan.

“Hey,” sapa Ryan sambil tersenyum simpul. Cowok itu mempersilakan Olive masuk.

Are you okay?” tanya Olive saat mereka sudah sampai di ruang tengah. Ia memperhatikan keadaan sekelilingnya yang tak serapih saat pertama kali ia datang ke tempat itu. Kaleng bir kosong dan asbak rokok memenuhi meja kecil yang ada di ruang tengah, bersama dengan laptop dan koran.

Ryan yang baru saja kembali dari dapur untuk mengambilkan Olive minuman dingin, meringis. “I am fine,” jawabnya sambil mendudukan dirinya di samping cewek berambut blonde itu. “Sorry, if I am a mess right now. I am a bit stressed because of my brother,” ucapnya kemudian karena Olive terus menatapnya dengan sorot menuntut.

No need to say sorry. Wait, you still have fight with your brother until now?” tanya Olive. Ia masih ingat dua hari yang lalu saat ia datang, kedua kakak-beradik itu langsung bertengkar karena dirinya. “Uh, I feel sorry. I think I was the reason you two quarreling.

No. You didn’t trigger us. I am the reason he is mad. He is so sensitive these days and somehow I can’t control him. He is… a very hard boy.

I see.” Olive meminum air es yang disuguhkan Ryan, merasa segar kembali.

Have you had lunch yet?” tanya Ryan tiba-tiba. Sekarang sudah pukul 1 siang, sudah waktunya makan siang. “I’ll cook something for you. Or… do you want to eat somewhere?”

Olive tersenyum. “I want to try Javanesse food.

I know Javanesse restaurant you might like.” Ryan beranjak berdiri untuk mengganti pakaiannya.

“Ryan, I think you need a refreshing.

Cowok berkacamata itu menoleh. “I just went to Bandung two days ago.

No. It’s not about that. You should forget your brother for a while. He is already a teenager. Maybe he should take time to solve his own problem without your help. Just for a while, think about yourself.

Ryan terhenyak. Perkataan Olive tak sepenuhnya salah. Ia seperti tersadar oleh sesuatu. Ya, Leo memang bukan anak kecil lagimeski tingkahnya kadang masih seperti anak kecil. Sepertinya ia terlalu terikat pada adiknya hingga ia melupakan kalau ia juga perlu memikirkan dirinya sendiri. Baiklah. Hanya sekali ini saja.

Okay. Just this time.”

**

Jam pelajaran olahraga berakhir. Bel istirahat kedua berbunyi. Seluruh murid kelas X IPA 3 sudah selesai mengganti seragam olahraga mereka dengan seragam putih abu-abu. Guru olahraga mereka memang selalu memberi waktu 30 menit terakhir untuk digunakan muridnya berganti seragam.

Gerombolan anak laki-laki kelas seperti biasa selalu berkumpul bersama di belakang kelas. Saat bel istirahat berbunyi, mereka langsung berjalan menuju kantin. Mereka semua selalu kompak menghindar guru agama yang sering berkeliling kelas untuk menyuruh salat zuhur dulu sebelum pergi ke kantin.

“Jeff? Enggak ke kantin?”

“Nanti gue nyusul.” Tidak seperti biasanya, Jeff duduk di bangkunyatidak mengikuti anak-anak itu pergi ke kantin. Hari ini ia tidak duduk bersama Leo lagi, jadi setelah mereka pergi, ia pergi ke meja Leo.

Suasana kelas langsung sepi begitu anak-anak laki-laki itu pergi. Sekarang hanya tertinggal beberapa anak perempuan yang sedang memakan bekal mereka di kelas.

“Kayaknya hari ini kita jangan bolos dulu,” kata Jeff dengan suara pelan. “Argh, padahal nanti ada matematika. Lo udah ngerjain PR kan?”

Leo mengangguk.

“Nanti gue nyontek ya. Yuk ke kantin.”

Leo baru akan berdiri saat tiba-tiba ia merasa ada yang mengalir dari hidungnya. Darah berwarna merah segar keluar dari hidungnya. “Sial.”

Jeff menoleh ke sampingnya. “Mimisan lagi?” 

“Gue ke toilet dulu,” ucap Leo sambil berlari menuju kamar mandi sambil menutup hidungnya.

“Enggak ke UKS?” Tapi Leo sudah berlari cukup jauh.

Jeff mengangkat bahucuek. Ia pun pergi ke kantin sendirian, menyusul teman-temannya.

**

Leo menutup keran washtafel yang ada di toilet setelah darah tidak keluar lagi dari lubang hidungnya. Ia memandang wajahnya di cermin untuk mengecek apakah masih ada jejak darah di philtrumnya atau tidak. Tiba-tiba ia menangkap sosok seseorang dari cermin sedang menatapnya. Ia berbalik, tapi tak ada orang di belakangnya.

Entah sejak kapan, pintu toilet tertutup. Ia mulai merasakan ada yang ganjil. Ia berjalan cepat menuju pintu toilet, tepat ketika seseorang memukulnya dari belakang dengan sangat keras.

Leo jatuh berlutut dan merasakan sakit mulai menjalar di punggungnya.

“Kau pikir kau merasa hebat setelah bisa berantem sama kakak kelas? Kupikir kamu berandal juga, tapi ternyata cuma anak lemah. Cuih.” Cowok berambut keriting itu meludah ke sampingnya. Ia memegang kayu yang tadi ia gunakan untuk memukul sosok di hadapannya. Wajah cowok itu tidak terlihat karena ia memakai slayer.

Sial, umpat Leo dalam hati. Ia berdiri dan segera berlari ke pintu toilet. Tapi tangan cowok berambut keriting itu lebih dulu menahan tubuhnya. Cowok tak dikenal itu menarik kerah baju Leo dengan kasar. “Mau lari kemana, berengsek?”

“Aku tidak punya urusan denganmu,” ucap Leo dingin sambil berusaha melepas cengkraman cowok itu di lehernya.

“Tidak punya urusan? Seandainya waktu itu kau tidak datang bersikap sok pahlawan, kau mungkin bisa hidup tenang sekarang.”

Leo sekarang bisa mengenali laki-laki di depannya. Tiba-tiba ia menyeringai. “Apa ini pekerjaanmu di sekolah? Bersikap seperti preman? Kalau ingin jadi preman betulan, jangan setengah-setengah. Pergi dari sekolah dan hidup di jalanan. Kau bisa memukul orang sepuasnya.”

BUGGHHH!!!

Satu bogem mentah mengenai rahang Leo. Perkataan Leo membuat Theo naik pitam. Ia terlihat jelas berusaha menahan tangannya agar tidak melayangkan tinju lagi. “Keparat. Kau yang harusnya angkat kaki dari sekolah ini.”

Leo mengusap ujung bibirnya yang terkena tinjuan Theo. “Kenapa? Aku bena-benar bisa membuatmu keluar dari sekolah. Kau pernah melihatmu menggunakan ganja di toilet sekolah.”

Theo mengepalkan tangannya. Ia ingin membalas ucapan Leo, tapi ia tak tahu apa-apa soal anak itu. Ia melempar satu tinju lagi ke wajah Leo. “Sekali lagi kau bilang begitu. Aku akan membunuhmu.”

Leo mendengus tertawa. Ia sudah sering menjadi objek percobaan pembunuhan… “Anak sepertimu belum punya nyali untuk membunuh.”

“Kau benar-benar ingin mati hah?!”

Theo memukul tubuh Leo berulang-ulang. Kali ini Leo tidak tinggal diam, ia membalas setiap pukulan itu. Ia menerjang tubuh Theo hingga Theo terjatuh ke belakang. “COBA SAJA KALAU KAU BERANI!” teriaknya sambil terus meninju wajah Theo yang kini sudah tak tertutup oleh slayer.

Kedua remaja itu bergulat di atas lantai kamar mandi. Wajah mereka lebam biru, tapi tangan mereka tidak berhenti saling memukul. Mereka bergantian saling menindih, berusaha mencoba menghabisi satu sama lain. Napas mereka menderu oleh emosi. Sehingga akhirnya, salah satu dari mereka terbanting jatuh.

Theo terengah. Tapi ia masih memiliki kekuatan untuk berdiri dan mengambil kayu yang tadi terjatuh dari tangannya. Tangannya gemetar saat pikiran untuk membunuh itu datang. Ia bisa menjadi pembunuh sebentar lagi dengan disaksikan oleh dua temannya…

“SIRAM DIA!” teriak Theo tiba-tiba, membuat dua orang tiba-tiba muncul dari balik pintu bilik kamar mandi.

BYURRRR!!!

Tubuh Leo basah kuyup. Seragamnya kotor dan berantakan. Napasnya terengah karena lelah dan marah. Ia berusaha bangkit berdiri, tapi seluruh tubuhnya menjerit sakit. Wajahnya pucat pasi menahan sakit.

Theo mendengus, meremehkan Leo yang terpuruk. Tangannya mengayunkan tongkat kayu yang ada di tangannya. Kayu itu mengenai kepala Leo dengan keras membuat Leo jatuh tersungkur di atas lantai.

Sebelum Leo pingsan sepenuhnya, Leo masih mendengar ketiga orang itu bercakap-cakap. Ia masih bisa merasakan darah mengalir dari pelipisnya. Ia memaksa otaknya untuk terus terjaga, namun otaknya menolaknya. Ia pun jatuh ke dasar lubang gelap yang ada di pikirannya.

**

“Theo, apa yang tadi enggak keterlaluan?” tanya salah satu cowok yang berdiri di samping Theo.

Napas Theo masih tersengal. Ia sangat terkejut dengan apa yang telah diperbuatnya. Aku sudah membunuh seseorang. Aku sudah membunuh. Aku sudah berbuat kriminal! Suara di pikirannya terus bergema hingga terasa seperti membetot otaknya. Tangannya gemetar hebat dan tanpa sadar ia menjatuhkan tongkat kayu yang ada di genggamannya. 

Temannya yang satu lagi berinisiatif untuk mengecek apakah Leo masih bernapas atau tidak. “Dia masih bernapas,” ucapnya.

Theo jelas sekali mengembuskan napas lega. Siapa pun yang melihat keadaan Leo sekarang, akan mengira anak itu sudah mati. Wajah cowok itu pucat, darah mengalir di pelipisnya, luka lebam mewarnai kulitnya, dan seluruh tubuhnya basah kuyup.

“Sembunyikan dia,” perintah Theo pada kedua temannya.

Kedua temannya serentak menoleh ke arahnya. “Kita akan meninggalkannya begitu aja di sini? Kalau ada orang yang masuk kamar mandi gimana?”

“Kita akan kunci pintu toilet,” jawab Theo tegas. Wajahnya berkeringat banyak setelah berusaha menghabisi cowok itu. Sebenarnya ia sadar, ia keterlaluan saat memukul kepala Leo sampai anak itu pingsan. Ia merasa seperti penjahat dan hati nuraninya yang masih naif mulai merasa bersalah.

“T-terus dia?” Temannya yang bertubuh pendek dan selalu terlihat takut itu menatap Theo.

“Kalau dia tiba-tiba mati di sini?” Teman lainnya yang masih memakai slayer dan topi, juga terihat takut melihat keadaan Leo saat ini.

Theo mengeluh frustasi. “Hanya ini satu-satunya cara agar kita tidak ketahuan! Kalian mau kita dicap telah berbuat kriminal dan dikeluarkan dari sekolah?!”

Kedua temannya masih bergeming di tempat mereka berdiri.

“CEPAT SEMBUNYIKAN DIA DI DALAM KAMAR MANDI!” perintah Theo yang tertekan oleh ketakutannya. What if. Bagaimana jika anak itu terlalu lemah hingga tak bisa bertahan? Bagaimana jika ternyata ia telah benar-benar menjadi pembunuh?

**

Jeff menunggu bestie-nya di kantin sambil makan siang bersama Nathan. Ia sudah bersusah payah agar tidak terlihat sedang menunggu seseorang. Sejak awal semester dia, Jeff jadi lebih sering makan siang bersama Leo dan Nathan, bukan bersama gerombolan anak laki-laki kelasnya.

“Leo kemana?” tanya Nathan tak bisa menahan rasa ingin tahunya.

“Tadi dia ke kamar mandi,” jawab Jeff terlihat cuek. Ia malas menjelaskan kalau tadi Leo pergi ke kamar mandi karena mimisan lagi. He, apakah anak itu baru melihat video yang aneh sampai mimisan begitu? batinnya menduga-duga.

“Mungkin dia balik ke kelas.”

“Tadi, gue udah nyuruh dia buat ke kantin. Dia pasti selalu nurut kalo disuruh sama gue,” kata Jeff.

“Paling dia lupa. Dia kan suka begitu,” kata Nathan, teringat beberapa kali ia sudah janjian akan makan bareng di kantin, tapi berakhir anak itu tidak datang. Ketika ditanya, Leo akan menjawab lupa dengan wajah innocent-nya.

“Yeah, kali aja begitu,” kata Jeff sambil menyuap mie ayam-nya.

Nathan sudah selesai menghabiskan nasi uduknya. Tiba-tiba wajahnya terlihat sumringah. “Ke atap sekolah yuk.”

Jeff hampir tersedak. Anak teladan semacam Nathan ingin bolos sekolah? (Jeff nangkapnya gitu.)

“Maksudku bukan bolos kelas, idiot,” kata Nathan dengan ekspresi wajah dasar-Jeff-tahunya-bolos-doang. “Sepulang sekolah nanti, sama Leo. Aku penasaran.”

“Gue ada rapat OSIS.” Jeff terlihat berpikir sejenak. “Eh, ngerasa enggak kalau Leo itu kadang aneh?”

“Kamu mau menusuk Leo dari belakang?” peringat Nathan yang paling anti dengan membicarakan orang dari belakang. Ia paling benci hal ini.

Jeff langsung menggeleng. “Bukan. Ah, harusnya kemarin lo dengerin ceritanya Leo.”

“Dia cerita apa?” tanya Nathan setelah memastikan kalau topik ini sama sekali bukan bertujuan menusuk temannya dari belakang.

Jeff merasa lidahnya kelu. “Gue nggak bisa ceritain lagi. Mending lo denger sendiri dari Leo langsung. Udah ya? Gue balik ke kelas dulu, mau nyontek PR.”

Nathan masih duduk di bangku kantin untuk menghabiskan minumannya. Ia tidak sekelas dengan Jeff dan Leo. Jadi ia tidak begitu mengerti pendapat Jeff barusan. Selama ini Leo selalu terlihat normal saat sedang ekskul. Nathan jadi merasa tidak tahu apa-apa soal temannya, padahal ia yang mengenalkan Leo pada Jeff.

Heish… Kalo cerita, jangan bikin penasaran dong.

**

What? Leo belum balik juga? ucap Jeff dalam hati ketika ia kembali ke kelas.

Ia bertanya pada teman sekelasnya yang duduk di dekat Leo. “Gita, Leo belum balik?” tanyanya pada seorang cewek berkerudung yang duduk di depan bangku Leo.

Gita melirik bangku di belakangnya yang kosong. “Ya kalo kosong, berarti dia belum balik.”

Jeff bertanya-tanya dalam hati. Jangan-jangan dia kabur sendirian, batinnya. Tapi ngapain coba? Baru aja tadi pagi dipanggil guru BK.

Tiba-tiba suasana kelas yang berisik berubah menjadi tenang yang mencurigakan. Guru matematikanya yang terkenal killer itu sudah berjalan masuk ke dalam kelas. Jeff baru teringat, PR-nya belum selesailebih tepatnya ia belum mengerjakan sama sekali. Tanpa pikir panjang, ia membuka tas Leo dan mengambil buku matematika Leo.

Sorry, Leo. Gue pinjem buku lo sebentar!

Kemudian ia berlari ke bangkunya yang berada di barisan paling belakang. Ia menyalin dengan tergesa-gesa, karena guru yang satu ini selalu mengecek PR muridnya dan memasukkannya ke dalam daftar nilai.

Hari ini, ia mencoba fokus pada pelajaran di papan tulis. Tapi, melihat bangku Leo yang terus kosong selama dua jam pelajaran benar-benar membuatnya heran.

To be continue...

You Might Also Like

0 comments